Ayat
Terjemahan Per Kata
قَدۡ
sungguh
نَرَىٰ
Kami melihat
تَقَلُّبَ
menengadah
وَجۡهِكَ
mukamu
فِي
di/ke
ٱلسَّمَآءِۖ
langit
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ
lalu Kami hadapkan kamu
قِبۡلَةٗ
kiblat
تَرۡضَىٰهَاۚ
kamu sukai
فَوَلِّ
maka palingkan
وَجۡهَكَ
mukamu
شَطۡرَ
ke arah
ٱلۡمَسۡجِدِ
Masjidil
ٱلۡحَرَامِۚ
Haram
وَحَيۡثُ
dan dimana
مَا
apa/saja
كُنتُمۡ
kalian adalah
فَوَلُّواْ
maka palingkanlah
وُجُوهَكُمۡ
mukamu
شَطۡرَهُۥۗ
kearahnya
وَإِنَّ
dan sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
أُوتُواْ
(mereka) diberi
ٱلۡكِتَٰبَ
Al Kitab
لَيَعۡلَمُونَ
sungguh mereka mengetahui
أَنَّهُ
sesungguhnya itu
ٱلۡحَقُّ
benar
مِن
dari
رَّبِّهِمۡۗ
Tuhan mereka
وَمَا
dan tidak
ٱللَّهُ
Allah
بِغَٰفِلٍ
dengan lengah/lalai
عَمَّا
dari apa
يَعۡمَلُونَ
mereka kerjakan
قَدۡ
sungguh
نَرَىٰ
Kami melihat
تَقَلُّبَ
menengadah
وَجۡهِكَ
mukamu
فِي
di/ke
ٱلسَّمَآءِۖ
langit
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ
lalu Kami hadapkan kamu
قِبۡلَةٗ
kiblat
تَرۡضَىٰهَاۚ
kamu sukai
فَوَلِّ
maka palingkan
وَجۡهَكَ
mukamu
شَطۡرَ
ke arah
ٱلۡمَسۡجِدِ
Masjidil
ٱلۡحَرَامِۚ
Haram
وَحَيۡثُ
dan dimana
مَا
apa/saja
كُنتُمۡ
kalian adalah
فَوَلُّواْ
maka palingkanlah
وُجُوهَكُمۡ
mukamu
شَطۡرَهُۥۗ
kearahnya
وَإِنَّ
dan sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
أُوتُواْ
(mereka) diberi
ٱلۡكِتَٰبَ
Al Kitab
لَيَعۡلَمُونَ
sungguh mereka mengetahui
أَنَّهُ
sesungguhnya itu
ٱلۡحَقُّ
benar
مِن
dari
رَّبِّهِمۡۗ
Tuhan mereka
وَمَا
dan tidak
ٱللَّهُ
Allah
بِغَٰفِلٍ
dengan lengah/lalai
عَمَّا
dari apa
يَعۡمَلُونَ
mereka kerjakan
Terjemahan
Sungguh, Kami melihat wajahmu (Nabi Muhammad) sering menengadah ke langit. Maka, pasti akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau sukai. Lalu, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Di mana pun kamu sekalian berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Sesungguhnya orang-orang yang diberi kitab benar-benar mengetahui bahwa (pemindahan kiblat ke Masjidilharam) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.
Tafsir
(Sungguh) menyatakan kepastian (telah Kami lihat perpalingan) atau tengadah (wajahmu ke) arah (langit) menunggu-nunggu kedatangan wahyu dan rindu menerima perintah untuk menghadap Kakbah. Sebabnya tidak lain karena ia merupakan kiblat Nabi Ibrahim dan lebih menggugah untuk masuk Islamnya orang-orang Arab (maka sungguh akan Kami palingkan kamu) pindahkan kiblatmu (ke kiblat yang kamu ridai) yang kamu sukai. (Maka palingkanlah mukamu) artinya menghadaplah di waktu salat (ke arah Masjidilharam) yakni Kakbah (dan di mana saja kamu berada) ditujukan kepada seluruh umat (palingkanlah mukamu) dalam salat (ke arahnya! Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Alkitab sama mengetahui bahwa itu) maksudnya pemindahan kiblat ke arah Kakbah (benar) tidak disangsikan lagi (dari Tuhan mereka) karena di dalam kitab-kitab suci mereka dinyatakan bahwa di antara ciri-ciri Nabi ﷺ ialah terjadinya pemindahan kiblat di masanya. (Dan Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan) jika dengan ta, maka ditujukan kepada 'kamu' hai orang-orang yang beriman, yang mematuhi segala perintah-Nya, sebaliknya bila dengan ya, maka ditujukan kepada orang-orang Yahudi yang menyangkal soal kiblat ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 144
Sesungguhnya Kami (sering) melihat wajahmu (Muhammad) menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Maka hadapkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kalian berada, hadapkanlah wajah kalian ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) benar-benar mengetahui, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah benar dari Tuhan mereka, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
Ayat 144
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, mula-mula ayat Al-Qur'an yang di-mansukh adalah masalah kiblat. Itu terjadi ketika Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah, kebanyakan penduduk Madinah saat itu terdiri atas orang-orang Yahudi. Maka Allah memerintahkannya agar menghadap ke arah Baitul Maqdis. Melihat hal ini orang-orang Yahudi merasa gembira. Rasulullah ﷺ menghadap ke Baitul Maqdis selama belasan bulan, padahal beliau sendiri lebih menyukai kiblat Nabi Ibrahim a.s. Beliau ﷺ selalu berdoa kepada Allah serta sering memandang ke langit (menunggu-nunggu wahyu). Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Sungguh Kami (sering) melihat wajahmu menengadah ke langit.” (Al-Baqarah: 144) sampai dengan firman-Nya: “Hadapkanlah wajah kalian ke arahnya.” (Al-Baqarah: 144) Melihat hal tersebut orang-orang Yahudi merasa curiga, lalu mereka mengatakan seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat." (Al-Baqarah: 142) “Maka kemanapun kamu menghadap, di situlah wajah Allah.” (Al-Baqarah: 115) “Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblat kalian melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot.” (Al-Baqarah: 143)
Ibnu Mardawaih meriwayatkan melalui hadits Al-Qasim Al-Umra dan pamannya Ubaidillah ibnu Amr, dari Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ apabila telah selesai salam dari salatnya yang menghadap ke arah Baitul Maqdis selalu menengadahkan kepalanya ke langit, maka Allah menurunkan firman-Nya: “Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.”(Al-Baqarah: 144) Yakni ke arah Ka'bah, tepat ke arah mizab (talang)nya, sedangkan Malaikat Jibril a.s. bermakmum kepadanya.
Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya meriwayatkan melalui hadits Syu'bah, dari Ya'la ibnu ‘Atha’, dari Yahya ibnu Quttah yang menceritakan bahwa ia pernah melihat Abdullah ibnu Amr duduk di Masjidil Haram di tempat yang lurus dengan talang Ka'bah, lalu ia membacakan firman-Nya: “Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.” (Al-Baqarah: 144) Ia membacakan ayat ini seraya mengisyaratkan ke arah talang Ka'bah.
Kemudian Imam Hakim mengatakan, hadits ini shahih sanad-nya, tetapi keduanya (Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, dari Al-Hasan ibnu Arafah, dari Hisyam, dari Ya'la ibnu ‘Atha’ dengan lafal yang sama. Hal yang sama dikatakan pula oleh yang lainnya. Pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat Imam Syafii yang mengatakan bahwa sesungguhnya yang dimaksud ialah menghadap ke arah 'ainul Ka'bah. Sedangkan pendapat lainnya yang dianut oleh kebanyakan ulama mengatakan, yang dimaksud ialah muwajahah (menghadap ke arahnya), seperti yang disebutkan di dalam riwayat Imam Hakim melalui hadits Muhammad ibnu Ishaq, dari Umair ibnu Ziad Al-Kindi, dari Ali ibnu Abu Talib sehubungan dengan tafsir firman-Nya: “Hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” (Al-Baqarah: 144) Yang dimaksud dengan syatrahu ialah ke arahnya (tidak harus tepat ke Ka'bah).
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sanadnya, tetapi keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya. Hal ini merupakan pendapat Abul Aliyah, Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan lain-lainnya. Seperti yang telah disebutkan dalam hadits terdahulu, yaitu: “Di antara Timur dan Barat terdapat arah kiblat.” Al-Qurthubi mengatakan bahwa Ibnu Juraij meriwayatkan dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Baitullah adalah kiblat bagi ahli masjid, dan masjid adalah kiblat bagi penduduk kota suci, sedangkan kota suci merupakan kiblat bagi penduduk bumi yang ada di Timur dan Barat dari kalangan umatku.”
Abu Na'im (yaitu Al-Fadl ibnu Dakin) mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Zuhair, dari Abi Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan hadits berikut: Bahwa Nabi ﷺ shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, padahal beliau sendiri lebih suka bila kiblatnya ke arah Baitullah (Ka'bah). Dan (pada suatu hari) beliau melakukan shalat Asar dan shalat pula bersamanya suatu kaum (maka turunlah ayat memerintahkan agar menghadap ke Ka'bah), lalu keluarlah seorang lelaki dari jamaah yang ikut shalat bersamanya. Kemudian lelaki itu melewati ahli masjid yang sedang rukuk dalam salatnya, lalu lelaki itu berkata, "Aku bersaksi dengan nama Allah, sesungguhnya aku telah solat bersama Rasulullah ﷺ dengan menghadap ke arah Mekah.” Maka mereka berputar menghadap ke arah Baitullah dalam keadaan rukuk.
Abdur Razzaq mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan "bahwa ketika Rasulullah ﷺ tiba di Madinah, beliau shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan. Rasulullah ﷺ menyukai bila dipalingkan ke arah Ka'bah. Maka turunlah firman-Nya: “Sungguh Kami (sering) melihat wajahmu menengadah ke langit.” (Al-Baqarah: 144) Maka beliau berpaling menghadap ke arah Ka'bah.
Imam An-Nasai meriwayatkan dari Abu Sa'id ibnul Ma'la yang menceritakan: Kami biasa berangkat ke masjid di siang hari pada masa Rasulullah ﷺ untuk melakukan shalat. Pada suatu hari kami lewat ketika Rasulullah ﷺ sedang duduk di atas mimbarnya. Maka aku berkata, 'Sesungguhnya telah terjadi suatu peristiwa penting.' Aku duduk dan Rasulullah ﷺ membacakan ayat ini: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.” (Al-Baqarah: 144), hingga akhir ayat. Aku berkata kepada temanku, 'Marilah kita shalat dua rakaat sebelum Rasulullah ﷺ turun dari mimbarnya. Dengan demikian, kita adalah orang yang mula-mula shalat (menghadap ke arah Ka'bah).' Maka kami bersembunyi dan shalat dua rakaat. Kemudian Nabi ﷺ turun dari mimbarya dan shalat zuhur menjadi imam orang-orang yang hadir saat itu." Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih melalui sahabat Ibnu Umar, bahwa shalat yang mula-mula dilakukan oleh Rasulullah ﷺ dengan menghadap ke arah kiblat ialah shalat zuhur. Salat zuhurlah yang dimaksud dengan shalat Wusta itu. Tetapi menurut pendapat yang masyhur, shalat yang mula-mula dilakukan oleh Rasulullah ﷺ dengan menghadap ke arah Ka'bah adalah shalat Asar. Karena itu, maka berita pemindahan ini terlambat sampai kepada penduduk Quba dan baru sampai kepada mereka pada shalat Subuhnya.
Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Ishaq At-Tusturi, telah menceritakan kepada kami Raja' ibnu Muhammad As-Siqti, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ja'far, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari neneknya (ibu ayah-nya) yaitu Nuwailah binti Muslim yang menceritakan, "Kami shalat Zuhur atau shalat Asar di masjid Bani Harisah.
Kami menghadapkan wajah kami ke arah Masjid Elia (Yerussalem/Baitul Maqdis). Setelah kami lakukan shalat dua rakaat, tiba-tiba datanglah seseorang yang menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah ﷺ telah menghadap ke arah Baitullah. Maka kaum wanita berpindah mengambil tempat kaum laki-laki dan kaum laki-laki berpindah mengambil tempat kaum wanita. Lalu kami melanjutkan shalat kami yang tinggal dua rakaat lagi menghadap ke arah Baitullah." Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Bani Harisah yang menceritakan kepadaku bahwa Nabi ﷺ telah bersabda: “Mereka adalah kaum laki-laki yang beriman kepada yang gaib.”
Ibnu Mardawaih mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnu Duhaim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Ismail An-Nahdi, telah menceritakan kepada kami Qais, dari Ziad ibnu Alaqah ibnu Imarah ibnu Aus yang menceritakan, "Ketika kami sedang dalam shalat kami yang menghadap ke Baitul Maqdis, yaitu dalam rukuk kami, tiba-tiba datanglah seorang yang menyerukan di pintu (masjid) bahwa kiblat telah dialihkan ke arah Ka'bah." Imarah ibnu Aus melanjutkan kisahnya, bahwa ia menyaksikan imam mereka berpaling mengalihkan wajah mereka ke arah Ka'bah bersama-sama kaum laki-laki dan anak-anak yang bermakmum kepadanya, semua dalam keadaan rukuk.
Firman Allah ﷻ: “Dan di mana saja kalian berada, hadapkanlah wajahmu ke arah-nya.” (Al-Baqarah: 144) Allah ﷻ memerintahkan menghadap ke arah Ka'bah dari segenap penjuru dunia, baik dari Timur, Barat, Utara, maupun Selatan; semua diperintahkan agar menghadap ke arahnya. Dalam hal ini tiada yang dikecualikan selain dari orang yang mengerjakan shalat sunat di atas kendaraannya dalam perjalanan; ia diperbolehkan mengerjakan shalat sunat menghadap ke arah mana pun kendaraannya menghadap, tetapi hatinya harus tetap tertuju ke arah Ka'bah.
Demikian pula di saat perang sedang berkecamuk, orang-orang yang terlibat di dalamnya diperbolehkan shalat dalam keadaan apa pun. Dan orang yang tidak mengetahui arah kiblat boleh shalat menghadap ke arah yang menurut ijtihadnya adalah arah kiblat, sekalipun pada hakikatnya keliru; karena sesungguhnya Allah ﷻ tidak sekali-kali memberatkan seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya. Mazhab Maliki menyimpulkan dalil ayat ini, bahwa orang yang shalat harus memandang ke arah depannya, bukan ke arah tempat sujudnya. Seperti juga yang dikatakan oleh Imam Syafii, Imam Ahmad, dan Imam Abu Hanifah.
Mazhab Maliki mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram” (Al-Baqarah: 144) Seandainya seseorang menghadapkan pandangannya ke tempat sujudnya, niscaya hal ini memerlukan sedikit menunduk, padahal hal ini bertentangan dengan kesempurnaan berdiri.
Sebagian ulama mengatakan bahwa seorang yang berdiri dalam salatnya memandang ke arah dadanya.
Syuraik Al-Qadi mengatakan bahwa orang yang berdiri dalam salatnya memandang ke arah tempat sujudnya. Hal yang sama dikatakan oleh jumhur jamaah, karena hal ini lebih menampilkan rasa tunduk dan lebih kuat kepada kekhusyukan, dan memang ada keterangan hadits yang menganjurkannya. Dalam keadaan rukuk pandangan mata diarahkan ke tempat kedua telapak kaki, dan dalam keadaan sujud pandangan mata ditujukan ke arah hidung, sedangkan dalam keadaan duduk pandangan mata diarahkan ke pangkuan.
Firman Allah ﷻ: “Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) benar-benar mengetahui bahwa berpaling menghadap ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhan mereka.” (Al-Baqarah: 144) Yakni orang-orang Yahudi yang memprotes kalian menghadap ke arah Ka'bah dan berpalingnya kalian dari arah Baitul Maqdis mengetahui bahwa Allah ﷻ pasti akan mengarahkan kamu ke Ka'bah, melalui apa yang termaktub di dalam kitab-kitab mereka dari para nabi mereka tentang sifat dan ciri khas Nabi Muhammad ﷺ serta umatnya. Disebutkan pula di dalamnya kekhususan yang diberikan oleh Allah kepadanya serta penghormatan yang diberikan-Nya, yaitu berupa syariat yang sempurna lagi besar. Akan tetapi Ahli Kitab menyembunyikan hal ini di antara sesama mereka karena dengki, kufur, dan ingkar. Karena itulah Allah mengancam mereka melalui firman-Nya: “Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah: 144)
Sebelum arah kiblat dipindahkan kembali ke Kakbah, Nabi sering menengadahkan wajahnya ke arah langit. Nabi sangat berharap agar Allah segera memindahkan kiblat dari Baitulmakdis ke Kakbah, maka turunlah ayat ini. Kami melihat wajahmu, wahai Nabi Muhammad, sering menengadah ke langit. Kami Maha Mengerti tentang keinginanmu, oleh karena itu akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada, wahai pengikut Nabi Muhammad, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dengan pemindahan ini, Baitulmakdis sudah tidak lagi menjadi kiblat salat yang sah. Orang Yahudi dan Nasrani tahu benar akan hal ini. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab Taurat dan Injil tahu bahwa pemindahan kiblat itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Hal itu mereka ketahui dari kitab-kitab suci mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan. Allah pasti akan mencatat semua langkah perbu-atan mereka yang melawan ketentuan-Nya. Walaupun orang-orang Ahli Kitab mengetahui tentang kebenaran pemindahan kiblat, mereka tetap tidak menerima kenyataan tersebut karena kedengkian mereka terhadap Nabi Muhammad. Dan walaupun engkau, Nabi Muhammad, memberikan semua ayat, yakni keterangan, kepada orang-orang yang diberi Kitab itu, mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan engkau pun tidak akan mengikuti kiblat mereka. Ahli Kitab akan terus bertahan pada kiblat masing-masing: orang Yahudi bertahan dengan Baitulmakdis, dan orang Nasrani bertahan ke arah terbitnya matahari. Sebagian mereka tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain. Allah memperingatkan Rasulullah agar tidak mengikuti keinginan mereka. Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah sampai ilmu kepadamu, niscaya engkau termasuk orang-orang zalim.
.
Sebagaimana telah diterangkan dalam riwayat tentang sebab turunnya ayat tersebut di atas, Nabi Muhammad ﷺ ingin sekali agar kiblat itu ditetapkan Allah ke arah Ka'bah. Oleh sebab itu, beliau sering menengadahkan mukanya ke langit menantikan wahyu yang akan memerintahkan perpindahan kiblat itu, Maka, turunlah ayat ini menetapkan perpindahan kiblat tersebut dari Baitulmakdis ke Masjidilharam. Di sini disebutkan arah Masjidilharam, bukan Ka'bah, sebagai isyarat yang membolehkan kita menghadap "ke arah Ka'bah" pada waktu salat apabila Ka'bah itu jauh letaknya dari kita dan tidak dapat dilihat. Sebaliknya, jika kita dekat dengan Ka'bah, maka kita menghadap Ka'bah pada waktu salat.
Jadi tidak diwajibkan menghadap ke bangunan Ka'bah itu, kecuali orang-orang yang dapat melihatnya. Dengan demikian, semua kaum Muslimin di berbagai penjuru bumi wajib menghadap "ke arah Ka'bah" dalam salat. Untuk melaksanakan tugas itu mereka diwajibkan (wajib kifayah) mengetahui ilmu bumi untuk mengetahui arah kiblat dalam salat, sebagaimana mereka sebaiknya mengetahui ilmu falak untuk mengetahui jadwal waktu salat.
Pemindahan kiblat ke Ka'bah, adalah ketetapan yang benar dari Allah, tetapi orang yang kurang akal membantah kebenaran ini, bahkan mereka menimbulkan fitnah dan menyebarkan keragu-raguan di antara Muslimin yang lemah imannya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 144
“Sesungguhnya, telah Kami lihat muka engkau menengadah-nengadah ke langit."
Menurut riwayat Ibnu Majah, setiap akan shalat, beliau menghadapkan wajah ke langit, yang diketahui oleh Tuhan bahwa hati beliau amat rindu jika kiblat itu dialihkan ke Ka'bah. Tiap-tiap malaikat Jibril turun dari langit atau naik kembali ke langit selalu Rasulullah mengikutinya dengan pandangannya, menunggu-nunggu bilakah agaknya akan datang perintah Allah tentang peralihan kiblat itu, sampai turun ayat ini, “Sesungguhnya, telah Kami lihat muka engkau menengadah-nengadah ke langit," sampai kepada akhir ayat, “Maka, Kami palingkanlah engkau kepada kiblat yang engkau ingini!' Suatu keinginan yang timbul sebagai suatu risalah yang beliau bawa ke dunia ini, yaitu menyempurnakan ajaran agama yang dibawa Nabi Ibrahim. Sebab, wadin ghairi dzi zarin atau lembah yang tidak ditumbuhi tumbuhan di dekat rumah Allah yang suci itu adalah pokok tempat bertolak pertama dari Nabi Ibrahim seketika beliau memulai risalahnya. Rumah itulah yang beliau jadikan pusat pertama dari seluruh masjid tempat menyembah Allah Yang Tunggal."Sebab itu, palingkanlah muka engkau ke pihak Masjidil Haram."
Dengan perintah pada ayat ini maka mulai saat itu beralihlah kiblat dari Baitul Maqdis (rumah suci) yang di Palestina (Qudus), yang didirikan oleh Nabi Sulaiman, ke Masjidil Haram yang didirikan oleh Nabi Ibrahim, nenek moyang Sulaiman dan nenek moyang Muhammad ﷺ yang berdiri di Mekah."Dan di mana saja kamu semuanya berada palingkanlah muka kamu ke pihaknya." Dalam suku kata perintah pertama disebutlah engkau yaitu perintah pertama kepada Nabi Muhammad ﷺ Dan, dalam lanjutan perintah tersebutlah kamu, yaitu perintah kepada seluruh umat Nabi Muhammad yang tadi telah disebut keistimewaannya, yaitu ummatan wasathan, umat jalan tengah. Di kedua perintah itu disebut syathr yang kami artikan pihak atau dapat juga disebut jurusan. Artinya, mulai sekarang alihkan kiblat kamu ke jurusan Masjidil Haram."Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi kitab mengetahui bahwasanya itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka." Artinya, orang-orang Ahlul Kitab Yahudi dan Nasrani, terutama orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah, ketika ayat ini turun sudah mengetahui bahwa memang dari Ka'bah itu Nabi Ibrahim sebagai nenek moyang bangsa Syam (Semit) yang menurunkan Bani Israil dan Bani Ismail memulai perjuangannya mendirikan tauhid, kepercayaan tentang keesaan Allah. Kalau mereka kembali kepada pokok asal yaitu sejarah perkawinan Ibrahim dengan Hajar dan beliau membawa Hajar ke tempat suci itu, yang dengan beberapa kerat roti dan satu qirbat air sampai Hajar tersesat di Bersyeba, sampai Malaikat Jibril datang membujuk Hajar dan mencegahnya dari rasa takut, sebab budak yang dalam kandungannya itu akan dijadikan Allah suatu bangsa yang besar; kalau semuanya itu mereka ingat kembali dan itu tertulis di dalam kitab mereka sendiri (Kitab Kejadian, Pasal 21, dari ayat 13 sampai ayat 21), niscaya mereka tidaklah akan heran jika Nabi Muhammad ﷺ diperintahkan mengembalikan kiblat kepada asalnya karena mereka memang sudah mengetahui bahwa di sanalah tempatnya. Di ayat 21 Kejadian, Pasal 21 disebutkan nama tempat itu, yaitu Paran. Pembaca kitab Taurat tahu bahwa Paran itu adalah Mekah al-Mukarramah,
Lalu, Allah berfirman pada ujung ayat,
“Dan tidaklah Allah melengahkan dari apapun yang kamu amalkan."
Artinya, kesediaan dan kesetiaan kamu segera mengalihkan kiblat karena perintah Allah telah datang, tidaklah dilengah atau diabaikan oleh Allah, bahkan sangat dihargai. Ini karena pelaksanaan perintah Allah dengan segera adalah tanda dari iman yang teguh.
Kemudian, datang lanjutan ayat seterusnya.
Ayat 145
Dan, meskipun engkau berikan kepada orang-orang yang diberi kitab itu dengan tiap-tiap ketenangan, tidaklah Mereka akan mengikuti kiblat engkau itu."
Meskipun mereka telah mengetahui sebab-sebab peralihan kiblat itu, mereka tidaklah mau mengikut kamu sebab mereka telah mempertahankan golongan, bukan mempertahankan kebenaran."Dan engkau pun tidaklah akan mengikuti kiblat mereka," sebab perintah Allah sudah datang menyuruh alihkan kiblat.
Niscaya Nabi Muhammad ﷺ Dan, umatnya tidaklah akan mengikut kiblat pemeluk agama yang lain sebab Allah telah menentukan kepadanya kiblat Masjidil Haram dengan wahyu, “Dan tidaklah yang sebagian mereka akan mengikut kiblat yang sebagian" Orang Yahudi tidaklah hendak mengikut kiblat orang Nasrani dan orang Nasrani pun tidaklah akan mengikut kiblat orang Yahudi.
“Dan jikalau engkau perturutkan kemauan-kemauan Mereka sesudah datang kepada engkau sebagian dari pengetahuan, sesungguhnya adalah engkau di masa itu dari orang-orang yang aniaya."
Artinya, garis yang akan beliau lalui sebagai seorang rasul, terutama berkenaan dengan kiblat, telah terang, yaitu kembali menghadap kepada rumah suci yang telah didirikan oleh Nabi Ibrahim, Kalau menurut kemauan Yahudi hendaklah kembalikan ke Baitul Maqdis, niscaya ini tidak akan diperhatikan walaupun telah banyak sanggahan atau gerutu yang mereka sampaikan. Seorang rasul sebagai pemimpin umatnya tidak mempunyai pendirian yang ragu. Bagaimana Nabi Muhammad ﷺ akan ragu, padahal peralihan kiblat itu adalah pengharapan dari beliau sendiri. Yang dituju dengan ujung ayat ini adalah sekadar penguatkan hati beliau dalam perjuangan yang maha hebat itu, untuk diberikan teladan kepada umat beliau buat sepanjang masa.
Bagaimana kemauan dan hawa nafsu mereka akan diperturutkan? Padahal mereka sendiri pun telah tahu bahwa dia inilah, Nabi Muhammad ﷺ, nabi yang ditunggu-tunggu itu. Dijelaskan pada ayat yang selanjutnya,
Ayat 146
“(orang-orang yang diberi kepada Mereka kitab, mengenallah mereka akan dia sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka (sendiri)."
Baik dalam wahyu yang disampaikan oleh Nabi Musa maupun wahyu yang disampaikan oleh Nabi Isa al-Masih, demikian juga wahyu yang disampaikan kepada nabi yang lain, seumpama Yesaya, disebutkan bahwa akan datang nabi itu. Tanda-tandanya pun akan disebutkan dan dari kaum mana dia akan timbul pun akan disebutkan, sehingga mereka mengenalnya sebagaimana mengenai anak mereka sendiri. Akan tetapi, mereka memungkiri itu, Artinya, mereka tafsirkan isi ayat kitab suci mereka kepada maksud yang lain: memang seorang nabi akan datang, tetapi bukan Muhammad ini!
“Dan sesungguhnya sebagian dari Mereka, Mereka sembunyikan kebenaran, padahal Mereka mengetahui."
Inilah sebab terutama mengapa tidak akan dapat kecocokan. Inilah soal yang terutama mengapa soal kiblat menjadikan heboh mereka. Sebagian dari mereka telah sengaja menyembunyikan kebenaran: ayat-ayat yang menyebutkan tentang kedatangan rasul penutup itu sampai sekarang ada dalam kitab-kitab mereka itu, tetapi kalau ditanyakan kepada mereka, tidak mau mereka berterus terang mengakui kebenaran.
Akan tetapi, Allah berfirman dengan tegas,
Ayat 147
“Kebenaran adalah dari Tuhan engkau maka sekali-kali janganlah engkau termasuk dari orang-orang yang ragu."
Tegasnya, memang engkaulah rasul itu. Betapapun mereka menyembunyikan kebenaran, tetapi kebenaran datang dari Allah. Tidak ada satu kekuatan dalam dunia ini yang dapat menghalangi atau menyembunyikan kebenaran itu.