Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذۡ
dan ketika
وَٰعَدۡنَا
Kami menjanjikan
مُوسَىٰٓ
Musa
أَرۡبَعِينَ
empat puluh
لَيۡلَةٗ
malam
ثُمَّ
kemudian
ٱتَّخَذۡتُمُ
kalian menjadikan
ٱلۡعِجۡلَ
anak lembu
مِنۢ
dari
بَعۡدِهِۦ
sesudahnya
وَأَنتُمۡ
dan kalian
ظَٰلِمُونَ
orang-orang yang lalim
وَإِذۡ
dan ketika
وَٰعَدۡنَا
Kami menjanjikan
مُوسَىٰٓ
Musa
أَرۡبَعِينَ
empat puluh
لَيۡلَةٗ
malam
ثُمَّ
kemudian
ٱتَّخَذۡتُمُ
kalian menjadikan
ٱلۡعِجۡلَ
anak lembu
مِنۢ
dari
بَعۡدِهِۦ
sesudahnya
وَأَنتُمۡ
dan kalian
ظَٰلِمُونَ
orang-orang yang lalim
Terjemahan
(Ingatlah) ketika Kami menjanjikan (petunjuk Taurat) kepada Musa (melalui munajat selama) empat puluh malam. Kemudian, kamu (Bani Israil) menjadikan (patung) anak sapi (sebagai sembahan) setelah (kepergian)-nya, dan kamu (menjadi) orang-orang zalim.
Tafsir
(Dan ingatlah ketika Kami menjanjikan) dalam sekian masa (kepada Musa selama empat puluh malam) maksudnya Kami janjikan akan memberinya Taurat setelah 40 malam untuk menjadi pedoman bagi kamu (lalu kamu ambil anak lembu) maksudnya patung anak lembu yang ditempa oleh Samiri menjadi tuhan (sepeninggalnya) artinya setelah ia pergi memenuhi perjanjian dengan Kami itu, (dan kamu adalah orang-orang aniaya) disebabkan menaruh sesuatu bukan pada tempatnya, yaitu mengambil anak lembu itu sebagai sembahan.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 51-53
Dan (ingatlah) ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat sesudah) empat puluh malam, lalu kalian menjadikan anak sapi sebagai sembahan kalian sepeninggalnya dan kalian menjadi orang-orang yang zalim. Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahan kalian, agar kalian bersyukur. Dan (ingatlah) ketika Kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) dan Furqan (keterangan yang membedakan antara yang benar dan yang salah) agar kalian mendapat petunjuk.
Ayat 51-52
Allah ﷻ berfirman: "Wahai Bani Israil, ingatlah akan nikmatKu yang telah Kulimpahkan kepada kalian, Kumaafkan kalian ketika kalian menyembah anak sapi setelah kepergian Musa untuk memenuhi janji Tuhannya setelah masa janji tersebut telah tiba, yaitu empat puluh malam." Hal ini disebutkan di dalam surat Al-A'raf melalui firman-Nya: “Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi)” (Al-A'raf: 142). Menurut suatu pendapat, tiga puluh malam itu adalah bulan Dzulkaidah, sedangkan yang sepuluh malam tambahannya jatuh pada bulan Dzulhijjah. Hal ini terjadi setelah kaum Bani Israil selamat dari kejaran Fir'aun dan pasukannya, dapat menyeberangi laut dengan selamat.
Ayat 53
Firman Allah, "Waidz ataina musal kitaba." Yang dimaksud dengan Al-Kitab adalah kitab Taurat. Walfurqan, yakni keterangan dan penjelasan yang membedakan antara kebenaran dan kebatilan, dan dapat membedakan antara jalan hidayah dan kesesatan. La'allakum tahtaduna, agar kalian mendapat petunjuk.
Hal ini juga terjadi sesudah mereka diselamatkan dari laut, seperti yang ditunjukkan oleh konteks ayat dalam surat Al-A'raf tadi, juga karena firman-Nya: “Dan sesungguhnya telah kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) sesudah Kami binasakan generasi-generasi yang terdahulu, untuk menjadi pelita bagi manusia dan petunjuk dan rahmat agar mereka ingat” (Al-Qashash: 43).
Menurut suatu pendapat, huruf wawu yang ada pada lafal walfurqan merupakan huruf zaidah (tambahan). Makna yang dimaksud adalah ‘Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) yang membedakan antara yang hak dan yang batil.’ Akan tetapi, pendapat ini garib (aneh).
Menurut pendapat lainnya lagi, memang memakai huruf 'athaf, sekalipun makna keduanya sama; seperti juga yang terdapat pada perkataan seorang penyair: “Ia menyerahkan kulit itu kepada orang yang akan mengukirnya, maka ternyata si pengukir menemukan perkataannya penuh dengan kedustaan dan bualan.” Penyair lainnya mengatakan: “Aduhai Hindun, seandainya di suatu daerah ada Hindun, dan Hindun yang pasti akan datang kepadanya orang yang jauh dan orang yang bertempat tinggal jauh darinya.”
Al-kadzibu dan al-mainu pengertiannya sama, yaitu dusta; begitu pula annayu dan al-bu'du menunjukkan makna yang sama, yaitu jauh. Salah seorang penyair bernama Antrah mengatakan: “Aku teringat kepada suatu peninggalan yang telah lama, yang kini kelihatan kosong dan sepi sepeninggal Ummu Haitsam.” Lafal Iqfar di-ataf-kan kepada lafal iqwa, sedangkan makna keduanya sama saja.
Setelah menerima nikmat dalam bentuk penyelamatan dari dua bencana pembunuhan dan tenggelam di Laut Merah, Allah kemudian menyuruh Bani Israil agar mengingat lagi peristiwa penurunan wahyu kepada Nabi Musa. Dan ingatlah, wahai Bani Israil, ketika Kami menjanjikan kepada Musa empat puluh malam, waktu yang dijanjikan Allah untuk menerima wahyu. Sayang kamu tidak sabar menunggunya. Kemudian kamu menjadikan patung anak sapi yang dibuat oleh Samiri sebagai sesembahan setelah kepergian-nya (Musa). Dan dengan perbuatan menyembah patung anak sapi itu, kamu, wahai Bani Israil, menjadi orang yang zalim yang kezalimannya itu terhunjam di dalam jiwa. Walaupun kedurhakaan Bani Israil sudah berlipat-lipat, namun Allah memberikan maaf kepada mereka. Kemudian Kami memaafkan kamu atas berbagai kedurhakaan dan ketidaksyukuran yang kamu lakukan setelah itu, agar kamu kembali ke jalan lurus dan bersyukur atas nikmat yang telah dicurahkan oleh Allah. Dengan demikian, semoga kamu dapat memperbaiki diri.
Pada ayat ini Allah ﷻ mengingatkan mereka kepada nikmat yang lain sesudah nikmat-nikmat-Nya yang tersebut di atas, yaitu Allah menjanjikan kepada Musa a.s. akan memberikan Taurat kepadanya, dan Allah menentukan waktunya yaitu selama 40 malam. Mereka menganggap bahwa waktu yang ditetapkan itu terlalu lama maka mereka membuat patung anak sapi dari emas dan mereka sembah. Dengan demikian mereka telah menganiaya diri mereka sendiri karena perbuatan syirik yang mereka lakukan.
Sikap mereka itu sangat mengherankan, sebab janji Allah kepada Nabi Musa a.s. akan menurunkan Kitab Taurat sebenarnya merupakan nikmat dan keutamaan yang amat besar bagi Bani Israil, tetapi mereka balas dengan perbuatan yang amat keji, yaitu kekafiran dan kebodohan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 51-56
Ayat 51
“Dan (Ingatlah) tatkala Kami janjikan kepada Musa empat puluh malam, kemudian kamu ambil anak lembu sepeninggalnya; dan adalah kamu orang-orang yang aniaya."
Ingatlah tatkala telah selamat kamu diseberangkan, dilepaskan dari penindasan dan kehinaan, Tuhan Allah telah memanggil Musa menghadap Allah atau bersunyi diri membuat hubungan jiwa dengan Allah di lembah Thuwa di Pegunungan Thur! Sebab apabila kamu telah selamat diseberangkan, kehendak Tuhan ialah supaya kamu diberi pimpinan. Sebab kemerdekaan saja belumlah cukup. Yang lebih penting ialah, apakah yang harus kamu kerjakan sesudah merdeka. Mana jalan yang akan kamu tuju, apa peraturan yang wajib kamu pakai.
Sebab itu, Tuhan memanggil Musa menghadap, empat puluh hari lamanya, supaya diterimanya perintah-perintah Tuhan untuk keselamatan kamu. Dan, disuruhnya kamu menunggu dia pulang kembali dengan sabar, di bawah pimpinan Harun. Akan tetapi, apa yang telah kamu perbuat setelah Musa pergi? Kamu telah berbuat suatu perbuatan yang sangat jahat; kamu ambil perhiasan emas perempuan-perempuan kamu lalu kamu lebur menjadi sebuah patung anak lembu, kamu sembah itu dan kamu katakan bahwa itulah Tuhan!
Alangkah jahatnya perbuatanmu itu, hai Bani Israil! Padahal kamu telah dibebaskan dari kehinaan, karena Fir'aun itu sendiri menganggap dirinya jadi Tuhan. Dan, kamu berbuat kejahatan besar itu belum lama sesudah Kami dibebaskan. Ini menunjukkan bahwa kamu tidak juga mengerti guna apa kamu dibebaskan.
Ayat 52
“Kemudian telah Kami beri maaf kamu sesudah itu, supaya kamu bersyukur."
Kamu diberi maaf sesudah berbuat kesalahan besar itu, bukan pula karena kamu umat yang istimewa atau suku pilihan Allah, melainkan karena kebodohan kamu, belum Allah hendak menghancurkan kamu seluruhnya. Karena kejadian itu ialah sebelum Musa pulang membawa Hukum Taurat dan syari'at untuk kamu. Supaya kamu bersyukur kepada Tuhan sebab kepadamu masih diberikan kesempatan buat memperbaiki diri.
Dengan peringatan-peringatan begini, patutlah insaf Bani Israil yang kena peringatan di zaman Rasulullah itu bahwa memang sejak bermula mereka telah keras kepala, sombong, tetapi bodoh, tinggi hati, tetapi goblok.
Ayat 53
“Dan (Ingatlah) seketika Kami datangkan kepada Musa akan Kitab itu dan Pemisahan; supaya kamu beroleh petunjuk."
Ingatlah olehmu hai Bani Israil bahwa setelah Nabi Musa a.s. menghadap Tuhannya empat puluh hari lamanya, dia pun pulang kembali kepadamu. Dia telah membawa Kitab itu, yaitu kitab Taurat disertai dengan al-Furqaan, ialah peraturan-peraturan dan beberapa perundangan yang harus kamu jalankan, sampai kepada peraturan puasa, kurban, dan sebagainya. Gunanya ialah untuk pimpinan bagi kamu dan untuk petunjuk yang wajib kamu jalankan. Al-Furqan yang berarti pemisahan, juga menjadi nama dari Al-Qur'an, juga menjadi nama dari akal, sebab dia pemisah di antara yang hak dan yang batil.
Menurut keterangan Mujahid, yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Humaid dan Ibnu Jarir, al-Furqaan ialah keempat kumpulan kitab suci: Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur'an.
Ayat 54
“Dan (Ingatlah) seketika berkata Musa kepada kaumnya, Wahai, kaumku! Sesungguhnya, kamu telah menganiaya diri kamu (sendiri) dengan kamu mengambil anak lembu itu."
…menjadi Tuhan. Kamu telah diberi maaf karena mungkin kamu belum mengerti benar-benar perbedaan agama kita yang diturunkan Tuhan dengan paham-paham yang dianut oleh orang Mesir dengan Fir'aunnya itu sehingga kamu sangka bahwa Tuhan Allah kita serupa juga dengan berhala yang disembah kaum Fir'aun. Kamu lihat orang Mesir menyembah berhala anak lembu yang bernama Apis; lalu itu hendak kamu tiru pula. Sekarang, aku telah datang membawa Kitab dan Pemisahan, ajaran pokok dasar dan ajaran peraturan hidup sehari-hari. Dan kamu telah paham siapa Dia Tuhan kita yang sebenarnya. Setelah kamu paham akan hakikat pegangan dan anutan kita, niscaya mengertilah kamu bahwa kamu yang memuja berhala anak lembu itu telah bersalah besar. Dan kalau telah insaf bahwa bersalah, niscaya tidak ada lain jalan melainkan bertobat; mintalah ampun kepada Allah. Dan oleh karena kamu sendiri pun telah mengerti bahwa kesalahanmu ini sangat besar, maka tobatnya pun bukan sembarang tobat. Tobatnya ialah dengan membunuh dirimu sendiri. Siapa yang merasa bersalah, turut campur membuat berhala anak lembu, dan menyembahnya menjadikannya Tuhan, hendaklah dia bersedia membunuh dirinya sendiri. Dengan demikian, barulah benar tobatmu, “Maka tobatlah kamu kepada Maha Penciptamu, dan bunuhlah diri kamu. Itulah yang lebih baik buat kamu pada sisi Maha Penciptamu, niscaya akan diberi-Nya tobat atas kamu." Kalau hanya tobat-tobatan begitu saja, kamu anggap ringanlah perkara ini. Kamu telah dibebaskan dari Mesir karena kita tidak suka penyembahan berhala, padahal setelah keluar dari Mesir kamu membuat berhala. Obat buat membersihkan ini tidak lain hanya tobat dengan mencabut nyawa sendiri. Hidup karena ini tidak berguna lagi. Kalau sudah begitu, barulah tobat kamu benar-benar tobat,
“Sesungguhnya, Dia adalah Maha Pengampun, lagi Penyayang."
Memang beginilah pimpinan yang harus diberikan Musa pada waktu itu. Agar menjadi iktibar buat selanjutnya. Kesalahan yang lain mungkin akan banyak timbul, namun kesalahan mempersekutukan yang lain dengan Allah, tidaklah habis dengan minta maaf saja. Tuhan pun telah memberi maaf, sebagai tersebut pada ayat 52 tadi. Tetapi kalau maaf Allah itu diterima demikian saja, umat itu akan lupa lagi.
Dengan begini, barulah sepadan pemaaf Allah dengan tobat nashuha hamba-Nya. Di dalam kitab Taurat yang ada sekarang (Keluaran, Pasal 32, ayat 28) bahwa yang membunuh diri karena tobat itu adalah sebanyak 3.000 orang. Sedang Al-Qur'an sendiri tidaklah menyebut berapa jumlah itu sebab yang penting bukanlah jumlah orang yang mati, melainkan betapa hebat dan kerasnya pimpinan Musa dalam melakukan tobat.
Taubat dengan membunuh diri dalam syari'at Musa ini adalah berlaku sebagai hukuman. Dengan demikian, bukan berarti bahwa seorang yang merasa dirinya bersalah besar, dibolehkan membunuh dirinya dengan kehendak sendiri, terutama dalam syari'at Nabi Muhammad ﷺ.
Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ali bin Abi Thalib, kata beliau, kaum itu bertanya kepada Nabi Musa, “Bagaimana caranya kami tobat?" Nabi Musa menjawab, “Yang setengah kamu, yaitu yang tidak bersalah, membunuh yang bersalah." Maka mereka ambillah pisau-pisau lalu saudara membunuh saudaranya, ayahnya, dan anaknya, sehingga matilah sampai 70.000 orang dengan tidak ambil pusing lagi siapa yang terbunuh. Setelah itu, datanglah wahyu kepada Nabi Musa menyuruh berhenti sebab kewajiban itu telah selesai, yang bersalah telah mati, dan yang tinggal sudah diberi tobat.
Berdasarkan riwayat yang dua ini, lebih jelas lagi bahwasanya bunuhlah diri-diri kamu berarti bapak membunuh anak, anak membunuh bapak, saudara membunuh saudara. Artinya, sama dengan membunuh diri sendiri, sebab yang dibunuh itu ialah dirimu juga, belahan diri, satu darah, satu turunan.
Ayat 55
“Dan (Ingatlah) tatkala kamu berkata kepada Musa, Wahai, Musa. Tidaklah kami mau percaya kepada engkau, sehingga kami lihat Allah itu dengan tenang."
Ingatlah hai Bani fsrail bahwa setelah nenek moyang kamu itu membuat berhala anak lembu sampai disuruh tobat dengan membunuh diri, janganlah kamu sangka bahwa mereka telah berhenti hingga itu saja. Patutlah hal itu menjadi peringatan bagi yang lain. Namun, tidak! Kesalahan yang lain berulang lagi; ada pula yang berani berkata kepada
Nabi Musa, tidak beberapa lama sesudah itu bahwa mereka belum hendak percaya kepada apa yang diperintahkan oleh Musa sebelum Musa memperlihatkan Allah itu terang-terang kepada mereka.
Apakah lantaran mereka tidak juga percaya bahwa Allah Ta'aala itu ada? Mereka telah percaya, tetapi kepada Musalah mereka tidak mau percaya kalau Musa tidak mau mempertemukan mereka pula dengan Allah, sebagaimana Musa sendiri telah bertemu. Mengapa Musa dan Harun saja yang boleh bertemu dengan Allah dan bercakap dengan Allah terang-terangan? Bukankah nikmat Allah itu harus rata? Semua kita ini keturunan Israil, dari Ishaq dan dari Ibrahim; mengapa maka Musa dan Harun saja harus lebih? Kami pun berhak, sebagai keturunan Ibrahim, Ishaq, dan Ya'kub, untuk melihat Allah terang-terangan.
Perkataan ini mereka nyatakan lagi setelah Nabi Harun meninggal dan hanya tinggal Nabi Musa menghadapi mereka. Akhirnya tentu kamu masih ingat, hai Bani Israil bahwa moyang-moyangmu yang berani berkata demikian mendapat hukum setimpal dari Allah,
“Maka … timpalah kamu oleh gempa, dan kamu pun melihat sendiri."
Di dalam Kitab mereka (Kitab Bilangan, Pasal 16) disebutkan bahwa setelah mereka mengucapkan kata demikian, murka Allah turun, bumi pun belah, maka tenggelamlah orang-orang yang ingin melihat Allah itu ke dalam belahan bumi itu dan menyalalah api dari sudut yang lain, nyala api itu menjilati kemah dan banyaklah pula yang mati terbakar. Yang lain, yang tidak turut dalam gerak yang jahat itu, menyaksikan sendiri segala kejadian itu.
Ayat 56
“Kemudian Kami bangkitkan kamu sesudah mati, supaya kamu bersyukur."
Ada riwayat setengah ahli tafsir bahwa orang-orang mati dihantam gempa atau nyala api yang timbul dari dalam bumi itu dihidupkan kembali; maka bersyukurlah mereka lantaran mereka dihidupkan kembali. Ada lagi tafsir mengatakan bahwa mereka mati betul-betul, tetapi sudah hampir mau mati, mungkin karena kontak listrik yang timbul dari bumi yang menimbulkan gempa dahsyat itu. Setelah gempa berhenti, mereka pun berangsur di-bangunkan dan bersyukur kepada Tuhan mereka dihidupkan untuk bertobat kembali.
Dalam surah al-A'raaf (7): 143 terkisah bahwa setelah Tuhan tajalli di puncak gunung, Nabi Musa pingsan.
“Tersungkurlah Musa dalam keadaan pingsan." (al-A'raaf: 143)
Di ayat itu tertulis sha'iqan, Musa pingsan. Di ayat yang tengah kita tafsirkan ini, orang-orang yang ingin melihat Tuhan dengan terang itu pun kena sha'iqan, jadi pingsan. Jadi, setengah mati. Berdasar kepada pengertian itu—kata ahli tafsir itu—teranglah bahwa mereka bukan terus mati. Setelah hilang geseran listrik dari sebab gempa itu, mereka pun siuman, bangun kembali.