Ayat
Terjemahan Per Kata
إِذۡ
tatkala
قَالَ
berkata
يُوسُفُ
Yusuf
لِأَبِيهِ
kepada bapaknya
يَٰٓأَبَتِ
wahai ayahku
إِنِّي
sesungguhnya aku
رَأَيۡتُ
aku melihat
أَحَدَ
satu(ahada-asyara_=_sebelas)
عَشَرَ
sepuluh (ahada asyara = sebelas)
كَوۡكَبٗا
bintang-bintang
وَٱلشَّمۡسَ
dan matahari
وَٱلۡقَمَرَ
dan bulan
رَأَيۡتُهُمۡ
aku lihat mereka
لِي
kepadaku
سَٰجِدِينَ
bersujud
إِذۡ
tatkala
قَالَ
berkata
يُوسُفُ
Yusuf
لِأَبِيهِ
kepada bapaknya
يَٰٓأَبَتِ
wahai ayahku
إِنِّي
sesungguhnya aku
رَأَيۡتُ
aku melihat
أَحَدَ
satu(ahada-asyara_=_sebelas)
عَشَرَ
sepuluh (ahada asyara = sebelas)
كَوۡكَبٗا
bintang-bintang
وَٱلشَّمۡسَ
dan matahari
وَٱلۡقَمَرَ
dan bulan
رَأَيۡتُهُمۡ
aku lihat mereka
لِي
kepadaku
سَٰجِدِينَ
bersujud
Terjemahan
(Ingatlah) ketika Yusuf berkata kepada ayahnya (Ya‘qub), “Wahai ayahku, sesungguhnya aku telah (bermimpi) melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan. Aku melihat semuanya sujud kepadaku.”
Tafsir
Ingatlah (Ketika Yusuf berkata kepada ayahnya) Nabi Yakub ("Wahai ayahku!) dibaca kasrah, yaitu abati untuk menunjukkan adanya ya idhafat yang tidak disebutkan. Sedangkan bila dibaca fatah, maka menunjukkan adanya huruf alif yang tidak disebutkan, yaitu abata, kemudian alif ditukar dengan ya (Sesungguhnya aku telah melihat) di dalam tidurku, yakni bermimpi (sebelas buah bintang dan matahari serta bulan, kulihat semuanya) lafal ra-aytuhum berkedudukan menjadi taukid atau pengukuh dari lafal ra-aytu di muka tadi (sujud kepadaku.") lafal saajidiina adalah bentuk jamak, yang alamat i'rabnya memakai ya dan nun karena menggambarkan keadaan sujud, hal ini merupakan ciri khas daripada makhluk yang berakal.
Tafsir Surat Yusuf: 4
(Ingatlah) ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, "Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.
Allah ﷻ berfirman, "Ceritakanlah kepada kaummu, hai Muhammad, tentang kisah Yusuf dalam ceritamu kepada mereka. Yaitu ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, Nabi Ya'qub ibnu Ishaq ibnu Ibrahim a.s."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Dinar, dari ayahnya, dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang mulia anak orang mulia anak orang mulia adalah Yusuf ibnu Yaqub ibnu Ishaq ibnu Ibrahim.”
Hadits ini diketengahkan oleh Imam Bukhari secara munfarid. Imam Bukhari meriwayatkannya dari Abdullah ibnu Muhammad, dari Abdus Samad dengan sanad yang sama.
Imam Bukhari mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Ubaidillah, dari Sa'id ibnu Abu Sa'id, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ ditanya, "Siapakah orang yang paling terhormat?" Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang yang paling terhormat di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” Mereka berkata, "Bukan itu yang kami tanyakan kepada engkau." Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang yang paling mulia adalah Yusuf Nabi Allah anak Nabi Allah anak Nabi Allah anak kekasih Allah.”
Mereka berkata, "Bukan itu yang kami tanyakan kepada engkau." Rasulullah ﷺ bersabda, "Apakah kalian menanyakan kepadaku tentang orang-orang Arab yang paling mulia?" Mereka menjawab, "Ya." Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang-orang yang terpandang dari kalian di masa Jahiliah adalah orang-orang yang terpandang pula di masa Islam jika mereka mengerti (yakni masuk Islam).”
Kemudian Imam Bukhari mengatakan bahwa periwayatan hadits ini diikuti pula oleh Abu Usamah, dari Ubaidillah. Ibnu Abbas mengatakan bahwa mimpi para nabi adalah wahyu. Ulama tafsir telah membahas tentang makna mimpi ini, bahwa ungkapan sebelas bintang dimaksudkan adalah saudara-saudara Nabi Yusuf yang jumlah keseluruhannya ada sebelas orang; jumlah anak Nabi Ya'qub ada dua belas orang termasuk Nabi Yusuf. Sedangkan yang dimaksud dengan matahari dan bulan adalah ayah dan ibunya.
Hal ini telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ad-Dahhak, Qatadah, Sufyan As-Sauri, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam. Takwil mimpi Nabi Yusuf ini baru terealisasi sesudah selang empat puluh tahun kemudian, pendapat lain mengatakan sesudah delapan puluh tahun. Itu terjadi ketika Nabi Yusuf mempersilahkan kedua orang tuanya untuk menduduki kursi singgasananya, sedangkan semua saudaranya berada di hadapannya. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. Dan berkata Yusuf "Wahai ayahku, inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan.” (Yusuf: 100)
Di dalam sebuah hadits disebutkan nama bintang-bintang yang sebelas tersebut. Imam Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan: Telah menceritakan kepadaku Ali ibnu Sa'id Al-Kindi, telah menceritakan kepada kami Al-Hakam ibnu Zahir, dari As-Saddi, dari Abdur Rahman ibnu Sabit dari Jabir yang menceritakan bahwa seorang Yahudi yang dikenal dengan nama Bustanah datang menghadap Nabi ﷺ, lalu bertanya, "Hai Muhammad, ceritakanlah kepadaku bintang-bintang yang dilihat oleh Yusuf dalam mimpinya bersujud kepadanya, apa sajakah nama-nama bintang-bintang tersebut?" Rasulullah ﷺ diam sesaat, tidak menjawab sepatah kata pun.
Lalu Jibril a.s. turun dan menceritakan kepada Nabi ﷺ semua nama bintang itu. Maka Nabi ﷺ menyuruh agar lelaki Yahudi itu dipanggil menghadap. Setelah lelaki Yahudi itu sampai, maka Nabi ﷺ bertanya, "Apakah engkau mau beriman jika aku sebutkan kepadamu nama bintang-bintang itu?" Lelaki Yahudi itu menjawab, "Ya." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Jiryan, Tariq, Zayyal, Zul Kanfat, Qabis, Wassab, 'Amudan, Faliq, Misbah, Daruh, Zul Farag, Diya, dan Nur.” Lelaki Yahudi itu berkata, "Memang benar, demi Allah, itulah nama bintang-bintang tersebut."
Imam Baihaqi meriwayatkannya di dalam kitab Dalail-nya melalui hadits Sa'id ibnu Mansur, dari Al-Hakam ibnu Zahir. Hadits ini diriwayatkan pula oleh dua orang Hafiz, yaitu Abu Ya'la Al-Maushili dan Abu Bakar Al-Bazzar di dalam kitab Musnad masing-masing, juga oleh Ibnu Abu Hatim di dalam kitab Tafsir-nya.
Adapun menurut riwayat Abu Ya’la, maka ia menceritakannya dari empat orang gurunya, dari Al-Hakam ibnu Zahir, dengan sanad yang sama. Di dalam riwayatnya ditambahkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Setelah Yusuf melihat mimpinya itu dan ia menceritakannya kepada ayahnya Yaqub, maka Yaqub berkata kepadanya, ‘Ini merupakan suatu perkara yang bercerai berai kemudian Allah menyatukannya kembali sesudah itu. Matahari adalah ayahnya, sedangkan bulan adalah ibunya’.”
Hal ini diriwayatkan secara munfarid oleh Al-Hakam ibnu Zahir Al-Fazari.
Para imam menilainya daif dan banyak ulama yang tidak memakai haditsnya. Al-Jauzani mengatakan bahwa hal itu tidak benar, dia adalah pemilik hadits yang hasan. Kemudian ia menceritakan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir, bahwa seorang Yahudi bertanya kepada Nabi ﷺ tentang nama bintang-bintang yang dilihat oleh Nabi Yusuf dalam mimpinya, yakni apakah nama bintang-bintang tersebut. Lalu Nabi ﷺ menjawabnya. Kemudian ia menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan secara munfarid oleh Al-Hakam ibnu Zahir yang dinilai dha’if oleh keempat imam hadits.
Setelah dijelaskan bahwa di antara wahyu Al-Qur'an yang diturunkan
Allah berupa kisah-kisah umat terdahulu yang belum diketahui secara
jelas oleh Nabi Muhammad dan umatnya, ayat ini menjelaskan tentang salah satu kisah tersebut, yaitu kisah Nabi Yusuf. Allah memulai
kisah Nabi Yusuf dengan menceritakan perihal mimpinya. Ketika
Yusuf putra Nabi Yakub berkata kepada ayahnya, Wahai ayahku! Sungguh, aku bermimpi melihat sebelas bintang, yakni saudaranya yang berjumlah sebelas, matahari, yakni ayahnya dan bulan, yakni ibunya; kulihat semuanya sujud atau mengarahkan pandangannya dan hormat
kepadaku. Kemudian dia'Nabi Yakub'berkata kepada putranya, Wahai anakku! Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu. Aku
khawatir apabila mereka tahu, mereka akan membuat tipu daya untuk
membinasakan-mu karena kedengkian mereka. Sungguh, setan itu musuh yang jelas bagi manusia karena terus berupaya memunculkan rasa
permusuhan di antara sesama.
Pada suatu ketika Nabi Yusuf a.s. memberitahukan kepada ayahnya Nabi Yakub bin Ishak bin Ibrahim bahwa ia bermimpi melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan, semuanya tunduk dan sujud kepadanya. Tentu saja sujud di sini bukan dengan arti menyembah seperti yang kita kenal, tetapi hanyalah sujud dalam arti kiasan yaitu tunduk dan patuh. Sujud dengan arti tunduk dan patuh itu ada juga terdapat dalam Al-Qur'an, seperti firman Allah:
Dan tetumbuhan dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya). (ar-Rahman/55: 6)
Setelah mendengar cerita itu, Nabi Yakub a.s. menyadari bahwa mimpi anaknya bukan mimpi biasa, tetapi merupakan ilham dari Allah sebagaimana kerapkali dialami oleh para nabi. Ia yakin bahwa anaknya ini akan menghadapi urusan yang sangat penting dan setelah dewasa menjadi pemimpin dimana masyarakat akan tunduk kepadanya tidak terkecuali saudara-saudaranya dan ibu-bapaknya. Ia merasa khawatir kalau hal ini diketahui oleh saudara-saudaranya, dan tentulah mereka akan merasa iri dan dengki terhadapnya serta berusaha untuk menyingkirkan atau membinasa-kannya apalagi mereka telah merasa bahwa ayah mereka lebih banyak menumpahkan kasih sayangnya kepadanya. Tergambarlah dalam khayal Nabi Yakub bagaimana nasib anaknya bila mimpi itu diketahui oleh saudara-saudaranya, tentulah mereka dengan segala usaha dan tipu daya akan mencelakakannya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MIMPI YUSUF
Ayat 4
“(Ingatlah) tatkala berkata Yusuf kepada ayahnya, ‘Wahai, ayahku! Sesungguhnya, aku telah melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; aku lihat semua mereka itu bersujud kepadaku.
Untuk mengetahui latar belakang ayat 4 ini, yang telah langsung menceritakan bahwa Yusuf melihat—artinya bermimpi melihat—sebelas bintang, matahari, dan bulan, semuanya bersujud kepadanya, adalah sebaiknya kita mengetahui asal mula sebelum Yusuf menceritakan mimpinya kepada ayahnya yang amat disayanginya dan menyayanginya itu. Maka tersebutlah perkataan berikut ini.
Nabi Ya'qub mempunyai istri dua orang, yaitu Lea dan Rakhel. Keduanya itu adalah anak perempuan dan Laban, sedangkan Laban itu orang Arami saudara dari ibu Ya'qub yang bernama Ribkah, istri Nabi Ishaq. Dia disuruh oleh ayahnya mencari istri ke kampungnya sendiri, jangan kawin dengan perempuan Kana'an. Dia mendapat istri dua bersaudara, Lea dan Rakhel, karena yang sebenarnya ditujunya ialah Rakhel karena dia lebih cantik, tetapi dia anak bungsu dari Laban. Lea anak yang sulung, tidak begitu cantik, tetapi menurut adat negeri itu, anak bungsu belum boleh kawin sebelum kakaknya kawin. Sebab itu, oleh Laban mertuanya itu, dikicuhkan Ya'qub; di malam perkawinan diberikannya anak yang sulung Lea itu kepada Ya'qub. Mas kawinnya ialah menggembalakan kambing dan lembu Laban selama tujuh tahun. Setelah hari pagi, dilihatnya bahwa istri yang diserahkan kepadanya bukan yang ditujunya, yaitu Rakhel. Disesalinya mamak dan mertuanya itu, mengapa dia ditipu dengan cara demikian. Oleh si mertua diberi tahu bahwa adat negeri itu mesti yang sulung kawin lebih dahulu, baru yang bungsu. Tetapi dia setuju menyerahkan anak perempuannya yang bungsu, Rakhel itu, setelah genap tujuh hari dia berkawin dengan Lea, dengan membayar mahar menggembalakan lembu dan kambing tujuh tahun pula. Oleh karena Ya'qub mencintai yang bungsu, tawaran mertuanya diterimanya. Maka dikawininyalah kedua bersaudara itu, Lea yang sulung dan Rakhel yang bungsu.
Rupanya, meskipun Ya'qub lebih mencintai istri yang muda, Rakhel, daripada Lea, namun yang banyak memberinya anak ialah Lea, sedangkan Rakhel lama sekali tidak mem-peroleh anak. Dan menurut adat istiadat pada masa itu, kedua istri itu memberi hadiah sahaya perempuan kepada suaminya untuk memberinya anak pula. Lea menyerahkan sahaya perempuan kepada suaminya bernama Zilfa, Rakhel menghadiahkan budak perempuan bernama Bilha. Baik Lea maupun kedua budak perempuan Bilha dan Zilfa, semua beranak laki-laki, jumlah seluruhnya sepuluh orang. Adapun Rakhel, setelah Ya'qub mulai tua, barulah dianugerahi Allah anak. Anaknya yang pertama ialah Yusuf dan anak yang kecil sekali, adik dari Yusuf, itulah Bunyamin. Dalam Perjanjian Lama (Kejadian, pasal 36), diterangkan bahwa sehabis melahirkan Bunyamin itu Rakhel meninggal dunia.
Maka lantaran Yusuf dan Bunyamin lahir setelah Ya'qub berusia tua, apatah lagi ibu mereka telah meninggal pula habis melahirkan, tertumpahlah sayang Ya'qub kepada kedua anak ini, terutama kepada Yusuf yang sedang jadi permainan mata karena bagus rupanya.
Oleh karena Yusuf dan Bunyamin masih kecil-kecil, mereka lebih banyak tinggal dengan ayahnya yang telah tua itu dan tidak mengikut abang-abangnya yang sepuluh, yang sudah besar-besar, terutama ketika mereka menggembalakan lembu dan kambing.
Dan ada lagi satu pengharapan yang terpendam dalam hati Ya'qub yang sudah lama di-simpannya, yaitu bahwa dia adalah penerima pusaka ayahnya Ishaq, sedangkan Ishaq pun menerima pusaka itu pula dari ayahnya Ibrahim. Pusaka itu ialah pusaka nubuwwat dan risalah: menjadi nabi dan Rasulullah. Inti kerasulan itu ialah menegakkan kepercayaan tentang keesaan Allah.
Anaknya dua belas orang banyaknya. Besar harapannya kepada Allah moga-rnoga waris yang diterimanya dari ayahnya Ishaq dan neneknya Ibrahim itu dapat pula diturunkan kepada salah seorang dari anak-anaknya itu. Yang manakah agaknya? Sedang anak-anak itu sendiri, karena berlainan ibu, dipengaruhi suasana yang tidak sehat dalam rumahnya. Berdua anak, Yusuf dan Bunyamin kematian ibu. Anak yang lain, ibunya masih hidup. Karena ibu Yusuf meninggal sesudah melahirkan Bunyamin adik Yusuf, kasih beliau lebih tertumpah kepada kedua anak yang piatu ini. Karena kasihnya tertumpah itu, timbul perasangka pada saudara-saudaranya, diembus-embus tentu oleh ibu mereka, dikatakan si ayah tidak adil membagi kasih.
Sekarang, Ya'qub mendengar sendiri dari anak yang dikatakan lebih dikasihi karena kematian ibu itu bahwa dia bermimpi. Mimpinya ganjil; sebelas bintang serta matahari dan bulan datang bersujud ke hadapannya. Ya'qub mendapat firasat bahwa Yusuf inilah agaknya yang akan menerima waris nubuwwat dan risalah itu. Sebab itu, beliau pandang berbahaya kalau kisah mimpi ini diceritakan pula oleh Yusuf kepada saudara-saudaranya yang lain itu lantaran jujurnya.
Maka setelah didengar cerita mimpi Yusuf itu,
Ayat 5
“Dia menjawab, ‘Hai, anakku. Janganlah engkau ceritakan mimpi engkau itu kepada saudara-saudara engkau, karena nanti mereka akan menipu daya engkau dengan semacam tipu daya.'"
Tegasnya, janganlah sekali-kali engkau ceritakan mimpi ini di hadapan mereka karena mereka pun bisa saja kelak mengetahui tafsir mimpi itu; 11 bintang artinya 11 saudara, matahari ialah bapak, bulan ialah ibu. Artinya, mereka pun menjadi tahulah bahwa engkaulah yang akan menerima warisan itu sehingga saudara-saudaramu akan datang bersujud kepada engkau. Mereka telah dengki kepada engkau. Jika mereka dengar pula mimpi ini, mereka pun bertambah dengki sebab di antara mereka sudah pasti ada yang mengharapkan bahwa merekalah yang akan menerima warisan itu. Dan kalau dengki sudah memuncak, mereka bisa saja bertindak melepaskan sakit hati. Lalu mereka lakukanlah suatu tipu daya untuk menyingkir engkau.
“Sesungguhnya, setan terhadap manusia adalah musuh yang nyata."
Niscaya setan telah mengetahui permusuhan di antara kalian bersaudara atau kedengkian saudara-saudaramu kepadamu. Memang setan benci melihat orang berkasih-kasihan bersaudara dan senang sekali kalau permusuhan itu berlarut-larut Sudah pasti setan akan campur tangan, menghasut kalian dengan halus, sampai persatuan keluarga Ya'qub, anak-anak Ya'qub jadi hancur. Sebab itu, lebih baiklah engkau tutup mulut dan jangan terbetik berita ini kepada mereka.
Kemudian diperingatkanlah oleh Nabi Ya'qub apa yang terasa di hatinya karena mimpi Yusuf itu. Lalu beliau berkata selanjutnya,
Ayat 6
“Dan dengan demikian.'"
yaitu dengan tersebab adanya mimpi semacam itu jelasnya, “Allah engkau akan memilih engkau." Di antara dua belas bersaudara, engkaulah rupanya yang akan dipilih Allah meneruskan tugas yang telah dimulai oleh moyangnya Ibrahim dan nenekmu Ishaq dan aku. Jika datang waktunya, rupanya akan jatuh pilihan ke atas diri engkau (yajtabika) di antara dua belas kalian bersaudara."Akan mengajar engkau pengertian mimpi-mimpi" Maka setiap seorang nabi dan rasul yang telah terpilih (mujtaba) diberi kelebihan masing-masing dan keistimewaan. Keistimewaan Yusuf kelaknya menurut renungan ayahnya ialah kesanggupan menafsirkan mimpi-mimpi itu."Dan akan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepada engkau." Engkau akan dipilih menjadi nabi dan engkau akan menjadi rasul serta kemuliaan yang lain pun akan engkau terima dari Allah, “Dan kepada engkau dan kepada keluarga Ya'qub." Artinya, dengan sebab kemuliaan dan nikmat yang dilimpah-karuniakan Allah kepada engkau itu, keluarga Ya'qub, atau saudara-saudaramu, dan segala cabang keturunanmu yang lain pun akan dilimpahkan nikmat itu pula."Sebagaimana telah disempurnakan-Nya nikmat-Nya itu kepada kedua bapakmu yang dahulu, Ibrahim dan Ishaq" Ibrahim adalah moyangmu; kemuliaan yang dilimpahkan Allah kepadanya sebagai pendiri Ka'bah sesudah terlepas dari
dibakar dengan api. Moyangmu itulah yang diberi Allah gelar kehormatan Khalil Allah (Teman Allah) karena sangat setianya kepada Ilahi. Dan Ishaq nenekmu atau datukmu, seorang yang saleh seperti ayahnya pula.
“Sesungguhnya, Allah engkau adalah Maha Mengetahui, Mahabijaksana."
Amat diketahui-Nya kepada siapa pilihan akan dijatuhkan-Nya dan amat bijaksana Dia mengatur segala sesuatu di dalam alam ini. Kumpulan di antara sifat Allah, Mahatahu dan Bijaksana, adalah cita yang mulia.
Cobalah perhatikan butir-butir ucapan ayah yang telah tua itu kepada putranya. Apa yang dikatakannya kepada putranya itu, tampaknya bukanlah buah pikirannya sendiri, melainkan sudah berupa wahyu, yang membayangkan kepada putranya apa yang akan terjadi. Pandangan jauh meskipun secara garis besar. Di antara perkataan beliau itu ialah bahwa kemuliaan yang dilimpahkan Allah kepada Yusuf kelak akan melimpah juga ke-pada keluarga Ya'qub seluruhnya, meskipun pada hari beliau bercakap itu seluruh saudara Yusuf, kecuali Bunyamin adik kandungnya seibu sebapak, membencinya semuanya. Dapatlah kita meraba dalam perkataan beliau itu bahwa pada hari ini janganlah hal mimpi itu mereka ketahui karena mereka sedang dengki. Padahal di belakang hari kelak, mereka pun akan mendapat kelimpahan jua dari nikmat Allah kepada Yusuf.
DARI HAL MIMPI
Mimpi menurut pandangan hidup orang beragama adalah satu kenyataan yang tidak boleh dibawa lalu saja. Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dari Aisyah istri Nabi Muhammad ﷺ,
“Mula sekali turun wahyu kepada Rasulullah ﷺ ialah mimpi yang benar di dalam tidur, maka tiap-tiap mimpi itu datang, dia menyinar laksana cahaya Shubuh." (HR Bukhari)
Beberapa ayat di dalam Al-Qur'an menyatakan mimpi-mimpi penting dari Nabi kita ﷺ.
• Tersebut di dalam surah al-israa' ayat 60 bahwa mimpi Rasulullah saw, menjadi fitnah atau ujian bagi manusia.
• Dalam surah an-Anfaal ayat 43 diperlihatkan di dalam mimpi Rasulullah ﷺ bahwa bilangan musuh dalam Peperangan Badar tampak hanya sedikit, padahal mereka banyak sehingga sepintas lalu seakan-akan berbeda yang dilihat dalam mimpi dengan kenyataan yang sebenarnya.
Padahal ada hikmah tertinggi, yaitu bahwa memang musuh itu sedikit walaupun bilangan mereka sampai lebih dari seribu, sedangkan bilangan kaum Muslimin hanya sekitar tiga ratus, tetapi karena kekuatan pendirian dan keteguhan semangat iman, yang sedikit inilah yang menang.
Kemudian kita bertemu mimpi Nabi Ibrahim menyembelih putranya Isma'il (surah ash-Shaaffaat ayat 102); kemudian kita bertemu mimpi Nabi Yusuf yang sekarang tengah kita perkatakan.
Al-Qurthubi menulis dalam tafsirnya, “Mimpi adalah suatu hal yang mulia dan pe-nempatan yang tinggi. Dia bisa terjadi pada nabi-nabi dan rasul-rasul dan terjadi pula pada orang-orang yang saleh."
Sehingga menurut sabda Nabi kita, sesudah beliau wafat, wahyu tidak turun lagi, tetapi mubasysyiraat, yaitu mimpi yang baik dan yang benar, yang dimimpikan oleh seorang yang saleh atau dimimpikan orang lain untuknya! Sampai Nabi ﷺ berkata,
“Orang yang paling benar mimpinya ialah yang paling benar percakapannya."
Dari sebuah hadits Nabi kita mengatakan bahwa mimpi yang benar itu satu bagian dari 46 bagian kenabian dan ada lagi hadits lain mengatakan sebagian dari 70 bagian kenabian. Menurut sebuah hadits yang dirawikan Ibnu Abbas, satu bagian dari 40 bagian kenabian. Menurut sebuah hadits dari Abbas bin Abdul Muthalib, satu bagian dari 50 bagian kenabian. Menurut sebuah hadits dari Anas bin Malik, satu bagian dari 26 bagian kenabian. Menurut sebuah hadits yang dirawikan dari Ubadah bin Shamit, satu bagian dari 44 bagian kenabian. Kalau dipertimbangkan dari segi ilmu hadits, yang lebih shahih ialah hadits yang mengatakan bagian dari 46. Tingkat kedua dari derajat shahihnya ialah hadits yang mengatakan 70, Kata al-Qurthubi, hadits 46 dan 70 inilah yang dirawikan oleh Muslim.
Penafsir Ibnu Jarir ath-Thabari, terlepas dari memperkatakan mana yang lebih shahih dan mana yang kurang shahih, dapat mempertemukan hadits ini semuanya. Memang ada yang mendapat 26 bagian dari nubuwwat menurut martabat dan tingkat dekat dan jauhnya orang itu dari Allah. Bertambah dekat dia kepada Allah, bertambah teballah bagian mimpi yang besar itu lebih mendekati nubuwwat kalau martabat iman orang itu telah menyerupai sifat-sifat Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq: (1) yangberwudhu dengan sempurna, (2) sabar menghadapi hai-hai yang menyusahkan, (3) duduk menunggu di antara shalat dan shalat. Maka dia akan mendapat mimpi yang benar in syaa Allah—satu bagian dari 40 bagian nubuwwat. Dan barangsiapa yang keadaan jiwanya di antara itu, dia akan mendapat di antara dua bagian, yaitu di antara 40 dan 60, tidak kurang dari 70 dan lebih dari 40.
Arti yang beginilah yang diisyaratkan oleh Abu Amer bin Abdil Bar, “Menurut daya perbedaan riwayat tentang beberapa bagian dari nubuwwat penilaian satu mimpi yang benar, bukanlah suatu pertentangan yang berlawanan. Karena nilai bagian nubuwwat dalam mimpi yang benar itu bergantung juga kepada orang yang bermimpi sendiri; kejujurannya bila berkata-kata, kesetiaannya memegang amanah, keteguhannya memegang agama, dan kekuatan keyakinannya. Tinggi-rendah sifat-sifat itu pada dirinya itulah yang menentukan nilai mimpinya. Maka barangsiapa yang ikhlas niatnya dalam beribadah kepada Allahnya dan yakin serta benar bila berkata-kata, maka mimpinya menjadi lebih benar dan lebih dekat lagi kepada nubuwwat. Sedangkan di antara nabi-nabi sendiri tidak juga sama martabatnya, malahan tinggi dan ada yang lebih tinggi lagi."
Ibnul Qayyim menegaskan lagi di dalam kitabnya Madarijus Salikin, “Mimpi dari orang yang telah mencapai derajat shiddiqin, yaitu derajat yang telah dicapai oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, sama dengan satu bagian dari 46 bagian nubuwwat. Dan mimpi yang benar dari orang beriman umumnya sama dengan 70 bagian nubuwwat."
Dan katanya pula, “Mimpi itu sama dengan kasyaf. Ada yang bersifat rahmani, yaitu datang dari Allah, dan ada yang bersifat nafsani, yaitu dari perasaan diri sendiri, dan ada lagi yang kasyaf dari setan."
Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
“Mimpi itu ada tiga macam: (1) mimpi dari Allah, (2) mimpi untuk menyusah pikiran, dari setan, (3) dan mimpi dari yang terasa oleh, seseorang di dalam hatinya sendiri ketika bangun, lalu terlihat olehnya setelah dia tidur."
Maka mimpi yang mengandung hidayah ialah mimpi yang dari Allah itu. Dan mimpi nabi-nabi adalah wahyu sebab dia ma'shum dari pengaruh setan. Tentang ini, sependapat seluruh umat. Itulah sebabnya, setelah Ibrahim bermimpi menyembelih Isma'il, dengan tidak ragu lagi langsung hendak beliau laksanakan sepanjang yang ditentukan dalam mimpi itu. Kalau orang lain bermimpi, hendaklah diperbandingkan dengan wahyu yang jelas. Kalau sesuai dengan wahyu yang telah ada, langsungkanlah. Kalau berlawan dengan wahyu, tidaklah boleh dilaksanakan.
Selanjutnya, Ibnul Qayyim menulis, “Dan barangsiapa yang ingin mimpinya itu benar, hendaklah dia melatih dirinya dalam kejujuran, berkata benar, jangan campur bohong, dan hendaklah memakan harta yang halal, dan selalu menjaga perintah dan larangan Allah. Maka kalau hendak tidur, hendaklah dia berwudhu lebih dahulu dengan sempurna, lalu berbaring dengan menghadap Kiblat, dan ingat akan Allah (dzikir) sampai matanya tertidur. Kalau dia lakukan demikian, mimpinya tidaklah akan buruk. Dan mimpi yang paling benar ialah mimpi di waktu sahur karena waktu sahur itulah waktu turunnya Ilahi ke langit dunia dan rahmat di waktu itu jadi dekat, dan ampunan Ilahi pun hampir dan setan sedang tidak sibuk. Sebaiknya ialah mimpi di waktu ‘atamah, yaitu di permulaan malam, ketika setan-setan masih berkerayangan, demikian juga ruh-ruh jahat." Sekian kita salin karangan ibnul Qayyim dalam Madanjus Salikin, juz I.
Maka bertemu lagi sabda Nabi Muhammad ﷺ tentang hubungan mimpi dengan ketaatan kepada Allah. Rasulullah ﷺ pernah pula bersabda,
“Tidak ada yang tingkat dari nubnwwat melainkan mubasysyiraat." Mereka bertanya, “Apakah yang dikatakan mubaswyiraat itu, ya Rasulullah7" Beliau menjawab, “Mimpi yang baik, yang kelihatan oleh seorang yang saleh atau dilihat oleh orang lain untuknya." (HR Bukhari)
Filsuf dan sosiolog Islam yang besar, Ibnu Khaldun, membicarakan pula soal mimpi di dalam kitabnya yang terkenal Muqaddimah. Antara lain beliau menulis,
“Alat untuk mencapai pengertian terbagi dua, lahir dan batin. Yang lahir dicapai dengan pancaindra yang lima, yang batin dicapai dengan tenaga otak. Alat pencapai yang lahir dan batin itu bekerja untuk mencapai yang luhur dan zatnya yang ruhaniah, yang dalam asal kejadiannya (fitrahnya) dapat dicapainya. Maka oleh karena alat pancaindra lima yang lahir itu bisa saja buntu dan gagal, karena lelah dan payah, dan hal ini memengaruhi ruh karena terlalu aktif kerja, maka Allah menjadikan padanya keinginan untuk istirahat atau untuk ditenangkan, supaya dia dapat mencapai pengertian dengan rupa yang sempurna. Demikian itu bisa terjadi kalau sewaktu-waktu ruh itu dibebaskan dari pengaruh pancaindra yang bisa lelah dan penat itu, lalu dia dikembalikan kepada tanggapan yang batin. Maksud ini bisa tercapai kalau jasmani mendapat hawa udara kedinginan malam, yang datang dari luar badan, lalu ruh itu menyelinap ke dalam dirinya mencari hawa panas dari dalam. Dan lahir dia menyelinap ke rongga batin. Di waktu itulah dia istirahat, yaitu dia tidur. Sebab itu, tidur itu pada umumnya terjadi pada malam hari. Maka apabila ruh itu telah bebas dari pancaindra yang lahir lalu kembali kepada tenaga yang ada dalam batin dan telah ringan dari diri beban-beban kesibukan lahir serta aneka warna rintangannya karena telah kembali kepada rupanya yang asli dalam ingatan, di waktu itu merupalah di hadapannya segala susunan, segala uraian dan rupa-rupa yang khayali, yang kebanyakan telah biasa ditemui karena dia diambil dari tanggapan-tanggapan yang baru saja didapat sehari-hari. Maka apa yang tergambar dalam ingatan dari bekas yang diimpikan dalam tidur itu lekatlah dia dalam ingatan ketika bangun dari tidur. Kadang-kadang menolehlah jiwa itu kepada zat ruhaniah, tetapi perasaan yang lebih murni dalam batin menentangnya dengan halus sekali, akhirnya dapatlah ruhani mengambil kesimpulan, karena fitrahnya sudah begitu. Dan segala khayalan yang bersimpang siur yang kelihatan oleh mata ruhani sedang kita tidur itu terjadilah beberapa hal, yang kadang-kadang bersambung dan kadang-kadang berpisah atau kebalikan dari sesuatu. Maka segala yang terkhayal itu amat memerlukan penafsiran atau tafsir; apa artinya, apa maksudnya. Disusun atau dipisah-pisahkan apa yang dimimpikan itu dalam rupa yang diingat. Kalau tidak tentu ujung pangkalnya, disebutlah dia ‘mimpi kosong' (dalam bahasa Minang “mimpi kosong" disebut rasian).
Maka tersebutlah dalam sebuah hadits yangshahih, sabda Nabi Muhammad ﷺ,
“Mimpi itu tiga macam: (1) mimpi dari Allah, (2) mimpi dari Malaikat, (3) mimpi dari setan."
Kata Ibnu Khaldun selanjutnya, “Hadits ini sesuai dengan apa yang telah kita uraikan di atas tadi. Maka mimpi yang jelas, itulah yang langsung dari Allah. Bayangan yang menghendaki buat ditafsirkan, itulah yang dari setan, sebab mimpi begitu tak tentu ujung pangkal, kacau. Dan setan memang sumber dari segala kekacauan."
“Demikian itulah hakikat mimpi," kata Ibnu Khaldun selanjutnya."Dan apa yang menjadi sebabnya dan mengapa dia terjadi di waktu tidur. Mimpi adalah keistimewaan manusia, terdapat pada seluruh insan, tak ada kecuali, bahkan segala orang melihat sesuatu dalam mimpinya apa yang timbul padanya di waktu sadarnya berkali-kali, bukan sekali. Sehingga dia dapat mengambil kesimpulan bahwa jiwa manusia ini dapat berhubungan dengan yang gaib, di waktu dia tidur. Maka kalau hubungan dengan yang gaib dapat berlaku di kala orang tidur, tidaklah mustahil bahwa jiwa pun dapat pula berhubungan dengan yang gaib di waktu-waktu selain tidur. Karena zat yang mencapai pengertian itu adalah satu dan kekuatannya meliputi yang umum dalam segala hal"
Akhirnya Ibnu Khaldun menulis, “Menak-wilkan atau menafsirkan mimpi sudah ada sejak zaman dahulu, demikian pun sampai kemudian. Nabi Yusuf sanggup menakwilkan mimpi, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an. Demikian juga Nabi kita ﷺ, beliau pun menafsirkan mimpi, sebagaimana tersebut pada beberapa hadits yang shahih. Dan Abu Bakar pula ada kesanggupan demikian. Karena mimpi adalah suatu tanggapan yang gaib, sebagaimana di atas telah kita uraikan. Adapun arti tafsir itu sendiri, hendaklah kita ketahui bahwa ruh aqli apabila mencapai pengertiannya dan bertemu dengan khayal dan memberinya bentuk, maka dia akan sanggup memberi arti yang sesuai ala kadarnya. Ada mimpi itu yang jelas sehingga tak perlu tafsir lagi atau karena hampir serupa di antara yang didapat dengan mimpi dengan yang ada pada kenyataan."
Begitulah filsuf Ibnu Khaldun mengupas soal mimpi.
Kemudian itu, Nabi kita ﷺ memberikan pula tuntunan bagi kita bagaimana sikap kita jika bertemu mimpi baik atau mimpi buruk.
Menurut satu riwayat dari Bukhari yang diterimanya dari Abu Salamah bahwa Abu Salamah itu pernah bermimpi. Setelah dia bangun dari tidur, amat berkesan mimpi itu pada dirinya sehingga menyakitkan. Lalu hal itu diterangkannya kepada seorang sahabat Nabi ﷺ bernama Abu Qatadah. Abu Qatadah lalu menceritakan pula bahwa dia
pernah bermimpi, yang setelah dia bangun menimbulkan sakit dalam dirinya karena seramnya mimpi itu. Rasa sakit itu barulah hilang setelah didengarnya Rasulullah ﷺ bersabda,
“Mimpi yang baik adalah dari Allah. Maka apabila di antara kamu bermimpi yang mengesanku n baik, janganlah diceritakan mimpi itu melainkan kepada orang yang engkau senangi. Dan jika kamu bermimpi yang tidak menenungkan, hendaklah, berlindung diri kepada Allah dan hendaklah ludahkan tiga kali, dan jangan diceritakan kepada siapa pun. Dengan demikian, tidaklah akan berbahaya kepada dirinya." (HR Bukhari)
Berlindung diri kepada Allah ialah dengan membaca ta'awwudz “a'udzu billahi minasy syithanir rajim".
Abu Qatadah mengatakan selanjutnya bahwa mimpi yang dimimpikannya itu demikian seram dirasakannya sehingga berat laksana beratnya sebuah bukit menindih dirinya. Tetapi setelah didengarnya hadits itu dari Nabi ﷺ dan diamalkannya, habis sirnalah tekanan perasaan berat itu.
Dan kemudian terdapat lagi sebuah hadits yang dirawikan oleh Muslim dari Jabir bin Abdullah. Sabda Nabi,
“Apabila seorang di antara kamu bermimpi yang tidak menyenangkannya, meludahlah ke kiri tiga kali dan terlindunglah dari setan tiga kali pula, lalu palingkan tidur (membalik) dari miringnva. (HR Muslim)
Sebuah lagi hadits shahih yang diterima dari Abu Hurairah,
“Kalau kamu bermimpi yang tidak menyenangkan, lekas bangun dan segera shalat."
Ulama-ulama berkata bahwa segala yang diajarkan Nabi ﷺ ini tidaklah berlawan, baik diamalkan semuanya, ditambah lagi dengan shalat, maka dengan melakukan shalat, semua memengaruhi perasaan itu jadi habis dan semua terkerjakan. Karena kalau dia telah bangun shalat, tentu dia dengan sendirinya telah berpaling atau membalik dari tempat tidurnya. Dan ketika dia mengambil wudhu, tentu dimulai dengan berkumur-kumur (madhmadhah), dengan itu dia telah meludah. Dan apabila shalat telah dimulai, tentu sebelum Fatihah dia membaca ta ‘awwudz (a ‘udzu billahi minasy syaithanir rajini). Dan setelah shalat, tentu dia sudah berdoa dan merendahkan diri (tadharru') kepada Allah, moga-moga Allah memeliharanya dari segala bahaya. Apatah lagi itu adalah shalat tahajjud, di waktu yang sangat terbuka pintu pengabulan doa (sa'atul ijabah) di waktu sahur.
Demikian al-Qurthubi menulis dalam tafsirnya.
Sengaja agak panjang soal mimpi ini kita kupas ketika menafsirkan mimpi Nabi Yusuf, yang telah diterka oleh ayahnya bahwa dia kelak akan menjadi seorang yang diberi Allah keahlian menafsirkan mimpi. Yang di dalam penyelidikan-penyelidikan ilmu agama Islam, baik dari Al-Qur'an maupun dari hadits-hadits telah panjang lebar dibicarakan oleh ulama-ulama Islam. Di atas telah kita salinkan hadits tentang mubasysyirat, yaitu mimpi yang baik yang dialami oleh orang-orang yang saleh, sesudah wahyu tidak ada lagi. Al-Qurthubi menceritakan di dalam tafsirnya bahwa pada suatu hari imam kita asy-Syaff i bermimpi di Mesir mengenai diri sahabat karibnya dan
muridnya yang alim, imam kita Ahmad bin Hambal. Imam Syafi'i mendapat kesan dalam mimpinya itu bahwa sahabat dan muridnya yang amat dihormatinya itu sedang terancam suatu bahaya besar. Besoknya juga dia berkirim surat kepada Ahmad bin Hambal yang berada di Baghdad menyuruh dia bersedia-sedia menerima suatu ujian (imtihaan) sebab ujian itu akan datang. Memang, tidak berapa lama kemudian datanglah ujian yang terkenal itu, beliau dipaksa mengakui bahwa Al-Qur'an itu makhluk dan didekamkan dalam penjara selama 28 bulan karena tidak mau mengubah pendiriannya walaupun bagaimana dia dipaksa, bahkan sampai dipukuli.
Kisah ini disalinkan dengan riwayatnya yang lengkap oleh Imam Tajuddin as-Subki di dalam kitabnya yang terkenal Thabaqat asy-Syafi'iyatul Kubra dengan silsilah perawinya dan ijazahnya, yang asal kisah ini diterima dari Imam Rabi bin Sulaiman salah seorang murid Imam Syafi'i. Rabi bin Sulaiman berkata, “Imam Syafi'i telah berpindah dari Baghdad ke Mesir. Pada suatu hari berkatalah dia kepadaku, ‘Hai Rabi, ambil suratku ini dan bawalah dia dan serahkan ke tangan Abu Abdillah, dan lekas kembali membawa jawabnya'
Maka berangkatlah aku ke Baghdad sambil membawa surat tersebut. Lalu bertemulah aku dengan Ahmad bin Hambal ketika shalat Shubuh. Sesudah beliau memalingkan muka dari menghadap ke mihrab, langsunglah aku serahkan surat itu ke tangannya sendiri seraya aku katakan, ‘Surah ini dari saudara Tuan, Syafi'i yang di Mesir/ Lalu beliau bertanya, ‘Apakah pernah engkau buka?' Aku jawab, ‘Tidak!'
Maka beliau pecahlah cap surat itu dan beliau baca isinya. Tiba-tiba beliau menangis, iring-gemiring air matanya. Lalu aku bertanya, ‘Apa isinya, hai Abu Abdillah?'
Beliau jawab, ‘Beliau tuliskan dalam surat ini bahwa beliau bermimpi bertemu dengan Rasulullah ﷺ, ‘Rasulullah bersabda kepadaku menyuruh aku berkirim surat kepada Abu Abdillah supaya disampaikan salam Rasulullah kepadanya dan katakan pula bahwa dia akan menempuh satu ujian yang berat, dia akan dipaksa mengakui bahwa Al-Qur'an adalah makhluk. Paksaan itu supaya jangan diacuhkan, jangan dituruti. Allah akan mengibarkan benderamu sampai hari Kiamat.'"‘
Berkata Rabi, “Lalu aku berkata kepada beliau, ‘Ini adalah satu berita gembira dari Allah, wahai Abu Abdillah.' Lalu beliau buka selapis gamis yang beliau pakai dan beliau hadiahkan kepadaku. Setelah itu, beliau tulis surat balasan dan beliau serahkan kepadaku dan kembalilah aku ke Mesir, dan langsung aku serahkan pula surat itu kepada asy-Syafi'i. Lalu beliau bertanya, ‘Apa yang diberikannya kepada engkau, hai Rabi?' Aku jawab, ‘Gamisnya, hai Tuan Guru!'
Maka bersenang hatilah Syaffi karena pesan Rasulullah ﷺ telah disampaikannya kepada muridnya dan sahabatnya, dan dite-rimanyalah balasan suratnya yang menyatakan bahwa pesan itu telah diterimanya dan dia berterima kasih atas peringatan gurunya itu."
Riwayat inilah yang diceritakan al-Qurthubi dalam tafsirnya.
Kita terangkan hal ini karena banyak orang modern terpesona oleh psikoanalisis (penyelidikan terhadap jiwa) yang populer dikemukakan oleh Sigmund Freud. Freud tidak mengakui segala sesuatu yang berhubungan dengan gaib. Jiwa dianalisisnya bukan dari hakikat jiwa itu sendiri, melainkan dari bekas-bekas dan gejala jiwa. Menurut dia, jiwa manusia ini terjadi dari tiga lapis: (1) Id, (2) Ego, dan (3) Superego. Katanya, dasar yang di bawah sekali dari diri itu ialah Id. Segala hawa nafsu yang vital dalam hidup manusia hendak makan, hendak minum, hendak bersetubuh, bersumber dari Id kita. Dialah sarang dari segala rasa dan segala naluri. Ego sebagai yang kedua tidaklah mempunyai energi sendiri. Kehidupan yang melangkah selangkah demi selangkah di dalam perikehidupan membentuk Ego kita sebagai lanjutan dari Id. Kalau dalam lingkungan Id kita melihat anak kecil ingin menyusu karena lapar, oleh karena pengalamannya belum ada, jika ibunya terlambat datang untuk menyusukannya, telunjuknya sendiri yang akan dicucutnya. Karena dia belum dapat memperbedakan di antara menyucur susu yang berair dan me-nyucur ujung telunjuk yang kering. Maka setelah manusia hidup berangsur setapak demi setapak dari pengalaman, timbullah Ego. Dia tidak akan lagi mencucur telunjuknya sebab sudah terang bahwa dari ujung telunjuk tidak akan keluar air susu. Maka menurut Freud, jiwa manusia yang menuruti kegiatan hidup itu ialah Ego. Tetapi kemudian dalam hidup tadi manusia bertemu dengan manusia lain; keinginannya belum tentu sesuai dengan ke-inginan orang lain. Manusia ingin menyesuaikan dirinya dengan manusia sekelilingnya. Ada pada pergaulan hidup manusia itu mempunyai nilai yang bernama buruk dan bernama baik. Teranglah apa yang baik bagiku belum tentu baik bagi orang lain dan sebaliknya. Maka majulah jiwa manusia tadi dalam perlombaan hidup, mencari yang sesuai, mencari yang disukai orang, padahal diri hendak bebas kembali kepada ld-nya semula. Dengan demikian, selalulah terjadi peperangan dalam diri sendiri, di antara kehendak Id dan kehendak Superego, dan Ego kadang-kadang menyesuaikan diri ke bawah, kepada Id. Dan kadang-kadang diregang ke atas, kepada Superego. Superego selalu merekan perasaan: awak ingin, padahal masyarakat melarang. Ada agama, ada adat, ada pemerintah, ada etiket, ada etika. Sehingga Id selalu tidak puas. Maka oleh sebab itu, terpendamlah segala ketidakpuasan asli dari Id itu ke bawah sadar. Sekali-kali dia akan timbul kembali apabila ikatan Ego dan Superego terlepas. Pendaman ke dalam itu terkumpul, itulah yang dia namai onderbewustzin atau bawah sadar. Kalau orang jadi gila, kalau orang jadi mabuk, atau kalau orang asyik bermimpi, keluarlah segala yang terpendam tadi ke permukaan hidup dengan tidak disadari.
Mimpi menurut Freud ialah apa yang terpendam di bawah sadar itu timbul kembali keluar dari lapis jiwa. Yang terutama sekali memengaruhi manusia ialah urusan libido, lebih kasarnya lagi ialah hubungan kelamin di antara laki-laki dan perempuan, yang lebih terkenal dengan sebutan seks. Dan yang mula-mula dicintai oleh manusia ialah ibunya. Sebab itu, seorang anak laki-laki benci kepada ayahnya dan cinta kepada ibunya. Asalnya ialah dari mencucut jari pengganti susu ibu. Akhirnya karena manusia sangat cinta kepada ibunya dan benci kepada bapaknya, dibunuhnyalah bapaknya itu karena merebut ibunya. Lalu dia menyesal. Sejak itulah timbul apa yang dinamai agama.
Maka diselidikilah di dalam laboratorium atau di dalam klinik Dr. Sigmund Freud, jiwa-jiwa dari orang-orang yang sakit jiwa. Diselidiki mimpi mereka. Ternyata segala tafsir dari mimpi itu adalah mewujudkan nafsu syahwat libido yang terpendam tadi. Kalau bermimpi mengendarai kuda, tafsirnya ialah bersetubuh sebab bergoyang-goyang di punggung kuda itu adalah perasaan terpendam syahwat setubuh yang timbul kembali.
Demikianlah seterusnya, sehingga segala kegiatan hidup manusia, termasuk mimpi manusia, ialah libido, seks, mencintai ibu, bersetubuh. Lain tidak!
Ketika ada muridnya meminta dianalisis tentang mimpi Fir'aun Mesir tujuh ekor sapi gemuk dengan tujuh ekor sapi kurus serta tujuh ikat gandum subur yang bernas buahnya dengan tujuh ikat gandum kering tak berbuah yang diminta supaya Nabi Yusuf me-nafsirkannya, Freud telah menjawab dengan tegas bahwa itti hanya dongeng, omong kosong.
Ada orang yang belum merasa nilai kesarjanaannya bermutu tinggi kalau dia belum mengikuti sepenuhnya tanpa reserve segala teori Freud ini, mencap pula segala mimpi yang tersebut di dalam Al-Qur'an itu omong kosong. Mereka merasa bahwa teori Freud itu sudah mutlak benar dan sudah sampai kepada puncak ilmiah tentang ilmu jiwa. Padahal kesanggupan Freud dengan psikoanalisisnya ini hanya terbatas pada penyelidikannya terhadap jiwa-jiwa yang abnormal (orang sinting) dan psikopat (agak miring) dan itu diakuinya sendiri. Freud tidak pernah mengemukakan analisisnya tentang jiwa yang muthmairmah, jiwa yang mencapai ketenteramannya, dan orang demikian di Eropa sendiri pun ada.
Tentu saja hal yang demikian ditolaknya karena dia telah memutuskan secara ilmiah bahwa timbulnya agama ialah karena anak membunuh ayah dan bersetubuh dengan ibunya sendiri.
Padahal bagi orang yang masih berpikir dalam lingkungan agama dan masih memercayai hubungan di antara ruhani dan jasmani, Allah dengan insan telah terdapat suatu pembuktian ilmiah yang baru, yaitu telepati, yaitu hubungan di antara seorang manusia dan manusia yang lain, padahal berjauhan tempat, seorang di Amerika seorang di Eropa, dengan tidak memakai alat telekomunikasi benda (telepon, telegraf, televisi, atau radio), hanya semata-mata dengan tafakur. Maka kalau manusia dengan manusia bisa berhubungan dalam ruhaniah, mengapa kita akan menolak adanya hubungan manusia dengan Zat Yang Mahakuasa, Mahatinggi.
Dengan mempertahankan agama sebagai pangkal bertolak pikiran, bukan berarti kita menolak adanya mimpi kosong atau rasian sebab dalam hadits-hadits yang telah kita saiin di atas tadi, kita telah mendapat keterangan langsung dari Rasulullah ﷺ bahwa asal mimpi bukan saja semata-mata dari Allah dan Malaikat, bahkan ada juga dari khayal manusia sendiri, dari pengalamannya sehari-hari yang kemudian mengendap kepada apa yang dinamai oleh Freud dengan bawah sadar atau lapis tak sadar tadi, dan di waktu-waktu tertentu ketika seorang tidak dapat mengendalikan dirinya lagi, yang mengendap itu menyembul keluar.
Yang orang kerap kali lupa bahwa sekalian apa yang dikemukakan oleh Freud itu ialah teori, hasil penyelidikan, kemungkinan-kemungkinan, bukan kepastian. Demikian juga teori Darwin! Dalam bidang ilmiah, jauh berbeda di antara teori dan hukum-hukum, dalil, atau aksioma yang tidak dibantah lagi. Suatu teori ilmiah bisa diperbaiki lagi, bahkan bisa dibantah lagi oleh hasil penyelidikan dan menjadi teori yang lain pula.
Misalnya tentang pendapat Freud bahwa agama itu asalnya ialah karena sang anak sangat cinta kepada ibunya, yang telah dimulainya sejak dia sarat menyusu, yang lama-kelamaan menimbulkan bencinya kepada ayahnya. Dan anak perempuan lebih lekat kepada ayahnya, sebagai lawan dari anak laki-laki lebih sayang kepada ibu. Teori ini dibuat berpanjang-panjang sampai kepada anak membunuh ayah lalu bersetubuh dengan ibu. Teori ini dinamai Odipus dan di Indonesia bisa ditukar namanya dengan teori Sangkuriang.
Khayal Sigmund Freud ini adalah teori, bukan hukum pasti, tetapi telah digunakannya untuk meruntuhkan segala kesucian agama. Sehingga secara kasar keyakinan agama telah dibawa secara “ilmiah" kepada urusan seks.
Seratus orang semacam Freud tidak ada yang sanggup menjelaskan bilakah hal itu terjadi.
Adapun bagi agama sendiri, terutama agama Islam, sebagaimana seorang filsuf Islam tadi telah menerangkan, yaitu Ibnu Khaldun: jiwa manusia mendapat ketenangannya di waktu tidur. Gangguan pancaindra dan keaktifan otak terhenti apabila jiwa karena
tekanan dingin malam telah menyelinap ke dalam batin dan mendapat istirahat. Sekiranya seseorang sudah melatih pembersihan jiwa ataupun pembersihan jasmani dari makanan dan minuman yang haram, selalu berusaha mengurangi perbuatan yang tercela, maka di dalam tidurnya jiwa itu pun akan mendapat ketenangannya. Pengaruh-pengaruh buruk dari apa yang dinamai setan atau pengaruh buruk daripada hawa nafsunya sendiri sebagai manusia, akan berkurang. Lepasnya diri dari pengaruh yang jahat, membawanya lebih dekat kepada pengaruh yang baik. Dia pun naik kepada al-malakutula'la, artinya ke dalam suasana malaikat. Sebab ruh itu sendiri pada hakikatnya sama gaibnya dengan malaikat itu. Dalam suasana tidur, kungkungan badan lepas dari jiwa dan jiwa bebas naik ke alam yang lebih tinggi.
Imam Ghazali memberi tafsir tentang ular atau kala, atau binatang-binatang dan serangga berbisa yang mengejar-ngejar manusia di alam kubur bahwa semuanya itu bukanlah sebenarnya ular, melainkan dosa-dosa manusia itulah yang mengejar dan menyerupakan dirinya jadi ular. Lantaran itu, mimpi-mimpi buruk terlalu banyak yang berasal dari ke-salahan dan kusut-musut pikiran manusia itu sendiri dalam hidupnya sehari-hari.
Biarlah Freud mengatakan bahwa Superego manusia yang menjadi penghambatnya dalam beberapa hal, tetapi ajaran agama menjadikan manusia takluk kepada peraturan bukan karena takut, melainkan dengan sukarela.
Itu pula sebabnya, Islam melarang keras meminum minuman yang memabukkan. Karena kalau manusia telah mabuk, apa yang dinamai oleh Freud sebagai Superego tidak bisa lagi mengendalikan Id. Maka keluarlah segala simpanan nafsu bahimiyah (nafsu sebagai binatang), muncul keluar karena telah terlepas dari kandangnya. Maka turunlah dia di saat itu dari binatang yang berakal
(hayawanun-nathiq, Homosapiens) menjadi benar-benar binatang.
Kesimpulannya bahwa kita sebagai umat beragama percaya akan adanya mimpi. Bukanlah mimpi itu semata-mata kebinatangan manusia yang lepas dari kandang karena pintunya tak terkunci, bahkan ada yang lebih tinggi dari itu, yaitu satu bagian dari 46 bagian wahyu.