Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
hai
ٱلنَّبِيُّ
Nabi
إِنَّآ
sesungguhnya Kami
أَحۡلَلۡنَا
Kami telah menghalalkan
لَكَ
bagimu
أَزۡوَٰجَكَ
istri-istrimu
ٱلَّـٰتِيٓ
yang
ءَاتَيۡتَ
kamu telah berikan
أُجُورَهُنَّ
maskawin mereka
وَمَا
dan apa
مَلَكَتۡ
yang dimiliki
يَمِينُكَ
tangan kananmu (hamba sahaya)
مِمَّآ
dari apa
أَفَآءَ
memberi/mengkaruniakan
ٱللَّهُ
Allah
عَلَيۡكَ
atasmu
وَبَنَاتِ
dan anak-anak perempuanmu
عَمِّكَ
saudara perempuan bapakmu
وَبَنَاتِ
dan anak-anak perempuan
عَمَّـٰتِكَ
saudara perempuan bapakmu
وَبَنَاتِ
dan anak-anak perempuan
خَالِكَ
saudara laki-laki bapakmu
وَبَنَاتِ
dan anak-anak perempuan
خَٰلَٰتِكَ
saudara perempuan ibumu
ٱلَّـٰتِي
yang
هَاجَرۡنَ
mereka hijrah
مَعَكَ
bersamamu
وَٱمۡرَأَةٗ
dan wanita
مُّؤۡمِنَةً
yang beriman
إِن
jika
وَهَبَتۡ
ia menyerahkan
نَفۡسَهَا
dirinya
لِلنَّبِيِّ
kepada nabi
إِنۡ
jika
أَرَادَ
menghendaki
ٱلنَّبِيُّ
nabi
أَن
bahwa
يَسۡتَنكِحَهَا
dia akan mengawininya
خَالِصَةٗ
pengkhususan
لَّكَ
bagimu
مِن
dari
دُونِ
selain
ٱلۡمُؤۡمِنِينَۗ
orang-orang yang beriman
قَدۡ
sesungguhnya
عَلِمۡنَا
kami telah mengetahui
مَا
apa
فَرَضۡنَا
yang kami fardukan/wajibkan
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
فِيٓ
pada
أَزۡوَٰجِهِمۡ
istri-istri mereka
وَمَا
dan tidak
مَلَكَتۡ
yang dimiliki
أَيۡمَٰنُهُمۡ
tangan kanan mereka (hamba sahaya)
لِكَيۡلَا
supaya tidak
يَكُونَ
adalah
عَلَيۡكَ
atasmu
حَرَجٞۗ
kesempitan
وَكَانَ
dan adalah
ٱللَّهُ
Allah
غَفُورٗا
Maha Pengampun
رَّحِيمٗا
Maha Penyayang
يَٰٓأَيُّهَا
hai
ٱلنَّبِيُّ
Nabi
إِنَّآ
sesungguhnya Kami
أَحۡلَلۡنَا
Kami telah menghalalkan
لَكَ
bagimu
أَزۡوَٰجَكَ
istri-istrimu
ٱلَّـٰتِيٓ
yang
ءَاتَيۡتَ
kamu telah berikan
أُجُورَهُنَّ
maskawin mereka
وَمَا
dan apa
مَلَكَتۡ
yang dimiliki
يَمِينُكَ
tangan kananmu (hamba sahaya)
مِمَّآ
dari apa
أَفَآءَ
memberi/mengkaruniakan
ٱللَّهُ
Allah
عَلَيۡكَ
atasmu
وَبَنَاتِ
dan anak-anak perempuanmu
عَمِّكَ
saudara perempuan bapakmu
وَبَنَاتِ
dan anak-anak perempuan
عَمَّـٰتِكَ
saudara perempuan bapakmu
وَبَنَاتِ
dan anak-anak perempuan
خَالِكَ
saudara laki-laki bapakmu
وَبَنَاتِ
dan anak-anak perempuan
خَٰلَٰتِكَ
saudara perempuan ibumu
ٱلَّـٰتِي
yang
هَاجَرۡنَ
mereka hijrah
مَعَكَ
bersamamu
وَٱمۡرَأَةٗ
dan wanita
مُّؤۡمِنَةً
yang beriman
إِن
jika
وَهَبَتۡ
ia menyerahkan
نَفۡسَهَا
dirinya
لِلنَّبِيِّ
kepada nabi
إِنۡ
jika
أَرَادَ
menghendaki
ٱلنَّبِيُّ
nabi
أَن
bahwa
يَسۡتَنكِحَهَا
dia akan mengawininya
خَالِصَةٗ
pengkhususan
لَّكَ
bagimu
مِن
dari
دُونِ
selain
ٱلۡمُؤۡمِنِينَۗ
orang-orang yang beriman
قَدۡ
sesungguhnya
عَلِمۡنَا
kami telah mengetahui
مَا
apa
فَرَضۡنَا
yang kami fardukan/wajibkan
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
فِيٓ
pada
أَزۡوَٰجِهِمۡ
istri-istri mereka
وَمَا
dan tidak
مَلَكَتۡ
yang dimiliki
أَيۡمَٰنُهُمۡ
tangan kanan mereka (hamba sahaya)
لِكَيۡلَا
supaya tidak
يَكُونَ
adalah
عَلَيۡكَ
atasmu
حَرَجٞۗ
kesempitan
وَكَانَ
dan adalah
ٱللَّهُ
Allah
غَفُورٗا
Maha Pengampun
رَّحِيمٗا
Maha Penyayang
Terjemahan
Wahai Nabi (Muhammad) sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah engkau berikan maskawinnya dan hamba sahaya yang engkau miliki dari apa yang engkau peroleh dalam peperangan yang dianugerahkan Allah untukmu dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu, dan perempuan mukminat yang menyerahkan dirinya kepada Nabi jika Nabi ingin menikahinya sebagai kekhususan bagimu, bukan untuk orang-orang mukmin (yang lain). Sungguh, Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki agar tidak menjadi kesempitan bagimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tafsir
(Hai Nabi! Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagi kamu istri-istrimu yang telah kamu berikan maskawinnya) yakni maharnya (dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang dikaruniakan oleh Allah kepadamu) dari orang-orang kafir melalui peperangan, yaitu sebagai tawananmu, seperti Shofiah dan Juwairiah (dan demikian pula anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu) berbeda halnya dengan perempuan-perempuan dari kalangan mereka yang tidak ikut berhijrah (dan perempuan Mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya) bermaksud untuk menikahinya tanpa memakai maskawin (sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang Mukmin) dalam pengertian nikah yang memakai lafal Hibah tanpa maskawin, (Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka) kepada orang-orang Mukmin (tentang istri-istri mereka) berupa hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan, yaitu hendaknya mereka mempunyai istri tidak lebih dari empat orang wanita dan hendaknya mereka tidak melakukan perkawinan melainkan harus dengan adanya seorang wali dan saksi-saksi serta maskawin (dan) di dalam (hamba sahaya yang mereka miliki) hamba sahaya perempuan yang dimilikinya melalui jalan pembelian dan jalan yang lainnya, seumpamanya, hamba sahaya perempuan itu termasuk orang yang dihalalkan bagi pemiliknya, karena ia adalah wanita ahli kitab, berbeda halnya dengan sahaya wanita yang beragama majusi atau watsani, dan hendaknya sahaya wanita itu melakukan istibra' atau menyucikan rahimnya terlebih dahulu sebelum digauli oleh tuannya (supaya tidak) lafal ayat ini berta'alluq pada kalimat sebelumnya (menjadi kesempitan bagimu) dalam masalah pernikahan. (Dan adalah Allah Maha Pengampun) dalam hal-hal yang memang sulit untuk dapat dihindari (lagi Maha Penyayang) dengan memberikan keleluasaan dan kemurahan dalam hal ini.
Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan maskawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu, dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan baginya, bukan untuk semua orang mukmin.
Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah ﷻ berfirman kepada Nabi-Nya, bahwa Dia telah menghalalkan baginya istri-istri yang telah dia berikan kepada mereka maskawinnya, yang dalam ayat ini disebutkan dengan istilah ujur yang menurut arti bahasanya ialah upah, sedangkan makna yang dimaksud ialah maskawin.
Demikianlah menurut Qatadah dan ulama lainnya yang bukan hanya seorang. Mahar atau maskawin yang diberikan oleh Nabi ﷺ kepada istri-istrinya (yakni kepada tiap orang dari mereka) adalah sepuluh setengah uqiyah yang harganya ditaksir kurang lebih lima ratus dirham. Terkecuali Ummu Habibah binti Abu Sufyan, karena sesungguhnya maharnya dibayarkan oleh Raja An-Najasyi sebanyak empat ratus dinar. Kecuali pula Siti Safiyyah binti Huyayyin, karena sesungguhnya Nabi ﷺ telah memilihnya di antara para tawanan wanita Khaibar, kemudian beliau ﷺ memerdekakannya, dan menjadikan pemerdekaannya sebagai maskawinnya. Demikian pula halnya Siti Juwairiyah bintil Haris Al-Mustaliqiyah, yakni dari Banil Mustaliq. Nabi ﷺ telah melunasi cicilan Kitabahnya terhadap Sabit ibnu Qais ibnu Syammas, lalu beliau ﷺ menikahinya. Firman Allah ﷻ: dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu. (Al-Ahzab: 50) Dan Allah membolehkan bagimu mempergundik wanita yang kamu peroleh dari tawanan perang.
Nabi ﷺ telah memiliki Safiyyah dan Juwairiyah, lalu memerdekakan keduanya dan mengawini keduanya. Beliau memiliki pula Raihanah binti Syam'un An-Nadriyyah serta Mariyah Al-Qibtiyyah yang menghasilkan seorang putra darinya bernama Sayyid Ibrahim a.s. Mereka berdua diambil dari hamba sahaya, lalu dijadikan istri. Firman Allah ﷻ: dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu. (Al-Ahzab: 50), sampai akhir ayat. Ini merupakan hukum yang adil dan pertengahan antara yang ringan dan yang berlebihan, karena sesungguhnya orang-orang Nasrani tidak mau mengawini wanita terkecuali apabila antara lelaki yang bersangkutan dan wanita yang bersangkutan terdapat jarak pemisah tujuh kakek lebih.
Sedangkan orang-orang Yahudi mau mengawini anak perempuan saudara lelaki atau saudara perempuannya. Lalu datanglah syariat Islam yang sempurna lagi suci merevisi keberlebihan orang-orang Nasrani, lalu membolehkan mengawini anak perempuan paman atau anak perempuan bibi dari pihak bapak, boleh pula mengawini anak perempuan dari saudara laki-laki atau saudara perempuan ibu. Kemudian Islam mengharamkan keringanan orang-orang Yahudi yang membolehkan mengawini keponakan, karena hal ini merupakan perbuatan yang sangat memalukan lagi menjijikkan.
Dan sesungguhnya Allah ﷻ menyebutkan dalam firman-Nya: dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu. (Al-Ahzab: 50) dengan memakai ungkapan tunggal pada laki-laki karena kemuliaannya dan memakai bentuk jamak pada perempuan karena kekurangan mereka. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan di dalam firman-Nya: ke kanan dan ke kiri. (An-Nahl: 48) Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). (Al-Baqarah: 257) Dan Firman Allah ﷻ: dan mengadakan gelap dan terang. (Al-An'am: 1) Ayat-ayat lainnya yang sama cukup banyak. Firman Allah ﷻ: yang turut hijrah bersama kamu. (Al-Ahzab: 50) Ibnu Abu Hatim rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar ibnul Haris Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Israil, dari As-Saddi, dari Abu Saleh, dari Ummu Hani' yang telah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah melamarnya, tetapi ia keberatan dan beliau ﷺ memaafkannya (memahami alasannya).
Kemudian Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan maskawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu. (Al-Ahzab: 50) Ummu Hani' mengatakan bahwa ia tidak memperkenankan Nabi ﷺ mengawini dirinya, dan ia bukan termasuk wanita yang hijrah bersamanya dan dia termasuk orang-orang yang dibebaskan (setelah penaklukan kota Mekah). Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Abu Kuraib, dari Ubaidillah ibnu Musa dengan sanad yang sama.
Hal yang sama dikatakan oleh Abu Razin dan Qatadah, bahwa sesungguhnya makna yang dimaksud dengan hijrah ialah hijrah ke Madinah bersama Rasulullah ﷺ Menurut riwayat lain yang bersumber dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: yang turut hijrah bersamamu. (Al-Ahzab: 50) Makna yang dimaksud ialah wanita-wanita yang masuk Islam. Ad-Dahhak mengatakan bahwa Ibnu Mas'ud membaca ayat ini dengan bacaan berikut: Dan yang turut hijrah bersamamu. Yakni dengan memakai huruf wawu sebelum lafaz al-lati. Firman Allah ﷻ: dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu. (Al-Ahzab: 50), hingga akhir ayat.
Hai Nabi, Allah telah menghalalkan bagimu wanita mukmin yang menyerahkan dirinya kepadamu untuk kamu kawini tanpa maskawin, jika memang kamu menyukainya. Ayat ini mengandung dua syarat yang berurutan sekaligus semakna dengan firman Allah ﷻ yang menceritakan perkataan Nabi Nuh a.s. kepada kaumnya, yaitu: Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasihatku jika aku hendak memberi nasihat kepadamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu. (Hud: 34) Dan perkataan Nabi Musa a.s. kepada kaumnya yang dikisahkan oleh firman-Nya: Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri. (Yunus: 84) Dan dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya: dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi. (Al-Ahzab: 50), hingga akhir ayat.
". ". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami Malik, dari Abu Hazim, dari Sahd ibnu Sa'd As-Sa'idi, bahwa Rasulullah ﷺ pernah kedatangan seorang wanita, lalu wanita itu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku serahkan diriku kepadamu." Maka Rasulullah ﷺ tidak menjawabnya dan wanita itu berdiri saja dalam waktu yang cukup lama. Lalu berdirilah seorang laki-laki dan berkata, "Wahai Rasulullah, kawinkanlah aku dengan dia jika engkau tidak berhajat kepadanya." Rasulullah ﷺ bertanya, "Apakah kamu memiliki sesuatu yang akan engkau berikan kepadanya sebagai maskawinnya?" Lelaki itu menjawab, "Aku tidak memiliki selain dari kainku ini." Rasulullah ﷺ bersabda, "Jika kamu berikan kainmu kepadanya, berarti kamu tidak punya kain lagi jika duduk. Maka carilah yang lainnya." Lelaki itu menjawab, "Saya tidak memiliki yang lainnya." Rasulullah ﷺ bersabda: Carilah, sekalipun (maskawin itu) berupa cincin besi.
Lelaki itu mencari cincin besi, dan ternyata ia tidak memilikinya. Lalu Nabi ﷺ bertanya, "Apakah kamu hafal sesuatu dari Al-Qur'an?" Lelaki itu menjawab, "Ya, saya hafal surat anu disebutkan beberapa surat." Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: Aku nikahkan dia dengan kamu dengan maskawin hafalan Al-Qur'anmu itu. Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui hadis Malik. ". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Marhum, ia pernah mendengar Sabit mengatakan bahwa ketika ia sedang duduk bersama sahabat Anas yang saat itu di hadapannya terdapat seorang putrinya.
Kemudian Anas r.a. bercerita bahwa pernah ada seorang wanita datang kepada Nabi ﷺ, lalu berkata, "Wahai Nabi Allah, apakah engkau mempunyai suatu keperluan (kawin)?" Anak perempuan wanita itu berkata, "Betapa tidak malunya ibu mengemukakan hal itu." Nabi ﷺ bersabda: Ibumu lebih baik daripada kamu. Dia mencintai Nabinya, lalu ia menawarkan dirinya (untuk) dikawin oleh Nabi.Imam Bukhari mengetengahkannya secara tunggal melalui riwayat Marhum ibnu Abdul Aziz, dari Sabit Al-Bannani, dari Anas dengan lafaz yang semisal. ". ". Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Sinan ibnu Rabi'ah, dari Al-Hadrami, dari Anas ibnu Malik, bahwa pernah ada seorang wanita datang menghadap kepada Nabi ﷺ, lalu wanita itu berkata, "Wahai Rasulullah, aku mempunyai seorang anak perempuan yang berciri khas anu dan anu," wanita itu menyebutkan kebaikan akhlaknya dan kecantikannya," karena itu aku lebih memprioritaskan dia daripada diriku sendiri untuk dikawin olehmu." Rasulullah ﷺ menjawab, "Aku terima dia darimu." Wanita itu terus-menerus memuji putrinya, sehingga ia menceritakan bahwa putrinya itu tidak pernah membangkang dan tidak pernah mengeluh terhadap sesuatu pun.
Akhirnya Nabi ﷺ bersabda: Aku tidak mempunyai keinginan terhadap anak perempuanmu itu. Para ahli sunnah tidak ada yang mengetengahkan hadis ini. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Mansur ibnu Abu Muzahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abul Waddah (yakni Muhammad ibnu Muslim), dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah yang menceritakan bahwa Khaulah binti Hakim pernah menyerahkan dirinya kepada Nabi ﷺ Ibnu Wahb telah menceritakan dari Sa'id ibnu Abdur Rahman dan Ibnu Abuz Zanad, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, bahwa Khaulah binti Hakim ibnul Auqas dari Bani Sujaim adalah salah seorang wanita yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah ﷺ untuk dikawin.
Menurut riwayat lain yang juga melaluinya dari Sa'id ibnu Abdur Rahman, dari Hisyam, dari ayahnya, disebutkan bahwa kami sering membicarakan bahwa khaulah binti Hakim termasuk wanita yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah ﷺ dan dia adalah seorang wanita yang saleh. Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa Ummu Sulaim itu barangkali adalah Khaulah binti Hakim, atau barangkali dia adalah wanita lainnya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ubaidah, dari Muhammad ibnu Ka'b dan Umar ibnul Hakam serta Abdullah ibnu Ubaidah.
Mereka mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ mengawini tiga belas orang wanita; enam prang di antaranya dari kalangan Quraisy, yaitu Khadijah, Aisyah, Hafsah, Ummu Habibah, Saudah, dan Ummu Salamah. Tiga orang dari Bani Amir ibnu Sa'sa'ah. Serta dua orang dari Bani Hilal ibnu Amir, yaitu Maimunah bintil Haris yang menyerahkan dirinya kepada Nabi ﷺ, dan Zainab yang dijuluki Ummul Masakin. Seorang wanita dari kalangan Bani Bakar ibnu Kilab Al-Quraziyyah, salah seorang wanita yang pada akhirnya lebih memilih duniawi; dan seorang wanita lagi dari kalangan Banil Jun yang menampik Nabi ﷺ Kemudian Zainab binti Jahsy Al-Asadiyyah dan dua orang wanita tawanan, yaitu Safiyyah binti Huyayyin ibnu Akhtab serta Juwairiyah bintil Haris ibnu Amr ibnul Mustaliq Al-Khuza'iyyah.
Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi. (Al-Ahzab: 50) Dia adalah Maimunah bintil Haris; dalam riwayat ini terdapat inqita' (mata rantai sanad yang terputus) sehingga predikatnya adalah mursal. Menurut pendapat yang terkenal, Zainab yang dijuluki Ummul Masakin (ibu kaum miskin) adalah Zainab binti Khuzaimah Al-Ansari. Ia meninggal dunia sebagai istri Nabi ﷺ dan saat Nabi ﷺ masih hidup. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Kami kemukakan hal ini dengan maksud bahwa wanita-wanita yang menyerahkan dirinya kepada Nabi ﷺ itu banyak, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Bukhari, bahwa telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah yang mengatakan bahwa ia merasa cemburu kepada wanita-wanita yang menyerahkan diri mereka kepada Nabi ﷺ sehingga kukatakan, "Apakah pantas wanita menyerahkan dirinya?" Dan ketika ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: Kamu boleh menangguhkan (menggauli) siapa yang kamu kehendaki di antara mereka (istri-istrimu) dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki.
Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai maka tidak ada dosa bagimu. (Al-Ahzab: 51) Maka aku (Aisyah) mengatakan, "Saya tidak melihat Tuhanmu melainkan selalu tanggap memenuhi kesukaanmu." Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Mansur Al-Ju'fi, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, dari Anbasah ibnul Azhar, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ tidak mempunyai istri seorang wanita pun dari kalangan wanita-wanita yang menyerahkan dirinya kepada beliau.
Ibnu Jarir telah meriwayatkannya dari Abu Kuraib, dari Yunus ibnu Bukair, bahwa Nabi ﷺ belum pernah menerima seorang wanita pun yang menyerahkan dirinya kepada beliau, sekalipun hal itu diperbolehkan baginya dan sebagai suatu kekhususan bagi beliau. Demikian itu karena hal tersebut sepenuhnya diserahkan kepada kehendak beliau ﷺ, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya: kalau Nabi mau mengawininya. (Al-Ahzab: 50) Maksudnya Jika Nabi ﷺ memilih mengawininya. Firman Allah ﷻ: sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. (Al-Ahzab: 50) Ikrimah mengatakan bahwa wanita yang menyerahkan dirinya tidak halal bagi selainmu. Seandainya ada seorang wanita menyerahkan dirinya kepada seorang lelaki, maka wanita itu tidak halal baginya sebelum si lelaki itu memberikan sesuatu kepadanya sebagai maskawinnya.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan Asy-Sya'bi serta selain keduanya, bahwa apabila seorang wanita menyerahkan dirinya kepada seorang lelaki, sesungguhnya manakala lelaki itu menggaulinya (setelah nikah dengannya, pent.) diwajibkan atas lelaki itu membayar mahar misil kepada wanita tersebut, sebagaimana yang telah diputuskan oleh Rasulullah ﷺ dalam kasus perkawinan anak perempuan Wasyiq. Anak perempuan Wasyiq menyerahkan dirinya kepada seorang lelaki (lalu kawin dengannya), maka Rasulullah ﷺ menetapkan bagi wanita itu mendapat mahar misilnya saat si lelaki atau suaminya itu meninggal dunia. Dalam masalah ini kematian dan jimak sama saja dalam hal ketetapan wajib membayar mahar (maskawin) bagi pihak laki-laki terhadap wanita yang menyerahkan diri kepadanya untuk dikawini.
Ketentuan wajib membayar mahar misil ini hanya berlaku bagi selain Nabi ﷺ Adapun Nabi ﷺ tidak wajib membayar sesuatu pun dari mahar misil wanita yang menyerahkan diri kepadanya, seandainya beliau menggaulinya. Dikatakan demikian karena diperbolehkan bagi Nabi ﷺ kawin tanpa maskawin, tanpa wali, dan tanpa saksi sebagai kekhususan bagi beliau ﷺ, sebagaimana yang pernah terjadi dalam kisah Zainab binti Jahsy r.a. (karena dikawinkan langsung oleh Allah ﷻ dengan beliau ﷺ). Karena itulah Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. (Al-Ahzab: 50) Bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang wanita menyerahkan dirinya kepada seorang lelaki tanpa wali dan tanpa maskawin selain Nabi ﷺ Firman Allah ﷻ: Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki. (Al-Ahzab: 50) Ubay ibnu Ka'b, Mujahid, Al-Hasan, Qatadah, serta Ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka. (Al-Ahzab: 50) Yakni berkaitan dengan pembatasan bagi mereka yang hanya diperbolehkan mengawini empat orang wanita merdeka dan berapa orang wanita pun yang mereka kehendaki dari kalangan budak-budak perempuan, juga berkaitan dengan persyaratan adanya wali dan maskawin serta para saksi bagi mereka, yang hal ini berlaku untuk semua kaum muslim.
Tetapi Kami berikan rukhsah (kemurahan) bagimu dalam hal ini, untuk itu Kami tidak mewajibkan atas kamu sesuatu pun dari batasan-batasan dan ikatan-ikatan tersebut. supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Ahzab: 50)"
Usai menjelaskan persoalan perceraian yang berlaku secara umum pada ayat-ayat yang lalu, pada ayat berikut Allah menjelaskan hukum pernikahan yang berlaku secara khusus bagi Nabi Muhammad. Wahai Nabi Muhammad! Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah engkau berikan maskawinnya, dan Kami halalkan juga bagimu hamba sahaya yang engkau miliki, termasuk apa yang engkau peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, berupa harta maupun wanita yang ditinggalkan oleh musuh. Dan Kami halalkan pula untukmu menikahi anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu, dan Kami halalkan pula untukmu menikahi perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi untuk dinikahi tanpa mahar, kalau Nabi ingin menikahinya. Kami gariskan hukum demikian sebagai kekhususan bagimu, wahai Nabi Muhammad, bukan untuk semua orang mukmin selain dirimu. Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka, orang-orang mukmin, tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki. Kami tentukan hukum perkawinan yang demikian itu kepadamu tiada lain agar tidak menjadi kesempitan dan beban bagimu, wahai Nabi, dalam menjalankan tugas kenabian. Dan Allah Maha Peng-ampun kepada hamba-Nya yang bertobat, Maha Penyayang dengan karunia-Nya yang tiada terbatas. 51. Bila para suami yang berpoligami wajib secara adil mengatur gilir-an untuk mendatangi istri-istri mereka, maka ketentuan demikian tidak Allah berlakukan atas Nabi Muhammad. Engkau, wahai Nabi Muhammad, boleh menangguhkan menggauli siapa yang engkau kehendaki di antara mereka, yakni para istrimu, dan boleh pula menggauli siapa di antara mereka yang engkau kehendaki. Dan siapa yang engkau ingini untuk menggaulinya kembali dari istri-istrimu yang telah engkau sisihkan, yakni engkau tinggalkan untuk tidak menggaulinya kemudian kamu menginginkannya kembali atau mereka yang menginginkannya, maka tidak ada dosa bagimu karena Kami perbolehkan khusus untukmu hal tersebut. Kekhususan yang demikian itu Allah anugerahkan kepadamu agar lebih dekat untuk ketenangan hati mereka, dan mereka tidak merasa sedih ketika engkau tidak mendampingi mereka, dan mereka rela dengan apa yang telah engkau berikan kepada mereka semuanya, karena mereka tahu itulah ketetapan Allah. Dan Allah mengetahui apa yang tersimpan dalam hatimu. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam hati istri-istrimu, Maha Penyantun dengan tidak segera menghukum hamba yang berbuat salah dan dosa.
Pada ayat ini, Allah secara jelas telah menghalalkan bagi Nabi Muhammad mencampuri perempuan-perempuan yang dinikahi dan diberikan kepada mereka maskawin. Juga dihalalkan baginya hamba sahaya (jariyah) yang diperoleh dalam peperangan, seperti shafiyah binti Huyai bin Akhtab yang diperoleh pada waktu Perang Khaibar. Oleh Nabi saw, shafiyah dimerdekakan, dan kemerdekaan itu dijadikan maskawin. Begitu juga dengan Juwairiyah binti al-harits. dari Bani Mushthaliq. yang dimerdekakan dan dinikahi Nabi ﷺ Adapun hamba sahaya (jariyah) yang dihadiahkan kepada Nabi adalah Raihanah binti Syam'un dan Mariyah al-Qibthiyah yang melahirkan putra Nabi yang bernama Ibrahim.
Allah juga menghalalkan kepada Nabi untuk menikahi anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapaknya dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapaknya, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya, anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibunya yang turut hijrah bersama Rasulullah dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi ﷺ kalau Nabi mau menikahinya.
Kelonggaran-kelonggaran ini hanya khusus bagi Nabi, dan tidak untuk semua mukmin, dengan pengertian bahwa jika ada seorang perempuan menyerahkan dirinya untuk dinikahi oleh seorang muslim, walaupun dengan sukarela, tetap wajib dibayar maskawinnya. Berlainan halnya jika perempuan itu menyerahkan dirinya untuk dinikahi oleh Nabi saw, maka ia boleh dinikahi tanpa maskawin.
Maskawin itu jika tidak disebutkan bentuk (nilainya) ketika melangsungkan akad nikah, maka bentuknya itu dapat ditetapkan dengan mahar. mitsl, yaitu mahar yang nilainya sama dengan nilai mahar yang biasa diberikan keluarganya. Ketetapan untuk membayar mahar mitsl itu setelah terjadi percampuran di antara keduanya atau setelah suaminya meninggal dunia tetapi belum sempat bercampur. Jika terjadi perceraian antara suami-istri sebelum bercampur, maka yang wajib dibayar adalah separuh dari maskawinnya, yang telah ditentukan dan dapat dibebaskan dari membayar maskawin itu bila istrinya merelakannya.
Allah mengetahui apa yang telah diwajibkan kepada kaum mukminin terhadap istrinya dan terhadap hamba sahaya yang mereka miliki seperti syarat-syarat akad nikah dan lainnya, dan tidak boleh menikahi seorang perempuan dengan cara hibah atau tanpa saksi-saksi. Mengenai hamba sahaya yang dibeli atau yang bukan dibeli haruslah hamba sahaya yang halal dicampuri oleh pemiliknya, seperti hamba sahaya ahli kitab, bukan hamba sahaya yang musyrik atau beragama Majusi. Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang terhadap hamba-Nya yang beriman, jika mereka bertobat dari dosa-dosa yang mereka perbuat sebelum mereka mendapat petunjuk.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
KETENTUAN ALLAH ﷻ TENTANG ISTRI NABI
Ayat 50
“Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagi engkau istri-istri engkau yang telah engkau bayarkan mas kawinnya."
Dengan ayat ini diterangkan bahwa Allah ﷻ telah menghalalkan bagi beliau, Nabi kita ﷺ istri-istri beliau yang telah dibayar mas kawinnya. Mujahid mengatakan bahwa mas kawin Nabi kita kepada setiap istri beliau ialah sebelas uqiyah ditambah setengah uqiyah lagi. Jumlah harganya lima ratus dirham. Cuma satu istri beliau yang amat mahal mas kawin-nya, yaitu Ummi Habibah yang nama kecilnya Hindun, anak perempuan dari Abu Sufyan yang berpindah (hijrah) dibawa suaminya ke negeri Habsyi. Sampai di sana suaminya murtad masuk Kristen. Maka terlunta-luntalah Ummi Habibah di negeri itu. Tetap teguh memegang agamanya, tetapi dia tidak mau kembali pulang ke Mekah, sebab ayahnya sendiri masih musyrik dan memusuhi Nabi dengan kerasnya. Lalu Rasulullah ﷺ mengirim utusan ke negeri Habsyi menyampaikan lamaran beliau kepada Ummi Habibah dan beliau wakilkan kepada Negus Negesti Ashhamah untuk menikahinya, karena Najasyi itu telah memeluk Islam. Oleh Raja Habsyi itu dibayarlah mas kawin Nabi dengan uang baginda sendiri empat ratus dinar emas.
Shafiah binti Huyai yang ayahnya mati dalam menjalani hukuman Bani Quraizhah, setelah dia tertawan ketika beliau ﷺ menaklukkan pertahanan Yahudi di Khaibar. Ketika Rasulullah ﷺ tahu bahwa perempuan itu anak dari pemimpin Yahudi yang besar itu dan sekarang telah tertawan, dan suaminya pun telah meninggal dalam perang dengan Nabi, Shafiah dimerdekakan oleh Nabi dari perbudakan, lalu beliau jadikan kemerdekaan yang beliau berikan itu sebagai mas kawin.
Demikian juga Juwairiah binti al-Harits dari Bani al-Mushthaliq. Juwairiah jatuh ke dalam tawanan Tsabit bin Qais bin Syaminas. Lalu Juwairiah ditebus oleh Rasul ﷺ dari Tsabit lalu beliau memerdekakan pula dan beliau kawini. Kemerdekaan itu pula yang beliau jadikan sebagai mas kawin.
Istri beliau enam orang dari perempuan Quraisy yang seketurunan dengan beliau, yaitu (1) Khadijah, (2) Aisyah, (3) Hafshah, (4) Ummi Habibah, (5) Saudah dan (6) Ummi Salamah. Dua orang dari Bani Hilal bin Amir, yaitu Maimunah binti al-Harits dan Zainab yang dikenal dengan sebutan “Ibu orang-orang miskin" karena dermawannya. Dan Zainab binti Jahasy dari Bani Asad.
“Dan hamba sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu." Ayat ini menyatakan bahwa perempuan-perempuan yang jadi tawanan di medan perang, kalau tidak ada lagi keluarganya yang dapat menebusnya, menjadilah dia termasuk jadi hamba sahaya kepunyaan yang menawannya. Bisa dibuatnya sesuka hati, sebagaimana mempunyai barang. Ada yang tetap jadi budak. Dan tuan yang empunya dia tidak berdosa kalau menyetubuhinya.
Sebagaimana telah kita katakan di atas tadi, pada mulanya Shafiah binti Huyai dan Juwairiah binti al-Harits pada mulanya adalah hamba sahaya tawanan. Tetapi keduanya di-kembalikan ketinggian martabatnya oleh Rasulullah ﷺ, yaitu dimerdekakan lalu dikawini, karena keduanya adalah anak-anak orang bangsawan dalam kaumnya.
Yang tetap jadi jariyah atau hamba sahaya tidak dimerdekakan tetapi dicampuri oleh Rasulullah ialah dua orang, yaitu Raihanah binti Syam'un, anak perempuan dari Bani Nadhir yang ketika terjadi pengusiran besar-besaran terhadap kaum itu, istri dan anak-anak tinggal bebas, dan Raihanah beliau jadikan jariyah. Dikirim pula oleh Muqauqis Raja Mesir seorang dayang perempuan bernama Mariah dari Qubthi (Mesir). Itu pun dijadikan jariyah beliau juga. Dan Mariah Rasulullah ﷺ beroleh putra yang paling bungsu, yaitu Ibrahim yang meninggal di waktu kecil usia 18 bulan. Di ayat ini dijelaskan tentang hamba sahaya itu, “Yang engkau peroleh sebagai rampasan perang,yang diserahkan Allah kepada engkau."
Di sini ditegaskanlah sejarah dari mana asal mulanya timbulnya perbudakan. Yaitu bahwa perbudakan timbul ialah karena terjadi peperangan. Suatu negeri dikalahkan, orang-orang yang kalah dijadikan tawanan. Adakalanya tawanan boleh menebus diri atau ditebuskan oleh kaum kerabatnya. Tetapi kadang-kadang musnah negeri itu, habis laki-lakinya terbunuh dan tinggal perempuan-perempuan dan kanak-kanak. Tidak ada lagi yang akan menebus dari tawanan. Mereka jadi milik dari yang menang. Orang-orang itu langsung jadi budak.
Sayyid Rasyid Ridha memberikan fatwa dengan tegas dalam Tafsir al-Manar bahwa manusia merdeka yang dijarah kampung halamannya oleh penjarah-penjarah, bukan karena perang, melainkan karena mencari orang yang akan dijadikan budak saja, sebagaimana dilakukan oleh bangsa Eropa ke negeri-negeri Afrika satu dua abad yang lalu, perbudakan terhadap mereka tidaklah sah.
Akibat dari jadi budak ialah yang empunya boleh menjualnya dan boleh menghukumnya, tetapi kalau hatinya kasihan bisa juga dimer-dekakannya.
Peraturan perbudakan ini di zaman lampau bukanlah berlaku dalam Islam saja, tetapi berlaku pada seluruh bangsa. Orang-orang kulit hitam di Amerika (Negro) asal-usulnya ialah budak. Perbudakan baru berhenti dalam pertengahan abad kesembilan belas.
Maka Mariah budak perempuan yang dihadiahkan oleh Muqauqis Raja Muda Mesir mewakili Kerajaan Romawi dihadiahkannya kepada Rasulullah ﷺ adalah sah. Dan Nabi mengambilnya jadi jariyah adalah hal yang berlaku pada masa itu. Dalam surah kiriman Rasul, paulus (Perjanjian Baru) diberinya nasihat agar budak-budak tunduk kepada tuannya dan memperhambakan diri sebagaimana kepada Allah juga.
Kemudian dijelaskan lagi siapa-siapa yang halal dirikahi oleh Rasulullah ﷺ, “Dan anak-anak perempuan dari paman engkau." Paman ialah saudara laki-laki dari ayah kandung. Sebab itu maka anak-anak perempuan dari Abu Thalib dan Abu Lahab, Abbas, dan Hamzah, halal belaka dirikahi oleh Nabi. “Dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ayah “engkau," sebagaimana Zainab binti Jahasy itu, setelah diceraikan oleh Zaid lalu dikawini oleh Nabi ﷺ adalah halal baginya, sebab Zainab adalah anak dari Umaimah binti Abdul Muthalib. “Dan anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibu engkau." Di Minangkabau saudara laki-laki dari ibu disebut mamak. Di Minang hal itu disebut “pulang ke anak mamak sesuatu perkawinan yang sangat diingini di daerah itu di zaman adat keibuan Cmatriaarchat) masih kuat. “Dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibu engkau." Di negeri Bugis yang seperti ini disebut sepupu sekali. Tetapi menurut adat Minangkabau perkawinan seperti ini tidak boleh karena mereka masih seperut, serumah gedang atau sepayung. Tetapi dalam syari'at Islam nyata halalnya. “Yang semuanya itu berhijrah bersama engkau." Dengan turut berhijrah itu artinya terbukti bahwa mereka telah beriman belaka. Meskipun tidak semua sampai dikawini Nabi ﷺ, namun mereka disebut untuk menghormati hijrah mereka.
Dengan ketentuan yang membolehkan mengawini anak paman, anak uncu, anak makcik, anak Pak Tua ini, bukanlah dia berlaku terhadap Rasulullah ﷺ saja. Ayat ini adalah sebagai pelengkap keterangan dari ayat 23 dari surah an-Nisaa' Sebab dalam ayat ter-sebut dijelaskan mana yang haram dirikahi, maka di ayat ini dijelaskan pula mana yang boleh dirikahi.
Peraturan ini adalah jalan tengah dalam Islam terhadap syari'at yang dijalankan orang Nasrani asli dan orang Yahudi. Ibnu Katsir menerangkan dalam tafsirnya bahwa orang Nasrani terlalu jauh mencari hubungan keluarga dengan perempuan yang akan di-kawininya. Keluarga yang boleh dikawini ialah jika garis lurus pertalian nenek ke atas sudah sampai tujuh. Kalau masih di bawah tujuh keturunan belum boleh. Tetapi orang Yahudi bisa saja sampai sekarang mengawini anak perempuan dari saudara kandungnya, baik saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan. Sehingga bagi kita penganut syari'at Islam agak berdiri juga bulu roma kita, kalau memikirkan seseorang mau mengawini anak dari adik kandungnya.
“Dan perempuan yang beriman yang menghibahkan dirinya kepada Nabi jika sudi Nabi menikahinya." Menghibahkan diri ialah memberikan diri dengan sukarela, jika Nabi sudi mengawini mereka. Menghibahkan itu ialah dengan tidak mengharapkan mas kawin lagi, asal Nabi sudi menerima.
Dalam kenyataannya memang terjadi ada beberapa orang yang menghibahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi sudi mengawininya, tetapi tidaklah keinginan itu dikabulkan oleh Nabi.
Sebuah riwayat yang dirawikan oleh Imam Ahmad bahwa pada suatu hari Anas bin Malik sedang duduk, sedang di dekat beliau duduk pula anak perempuannya dalam majelis Nabi. Lalu Anas berkata bahwa seorang perempuan datang menghadap Nabi ﷺ, lalu berkata, “Ya Nabi Allah! Sudikah tuan menerima saya jadi istri tuan?"
Mendengar perempuan itu menawarkan diri demikian, maka anak perempuan Anas bin Malik itu berkata kepada ayahnya, “Perempuan yang tidak bermalu! “ karena dia meng-hibahkan diri kepada Nabi. Lalu Anas bin Malik berkata kepada anaknya itu, “Dia lebih baik daripada kau! Dia cinta kepada Nabi, lalu ditawarkannya dirinya jadi istri beliau." (Hadits ini pun dirawikan juga dari thuruq yang lain oleh Imam Bukhari sendiri yang diterimanya dengan sanadnya dari Tsabit al-Bunaniy dan Anas bin Malik).
Sebuah hadits lagi yang diterima dengan sanadnya oleh Imam Ahmad dari Sa'ad as-Saa'idi, bahwa pada suatu hari datang seorang perempuan menghadap Rasul, lalu berkata, “Telah aku hibahkan diriku kepada engkau, ya Rasulullah."
Nabi masih diam saja belum menjawab dan perempuan itu telah lama berdiri menunggu-nunggu sambutan Nabi ﷺ dengan harap-harap cemas.
Lalu berdiri pula seorang dan tampil ke muka menyampaikan keinginannya kepada Nabi, ‘Ya Rasulullah! Kalau tuan tidak memerlukannya, kawinkanlah aku dengan dia."
Maka bersabda Nabi, “Adakah padamu sesuatu yang akan engkau jadikan mas kawin?"
Orang itu menjawab, “Aku tidak mempunyai apa-apa selain kain izar ini."
Berkata Rasulullah ﷺ, “Kalau izar itu engkau serahkan kepadanya, tentu kalau engkau duduk tidak berizar. Kalau begitu cobalah cari-cari yang lain."
Dia menjawab, “Tidak ada padaku sesuatu jua pun."
Lalu Nabi bersabda, “Cobalah cari-cari walaupun sebentuk cincin besi." Dia pun keluar mencoba mencari cincin besi. Itu pun tidak dapat dan dia pun kembali tidak membawa apa-apa.
Maka bersabdalah Nabi, “Adakah engkau menghafal sesuatu dari Al-Qur'an?"
Laki-laki itu menjawab, “Kalau ayat-ayat Al-Qur'an memang ada pada saya. Saya hafal surah anu dan surah anu." (Lalu disebutnya beberapa surah yang dia hafal).
Akhirnya berkatalah Nabi ﷺ, “Aku kawinkan engkau dengan dia, dengan mas kawin surah-surah yang ada padamu itu." (Imam Malik pun ada merawikan hadits cincin besi ini).
Ada juga tersebut dalam riwayat bahwa seorang perempuan yang salihah bernama Khaulah binti Hakim datang menghibahkan dirinya pula kepada Nabi.
Selanjutnya disebutkan, “Sebagai pengkhususan bagi engkau, bukan buat seluruh orang-orang yang beriman." Artinya kalau ada perempuan datang menghibahkan diri Kain selendang, kepada Nabi ﷺ, dan kalau beliau suka akan perempuan, itu, beliau boleh langsung mengawininya dengan tidak usah membayar mas kawin lagi. Tetapi bagi yang selain Nabi yaitu kita seluruh umatnya, sejak zaman-zaman sahabat sampai sekarang, kalau ada pula misalnya seorang perempuan datang menghibahkan dirinya, kalau orang itu suka akan perempuan itu lalu hendak dirikahinya, namun mas kawinnya atau mahar mitsilnya wajib juga dibayar.
“Sesungguhnya telah Kami ketahui apa yang Kami fardhukan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang dimiliki oleh tangan kanan mereka." Artinya bahwa pergaulan umat Muhammad ﷺ dengan istri-istri beliau dan dengan jariyah-jariyah itu sudah diatur oleh Allah ﷻ sendiri. “Supaya bagi engkau tidak jadi keberatan." “Tidak jadi keberatan" artinya ialah tidak merasa ada salahnya atau dosanya jika Nabi ﷺ berbuat demikian,
“Dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Artinya kalau kiranya ada serba sedikit terdapat kekurangberesan pergaulan suami istri, di antara umat Muhammad ﷺ sehingga tidak persis sebagaimana yang diatur oleh Allah SWT, asal jangan melanggar dasar yang pokok, maka Allah ﷻ memberi ampun kekurangan itu dan Allah pun Maha Penyayang kepada hamba-Nya yang terkhilaf bukan karena sengaja hendak melanggar.
Ayat 51
“Engkau tangguhkan siapa yang engkau kehendaki di antata mereka dan engkau bawa sentamu siapa yang engkau hendak pengauli."
Maksud ayat ini ialah khusus mengenai perempuan-perempuan yang menghibahkan diri itu. Engkau hanya halal menerima pemberian perempuan itu atas dirinya untuk engkau peristri. Jika engkau terima, Allah ﷻ tidak melarangnya. Tetapi engkau pun boleh menolak pemberian itu dengan baik kalau engkau tidak setuju dan boleh pula memakainya dan memasukkannya jadi tambahan anggota rumah tanggamu. Dalam hal ini benar-benar terserah kepadamu belaka.
Di sini terdapat kalimat turjii yang kita artikan engkau tangguhkan, yaitu pemilihan kata yang lebih halus untuk menyatakan, bahwa keinginan perempuan-perempuan itu menghibahkan diri kepada Rasulullah ﷺ tidak diterima. Tetapi oleh karena menenggang perasaan kaum perempuan yang sangat halus dan jangan sampai mereka merasa tersinggung dipakailah kata-kata ditangguhkan. Artinya dijawab dengan susun kata yang sebaik-baiknya. Atau dicarikan jalan keluar yang baik. Di atas telah kita salinkan sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad tentang satu di antara mereka yang datang menghibahkan diri itu. Lama perempuan itu terpaksa tegak berdiri menunggu jawaban Rasulullah ﷺ, menerima atau menolak. Mujur ada di sana seorang muda yang hidupnya kurang mampu bersedia menerima perempuan itu kalau Rasul tidak hendak menerimanya. Dan perempuan itu pun patuh menerima putusan Rasulullah.
Aisyah mengakui terus terang bahwa jika ada seorang perempuan datang menyerahkan diri atau menghibahkan diri itu, tersinggung juga perasaannya dan timbul juga cemburu dalam hatinya.
Menurut riwayat dari Ibnu Jarir, dari Abu Kuraib, dan Yunus bin Bukair, “Meskipun Rasulullah diberi kebebasan oleh Allah menerima perempuan yang menghibahkan diri itu, namun tidak seorang pun yang beliau terima."
Kalimat Tu'wii kita artikan “engkau bawa sertamu", artinya jika engkau terima permintaannya, engkau sambut dia menghibahkan diri itu, “Dan barangsiapa yang engkau kehendaki dari mereka yang telah pernah engkau ceraikan, maka tidaklah ada dosanya atas engkau." Maksudnya ialah selain dari yang engkau sambut keinginannya atau yang engkau tolak, ataupun yang pernah engkau ceraikan hendak engkau rujuk kepadanya kembali, semuanya itu tidaklah ada salahnya, tidak ada dosanya atau tidak ada keberatannya, boleh saja; semuanya terserah kepadamu. “Demikian itulah yang lebih dekat untuk menenangkan hati mereka dan mereka tidak akan merasa sedih dan semuanya rela menerima apa yang engkau berikan." Maksud semua ayat ini sudah terang. Yaitu kepada Rasulullah ﷺ sendiri diserahkan kebijaksanaan apa yang akan diambilnya terhadap kepada istri-istri beliau atau menerima atau sebaliknya terhadap perempuan yang menghibahkan diri itu. Demikian kalau ada yang tadinya beliau tangguhkan, kemudian beliau berkenan hendak menerimanya kembali, itu pun tidak ada salahnya. Demikian juga tentang pembagian hari terhadap istri-istri beliau, entah berlebih ke sana, entah berkurang kemari, karena tanggung jawabnya dalam memimpin umat begitu banyak yang lebih besar, tidak pulalah beliau diberati supaya sama. Namun itu Aisyah juga yang memberikan kesaksian, bahwa dalam membagi hari giliran di antara istrinya, beliau adalah sangat adil. Tetapi beliau selalu pula berdoa bermunajat kepada Allah SWT,
“Ya Allah. Inilah yang aku kuasa membuatnya. Maka janganlah Engkau sesali aku pada perkara yang Engkau sendiri saja Yang Kuasa dan aku tidak kuasa." (HR an-Nasa'i dan Abu Dawud)
Artinya bahwa beliau sanggup mengerjakan membagi giliran di antara istri dengan adil. Di sana sekian hari dan di situ sekian hari pula. Tetapi tentang hati ke mana condongnya, entah lebih yang ini dari yang itu dalam hati, Nabi memohon kepada Allah ﷻ dalam hal yang seperti itu, janganlah dia disesali. Maka sesuailah doa Nabi itu dengan lanjutan ayat, “Dan Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kamu." Allah Mahatahu bahwa yang ini lebih dikasihinya dari yang itu,
“Dan Allah adalah Maha Mengetahui, Maha Penyantun."
Maka lebih dan kurang kasih sayang, kalau hanya dalam hati saja tidaklah salah di hadapan Allah ﷻ Allah itu Maha Penyantun, dapat mengerti kelemahan hamba-hamba-Nya.
Al-Qurthubi menuliskan tentang istri-istri yang tetap beliau giliri, yaitu empat orang: Aisyah, Hafshah, Ummi Salamah, dan Zainab. Dan yang tidak tetap beliau giliri adalah lima orang: Saudah, Juwairiah, Ummi Habibah (Ramlah) binti Abu Sufyan, Maimunah, dan Shafiah.
Dikatakan dalam ayat, bahwa jika ada yang tetap beliau giliri dan jika ada yang tidak begitu tetap, kalau semuanya sudah mengerti, bahwa Allah ﷻ telah memandang beliau tidak berdosa jika beliau lakukan demikian, niscayatah istri-istri itu akan rela menerima, tenang pikiran mereka dan tidak ada yang akan bersedih hati atau mengomel.
Demikianlah Rasulullah ﷺ berlaku terhadap istri-istri beliau itu, selama hidupnya sampai beliau meninggal dunia. Bahkan Saudah menghadiahkan hari gilirannya kepada Aisyah sebab merasa diri telah tua tidak akan dapat dengan sempurna menyelenggarakan dan merawat Nabi lagi. Bahkan tertulis pula dalam sejarah hidup Aisyah bahwa beliau ini pun mempunyai ilmu tentang mengobat atau thabibah. Karena setelah Rasulullah meningkat umur lebih dari 60 tahun rawatan-nya sudah lebih teliti dan Aisyah mempelajari obat-obatan buat menjaga suaminya, beliau yang agung itu.
Dan setelah beliau sakit yang akan membawa ajalnya, mulanya beliau masih tetap hendak melakukan giliran, padahal badannya sudah sangat payah.
Beliau ingin sekali hendak tidur karena sakit itu di rumah Aisyah saja. Maka apabila hari telah pagi beliau bertanya di rumah siapa aku sekarang, ke rumah siapa lagi aku? Maka istri-istri yang bijaksana itu pun sama maklumlah keinginan beliau agar dirawat oleh Aisyah di rumahnya. Semuanya merelakan.
Ayat 52
“Tidaklah halal bagi engkau perempuan-perempuan sesudah yang itu."
Menurut keterangan dari beberapa ulama tafsir sebagaimana Ibnu Abbas, Mujahid, adh-Dhahhak, Qatadah, Ibnu Zaid, dan Ibnu Jarir, turunnya ayat ini adalah sebagai ganjaran kemuliaan bagi istri-istri Nabi ﷺ yang setelah datang ayat takhyiir (ayat 28 dan 29 di atas), semuanya telah memilih Allah dan Rasul dan kebahagiaan akhirat. Maka untuk meng-hargai pilihan mereka yang tepat itu, diturunkanlah perintah ayat ini kepada Rasulullah ﷺ, bahwa sesudah istri-istri yang tersebut itu beliau tidak boleh lagi oleh Allah ﷻ akan kawin dengan perempuan lain. Dan tidak boleh beliau mengganti istri-istri dengan perempuan lain, “Dan tidak pub bahwa engkau mengganti mereka dengan istri-istri yang lain." Karena istri-istri yang telah menempuh ujian hidup bersakit seperti ini, yang tidak mau lagi menukar Allah dan Rasul dan kebahagiaan Hari Akhirat dengan dunia dan perhiasannya, adalah istri-istri yang telah tahan uji, sudah sukar akan mencari gantinya, “Walaupun memesona hati engkau kecantikan mereka." Maka dalam keteguhan iman dan pemilihan hidup berjuang di samping junjungan alam, Muhammad ﷺ adalah mengatasi segala macam kecantikan. Kecantikan yang bagaimana pun tidak ada lagi artinya jika dibandingkan dengan-pengorbanan perempuan-perempuan yang telah menjadi istri ini. “Kecuali hamba sahaya yang dipunyai oleh tangan kanan engkau." Yakni bahwa yang masih dibolehkan ialah hamba sahaya atau jariyah yang nyata berasal dari perbudakan sebagaimana yang telah kita terangkan di atas, karena mereka itu tidak sama martabatnya dengan istri perempuan merdeka.
“Dan Allah alas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Mengawasi."
Maka tidaklah ada sesuatu pun sejak dari barang sebesar-besarnya, sampai kepada yang sekecil-kecilnya yang terlepas dari pengawasan Allah ﷻ
Dua kesan kita dapat dari ayat ini. Meskipun dihadapkan kepada Nabi ﷺ, yang dituju ialah kita.
Kesan pertama janganlah dipakai kelakuan yang tidak pantas, yaitu gampang-gampang saja menukar-nukar bini. Istri seakan-akan dipandang barang permainan saja. Telah kawin bercerai lagi dan ganti pula dengan istri yang lain sehingga hidup tidak mendapat ketenteraman. Tidak tercapai hikmah berumah tangga sebagaimana tersebut di dalam surah ar-Ruum ayat 21 bahwa bersuami-istri itu ialah agar menegakkan mawaddah dan rahmah. bagi mendatangkan sakinah (ketenteraman) dalam hati.
Kesan yang kedua diambil dari bunyi bagian ayat “walaupun memesona kecantikan mereka." Dapatlah disarikan dari bunyi ayat ini, bahwa seorang laki-laki yang ingin meminang seorang perempuan dibolehkan melihat wajah perempuan itu terlebih dahulu, supaya jangan menyesal kemudian, Nabi ﷺ bersabda,
“Dari Jabir bin Abdullah, dari Nabi ﷺ bahwa beliau pernah berkata, “Bilamana seseorang kamu ingin meminang seorang perempuan, kalau dapat dia melihat perempuan itu terlebih dahulu, agar menarik untuk menikahinya, maka perbuatlah." (HR Abu Dawud)