Ayat
Terjemahan Per Kata
وَسۡـَٔلۡهُمۡ
dan tanyakan kepada mereka
عَنِ
dari/tentang
ٱلۡقَرۡيَةِ
negeri
ٱلَّتِي
yang
كَانَتۡ
adalah
حَاضِرَةَ
dekat
ٱلۡبَحۡرِ
laut
إِذۡ
ketika
يَعۡدُونَ
mereka melanggar aturan
فِي
pada
ٱلسَّبۡتِ
hari Sabtu
إِذۡ
ketika
تَأۡتِيهِمۡ
datang kepada mereka
حِيتَانُهُمۡ
ikan-ikan mereka
يَوۡمَ
pada hari
سَبۡتِهِمۡ
Sabtu mereka
شُرَّعٗا
permukaan air
وَيَوۡمَ
dan hari
لَا
tidak
يَسۡبِتُونَ
hari sabtu
لَا
tidak
تَأۡتِيهِمۡۚ
datang kepada mereka
كَذَٰلِكَ
demikianlah
نَبۡلُوهُم
Kami mencoba mereka
بِمَا
dengan apa/disebabkan
كَانُواْ
adalah mereka
يَفۡسُقُونَ
mereka berbuat fasik
وَسۡـَٔلۡهُمۡ
dan tanyakan kepada mereka
عَنِ
dari/tentang
ٱلۡقَرۡيَةِ
negeri
ٱلَّتِي
yang
كَانَتۡ
adalah
حَاضِرَةَ
dekat
ٱلۡبَحۡرِ
laut
إِذۡ
ketika
يَعۡدُونَ
mereka melanggar aturan
فِي
pada
ٱلسَّبۡتِ
hari Sabtu
إِذۡ
ketika
تَأۡتِيهِمۡ
datang kepada mereka
حِيتَانُهُمۡ
ikan-ikan mereka
يَوۡمَ
pada hari
سَبۡتِهِمۡ
Sabtu mereka
شُرَّعٗا
permukaan air
وَيَوۡمَ
dan hari
لَا
tidak
يَسۡبِتُونَ
hari sabtu
لَا
tidak
تَأۡتِيهِمۡۚ
datang kepada mereka
كَذَٰلِكَ
demikianlah
نَبۡلُوهُم
Kami mencoba mereka
بِمَا
dengan apa/disebabkan
كَانُواْ
adalah mereka
يَفۡسُقُونَ
mereka berbuat fasik
Terjemahan
Tanyakanlah kepada mereka tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabat, (yaitu) ketika datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka bermunculan di permukaan air. Padahal, pada hari-hari yang bukan Sabat ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami menguji mereka karena mereka selalu berlaku fasik.
Tafsir
(Dan tanyakanlah kepada Bani Israel) hai Muhammad, sebagai celaan (tentang negeri yang terletak di dekat laut) di pinggir laut Qalzum yaitu kota Aylah; yang dipertanyakan ialah tentang apa yang terjadi atas penduduknya (ketika mereka melanggar aturan) saat mereka melakukan pelanggaran (pada hari Sabtu) di mana mereka berburu ikan yang pada hari itu mereka dilarang melakukannya (di waktu) merupakan zharaf dari lafal ya'duuna (datang kepada mereka ikan-ikan pada hari Sabtunya dengan terapung-apung pada pinggirannya) yang tampak di permukaan air (dan di hari-hari yang bukan Sabtu) maksudnya di mana mereka sudah tidak lagi terikat dengan pengagungan hari Sabtu, atau dengan kata lain ialah hari-hari selain hari Sabtu (ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka) sebagai ujian dari Allah. (Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik) dan tatkala mereka hendak berburu ikan para penduduk kota terbagi suaranya menjadi tiga bagian; sebagian berpendapat ikut berburu bersama orang-orang yang berburu, sebagian lainnya mencegah mereka melakukannya dan sebagian lainnya bersikap abstain, tidak ikut dan juga tidak melarang.
Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang kota yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik Konteks ayat ini merupakan penjabaran dari apa yang disebutkan oleh Allah dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan sesungguhnya telah kalian ketahui orang-orang yang melanggar di antara kalian pada hari sabtu. (Al-Baqarah: 65), hingga akhir ayat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya: Dan tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil). (Al-A'raf: 163) Artinya, tanyakanlah kepada orang-orang Yahudi yang ada di dekatmu tentang kisah teman-teman mereka yang menentang perintah Allah subhanahu wa ta’ala lalu mereka ditimpa siksa Allah yang mengejutkan akibat dari perbuatan mereka, pelanggaran mereka, dan tipu daya mereka dalam menentang perintah-Nya. Allah juga memperingatkan mereka agar jangan menyembunyikan sifat Nabi ﷺ yang mereka jumpai dalam kitab-kitab mereka, agar mereka tidak ditimpa oleh siksaan yang pernah menimpa teman-teman mereka yang terdahulu. Kota yang dimaksud ialah kota Ailah, terletak di tepi Laut Qalzum (Laut Merah). Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang kota yang terletak di dekat laut. (Al-A'raf: 163) Kota tersebut dikenal dengan nama Ailah, terletak di antara kota Madyan dan Bukit Tur.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah, Mujahid, Qatadah, dan As-Suddi. Abdullah ibnu Kasir Al-Qari' mengatakan, "Kami mendengarnya disebut Ailah, tetapi menurut pendapat yang lain ada yang menyebutnya Madyan, menurut riwayat yang lain dari Ibnu Abbas." Ibnu Zaid mengatakan bahwa nama kota tersebut adalah Ma'ta, terletak di antara Madyan dan Ainuna. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu. (Al-A'raf: 163) Maksudnya, mereka melakukan' pelanggaran di hari Sabtu dan menentang perintah Allah yang mengharuskan mereka agar menjaga kesuciannya di masa itu.
di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air pada hari Sabtunya. (Al-A'rif: 163) Adh-Dhahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna syurra'an ialah terapung-apung di permukaan air. Menurut Al-Aufi, dari Ibnu Abbas juga, makna yang dimaksud ialah ikan-ikan itu bermunculan dari semua tempat (di laut itu). Ibnu Jarir telah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini: dan di hari-hari bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka.
Demikianlah Kami mencoba mereka. (Al-A'raf: 163) Yakni Kami mencoba mereka dan menguji mereka dengan memunculkan ikan-ikan itu bagi mereka terapung-apung di permukaan air pada hari larangan melakukan perburuan. Kemudian Kami lenyapkan ikan-ikan itu dari mereka pada hari-hari lainnya yang membolehkan mereka melakukan' perburuan. Demikianlah Kami mencoba mereka. (Al-A'raf: 163) yaitu Kami menguji mereka. disebabkan mereka berlaku fasik. (Al-A'raf: 163) Artinya, karena kedurhakaan maka mereka tidak mau taat kepada Allah dan membangkang terhadap perintah-Nya.
Mereka adalah suatu kaum yang menggunakan hailah (tipu muslihat) untuk melanggar hal-hal yang diharamkan oleh Allah, yaitu dengan cara menggunakan sarana-sarana fisik yang pengertiannya secara tidak langsung menunjukkan pelanggaran terhadap hal yang diharamkan. Imam Abu Abdullah ibnu Buttah seorang ulama fiqih mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad ibnu Salam, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabbah Az-Za'farani, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Janganlah kalian melakukan pelanggaran seperti pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, karenanya kalian akan menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah dengan sedikit kilah (tipu muslihat).
Sanad hadits ini berpredikat jayyid (baik), karena sesungguhnya Ahmad ibnu Muhammad ibnu Salam ini disebutkan oleh Al-Khatib di dalam kitab Tarikh-nya, bahwa dia orangnya tsiqah. Sedangkan perawi lainnya berpredikat masyhur lagi tsiqah Imam At-Tirmidzi menilai shahih kebanyakan sanad dengan kriteria seperti ini."
Nikmat berikutnya adalah nikmat melimpahnya ikan buat mereka di hari ibadah. Dan tanyakanlah wahai Nabi Muhammad, yakni kepada mereka orang-orang Yahudi yang hidup pada masamu tentang kisah penduduk negeri yang terletak di dekat laut, yaitu Kota Ailah yang terletak di pantai Laut Merah, atau tepatnya di Teluk Aqabah, ketika mereka melanggar aturan Allah pada hari Sabat, yang menurut aturan mereka merupakan hari yang dikhususkan untuk ibadah dan terlarang untuk bekerja dan mencari ikan, yaitu ketika datang kepada mereka ikan-ikan yang berada di sekitar mereka yang bagaikan terapung-apung di permukaan air, padahal pada hari-hari yang bukan Sabat ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami menguji mereka disebabkan mereka sering kali berlaku fasik, keluar dari ketaatan kepada Alla Setelah menjelaskan keadaan para pendurhaka itu, ayat ini menguraikan sikap orang-orang yang sebelum ini pada ayat 159 telah disinggung, yaitu umat Nabi Musa yang memberi petunjuk kepada kebenaran. Ayat ini menyatakan, Dan ingatlah ketika suatu umat di antara mereka, yaitu tatkala sekelompok orang-orang saleh dari leluhur Bani Israil'yang tidak berbuat jahat seperti yang lainnya'bertanya kepada mereka yang menasihati orang-orang yang berbuat jahat dengan berkata, Mengapa kamu bersusah payah menasihati kaum yang akan dibinasakan sehingga punah sama sekali karena dosa yang mereka lakukan, atau diazab oleh Allah di akhirat nanti dengan azab yang sangat keras' Mereka menjawab, Kami melakukan itu agar kami mempunyai alasan dan pelepas tanggung jawab kepada Tuhanmu, dan sebenarnya kami berharap agar mereka bertakwa. Alasan mereka itu ialah mereka telah melaksanakan perintah Allah untuk memberi peringatan.
Ayat ini diturunkan di Mekah, pada saat agama Islam mulai disiarkan dan disampaikan Nabi Muhammad saw, yang waktu itu beliau belum pernah berhubungan langsung dengan ulama-ulama Yahudi, dan beliau adalah seorang yang tidak tahu menulis dan membaca, sebagaimana firman Allah ﷻ :
"Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu kitab sebelum (Al-Qur'an) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscaya ragu orang-orang yang mengingkari." (al-Ankabut/29: 48)
Ayat ini menunjukkan kemukjizatan Al-Qur'an yang menerangkan berita, peristiwa, atau kejadian yang telah terjadi pada masa yang lalu, tanpa seorang pun yang memberikan beritanya, selain dari Tuhan Yang Mahatahu.
Ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad agar beliau menerangkan kepada orang Yahudi di Medinah pada waktu itu, tentang tindakan yang telah dilakukan oleh nenek-moyang mereka, yang selalu mengingkari seruan para Nabi, walau bukti-bukti apa pun yang telah dikemukakan kepada mereka. Yang menceritakan tentang tindakan dan sikap nenek-moyang mereka itu adalah Nabi Muhammad seorang Nabi yang buta huruf, belum pernah berhubungan dengan orang-orang Yahudi pada waktu menerima ayat ini. Apakah hal ini tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa Muhammad benar-benar utusan Allah?
Qaryah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah sebagai berikut: ada yang menyebut Ailah, ada juga yang menyebutkan Tobaiah dan ada juga yang menyebut kota lain.Pada masa dahulu nenek-moyang Bani Israil yang berdiam di Ailah, suatu kota di pantai Laut Merah antara kota Madyan dan Sinai yang bermata pencaharian menangkap ikan, pernah diuji dan dicoba oleh Allah, untuk menguji keimanan dan ketaatan mereka. Mereka diperintahkan melakukan ibadah pada tiap Sabtu, dan dilarang menangkap ikan pada hari itu. Ketika ikan banyak bermunculan di permukaan air (laut) pada hari Sabtu yang nampak jinak dan mudah ditangkap, mereka melanggar larangan Allah pada hari tersebut untuk menangkap ikan dan tidak melakukan ibadah sebagaimana yang diperintahkan Allah pada hari itu.
Demikianlah Allah memberi ujian dan cobaan kepada Bani Israil. Mereka tidak tahan dan tidak tabah menghadapinya, bahkan mereka melanggar larangan Allah dan tidak melaksanakan perintah-Nya. Karena sikap dan tindakan mereka, maka bagi mereka berlaku Sunnatullah (ketentuan Allah), yaitu barang siapa yang menaati perintah Allah dan menghentikan larangan-Nya akan dianugerahi kenikmatan hidup di dunia dan di akhirat. Sebaliknya barang siapa yang ingkar kepada-Nya akan sengsara hidupnya di dunia, sedangkan di akhirat mereka mendapat azab yang pedih. Tentu Sunnatullah ini berlaku pula terhadap orang-orang yang fasik dan orang-orang Yahudi yang berada di Medinah, seperti yang berlaku pada nenek-moyang mereka.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 161
Untuk menjelaskan bagaimana mereka itu menganiaya atau melanggar peraturan yang ditentukan Allah, berkatalah ayat selanjutnya: “Dan, (Ingatlah) tatkala dikatakan kepada meieka, ‘Berdiamlah di negeni ini dan makanlah daripadanya mana-mana yang kamu sukai, dan katakanlah, ‘Kami mohon ampun.' Dan masuklah ke pintu itu dalam keadaan sujud, niscaya akan Kami ampuni kesalahan-kesalahan kamu, akan Kami tambah bagi orang-orang yang berbuat kebajikan."
Artinya, dan ingatlah olehmu, wahai penduduk Mekah tempat surah ini diturunkan, tatkala Allah berfirman kepada Bani Israil dengan perantaraan Musa, supaya mereka masuk ke dalam negeri itu, suatu negeri yang akan dijadikan tempat kediaman mereka yang baru. Di surah al-Baqarah ayat 58 disebutkan bahwa mereka disuruh masuk, di ayat ini disebutkan mereka disuruh berdiam di negeri itu. Negeri itu ialah Palestina. Dengan menyebut berdiam, dengan sendirinya tentu sudah disuruh masuk. Mereka disuruh berdiam dalam negeri itu dan boleh makan seenak-enaknya buah-buahan atau makanan yang banyak dalam negeri itu. Hendaklah kamu mengucapkan kata-kata doa memohonkan ampun dari Allah atas kesalahan setelah kealpaan selama ini. Baik di waktu masuk ke dalamnya ataupun setelah menjadi penduduknya, hendaklah selalu merendahkan diri kepada Allah, khusyu dan tadharru', jangan menyombong, tundukkan kepala, sujud tanda bersyukur kepada Allah. Kalau syarat ini kamu penuhi, kamu masuk ke dalam dengan khusyu merendahkan diri, dosamu akan diampuni oleh Allah, kesalahan-kesalahan selama ini akan dimaafkan. Dan, orang yang menyambung lagi dengan pekerjaan-pekerjaan baik yang lain, niscaya akan ditambah pula oleh Allah dengan nikmat-nikmat-Nya yang berganda-ganda. Sebaliknya janganlah sombong masuk ke dalam negeri itu, jangan lupa kepada Allah. Sebab, nikmat kemenangan itu datang dari Allah sendiri.
Hal yang seperti ini pun kemudian telah berlaku pada diri Nabi Muhammad ﷺ ketika beliau menaklukkan negeri Mekah. Dia masuk ke dalam negeri itu dengan kemenangan yang gilang-gemilang, di atas untanya yang bernama Qashwaa, dia menekur dengan penuh kesyukuran dan terharu, merendahkan diri. Bukan menyombong karena mabuk kemenangan.
Ayat 162
“Maka, menggantilah orang-orang yang Zalim diri mereka dengan kata lain yang bukan dikatakan kepada mereka."
Di dalam ayat ini teranglah bahwa ada yang melanggar, ada yang berlaku aniaya, sebab digantinya kata pesan itu dengan kata lain. Mereka dipesan supaya berlaku khusyu memohon kepada Allah ketika masuk ke negeri itu, tetapi di antara mereka ada yang mengubah, tidak menunjukkan diri memohon ampunan Allah, tetapi menyombong dan congkak. Sebagaimana kebiasaan orang-orang yang memang tidak dapat menahan diri karena dimabuk kemenangan. Menurut suatu riwayat dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari, disebutkan bahwa mereka bukan menekurkan kepala, tetapi berjalan menginsut ekor.
Abu Hurairah pun tidak menerangkan bahwa riwayat itu diterimanya dari Nabi, mungkin didengarnya dari Ka'ab al-Ahbar lagi, sebab memang ada juga Abu Hurairah menerima riwayat dari Ka'ab itu. Pendeknya, ayat sendiri telah menjelaskan bahwa perintah Allah telah mereka tukar dengan kemauan sendiri. Mereka, kata orang sekarang, tidak teguh memegang disiplin.
“Lantaran itu Kami turunkanlah kepada mereka suatu bencana dari langit, akibat dari kezaliman mereka itu."
Perintah atau disiplin Allah tidak mereka ikuti, masuk ke dalam negeri itu tidak dengan sopan santun dan lupa mereka memohonkan ampun kepada Allah. Niscaya datanglah bencana menimpa diri mereka karena kezaliman dan pelanggaran itu. Mungkin juga karena masuk dengan kacau, segala makanan yang dihalalkan Allah untuk mereka tadi, makanan yang baik-baik karena diambil dengan tidak teratur karena tamak dan loba, sehingga hasilnya binasa dan rusak atau habis sebelum waktunya. Karena banyak juga terjadi, orang yang mabuk karena kemenangan dengan lahapnya menghabiskan yang ada, tidak memikirkan hari depan. Wahab bin Munabbih mengatakan mereka sampai di negeri itu ditimpa penyakit Tha'un (kolera), mungkin juga sakit perut karena memperturutkan selera. Maka, fasik dan aniaya mereka, mendapat balasan yang setimpal dari Allah sebagaimana dikatakan ayat 160 di atas tadi; orang-orang yang aniaya, bukanlah menganiaya Allah, melainkan menganiaya diri sendiri.
PENDUDUK TEPI PANTAI
Satu di antara keaniayaan mereka pula diterangkan pada ayat selanjutnya,
Ayat 163
“Dan tanyakanlah kepada mereka perihal negeri yang di dekat laut itu, ketika mereka melanggar peratunan pada hari Sabtu."
Artinya, cobalah tanyakan apabila bertemu dengan orang Yahudi itu bagaimana kisahnya penduduk tepi laut yang melanggar peraturan hari Sabtu itu.
Menjadi syari'at pokok bagi orang Yahudi, (Bani Israil) hari Sabtu adalah hari istirahat, tidak boleh mengerjakan sembarang pekerjaan. Namun, mereka melanggar peraturan itu. Tanyakanlah kepada mereka bagaimana lanjutan nasib mereka karena pelanggaran itu. Kisah kaum itu tidak ada dalam satu kitab yang mereka namakan Taurat sekarang ini, tetapi menjadi cerita dari mulut ke mulut orang Yahudi di tanah Arab. Ayat ini turun masih di masa Mekah, sebelum Hijrah ke Madinah. Sebagaimana telah disebut pada dua ayat di atas tadi, Nabi kita ﷺ adalah ummi. Beliau tidak pandai membaca tulisan Taurat dan tidak mengerti bahasa Ibrani dan tidak pula bergaul dengan orang Yahudi sebelum hijrah, sehingga sumber cerita ini hanyalah beliau dapat semata-mata dari wahyu. Di dalam ayat ini Allah menyuruh Nabi ﷺ menanyakan kepada orang Quraisy, supaya mereka pun memahamkan betapa jadinya kaum pelanggar peraturan hari Sabtu itu.
“Seketika datang kepada mereka ikan-ikan itu berkilat-kilat di hari mereka bersabtu itu, sedang di hari mereka tidak bersabtu (ikan-ikan) itu, tidak datang kepada mereka."
Hari Sabtu mereka wajib beristirahat sedang mereka sebagai penduduk tepi pantai ke-banyakannya nelayan. Oleh karena mereka hari Sabtu istirahat dan ikan-ikan telah merasa tidak terganggu lagi di hari itu, lama-lama muncullah ikan-ikan itu di hari Sabtu, “syurra'an" berkilat-kilat, berboyong-boyong datang, dia kelihatan muncul ke permukaan laut sehingga berkilat karena kena cahaya matahari. Ibnu Abbas menafsirkan demikian.
Nelayan di tepi pantai Sumatera, bila melihat ikan mengkilat itu biasanya tidak menyebut “aku melihat ikan" melainkan berkata “aku melihat kawan". Memang biasanya para nelayan bila melihat ikan berboyong itu tidak dapat menahan hati. Maka, demikianlah penduduk tepi laut Bani Israil itu, sehingga setelah beberapa kali Sabtu melihat ikan-ikan menepi amat banyak, mereka pun tidak tahan hati.
“Demikianlah Kami mencobai mereka dengan sebab mereka adalah kaum yang fasik."
Ikan terkilat tanda dia mendekat adalah ujian bagi orang yang lemah iman. Karena air selera mereka menjelijih melihat ikan sangat banyak, mereka tidak dapat menahan hati dan mereka langgarlah peraturan, mereka lupa kesucian hari Sabtu maka mereka saring atau mereka pukatlah ikan-ikan itu, padahal hari Sabtu. Mereka langgar peraturan agama mereka sendiri karena memperturutkan hawa nafsu.
Ahli-ahli tafsir menceritakan beberapa riwayat berkenaan dengan perangai dan helah penduduk tepi pantai Bani Israil itu. Setengah dari riwayat itu ialah bahwa mereka memasang jaring-jaring, pukat, lukah, dan sebagainya, sebelum hari Sabtu, (kira-kira senja hari Jum'at). Setelah masuk kepada hari Sabtu, berkerumunlah ikan-ikan itu datang dan semuanya masuk ke dalam perangkap yang dipasang itu lalu mereka biarkan saja. Setelah malam harinya, malam Ahad, artinya hari Sabtu sudah lepas, barulah segala pukat, jaring, dan lukah itu mereka ambil, terdapatlah ikan yang banyak sekali.
Kata setengah tafsir pula, pada hari Sabtu itu juga lukah, jaring, dan pukat itu mereka angkat, tetapi tidak hari itu mereka makan. Karena setan memberikan “petunjuk" kepada mereka bahwa yang dilarang hanya makan ikan. Adapun menangkap ikan tidaklah dilarang. Lalu, perbuatan mereka menghelah-helah dan menipu peraturan Allah itu jika ditegur oleh orang-orang yang berani beramar maVuf, nahi mungkar, mereka jawab saja dengan “pokrol-pokrolan".
Inilah yang dijelaskan dengan ayat selanjutnya:
Ayat 164
“Dan, (ingat pulalah) tatkala berkata suatu umat dari antara mereka, ‘Mengapa kamu beri pengajaran suatu kaum yang Allah telah membinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang sangat?'Mereka menjawab, Untuk melepaskan kewajiban kepada Tuhan kamu dan supaya mereka bertakwa.'"
Dari ayat ini kita dapat membaca bahwa dari sebab pelanggaran itu penduduk tepi laut itu menjadi pecah tiga. Pertama yang melanggar peraturan Sabtu, kedua yang menegur kesalahan itu, dan yang ketiga bersikap masa bodoh, membiarkan saja orang-orang yang melanggar itu, tidak perlu diberi nasihat, sebab nasihat tidak juga akan mempan kepada mereka, sebab adzab siksa Allah akan mencelakakan mereka.
Golongan yang baik, ingat akan kewajibannya kepada Allah dan masih ada rasa kasihan kepada yang telah tersesat itu. Mereka berkeyakinan, kalau orang-orang yang tersesat itu diberi peringatan yang baik, moga-moga mereka kembali sadar dan bertakwa. Niscaya yang bersikap masa bodoh berbuat kesalahan juga, yaitu asal diri mereka lepas, biar orang lain sengsara. Jman mereka tidak mendalam karena hanya mementingkan diri sendiri.
Ayat 165
“Maka, tatkala mereka telah lupa apa yang diperingatkan kepada mereka."
Karena tidak juga mereka dapat menahan nafsu, melihat ikan-ikan mengilat-ngilatkan diri, berboyong-boyong tiap hari Sabtu sehingga mereka lupa pula kepada apa yang diperingatkan oleh teman sahabat mereka yang memandang bahwa memberi nasihat adalah kewajiban terhadap Allah, orang-orang itu melanggar lagi dan mencari berbagai macam dalih, supaya ikan yang banyak muncul di hari Sabtu itu dapat ditangkap.
“Kami selamatkanlah orang-orang yang telah mencegah dari kejahatan dan Kami siksa orang-orang yang aniaya itu dengan adzab yang pedih dari sebab mereka telah berbuat fasik."
Adzab yang pedih di sini menurut ahli tafsir ialah kemiskinan dan kesengsaraan hidup. Artinya, penipuan diri sendiri yang mereka lakukan pada hari Sabtu itu tidaklah menambahkan mereka menjadi kaya. Yang terang saja ialah karena siang malam yang mereka pikirkan hanyalah mencari keuntungan, mengumpulkan harta benda, sehingga tidak ada hari istirahat. Dengan tidak mereka insafi, kekayaan yang mereka kumpulkan itu tidaklah memberi faedah kepada mereka, melainkan mereka telah menjadi budaknya. Mereka tidak mempunyai hari lagi yang disediakan buat mengenal Allah. Sebabnya ialah karena fasik. Kita telah tahu arti fasik, yaitu dengan terang-terang melanggar peraturan.
Pelanggaran kehormatan hari istirahat Sabtu adalah salah satu gejala saja dari kefasikan. Di ayat ini diterangkan bahwa yang diselamatkan Allah hanyalah orang-orang yang merasa bahwa menegur yang salah adalah suatu kewajiban. Adapun orang yang bersikap masa bodoh tadi tiada disebut bahwa mereka diselamatkan. Padahal, membiarkan saja orang lain berbuat salah dan merasa senang hati saja melihat mereka diadzab Allah, itu pun suatu kesalahan. Akhirnya adzab yang pedih datang, yang selamat dari adzab hanyalah yang berani menegur yang salah. Sebab, sudah menjadi sunnatullah bahwa kalau sudah ditempuh jalan yang salah akhirnya pasti bertemu kesulitan.
Ayat 166
‘Maka, tatkala mereka telah melanggar apa yang dilarang daripadanya."
Yaitu, khusus terhadap orang-orang yang masih saja menangkap ikan pada hari Sabtu itu.
“Kami katakanlah kepada mereka, Jadilah kamu monyet-monyet yang hina.'"
Sebagaimana telah kita uraikan ketika menafsirkan surah al-Baqarah ayat 65 maka sebagian ahli tafsir berkata bahwa benar-benar orang-orang itu dijelmakan Allah menjadi monyet dan tua-tua menjadi babi. Dan, menurut Mujahid, badan mereka tetap berupa manusia, tetapi jiwa mereka, hati, dan pikiran merekalah yang telah dijelmakan menjadi hati monyet, jiwa kera, dan pikiran beruk.
Beruk, kera atau monyet, mempunyai perangai sendiri yang lucu. Apabila dia dipelihara dan dipautkan pada suatu pautan maka tiap-tiap orang yang lalu lintas di hadapannya akan dicibirkannya. Semua orang yang melihatnya disangkanya musuh. Mula saja dia melihat orang, dia sudah menggeregak mengajak hendak berkelahi lalu taringnya diperlihatkannya. Kalau dilemparkan makanan, bukan main cepatnya mengambil walaupun yang memberikan makanan itu dicibirkannya juga, dimakannya setengah dan disimpannya di lehernya yang setengah lagi karena tamaknya sebab takut akan diambil orang lain. Kalau dia telah tua dalam pautan, karena tidak ada pekerjaan lain, bulunya sendiri dicabutinya, sampai tinggal kulit licin. Kalau beruk-beruk itu masih liar, dia berjalan berkelompok-kelompok. Kerjanya mencari makanan walaupun dengan me-rusakkan tanaman yang ditanam orang dengan susah-payah. Seperti jagung, ubi talas, dan lain-lain, dirusakkannya. Setelah hasilnya dilicin-tandaskan maka setelah dia pergi, hanya me-ninggalkan kerusakan belaka.
Di Pariaman (Sumatera Barat) dipelihara orang beruk dan diajar memanjat kelapa. Orang lebih suka memelihara beruk betina, sebab tidak segarang beruk jantan. Akan tetapi, beruk betina ini pun macam-macam pula perangainya. Pencemburu. Kalau ada orang perempuan yang mendekat kepada orang laki-laki yang memelihara, dia pun marah dan mau menggigit, sebab dipandangnya yang memeliharanya itu ialah lakinya! Oleh sebab itu, jika penduduk tepi pantai Bani Israil disumpah dengan badannya penuh bulu jadi beruk, adalah itu satu kehinaan. Akan tetapi, akan lebih hina lagi kalau badan masih tetap badan manusia, dan perangai ditukar menjadi perangai beruk.
Sebab kalau orang melihat seekor beruk sedang mencibir-cibirkan orang yang lalu lintas, tidaklah menghina jika orang berkata kepadanya, “Hai beruk!", tetapi kalau manusia yang berperangai seperti perangai beruk lalu dimaki orang dengan kata, “Hai beruk!" barulah bernama satu penghinaan.
Perangai beruk adalah perangai meng-helah-helah. Beruk sendiri tidaklah sampai sejahat manusia yang meniru perangai beruk. Menghelah-helah hukum, memutar-mutar agar yang haram boleh dihalalkan adalah perangai beruk. Dilarang memakan ikan di hari Sabtu lalu mereka pukat dan tangkap ikan di hari Jum'at sore dan mereka ambil pukat itu pada sore hari Sabtu. “Kami tidak memakan ikan, kami cuma menangkapnya saja!" Seakan-akan Allah itu bodoh. Padahal, merekalah yang bodoh.
Perangai menghelah-helah, menipu seperti ini banyak juga kejadian pada orang yang mengaku dirinya Islam sendiri, ‘Tidak wajib lagi berzakat sekarang, sebab yang dizakatkan hanyalah emas dan perak. Sedang sekarang orang berjual beli dengan uang kertas." “Saya hibahkan seluruh harta benda saya kepada anak saya, sehari sebelum cukup setahun supaya terlepas dari kena zakat. Nanti selepas harta itu, kalau anak saya hendak menghadiahkan harta itu kembali kepada saya, siapa pula yang akan melarang." Memang pantas!!
Menulis Imam Ibnul Qayyim al-Jauzi di dalam kitabnya Ightsatu!Lahlan:
“Setengah dari pada tipu daya setan untuk memperdayakan orang Islam ialah helah, kecoh, dan tipu, mengandung maksud menghalalkan apa yang diharamkan Allah, dan meruntuhkan apa yang diwajibkan-Nya, dan menentang Allah dalam hal yang disuruh-Nya dan dilarang-Nya. Yaitu dari pendapat-pendapat pikiran yang batil, yang sepakat Salaf atas mencelanya. Ra'yi (pendapat pikiran) itu ada dua macam. Pertama, pendapat pikiran yang sesuai dengan nash-nash agama dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan perbandingannya. Ra'yi yang semacam itulah yang diakui oleh Salaf dan Ra'yi semacam itu pulalah yang mereka amalkan. Dan, macam Ra'yi yang kedua, yaitu Ra'yi yang menyalahi nash, yang dapat disaksikan kesalahannya dan kucar-kacirnya, Ra'yi semacam itulah yang dicela oleh Salaf dan tidak mereka terima. Helah pun dua macam pula. Pertama, helah atau ikhtiar bagaimana supaya perintah Allah dapat dilaksanakan dan apa yang Dia cegah dapat dihentikan, serta membebaskan diri daripada yang haram dan melepaskan dengan selamat hal yang besar daripada kezaliman yang menghambat kelancarannya dan mengeluarkan orang yang kena aniaya (mazlum) daripada kecaman tangan orang-orang yang aniaya dan sewenang-wenang. Ini adalah helah yang terpuji, dipelihara orang yang me-ngerjakannya dan mengajarkannya. Kedua, ialah helah ‘untuk melepaskan diri daripada kewajiban untuk menghalalkan barang yang haram, dan memutar balik yang teraniaya, agar dipandang bahwa dialah yang aniaya, dan sebaliknya. Yang benar supaya dianggap salah, yang salah supaya dianggap benar. Inilah yang sepakat seluruh Salaf mencelanya. Buat menentang helah jahat inilah mereka bersorak mencegahnya di atas permukaan bumi ini,"
Selanjutnya di halaman lain Ibnul Qayyim berkata Allah menceritakan di dalam Al-Qur'an tentang orang-orang Yahudi yang melanggar peraturan istirahat hari Sabtu itu yang mereka diubah Allah menjadi beruk karena mereka menghelah-helah untuk menghalalkan hal yang diharamkan Allah dengan memasang pukat dan jaring hari Jum'at petang lalu membangkitkannya pada hari Ahad pagi.
Dan, berkata setengah Imam, bahwasanya cerita ini adalah ancaman besar bagi orang-orang yang suka menghelah-helah dalam hal yang dilarang oleh syara', mengacau-balaukan fiqih, padahal mereka bekas ahli-ahli fiqih. Karena fiqih yang sejati adalah yang takut kepada Allah, dengan memelihara batas-batas yang telah ditentukan Allah dan menghormati larangan-Nya dan tidak mau melampauinya. Mereka menghelah itu tampaknya bukanlah mengubah hukum, tetapi memutar-mutar hukum. Pelanggar hari Sabtu di tepi pantai itu bukanlah memutar-mutar hukum itu karena mendustakan Nabi Musa a.s. atau karena kafir kepada Taurat, melainkan mejmutar-mutar berbelit-belit. Pada lahirnya mencukupi hukum, padahal dalam batinnya melanggar hukum. Itu sebabnya maka mereka diubah Allah menjadi monyet. Karena rupa monyet memang mendekati rupa manusia, sifat-sifatnya ada yang mirip padahal pada hakikatnya ada perbedaan.
Setelah orang-orang itu melanggar agama Allah dan yang mereka pegang bukan lagi hakikat agama, hanyalah pada kulit saja, bukan pada hakikatnya, dibalikkan Allah-lah rupa mereka menjadi monyet. Serupa perangai mereka dengan monyet padahal mereka manusia. Suatu balasan yang sangat setimpal. Sekian Ibnul Qayyim.