Ayat
Terjemahan Per Kata
وَمَنۡ
dan siapakah
أَحۡسَنُ
lebih baik
دِينٗا
agama
مِّمَّنۡ
dari orang yang
أَسۡلَمَ
menyerahkan
وَجۡهَهُۥ
wajahnya/dirinya
لِلَّهِ
kepada Allah
وَهُوَ
dan/sedang dia
مُحۡسِنٞ
orang yang berbuat baik
وَٱتَّبَعَ
dan mengikuti
مِلَّةَ
agama
إِبۡرَٰهِيمَ
Ibrahim
حَنِيفٗاۗ
betul/lurus
وَٱتَّخَذَ
dan mengambil
ٱللَّهُ
Allah
إِبۡرَٰهِيمَ
Ibrahim
خَلِيلٗا
kesayangan
وَمَنۡ
dan siapakah
أَحۡسَنُ
lebih baik
دِينٗا
agama
مِّمَّنۡ
dari orang yang
أَسۡلَمَ
menyerahkan
وَجۡهَهُۥ
wajahnya/dirinya
لِلَّهِ
kepada Allah
وَهُوَ
dan/sedang dia
مُحۡسِنٞ
orang yang berbuat baik
وَٱتَّبَعَ
dan mengikuti
مِلَّةَ
agama
إِبۡرَٰهِيمَ
Ibrahim
حَنِيفٗاۗ
betul/lurus
وَٱتَّخَذَ
dan mengambil
ٱللَّهُ
Allah
إِبۡرَٰهِيمَ
Ibrahim
خَلِيلٗا
kesayangan
Terjemahan
Siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang memasrahkan dirinya kepada Allah, sedangkan dia muhsin (orang yang berbuat kebaikan) dan mengikuti agama Ibrahim yang hanif? Allah telah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih(-Nya).
Tafsir
(Dan siapakah) maksudnya tidak seorang pun (yang lebih baik agamanya daripada orang yang menyerahkan dirinya) artinya ia tunduk dan ikhlas dalam beramal (karena Allah, sedangkan dia berbuat kebaikan) bertauhid (serta mengikuti agama Ibrahim) yang sesuai dengan agama Islam (yang lurus) menjadi hal, arti asalnya jalan condong, maksudnya condong kepada agama yang lurus dan meninggalkan agama lainnya. (Dan Allah mengambil Ibrahim sebagai kesayangan-Nya) yang disayangi-Nya secara tulus dan murni.
Tafsir Surat An-Nisa': 123-126
(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-angan kosong kalian dan tidak pula menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan sesuai dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak pula penolong baginya selain dari Allah.
Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik ia laki-laki maupun wanita, sedangkan ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi walau sedikit pun.
Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.
Ayat 123
Qatadah mengatakan, telah diceritakan kepada kami bahwa kaum muslim dan orang-orang Ahli Kitab saling membanggakan dirinya. Maka berkatalah orang-orang Ahli Kitab, "Nabi kami sebelum nabi kalian, dan kitab kami sebelum kitab kalian, maka kami lebih berhak terhadap Allah daripada kalian." Orang-orang muslim mengatakan, "Kami lebih utama terhadap Allah daripada kalian, nabi kami adalah pemungkas para nabi, dan kitab kami berkuasa memutuskan atas semua kitab yang ada sebelumnya." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “(Pahala dari sisi Allah) itu bukanlah menurut angan-angan kosong kalian dan tidak pula menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan sesuai dengan kejahatan itu.” (An-Nisa: 123) sampai dengan firman-Nya: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan dia pun mengerjakan kebaikan.” (An-Nisa: 125), hingga akhir ayat. Kemudian Allah memenangkan hujah (argumen) kaum muslim atas orang-orang yang menentang mereka dari kalangan agama lain.
Hal yang sama diriwayatkan dari As-Suddi, Masruq, Adh-Dhahhak, Abu Saleh, dan yang lain-lainnya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa para pemeluk berbagai agama berdebat. Maka orang-orang yang berpegang kepada kitab Taurat mengatakan, "Kitab kami adalah sebaik-baik kitab, dan nabi kami adalah sebaik-baik nabi." Pemegang kitab Injil mengatakan hal yang serupa. Maka orang-orang Islam mengatakan, "Tiada agama (yang diterima di sisi Allah) selain Islam, dan kitab kami me-mansukh (merevisi) semua kitab, serta nabi kami adalah nabi penutup. Kami diperintahkan agar beriman kepada kitab kalian serta mengamalkan kitab kami sendiri." Maka Allah ﷻ memutuskan di antara mereka melalui firman-Nya: “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-angan kosong kalian , dan tidak pula menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan sesuai dengan kejahatan itu.” (An-Nisa: 123), hingga akhir ayat. Dia memilih satu agama di antara semua agama melalui firman-Nya: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan dia pun mengerjakan kebaikan.” (An-Nisa: 125) sampai dengan firman-Nya: “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kekasih-Nya.” (An-Nisa: 125)
Mujahid mengatakan bahwa orang-orang Arab mengatakan, ‘Kami tidak akan dibangkitkan dan kami tidak akan diazab,’ sedangkan orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan seperti yang disitir oleh firman-Nya: 'Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani' (Al-Baqarah: 111). Mereka mengatakan pula seperti yang disitir oleh firman-Nya: 'Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka kecuali selama beberapa hari saja'.” (Al-Baqarah: 80).
Makna yang dimaksud dari ayat surat An-Nisa ini ialah bahwa agama itu bukanlah hanya sebagai hiasan, bukan pula merupakan angan-angan kosong, tetapi agama yang sesungguhnya ialah agama yang meresap ke dalam hati dan dibenarkan melalui amal perbuatan. Tidak semua orang yang mengakui atas sesuatu dapat meraihnya hanya dengan sekadar mengakuinya. Tidak benar orang yang mengatakan bahwa dirinya berada dalam kebenaran, lalu ucapannya itu didengar hanya dengan pengakuannya saja, sebelum dia mendapat bukti dari Allah yang menyatakan atas kebenarannya. Karena itulah dalam firman-Nya disebutkan: “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-angan kosong kalian , dan tidak pula menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan sesuai dengan kejahatan itu.” (An-Nisa: 123)
Dengan kata lain keselamatan itu bukanlah milik kalian, bukan pula milik mereka (Ahli Kitab) hanya dengan sekedar pengakuan, melainkan dengan cara taat kepada Allah ﷻ dan mengikuti syariat-Nya, yang disampaikan melalui lisan para rasul yang mulia.
Untuk itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
“Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan sesuai dengan kejahatan itu.” (An-Nisa: 123)
Ayat ini semakna dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia pun akan melihat (balasan)nya.” (Az-Zalzalah: 7-8)
Telah diriwayatkan bahwa ketika ayat ini diturunkan, hal ini terasa berat di kalangan kebanyakan sahabat. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Numair, telah menceritakan kepada kami Ismail, dari Abu Bakar ibnu Abu Zuhair yang menceritakan, "Aku mendapat berita bahwa Abu Bakar pernah bertanya, 'Wahai Rasulullah, tentulah sulit sekali untuk memperoleh keberuntungan sesudah ayat ini,' yaitu: ‘(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-angan kosong kalian , dan tidak pula menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan sesuai dengan kejahatan itu.’ (An-Nisa: 123) Sedangkan semua perbuatan buruk (jahat) yang kami lakukan, maka kami mendapat balasannya?" Maka Nabi ﷺ bersabda: "Wahai Abu Bakar, semoga Allah memberikan ampunan kepadamu, bukankah kamu pernah sakit, bukankah kamu pernah mengalami kepayahan, bukankah kamu pernah mengalami kesedihan, bukankah kamu pernah tertimpa musibah?” Abu Bakar menjawab, "Memang benar.” Nabi ﷺ bersabda, "Itu termasuk balasan yang ditimpakan kepadamu."
Sa'id ibnu Mansur meriwayatkannya dari Khalaf ibnu Khalifah, dari Ismail ibnu Abu Khalid dengan lafal yang sama. Imam Hakim meriwayatkannya melalui jalur Sufyan As-Sauri, dari Ismail dengan lafal yang sama.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu ‘Atha’, dari Ziyad Al-Jassas, dari Ali ibnu Zaid, dari Mujahid, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar sahabat Abu Bakar menceritakan hadits berikut, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan sesuai dengan kejahatan itu di dunia.”
Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hisyam ibnu Juhaimah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Thalib, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu ‘Atha’, telah menceritakan kepada kami Ziyad Al-Jassas, dari Ali ibnu Zaid, dari Mujahid yang menceritakan bahwa Abdullah ibnu Umar pernah berkata, "Perhatikanlah tempat Abdullah ibnuz Zubair disalib itu, jangan sekali-kali kalian lewat disana." Lalu Abdullah ibnu Umar memandang kepada Ibnuz Zubair (yang telah disalib itu) dan berkata, "Semoga Allah memberikan ampunan kepadamu," sebanyak tiga kali. Lalu mengatakan, "Demi Allah, tidak ada yang aku ketahui mengenai dirimu kecuali engkau adalah orang yang banyak puasa, banyak shalat, dan gemar bersilaturahmi. Ingatlah, demi Allah, sesungguhnya aku berharap dalam musibah yang menimpa dirimu sekarang ini, semoga Allah tidak mengazabmu sesudahnya." Mujahid melanjutkan kisahnya, "Lalu Abdullah ibnu Umar berpaling ke arahku dan mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Bakar As-Siddiq menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: 'Barang siapa yang mengerjakan keburukan di dunia, niscaya akan diberi pembalasan dengan keburukan itu'."
Abu Bakar Al-Bazzar meriwayatkannya di dalam kitab musnad melalui Al-Fadl ibnu Sahl, dari Abdul Wahhab ibnu ‘Atha’ secara ringkas.
Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan di dalam Musnad Ibnuz Zubair, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Mustamir Al-Aaiqi, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Sulaim ibnu Hayyan, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari kakekku (yaitu Hayyan ibnu Bustam), bahwa Bustam pernah menceritakan bahwa ketika ia sedang bersama Ibnu Umar, maka ia melewati Abdullah ibnuz-Zubair yang sedang dalam keadaan disalib. Maka Ibnu Umar mengatakan, "Semoga rahmat Allah terlimpahkan kepadamu, wahai Abu Khubaib. Aku telah mendengar ayahmu yakni Az-Zubair menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: 'Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan sesuai dengan kejahatan itu di dunia dan di akhirat'." Kemudian ia (Al-Bazzar) mengatakan, "Kami tidak mengetahui dia meriwayatkan dari Az-Zubair kecuali dari segi ini."
Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Kamil, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'd Al-Aufi, telah menceritakan kepada kami Rauh ibnu Ubadah, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ubaidah, telah menceritakan kepadaku Maula ibnus Siba' yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Umar menceritakan hadits berikut dari Abu Bakar As-Siddiq; ketika ia sedang bersama Nabi ﷺ, maka turunlah firman-Nya: “Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan sesuai dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak pula penolong baginya selain dari Allah.” (An-Nisa: 123) Rasulullah ﷺ bersabda, "Wahai Abu Bakar, maukah aku bacakan kepadamu suatu ayat yang baru saja diturunkan kepadaku?" Abu Bakar menjawab, "Tentu saja aku mau, wahai Rasulullah." "Rasulullah ﷺ membacakan ayat tersebut kepadaku, dan tanpa kusadari punggungku terasa amat pegal, hingga aku menggeliat meluruskannya." Lalu Rasulullah ﷺ bertanya, "Mengapa engkau ini, wahai Abu Bakar?" Aku (Abu Bakar) menjawab, "Demi ayah dan ibuku yang menjadi tebusanmu, wahai Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak pernah mengerjakan kejahatan (dosa)? Dan sesungguhnya kita benar-benar akan diberi balasan atas tiap-tiap kejahatan yang kita lakukan." Rasulullah ﷺ bersabda: “Adapun kamu dan teman-temanmu yang beriman, maka sesungguhnya kalian diberi pembalasan dengan hal tersebut di dunia, hingga kalian menghadap kepada Allah kelak sedangkan kalian tidak mempunyai dosa lagi. Adapun orang-orang lain, maka hal tersebut dikumpulkan bagi mereka, hingga mereka menerima pembalasannya di hari kiamat nanti.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, dari Yahya ibnu Musa dan Abdu ibnu Humaid, dari Rauh ibnu Ubadah dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa Musa ibnu Ubaidah orangnya dha’if, sedangkan maula Ibnus Siba' orangnya tidak dikenal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Ghulam, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepadaku Hajjaj, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku ‘Atha’ ibnu Abu Rabah yang mengatakan bahwa tatkala ayat ini diturunkan, Abu Bakar terserang penyakit reumatik pada punggungnya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya yang dimaksud dengan pembalasan itu hanyalah berupa musibah-musibah di dunia.”
Jalur yang lain melalui As-Siddiq.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ishaq Al-Askari, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Amir As-Sa'di, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Fudail ibnu Iyad, dari Sulaiman ibnu Mihran, dari Muslim ibnu Sabih, dari Masaiq yang menceritakan bahwa Abu Bakar As-Siddiq pernah mengadu kepada Rasulullah ﷺ tentang beratnya pengamalan ayat ini, yaitu firman-Nya: “Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan sesuai dengan kejahatan itu.” (An-Nisa: 123) Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Berbagai macam musibah, sakit, dan kesusahan di dunia adalah pembalasan (terhadap pelaku kejahatan itu).”
Jalur lain. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abu Ziyad dan Ahmad ibnu Mansur; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnul Hasan Al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Zaid ibnu Munqiz, dari Siti Aisyah, dari Abu Bakar yang menceritakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: “Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan sesuai dengan kejahatan itu.” (An-Nisa: 123); Maka Abu Bakar berkata, "Wahai Rasulullah, apakah semua kebaikan yang kita lakukan akan diberi pembalasannya?" Maka Nabi ﷺ bersabda: “Wahai Abu Bakar, bukankah kamu pernah terkena musibah anu dan anu, maka hal itu merupakan kifarat(nya).”
Hadits lain. Sa'id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris; Abu Bakar ibnu Sawwadah pernah menceritakan kepadanya bahwa Yazid ibnu Abu Yazid pernah menceritakan dari Ubaid ibnu Umair; dari Siti Aisyah, bahwa seorang lelaki pernah membaca firman-Nya: “Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan sesuai dengan kejahatan itu.” (An-Nisa: 123) Lalu lelaki itu mengatakan, "Sesungguhnya kita akan diberi pembalasan dengan pembalasan yang serupa dengan tiap-tiap keburukan yang kita kerjakan. Kalau demikian, pasti binasalah kita." Ketika perkataan tersebut sampai kepada Rasululalh ﷺ, maka beliau bersabda: “Memang, orang mukmin diberi pembalasan yang serupa di dunia pada dirinya, juga pada tubuhnya yang menyakitkannya.”
Jalur yang lain. Imam Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Basyir, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Abu Amir, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa ia pernah berkata kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui ayat yang paling berat di dalam Al-Qur'an." Rasulullah ﷺ bertanya, "Wahai Aisyah, ayat apakah itu?" Siti Aisyah membaca firman-Nya: “Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan sesuai dengan kejahatan itu.” (An-Nisa: 123) Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Balasan tersebut adalah musibah yang menimpa diri hamba yang mukmin, seperti kecelakaan yang dialaminya.”
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadits Hasyim dengan lafal yang sama. Imam Abu Dawud meriwayatkannya melalui hadits Abu Amir Saleh ibnu Rustum Al-Kharraz dengan lafal yang sama.
Jalur lain. Abu Dawud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid, dari anak perempuannya, bahwa ia pernah bertanya kepada Siti Aisyah mengenai firman-Nya: “Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan sesuai dengan kejahatan itu.” (An-Nisa: 123) Siti Aisyah menjawab bahwa tidak pernah ada seorang pun yang bertanya kepadanya mengenai ayat ini semenjak ia menanyakannya kepada Rasulullah ﷺ. Ia pernah menanyakan makna ayat tersebut kepada Rasulullah ﷺ. Maka beliau ﷺ menjawab: “Wahai Aisyah, hal ini merupakan janji Allah kepada hamba-(Nya) menyangkut sebagian dari penyakit yang menimpa dirinya, seperti demam dan kesusahan serta duri (yang menancap di kakinya), barang dagangan yang ia letakkan di dalam kantong bajunya, dan ketika ia merabanya sangat terkejut karena tidak ada, dan ternyata ia menemukannya pada kantong celananya. Sehingga seorang mukmin, benar-benar bersih dari dosa-dosanya, sebagaimana emas yang baru disepuh bebas dari kotorannya.”
Jalur yang lain. Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abul Qasim, telah menceritakan kepada kami Syuraih ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Muhammad ibnu Ismail, dari Muhammad ibnu Yazid ibnul Muhajir, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai makna ayat ini, yaitu firman-Nya: “Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan sesuai dengan kejahatan itu.” (An-Nisa: 123) Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya seorang mukmin itu diberi pahala dalam segala sesuatunya, hingga pada (rasa sakit) kematiannya ketika nyawanya dicabut.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Husain, dari Zaidah, dari Al-Laits, dari Mujahid, dari Siti Aisyah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila dosa seorang hamba banyak, sedangkan dia tidak mempunyai amal saleh untuk menutupinya, maka Allah mengujinya dengan kesedihan untuk menghapuskan dosa-dosanya itu."
Hadits lain. Sa'id ibnu Mansur meriwayatkan dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Umar ibnu Abdur Rahman ibnu Muhaisin yang pernah mendengar Muhammad ibnu Qais ibnu Makhramah menceritakan bahwa menurut Abu Hurairah, tatkala diturunkan firman-Nya: “Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan sesuai dengan kejahatan itu.” (An-Nisa: 123) Maka hal itu terasa berat oleh kaum muslim. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda kepada mereka: “Bersikap teguhlah kalian dan dekatkanlah diri kalian (kepada Allah), karena sesungguhnya dalam setiap musibah yang menimpa diri seorang muslim terkandung kifarat, sehingga duri yang menusuknya dan kesedihan (kesusahan) yang dialaminya.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Sufyan ibnu Uyaynah juga Imam Muslim, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasai melalui hadits Sufyan ibnu Uyaynah. Ibnu Mardawih meriwayatkannya melalui hadits Rauh dan Ma'mar; keduanya dari Ibrahim ibnu Yazid, dari Abdullah ibnu Ibrahim; ia pernah mendengar Abu Hurairah mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-angan kosong kalian dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan sesuai dengan kejahatan itu.” (An-Nisa: 123) Maka kami menangis dan sedih, serta mengatakan, "Wahai Rasulullah, ayat ini tidak menyisakan barang sedikit pun (dari balasan)." Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Ingatlah, demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya ayat ini memang mempunyai arti seperti apa yang diturunkan. Tetapi bergembiralah kalian, dekatkanlah diri kalian (kepada Allah), dan teguhlah kalian (pada jalan yang lurus). Karena sesungguhnya tiada suatu musibah pun di dunia ini yang menimpa seseorang di antara kalian, melainkan Allah menghapuskan karenanya sebagian dari dosa-dosanya, sehingga duri yang menancap pada telapak kaki seseorang di antara kalian.”
‘Atha’ ibnu Yasar meriwayatkan dari Abu Sa'id dan Abu Hurairah, bahwa keduanya pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak sekali-kali seorang muslim tertimpa kelelahan, tidak pula kepayahan, tidak pula penyakit, dan tidak pula kesedihan sehingga kesusahan yang dialaminya, melainkan Allah menghapuskan sebagian dari keburukan-keburukan (dosa-dosa)nya.”
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Hadis lain. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Zainab binti Ka'b ibnu Ujrah, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu bertanya, "Bagaimanakah menurut pendapatmu tentang berbagai penyakit yang menimpa diri kami, apakah imbalannya bagi kami?" Nabi ﷺ menjawab, "Berbagai macam kifarat (penghapus dosa)." Kemudian ayahku ikut bertanya, "Sekalipun musibah itu ringan?" Nabi ﷺ menjawab, "Bahkan duri (yang menusuk kakinya) hingga yang lebih besar lagi dari itu." Zainab binti Ka'b melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu ayahnya (Ka'b ibnu Ujrah) berdoa untuk dirinya sendiri, semoga selama hidupnya ia tidak terpisah dari sakit hingga mati, agar dirinya tidak berpaling dari haji, umrah, jihad, dan shalat fardu dengan berjamaah. Maka tidak ada seorang pun yang menyentuh tubuhnya, melainkan ia pasti merasakan tubuhnya yang panas, hingga Ka'b ibnu Ujrah meninggal dunia.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.
Hadis lain. diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih melalui jalur Husain ibnu Waqid, dari Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa pernah ada yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ mengenai makna firman-Nya: “Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan sesuai dengan kejahatan itu.” (An-Nisa: 123) Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Memang benar, dan barang siapa yang mengerjakan kebaikan, niscaya akan diberi balasan dengan sepuluh kali kebaikan. Maka binasalah orang yang satunya mengalahkan sepuluhnya (yakni keburukannya mengalahkan amal baiknya).”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Humaid, dari Al-Hasan sehubungan dengan firman-Nya: “Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan sesuai dengan kejahatan itu.” (An-Nisa: 123) Makna yang dimaksud ialah orang kafir. Kemudian Al-Hasan (Al-Basri) membacakan firman-Nya: “Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (Saba': 17)
Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Sa'id Ibnu Jubair; keduanya mengatakan bahwa tafsir dari kata as-su' dalam ayat ini ialah kekufuran (kemusyrikan).
Firman Allah ﷻ: “Dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak pula penolong baginya selain dari Allah.” (An-Nisa: 123)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, "Kecuali jika ia bertobat, maka tobatnya akan diterima oleh Allah ﷻ." Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Namun pendapat yang benar adalah yang mengatakan bahwa hal tersebut bersifat umum mencakup semua amal perbuatan, karena berdasarkan kepada hadits-hadits yang telah disebutkan di atas. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Ayat 124
Firman Allah ﷻ: “Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan ia orang yang beriman.” (An-Nisa: 124), hingga akhir ayat.
Setelah disebutkan balasan perbuatan-perbuatan jahat yaitu sudah semestinya seseorang hamba mendapat pembalasannya, adakalanya di dunia ini lebih baik baginya, dan adakalanya di akhirat; semoga Allah melindungi kita dari hal ini dan memohon kepada-Nya keselamatan di dunia dan akhirat serta pemaafan, ampunan, dan pembebasan dari-Nya, kemudian dalam ayat ini diterangkan kebaikan, kemurahan, dan rahmat Allah dalam penerimaan-Nya terhadap amal-amal saleh hamba-hamba-Nya, baik yang laki-laki maupun yang wanita, dengan syarat mereka beriman.
Bahwa Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga; Allah tidak akan menzalimi pahala kebaikan mereka, tidak pula menguranginya barang sedikit pun. Yang dimaksud dengan istilah naqir dalam akhir ayat ini ialah titik kecil yang terdapat di dalam biji buah kurma. Yang dimaksud dengan istilah fatil ialah serat yang terdapat di dalam belahan biji buah kurma. Naqir dan fatil ini kedua-duanya berada di dalam biji buah kurma. Sedangkan istilah qitmir yaitu selaput yang membungkus biji buah kurma, berada di luar biji buah kurma. Ketiga istilah ini semuanya ada di dalam Al-Qur'an.
Ayat 125
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah.” (An-Nisa: 125) Yakni ikhlas dalam beramal demi Tuhannya, amal perbuatannya didasari oleh iman, dan mengharapkan pahala serta rida-Nya.
“Sedangkan dia pun mengerjakan kebaikan.” (An-Nisa: 125)
Dalam beramal ia mengikuti jalur yang telah disyariatkan oleh Allah ﷻ kepadanya, sesuai dengan tuntunan hidayah dan agama yang hak yang disampaikan oleh Rasul-Nya.
Kedua syarat ini harus dipenuhi oleh seseorang bila ia menginginkan amalnya diterima; suatu amal perbuatan tanpa keduanya tidaklah sah. Dengan kata lain, amal yang ikhlas lagi benar harus dilandasi dengan kedua syarat ini. Amal yang ikhlas ialah amal yang dilakukan karena Allah, dan amal yang benar ialah amal yang mengikuti ketentuan syariat. Secara lahiriah dinilai sah dengan mengikuti peraturan syariat dan secara batiniah dilandasi dengan ikhlas, keduanya ini saling berkaitan erat.
Maka, manakala salah satu dari kedua syarat ini tidak dipenuhi oleh suatu amal, amal tersebut tidak sah. Bila tidak dilandasi oleh ikhlas, berarti pelakunya adalah munafik, yaitu orang-orang yang suka pamer (riya). Orang yang dalam amalnya tidak mengikuti tuntunan syariat, berarti dia sesat dan bodoh. Tetapi bila kedua syarat tersebut terpenuhi, maka amal perbuatannya itu termasuk amal perbuatan orang-orang yang mukmin. Seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ di dalam firman-Nya: “Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka.” (Al-Ahqaf: 16) hingga akhir ayat. Karena itulah dalam firman berikutnya disebutkan:
“Dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus.” (An-Nisa: 125)
Mereka adalah Nabi Muhammad ﷺ dan para pengikutnya sampai hari kiamat nanti. Perihalnya sama dengan makna ayat lain, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad).” (Ali Imran: 68) hingga akhir ayat.
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif. Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan’." (An-Nahl: 123)
Yang dimaksud dengan istilah al-hanif ialah yang sengaja menyimpang dari kemusyrikan. Dengan kata lain, meninggalkannya karena mengerti dan menghadapkan diri kepada kebenaran secara keseluruhan dengan keteguhan hati, tanpa ada yang bisa menghalanginya dan tidak ada yang dapat mengusiknya dari kebenaran.
Firman Allah ﷻ: “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (An-Nisa: 125)
Di dalam ayat ini terkandung makna yang menganjurkan mengikuti Ibrahim a.s. karena dia adalah seorang imam yang diikuti, mengingat dia telah mencapai puncak tingkatan taqarrub seorang hamba kepada Allah ﷻ. Sesungguhnya dia telah sampai kepada tingkatan khullah (kekasih) yang merupakan kedudukan mahabbah yang tertinggi. Hal ini tiada lain berkat ketaatannya yang tinggi kepada Tuhannya, seperti yang disebut di dalam firman-Nya: “Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji.” (An-Najm: 37) Menurut kebanyakan ulama Salaf, makna yang dimaksud dengan lafal waffa ialah orang yang mengerjakan semua yang diperintahkan kepadanya; tiada suatu pun yang termasuk ke dalam pengertian ibadah, melainkan dia mengerjakannya.
Nabi Ibrahim tidak pernah melupakan hal kecil karena sedang sibuk dengan hal yang besar, tidak pernah pula melupakan perkara remeh karena sedang mengerjakan perkara yang agung dalam masalah ibadah. Allah ﷻ telah berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya (secara sempurna).” (Al-Baqarah: 124), hingga akhir ayat. “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan).” (An-Nahl: 120) hingga ayat sesudahnya.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Amr ibnu Maimun yang menceritakan bahwa sesungguhnya Mu'az ketika tiba di negeri Yaman melaksanakan shalat Subuh bersama mereka, lalu Mu'az membacakan firman-Nya: “Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” (An-Nisa: 125); Maka seorang lelaki dari kalangan mereka ada yang berkata, "Sesungguhnya hati ibu Nabi Ibrahim bahagia."
Ibnu Jarir menuturkan sehubungan dengan tafsir ayat ini dari salah seorang ulama, bahwa sesungguhnya Allah menamakan Nabi Ibrahim dengan sebutan Al-Khalil tiada lain kisahnya bermula ketika penduduk negeri yang berdekatan dengannya mengalami musim paceklik. Salah seorang dari mereka berangkat menuju tempat khalil (kesayangan)nya dari kalangan penduduk Mausul - menurut pendapat sebagian ulama mereka adalah penduduk Mesir - dengan tujuan mengambil makanan buat keluarganya dari khalil itu. Tetapi sesampainya di tempat khalil, ia tidak kebagian makanan dan keperluannya tidak terpenuhi, lalu lelaki itu kembali ke kampung halamannya. Ketika sudah dekat ke tempat keluarganya di suatu tempat yang banyak pasirnya, maka ia berkata kepada dirinya sendiri, "Sebaiknya aku penuhi karung-karung ini dengan pasir, agar keluargaku tidak sedih bila aku kembali kepada mereka tanpa makanan, agar mereka menduga bahwa aku datang kepada mereka dengan membawa makanan yang sangat diperlukan mereka." Suatu mukjizat pun terjadilah. Ternyata pasir yang berada di dalam karung itu benar-benar berubah menjadi tepung terigu, tanpa sepengetahuannya. Ketika sampai di tempat keluarganya, ia langsung tidur (istirahat); sedangkan keluarganya terbangun, lalu membuka karung-karung tersebut, dan ternyata mereka menjumpai tepung terigu di dalamnya. Mereka langsung membuat adonan roti dari tepung itu, kemudian dimasak. Ketika terbangun, ia merasa heran, lalu menanyakan kepada keluarganya mengenai tepung terigu itu, dari manakah mereka mendapatkannya hingga dapat membuat roti? Mereka menjawab, "Tepung terigu yang engkau bawa dari khalil-mu itu." Maka ia menjawab, "Ya, tepung terigu itu berasal dari kekasih Allah." Maka sejak saat itu Allah ﷻ menamakannya (Nabi Ibrahim) sebagai Khalilullah (kekasih Allah).
Mengenai kesahihan kisah ini dan kenyataannya, masih perlu dipertimbangkan; pada garis besarnya tidak lebih dan tidak kurang merupakan kisah israiliyat yang tidak dapat dipercaya dan tidak dapat pula ditolak. Sesungguhnya Allah ﷻ menyebut Nabi Ibrahim dengan julukan Khalilullah tiada lain karena ia sangat mencintai Tuhannya melalui apa yang ia kerjakan demi-Nya berupa amal-amal ketaatan yang disukai dan diridai-Nya.
Telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui riwayat Abu Sa'id Al-Khudri, bahwa ketika Rasulullah ﷺ berkhotbah kepada mereka dalam khotbah terakhirnya, mengatakan: “Amma Ba'du. Wahai manusia, seandainya aku mengambil dari kalangan penduduk bumi ini seorang khalil (kesayangan), niscaya aku akan mengambil Abu Bakar ibnu Abu Quhafah sebagai seorang kesayangan, tetapi teman kalian ini (yakni Abu Bakar) telah menjadi khalilullah (kesayangan Allah).”
Melalui jalur Jundub ibnu Abdullah Al-Bajali, Abdullah ibnu Amr ibnul as, dan Abdullah ibnu Mas'ud, dari Nabi ﷺ, disebutkan bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah menjadikan diriku sebagai kesayangan-(Nya), sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim sebagai kesayangan(Nya).”
Abu Bakar Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim ibnu Muhammad ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ahmad ibnu Usaid, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ya'qub Al-Jurjani di Mekah, telah menceritakan kepada kami Abdullah Al-Hanafi, telah menceritakan kepada kami Zam'ah Abu Saleh, dari Salamah ibnu Wahran, dari Ikrimah dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa sejumlah orang dari kalangan sahabat Rasulullah ﷺ duduk menunggu kedatangan beliau ﷺ. Nabi ﷺ keluar, dan ketika berada di dekat mereka, beliau mendengar mereka membicarakan sesuatu.
Sebagian dari mereka mengatakan, "Sungguh mengherankan, Allah mengambil kesayangan di antara makhluk-Nya, Dia menjadikan Ibrahim sebagai kesayangan-Nya." Orang yang lainnya mengatakan, "Tiada yang lebih mengherankan daripada Nabi Musa yang diajak berbicara langsung oleh Allah ﷻ." Orang yang lainnya lagi mengatakan, "Isa adalah roh (ciptaan) Allah dan kalimah (perintah)-Nya." Yang lainnya lagi mengatakan bahwa Adam telah dipilih oleh Allah sebagai pilihan-Nya. Maka Nabi ﷺ menemui mereka dan mengucapkan salam kepada mereka, lalu bersabda, "Sesungguhnya aku telah mendengar pembicaraan kalian, dan kalian merasa heran karena Nabi Ibrahim menjadi kesayangan Allah. Memang demikianlah keadaannya, Nabi Musa menjadi orang yang diajak bicara langsung oleh-Nya, Nabi Isa adalah roh dan kalimat-Nya, dan Adam adalah orang yang dipilih oleh-Nya. Memang demikianlah kenyataannya, begitu pula Muhammad ﷺ." Nabi ﷺ melanjutkan sabdanya: “Ingatlah, sesungguhnya aku adalah kekasih Allah, tanpa membanggakan diri; dan aku adalah orang yang mula-mula memberi syafaat dan orang yang mula-mula diberi izin untuk memberi syafaat, tanpa membanggakan diri. Dan aku adalah orang yang mula-mula menggerakkan (mengetuk) pintu surga, maka Allah membukakannya dan menyuruh aku masuk ke dalam surga dengan ditemani oleh orang-orang miskin dari kalangan kaum mukmin, tanpa membanggakan diri. Dan aku adalah orang yang paling mulia di antara orang-orang yang terdahulu dan yang kemudian, kelak di hari kiamat, tanpa membanggakan diri.”
Bila ditinjau dari segi ini, hadits berpredikat gharib. Tetapi sebagian di antaranya mempunyai banyak syawahid yang memperkuatnya di dalam kitab-kitab Sahih dan kitab-kitab yang lain.
Qatadah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Apakah kalian merasa heran karena predikat khullah (kesayangan Allah) diberikan kepada Nabi Ibrahim, predikat kalim (diajak berbicara secara langsung oleh Allah) diberikan kepada Nabi Musa, dan predikat ruyah (melihat langsung Allah) diberikan kepada Muhammad, semoga shalawat dan salam Allah terlimpahkan kepada mereka semuanya." Demikian menurut riwayat Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya, dan Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini dinilai shahih dengan syarat Imam Bukhari, tetapi Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak mengetengahkannya.
Hal yang sama diriwayatkan dari Anas ibnu Malik dan tidak hanya seorang dari kalangan para sahabat, para tabi'in, dan para imam dari kalangan ulama Salaf dan ulama Khalaf.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abduka Al-Qazwaini, telah menceritakan kepada kami Muhammad (yakni Ibnu Sa'id ibnu Sabiq), telah menceritakan kepada kami Amr (yakni ibnu Abu Qais), dari Asim, dari Abu Rasyid, dari Ubaid ibnu Umair yang mengatakan bahwa Nabi Ibrahim adalah orang yang selalu menjamu orang lain. Pada suatu hari ia keluar mencari seseorang yang akan diajaknya makan bersama, tetapi ia tidak menemukan seseorang pun. Maka ia kembali ke rumahnya, dan ternyata di dalam rumahnya ia menjumpai seseorang yang sedang berdiri. Nabi Ibrahim a.s. menanyai orang tersebut, "Wahai hamba Allah, apakah yang menyebabkan kamu memasuki rumahku tanpa izinku?" Orang itu menjawab, "Aku memasukinya atas izin Tuhan." Nabi Ibrahim bertanya, "Siapakah Anda ini?" Orang itu menjawab, "Aku adalah malaikat maut, Tuhanku mengutusku kepada seseorang hamba dari kalangan hamba-hamba-Nya untuk menyampaikan berita gembira kepadanya bahwa Allah ﷻ telah menjadikannya sebagai kesayangan-Nya." Nabi Ibrahim bertanya, "Siapakah orang itu? Demi Allah, jika kamu memberitahukannya ada di suatu tempat yang jauh dari negeri ini, niscaya aku benar-benar akan datang kepadanya, lalu aku ingin menjadi tetangganya hingga maut memisahkan di antara kita." Malaikat maut utusan Allah menjawab, "Orang itu adalah kamu sendiri." Nabi Ibrahim berkata keheranan, "Aku sendiri?" Ia menjawab, "Ya." Nabi Ibrahim bertanya, "Mengapa Allah menjadikan diriku sebagai kesayangan-Nya?" Dia menjawab, "Karena sesungguhnya kamu suka memberi kepada orang lain, sedangkan kamu sendiri tidak pernah meminta kepada mereka."
Telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Khalid As-Sulami, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, dari Ishaq ibnu Yasar yang mengatakan, "Ketika Allah menjadikan Nabi Ibrahim sebagai kesayangan-Nya, maka Allah menanamkan ke dalam hatinya rasa takut (kepada Dia), sehingga degupan kalbunya benar-benar terdengar dari kejauhan, sebagaimana suara kepakan sayap burung di angkasa. Hal yang sama disebutkan di dalam sifat Rasulullah ﷺ, bahwa dari dalam dada beliau ﷺ sering terdengar suara gejolak sebagaimana suara gejolak panci bila air yang ada di dalamnya mendidih, karena menangis."
Ayat 126
Firman Allah ﷻ: “Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi.” (An-Nisa: 126)
Semuanya adalah milik Allah, hamba, dan makhluk-Nya. Dialah yang mengatur, tiada yang menolak terhadap apa yang diputuskan-Nya, dan tiada beban bagi apa yang telah dijatuhkan-Nya; tiada yang meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang diperbuat-Nya karena keagungan, kekuasaan, keadilan, kebijaksanaan, lemah lembut, dan rahmat-Nya.
Firman Allah ﷻ: “Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (An-Nisa: 126)
Artinya, ilmu (pengetahuan) Allah ﷻ menembus semuanya itu, tiada sesuatu pun yang ada pada hamba-hamba-Nya tersembunyi dari-Nya, dan tiada sekecil zarrah (zat terkecil) pun di langit dan di bumi yang terhalang dari pengetahuan-Nya, tiada pula yang terhalang dari pengetahuannya hal yang lebih kecil atau lebih besar darinya. Tiada sesuatu pun yang dilihat oleh orang-orang yang melihat sangat kecil dan tersembunyi luput dari pengetahuan-Nya.
Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas, tunduk, patuh, dan berserah diri kepada Allah secara total, sedang dia mengerjakan kebaikan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya dan mengikuti agama Ibrahim secara lurus' Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan-Nya, karena ia berada pada tingkat kecintaan yang paling tinggi dan ketaatan yang luar biasa terhadap AllahDan milik Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, yaitu seluruh wujud yang ada di alam raya ini, dan Dia Mahakuasa atas segalanya, dan pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu, yang besar maupun yang kecil, yang tampak maupun yang tersembunyi, dan yang diucapkan maupun yang hanya terlintas di dalam hati dan pikiran manusia.
.
Tidak ada seorang pun yang lebih baik agamanya dari orang yang melakukan ketaatan dan ketundukannya kepada Allah, ia mengerjakan kebaikan dan mengikuti agama Ibrahim.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa ada tiga macam ukuran yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan ketinggian suatu agama dan keadaan pemeluknya, yaitu:
1. Menyerahkan diri hanya kepada Allah,
2. Berbuat kebaikan, dan
3. Mengikuti agama Ibrahim yang hanif.
Seseorang dikatakan menyerahkan diri kepada Allah, jika ia menyerahkan seluruh jiwa dan raganya serta seluruh kehidupannya hanya kepada Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Karena itu ia hanya berdoa, memohon, meminta pertolongan dan merasa dirinya terikat hanya kepada Allah saja. Ia langsung berhubungan dengan Allah tanpa ada sesuatu pun yang menghalanginya. Untuk mencapai yang demikian seseorang harus mengetahui dan mempelajari sunah Rasul dan sunatullah yang berlaku di alam ini, kemudian diamalkannya karena semata-mata mencari keridaan Allah.
Jika seseorang benar-benar menyerahkan diri kepada Allah, maka ia akan melihat dan merasakan sesuatu pada waktu melaksanakan ibadahnya, sebagaimana yang dilukiskan Rasulullah saw:
Jibril bertanya ya Rasulullah, "Apakah ihsan itu?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau." (Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Mengerjakan kebaikan adalah manifestasi dari pada berserah diri kepada Allah. Makin sempurna penyerahan diri seseorang, makin baik dan sempurna pula amal yang dikerjakannya. Di samping mengerjakan yang diwajibkan, seseorang sebaiknya melengkapi dengan yang sunah dengan sempurna, sesuai dengan kesanggupannya.
Mengikuti agama Ibrahim yang hanif ialah mengikuti agama Ibrahim yang lurus yang percaya kepada keesaan Allah, yaitu kepercayaan yang benar dan lurus. Allah berfirman:
(26) Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya, "Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah,(27) kecuali (kamu menyembah) Allah yang menciptakanku; karena sungguh, Dia akan memberi petunjuk kepadaku." (28) Dan (Ibrahim) menjadikan (kalimat tauhid) itu kalimat yang kekal pada keturunannya agar mereka kembali (kepada kalimat tauhid itu). (az-Zukhruf/43:26-28)
Sekalipun ada perintah agar mengikuti agama Ibrahim, bukanlah berarti bahwa Ibrahim-lah yang pertama kali membawa kepercayaan tauhid, dan agama yang dibawa oleh para nabi sebelumnya tidak berasaskan tauhid. Maksud perintah mengikuti agama Nabi Ibrahim ialah untuk menarik perhatian bangsa Arab, sebagai bangsa yang pertama kali menerima seruan agama Islam. Ibrahim a.s. dan Ismail adalah nenek moyang bangsa Arab.
Orang Arab waktu itu amat senang mendengar perkataan yang menjelaskan bahwa mereka adalah pengikut agama Nabi Ibrahim, sekalipun mereka telah menjadi penyembah berhala. Dengan menghubungkan agama yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ dengan agama yang dibawa Nabi Ibrahim akan menarik hati dan menyadarkan orang Arab yang selama ini telah mengikuti jalan yang sesat.
Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa ? (asy-Syura/42:13).
Agama yang dibawa Nabi Muhammad bukan saja sesuai dengan agama yang dibawa Nabi Ibrahim, tetapi juga berhubungan dan seasas dengan agama yang dibawa oleh Nabi Musa dan Nabi Isa yang diutus sesudah Nabi Ibrahim. Demikian pula agama Islam berhubungan dan seasas dengan agama yang dibawa oleh nabi-nabi Allah terdahulu.
Perintah mengikuti agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim di sini adalah karena kehidupan Ibrahim dan putranya Ismail dapat dijadikan teladan yang baik serta mengingatkan kepada pengorbanan yang telah dilakukannya dalam menyiarkan agama Allah. Hal ini dapat pula dijadikan iktibar oleh kaum Muslimin dalam menghadapi orang-orang kafir yang selalu berusaha menghancurkan Islam dan Muslimin.
Ibrahim telah menjadi kesayangan Allah, karena kekuatan iman, ketinggian budi pekertinya dan keikhlasan serta pengorbanannya dalam menegakkan agama Allah. Seakan-akan Allah menyatakan bahwa orang yang mengikuti jejak dan langkah Nabi Ibrahim dan hal ini tampak dalam tingkah laku dan budi pekertinya, berhak menamakan dirinya sebagai pengikut Ibrahim. Bukan seperti orang Yahudi, Nasrani dan orang musyrik Mekah yang mengaku sebagai pengikut Nabi Ibrahim, tetapi mereka tidak mengikuti agama yang dibawanya dan tidak pula mencontoh budi pekertinya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Diriwayatkan oleh lebih dari seorang, dari mujahid, bahwa dia berkata, Orang Arab berkata, “Kita tidak akan dibangkitkan dari kubur dan kita tidak akan dihisab kelak." Berkata pula orang Yahudi dan Nasrani, “Tidak ada yang akan masuk ke surga, kecuali orang-orang yang Yahudi dan Nasrani." Dan mereka katakan pula, “Tidaklah kami akan disentuh oleh neraka, melainkan beberapa hari saja." Kata muhajid, “Maka turunlah ayat ini, ‘Bukanlah angan-angan kamu dan bukan pula angan-angan Ahlul Kitab.'"
Riwayat dari Masruq, bertengkar beberapa orang Islam dengan Ahlul Kitab. Berkata orang Islam itu, “Kami lebih mendapat petunjuk daripada kamu." Menjawab Ahlul Kitab itu, “Kamilah yang lebih mendapat petunjuk daripada kamu." Dan kata Masruq, “Maka turunlah ayat ini"
Menurut riwayat dari Qatadah, diceritakan orang kepada kami bahwa di satu hari beberapa orang Islam dan beberapa Ahlul Kitab, masing-masing mengangkat Nabi dan Kitab mereka. Berkata Ahlul Kitab, “Nabi kami lebih dahulu daripada Nabi kamu, Kitab kami lebih dahulu turun dari Kitab kamu, sebab itu kami lebih mulia di sisi Allah daripada kamu." Maka yang orang Islam menyambut pula, “Kamilah yang lebih mulia di sisi Allah daripada kamu. Nabi kami penutup dari segala Nabi, Kitab kami telah menghabiskan Hukum Kitab yang sebelumnya." Maka turunlah ayat ini!
Riwayat dari as-Suddi hampir sama isinya dengan riwayat Qatadah ini.
Lantaran pertengkaran itu, turunlah ayat,
Ayat 123
“Bukanlah angan-angan kamu dan bukan pula angan-angan Ahlul Kitab."
Di sini diterangkan bahwa agama, baik Yahudi, Nasrani, maupun Islam sekalipun, tidaklah bergantung kepada angan-angan dan khayat. Tidaklah dia menjadi alat untuk membanggakan golongan, mengatakan awak lebih dari yang lain. Membangunkan agama bukanlah dengan angan-angan. Meskipun dipujikan agama yang awak peluk setinggi langit, dikatakan awak lebih tinggi, semuanya itu bukanlah kenyataan, tetapi hanya angan-angan. Dan yang diminta darimu bukanlah angan-angan atau khayat, kebanggaan mulut, padahal tidak didahului atau disertai oleh kenyataan. Membanggakan bahwa agama kamilah yang paling berkenan di sisi Allah, orang Yahudi berkata demikian, Nasrani demikian pula, bahwa orang Islam pun turut pula berbicara yang demikian. Apakah akibat yang sebenarnya bisa timbul? Tidak lain ialah Ta'ashshub atau Fanatik. Yang di awak segala benar, yang di orang segala salah, dan yang dikerjakan tidak ada. Di dalam surah al-Baqarah ayat 111 sampai 113 perkara mem-bangga-banggakan golongan ini pun sudah disebut. Kini diulangi lagi, itu cuma angan-angan.
“Barangsiapa yang berbuat suatu kejahatan, niscaya akan dibalas dengan itu pula."
Ditegaskan di sini bahwa barangsiapa yang berbuat suatu kejahatan, niscaya akan dibalas dengan itu pula, yaitu balasan yang seimbang. Apakah sebab hal ini ditegaskan oleh Allah? Marilah kita lihat perjalanan. Berapa kalikah
telah kejadian, di dalam mempertahankan agama yang mereka peluk, mereka sampai hati melanggar kecintaan yang ditanam oleh agama itu sendiri, lalu menukarnya dengan kebencian? Sampai ada yang berpendirian, tidak mengapa berbuat jahat kepada orang lain, di luar Hukum Kebenaran asal untuk membela agama! Mungkinkah menegakkan agama dengan melanggar perintah agama itu sendiri? Yang jahat tetap jahat. Biar yang berbuat jahat itu Yahudi atau Nasrani, atau Islam sekalipun. Maksud ajaran agama bukan untuk berbuat jahat, melainkan untuk menegakkan kebajikan. Siapa berbuat jahat, pasti mendapat hukuman yang setimpal.
“Dan tidaklah akan dia dapati selain dari Allah akan pelindung, dan tidak pula pembela."
Dilengkapkanlah dengan ayat ini teguran pada ayat 116 di atas tadi, bahwa segala dosa mungkin dapat diampuni, namun dosa syirik tidaklah akan diampuni. Apabila seseorang berbuat satu kejahatan, melanggar hukum dan perintah Allah, menghukum ialah Allah, menurut hukum-Nya yang adil. Baik dia Yahudi, atau dia Nasrani, bahkan walaupun dia Islam, tidaklah akan dapat mereka meminta perlindungan dari yang lain atau meminta pembela, sebagai orang yang tengah perkara, yang akan melindungi mereka daripada yang lain atau meminta pembela, sebagai orang yang tengah perkara, yang akan melindungi mereka daripada siksaan Allah. Orang Yahudi tidaklah dapat dibela oleh Nabi Musa atau Nabi ‘Uzair. Orang Nasrani tidak akan dapat dibela oleh Nabi Isa ai-Masih yang mereka katakan Allah sendirilah dia itu, yang datang menjelma ke dunia ini menjadi anak Allah, untuk menebus dosa manusia. Orang Islam pun demikian pula. Tidaklah mereka dapat mencari seorang perlindungan pun untuk membebaskan mereka dari adzab dan siksa. Baik Nabi Muhammad yang akan jadi pelindung dan pembela itu,
ataupun guru-guru mereka, ulama mereka, atau kuburan-kuburan orang yang mereka katakan wali Allah, Tidaklah mungkin dosa itu dapat ditebus oleh kepala agama, sebagaimana yang diperbuat oleh pimpinan agama Kristen-Katolik di zaman kegelapan sehingga menimbulkan suatu pemberontakan yang dipimpin oleh Martin Luther sehingga timbullah kaum Kristen Protestan.
Setelah ditegaskan keadilan Allah yang pertama, yaitu yang berbuat suatu kejahatan akan dibalasi dengan ganjaran buruk setimpal, dilanjutkan lagi amalan yang sebaliknya,
Ayat 124
“Dan barangsiapa yang berbuat daripada pekerjaan-pekenjaan yang saleh, dari laki-laki atupun perempuan, sedang dia pun beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga."
Ayat ini adalah sambungan yang tiada terpisah dari ayat yang sebelumnya, yakni bahwasanya beragama bukanlah melonjak-lonjak dengan hasil lamunan angan-angan, mengatakan golongan awak segala lebih, golongan orang segala kurang. Bukti pemeluk agama yang baik ialah berapa kesanggupannya menjauhkan kejahatan dan berapa pula kesanggupannya berbuat kebajikan dan amal yang saleh. Allah menjelaskan, yaitu amal saleh yang timbul dari iman. Dan dijelaskan lagi dalam ayat ini bahwa perlombaan berbuat baik dengan dasar iman itu sama rata berhak dan sama rata berkewajiban di antara laki-laki dengan perempuan. Yang berbeda hanya tugas karena perlainan kesanggupan diri atau kondisi.
Mengakui saja dengan mulut beriman, padahal amal tidak ada, adalah iman angan-angan. Beramal bekerja keras, padahal tidak timbul dari iman, tidak ada dorongan dari jiwa kepada Ailah, tidaklah akan menenteramkan hati. Iman dan amal, itulah yang dikehendaki, baik dia laki-laki atau dia perempuan. Baik dia
Yahudi atau dia Nasrani ataupun dia Islam. Untuk mereka yang beramal dari sebab iman itu telah disediakan surga.
“Dan tidaklah mereka akan dianiaya, walaupun sedikit."
Kalau sudah kita ketahui bahwa ayat ini adalah lanjutan ayat yang sebelumnya, yaitu membanteras beragama dengan hanya angan-angan, niscaya tidak dapat diartikan lain; bahwa yang akan dimasukkan ke dalam surga itu ialah orang yang beriman dan beramal saleh dari kalangan Yahudi, atau kalangan Nasrani atau kalangan Islam. Dan apabila disambungkan ayat ini dengan ayat 112 dari surah aI-Baqarah, memang begitulah jadinya. Yaitu yang akan masuk ke dalam surga itu ialah orang Yahudi, Nasrani, dan Islam yang beriman dan beramal saleh, laki-laki dan perempuan. Orang Yahudi dan Nasrani dihimbau dan dipanggil, buat beriman. Orang Islam sendiri disuruh memegang teguh Islam diiringi dengan amal supaya masuk surga. Sebab kedatangan Nabi Muhammad saw, ialah membawa rahmat untuk seluruh alam, bukan untuk orang Arab saja. Bukan pula untuk orang-orang yang mengakui dirinya umat Muhammad, padahal hanya dalam pengakuan saja. Sedang Nabi telah lama ditinggalkannya. Nabi bukan ditiru diteladannya, hanya akan dijadikannya hiasan bibir.
Yang menjadi pokok utama dari iman ialah kepercayaan tauhid. Maka kembalilah semuanya ke sana, niscaya surgalah tempat mereka. Tidak akan ada aniaya sebab Allah tidaklah berpilih kasih. Sedikit pun tidak akan ada aniaya. Kalau orang Islam khususnya hendak membanggakan bahwa agamanyalah yang benar, janganlah mulutnya yang mengatakan sebagai kebanggaan, sebab itu hanya angan-angan. Tetapi berimanlah, bertauhidlah, dan beramallah.
Al-Qur'an sebagai pedoman hidup adalah untuk dipakai berabad-abad. Diturunkan wahyu di zaman Rasulullah ﷺ untuk dipakai selanjutnya oleh umat Muhammad dan disebarkannya ke muka dunia. Maka cobalah ajak kaum yang menamakan dirinya Yahudi dan Nasrani itu kembali ke tauhid dan iman. Sebelum mengajak mereka, cobalah pegang teguh ajaran itu, jangan hanya jadi kebanggaan angan-angan, dan sekali-kali jangan mengakui Islam, padahal menyembah berhala atau memuja kuburan wali, singkirkan segala yang akan membawa kepada syirik. Karena kalau tidak demikian, akan jauhlah orang yang menamai dirinya Islam dari hakikat Islam yang diserukan Rasul, sebagaimana telah jauhnya Yahudi dan Nasrani dari Nabinya masing-masing. Hakikat agama yang diturunkan Allah dengan perantaraan nabi-nabi hanya satu, yaitu tauhid. Tetapi orang Yahudi tidak mau mempercayai kedatangan Nabi akhir zaman dan orang Nasrani mengatakan Isa al-Masih anak Allah, bahkan Allah sendiri menjelma ke dunia menjadi anak. Sehingga mereka menjauh dari Islam yang jadi pokok ajaran agama sejak dahulu, Seharusnyalah kita kaum yang mengakui diri umat Muhammad memeriksai diri, apakah agaknya kita telah jauh pula dari ajaran Muhammad ﷺ, sejauh umat Yahudi sekarang dari kehendak Nabi Musa sejati, sampai di kala beliau hidup pun pernah beliau katakan bahwa Bani Israil itu keras tengkuk, Atau kita telah seperti orang Nasrani yang setelah wafat Nabi Isa al-Masih, telah membuat ajaran baru dari yang berjauhan dari ajaran Nabi Isa, karena penafsiran kepala-kepala agama sehingga timbul ajaran trinitas yang mengatakan, “Satu ialah tiga dan tiga ialah satu."
Kalau kita merasa bahwa kita kaum Muslimin tidaklah membelok sejauh itu, malahan masih tetap memegang ajaran tauhid Muhammad ﷺ, yang diminta dari kita bukanlah membanggakannya dengan mulut, karena itu hanya angan-angan, tetapi meneguhkan iman dan membuktikannya dengan amal. Sehingga dengan sendirinya jadi teladan orang lain. Ini diberi ketegasan lagi dengan ayat berikut,
Ayat 125
“Dan siapakah lagi yang lebih baik agamanya, daripada orang yang telah menyerahkan wajahnya kepada Allah."
Bersifat sebagai pertanyaan; siapakah lagi yang lebih baik, artinya tidak ada lagi yang lebih baik, daripada orang yang Aslama wajhahu lillah, mengislamkan wajahnya, dirinya, kepada Allah. Aslama, mengislamkan. Islam artinya menyerah bulat, dengan segala ridha hati kepada Allah, dan melepaskan diri dari ikatan yang lain, walaupun dari ikatan golongan yang selalu membangga dan berangan-angan. Siapakah orang yang lebih baik dari itu? Artinya, tidak ada seorang pun dan dari golongan mana pun yang lebih baik dari orang begitu. Artinya, itulah orang yang sebenarnya orang paling baik. “Sedang dia pun berbuat kebajikan." Artinya, sesudah dia menjadi orang yang paling baik karena telah menyerahkan diri sebulat sepenuhnya kepada Allah, dia pun terus-menerus berbuat kebajikan, yaitu muhsinun.
Di dalam ayat ini kita dapati beberapa kalimat dan kuasa kata-kata. Pertama ialah kalimat ahsana yang berarti orang yang paling baik. Siapa yang paling baik agamanya? Dengan berupa pertanyaan yang dinamai istifham inkari, tanya sanggahan, dapatlah diartikan bahwa tidak ada lagi orang yang paling baik, dalam menegakkan agama, kecuali orang yang menyerahkan wajahnya aslama wajhahu, atau menengadah wajahnya kepada Allah. Wajah berarti muka. Tetapi kalimat wajah itu telah langsung kita ambil menjadi bahasa kita. Menyerahkan seluruh wajah kepada Allah ialah menghadapkan seluruh hati kepada-Nya dan menyerah. Wajah adalah wakil dari hati. Pada wajah tergambarlah rahasia hati manusia. Kalau seluruh wajah telah dihadapkan kepada Allah, artinya tidak lagi menghadap kepada yang lain. Oleh sebab itu, kalimat aslama, sebagai fi'il madhi dari mashdar kata Islam. Berartilah bahwa Islam sejati itu ialah tauhid. Menyatukan hadap. Kita boleh mengambil perumpamaan dengan menghadapkan wajah kepada sesama manusia. Seorang manusia yang kita hadapi akan mafhum bila melihat sikap wajah kita, bahwa bukan saja muka kita yang kita hadapkan kepadanya, bahkan sejak dari hati. Seorang anak kecil yang sedang digendong ibunya, akan gelisah dalam gendongan kalau ibunya tidak menghadapkan seluruh perhatian kepadanya. Insting atau naluri anak itu akan merasakan bahwa dia dihadapi dengan setengah hati.
Di samping kalimat aslama yang berarti menghadapkan wajah seluruhnya, datang lagi kalimat lain, yaitu Muhsinun; yaitu penyerahan diri yang diikuti dengan berbuat kebajikan dengan sadar. Sebab apabila kita satu kali telah menyerah dan menghadapkan wajah kepada Allah, kita wajib membuktikannya dengan ihsan, yaitu selalu berbuat perbaikan, melengkapi mana yang kurang, menyempurnakan mana yang belum sempurna.
Di dalam satu hadits yang panjang, yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khaththab. Satu hari datanglah Jibril menjelmakan diri menyerupai manusia, masuk ke dalam majelis Rasulullah menanyakan tentang tiga perkara. Pertama, apa arti iman. Kedua, apa arti Islam. Ketiga, apa arti ihsan. Tentang ihsan, selalu berbuat baik dan memperbaiki, Nabi ﷺ telah menjawab,
“Al-Ihsan ialah bahwa engkau memperhambakan diri kepada Allah, seakan-akan Allah itu engkau lihat. Maka meskipun engkau tidak melihat Dia, namun Dia tetaplah melihat engkau." (HR Bukhari dan Muslim)
Setelah kukuh sikap penyerahan diri dan penghadapan muka yang diringkas dengan satu kalimat yaitu Islam, diikuti lagi dengan selalu menjaga supaya penyerahan dirinya itu dipertinggi mutunya dengan ihsan, datanglah kewajiban tingkat ketiga, yaitu, “Dan dia pun mengikuti agama Ibrahim yang hartif"
Agama Nabi Ibrahim sebagaimana dijelaskan dalam kisah perjuangannya di dalam Al-Qur'an ialah agama menyerah diri semata-mata kepada Allah. Dia menentang segala pemujaan kepada berhala. Hanif artinya ialah menjauh sejauh-jauhnya dari syirik.
Meninggalkan kemusyrikan dengan penuh kesadaran. Menghadapi dan memegang teguh kebenaran dalam keseluruhannya; tidak dapat dihambat dan dihalangi oleh apa dan oleh siapa. Di dalam ayat ini ditegaskanlah bahwa kedatangan Nabi Muhammad ﷺ ialah mengajak manusia supaya kembali kepada agama Ibrahim yang asli itu. Pemeluk agama Yahudi mengakui turunan Ibrahim. Dalam Kitab yang mereka akui sebagai Taurat, jelas disebutkan kisah Ibrahim dan perjuangannya, Nabi Isa sebagai ikutan dari orang Nasrani mengakui pula bahwa ajaran yang beliau bawa pun berasal dari Ibrahim. Orang Arab pun tidak pernah memungkiri bahwa yang mendirikan dan membina Ka'bah ialah Ibrahim. Sekarang kalau semuanya mengakui ada pertalian darah dan ruhani dengan Ibrahim, marilah tegakkan agama Ibrahim, tinggalkanlah berhala dan patung dan pemujaan kepada sesama manusia.
“Padahal Allah telah mengambil Ibrahim itu menjadi kekasih."
Ibrahim telah berjuang dalam seluruh hidupnya untuk menegakkan agama Allah yang Hanif itu. Seluruh wajahnya telah diha-dapkannya kepada Allah dan dirinya telah diserahkannya. Dia tidak lagi melengong menoleh kepada yang lain. Walaupun untuk itu dia bersedia dibakar. Satu waktu hatinya telah diganggu oleh cahaya bintang dan sinar
Nur kemuliaan Ilahi telah menyinari sekalian kekuatan jasmaniyahnya. Dia telah memasuki segala celah-celahnya dan dia telah menyelami lautan dalamnya untuk mendapat mutiara-mutiara hikmatnya. Bahkan leburlah dia ke dalam hakikat kebesaran-Nya. Manusia seperti inilah yang berhak diberi gelar Khalil Sebab Mahabbah Ilahi, cinta Allah, telah mengalir ke seluruh celah-celah sekalian daya hidupnya. Inilah yang diisyaratkan oleh sebuah hadits Nabi, dalam rangkaian doa-doa beliau,
“Ya Tuhanku, ciptakanlah di dalam hatiku ecu haya, dan di dalam pendengaranku cahaya dan dalam penglihatanku cahaya, dan di dalam seluruh gerak-gerik hidupku cahaya." (HR Muslim dan Ibnu Majah)
Sekian penafsiran ar-Razi.
Kemudian itu Allah berfirman sebagai penutup dari rangkaian ayat-ayat ini
Ayat 126
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ada di semua langit dan apa yang ada di bumi."
Dengan penutupan rangkaian ayat menunjukkan bahwa kekuasaan Allah bukanlah terhadap kehidupan manusia saja, kita dibawa kepada berpikir yang lebih tinggi bahwasanya kita tidaklah sendirian hidup dalam alam ini. Ada pertalian di antara insan, hidup, dan alam sekelilingnya, digabungkan semuanya jadi satu ke dalam kekuasaan Allah. Bila kita telah insaf bahwa Allah-lah yang mempunyai dan menguasai semuanya, niscaya akan sadarlah kita akan nilai hidup kita sebagai insan. Sepintas lalu tidaklah ada arti apa-apa diri kita ini, seakan-akan tidak termasuk dalam perhitungan (surah al-Insaan ayat 1) Tetapi Allah telah menganugerahkan kepada diri sejemput kecil daripada rahasia kebesaran-Nya, yaitu akal dan perasaan dan iradat. Yang tersebab
dia itu kita pun ingat bahwa kita adalah makhluk yang termasuk penting dalam alam ini.
“Dan adalah Allah itu atas tiap-tiap sesuatu Meliputi."
Dia dengan kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu. Meliputi semua langit, dan bumi, dan cakrawala dan insan juga. Ke mana pun kita menghadapkan muka di bawah naungan langit ini, hanya kekuatan dan kekuasaan Allah yang tampak. Kita tidak dapat mencari atau melihat yang lain. Tidak ada yang lain yang berkuasa memberikan manfaat atau mudharat. Lantaran itu kepada-Nyalah kita menyerahkan diri. Hati sanubari manusia dan fitrah kejadiannya pun memang menuju itu. Apabila hal ini telah kita sadari, barulah kita menjadi hamba Allah yang sadar akan diri, menyatukan hadapan wajah kepadanya, tulus dan ikhlas, tidak bercabang kepada yang lain. Itulah dia Islam yang sejati dan itulah cita-cita hidup kita. Soal ini bukanlah soal angan-angan atau memakai nama padahal tidak sesuai dengan yang dinamakan.