Ayat
Terjemahan Per Kata
وَمِمَّنۡ
dan diantara orang
حَوۡلَكُم
sekelilingmu
مِّنَ
dari
ٱلۡأَعۡرَابِ
orang-orang Arab dusun
مُنَٰفِقُونَۖ
orang-orang munafik
وَمِنۡ
dan dari
أَهۡلِ
penduduk
ٱلۡمَدِينَةِ
Madinah
مَرَدُواْ
mereka berlebih-lebihan
عَلَى
atas
ٱلنِّفَاقِ
kemunafikan
لَا
tidak
تَعۡلَمُهُمۡۖ
kamu mengetahui mereka
نَحۡنُ
Kami
نَعۡلَمُهُمۡۚ
Kami mengetahui mereka
سَنُعَذِّبُهُم
akan Kami siksa mereka
مَّرَّتَيۡنِ
dua kali
ثُمَّ
kemudian
يُرَدُّونَ
mereka dikembalikan
إِلَىٰ
kepada
عَذَابٍ
azab/siksa
عَظِيمٖ
yang besar
وَمِمَّنۡ
dan diantara orang
حَوۡلَكُم
sekelilingmu
مِّنَ
dari
ٱلۡأَعۡرَابِ
orang-orang Arab dusun
مُنَٰفِقُونَۖ
orang-orang munafik
وَمِنۡ
dan dari
أَهۡلِ
penduduk
ٱلۡمَدِينَةِ
Madinah
مَرَدُواْ
mereka berlebih-lebihan
عَلَى
atas
ٱلنِّفَاقِ
kemunafikan
لَا
tidak
تَعۡلَمُهُمۡۖ
kamu mengetahui mereka
نَحۡنُ
Kami
نَعۡلَمُهُمۡۚ
Kami mengetahui mereka
سَنُعَذِّبُهُم
akan Kami siksa mereka
مَّرَّتَيۡنِ
dua kali
ثُمَّ
kemudian
يُرَدُّونَ
mereka dikembalikan
إِلَىٰ
kepada
عَذَابٍ
azab/siksa
عَظِيمٖ
yang besar
Terjemahan
Di antara orang-orang Arab Badui yang (tinggal) di sekitarmu ada orang-orang munafik. (Demikian pula) di antara penduduk Madinah (ada juga orang-orang munafik), mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Engkau (Nabi Muhammad) tidak mengetahui mereka, tetapi Kami mengetahuinya. Mereka akan Kami siksa dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.
Tafsir
(Di antara orang-orang yang di sekeliling kalian) hai penduduk Madinah (dari kalangan orang-orang Arab badui ada orang-orang munafik) seperti orang-orang kabilah Aslam, kabilah Asyja` dan kabilah Ghiffar (dan juga di antara penduduk Madinah) ada orang-orang munafik pula. (Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya) artinya kemunafikan mereka telah mendalam dan sudah mengakar di hati mereka. (Kamu tidak mengetahui mereka) hai Muhammad (tetapi Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali) dengan terungkapnya kemunafikan mereka, atau dibunuh di dunia dan disiksa di alam kubur (kemudian mereka akan dikembalikan) di akhirat nanti (kepada azab yang besar) yaitu siksa neraka.
Tafsir Surat At-Taubah: 101
Dan di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu ada orang-orang munafik, dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka. Kami yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.
Allah ﷻ memberitahukan kepada Rasul-Nya bahwa di antara kabilah-kabilah Arab yang tinggal di sekitar Madinah terdapat orang-orang munafik; di kalangan penduduk Madinah pun terdapat orang-orang munafik.
“Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya.” (At-Taubah: 01) Maksudnya, terbiasa dengan kemunafikannya dan terus-menerus melakukannya. Dikatakan syaitainu marid atau marid; dikatakan tamarrada fulanun 'Alallah, si Fulan telah membangkang dan angkuh terhadap Allah.
Firman Allah Swt: “Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka. Kami yang mengetahui mereka.” (At-Taubah: 101)
Hal ini tidaklah bertentangan dengan firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka.” (Muhammad: 30) Karena apa yang disebutkan oleh ayat ini termasuk ke dalam pengertian mengenalkan tanda-tanda yang ada di dalam diri orang-orang munafik itu melalui sifat-sifat yang biasa mereka lakukan, sehingga mereka dapat dikenal melaluinya.
Bukan berarti Nabi ﷺ mengetahui secara persis semua orang munafik yang ada padanya. Dan Nabi ﷺ mengetahui bahwa di kalangan sebagian orang-orang yang bergaul dengannya dari kalangan penduduk Madinah terdapat orang-orang munafik, sekalipun orang-orang itu melihat Nabi ﷺ pada setiap pagi dan petangnya. Hal ini diakui kebenarannya melalui apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya.
Ia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari An-Nu'man ibnu Salim, dari seorang lelaki, dari Jubair ibnu Mut'im r.a. yang telah mengatakan bahwa ia pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka menduga bahwa tidak ada pahala bagi kami di Mekah." Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Sungguh pahala kalian akan datang kepada kalian, sekalipun kalian berada di dalam liang musang.” Jubair ibnu Mut'im mendengarkan sabda Rasulullah ﷺ dengan penuh perhatian, dan Rasul ﷺ bersabda, "Sesungguhnya di kalangan sahabat-sahabatku terdapat orang-orang munafik." Dengan kata lain Nabi ﷺ telah membuka sebagian kedok orang-orang munafik yang suka mengisukan kata-kata yang tidak benar. Di antara mereka yang mengeluarkan kata-kata tersebut adalah orang itu yang perkataannya terdengar oleh Jubair ibnu Mut'im.
Dalam tafsir firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Dan mereka menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya.” (At-Taubah: 74) Disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ memberitahukan kepada Huzaifah ibnul Yaman tentang empat belas atau lima belas orang munafik secara pribadi. Hal ini merupakan suatu kekhususan yang tidak memberikan pengertian bahwa Nabi ﷺ telah mengetahui semua nama dan orang-orangnya secara keseluruhan.
Al-Hafiz ibnu Asakir di dalam biografi Abu Umar Al-Bairuti telah meriwayatkan melalui jalur Hisyam ibnu Ammar: Telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Ibnu Jabir, telah menceritakan kepadaku seorang syekh di Beirat yang dikenal dengan nama julukan Abu Umar yang menurut dugaan perawi dia telah mengatakan bahwa telah diceritakan kepadanya melalui Abu Darda bahwa seorang lelaki yang bernama Harmalah datang menghadap Nabi ﷺ, lalu ia berkata, "Iman terletak di sini seraya berisyarat ke arah lisannya dan nifaq terletak di sini seraya berisyarat dengan tangannya ke arah hatinya, dan ia tidak ingat kepada Allah kecuali hanya sedikit."
Maka Rasulullah ﷺ berdoa: “Ya Allah, jadikanlah baginya lisan yang selalu berzikir, hati yang selalu bersyukur, dan berilah dia rezeki cinta kepadaku dan cinta kepada orang yang mencintaiku, serta jadikanlah urusannya kepada kebaikan.”
Harmalah berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai banyak teman dari kalangan orang-orang munafik. Dahulu saya adalah pemimpin mereka, bolehkah saya hadapkan mereka kepadamu?" Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang datang kepada kami, maka kami akan memohonkan ampun baginya; dan barang siapa yang tetap pendiriannya pada kemunafikannya, maka Allah lebih utama terhadapnya, dan jangan sekali-kali kamu menyingkap rahasia pribadi seorang pun.”
Ibnu Asakir mengatakan bahwa hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Ahmad Al-Hakim, dari Abu Bakar Al-Bagindi, dari Hisyam ibnu Ammar dengan sanad yang sama.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan ayat ini. Qatadah pernah mengatakan bahwa apakah gerangan yang telah dilakukan oleh banyak kaum, mereka memaksakan dirinya untuk mengetahui hal ikhwal orang lain, dengan mengatakan bahwa si Fulan di surga dan si Anu di neraka. Tetapi jika engkau tanyakan kepada seseorang di antara mereka tentang dirinya, ia pasti menjawab, "Tidak tahu." Demi umurku, engkau dengan bagianmu semestinya lebih engkau ketahui daripada bagian orang lain.
Sesungguhnya engkau (kalau demikian) berarti telah memaksakan dirimu untuk melakukan sesuatu yang belum pernah dibebankan oleh seorang nabi pun sebelummu. Nabi Allah Nuh a.s. telah berkata, sebagaimana yang disitir oleh firman-Nya: ”Bagaimana aku mengetahui apa yang telah mereka kerjakan?” (Asy -Syu'ara: 112) Sedangkan Nabi Syu'aib a.s. mengatakan (yang disitir oleh firman-Nya): “Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagi kalian jika kalian orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas diri kalian.” (Hud: 86) Dan Allah ﷻ telah berfirman kepada Nabi-Nya: “Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, Kami yang mengetahui mereka.” (At-Taubah: 101)
As-Saddi telah meriwayatkan dari Abu Malik, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, bahwa Rasulullah ﷺ berdiri mengemukakan khotbahnya pada hari Jumat. Beliau ﷺ antara lain bersabda: “Keluarlah engkau, hai Fulan, karena sesungguhnya engkau adalah orang munafik! Dan keluarlah engkau, hai Anu, karena sesungguhnya engkau adalah orang munafik! Maka dikeluarkanlah sebagian dari mereka yang telah dibuka kedoknya dari dalam masjid.
Ketika mereka sedang ke luar, Umar r.a. datang. Maka Umar bersembunyi dari mereka karena malu tidak menghadiri salat Jumat. Umar menduga bahwa orang-orang telah bubar dari salat Jumatnya. Sebaliknya, mereka yang keluar pun bersembunyi dari Umar. Mereka menduga bahwa Umar telah mengetahui perkara mereka. Akhirnya Umar masuk ke dalam masjid, dan ternyata ia menjumpai orang-orang belum salat Jumat. Lalu ada seorang lelaki dari kalangan kaum muslim berkata, "Bergembiralah, hai Umar. Sesungguhnya Allah telah mempermalukan orang-orang munafik pada hari ini."
Ibnu Abbas mengatakan bahwa hal tersebut merupakan azab pertama, yaitu ketika mereka dikeluarkan dari dalam masjid; sedangkan azab yang kedua ialah siksa kubur. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh As-Sauri, dari As-Saddi, dari Abu Malik.
Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Nanti mereka akan Kami siksa dua kali.” (At-Taubah: 101) Yakni dibunuh dan ditawan. Dalam riwayat lain disebutkan dengan kelaparan dan siksa kubur.
“Kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (At-Taubah: 101)
Menurut Ibnu Juraij adalah azab dunia dan azab kubur, kemudian mereka dikembalikan kepada azab yang besar, yaitu neraka.
Menurut Al-Hasan Al-Basri adalah azab di dunia dan azab kubur. Abdur Rahman ibnu Zaid mengatakan, "Adapun azab di dunia, maka dalam bentuk harta benda dan anak-anak." Lalu Abdur Rahman ibnu Zaid membacakan firman-Nya: “Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia.” (At-Taubah: 55) Bagi mereka musibah-musibah tersebut akan mengakibatkan azab, sedangkan bagi orang mukmin akan menjadi pahala, dan azab di akhirat bagi mereka adalah di dalam neraka.
“Kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (At-Taubah :101)
Yang dimaksud ialah dimasukkan ke dalam neraka.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Nanti mereka akan Kami siksa dua kali.” (At-Taubah: 101) Menurut berita yang sampai kepadanya, makna yang dimaksud ialah mereka melihat kemajuan Islam yang sangat pesat yang di luar dugaan mereka, sehingga mengakibatkan mereka mendongkol dan terbakar oleh dendamnya. Kemudian azab yang akan mereka alami di dalam kubur bila mereka telah memasukinya, lalu azab yang besar di dalam neraka yang menjadi tempat tinggal mereka kelak di hari kemudian, mereka kekal di dalamnya.
Sa'id telah meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: “Nanti mereka akan Kami siksa dua kali.” (At-Taubah: 101) Yaitu azab di dunia dan azab di alam kubur.
“Kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (At-Taubah: 101)
Telah diriwayatkan kepada kami bahwa Nabi ﷺ telah membisikkan kepada Huzaifah perihal dua belas orang lelaki dari kalangan orang-orang munafik. Lalu Nabi ﷺ mengatakan bahwa enam orang di antara mereka telah cukup disiksa oleh Dabilah, yaitu pelita dari api neraka Jahanam yang menyambar belikat salah seorang dari mereka hingga tembus sampai ke dadanya, sedangkan yang enam lainnya sekarat dalam kematiannya.
Menurut riwayat yang sampai kepada kami Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. bila ada seseorang yang mati dari kalangan mereka yang dicurigai, maka ia menunggu Huzaifah. Jika Huzaifah menyalatkannya, maka barulah ia mau menyalatkannya. Jika Huzaifah tidak mau menyalatkannya, maka Umar r.a. tidak pula mau menyalatkannya.
Menurut riwayat lain yang sampai kepada kami, Khalifah Umar pernah berkata kepada Huzaifah, "Saya bertanya kepadamu dengan nama Allah, apakah saya termasuk salah seorang dari mereka?" Huzaifah menjawab, "Tidak, dan aku tidak akan membukanya kepada seseorang pun sesudahmu.”
Dan di antara orang-orang Arab Badui yang tinggal di sekitarmu, ada orang-orang munafik. Dan di antara penduduk Madinah (Yahudi) ada juga orang-orang munafik, mereka sudah terbiasa licik dan berdusta, sehingga keterlaluan dan melampaui batas dalam kemunafikannya. Engkau wahai Nabi Muhammad tidak mengetahui siapa mereka, karena begitu lihainya dan terlatihnya mereka dengan kemunafikan, tetapi Kami mengetahuinya. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali, pertama: ketika terbongkarnya kemunafikan mereka, sehingga mereka malu dan terhina, dan kedua: ketika malaikat mencabut nyawa mereka dengan cara yang sangat kasar, (Lihat: Surah al-Anfa'l/8: 50), kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar kelak di akhirat. Dan ada pula orang lain yang berada di sekeliling kamu yang mengakui dosa-dosa mereka lalu bertobat atas dosa-dosa itu, tetapi mereka masih mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk, dengan mereka taat dan beramal saleh dan pada waktu yang berbeda mereka masih berbuat jahat dan maksiat. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka jika mereka bertobat dengan sungguh-sungguh. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun atas segala dosa, Maha Penyayang kepada orang yang berusaha tidak mengulangi kesalahannya.
.
Setelah menyebutkan hal ihwal ketiga macam golongan orang-orang yang betul-betul beriman, yakni sahabat-sahabat Rasulullah saw, maka pada ayat ini Allah menyebutkan hal ihwal orang-orang munafik, baik dari kalangan Badui, maupun dari kalangan mereka yang bertempat tinggal di kota Medinah, sehingga nampaklah dua hal yang sangat berlawanan. Seakan-akan Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, sesungguh-nya sebagian dari orang-orang Badui yang berdiam di sekitar Medinah adalah orang-orang yang sangat munafik. Kemunafikan dan kejahatan mereka amat keterlaluan. Bahkan, sebagian dari penduduk kota Medinah pun ada pula yang munafik. Sebab itu berhati-hatilah kamu terhadap mereka."
Menurut keterangan al-Bagawi, yang dimaksud dengan "kaum munafik Badui yang tinggal di sekitar kota Medinah" ialah mereka yang berasal dari Bani Muzainah, Bani Juhainah, Bani Asyja, Bani Aslam dan Bani Gifar. Sedangkan yang dimaksud dengan "kaum munafik dari kalangan penduduk kota Medinah sendiri" ialah orang-orang munafik yang berasal dari Bani Aus dan Khazraj. Mereka ini sangat keterlaluan, dan sangat pandai menyembunyikan kemunafikannya, sehingga sulit untuk diketahui oleh Rasulullah dan kaum Muslimin umumnya. Mereka ini tidak dapat diharapkan untuk kembali kepada keimanan yang sesungguhnya. Namun demikian, Allah senantiasa mengetahui kemunafikan mereka, dan Dia akan menimpakan azab kepada mereka dua kali yaitu: di dunia berupa kesengsaraan dan penderitaan batin serta pedihnya kematian. Di akhirat mereka akan dilemparkan ke dalam azab yang dahsyat, dalam neraka Jahannam yang paling bawah.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kaum munafik terbagi dalam dua kelompok. Pertama, orang-orang yang dapat diketahui kemunafikan mereka dari sikap, perbuatan, dan ucapan-ucapan mereka. Kedua, mereka yang sangat pandai dalam menyembunyikan kemunafikan, sehingga sukar untuk diketahui.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 100
“Dan orang-orang yang mendahului yang mula-mula, dari Muhajirin dan Anshan, dan orang-orang yang menuruti (jejak) mereka dengan kebaikan."
Itulah inti masyarakat Islam, yaitu pada tahun kesembilan Hijriah setahun sesudah penaklukan negeri Mekah dan sudah jaya menaklukkan pertahanan terakhir Yahudi di Khaibar dan mulai menghadapi bangsa Rum, yaitu kerajaan besar yang menaklukkan Arabia Utara sejak ratusan tahun. Masyarakat mula-mula itu terdiri dari dua golongan. Pertama, as-Sabiqunal Awwalun—yang mendahului; yang mula-mula. Yang kedua ialah ai-Ladzinat Taba ‘uhum bi Ihsanin—yang mengikuti kepada mereka dengan baik.
As-Sabiqunal Awwalun; terdiri dari dua, yaitu Muhajirin dan Anshar.
Muhajirin ialah orang-orang yang telah ikut berpindah dengan Rasulullah ﷺ, keluar dari negeri Mekah karena didorong oleh keyakinan tauhid. Sebagaimana diketahui sebelum hijrah ke Madinah, hijrah tersebut telah terjadi dua kali. Pertama hijrah ke Habsyi dua rombongan. Pemimpin hijrah ke Habsyi ialah ja'far bin Abi Thalib. Utsman bin Affan pada hijrah yang pertama ke Habsyi itu pun ikut serta. Hijrah kedua ialah hijrah besar yang dipelopori oleh Rasulullah ﷺ sendiri. Maka ikutlah sahabat-sahabat yang besar-besar dan kemudiannya mengambil peranan penting di dalam pertumbuhan agama Islam, Keempat sahabat utama: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, Ikut juga orang-orang penting yang lain, seperti Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Abu Waqqash, Abu Ubaidah, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidiilah, dan Sa'id, Ikut juga Bilal bin Rabah dan Ibnu Ummi Maktum yang buta. Dan, ikut juga keluarga-keluarga beliau-beliau itu masing-masing.
Kemudian terjadilah Perdamaian Hudai-biyah. Salah satu bunyi perjanjian itu ialah bahwa kalau ada penduduk Mekah mencoba berpindah ke Madinah, berkewajibanlah Rasul ﷺ mengembalikan mereka ke Mekah, Tetapi kalau ada orang Madinah yang tidak senang tinggal di Madinah, kalau mereka hendak menetap di Mekah, maka pemuka-pemuka Mekah tidak berkewajiban mengembalikan mereka. Rasulullah ﷺ menerima bunyi perjanjian itu,
Umar bin Khaththab sendiri pada mulanya kurang puas dengan perjanjian yang dipandangnya amat pincang itu. Karena dianggapnya suatu kelemahan di pihak kita. Bahkan pemuda-pemuda Quraisy pun merasa menang. Tetapi Rasulullah saw, dengan gembira menerima pasal perjanjian ini karena beliau memandang bahwa ini adalah satu kemenangan yang gemilang sekali. Beliau yakin bahwa kalau ada pemuda yang pindah dari Mekah ke Madinah sesudah perjanjian, memanglah dia itu seorang yang telah teguh imannya. Dan beliau pun yakin, tidak akan ada orang yang telah merasai kehidupan dalam masyarakat Islam di Madinah, yang akan sudi kembali lagi ke Mekah. Dan kalau itu ada, tandanya yang pulang ke Mekah itu orang lemah iman; biar dia pergi.
Belum beberapa bulan perjanjian ditandatangani, kejadianlah apa yang diperhitungkan oleh Nabi ﷺ itu. Telah ada pemuda Mekah bernama Bashir (sebagaimana yang telah ki-ta uraikan pada Juz 10). Melihat kejadian itu, pemuka Quraisy mengirim dua utusan ke Madinah menuntut agar Nabi Muhammad ﷺ mengirim kembali pelarian itu. Beliau teguh menjalankan sepanjang isi perjanjian; dengan diiringkan oleh kedua pesuruh penjemput itu, Abu Bashir dipulangkan kembali ke Mekah dan Rasulullah ﷺ menyuruhnya bersabar, sebab bagi beliau suatu perjanjian adalah perkara yang mesti dimuliakan. Tetapi apa yang terjadi? Di tengah jalan sedang kedua utusan itu terlengah, Abu Bashir mengambil pedang mereka, lalu yang seorang dibunuhnya sedang yang seorang lagi diikatnya, lalu dia kembali ke Madinah dan langsung menghadap Rasulullah ﷺ, sambil menyerahkan tawanannya dia berkata, “Ya, Rasulullah! Aku telah melepaskan diri dari suasana musyrik, dan aku datang kemari menyusul engkau. Rupanya karena memuliakan janji aku dipulangkan kembali. Sekarang beginilah yang kejadian. Aku telah bertekad bulat tidak akan pulang ke Mekah lagi. Seorang pengawalku telah aku bunuh dan yang seorang lagi aku serahkan kepada engkau. Aku bersedia menerima hukuman apa pun yang akan engkau jatuhkan kepada diriku."
Rasulullah ﷺ yang teguh memegang janjinya dengan Quraisy dapat mengerti pula pendirian dan iman Abu Bashir. Beliau tidak sampai hati hendak menghukum seorang yang begitu tinggi mutu imannya. Lalu beliau perintahkan Abu Bashir segera meninggalkan Madinah, agar soalnya ini jangan berlarut-larut lagi dengan Quraisy. Keputusan Rasulullah ﷺ ini diterima Abu Bashir dengan segala ketaatan, lalu dia segera meninggalkan Madinah.
Tetapi ke mana dia pergi? Dia pergi bersembunyi ke tepi pantai Rabigh. Di sana dia mengadakan hubungan rahasia dengan pemuda-pemuda lain yang sepaham, yang masih berada di Mekah. Menyuruh mereka menuruti dia. Mereka pun datang sembunyi-sembunyi, lalu dengan pimpinan Abu Bashir mereka mengadakan gerombolan gerilya menyamun dan merampas kafilah-kafilah Quraisy yang lalu lintas di tepi laut itu pulang dan pergi berniaga ke Syam, sehingga orang Quraisy merasa tidak aman lagi. Maka mereka adakanlah perutusan menjumpai Rasul ﷺ di Madinah meminta supaya perjanjian yang sepasal ini ditiadakan saja. Akhirnya Rasul ﷺ menyetujui penghapusan perjanjian yang sepasal itu. Dan beliau pun tidak dapat disalahkan sebab tindakan Abu Bashir itu adalah di luar dari kemauan beliau. Setelah itu Rasul ﷺ mengirim utusan ke tempat Abu Bashir menerangkan bahwa perjanjian itu telah dihapus, dan dia beserta pengikut-pengikutnya boleh hijrah ke Madinah, didapati Abu Bashir sendiri luka parah sesudah pertempuran dengan satu kafilah Quraisy. Ketika utusan datang, dia telah dekat mengembuskan napas yang penghabisan. Maka setelah mendengar permakluman itu, dengan wajah suram Abu Bashir bertanya, “Marahkah Rasulullah ﷺ kepadaku?" Utusan menjawab, “Tidak! Malahan beliau senang sekali kepadamu “ Maka bertukarlah wajahnya menjadi terang benderang dan berkatalah dia, “Sampaikan salamku kepada Rasulullah." Sesudah berkata itu, dia pun meninggal.
Dengan dicabutnya perjanjian ini, timbul hijrah-hijrah rombongan kedua, sesudah Hudaibiyah. Banyak pemuda-pemuda Quraisy yang selama ini menjadi harapan Quraisy buat menentang Rasul ﷺ, mereka pun hijrah ke Madinah dan diterima dengan tangan terbuka. Di antaranya ialah Amr bin Khalid bin Walid dan Utsman bin Mazh'un. Yang paling akhir hijrah ialah paman Nabi, Abbas bin Abdul Muthalib sekeluarga. Dia bertemu di tengah jalan akan menuju Madinah, ketika Rasulullah ﷺ akan menaklukkan Mekah di tahun kedelapan.
Di tahun keenam, selepas Perjanjian Hudaibiyah, ketika Rasulullah ﷺ dan Muhajirin Anshar menggempur benteng Khaibar, pulanglah orang-orang yang hijrah ke Habsyi dahulu, yang telah bertahun-tahun berdiam di sana. Mereka pun langsung ke Madinah, di bawah pimpinan kepala rombongan mereka sendiri Ja'far bin Abi Thalib. Di antaranya terdapat seorang perempuan bernama Asma' binti Umais. Dan di antara Muhajirin ke Habsyi yang terlebih dahulu pulang dari mereka ialah Ummu Habibah binti Abu Sufyan, yang dikecewakan oleh suaminya ketika hijrah ke Habsyi itu, sebab si suami masuk Nasrani. Dia pulang ke Madinah, dan untuk menghargai pengorbanannya dan imannya, apatah lagi dia tidak pulang ke Mekah, sebab ayahnya Abu Sufyan memusuhi Rasul ﷺ, dia dipinang Rasulullah ﷺ dan dijadikan salah seorang dari istri beliau.
Pulangnya rombongan Muhajirin Habsyah di bawah pimpinan Ja'far bin Abi Thalib ini pada tahun keenam Hijriah, bertepatan pula dengan kemenangan kaum Muslimin menak-lukkan benteng pertahanan Yahudi terakhir di Khaibar.
Sebab itu, Rasulullah ﷺ menamai pertemuan dua kejadian yang penting itu sebagai suatu kegembiraan ganda.
Inilah keterangan ringkas tentang Muhajirin.
As-Sabiqunal Awwalun yang kedua ialah Anshar.
Benar-benarlah boleh kita katakan bahwasanya Muhajirin dengan Anshar, adalah laksana kuku dengan daging, tidak dapat dipisahkan betapa pentingnya bagi Islam yang sekarang telah menjadi anutan kita ini. Kalau misalnya mereka tidak ada, niscaya pangkalan Islam pertama, kota Madinah tidak akan ada. Nama Madinah atau Madinatun Nabi, diresmikan jadi ganti dari nama asalnya, yaitu Yatsrib setelah Rasul pindah. Di sanalah dipancangkan Islam sebagai suatu kekuasaan (Souveginitas).
Pertemuan rahasia pertama di antara pemuka-pemuka kabilah Aus dan Khazraj dengan Rasulullah ﷺ ialah pada tahun kesebelas setelah Rasulullah saw, diutus di Jumratul Aqabah, Pertemuan pertama ini dihadiri oleh tujuh orang.
Pertemuan rahasia yang kedua ialah tahun berikutnya, di Aqabah juga, yaitu nama dari jumrah yang pertama yang dilempar ketika mengerjakan haji di Mina. Yang hadir ketika itu adalah 72 orang, yang dua di antaranya ialah perempuan. Ketika itulah (tahun ke-12 dari Nabi diutus), Mukminin dari Madinah itu, masuk juga di dalamnya yang tujuh mula-mula memberikan jaminan bahwa mereka akan menyambut dan mengorbankan segala harta benda dan jiwa membela Nabi dan teman-teman seperjuangan di Mekah jika mereka hijrah ke Madinah, Lantaran itulah mereka disebut Anshar. Perjanjian itu dihadiri juga oleh paman Nabi sendiri, Abbas. Meskipun ketika itu dia belum memeluk Islam, tetapi pertalian darahnya dengan Nabi yang mendorongnya turut hadir, sehingga hatinya tidak merasa ragu lagi jika anak saudaranya pindah ke Madinah, sebab di Mekah jiwanya selalu terancam.
Bersama dengan rombongan 72 orang itu, Rasulullah ﷺ mengirim guru atau mubaligh yang pertama ke Madinah. Itulah Abu Zurrarah Mush'ab bin Umair bin Hasyim. Tugasnya di Madinah ialah mengajarkan Al-Qur'an dan cara-cara shalat dan lain-lain. Berkat usaha Mush'ab ini dalam beberapa bulan saja sebelum Nabi ﷺ sampai di Madinah, sudah hampir di setiap rumah terdengar orang membaca Al-Qur'an, yang tentu saja surah-surah yang diturunkan di Mekah. Kontak listrik sebagai pengaruh dari bacaan itu, sampai dibaca anak-anak dan gadis-gadis, menjalar dari rumah ke rumah. Setelah tiga bulan sehabis pertemuan itu, Rasulullah saw, pun hijrah. Maka sejak orang bertujuh yang pertama, sampai 72 termasuk dua perempuan rombongan kedua, sampai yang Islam karena dakwah Mush'ab bin Umair dan sampai masuk Islam setelah Rasulullah ﷺ berada di Madinah, semuanya itu bernama Anshar.
Maka dapatlah diperinci martabat kemuliaan yang dicapai oleh Muhajirin dan Anshar itu. Yang mula-mula sekali atau orang pertama yang menyatakan iman, kebetulan ialah perempuan. Yaitu istri beliau yang tertua Khadijah. Sebab kepadanyalah Rasulullah ﷺ pertama sekali menyatakan bahwa dia telah menjadi Rasulullah ﷺ, dan dia pula yang di saat itu juga menyatakan iman.
Kemudian itu diikuti oleh anak usia 10 tahun di dalam rumahnya, yaitu Ali bin Abi Thaiib, dan diikuti lagi oleh anak peliharaannya, yaitu Zaid bin Haritsah, Setelah itu maka orang luar yang mula-mula sekali menyatakan iman, dengan tidak berpanjang pikir lagi ialah Abu Bakar. Dan Abu Bakar yang menemaninya dalam hijrah dan selalu mendampinginya di dalam dakwah. Setelah itu tertonjollah khalifah yang berempat: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Kemudian itu tersebutlah enam sahabat lagi, menjadi sepuluh yaitu: Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Sa'ad bin Abi Waqqash, dan Said bin al-Ash,
Maka tidaklah dapat dilupakan seorang perempuan, sebagai syahid Islam yang pertama, yaitu Ummu Yasir. Dia pun termasuk as-Sabiqunal Awwalun, tetapi tidak dapat bersama hijrah dengan Rasul ﷺ. Dia mati dibunuh oleh Abu Jahal saat dia dipaksa buat kembali kepada agama musyrik, dia tidak mau. Dialah korban Islam yang pertama, semasa masih di Mekah.
Dan tidak pula dapat dilupakan Hamzah bin Abdul Muthalib, yang mencapai syahidnya dalam Peperangan Uhud. Gelar yang diberikan kepadanya Sayyidusy Syuhada adalah gelar yang pantas. Dan banyak lagi orang penting yang lain, baik Muhajirin maupun Anshar yang telah terlebih dahulu mencapai syahidnya di medan pertempuran, seperti Ja'far bin Abi Thaiib yang baru saja pulang dari hijrah Habsyi, Abdullah bin Rawahah, Zaid bin Haritsah, Sa'ad bin Mu'adzh, dan lain-lain lagi. Sehingga mereka tidak ada lagi setelah ayat yang tengah kita tafsirkan ini turun, yaitu ketika menghadapi Peperangan Tabuk,
Peperangan Badar adalah perang yang paling penting dalam sejarah kebangkitan Islam. Maka kepada 300 mujahidin yang turut dalam peperangan itu dengan firman Allah, Rasulullah saw, menjanjikan bahwa semua mereka yang turut dalam Perang Badar, dari Muhajirin dan Anshar dijanjikan kemuliaan yang tinggi dan surga yang mulia di akhirat.
Sesudah menyebut as-Sabiqunal Awwalun, yang mendahului mula-mula, yang menjunjung tinggi kemuliaan mereka sebagai Muhajirin dan Anshar, Allah pun menyebut tingkat kedua, yaitu Wailadzinat Taba'uhum bi Ihsartin—yang menuruti jejak mereka dengan baik. Meskipun mereka datang kemudian, tidak mendapat kemuliaan sebagai Muhajirin, sebab sesudah Mekah jatuh kata hijrah tidak berarti lagi, dan meskipun mereka tidak men-dapat kehormatan menyambut Rasul ﷺ di Madinah dan berkorban untuk beliau, tetapi mereka yang datang di belakang itu tidaklah mau ketinggalan. Segala suri teladan yang ditunjukkan oleh Muhajirin dan Anshar telah mereka ikuti. Mereka beriman, mereka berkorban harta benda dan jiwa pada jalan Allah, mereka pun beribadah dengan tekun, mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat. Itulah sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ tingkat kedua. Dan merekalah 12.000 tentara Islam yang mengiringkan Rasul ﷺ menaklukkan Mekah. Dan merekalah 30.000 tentara Islam yang mengiring Rasulullah ﷺ ke Peperangan Tabuk. Menurut catatan ahli sejarah, 124.000 banyaknya sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ itu.
Itulah orang-orang yang sempat berhadapan muka dengan Rasulullah ﷺ dan beriman kepadanya.
Tetapi setengah ahii tafsir pula memberikan pengharapan kepada umat yang datang di belakang, walaupun mereka tidak sempat
melihat wajah Rasulullah ﷺ, asalkan mereka menuruti jejak Muhajirin dan Anshar sebagai yang mendahului yang mula-mula itu dengan baik dan setia, walaupun sampai hari Kiamat. Dan sebaliknya, walaupun selalu melihat wajah Nabi ﷺ, dan mulut menyatakan percaya, padahal hati membelakanginya, sebagai Abdullah bin Ubay dan yang lain-lain yang sepaham dengan dia, tidaklah mereka masuk di dalam daftar itu.
Berfirmanlah Allah selanjutnya, memberikan janji-Nya yang mulia kepada sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ itu, sejak Muhajirin dan Ansharnya, sampai kepada sahabat lain yang menuruti jejak mereka dengan baik itu."Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya" Artinya, bahwasanya pengorbanan mereka tidak sia-sia. Di ayat ini tegas Allah menyambut cinta mereka kepada Allah, “Tidak bertepuk sebelah tangan", melainkan Allah-lah yang mengulurkan cinta-Nya dan ridha-Nya terlebih dahulu, baru cinta mereka kepada Allah.
“Dan Dia lelah menyediakan buat mereka berhagai surga, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dalam keadaan kekal mereka di dalamnya. Yang demikian itulah kejayaan yang besar."
Renungkanlah ayat ini dan bandingkan dengan ayat 72 terdahulu. Di dalam ayat 72 dahulu itu, Allah menyebut janji-Nya kepada Mukminin dan Mukminat bahwa mereka akan dimasukkan ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan tempat kediaman yang bagus. Kemudian Allah mengatakan bahwa ridha Allah adalah lebih besar dari segala-galanya. Tetapi di dalam ayat ini ridha Allah yang disebut terlebih dahulu, bahkan ridha yang timbal balik di antara si makhluk dengan khalik-Nya.
Renungkan kedua ayat ini dan perhatikan pula pengharapan berbagai manusia di dalam hidupnya. Ada orang yang lebih teringat akan
tangnya lama di belakang Rasulullah ﷺ
Sekarang kita teruskan lanjutan tafsir.
Ayat 101
“Dan diantara yang sekeliling kamu dari anab-anab kampung itu adalah orang-orang yang munafik, dan (begitu pula) dari penduduk Madinah, mereka telah licin atas kemunafikan"
Pada ayat ini diperingatkan kepada Rasul ﷺ dan kepada orang-orang yang beriman, bahwa meskipun masyarakat mereka telah kompak dan kukuh, dari Muhajirin dan Anshar dan pengikut mereka yang baik dan setia, namun di sekeliling mereka masih ada yang munafik. Baik yang Arab atau Badui yang berkediaman di luar-luar kota Madinah, ataupun di dalam penduduk kota Madinah sendiri. Lalu diterangkan pula bahwasanya di antara mereka itu ada yang sudah sangat licin dalam mengambil peranan jadi munafik itu, atau sudah sangat halus mainnya. Sehingga dari sangat pandainya mereka menyembunyikan kemunafikan itu. “Engkau tidak tahu siapa mereka. Kamilah yang tahu siapa mereka." Nabi Muhammad ﷺ telah diberi karunia yang tinggi oleh Allah sehingga karena kuat sinar cahaya iman beliau, terkadang dapatlah mata beliau menembus isi hati orang. Tetapi karena sangat licinnya permainan si munafik itu, tidak jugalah semuanya dapat beliau ketahui. Hanya Allah jugalah yang lebih tahu. Maka ayat ini menjadi peringatan kepada Rasul ﷺ dan orang-orang yang beriman bahwa meskipun masyarakat mereka telah kukuh dan kompak, namun mereka hendaklah selalu berjaga-jaga juga dari perbuatan orang-orang munafik yang licin itu.
Kalimat maraduu ‘alan nifaqi, kita artikan licin dalam kemunafikan' Kalimat maradu itu berpokok dari marad yang berarti licin. Oleh sebab itu, maka dalam bahasa Arab, seorang anak muda yang manis, masih remaja, usia kira-kira 14 sampai 17 tahun, yang mukanya
masih licin, belum ditumbuhi kumis atau jenggot, dinamai amrad, yang berarti masih licin. Dalam bahasa kita pun seorang yang sangat pintar menipu disebut juga penipu yang licin!
Selanjutnya, Allah berfirman mengenai orang-orang munafik itu.
“Akan Kami adzab mereka dua kali, kemudian itu akan Kami kembalikan mereka kepada adzab yang besar."
Adzab dua kali. Pertama ialah kegelisahan jiwa karena tiap-tiap pertahanan mereka gagal selalu, tiap-tiap rahasia mereka tetap terbongkar. Mereka telah mengorbankan segala yang ada pada mereka buat menghambat kemajuan Islam, namun tiap usaha tetap kecewa. Itulah adzab yang pertama di dunia, yaitu adzab makan hati! Adzab yang kedua ialah kegelisahan saat mengembuskan napas penghabisan, sebab mati di dalam su'ul khati-mah, menutup hidup dalam suasana yang buruk. Na udzu billah! Ini pun telah disebutkan sifatnya pada ayat 56 dan 86 di atas tadi, yaitu tazhaqa anfusuhum, bercerai nyawa dengan badan dalam keadaan sengsara. Mampus atau dalam bahasa Minangkabau yang lebih kasar: “jangkang."
Dan, kelak di akhirat akan mereka terima pula adzab siksa yang lebih besar.
Dale Carnegie, ahli ilmu pergaulan hidup dan hubungan antara manusia, telah maju penyelidikannya tentang ilmu bagaimana cara bergaul di antara manusia. Dia telah mengarang buku Bagaimana Supaya Engkau Mendapat Banyak Teman dan buku Tinggalkanlah Kecemasan dan Mulailah Hidup, dan beberapa karangan lain.
Apabila kita pelajari karangan-karangan Carnegie itu yang telah ditulis pada zaman modern ini, bisalah kita menyimpulkan bahwa banyak orang menjadi gagal dalam pergaulan hidup, ditimpa oleh suatu krisis di dalam jiwa oleh karena tidak sesuai sikap lahir dengan sikap batin. Manusia adalah menyiksa dirinya sendiri, jika dia melepaskan kejujuran. Orang yang munafik, lain di mulut lain di hati, kian lama kian meranalah jiwanya. Dia mulanya menyangka jalan yang ditempuhnya benar, padahal setelah dilanjutkan ternyata membawa keruntuhan tadi bahwa orang yang munafik, ketika masih hidup di dunia ini, telah menderita siksaan batin dua kali.
Di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini diperingatkan kepada Rasul ﷺ dan orang-orang yang beriman, yang setia menuruti jejak Rasul ﷺ bahwa walaupun mereka telah kukuh dan kuat, namun bahaya dari dalam masih ada. Munafik berkeliaran di dalam kota dan di luar kota. Yaitu orang-orang yang selalu merasa tidak puas, yang mengeluh dan yang berdendam, yang merasa dengki atas kemajuan segala rencana Rasulullah ﷺ. Mereka licin sekali, jerat serupa dengan jerami, mengaku beriman tetapi tidak mau bertanggung jawab. Ketika masih zaman Mekah belum ada sebutan munafik. Sebab di Mekah, Muslimin yang telah beriman masih golongan kecil. Musuh yang dihadapi sudah terang, yaitu kaum musyrikin, yang memegang tampuk kekuasaan.
Setelah pindah ke Madinah, barulah ramai munafik, sejak hari pertama datang, sampai pada saat-saat terakhir kehidupan Rasulullah ﷺ Sebab di Madinah kaum Muslimin bukan lagi golongan kecil, tetapi telah bertumbuh menjadi kekuasaan besar, sehingga penduduk asli Madinah tidak dapat melepaskan diri lagi dan kekuasaan itu.
Salah satu yang mendorong mereka jadi munafik ialah yang di zaman sekarang disebut ambisi, nafsu-nafsu ingin berkuasa. Sebelum Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah pernah disebut-sebut orang bahwa yang layak dijadikan pemuka Aus dan Khazraj, ialah Abdullah bin Ubay, terutama sebab dia kaya. Dia senang sekali disebut pemimpin. Karena gelar pemimpin adalah kemegahan pribadi, walaupun tidak ada satu garis yang nyata yang akan dipimpinkannya. Malahan hamba sahayanya yang perempuan disuruhnya melacurkan diri, dia pungut bayaran dan bayaran itu masuk ke dalam kantongnya. (Inilah yang disindirkan Allah pada surah an-Nuur, ayat 33).
Ketika dia masih disebut-sebut akan dijadikan pemimpin, Rasulullah ﷺ pun pindah ke Madinah. Golongan muda yang cerdas, seluruhnya condong dan berduyun mengelilingi Rasulullah saw, sebab beliaulah yang memberikan pimpinan tegas. Beliau yang menahamkan persatuan di antara Aus dan Khazraj yang telah berpuluh tahun berpecah dan benci-membenci sehingga selama ini mudah bagi kaum Yahudi untuk menguasai perekonomian mereka karena perpecahan itu. Kedatangan Rasulullah ﷺ membawa ajaran-ajaran baru, persatuan Aus dengan Khazraj dalam nama yang baru dan mulia, yaitu Anshar. Dan persatuan pula di antara Anshar dan Muhajirin, kawan sepaham yang berpindah dari Mekah. Dan ajaran Nabi pula yang menyebabkan Anshar mendapat kem-bali harga diri mereka, sesudah berpuluh-puluh tahun dipandang rendah oleh orang Yahudi. Lantaran itu pemimpin-pemimpin yang tidak tegas tersingkir. Inilah yang tidak menyenangkan hati Abdullah bin Ubay, dan dia pun mencari teman sepaham. Tetapi mes-kipun mereka telah berusaha dengan segala macam tipu daya buat menghadang kemajuan Islam, namun Islam bertambah kukuh dan kuat. Besar harapan mereka Nabi akan patah ketika menghadapi bangsa Rum, sebagai pengharapan penghabisan dari mereka, namun pengharapan buruk itu tidak juga berlaku. Nabi tetap menang.
Sebab itu mereka pun bertambah licin dalam kemunafikan. Inilah yang diperingatkan Allah kepada Rasul-Nya. Supaya beliau dan orang-orang yang beriman tetap hati-hati menghadapi mereka, sebab mereka bukan musuh yang datang dari luar, yang mudah menghadapinya, tetapi ada dalam kalangan sendiri yang sangat menyakitkan hati.
Ayat 102
“Dan yang lain-lain itu, yang telah mengakui dosa-dosa mereka."
Artinya, selain dari yang telah terang-terang munafik itu, maka baik dalam kalangan A'rab kampung (Badui) itu, ataupun dari penduduk Madinah sendiri, ada lagi manusia-manusia lain. Mereka itu tidaklah sampai jatuh jadi munafik, tetapi tidak pula mencapai derajat mula sebagai yang mendahului yang mula-mula. Yaitu masih terletak di tengah-tengah, tidak membubung naik dan tidak pula jatuh ke bawah, dan mereka mengakui kekurangan-kekurangan yang ada pada mereka.
Telah mereka campur aduk amalan yang baik dengan yang buruk." Cara bekerja yang seperti ini telah menunjukkan di mana letak kedudukan mereka. Yang baik dikerjakan juga, yang buruk dibuat juga, dan mereka pun insaf akan kekurangan mereka. Menjadi fasik atau munafik betul-betul mereka tidak pula mau.
Akan mendaki ke atas tidak pula ada tempat, sebab nama Muhajirin dan nama Anshar sudah terbatas dan terhitung orangnya, tidak dapat ditambah lagi. Jalan satu-satunya ha-nyalah jika mau mereka menuruti pendahulu yang mulamula itu dengan baik; itu pun me-reka tidak sanggup, dan mereka mengakui kekurangan itu.
Bagaimanakah nasib ketentuan orang yang seperti ini? Lanjutan ayat menegaskan: “Mudah-mudahan Allah mengampuni mereka." Kalimat Asaa kita artikan mudah-mudahan atau moga-moga atau mengandung harapan. Masih ada harapan bahwa orang-orang yang semacam itu akan diberi ampun oleh Allah. Sebab mereka sendiri telah mengakui akan mengadakan koreksi atau penelitian atas mutu amalan mereka, niscaya mereka tidak merasa puas dengan kekurangan itu. Niscaya mereka tahu bahwa amalan baik yang dicampurkan dengan yang buruk, pada jumlahnya ialah
buruk. Niscaya Allah ada harapan akan memberi tobat atas mereka sehingga martabat iman mereka menjadi naik ke dalam barisan orang yang mengikut dengan baik, yaitu dengan kekuatan iradah, kesadaran diri, mengakui kesalahan, dengan azam yang kuat dan teguh membebaskan diri dari pengaruh yang buruk itu. Maka disambutlah pengharapan mereka itu oleh Allah dengan penegasan pada ujung ayat:
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, lagi Penyayang."
Dengan janji pemberian ampun, maka amalan yang buruk berangsur menurun, dan dengan bimbingan sifat Allah Penyayang, amalan yang baik mudah-mudahan meningkat, mula-mula dilalui dengan latihan, lama-lama menjadi adat kebiasaan. Dan semoga dengan karunia Allah dapatlah dicapai derajat yang tadi, yaitu menjadi pengikut dan yang mendahului mula-mula, yaitu Muhajirin dan Anshar tadi. Dan kalau martabat ini telah dicapai, besarlah harapan, moga-moga bertemulah apa yang dijanjikan Allah pada ayat 100 di atas, yaitu “Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya."
Bagi kita umat Muhammad ﷺ yang telah jauh dari zaman Nabi ini, jauh jarak zaman dan jauh jarak tempat, mengakuilah kita bahwa kebanyakan kita terletak dalam kedudukan ini. Na'udzu billah! Moga-moga janganlah kita jatuh menjadi munafik fasik. Tetapi amalan kita memang bercampur aduk baik dengan buruk. Kita tahu yang baik di sekeliling kita menyebabkan kita telanjur berbuat yang buruk. Cuma keuntungannya ialah bahwa kita sendiri insaf akan keadaan itu. Dan kita pun tahu bahwa tempat buat Muhajirin dan Anshar sudah dibatasi dan ditentukan orangnya. Tetapi kepada kita masih dibukakan pintu yang lebar.
“Serunailah mereka, jika kamu tidak seumpama mereka, menyerupai orang-orang besar itu sudahlah. suatu kemenangan."
dan bahwasanya Allah, adalah Dia pembe-ri tobat, lagi Penyayang.
Kita latih diri dan kita perbanyak beramal yang baik, sampai menjadi kebiasaan dan pan-dangan hidup. Moga-moga dengan demikian, amalan yang buruk pun menjadi kurang, syukur kalau dapat hilang sama sekali. Kita jauhi dosa yang besar-besar dan kita sadari dosa yang kecil-kecil. Akhirnya, moga-moga berkenanlah Allah menumpahkan ridha-Nya kepada kita, sebab kita telah berusaha.
Dan sekali-kali jangan kita berputus asa, mengatakan bahwa zamannya sudah lampau. Padahal Rasulullah ﷺ telah meninggalkan pasukannya yang kekal buat kita, yaitu Al-Qur'an dan Sunnahnya. Malamnya serupa dengan siangnya. Keduanya pasti dapat kita ja-lankan, asal kita mempunyai iradat; kemauan.
Kemauan inilah yang hendaknya kita didik.