Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱتۡلُ
dan bacakanlah
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
نَبَأَ
berita/cerita
ٱبۡنَيۡ
dua orang anak
ءَادَمَ
Adam
بِٱلۡحَقِّ
dengan sebenarnya
إِذۡ
ketika
قَرَّبَا
keduanya mempersembahkan korban
قُرۡبَانٗا
korban
فَتُقُبِّلَ
maka diterima
مِنۡ
dari
أَحَدِهِمَا
salah satunya
وَلَمۡ
dan tidak
يُتَقَبَّلۡ
diterima
مِنَ
dari
ٱلۡأٓخَرِ
yang lain
قَالَ
dia berkata
لَأَقۡتُلَنَّكَۖ
sungguh aku akan membunuhmu
قَالَ
ia berkata
إِنَّمَا
sesungguhnya hanyalah
يَتَقَبَّلُ
akan menerima
ٱللَّهُ
Allah
مِنَ
dari
ٱلۡمُتَّقِينَ
orang-orang yang bertakwa
وَٱتۡلُ
dan bacakanlah
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
نَبَأَ
berita/cerita
ٱبۡنَيۡ
dua orang anak
ءَادَمَ
Adam
بِٱلۡحَقِّ
dengan sebenarnya
إِذۡ
ketika
قَرَّبَا
keduanya mempersembahkan korban
قُرۡبَانٗا
korban
فَتُقُبِّلَ
maka diterima
مِنۡ
dari
أَحَدِهِمَا
salah satunya
وَلَمۡ
dan tidak
يُتَقَبَّلۡ
diterima
مِنَ
dari
ٱلۡأٓخَرِ
yang lain
قَالَ
dia berkata
لَأَقۡتُلَنَّكَۖ
sungguh aku akan membunuhmu
قَالَ
ia berkata
إِنَّمَا
sesungguhnya hanyalah
يَتَقَبَّلُ
akan menerima
ٱللَّهُ
Allah
مِنَ
dari
ٱلۡمُتَّقِينَ
orang-orang yang bertakwa
Terjemahan
Bacakanlah (Nabi Muhammad) kepada mereka berita tentang dua putra Adam dengan sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, kemudian diterima dari salah satunya (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti akan membunuhmu.” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertakwa.
Tafsir
(Dan bacakanlah) hai Muhammad (kepada mereka) yakni kepada kaummu (kabar) berita (dua orang anak Adam) yaitu Habil dan Qabil (dengan sebenarnya) berhubungan dengan utlu (ketika keduanya mempersembahkan kurban) kepada Allah berupa domba dari Habil dan hasil tanaman dari Qabil. (Maka diterima dari salah seorang mereka) yakni dari Habil dengan alamat turunnya api dari langit yang melahap kurbannya (dan tidak diterima dari yang lain) yakni dari Qabil yang menjadi murka dan memendam kedengkian dalam dirinya menunggu naik hajinya Adam. (Katanya) yakni Qabil kepada Habil ("Sungguh, akan kubunuh kamu!") Kenapa kurbanmu diterima sedangkan kurban saya tidak! (Jawabnya, yakni Habil, "Sesungguhnya Allah hanya menerima kurban dari orang-orang yang bertakwa").
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 27-31
Ceritakanlah kepada mereka kisah dua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia (Qabil) berkata, "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil, "Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa."
"Sungguh, kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.
Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dari dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim."
Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.
Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya dia menguburkan mayat saudaranya. Berkata (Qabil), "Aduhai, celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu, jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.
Ayat 27
Allah ﷻ berfirman menjelaskan kefatalan akibat dari dengki, iri hati dan zalim melalui kisah kedua anak Adam, yang menurut jumhur ulama bernama Qabil dan Habil. Salah seorang darinya menyerang yang lain hingga membunuhnya karena benci dan dengki terhadapnya karena Allah telah mengaruniakan nikmat kepadanya dan kurbannya diterima oleh Allah ﷻ karena ia lakukan dengan hati yang tulus ikhlas.
Akhirnya si terbunuh memperoleh keberuntungan, yaitu semua dosanya diampuni dan dimasukkan ke dalam surga, sedangkan si pembunuh memperoleh kekecewaan dan kembali dengan membawa kerugian di dunia dan akhirat. Untuk itu Allah ﷻ berfirman:
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya.” (Al-Maidah: 27)
Yakni ceritakanlah kepada mereka yang membangkang lagi dengki yaitu saudaranya babi dan kera dari kalangan orang-orang Yahudi dan orang-orang yang semisal dan serupa dengan mereka tentang kisah kedua anak Adam. Keduanya adalah Qabil dan Habil, menurut apa yang telah diceritakan oleh tidak hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf.
Firman Allah ﷻ: “Menurut yang sebenarnya.” (Al-Maidah: 27)
Yakni secara jelas dan gamblang tanpa ada pengelabuan dan kedustaan, tanpa ada ilusi dan penggantian, serta tanpa ditambah-tambahi atau dikurangi. Seperti pengertian yang tercantum dalam ayat lain:
“Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar.” (Ali Imran: 62)
“Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya.” (Al-Kahfi: 13)
“Itulah Isa putra Maryam. Yang mengatakan perkataan yang benar.” (Maryam: 34)
Kisah mengenai mereka berdua, menurut apa yang telah disebutkan oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf, bahwa Allah ﷻ mensyariatkan kepada Adam a.s. untuk mengawinkan anak-anak lelakinya dengan anak-anak perempuannya karena keadaan darurat. Tetapi mereka mengatakan bahwa setiap kali mengandung, dilahirkan baginya dua orang anak yang terdiri atas laki-laki dan perempuan, dan ia (Adam) mengawinkan anak perempuannya dengan anak laki-laki yang lahir bukan dari satu perut dengannya.
Dan konon saudara seperut Habil tidak cantik, sedangkan saudara seperut Qabil cantik lagi bercahaya. Maka Habil bermaksud merebutnya dari tangan saudaranya. Tetapi Adam menolak hal itu kecuali jika keduanya melakukan suatu kurban; barang siapa yang kurbannya diterima, maka saudara perempuan seperut Qabil akan dikawinkan dengannya. Ternyata kurban Habillah yang diterima, sedangkan kurban Qabil tidak diterima, sehingga terjadilah kisah keduanya yang disebutkan oleh Allah ﷻ di dalam Kitab-Nya.
As-Suddi mengatakan sehubungan dengan kisah yang ia terima dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas; juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat Nabi ﷺ bahwa tidak sekali-kali dilahirkan anak (laki-laki) bagi Nabi Adam melainkan disertai dengan lahirnya anak perempuan.
Nabi Adam selalu mengawinkan anak lelakinya dengan anak perempuan yang lahir tidak seperut dengannya, dan ia mengawinkan anak perempuannya dengan anak lelaki yang lahir tidak seperut dengannya. Pada akhirnya dilahirkan bagi Nabi Adam dua anak laki-laki yang dikenal dengan nama Habil dan Qabil. Setelah besar Qabil adalah ahli dalam bercocok tanam, sedangkan Habil seorang peternak. Qabil berusia lebih tua daripada Habil, dia mempunyai saudara perempuan seperut yang lebih cantik daripada saudara perempuan seperut Habil. Kemudian Habil meminta untuk mengawini saudara perempuan Qabil, tetapi Qabil menolak lamarannya dan berkata, "Dia adalah saudara perempuanku yang dilahirkan seperut denganku, lagi pula dia lebih cantik daripada saudara perempuanmu, maka aku lebih berhak untuk mengawininya." Padahal Nabi Adam telah memerintahkan kepada Qabil untuk menikahkan saudara perempuannya dengan Habil, tetapi Qabil tetap menolak.
Kemudian keduanya melakukan suatu kurban kepada Allah ﷻ untuk menentukan siapakah di antara keduanya yang berhak mengawini saudara perempuan yang diperebutkan itu. Saat itu Nabi Adam a.s. telah pergi meninggalkan mereka berdua, dia datang ke Mekah untuk ziarah dan melihat Mekah. Allah ﷻ, berfirman, "Tahukah kamu bahwa Aku mempunyai sebuah rumah di bumi ini?" Adam menjawab, "Ya Allah, saya tidak tahu." Allah ﷻ berfirman, "Sesungguhnya Aku mempunyai sebuah rumah di Mekah, maka datangilah."
Kemudian Adam berkata kepada langit, “Jagalah anak-anakku sebagai amanat," tetapi langit menolak; dan ia berkata kepada bumi hal yang serupa, tetapi bumi pun menolak. Maka Adam berkata kepada Qabil. Qabil menjawab, "Ya, pergilah engkau. Kelak bila engkau kembali, engkau akan menjumpai keluargamu seperti yang engkau sukai."
Setelah Adam berangkat, mereka berdua melakukan suatu kurban. Sebelum itu Qabil membanggakan dirinya atas Habil dengan mengatakan, "Aku lebih berhak mengawininya daripada kamu, dia adalah saudara perempuanku, dan aku lebih besar daripada kamu serta akulah yang diwasiati oleh ayahku."
Habil mengurbankan seekor domba yang gemuk, sedangkan Qabil mengurbankan seikat gandum, tetapi ketika ia menjumpai sebulir gandum yang besar di dalamnya, segera dirontokkannya dan dimakannya.
Dan ternyata api turun, lalu melahap kurban Habil, sedangkan kurban Qabil dibiarkan begitu saja (tidak dimakan api). Menyaksikan hal itu Qabil marah, lalu berkata, "Aku benar-benar akan membunuhmu agar kamu jangan mengawini saudara perempuanku." Maka Habil hanya menjawab, "Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa."
Demikianlah yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabbah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibnu Khasyam. Ibnu Juraij mengatakan bahwa ia datang bersama Sa'id ibnu Jubair, lalu Ibnu Khasjam menceritakan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Adam melarang seorang wanita kawin dengan saudara lelaki kembarannya, dan ia memerintahkan agar wanita itu dikawini oleh lelaki lain dari kalangan saudara-saudara lelaki lain yang tidak sekembar dengannya.
Tersebutlah bahwa setiap Nabi Adam mempunyai anak, dari setiap perut lahirlah seorang bayi laki-laki dan seorang bayi perempuan. Ketika mereka (Nabi Adam dan para putranya) menjalankan peraturan tersebut, tiba-tiba lahirlah seorang anak perempuan yang cantik dan lahir pula seorang anak perempuan yang buruk wajahnya (dari lain perut). Lalu saudara lelaki dari wanita yang buruk rupa itu berkata (kepada saudara lelaki wanita yang cantik), "Kawinkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan menikahkanmu dengan saudara perempuanku." Lelaki saudara si perempuan yang cantik menjawab, “Tidak, akulah yang lebih berhak untuk mengawini saudara perempuanku." Maka keduanya melakukan suatu kurban, dan ternyata yang diterima adalah kurban milik peternak, sedangkan kurban milik petani tidak diterima, maka si petani (Qabil) membunuh si peternak (Habil).
Sanad atsar ini jayyid.
Telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Abdullah ibnu Usman ibnu Khasyam, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Ketika keduanya mempersembahkan kurban.” (Al-Maidah: 27) Mereka menyuguhkan kurbannya masing-masing, pemilik ternak menyuguhkan kurban seekor domba putih bertanduk lagi gemuk, sedangkan pemilik lahan pertanian menyuguhkan seikat bahan makanan pokoknya. Maka Allah menerima domba dan menyimpannya di dalam surga selama empat puluh tahun. Domba itulah yang kelak akan disembelih oleh Nabi Ibrahim a.s.
Sanad atsar ini jayyid (baik).
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Abul Mugirah. dari Abdullah ibnu Amr yang telah menceritakan bahwa sesungguhnya kedua anak lelaki Adam yang menyuguhkan kurban, lalu kurban salah seorangnya diterima, sedangkan kurban yang lainnya tidak diterima; salah seorangnya adalah ahli bercocok tanam, sedangkan yang lainnya adalah peternak domba. Keduanya telah diperintahkan untuk mempersembahkan suatu kurban. Sesungguhnya pemilik ternak mengurbankan seekor kambing yang paling gemuk dan paling baik yang ada pada miliknya dengan hati yang tulus ikhlas, tetapi si petani menyuguhkan hasil panennya yang paling buruk yaitu kuz dan zuwwan serta dengan hati yang tidak ikhlas pula. Dan ternyata Allah menerima kurban si pemilik ternak dan tidak mau menerima kurban si petani. Kisah mengenai keduanya disebutkan oleh Allah ﷻ di dalam Al-Qur'an. Ibnu Jarir mengatakan, "Demi Allah, sesungguhnya si terbunuh adalah orang yang lebih kuat. Tetapi karena takut dengan dosa, ia tidak berani menjatuhkan tangannya kepada saudaranya."
Ismail ibnu Rafi' Al-Madani mengatakan bahwa telah dikisahkan kepadaku bahwa kedua anak Adam ketika diperintahkan untuk menyuguhkan kurban salah seorang di antaranya adalah pemilik ternak kambing. Dan tersebutlah bahwa salah seekor dari kambingnya melahirkan cempe (anak kambing) yang sangat ia sukai, sehingga di malam hari anak kambing itu dibawanya tidur bersama, dan ia menggendongnya di atas pundaknya karena sangat sayangnya, sehingga tiada baginya harta benda yang lebih disukainya daripada anak kambing itu. Ketika ia diperintahkan untuk menyuguhkan kurban, anak kambing itu telah besar, maka ia mengurbankannya karena Allah ﷻ. Maka Allah menerimanya, dan kambing itu masih tetap hidup di surga sehingga dijadikan tebusan sebagai ganti anak Nabi Ibrahim a.s. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Ansari, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnul Husain yang telah mengatakan bahwa Adam a.s. berkata kepada Habil dan Qabil, "Sesungguhnya Tuhanku telah menjanjikan kepadaku bahwa kelak di antara keturunanku ada orang yang menyuguhkan kurban, maka suguhkanlah kurban oleh kamu berdua, hingga hatiku senang bila melihat kurban kamu berdua diterima." Lalu keduanya menyuguhkan kurbannya masing-masing, dan tersebutlah bahwa Habil adalah seorang peternak kambing, maka ia mengurbankan seekor kambing yang paling gemuk dan merupakan hartanya yang paling baik. Sedangkan Qabil adalah seorang petani, maka ia mengurbankan hasil terburuk dari panennya. Kemudian Adam berangkat bersama mereka berdua yang masing-masing membawa kurbannya sendiri-sendiri. Lalu keduanya menaiki bukit dan meletakkan kurbannya masing-masing, setelah itu ketiganya duduk seraya melihat ke arah kurban tersebut. Maka Allah mengirimkan api. Setelah api berada di atas kurban mereka, maka kambing kurban itu mendekatinya, dan api segera memakan kurban Habil serta meninggalkan kurban Qabil.
Sesudah itu mereka pulang dan Adam mengetahui bahwa Qabil adalah orang yang dimurkai, maka ia berkata (kepadanya), "Celakalah kamu, wahai Qabil. kurbanmu tidak diterima." Tetapi Qabil menjawab, "Engkau mencintainya dan mendoakan kurbannya. Karena itu kurbannya diterima, sedangkan kurbanku tidak diterima." Lalu Qabil berkata kepada Habil, "Aku benar-benar akan membunuhmu agar aku tenang dari mu. Ayahmu mendoakan dan memberkati kurbanmu, karena itu kurbanmu diterima." Tersebutlah bahwa Qabil selalu mengancam akan membunuh Habil, hingga di suatu sore hari Habil tertahan tidak dapat pulang karena mengurusi ternak kambingnya.
Adam merasa khawatir, lalu ia berkata, "Wahai Qabil, ke manakah saudaramu?" Qabil menjawab, "Apakah engkau menyuruhku untuk menjadi penggembala baginya? Aku tidak tahu." Adam berkata marah, “Celakalah kamu,Qabil, berangkatlah kamu dan cari saudaramu itu." Qabil berkata kepada dirinya sendiri’ “ Malam ini pasti aku akan membunuhnya." Lalu ia mengambil sebuah barang yang tajam dan mendekat ke arah Habil yang saat itu sedang merebahkan tubuhnya.
Maka Qabil berkata, "Wahai Habil, kurbanmu diterima, sedangkan suguhan kurbanku ditolak, aku benar-benar akan membunuhmu." Habil menjawab, "Aku suguhkan kurban itu dari hartaku yang terbaik, sedangkan engkau mengurbankan hartamu yang buruk. Sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah hanya mau menerima dari orang-orang yang bertakwa."
Ketika Habil mengucapkan kata-kata itu, Qabil marah, lalu ia mengangkat benda tajam itu dan ia pukulkan kepada Habil. Habil sempat berkata, "Celakalah kamu, wahai Qabil. Ingatlah kamu kepada Allah, mana mungkin Dia memberimu pahala dengan perbuatanmu ini!" Maka Qabil membunuhnya dan melemparkannya di tanah yang legok, lalu menutupinya dengan tanah.
Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari sebagian orang yang ahli mengenai kitab terdahulu, bahwa Adam memerintahkan kepada putranya yang bernama Qabil untuk menikah dengan saudara perempuan sekembar dengan Habil, dan memerintahkan kepada Habil untuk mengawini saudara perempuan yang lahir bersama Qabil.
Habil menuruti perintahnya dan rela, lain halnya dengan Qabil, ia menolak dan tidak suka kawin dengan saudara perempuan Habil karena ia menyenangi saudara perempuannya sendiri. Lalu ia berkata, "Kami dilahirkan di dalam surga, sedangkan mereka dilahirkan di bumi, maka aku lebih berhak atas saudaraku."
Sebagian ahli ilmu mengenai kitab terdahulu ada yang mengatakan bahwa saudara perempuan Qabil adalah wanita yang cantik, sehingga Qabil tidak mau menyerahkannya kepada saudara lelakinya, dan dia bermaksud untuk mengawininya sendiri. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui, mana yang benar di antara kedua pendapat di atas.
Maka ayahnya berkata kepadanya, "Wahai anakku Qabil, sesungguhnya saudara perempuan kembaranmu itu tidak halal bagimu." Tetapi Qabil menolak perkataan ayahnya itu dan tidak mau menuruti nasihatnya. Akhirnya ayahnya berkata, "Wahai anakku, suguhkanlah kurban. Begitu pula saudara lelakimu Habil. Maka siapa di antara kamu yang diterima kurbannya, dialah yang berhak mengawininya."
Qabil mempunyai mata pencaharian menggarap lahan sawah (petani), sedangkan Habil adalah seorang peternak. Maka Qabil menyuguhkan kurban berupa gandum, dan Habil mengurbankan seekor kambing yang gemuk lagi muda. Menurut sebagian dari mereka, Habil mengurbankan seekor sapi betina. Maka Allah mengirimkan api yang putih, lalu api itu memakan kurban Habil. Sedangkan kurban Qabil dibiarkannya. Dengan demikian, berarti kurban Habil diterima. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan bahwa pada saat itu tidak terdapat orang miskin yang akan diberinya sedekah (dari kurbannya), melainkan kurban tersebut hanya semata-mata dilakukan oleh seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Ketika kedua anak Adam sedang duduk, keduanya mengatakan, "Marilah kita menyuguhkan kurban." Dan tersebutlah bila seseorang menyuguhkan kurbannya, lalu kurbannya itu diterima oleh Allah, maka Allah mengirimkan kepadanya api, lalu api itu memakan kurbannya; jika kurbannya tidak diterima oleh Allah, maka api itu padam. Lalu keduanya menyuguhkan kurbannya masing-masing; salah seorang adalah penggembala, sedangkan yang lainnya petani.
Si peternak menyuguhkan kurban berupa seekor kambing yang paling baik dan paling gemuk di antara ternak miliknya, sedangkan yang lain berkurban sebagian dari hasil tanamannya. Lalu datanglah api dan turun di antara keduanya, maka api itu memakan kambing dan membiarkan hasil panen.
Kemudian anak Adam yang kurbannya tidak diterima berkata kepada saudaranya yang kurbannya diterima, "Apakah nanti kamu berjalan di antara orang banyak, sedangkan mereka telah mengetahui bahwa engkau telah menyuguhkan suatu kurban dan ternyata kurbanmu diterima, sedangkan kurbanku tidak diterima dan dikembalikan kepadaku. Tidak, demi Allah, manusia tidak boleh memandang diriku, sedangkan engkau lebih baik dariku." Kemudian Qabil berkata, "Aku benar-benar akan membunuhmu." Lalu saudaranya menjawab, "Apakah dosaku? Sesungguhnya Allah hanya mau menerima dari orang-orang yang bertakwa."
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir. Atsar ini menyimpulkan bahwa penyuguhan kurban yang dilakukan oleh keduanya bukan karena ada latar belakangnya, bukan pula karena memperebutkan seorang wanita, seperti apa yang telah disebutkan dari riwayat sejumlah ulama yang telah disebutkan di atas. Dan memang inilah pengertian yang bisa disimpulkan dari makna lahiriah firman-Nya yang mengatakan: “Ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil), "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil, "Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa " (Al-Maidah: 27) Konteks ayat ini menunjukkan bahwa sesungguhnya yang membuat Qabil marah dan dengki ialah karena kurban saudaranya diterima, sedangkan kurban dirinya sendiri tidak diterima. Kemudian menurut pendapat yang terkenal di kalangan jumhur ulama, orang yang mengurbankan kambing adalah Habil, sedangkan yang mengurbankan makanan adalah Qabil; dan ternyata kurban Habil diterima, sedangkan kurban Qabil tidak.
Sehingga Ibnu Abbas dan lain-lainnya mengatakan bahwa kambing gibasy itulah yang dijadikan sebagai tebusan bagi diri Nabi Ismail. Pendapat inilah yang lebih sesuai, dan hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Hal yang sama telah dinaskan bukan hanya oleh seorang dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf, dan pendapat inilah yang termasyhur. Akan tetapi, Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Mujahid bahwa ia pernah mengatakan, "Orang yang mempersembahkan kurban berupa hasil tani adalah Qabil, kurbannyalah yang diterima." Pendapat ini berbeda dengan apa yang sudah dikenal, barangkali Ibnu Jarir kurang baik dalam menghafal atsar darinya.
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Al-Maidah: 27)
Yakni dari orang yang bertakwa kepada Allah dalam mengerjakan hal tersebut.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Ala ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ayyasy, telah menceritakan kepadaku Safwan ibnu Amr ibnu Tamim yakni Ibnu Malik Al-Muqri yang telah menceritakan bahwa ia pernah mendengar Abu Darda berkata, "Sesungguhnya bila ia merasa yakin bahwa Allah telah menerima suatu shalat darinya, hal ini lebih ia sukai daripada dunia dan seisinya. Karena sesungguhnya Allah ﷻ telah berfirman: ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa'.” (Al-Maidah: 27).
Dan telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Imran, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Sulaiman yakni Ar-Razi, dari Al-Mugirah ibnu Muslim, dari Maimun ibnu Abu Hamzah yang telah menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di rumah Abu Wail, maka masuklah kepada kami seorang lelaki yang dikenal dengan nama Abu Afif dari kalangan murid Mu'az. Maka Syaqiq ibnu Salamah (yakni Abu Wail) berkata kepadanya, "Wahai Abu Afif, maukah engkau menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Jabal?" Abu Afif menjawab, "Tentu saja mau, aku pernah mendengarnya menceritakan bahwa kelak di saat umat manusia seluruhnya dihimpunkan di suatu padang (mahsyar), maka terdengarlah suara yang menyerukan, 'Di manakah orang-orang yang bertakwa?' Maka mereka berdiri dalam lindungan Tuhan Yang Maha Pemurah, Allah tidak menutupi diri-Nya dari mereka dan tidak pula bersembunyi." Aku bertanya, "Siapakah orang-orang yang bertakwa itu?" Abu Afif menjawab, "Mereka adalah kaum yang menjauhkan dirinya dari kemusyrikan dan penyembahan berhala serta ikhlas dalam beribadah kepada Allah, maka mereka berjalan menuju ke surga."
Ayat 28
Firman Allah ﷻ: "Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah Tuhan seluruh alam.” (Al-Maidah: 28)
Hal ini dikatakan oleh saudaranya yaitu seorang lelaki saleh yang kurbannya diterima oleh Allah karena takwanya, di saat saudaranya mengancam akan membunuhnya tanpa dosa sedikit pun.
“Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu.” (Al-Maidah: 28)
Yakni aku tidak akan membalas perbuatanmu yang jahat itu dengan kejahatan yang serupa, karena akibatnya aku dan kamu menjadi sama berdosanya.
“Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.” (Al-Maidah: 28)
Yaitu bila aku berbuat seperti apa yang hendak kamu perbuat, melainkan aku akan tetap sabar dan mengharapkan pahala Allah.
Abdullah ibnu Amr berkata, "Demi Allah, sesungguhnya dia (si terbunuh) adalah orang yang paling kuat di antara keduanya, tetapi ia dicegah (untuk membalas) oleh perasaan takut berdosa, yakni dia memiliki sifat wara."
Karena itulah di dalam kitab Shahihain dari Nabi ﷺ disebutkan bahwa Nabi ﷺ telah bersabda: “Apabila dua orang muslim saling berhadapan dengan pedangnya masing-masing, maka si pembunuh dan si terbunuh dimasukkan ke dalam neraka (dua-duanya).” Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, kalau si pembunuh kami maklumi. Tetapi mengapa si terbunuh dimasukkan pula ke dalamnya?" Maka Nabi ﷺ menjawab: “Sesungguhnya dia pun berkemauan keras untuk membunuh temannya itu.”
Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Qutaibah ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Al-Laits ibnu Sa'd, dari Ayyasy ibnu Abbas, dari Bukair ibnu Abdullah, dari Bisyr ibnu Sa'id, bahwa Sa'd ibnu Waqqas pernah menceritakan bahwa -sehubungan dengan fitnah di zaman Khalifah Usman- ia menyaksikan Rasulullah ﷺ, bersabda: “Sesungguhnya kelak akan ada fitnah orang yang duduk di masa itu lebih baik daripada orang yang berdiri, dan orang yang berdiri lebih baik daripada orang yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik daripada orang yang berlari.”
Sa'd ibnu Abu Waqqas bertanya, "Bagaimanakah menurutmu jika seseorang masuk ke dalam rumahku, lalu menggerakkan tangannya ke arah diriku untuk membunuhku?" Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Jadilah kamu seperti anak Adam (Habil).”
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, dari Qutaibah ibnu Sa'id; dan Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Sehubungan dengan bab ini terdapat hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Khabbab ibnul Art, Abu Bakar, Ibnu Mas'ud, Abu Waqid, Abu Musa, dan Kharsyah. Sebagian dari hadits ini diriwayatkan dari Al-Al-Laits ibnu Sa'd, dan di dalam sanadnya ditambahkan seorang lelaki. Al-Hafidzh ibnu Asakir mengatakan bahwa lelaki itu adalah Husain Al-Asyja'i. Menurut hemat kami telah diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud melalui jalur Husain Al-Asyja'i.
Abu Dawud mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Khalid Ar-Ramli, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl, dari Ayyasy ibnu Abbas, dari Bukair, dari Bisyr ibnu Sa'id, dari Husain ibnu Abdur Rahman Al-Asyja'i, bahwa ia pernah mendengar Sa'd ibnu Abu Waqqas menceritakan hadits ini dari Nabi ﷺ. Untuk itu ia mengatakan, "Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu jika seseorang masuk ke dalam rumahku, lalu menggerakkan tangannya untuk membunuhku’?” Maka Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Jadilah kamu seperti anak Adam.”
Lalu membacakan firman-Nya: “Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.” (Al-Maidah: 28)
Ayyub As-Sukhtiyani mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang mula-mula mengamalkan ayat ini dari umat ini adalah Usman ibnu Affan , yaitu firman-Nya: “Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah. Tuhan seluruh alam.” (Al-Maidah: 28)
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Marwah, telah menceritakan kepadaku Abu Imran Al-Juni, dari Abdullah ibnus Samit, dari Abu Dzar yang telah menceritakan bahwa Nabi ﷺ mengendarai keledai dan memboncengku di belakangnya, lalu beliau ﷺ bersabda: “Wahai Abu Dzar, bagaimanakah pendapatmu jika manusia tertimpa kelaparan yang sangat hingga kamu tidak mampu bangkit dari tempat tidurmu untuk pergi ke masjidmu, maka apakah yang akan kamu lakukan?" Abu Dzar menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Rasulullah ﷺ menjawab, "Peliharalah kehormatanmu (jangan meminta-minta)." Rasulullah ﷺ bersabda, "Wahai Abu Dzar, bagaimanakah pendapatmu jika manusia tertimpa kematian yang sangat, sehingga rumahnya adalah kuburan, maka apakah yang akan kamu lakukan?" Abu Dzar menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Sabarlah." Lalu ditanya, "Wahai Abu Dzar, bagaimanakah menurutmu, kalau manusia satu sama lainnya saling membunuh, sehingga terjadi banjir darah, maka apakah yang akan kamu lakukan?" Abu Dzar menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Rasulullah ﷺ bersabda, “Duduklah di dalam rumahmu dan kuncilah rapat-rapat pintu rumahmu.” Abu Dzar bertanya, "Bagaimanakah jika aku tidak mau tinggal di rumah?” Rasulullah ﷺ menjawab, "Maka datanglah kepada orang-orang yang kamu adalah sebagian dari mereka, kemudian bergabunglah dengan mereka.” Abu Dzar bertanya "Berarti aku mengangkat senjataku?” Rasulullah ﷺ bersabda, "Kalau demikian, berarti kamu ikut bersama dengan mereka dalam apa yang sedang mereka kerjakan. Tetapi jika kamu merasa takut akan kilatan pedang, maka tutupilah wajahmu dengan ujung kain selendangmu, agar dia (si pembunuh) membawa dosanya sendiri dan dosamu."
Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahlus Sunan, kecuali Imam An-An-Nasai melalui berbagai jalur dari Abu Imran Al-Juni, dari Abdullah ibnus Samit dengan lafal yang sama. Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Hammad ibnu Zaid, dari Abu Imran, dari Al-Musya'as ibnu Tarif, dari Abdullah ibnus Samit dari Abu Dzar dengan lafal yang serupa. Imam Abu Dawud mengatakan bahwa Al-Musya'as tiada yang menyebutkannya dalam hadits ini selain Hammad ibnu Zaid.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnu Duhaim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami Qubaisah ibnu Uqbah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mansur, dari Rib'i yang telah menceritakan, "Ketika kami sedang melayat jenazah Huzaifah, aku mendengar seorang lelaki berkata bahwa ia pernah mendengar jenazah ini mengatakan di antara orang banyak apa yang pernah ia dengar dari Rasulullah ﷺ, yaitu: ‘Sungguh jika kalian saling membunuh, aku benar-benar akan mencari suatu tempat yang paling sulit dicapai di dalam rumahku, dan sungguh aku benar-benar akan bersembunyi di tempat itu. Kalau ada si Fulan yang masuk kepadaku, maka aku akan katakan kepadanya, 'Wahai, inilah dosaku dan dosamu, dan aku akan menjadi seperti salah seorang yang paling baik di antara dua orang anak Adam’!”
Ayat 29
Firman-Nya: “Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 29)
Ibnu Abbas, Mujahid, Adh-Dhahhak, Qatadah, dan As-Suddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri.” (Al-Maidah: 29) Makna yang dimaksud ialah "memikul dosa membunuhku dan dosamu yang lainnya yang kamu lakukan sebelumnya.” Demikianlah menurut Tafsir Ibnu Jarir.
Sedangkan menurut yang lainnya, makna yang dimaksud ialah "sesungguhnya aku bermaksud agar kamu kelak kembali dengan membawa semua dosaku, lalu dosa-dosa itu kamu pikul bebannya dan juga dosamu dalam membunuhku. Ini menurut suatu pendapat yang kujumpai bersumberkan dari Mujahid, tetapi aku merasa khawatir bila ini suatu kekeliruan, mengingat hal yang benar dari riwayatnya berpendapat berbeda.
Yakni berbeda dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Sufyan Ats-Tsauri, dari Mansur, dari Mujahid.
“Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh).” (Al-Maidah: 29)
Yaitu karena kamu telah membunuhku. Dan lafal itsmuka yakni "dosa-dosamu sendiri yang telah kamu lakukan sebelum itu.” Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Isa ibnu Abu Nujai', dari Mujahid.
Syibl telah meriwayatkan dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, sehubungan dengan firman-Nya: “Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh) dan dosamu sendiri.” (Al-Maidah: 29) Makna yang dimaksud ialah bahwa sesungguhnya aku bermaksud agar kamu memikul semua dosa-dosaku dan dosa membunuhku, maka kamu kembali kelak dengan membawa dan memikul kedua dosa itu secara bersamaan.
Menurut hemat kami, telah terjadi suatu kesalahpahaman di kalangan orang banyak mengenai pendapat ini, dan mereka mengetengahkan sehubungan dengannya sebuah hadits yang tidak ada asalnya, yaitu: “Tiada suatu dosa pun yang ditinggalkan oleh si pembunuh atas si terbunuh.”
Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Bazzar telah meriwayatkan sebuah hadits yang serupa dengan hadits di atas, tetapi tidak sama. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Amir ibnu Ibrahim Al-Asbahani, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Atabah ibnu Sa'id, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang telah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Terbunuh dengan sabar, tiada melalui suatu dosa pun melainkan pasti dihapuskan karenanya.” Bila dibandingkan dengan hadits ini, maka hadits di atas tidak shahih; tetapi seandainya memang shahih, maka makna yang dimaksud ialah bahwa Allah menghapuskan dosa-dosa dari diri si terbunuh sebagai imbalan dari merasakan sakitnya mati.
Adapun jika diartikan bahwa dosa-dosanya dipikulkan kepada si pembunuh, maka pengertian ini tidak benar. Akan tetapi, pada sebagian orang kebanyakan pengertian ini sesuai, karena sesungguhnya si terbunuh kelak menuntut si pembunuh di hari peradilan Allah kelak. Maka diambilkan baginya sebagian dari kebaikan si pembunuh sesuai dengan perbuatan zalimnya. Apabila kebaikan si pembunuh telah habis, sedangkan dia masih belum dapat melunasinya, maka diambilkan sebagian dari dosa si terbunuh, lalu dibebankan kepada si pembunuh; dan barangkali si terbunuh tidak lagi mempunyai dosa karena semuanya telah dipikulkan kepada si pembunuhnya.
Ada sebuah hadits shahih yang menyatakan hal ini bersumberkan dari Rasulullah ﷺ dalam masalah seluruh mazalim (perbuatan-perbuatan zalim), sedangkan perbuatan membunuh jiwa merupakan perbuatan zalim yang paling besar dan paling berat, wallahu a'lam.
Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang benar mengenai masalah ini ialah yang mengatakan bahwa takwil ayat adalah seperti berikut, "Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan membawa dosamu karena kamu telah membunuhku." Pengertian inilah yang dimaksud oleh firman-Nya: “Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh).” (Al-Maidah: 29)
Adapun mengenai makna firman-Nya: “Dan dosamu.” (Al-Maidah: 29) maka dosa tersebut adalah dosanya sendiri, seperti berbuat maksiat kepada Allah dalam amal perbuatan yang lain.
Sesungguhnya kami katakan tafsir ini adalah tafsir yang benar, tiada lain karena ulama ahli takwil telah sepakat mengenainya, dan bahwa Allah ﷻ telah memberitahukan kepada kita bahwa "setiap orang yang beramal, maka balasan amalnya adalah untuknya sendiri atau membinasakan dirinya (jika amalnya jahat). Apabila memang demikian ketetapan Allah pada makhluk-Nya, berarti tidak dapat dikatakan bahwa dosa-dosa si terbunuh diambil, lalu dibebankan kepada si pembunuh. Dan sesungguhnya si pembunuh hanya dihukum karena dosanya sendiri, yaitu perbuatan pembunuhan yang diharamkan dan dosa-dosa lainnya yang dikerjakannya sendiri, bukan dosa terbunuh yang dipikulkan atas dirinya. Demikianlah menurut keterangan Ibnu Jarir.
Kemudian Ibnu Jarir mengemukakan suatu hipotesis sehubungan dengan masalah ini, yang kesimpulannya menyatakan "mengapa Habil menginginkan agar saudaranya yaitu Qabil memikul dosa membunuh dirinya dan juga dosa dirinya sendiri, padahal perbuatan membunuh jelas haram. Lalu Ibnu Jarir mengemukakan jawabannya, yang intinya mengatakan bahwa kedudukan Habil menjelaskan perihal dirinya dengan maksud agar Qabil jangan sampai melangsungkan niatnya; jika terjadi pembunuhan, maka bukan dia yang menjadi penyebabnya, melainkan semata-mata atas kehendak Qabil sendiri.
Menurut hemat kami ucapan ini mengandung nasihat bagi Qabil seandainya ia mau menerimanya, dan sebagai peringatan untuknya seandainya dia menyadarinya. Karena itulah Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri.” (Al-Maidah: 29) Yaitu kamu menanggung dosaku dan dosamu sendiri.
“Maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 29)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa Habil menakut-nakuti Qabil dengan siksa neraka tetapi ia tidak takut dan tidak menghiraukannya.
Ayat 30
Firman Allah ﷻ: “Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.” (Al-Maidah: 30)
Yakni maka hawa nafsu Qabil merayu dan memacu dirinya untuk membunuh saudaranya, lalu ia membunuhnya, sesudah saudaranya memberikan nasihat dan peringatan di atas.
Dalam pembahasan yang lalu yaitu dalam riwayat yang bersumberkan dari Abu Ja'far Al-Baqir alias Muhammad ibnu Ali ibnul Husain disebutkan bahwa Qabil membunuh Habil dengan sebuah barang tajam yang digenggamnya. As-Suddi meriwayatkan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas dan dari Murrah ibnu Abdullah, juga dari sejumlah sahabat Nabi ﷺ, bahwa setelah hawa nafsu Qabil mendorongnya untuk membunuh saudaranya, maka ia mencari-cari saudaranya untuk ia bunuh, lalu ia berangkat mencarinya di daerah puncak pegunungan. Kemudian pada suatu hari ia datang kepada saudaranya yang saat itu sedang menggembalakan ternak kambingnya. Ketika Qabil datang, Habil sedang tidur, lalu ia mengangkat sebongkah batu besar, kemudian ia pukulkan ke atas kepala Habil sehingga Habil mati seketika itu juga dan jenazahnya dibiarkan di padang (tanah lapang).
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Diriwayatkan dari sebagian Ahli Kitab bahwa Qabil membunuh Habil dengan mencekik dan menggigitnya, sama halnya dengan hewan pemangsa yang membunuh mangsanya.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ketika Qabil hendak membunuh Habil, maka Qabil membungkukkan lehernya (dengan maksud akan menggigitnya), maka iblis mengambil seekor binatang, lalu meletakkan kepala binatang itu di atas batu, lalu iblis mengambil sebuah batu dan memukulkannya ke kepala binatang itu hingga mati, sedangkan Qabil melihatnya. Lalu ia mempraktekkan hal yang serupa terhadap saudaranya.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan bahwa Abdullah ibnu Wahb telah meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya yang telah menceritakan bahwa Qabil memegang kepala Habil dengan maksud ingin membunuhnya, lalu ia hanya menekan kepalanya tanpa mengerti bagaimana cara membunuhnya. Kemudian datanglah iblis dan bertanya kepadanya, "Apakah kamu hendak membunuhnya?" Qabil menjawab, "Ya." Iblis berkata, "Ambillah batu ini dan timpakanlah ke atas kepalanya." Maka Qabil mengambil batu itu dan menimpakannya ke kepala Habil hingga kepala Habil pecah dan meninggal dunia. Kemudian iblis segera datang menemui Hawa dan berkata, "Wahai Hawa, sesungguhnya Qabil telah membunuh Habil." Maka Hawa berkata kepadanya, "Celakalah kamu, apakah yang dimaksud dengan terbunuh itu?" Iblis menjawab, "Tidak makan, tidak minum, dan tidak bergerak." Hawa menjawab, "Kalau demikian, itu artinya mati." Iblis berkata, "Memang itulah mati." Maka Hawa menjerit, hingga Adam masuk menemuinya ia masih dalam keadaan menangis menjerit.
Lalu Adam mengulangi lagi pertanyaannya, dan Hawa masih tidak menjawab. Maka Adam berkata, "Mulai sekarang kamu dan semua anak perempuanmu menjerit, dan aku serta semua anak lelakiku berlepas diri dari perbuatan itu." Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Firman Allah ﷻ: “Maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.” (Al-Maidah: 30)
Yakni merugi di dunia dan akhirat, dan memang tiada satu kerugian pun yang lebih besar daripada kerugian seperti ini.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dan Waki', keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abdullah, ibnu Murrah, dari Masruq, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang telah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Tiada seorang pun yang terbunuh secara zalim, melainkan atas anak Adam yang pertama tanggungan sebagian dari darahnya, karena dialah orang yang mula-mula mengadakan pembunuhan.”
Hadits ini telah diketengahkan oleh Jamaah selain Imam Abu Dawud melalui berbagai jalur dari Al-A'masy dengan lafal yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepadaku Hajjaj, bahwa Ibnu Juraij telah mengatakan bahwa Mujahid pernah mengatakan, "Salah satu dari kaki si pembunuh itu digantungkan berikut dengan betis dan pahanya sejak hari itu, sedangkan wajahnya dipanggang di matahari dan ikut berputar dengannya ke mana pun matahari bergulir. Pada musim panas terdapat api yang membakarnya dan pada musim dingin terdapat salju yang menyengatnya."
Hajjaj mengatakan bahwa Abdullah ibnu Amr pernah mengatakan, "Sesungguhnya kami benar-benar menjumpai anak Adam si pembunuh ini berbagi azab dengan ahli neraka dengan pembagian yang benar. Azab yang dialaminya adalah separuh dari azab mereka semua."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah, dari Ibnu Ishaq, dari Hakim ibnu Hakim, bahwa ia pernah menceritakan sebuah riwayat dari Abdullah ibnu Amr yang telah berkata, "Sesungguhnya manusia yang paling celaka ialah anak Adam yang membunuh saudaranya (yakni Qabil), tiada setetes darah pun yang dialirkan di bumi ini sejak dia membunuh saudaranya sampai hari kiamat, melainkan ia kebagian dari siksanya. Demikian itu karena dialah orang yang mula-mula melakukan pembunuhan."
Ibrahim An-Nakhai mengatakan bahwa tiada seorang pun yang terbunuh secara zalim, melainkan anak Adam yang pertama dan iblis ikut bertanggung jawab terhadapnya. Hal ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir.
Ayat 31
Firman Allah ﷻ: “Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia harus menguburkan jenazah saudaranya. Berkata Qabil, ‘Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?’ Karena itu, jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.” (Al-Maidah: 31)
As-Suddi telah meriwayatkan dalam sanad yang terdahulu sampai kepada para sahabat, bahwa ketika anak itu (Habil) meninggal dunia, maka pembunuhnya meninggalkannya di tanah lapang, tanpa mengetahui bagaimana cara menguburnya. Maka Allah menyuruh dua ekor burung gagak yang bersaudara, lalu keduanya saling baku hantam hingga salah satunya mati, kemudian burung gagak yang menang menggali sebuah galian, lalu tubuh saudaranya itu dimasukkan ke dalam galian itu dan diurug dengan tanah.
Ketika anak Adam si pembunuh itu melihatnya, ia berkata, seperti yang disitir oleh firman-Nya: “Aduhai, celakalah aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” (Al-Maidah: 31)
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa seekor burung gagak datang kepada seekor burung gagak lainnya yang telah mati, lalu ia mengurug tubuhnya dengan tanah hingga tertimbun.
Maka berkatalah orang yang telah membunuh saudaranya itu: “Aduhai, celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” (Al-Maidah: 31)
Ad-Dhahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Qabil menggendong tubuh saudaranya yang ia masukkan ke dalam sebuah karung di atas pundaknya selama satu tahun, hingga Allah menyuruh dua ekor burung gagak. Qabil melihat kedua ekor burung gagak itu menggali-gali di tanah, maka berkatalah Qabil: “Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini?” (Al-Maidah: 31) Lalu ia menguburkan mayat saudaranya.
Al-Laits ibnu Abu Sulaim telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa Qabil menggendong mayat saudaranya di atas pundaknya selama seratus tahun, tanpa mengerti apa yang harus ia lakukan terhadapnya; bila lelah, ia meletakkannya di tanah, hingga ia melihat seekor burung gagak mengubur seekor burung gagak lainnya yang telah mati. Setelah menyaksikan pemandangan itu, “dia berkata: ‘Aduhai, celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini’?” Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal. (Al-Maidah: 31)
Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan ibnu Jarir.
Atiyyah Al-Aufi mengatakan bahwa tatkala Qabil membunuh Habil, maka Qabil menyesali perbuatannya itu, lalu ia memeluk tubuh saudaranya yang telah mati itu hingga berbau, sedangkan burung-burung dan hewan-hewan pemangsa menunggu-nunggu di sekitarnya kapan ia membuang jenazah saudaranya, sebab mereka akan memakannya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari sebagian ahli ilmu mengenai kitab terdahulu, bahwa setelah Qabil membunuhnya, maka ia tertegun kebingungan tanpa mengetahui apa yang akan dilakukan terhadap mayat saudaranya dan bagaimana cara menguburnya. Itu karena hal tersebut, menurut dugaan mereka, merupakan peristiwa pembunuhan yang pertama kalinya di kalangan Bani Adam dan juga permulaan orang yang mati, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya: “Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil, ‘Aduhai, celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?’ Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.” (Al-Maidah: 31)
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, ahli kitab Taurat menduga bahwa ketika Qabil telah membunuh saudaranya Habil, Allah ﷻ berfirman kepadanya,"Wahai Qabil, di manakah saudaramu Habil?" Qabil menjawab, ''Saya tidak mengetahui, saya bukan orang yang ditugaskan untuk menjaganya." Allah berfirman, "Sesungguhnya darah saudaramu memanggil-manggil-Ku dari bumi sekarang. Kamu orang yang terlaknat di muka bumi yang telah membukakan mulutnya, lalu menelan darah saudaramu yang diakibatkan dari ulah tanganmu. Maka jika kamu bekerja di lahanmu, bumi tidak mau lagi memberikan tanamannya kepadamu, sehingga kamu menjadi ketakutan dan tersesat mengembara di bumi."
Ayat 31
Firman Allah ﷻ: “Karena itu, jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.” (Al-Maidah: 31)
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa Allah meliputinya (Qabil) dengan penyesalan dan kerugian.
Demikianlah menurut pendapat mufassirin sehubungan dengan kisah ini, mereka semua sepakat bahwa para pelakunya adalah kedua anak Adam, seperti yang tersiratkan dari makna lahiriah Al-Qur'an; juga seperti apa yang disebutkan oleh sabda Rasulullah ﷺ: “Melainkan anak Adam yang pertama ikut bertanggung jawab atas pembunuhan itu, karena dialah orang yang mula-mula melakukan pembunuhan.” Hal ini jelas dan gamblang.
Tetapi Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Yusuf, dari Amr, dari Al-Hasan yaitu Al-Basri yang mengatakan bahwa kedua orang lelaki yang disebutkan di dalam Al-Qur'an melalui firman-Nya: “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua anak Adam menurut yang sebenarnya.” (Al-Maidah: 27) adalah dua orang lelaki dari kalangan Bani Israil, bukan kedua putra Adam yang sesungguhnya, mengingat persembahan kurban hanya dilakukan oleh kalangan Bani Israil. Dan Nabi Adam adalah manusia yang mula-mula meninggal dunia.
Riwayat ini aneh sekali, dan dalam sanadnya masih perlu ada yang dipertimbangkan lagi, karena sesungguhnya Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Al-Hasan, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya kedua putra Adam a.s. telah memberikan suatu contoh bagi umat ini, maka ambillah oleh kalian yang terbaik dari keduanya.”
Ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari ‘Ashim Al-Ahwal, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah telah membuat suatu perumpamaan untuk kalian melalui kedua putra Adam, maka ambillah oleh kalian contoh yang baik dari mereka dan buanglah oleh kalian contoh yang buruk dari mereka.”
Hal yang sama telah diriwayatkan secara mursal oleh Bukair Ibnu Abdullah Al Muzanni yang semuanya itu diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Salim ibnu Abul Ja'd mengatakan bahwa setelah anak Adam membunuh saudaranya, Nabi Adam tinggal selama seratus tahun dalam keadaan sedih, tidak tertawa sama sekali. Kemudian didatangi dan dikatakan kepadanya, "Semoga Allah menghidupkanmu dan membuatmu bahagia." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah, dari Gayyas ibnu Ibrahim, dari Abu Ishaq Al-Hamdani yang telah mengatakan bahwa Ali ibnu Abu Thalib pernah berkata, “Setelah anak Adam membunuh saudaranya, maka Adam menangisinya, dan mengatakan: 'Negeri-negeri dan semua penduduknya telah berubah, kini warna bumi menjadi kelabu lagi buruk, semua yang berwarna kini telah layu dan berubah rasanya serta jarang wajah cantik yang berseri.’ Kemudian Adam dijawab: ‘Wahai ayah Habil, kini keduanya telah terbunuh, dan kehidupan kini menjadi sembelihan kematian, maut datang dengan kejahatannya, padahal dahulunya maut masih dalam keadaan takut, tetapi kini ia datang kepada kehidupan dengan suara lantangnya’.”
Menurut lahiriahnya Qabil disegerakan azabnya, seperti yang telah disebutkan oleh Mujahid dan Ibnu Jubair: kakinya digantung ke atas sejak hari ia melakukan pembunuhan, dan Allah menjadikan wajahnya menghadap ke arah matahari serta ikut berputar bersamanya sebagai azab dan pembalasan untuknya.
Di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Tidak ada suatu dosa pun yang lebih layak disegerakan azabnya oleh Allah di dunia berikut azab di akhirat yang telah disediakan oleh Allah buat pelakunya selain dari baghyu (pembunuhan) dan memutuskan tali silaturahmi.”
Sedangkan kedua perbuatan tersebut telah terhimpunkan di dalam perbuatan Qabil. Maka kami hanya dapat mengatakan bahwa sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kami semua akan kembali.
Setelah Allah mengisahkan kedurhakaan Bani Israil, pada ayat ini diceritakan pula tentang kedengkian salah seorang putra Nabi Adam. Kisah ini diawali dengan perintah kepada Nabi Muhammad untuk mengisahkannya. Dan ceritakanlah, wahai Muhammad, yang sebenarnya kepada mereka, yaitu kaum Yahudi, tentang kisah kedua putra Adam, yaitu Qabil dan Habil, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka kurban yang dipersembahkan dengan penuh keikhlasan oleh salah seorang dari mereka berdua, yaitu Habil, diterima, dan dari yang lain, yaitu Qabil, tidak diterima. Dia, Qabil, menjadi tidak senang dengan kenyataan ini dan kemudian berkata, Sungguh, aku pasti akan membunuhmu! Mendengar ancaman ini, dia, Habil, berkata, Sesungguhnya Allah hanya menerima amal perbuatan dari orang yang bertakwa. Selanjutnya Habil mengatakan, Sungguh, jika engkau memang benar-benar berniat untuk menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, maka ketahuilah bahwa aku tidak akan membalas dengan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku sangat takut kepada murka dan ancaman Allah bila melakukan perbuatan itu. Dialah Allah, Tuhan seluruh alam.
Kepada Nabi Muhammad ﷺ diperintahkan untuk membacakan kisah kedua putra Adam a.s. di waktu mereka berkurban, kemudian kurban yang seorang diterima sedang kurban yang lain tidak. Orang yang tidak diterima kurbannya bertekad untuk membunuh saudaranya, sedang yang diancam menjawab bahwa ia menyerah kepada Allah, karena Allah hanya akan menerima kurban dari orang-orang yang takwa.
Menurut riwayat Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan lain-lain, bahwa putra Adam yang bernama Qabil mempunyai ladang pertanian dan putranya yang bernama Habil mempunyai peternakan kambing. Kedua putra Adam itu mempunyai saudara kembar perempuan. Pada waktu itu Allah mewahyukan kepada Adam agar Qabil dikawinkan dengan saudara kembarnya Habil. Dengan perkawinan itu Qabil tidak senang dan marah, saudara kembarnya lebih cantik. Keduanya sama-sama menghendaki saudara yang cantik itu. Akhirnya Adam menyuruh Qabil dan Habil agar berkurban guna mengetahui siapa di antara mereka yang akan diterima kurbannya. Qabil berkurban dengan hasil pertaniannya dan yang diberikan bermutu rendah, sedang Habil berkurban dengan kambing pilihannya yang baik. Allah menerima kurban Habil, yang berarti bahwa Habil-lah yang dibenarkan mengawini saudara kembar Qabil. Dengan demikian bertambah keraslah kemarahan dan kedengkian Qabil sehingga ia bertekad untuk membunuh saudaranya. Tanda-tanda kurban yang diterima itu ialah kurban itu dimakan api sampai habis.197)
Dari peristiwa yang terjadi ini dapat diambil pelajaran bahwa apa yang dinafkahkan seharusnya tidak sekedar untuk mengharapkan pujian dan sanjungan tetapi hendaklah dilakukan dengan ikhlas agar diterima oleh Allah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 27
“Dan bacakanlah kepada mereka berita dua orang Anak Adam dengan benar. “
Sekarang Rasulullah ﷺ disuruhkan menyampaikan cerita yang benar dari hal dua orang anak Adam. Disebut yang benar, yaitu yang tidak dilebih-lebihi, karena ini bukan cerita roman, bukan dongeng. Tetapi suatu kisah betapa hebatnya pengaruh dengki atas diri manusia, sehingga mau membunuh saudara kandung sendiri.
Dua orang anak Adam itu, menurut jum-hur (golongan terbesar) ahli tafsir, ialah benar-benar anak kandung dari Nabi Adam a.s„ Tetapi menurut tafsiran dari al-Hasan, dua anak Adam itu ialah dari Bani Israil juga. Sebab sudah biasa disebutkan dari zaman dahulu sampai sekarang bahwa manusia itu ialah anak Adam belaka. Ayat di dalam Al-Qur'an ini tidak menyebut nama keduanya, yaitu Qabil dan Habil; yang jadi pembunuh ialah Qabil. Dalam Perjanjian Lama Kitab Kejadian disebut namanya Kahin dan Habil. Yang tertua adalah Qabil atau Kahin itu.
“Tatkala keduanya mengurbankan akan sesuatu kurban." Keduanya mengadakan kurban untuk Allah. Kalimat Kurban dari kata kurb, artinya dekat. Berkurban maksudnya ialah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam syari'at Islam ada peraturan kurban yang kita lakukan ketika Hari Raya Haji, baik di Mekah atau di mana juga kita berada di dunia ini. Orang Yahudi juga mempunyai peraturan kurban dengan membakar anak sapi muda dan kambing yang tidak ada cacatnya, untuk memohon ampunan dosa. Mereka mempunyai bermacam-macam cara kurban. Adapun bagi orang Nasrani menurut kepercayaan mereka, yang diajarkan oleh Paulus, dengan datang Isa al-Masih mengurbankan diri buat disalib menebus dosa manusia, tergantilah segala Kurban Yahudi itu.
Tetapi mereka masih mempunyai perlambangan kurban, yaitu pembagian roti dan anggur dalam upacara sembahyang, dengan kepercayaan bahwa roti ini benar-benar menjadi daging Yesus dan anggur benar-benar men-jadi darahnya. Menilik bunyi ayat ini, bahwa kedua anak Adam itu mengurbankan suatu kurban, bolehlah diartikan bahwa keduanya berkongsi mengemukakan suatu kurban atau mungkin juga sendiri-sendiri tetapi bersama-sama, “Maka diterima dari yang seorang dari mereka berdua dan tidak diterima dari yang seorang lagi “
Menurut riwayat lbnu Abbas dan Ibnu Umar dan beberapa sahabat yang lain yang seorang adalah pengembala dan yang seorang adalah petani. Ada pun yang mengembala— kata riwayat Ibnu Abbas itu—dipilihnya kambingnya yang gemuk sehat, tambun, yang hatinya sendiri senang mengurbankannya. Tetapi yang petani, dipilihnya untuk kurban hasil ladangnya yang tidak berarti, yang dia sendiri pun merasa tidak ada harganya buat dimakan atau dijual, itulah yang dikurbankannya. Maka yang diterima oleh Allah ialah kurban yang bagus itu. Menurut setengah tafsir datang api dari langit memakannya. Tetapi tafsir begini bermacam-macam pula, ada wa qila —"menurut kata orang", sehingga bertemu bau-bau israiliyat. Sedang dari hadits yang shahih tidak bertemu. Mungkin sekali alamat dikabulkan Allah ialah dengan wahyu yang disampaikan kepada Adam bahwa kurban putranya diterima. Maka karena kurban saudaranya diterima, sedang kurbannya sendiri tidak, si petani tadi marah dan dengki. Dan tidak memikirkan kesalahannya sendiri, hanya dengki karena persembahan kurbannya tidak diterima Allah. Oleh karena sangat dengki
dan marahnya diancamnyalah saudaranya itu, “Berkata dia, Sungguh, engkau akan aku bunuh!" ulah puncak kemarahan karena benci dan dengki. Tetapi saudaranya menyambut dengan tenang, memberi ingat,
“Menjawab dia, Yang diterima oteh Allah hanyalah yang dari orang-orang yang bertakwa"
Janganlah engkau marah-marah kepadaku, periksalah terlebih dahulu salahmu sendiri, mungkin engkau memberikan kurban itu bukan dari hatimu yang tulus ikhlas, sehingga kurbanmu tidak diterima Allah. Janganlah engkau marah-marah, tetapi kembalilah memperbaiki niat, dan tegakkanlah takwa dan ketulusan kepada Allah. Niscaya kalau engkau berkurban lagi, kurbanmu itu akan diterima Allah.
Ayat 28
“Sesungguhnya jika engkau melepaskan tangan engkau karena hendak membunuh aku, tidaklah aku akan melepaskan tanganku kepada engkau karena hendak membunuh engkau."
Artinya, maksudmu yang jahat dan berbahaya itu tidak akan aku sambut dengan jahat pula. Jika engkau benci kepadaku, aku sendiri sayang kepadaku. Jika engkau hendak melekatkan tangan, namun aku tidak hendak membalas, sebab engkau adalah saudara kandungku sendiri. Sehendaknya bukan kepadaku engkau marah karena kurbanku diterima, tetapi perbaikilah pendirianmu supaya kurbanmu diterima pula. Aku tidak sekali-kali ada niat jahat kepada engkau jika engkau berniat jahat kepadaku,
“Kanena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Allah sarwa sekalian alam"
Allah kitalah yang menciptakan seluruh alam, termasuk engkau dan aku. Semuanya dalam perlindungan Allah dan hidup rukun dan damai.
Niscaya kalau aku membunuh engkau, Allah sarwa sekalian alam itu akan sangat murka kepadaku. Allah memberi hidup, mengapa aku akan membunuh? Di dalam ayat ini ditegaskan bahwa yang dikabulkan kurbannya itu sekali-kali tidak ada niat hendak membunuh.
Ayat 29
Sesungguhnya aku mau engkau pikul dosaku dan dosamu."
Artinya, jika aku mau membunuh engkau pula, sebagian niatmu membunuhku, ialah supaya engkau urungkan niatmu membunuhku itu. Sebab dengan dosa membunuhku itu, kelak terkumpullah padaku dua dosa, dosa membunuhmu dan dosa karena hatimu yang tidak ikhlas, sehingga kurbanmu tidak diterima Allah. Ini menurut tafsir Ibnu Abbas,
Ada pun tafsir yang lain ialah bahwa seorang yang telah berdosa membunuh orang lain, maka dosa orang yang dibunuhnya itu pun akan ditanggung juga oleh yang membunuhnya. Dan kalau maksudmu itu engkau teruskan juga,
“Lalu engkau jadi ahli neraka, dan demikian itulah balasan bagi orang-orang yang zalim."
Kalau jadi engkau bunuh, engkau memikul dua dosa, dosa hati tidak ikhlas kepada Allah dan dosa membunuh saudara sendiri, maka masuk neraka engkau, sebab membunuh adalah aniaya yang sangat besar, melenyapkan jiwa seorang manusia yang berhak dibiarkan hidup.
Dengan demikian engkau jadi ahli neraka sebab aniaya.
Ayat 30
‘Tetapi lelah memudahkan kepadanya nafsunya membunuh saudaranya, lalu dibunuhnyalah dia,"
Artinya nafsu angkara-murkanya tidak dapat dikendalikannya lagi, sehingga rayuan yang merawankan hati dari saudaranya tadi, tidak didengarnya lagi. Yang didengarnya
hanyalah suara nafsu, sehingga dibunuhnya jualah saudaranya.
“Maka jadilah dia dari golongan orang-orang yang rugi."
Niscaya setelah dibunuhnya saudaranya itu hingga mati, dan bangkainya telah terhantar di tanah berlumuran darah, timbullah sesal. Sebab gelora nafsu sudah lepas, di sana baru terasa bahwa diri sudah rugi; adik kandung telah mati, awak berdua tinggal seorang. Tentu dia telah rugi, sebab saudara kandung tak ada lagi.
Setelah mayat terhantar tidak tentu lagi apa yang akan dibuat. Kian lama tentu kian mengerikan dan bahkan meremukkan pikiran; apakah yang akan dilakukan terhadap bangkai itu? Tadi dia masih hidup, sekarang hidup itu tidak ada lagi. Tadi dia masih berkata, sekarang sudah diam buat selamanya. Akan dikemanakan bangkai ini. Niscaya bertambah lama dia akan bertambah busuk.
Menjadi pertandalah ayat ini bahwa inilah pembunuhan yang mula-mula dilakukan manusia. Yang belum tahu bagaimana cara mengubur bangkai.
Ayat 31
“Maka dikirim Allah-lah seekor gagak mengorek-ngorek di bumi, untuk memperlihatkan kepadanya bagaimana menguburkan bangkai saudaranya itu."
Menilik ayat ini bertambah kuatlah penafsiran jumhur bahwa kedua orang ini benarlah anak Adam sebagai manusia pertama. Setelah saudaranya jadi bangkai, tidak tahu dia akan dikemanakan bangkai ini. Datang seekor gagak mengorek-ngorek tanah; mencari-cari makanan, kemudian setelah menggali-gaii itu biasanya ditimbunnya kembali. Waktu melihat itu, barulah si pembunuh tahu bagaimana cara menguburkan bangkai itu,
“Berkata dia, “Wahai celakanya aku! Lemahkah aku bahwa akan ada seumpama gagak ini, buat menimbun bangkai saudaraku" Melihat gagak mengorek-ngorek dan menggali* gali tanah dan menimbun-nimbun; berkatalah dia kepada dirinya bahwa seorang yang celakalah dia, kalau kiranya dia tidak dapat meniru gagak itu pula, mengorek tanah dan menimbuni, supaya bangkai saudaranya dapat dikuburkannya. Maka ditirunyalah perbuatan gagak itu, dicarinya penggali pengorek tanah, sampai ada lubang, lalu saudaranya dia kuburkan, dan setelah saudaranya terkubur, dan dia tidak kelihatan lagi, timbullah sesal,
“Maka jadilah dia dari orang-orang yang menyesali."
Setelah bangkai terkubur, timbullah sesal yang tidak berkesudahan. Seorang manusia telah mati, saudara kandung sendiri telah mati. Niscaya teringat kembali kata-katanya merayu-rayu tadi, janganlah niat yang jahat itu diteruskan. Tetapi apalah faedahnya sesal lagi, yang mati sudah tak dapat dihidupkan.
Apabila kita lihat pada beberapa kitab tafsir, bertemulah beberapa keterangan yang di dalam ayat sendiri tidak terdapat, dan hadits yang shahih dari Nabi pun tidak ada pula yang menguatkannya, sehingga ketika menyusun tafsir ini tidaklah tafsir demikian kita jadikan pegangan yang kuat kukuh.
Di antara tafsir itu mengatakan bahwa sebab asal-usul perkelahian di antara kedua saudara itu ialah soal perempuan. Kononnya tiap nenek kita Siti Hawa melahirkan anak selalu kembar, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Hanya seorang anaknya lahir yang sendiri, yaitu Syits, yang kemudian menjadi nabi. Oleh Nabi Adam, kalau anak-anak itu telah dewasa, dikawinkannya anak yang laki-laki dengan anak perempuan yang bukan sama lahir dengan dia. Tetapi rupanya anak yang bernama Qabil jatuh cinta kepada saudara kembarnya, namanya Iqlima, padahal dia dijodohkan oleh Nabi Adam dengan saudara kembar adiknya Habil yang bernama Leodza, dan meminta Iqlima yang dijodohkan ayahnya dengan Habil.
Ditambah lagi dalam tafsir itu bahwa si Qabil sangat dengki kepada saudaranya, sebab kurban saudaranya diterima dan kurbannya tidak. Akhirnya sedang saudaranya dalam enak tidur di pinggir gunung berlepas lelah—sesudah menggembalakan kambing-kambingnya—ditimpanyalah dengan batu hingga pecah kepalanya dan mati. Dia pun menyesal karena perbuatannya itu, dan tidak tahu bagaimana cara menguburkannya. Tersebut dalam tafsir itu bahwa hinggaplah ke bumi dua ekor gagak, lalu berkelahi. Yang satu mati dibunuh kawannya, lalu gagak yang tinggal itu menggali-gali tanah sampai dalam. Setelah itu dibawanya gagak yang mati itu ke dalam lobang yang digalinya itu, lalu ditimbunnya. Perbuatan ini dicontoh oleh Qabil.
Beberapa tafsir yang kita baca menerangkan bahwa tafsir ini adalah dari Ibnu Mas'ud dan beberapa sahabat Nabi yang lain. Penafsiran yang datang kemudian menyalin cerita itu betapa adanya.
Tetapi penafsir Abu Muslim al-lshbahani menyatakan pendapatnya bahwa tafsir demikian tidak kuat buat dipegang. Pertama, karena tidakada tafsiran langsung seperti itu dari Nabi, Mungkin sekali tafsiran ini termasuk Israiliyat, dongeng-dongeng Bani Israil saja, diterima betapa adanya oleh Abdullah bin Mas'ud dan diceritakannya pula. Dan lagi terang, di dalam ayat diterangkan bahwa gagak yang datang menggali tanah itu bukan dua ekor, melainkan satu ekor. Tidak ada dalam ayat disebutkan dua ekor gagak hinggap ke tanah lalu berkelahi, dan setelah yang satu tinggal hidup, lalu yang tinggal hidup itu menggali tanah buat mengubur kawannya. Maka tidaklah mengapa pada pendapat penulis Tafsir al-Azhar ini jika tafsiran itu—meskipun terdapat dalam banyak kitab tafsir—jika tidak dijadikan pokok. Sebab banyaknya terdapat di kitab-kitab tafsir bukanlah berarti bahwa berita itu datang dari
banyak sumber. Sumbernya hanya satu, lalu penafsir yang datang kemudian menyalin dan menyalin lagi, sehingga menjadi banyak.
Ayat 32
“Oleh karena itu Kami wajibkanlah kepada Bani Israil, bahwa barangsiapa yang membunuh seseorang, yang bukan karena membunuh (pula)"
Artinya, oleh karena dosa besar membunuh manusia—yang telah dimulai teladan buruk itu oleh anak Adam kepada saudaranya itu—maka Kami pun menentukan suatu peraturan bagi Bani Israil. Bahwa barangsiapa yang membunuh sesamanya manusia, yang bukan karena orang yang dibunuhnya itu telah bersalah membunuh orang pula, yaitu dibunuh karena perintah hakim; “Atau berbuat kerusakan di bumi."Yaitu mengacau keamanan, menyamun, dan merampok, memberontak kepada imam yang adil, mendirikan gerombolan pengacau, merampas harta benda orang, membakar rumah dan sebagainya; “Maka seakan-akan adalah dia telah membunuh manusia semuanya." Ketegasan ayat ini ialah bahwa seorang pembunuh dan perusak ketertiban umum dan keamanan, samalah perbuatannya itu dengan membunuh semua manusia. Sebab dengan demikian manusia tidak merasa aman dan tidak merasa terjamin lagi hak hidupnya, lalu lintas ekonomi, dan hubungan antara daerah terputus sendirinya, sebab orang merasa takut.
“Dan barangsiapa yang menghidupkannya, maka adalah dia seakan-akan menghidupkan manusia semuanya." Tegasnya, apabila setiap kita ini telah menjaga kehidupan orang lain, tentu saja seluruh masyarakat jadi hidup. Bebas dari rasa takut dan kecemasan. Oleh sebab itu, jika kita melihat mendamaikan orang itu, supaya jangan terjadi pertumpahan darah, jangan ada yang tercabut nyawanya, hilang hidupnya di luar ketentuan undang-undang. Sehingga di dalam hukum agama Islam apabila ada seseorang dikejar oleh orang yang hendak membunuhnya, lalu orang itu bersembunyi ke dalam rumah kita, dan kita lindungi. Maka kalau orang yang mengejar itu bertanya apakah dia bersembunyi di sini, kita boleh berdusta mengatakan dia tidak ada di sini, supaya nyawa orang yang kita sembunyikan itu terpelihara. Malahan boleh dipastikan lagi, bahwa bukan saja boleh, bahkan dia wajib berdusta ketika itu.
Dapatlah kita pahamkan pada ayat ini bahwasanya memelihara nyawa sesama manusia menjadi fardhu ‘ain, menjadi tanggung jawab pribadi bagi masing-masing kita, guna menjaga keamanan hidup bersama.
Timbul pertanyaan, “Mengapa di dalam ayat ini hanya dikhususkan kepada Bani Israil? Padahal dia adalah untuk seluruh perikemanusiaan?"
Kalau sudah direnungi lebih dalam, tentu sudah diketahui bahwa jarak di antara zaman Bani Israil dengan kedua anak Nabi Adam berkelahi itu sudah sangat jauh, memakan waktu beribu tahun. Tidaklah mungkin per-aturan ini baru berlaku kalau kepada Bani israil tersebab dari kejadian itu. Sudah banyak kejadian pembunuhan kepada sesama manusia di antara zaman kedua anak Adam dengan Bani Israil.
Hal ini ditekankan kepada Bani Israil, ialah tersebab khitab (tujuan ayat) sedang dihadapkan kepada mereka. Diperingatkan bahwa membunuh seseorang, atau membuat kerusuhan di bumi, samalah dengan mem-bunuh manusia semuanya. Sebab Bani Israil di zaman itu mudah benar membunuh-bunuh orang karena dengki dan karena melepaskan sakit hati. Malahan nabi-nabi sendiri banyak yang mereka bunuh. Nabi Muhammad ﷺ pun pernah mereka coba hendak bunuh. Ketika Rasulullah datang ke desa bani Nadhir, nyaris beliau mereka bunuh dengan menjatuhkan lesung batu dari puncak sutuh rumah. Ketika terjadi kekalahan mereka di Peperangan Khaibar, seorang perempuan Yahudi pernah menghidangkan paha kambing yang dibubuhi racun untuk beliau. Syukur beliau lekas tahu dan lekas beliau ludahkan. Tetapi beberapa orang sahabat Rasulullah mati karena korban racun itu. Sehubungan dengan kesukaan membunuh nabi-nabi itu datanglah sambungan ayat,
“Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami, dengan berbagai keterangan “ Artinya telah banyak rasul Allah diutus kepada Bani Israil itu, membawakan keterangan-keterangan untuk menuntun dan menunjukkan jalan yang benar, nasihat dan pimpinan yang berharga, “Kemudian itu"Yaitu sesudah kedatangan rasul-rasul itu, “,Sesungguhnya kebanyakan di antara mereka." Dengan menyebut, “Kebanyakan di antara mereka," Allah menunjukkan sifat adil-Nya. Yaitu ada juga yang tidak ikut, sebab ada juga di antara mereka yang baik, “,Sesudah yang demikian itu." Artinya sesudah keterangan-keterangan diberikan,
“Di atas bumi ini melewati batas."
Dengan menyebut di dalam bumi ini melewati batas, Allah telah memberikan isyarat bahwa kekuasaan mutlak di antara bumi ini hanya ada di tangan Allah. Manusia hanya menumpang di atas bumi ini, dan itu pun hanya buat sementara saja. Apabila batas-batas yang ditentukan Allah itu dilewatinya, yang akan ragu bukanlah orang lain, melainkan dirinya sendiri jua. Karena bagaimana pun dia mencoba hendak melewati batas yang ditentukan untuk dirinya sebagai manusia, namun pasti dia terbentur kepada kekuasaan mutlak kepunyaan Allah itu.