Ayat
Terjemahan Per Kata
لَا
tidak
شَرِيكَ
sekutu
لَهُۥۖ
bagiNya
وَبِذَٰلِكَ
dan dengan demikian/itulah
أُمِرۡتُ
aku diperintahkan
وَأَنَا۠
dan aku
أَوَّلُ
pertama
ٱلۡمُسۡلِمِينَ
orang-orang yang menyerahkan diri
لَا
tidak
شَرِيكَ
sekutu
لَهُۥۖ
bagiNya
وَبِذَٰلِكَ
dan dengan demikian/itulah
أُمِرۡتُ
aku diperintahkan
وَأَنَا۠
dan aku
أَوَّلُ
pertama
ٱلۡمُسۡلِمِينَ
orang-orang yang menyerahkan diri
Terjemahan
Tidak ada sekutu bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan kepadaku. Aku adalah orang yang pertama dalam kelompok orang muslim.”
Tafsir
(Tiada sekutu bagi-Nya) di dalam hal tersebut (dan demikian itulah) ketauhidan (yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah") dari kalangan umat ini.
Tafsir Surat Al-An'am: 161-163
Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya Tuhanku telah memberiku petunjuk ke jalan yang lurus, agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus. Dan dia (Ibrahim) bukanlah termasuk orang-orang musyrik."
Katakanlah, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.
Tidak ada sekutu bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan kepadaku. Aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”
Ayat 161
Allah ﷻ berfirman, memerintahkan kepada Nabi penghulu semua rasul untuk memberitahukan (kepada manusia) nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah kepada dirinya, berupa hidayah (petunjuk) ke jalan yang lurus, yang tidak ada penyimpangan dan lika-liku padanya yaitu:
“Agama yang benar.” (Al-An'am: 161)
Yakni berdiri tegak dan kokoh.
“Agama Ibrahim yang lurus. Dan dia (Ibrahim) bukanlah termasuk orang-orang musyrik." (Al-An'am: 161)
Sama dengan makna yang disebutkan dalam ayat lain, yaitu: “Dan orang yang benci kepada agama Ibrahim, hanyalah orang yang memperbodoh dirinya sendiri.” (Al-Baqarah: 130)
“Dan berjihadlah kalian pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kalian dan Dia sekali-kali tidak menjadikan kesukaran untuk kalian dalam agama. (Ikutilah) agama orang tua kalian Ibrahim.” (Al-Hajj: 78)
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), dia mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang lurus. Dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.” (An-Nahl: 120-123)
Tetapi adanya perintah untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim yang hanif ini bukan berarti sebagai suatu pertanda yang menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim lebih sempurna daripada Nabi Muhammad ﷺ dalam menjalankannya, karena telah terbukti bahwa Nabi ﷺ telah menegakkannya secara lebih sempurna yang belum pernah dicapai oleh seorang manusia pun. Sebab itulah maka Nabi ﷺ menjadi penutup para nabi dan penghulu Bani Adam secara mutlak, serta pemilik kedudukan yang terpuji, yang didambakan oleh semua makhluk, termasuk Nabi Ibrahim sendiri.
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Hafs, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Isam, telah menceritakan kepada kami Abu Daud At-Tayalisi, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Kahil. Ia pernah mendengar Dzar ibnu Abdullah Al-Hamdani menceritakan hadits dari Ibnu Abza, dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ apabila pagi hari selalu mengucapkan doa berikut: Kami memulai hari dalam keadaan beragama Islam, kalimah tauhid, mengikuti ajaran Nabi kita Muhammad, serta mengikuti jejak agama bapak kita Ibrahim yang lurus. Dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa pernah ditanyakan kepada Rasulullah ﷺ, "Agama apakah yang paling disukai oleh Allah?” Maka Nabi ﷺ menjawab, "Agama yang hanif dan penuh toleransi."
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan, kepada kami Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ menepuk daguku dengan pundaknya agar aku dapat menyaksikan pertunjukan tari zifin orang-orang Habsyah, hingga aku sendiri merasa bosan, lalu pergi meninggalkan Nabi ﷺ Abdur Rahman mengatakan dari ayahnya, bahwa Urwah mengatakan kepadanya, "Sesungguhnya Siti Aisyah pernah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ, pada hari itu bersabda: 'Hendaklah orang-orang Yahudi mengetahui bahwa di dalam agama kita terdapat kelapangan, sesungguhnya aku diutus dengan membawa agama yang hanif dan penuh dengan toleransi'." Hadits ini diketengahkan di dalam kitab Shahihain, sedangkan selebihnya merupakan syawahid-nya diketengahkan melalui berbagai jalur. Saya telah merincikan semua jalurnya di dalam Syarah Bukhari.
Firman Allah ﷻ: “Katakanlah, ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah. Tuhan semesta alam’." (Al-An'am: 162)
Allah ﷻ memerintahkan kepada Nabi ﷺ untuk memberitakan kepada orang-orang musyrik yang menyembah selain Allah dan menyembelih hewan bukan menyebut nama Allah, bahwa Nabi ﷺ berseberangan dengan mereka dalam hal tersebut. Karena sesungguhnya shalatnya hanyalah untuk Allah, dan ibadahnya hanya semata-mata untuk Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Hal ini sama dengan yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain, yaitu:
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” (Al-Kausar: 2)
Artinya, berikanlah keikhlasan kamu untuk Dia dalam shalat dan kurbanmu. Karena sesungguhnya orang-orang musyrik menyembah berhala dan menyembelih untuk para berhala tersebut.
Maka Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya agar membedakan diri dengan mereka dan berpaling dari kebiasaan yang mereka lakukan, serta menghadapkan diri dengan seluruh tekad dan niat yang tulus dalam berikhlas kepada Allah ﷻ Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Sesungguhnya shalatku dan ibadahku.” (Al-An'am: 162)
“Nusuki” artinya melakukan kurban di musim haji dan umrah. Ats-Tsauri meriwayatkan dari As-Suddi, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya, "Nusuki" bahwa makna yang dimaksud ialah kurbanku. Hal yang sama dikatakan oleh As-Suddi dan Adh-Dhahhak.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Auf, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Khalid Az-Zahabi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Yazid ibnu Habib, dari Ibnu Abbas, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pada Hari Raya Adha berkurban dengan menyembelih dua ekor domba, dan ketika menyembelihnya membaca doa berikut: “Aku hadapkan mukaku kepada Zat Yang Menciptakan langit dan bumi dengan hati yang hanif dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”
Firman Allah ﷻ: “Dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Al-An'am: 163)
Menurut Qatadah, makna yang dimaksud ialah dari kalangan umat islam, dan memang apa yang dikatakan oleh Qatadah benar karena sesungguhnya dakwah yang diserukan oleh semua nabi sebelumnya adalah Islam, yang pokoknya ialah menyembah Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya.
Seperti yang disebutkan oleh ayat lain melalui firman-Nya:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (Al-Anbiya: 25)
Allah ﷻ menceritakan kepada kita tentang Nabi Nuh, bahwa dia berkata kepada kaumnya:
“Jika kalian berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta imbalan sedikit pun dari kalian. Imbalanku tidak lain hanyalah dari Allah, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya).” (Yunus: 72)
Firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Dan orang yang membenci kepada agama Ibrahim, hanyalah orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, ‘Tunduk patuhlah!’ Ibrahim menjawab, ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.’ Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub, (Ibrahim berkata), ‘Wahai anak-anakku, sesungguhya Allah telah memilih agama ini bagi kalian, maka janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam.” (Al-Baqarah: 130-132)
Nabi Yusuf a.s. berkata seperti yang disebutkan firman-Nya:
“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta'bir mimpi. (Wahai Tuhan) pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (Yusuf: 101)
Nabi Musa a.s. Telah berkata seperti yang disebutkan firman-Nya:
“Wahai kaumku, jika kalian beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja, jika kalian benar-benar orang yang berserah diri. Lalu mereka berkata, ‘Kepada Allah-lah kami bertawakal! Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang zalim, dan selamatkanlah kami dengan rahmat Engkau dari (tipu daya) orang-orang yang kafir’.” (Yunus: 84-86)
Firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat yang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerahkan diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka.” (Al-Maidah: 44), hingga akhir ayat.
Dan firman Allah ﷻ: “Dan (ingatlah) ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia, ‘Berimanlah kalian kepada-Ku dan kepada Rasul-Ku’. Mereka menjawab, ‘Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Tuhanmu)." (Al-Maidah: 111)
Allah ﷻ memberitahukan bahwa Dia telah mengutus rasul-rasul-Nya untuk membawa agama Islam, tetapi mereka berbeda-beda dalam praktiknya sesuai dengan syariat yang mereka terima, sebagiannya diantaranya direvisi dan diubah, akhirnya seluruhnya aturan itu di-mansukh (direvisi) oleh syariat Nabi Muhammad ﷺ yang tidak akan di-mansukh lagi selama-lamanya. Syariat Nabi Muhammad ﷺ masih tetap tegak berjalan sampai hari kiamat nanti. Karena itulah maka Nabi ﷺ dalam salah satu hadisnya bersabda: “Kami para nabi adalah saudara-saudara seayah, agama kami satu (yakni Islam).” Yang dimaksud dengan istilah auladun 'illatun ialah saudara-saudara seayah, tetapi berbeda ibu. Agamanya adalah satu, yaitu menyembah kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, meskipun syariat-syariatnya yang diterima ibu-ibu mereka berbeda-beda. Lawan kata dari istilah ini ialah saudara-saudara seibu, tetapi berbeda ayahnya. Sedangkan saudara yang seibu dan seayah disebut saudara-saudara sekandung.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Abdullah Al-Majisyun, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Fadl Al-Hasyimi, dari Al-A'raj, dari Ubaidillah ibnu Abu Rafi', dari Ali , bahwa Rasulullah ﷺ apabila telah melakukan takbiratul ihram membuka shalatnya dengan bacaan doa iftitah, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku (hanya) kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan mengikuti kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (Al-An'am: 79)
Dan firman-Nya: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An'am: 162), hingga akhir ayat berikutnya.
Kemudian membaca doa berikut: “Ya Allah, Engkau adalah Raja, tidak ada Tuhan melainkan Engkau, Engkaulah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu, aku mengakui sebagai hambamu yang lemah dan aku mengakui dosa-dosaku yang telah kuperbuat, maka berilah ampunan bagi dosa-dosaku semuanya, tiada seorang pun yang dapat mengampuni dosa-dosaku kecuali hanya Engkau. Dan berilah aku petunjuk kepada perbuatan yang paling baik, tidak ada seorang pun yang dapat menunjukkan kepada perbuatan yang paling baik kecuali hanya Engkau.
Dan palingkanlah dariku perbuatan yang jahat, tidak ada seorang pun yang dapat menghindarkan dariku dari pebuatan jahat kecuali hanya Engkau. Maha Suci lagi Maha Tinggi Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu dan bertobat kepada-Mu. Kemudian hadits dilanjutkan sampai doa yang dibaca dalam rukuk, sujud, dan tasyahhudnya. Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab shahihnya.
Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam bentuk apa pun, karena hal itu mustahil bagi Allah. Dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku, karena inti dari ajaran Islam, yaitu ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi terdahulu, adalah ketauhidan. Dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri atau muslim. Sebagai nabi, beliaulah yang harus mengawal ketauhidan ini sebelum umatnya. Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, dengan penuh keheranan, Apakah patut aku mencari tuhan selain Allah, padahal Dialah Tuhan bagi segala sesuatu, pencipta jagat raya dan seisinya, pengatur, dan pemelihara bagi semua makhluk-Nya. Karena segala sesuatu selain Allah tidak mempunyai kekuasaan apa-apa, maka tidak patut untuk disembah. Setiap perbuatan dosa seseorang, pelanggaran ketentuan agama, baik besar maupun kecil, dirinya sendiri yang bertanggung jawab di hadapan Allah pada hari Kiamat nanti. Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain, kecuali jika orang itu mengajak orang lain berbuat dosa. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, karena semua makhluk adalah milik Allah, Allah-lah pewaris makhluk-Nya pada hari Kiamat. Dan, akan diberitahukan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan, dengan menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah. Setiap orang akan dibalas sesuai dengan perbuatannya.
Dalam ayat ini Nabi Muhammad, diperintahkan agar mengatakan bahwa sesungguhnya salatnya, ibadahnya, serta semua pekerjaan yang dilakukannya, hidup dan matinya adalah semata-mata untuk Allah Tuhan semesta alam yang tiada sekutu bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan kepadanya. Rasul adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah dalam mengikuti dan mematuhi semua perintah dan larangan-Nya. Dua ayat ini mengandung ajaran Allah kepada Muhammad, yang harus disampaikan kepada umatnya, bagaimana seharusnya hidup dan kehidupan seorang muslim di dalam dunia ini. Semua pekerjaan salat dan ibadah lainnya harus dilaksanakan dengan tekun sepenuh hati karena Allah, ikhlas tanpa pamrih. Seorang muslim harus yakin kepada kodrat dan iradat Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah-lah yang menentukan hidup mati seseorang. Oleh karena itu seorang muslim tidak perlu takut mati dalam berjihad di jalan Allah dan tidak perlu takut hilang kedudukan dalam menyampaikan dakwah Islam, amar ma'ruf nahi munkar. Ayat ini selalu dibaca dalam salat sesudah takbiratul ihram sebagai doa iftitah kecuali kata: diganti dengan (164) Dalam ayat ini terdapat perintah kepada Nabi Muhammad agar mengatakan kepada kaumnya, bahwa mengapa ia akan mencari Allah yang lain dengan mempersekutukan-Nya dalam ibadah, berdoa untuk keperluan hidupnya agar Dia menolongnya atau melindunginya dari kesusahan dan bahaya? Mahasuci Allah dari persekutuan itu. Dialah Tuhan bagi segala sesuatu, Dialah yang menciptakan semesta alam. Selanjutnya pada ayat ini diterangkan, bahwa semua perbuatan manusia akan dipertangungjawabkan- nya sendiri, dan orang yang berbuat dosa akan menanggung sendiri dosanya itu, karena dosa seseorang tidak akan dipikul oleh orang lain. Masing-masing menerima pahala amal baiknya dan memikul dosa amal buruknya. Hal ini berulang-ulang disebutkan dalam Al-Qur'an.
Firman Allah:
(Yaitu) bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. (an-Najm/53: 38-39)
Ayat ini cukup memberi petunjuk dan jalan hidup yang bermutu tinggi dan praktis, karena di samping harus beramal dan bekerja harus pula diperhitungkan dengan cermat dan teliti setiap amal perbuatan yang dikerjakannya. Sebab amal pekerjaan atau perbuatan itu sangat besar pengaruhnya dalam membawa nasib keberuntungan dan keruntuhan seseorang, baik di dunia maupun di akhirat. Di akhirat, perselisihan manusia dalam beragama akan diselesaikan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 161
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya telah diberi petunjuk akan daku oleh Tuhanku kepada jalan yang tulus.'"
Ini memperjelas lagi bunyi ayat 153 tersebut. Hanya satu jalan itu, yang selainnya adalah jalan bersimpang-siur, bukan jalan Allah, tetapi jalan-jalan setan. Dan memperjelas lagi ayat 159 tersebut, yaitu akan berpecah-belah dari agama barangsiapa yang menyeleweng dari jalan itu, lalu membuat golongan-golongan, yang Rasul disuruh menegaskan bahwa beliau tidak masuk ke dalam golongan yang mana pun
sebab beliau tetap pada jalan yang lurus yang telah ditentukan Allah kepadanya itu. jalan yang lurus itu ialah: “Agamayang teguh," yakni tegak dan tetap. Tidak berkisar ke kanan dan ke kiri. ‘Agama Ibrahim yang jujur." Yang lurus dan tidak condong ke mana-mana hanya tetap tujuannya kepada Allah.
“Dan tidaklah dia itu dari orang-orang yang musyrikin."
Dengan keterangan ujung ayat ini, jelaslah bahwa jalan yang ditempuh Nabi Muhammad ﷺ ini bukanlah yang baru dibuat, melainkan jalan yang satu itu saja, jalan agama Ibrahim. Sebab jalan yang lurus dan yang satu itu, tidaklah akan berubah-ubah selama-lamanya, dan tidaklah Ibrahim itu orang yang mempersekutukan yang lain dengan Allah, tidaklah dia memperhambakan dirinya kepada benda.
jalan yang lurus, agama yang teguh, agama yang jujur dari Ibrahim itu, ialah percaya kepada Allah Yang Maha Esa, dan istiqamah, artinya tidak bergeser, walaupun serambut dari pendirian itu. Dan ikhlas, bersih ke luar dan ke dalam sehingga isi hati dapat dilihat pada seri wajah. Kepercayaan yang teguh kepada-Nya, menyebabkan beribadah hanya semata-mata kepada-Nya pula. Pokok ajaran ini diriamai: millatu Ibrahim, agama Nabi Ibrahim. Sebab segala ajaran rasul-rasul yang datang sebelum Ibrahim atau sesudahnya, pokok ajaran yang mereka bawa hanya inti ajaran Ibrahim itu juga. Cara melakukan ibadah bisa berbeda, itulah yang diriamai syari'at. Namun, yang akan diibadati tidak akan berubah-ubah selama-lamanya, yaitu Allah Yang Tunggal itu jua. Ditegaskan dalam ayat ini bahwa Ibrahim itu sekali-kali tidak pernah mempersekutukan yang lain dengan Allah. Dan dengan mengemukakan bahwa yang dijalankan Muhammad ﷺ ini tidak lain daripada agama Ibrahim, terpanggillah kembali Ahiul Kitab dan musyrikin Quraisy. Karena kedua pihaknya tidak ada yang ingkar akan keutamaan Ibrahim,
baik sebagai nenek maupun sebagai dasar dari agama yang mereka peluk, yang sudah banyak tambahan-tambahannya dan bid'ahnya. Yang sudah menjadi bergolong-golongan sampai 71 atau 73 golongan itu.
Selain ayat ini, banyaklah kita bertemu bahwa pokok agama yang dibawa rasul-rasul umumnya dan Muhammad ﷺ khususnya ialah agama Ibrahim ini. Kita bertemu ini di dalam surah an-Nahl: ayat 120 yang di sana Ibrahim sampai dibahasakan sebagai “seorang umat" dan di ayat 123 dijelaskan lagi kepada Rasul bahwa dia diberi wahyu supaya mengikuti agama Ibrahim itu; dan kita pun akan bertemu lagi siapa Ibrahim dalam surah al-Haj dan surah yang memakai namanya sendiri, surah Ibraahim, demikian juga di surah al-Baqarah dan Aali ‘Imraan, dan banyak lagi surah yang lainnya, yang kalau kita pelajari dengan saksama, akan bertambah mengertilah kita apa tujuan ajaran Muhammad ﷺ dan mengerti pula betapa hebat perlawanan Musa dan Harun kepada Fir'aun karena menentang mempertuhan manusia.
Ayat 162
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku, adalah karena Allah, Tuhan sarwa sekalian alam."
Setelah di ayat yang dahulu itu dijelaskan bahwa Allah-lah sebagai pemusatan iman untuk menegakkan aqidah maka di ayat ini dijelaskan lagi lanjutan iman kepada Allah itu dengan kesatuan tujuan ibadah kepada-Nya pula. Sebab kita telah percaya bahwa Dia Esa maka kita satukan pula ibadah kita kepada-Nya. Nabi Muhammad ﷺ memelopori ibadah itu. Oleh karena itu, disuruh beliau menyatakan dengan tegas bahwa shalat beliau hanya karena Allah dan untuk Allah.
Pertama shalat. Karena inilah pokok. Tanda percaya kepada-Nya dan tanda cinta kepada-Nya, diri sedia selalu menghadap-Nya. Jika datang panggilan, saat itu juga aku hadir. Allah
Mahabesar, Allah Mahabesar! Yang lain kecil dan remeh belaka. Kemudian, ialah ibadahku semuanya. Di sini, disebut nusuki, yang diartikan pada umumnya untuk sekalian ibadah. Adapun pangkal pokok arti dipakai untuk penyembelihan kurban ketika mengerjakan haji untuk Allah. Kemudian itu dipakai untuk pekerjaan haji itu sendiri. Ke mana pun hendak dipakai maknanya, tetapi tujuannya hanya satu, yaitu baik ketika aku menyembelih kurban maupun ketika aku wuquf di Arafah atau thawaf keliling Ka'bah atau (berjalan) di antara Shafa dan Marwah, ataupun yang lain. Semuanya aku kerjakan karena Allah, untuk Allah.
Bahkan, bukan itu saja, hidupku ini pun dan matiku pun untuk Allah karena Allah. Semuanya itu aku serahkan kepada Tuhanku, Allah Tuhan dari sarwa sekalian alam ini. Tidak dua, tidak berbilang, hanya satu.
Dengan segenap kesadaran hidupku ini aku kurbankan untuk mencapai ridha-Nya dan dengan segenap kesadaran pula aku bersedia bila saja datang panggilan maut, buat menghadap hadirat-Nya.
Ayat 163
“Tidak ada sekutu bagi-Nya."
Tiada berserikat yang lain dengan Dia di dalam menguasai, mengatur, dan memelihara alam ini."Dan begitulah aku diperintah." Sehingga jika sekiranya orang bertanya kepadaku, mengapa engkau shalat, mengapa engkau bernusuk (beribadah), aku akan menjawab tegas, “Sebab begitulah yang diperintahkan Tuhanku itu kepadaku." Dan sekiranya ada orang bertanya guna apa engkau hidup, aku pun akan menjawab, “Aku diperintahkan Allah hidup buat menyembah-Nya!" Dan jika orang bertanya untuk siapa engkau bersedia kalau Allah meminta pengurbanan jiwamu, sebagai tanda kasihmu akan Allah? Aku pun akan menjawab, “Aku bersedia mati untuk Allah!" Dan aku tidak takut menghadapi maut, sebab aku dengan demikian akan pulang kepada Allah.
“Dan aku adalah yang mula pertama menyerah diri."
(ujung ayat 163)
Sifat-sifat ketuhanan Allah sudah terang dan nyata, jalan lurus menuju-Nya pun sudah terang. Teranglah bahwa Dia Esa dalam seluruh kekuasaan-Nya. Oleh sebab itu, kepada-Nyalah tiap-tiap orang yang berpikiran waras akan menyerahkan dirinya. Dan bebas merdeka tiap-tiap orang yang berpikiran waras dari pengaruh yang lain. Sebab yang lain itu adalah alam belaka, makhluk belaka, dan benda belaka.
Diriku ini ingin bebas, ingin merdeka dari segala benda itu lalu menyerah kepada Dia, Allah Yang Esa itu. Menyerah diri itulah yang disebut Muslim, dan penyerahan diri itulah yang disebut Islam. Di sini, Muhammad ﷺ disuruh menegaskan bahwa di dalam menentukan langkah penyerahan yang sekarang ini, adalah beliau orang yang pertama. Beliau yang berjalan di muka sekali, di dalam perjalanan menuju menyerah diri kepada Allah dan yang lain, kalau mau selamat ikutilah dia.
Dan ini pulalah tuntunan tegas kepada manusia selurunnya supaya bersama-sama me-nempuh jalan menyerah diri kepada Allah itu, menjadi Muslimin. Sebab, beliau bukan hanya mengajak dan menyuruh, tetapi berjalan di muka sekali, menjadi orang pertama menjadi imam yang akan dicontoh diteladari.
Ucapan yang diajarkan Allah kepada Rasulullah ﷺ ini adalah inti sejati tauhid, tawakal yang sempurna kepada Allah, dalam tiap gerak jantung dan gerak hidup. Setiap ibadah, sejak dari shalat, puasa, zakat dan naik haji, semuanya untuk Allah. Hidup dan mati diserahkan kepada Allah. Kehidupan yang nyata dan kehidupan dalam cita, sama sekali meyakinkan penyerahan yang bulat kepada Allah dan keridhaan menerima ketentuan-Nya.
Ayat 164
Di pangkal ayat dijelaskan, “Katakan!" artinya ialah bahwa ucapan ini, yaitu bakal hidup, tauhid yang sejati dan pengabdian yang sempurna, semuanya hanya kepada Allah Rabbul ‘alamin. Timbul ucapan yang demikian karena hati telah sampai pada puncak keya-kinan bahwa yang menjaga memelihara, yang melindungi dan menentukan hanya Allah saja. Ditegaskan lagi bahwa Dia tidak bersekutu dengan yang lain. Laa syarika lahu. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan segala yang aku kerjakan ini, aku kerjakan sebab demikian aku diperintahkan. Dan untuk buktinya, aku pun tampil ke muka, aku orang yang pertama. Dan segala akibat dari pengakuanku ini, walau mati sekalipun aku sudi menerimanya.
Dalam satu doa iftitah pembukaan shalat, sebelum kita membaca al-Faatihah, Nabi pun mengajarkan agar kita umatnya membaca pula ayat ini. Kita sebagai umat Nabi hendaklah meniru Nabi dalam segala langkahnya, agar sampai ke akhirat kelak pun kita tetap di dalam rombongan yang mengiringkannya. Kita pun disuruh Islam yang kamil, menyerah yang sepenuhnya mengabdikan diri, beribadah kepada Allah. Dan kita diperintah mengerjakan ibadah menurut yang dicontohkan oleh Rasul, maka kita pun taat. Sami'na wa atha'na, kami dengar dan kami patuhi. Ayat ini dilanjutkan lagi dengan penegasan lain, sebagai tantangan kepada orang yang masih ragu-ragu atas pendirian ini.
“Katakanlah, ‘Apakah yang selain Allah akan aku hanapkan menjadi Tuhan? Padahal Dialah Tuhan dari tiap-tiap sesuatu.'"
Katakanlah. Agar manusia-manusia yang menentangmu itu tidak ragu-ragu dan tidak meraba-raba lagi tentang bagaimana pendirianmu yang sebenarnya."
Apakah itu akan mempertuhan berhala? Padahal, berhala itu dibuat manusia dari kayu atau dari batu, sedangkan bahan kayu dan batu itu datang dari Allah juga?
Apakah aku akan mempertuhan malaikat, padahal malaikat tidak bisa bergerak kalau tidak Allah mengizinkan? Apakah kepada sesama manusia aku akan bertuhan, padahal asal-usul kejadian manusia itu pun sama dengan asal-usul kejadianku sendiri?
Apakah aku akan mengharap selain Allah menjadi Tuhan, padahal hanya Allah yang me-nentukan nasibku, yang menjamin hidupku, yang membuat aku bisa tegak di dunia ini, dan Dia pula yang menentukan hari depanku,
Apakah aku mengharapkan yang selain Allah menjadi Tuhan, padahal seluruh alam ini, langit dan bumi ini dalam genggaman-Nya dan aku tidak ada berarti apa-apa dalam kebesaran alam itu.
Kalau segala sesuatu itu, sejak dari berhala dan patung sampai pada malaikat dan sesama manusia, baru ada karena diadakan Allah, dan akan lenyap kalau Allah hendak melenyapkan, mengapa ke sana aku hendak menyerahkan nasibku? Demikian pula orang Nasrani, mereka percaya bahwa Lahut, yaitu Tuhan Pencipta ialah Allah, tetapi mereka mengatakan bahwa al-Masih dalam keadaan Nasut-nya, yang berarti kemanusiaannya, Hului atau menjelma Lahut ke dalam Nasut itu sehingga menyembah al-Masih bagi mereka ialah menyembah Allah juga. Dengan ini, Nabi Muhammad ﷺ telah memberikan pimpinan yang tegas bagi kita bahwa itu pun tidak mungkin. Kalau sekiranya Allah menjelma menjadi al-Masih Nasut, al-Masih manusia maka kala Dia menjelma itu tentunya Allah tidak ada di tempat lain, tetapi terkurung di tempat terbatas sehingga Allah Maha Pengatur langit, bumi, bintang-bintang, bulan, dan matahari, diperkecil lalu dimasukkan ke dalam tubuh manusia. Dan ketika dia disalib, sebagai rangkaian dari kepercayaan itu, payahlah buat menyelesaikan pikiran, apakah ketika itu Allah masih Hului menjelma dalam tubuh Isa atau telah meninggalkan Isa. Dan kalau dikatakan bahwa Dia telah pergi dari dalam tubuhnya itu, seperti dibuktikan dengan perkataan yang dikatakan al-Masih, “Ya, Tuhanku, Ya Tuhanku, mengapa engkau tinggalkan' daku," maka teranglah bahwa yang disalib itu adalah manusia, bukan Tuhan. Dan memang sejak semula, sampai wafatnya, bahkan sampai sekarang setelah tubuhnya tak ada lagi, memanglah al-Masih itu manusia, bukan Tuhan. Dan Tuhan dari al-Masih itu adalah Allah.
Sebagai akibat dari pernyataan keyakinan hidup itu, bahwa ibadah shalat dan ibadah yang lain, bahkan hidup dan mati semuanya tertuju pada satu jurusan, yaitu Allah yang tidak bersekutu dengan yang lain, Allah yang Mahakuasa atas seluruh alam, dan sebagai akibat pula dari lanjutan kepercayaan bahwa tidak suatu pun yang diharap-harapkan hendak dijadikan Tuhan buat disembah, sebab yang mencipta seluruh alam ini hanya Allah; dan sebagai akibat dari semuanya itu jelaslah bahwa diri pribadi ini bebas dari segala pengaruh. Tidak ada tempat takut melainkan Allah, bahkan tidak ada yang lain tempat bertanggung jawab atas segala amal yang diamalkan, usaha yang diusahakan, melainkan Allah. Dosaku tidak orang lain yang akan menanggung, sebaliknya dosa orang lain pun tidak ada yang akan menanggung. Masing-masing kita langsung bertanggung jawab kepada Allah. Dan itulah penjelasan lanjutan ayat.
“Dan tidaklah akan menanggung seorang penanggung akan tanggungan orang lain." Kalau aku bersalah, yang akan menanggung kesalahanku itu, yang akan bertanggung jawab ialah aku sendiri di hadapan Allah. Tanggungan dosaku tidaklah akan ditanggung orang lain. Dalam menyelesaikan suatu kesalahan, aku akan berhadapan langsung dengan Allah. Tidaklah ada seorang malaikat atau seorang guru, atau seorang nabi yang akan menjadi penanggung dari dosaku. Terutama terhadap Nabi Isa al-Masih a.s. jikalau ada yang berbuat dosa sepuas-puas hatiku, lalu al-Masih yang akan menebus dosaku itu dengan dirinya sendiri, tidaklah mungkin. Aku yang membuat suatu beban berat, tidaklah al-Masih yang mesti memikulnya. Dan tidak berhala, patung, pastor, dan tidak tuan syekh yang berkubur di satu pekuburan. Dengan ini, teranglah bahwa aqidah tauhid itu, yaitu memercayai bahwa Allah itu Esa adanya, lalu beribadah kepada-Nya saja, mempunyai ekor yang lain lagi, yaitu tanggung jawab tiap-tiap pribadi tentang dosa, hanya kepada-Nya yang satu itu juga.
“Kemudian kepada Tuhan kamulah tempat kamu kembali. Maka Dialah yang akan memberitakan kepada kamu tentang apa yang telah pernah kamu perselisihkan."
Artinya, akan kembalilah kamu kepada-Nya saja di hari akhirat itu, sesudah melalui hidup dunia ini. Kembali kepada-Nya saja, tidak pada yang lain. Waktu itulah diberitahukan kepadamu dengan jelas bukti kesalahanmu ketika hidup di dunia yang telah menjadi berselisih karena banyak yang disembah. Ada yang menyembah berhala dan macam-macam pula berhalanya. Ada yang menyembah gunung, ada yang menyembah Isa al-Masih, ada yang menyembah Budha Gauthama, menyembah matahari, bulan, bintang, dan bahkan ada yang menyembah kemaluan ayahnya. Pada Allah sendiri jualah kiranya segala keputusan, dan batallah segala yang kamu sembah selain dari Dia itu.
Dengan ayat ini, terutama yang menerangkan bahwa seorang tidak akan menanggung beban tanggungan orang lain, dapatlah dipahamkan, memberikan hadiah pahala bacaan al-Faatihah atau surah Yaasiin dan seba-gainya untuk orang yang telah mati, menjadi percuma, tidak ada gunanya. Apalagi salafush-shalihin pun tidak pula meninggalkan contoh yang dapat ditiru dalam amalan seperti ini. Sekarang kebiasaan tambahan itu telah merata di mana-mana. Dan kalau dicari dari mana asal mulanya menurut ilmiah, sebagaimana tuntutan kepada orang Quraisy tentang binatang larangan dan ladang larangan pada ayat 143 dan 144 di atas tadi, akan payah pula orang mencari dasarnya.
Kita baca, Misalnya surah Yaasiin atau al-Faatihah atau tahlil. Kita mengharap semoga Allah memberi kita pahala pembacaan itu. Soal pahala adalah soal karunia Allah, menjadi soal yang gaib. Bukan sebagai suatu kuitansi yang terang diterima dengan tangan. Kemudian, pahala itu kita hadiahkan kepada orang yang telah mati.
Sudah terangkah pahala itu ada di tangan kita? Dan siapakah yang akan menyampaikan hadiah pahala itu kepada si mati? Niscaya kita mengharap supaya Allah juga yang memberikan kepada si mati itu bukan? Maka, setelah pahala yang telah kita terima itu kita minta tolong kepada Allah menghadiahkannya, masihkah kita berpahala juga? Kalau memang perbuatan ini berasal dari agama, alangkah senangnya orang yang telah mati itu. Selalu dikirimi pahala oleh orang yang hidup, yaitu pahala “hangat-hangat", yang baru diterimanya sendiri dari Allah, sedangkan orang yang telah mati itu tidak ada memikul kewajiban lagi, buat mengamalkan suatu amalan. Dan kalau ini diselesaikan benar-benar dengan pikiran tenang, niscaya orang yang lalai beragama di kala hidup tidaklah merasa bahwa salahnya berat. Sebab, setelah mati dia selalu akan dapat kiriman “pahala" dari saudaranya, yang diusahakan oleh saudaranya itu sendiri.
Yang terang sebagai Sunnah dan teladan dari Rasulullah ﷺ hanyalah mendoakan kepada Allah, semoga Muslimin dan Muslimat, yang hidup atau yang mati diberi rahmat, karunia dan kelapangan oleh Allah. Berdoa demikian memang berpahala dan pahalanya itu adalah untuk yang berdoa. Adapun doa itu dikabulkan atau tidak oleh Allah, terserah kepada Allah sendiri. Ini sangat jauh bedanya dengan membaca surah Yaasiin, lalu dapat pahala dan pahala itu dikirim kepada si mati, untuknya.
Masih adakah hubungan orang yang telah mati dengan orang yang masih hidup? Tentu masih ada, jika orang yang telah mati itu meninggalkan amalan yang terus-menerus akan diterima hasilnya setelah dia mati. Jadi, bukan dia menerima kiriman hasil amalan orang lain, melainkan amalnya sendiri juga. Hal ini dijelaskan oleh hadits yang dirawikan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan an-Nasa'i dari Abu Hurairah. Demikian bunyinya:
“Apabila mati seorang anak Adam, putuslah amalnya kecuali dari yang tiga. Yaitu, sedekah jariyah, ilmu ;yan,g diambil orang manfaatnya dari dia, dan anak yang s ha (ih, yang mendoakannya." (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa'i)
Ketiganya ini adalah amal orang itu sendiri ketika dia hidup. Setelah dia mati, amal itu masih tinggal dan berkembang, dan dia menerima hasilnya saja. Sedekah jariyah, yaitu sedekah yang dapat diambil orang faedahnya berlama masa, seumpama kebun wakaf atau menggali sumur, atau mewakafkan tanah untuk masjid dan lain-lain. Ilmu yang bermanfaat, selama masih ilmu itu berkembang, niscaya dia akan menerima hasilnya juga. Sudah hancur badannya dalam kubur, tetapi jasanya dengan ilmu yang ditinggalkannya itu masih dirasai orang. Seumpama Thomas Alva Edison mendapat ilmu tentang lampu listrik. Maka selama faedah listrik itu masih dipakai orang di dunia ini, sampai menyambung suara khut-bah Jum'at dari Hari Raya Islam, Thomas Alva Edison masih menerima pahala jasanya (jika amalnya disertai iman, Corr).
Dan anak yang shalih ialah berkat didikan si ayah juga, yang setelah mati si ayah masih menerima doanya. Dia akan selalu mendoakan kepada Allah, “Ya Tuhanku, beri rahmatlah ayah bundaku yang telah wafat itu." Dia diberi pahala oleh Allah karena mendoakan ayah bundanya dengan tidak usah mengirimkan pahala itu kepada ayah bundanya, sebab Allah sendirilah yang akan melapangnya jika doa anak itu dikabulkan.
Dan sebuah hadist lagi, yang menganjurkan berjasa di waktu hidup untuk diterima hasilnya setelah meninggal dunia:
“Dari Anas bin Malik r.a. berkata dia, berkata Rasululah sate., ‘Adalah tujuh perkara yang akan mengalir pahalanya untuk seorang hamba Allah, padahal dia sudah di dalam kuburnya sesudah matinya. Yaitu barangsiapa yang mengajarkan suatu ilmu atau memperluas sungai atau menggali sumur atau menanamakan pohon kurma atau membangun sebuah masjid atau mewariskan sebuah mushaf Al-Qur'an atau meninggalkan seorang anak yang memohonkan am-punan Allah untuknya sesudah matinya."
Oleh sebab itu, selain mengajarkan ilmu yang berfaedah, mengeruk sungai supaya perahu-perahu yang berlayar di atasnya tidak kandas, atau membuat tanggul untuk membagi-bagikan air sungai bagi mengairi sawah lebih luas, adalah termasuk amal jariyah juga. Apalagi menggalikan sumur untuk orang minum, atau menanam pohon-pohon di pinggir jalan yang buahnya bisa menghilangkan dahaga orang yang lalu lintas pun termasuk amal jariyah.
Isi hadits ini telah memperluas apa yang dimaksud dengan amal jariyah, yang hasilnya tetap akan diterima, walaupun seseorang telah tinggal tulang di dalam kubur.
Dan adakah lagi amal yang lain yang masih dapat diterima oleh seorang yang telah mati atau hasilnya sesudah dia mati?
Masih ada. Yaitu seperti yang disebutkan oleh sabda Nabi Muhammad ﷺ yang dirawikan Muslim dari Jarir bin Abdil Malik al-Bajali:
“Barangsiapa vang menjejakkan di dalam Islam sesuatu jejak yang baik, maka untuk dialah pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya, dengan tidak akan dikurangi dari pahala mereka yang lain itu sedihi t pun. Dan barangsiapa jyang menjejakkan dalam Islam akan satu jejak yang buruk, adalah atasnya dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya dan tidak dikurangi (pula) dari dosa mereka yang lain itu sedikit pun." (HR Muslim)
Jejak yang baik ialah meninggalkan contoh yang baik dan bermanfaat, yaitu membuka jalan baru yang dahulu belum dikenal sehingga mencapai yang lebih maju. Bukan menambah-nambah agama yang telah ada dan cukup, melainkan menambah jalan buat melancarkannya. Seumpama mendapat alat peti cetak sehingga Al-Qur'an dan kitab-kitab agama dapat disebarkan lebih banyak. Karena mendapat jalan baru itu, dia mendapat pahala. Dan selama orang lain menuruti jejaknya, orang yang menuruti dapat pahala dan dia pun tetap dapat pahala juga. Sebaliknya orang yang membuat contoh jalan baru yang buruk, yang jahat, supaya orang datang memuja pada kuburnya, mendapat kepala dosa sebab dia yang memulai. Dan selama manusia; masih berduyun datang memuja kubur itu, yang memuja itu berdosa dan yang memulai perbuatan itu dahulunya masih tetap menerima dosanya, walaupun dia sudah lama mati.
Dengan kedua hadits ini kita mendapat pengetahuan, walaupun orang telah meninggal dunia, masih ada jalan untuknya menerima pahala terus-terusan, dari amalnya pada waktu hidup. Bukannya dengan meminta kepada orang lain membaca tahlil atau al-Faatihah atau surah Yaasiin, lalu supaya orang lain itu sudi pula menghadiahkan pahala membaca itu kepadanya. Sebab cara yang demikian terlalu berbelit-belit jalannya dan tidak dijamin akan sampai. Sebab, ayat-ayat terlalu banyak mengatakan bahwa tiap-tiap orang akan bertanggung jawab langsung kepada Allah, diperiksa tentang dosa dan pahalanya, walaupun yang sebesar zarrah pun akan di-perlihatkan dan akan dipertimbangkan di hadapannya. Tidak ada ayat atau hadits yang menyebutkan bahwa kalau ada datang kiriman pahala dari dunia, beberapa daftar dosa itu akan dihapuskan oleh Allah. Adapun dengan menanam amal jariyah, ilmu yang memberi manfaat dan doa anak yang shalih, memang ada jaminan dari hadits Rasulullah ﷺ yang shahih, dan bisa dikerjakan pada masa hidup ini juga. Demikian pula hadits tentang sunnah yang baik dan sunnah yang buruk tadi.
Semuanya akan terus menerima pahala, walaupun telah hancur tulang di dalam kubur. Seumpama Kiai H.A. Dahlan pendiri Perserikatan Muhammadiyah dan Kiai Hasyim Asy'ari pendiri Nahdhatul Ulama maka selama kedua pergerakan Islam itu masih mengembangkan sayap amalnya yang baik di Indonesia ini, menurut hadits ini beliau-beliau itu masih tetap menerima pahala dari bekas Sunnah yang baik yang beliau-beliau tinggalkan itu. Dan Imam Ghazali akan masih tetap menerima pahala selama kitab-kitab karangan beliau masih dipelajari orang. Dan di atas dari itu semua, nabi kita Muhammad ﷺ yang telah meninggal 13 setengah abad yang lalu, masih tetap menerima pahala yang baik dari bekas usaha beliau, selama shalawat dan salam terhadap diri beliau masih terdengar di permukaan bumi ini. Sebab, yang beliau terima ialah bekas amalan beliau tatkala hidup yang berpanjang-panjang bekasnya itu sampai ke akhir zaman.
Akhir penutup surah ini ialah:
Ayat 165
“Dan Dialah yang telah menjadikan kamu khalifah bumi dan telah Dia angkatkan setengah kamu atas yang setengah beberapa derajat"
Arti khalifah ialah pengganti atau penyambung. Ayat ini telah diartikan dengan dua macam. Pertama, kamu wahai insan telah diangkat oleh Allah menjadi khalifah-Nya dalam bumi ini. Untuk tafsiran yang seperti ini lebih baik dipakai kalimat aslinya saja, yaitu khalifah. Karena sukar memberinya arti dalam bahasa Indonesia atau Melayu. Sebab, sebagaimana telah kita ketahui di dalam surah al-Baqarah, Allah telah menjadikan Adam khalifah di bumi. Dengan demikian, manusia turunan Adam ini pun mengikuti jejak nenek moyangnya itu, meneruskan menerima khalifah Allah di bumi ini. Atau tafsiran yang kedua, umat Muhammad ini menjadi khalifah daripada umat-umat yang telah lalu. Jadi bukan khalifah Allah, melainkan pengganti tugas nenek moyang atau penyambung usaha orang dahulu-dahulu. Tugas menjadi khalifah ialah meramaikan bumi, memeras akal budi untuk mencipta, berusaha, mencari dan menambah ilmu dan membangun, berkemajuan dan berkebudayaan, mengatur siasat negeri dan bangsa dan benua. Di dalam memikul kewajiban menjadi khalifah itu ditakdirkanlah, derajat manusia tidak sama, sebab yang setengah dilebihkan dari yang lain. Ada yang pintar, bodoh, kuat, lemah, mulia, hina, ada yang menjadi penguasa, ada yang menjadi rakyat jelata."Untuk menguji kamu pada apa-apa yang telah Dia datangkan kepada kamu." Artinya, sesungguhnya derajat manusia tidak sama, tetapi seluruh manusia diberi akal dan diberi pula petunjuk dengan agama, diutus rasul-rasul diturunkan kitab-kitab. Bagaimana perbedaan nasib tadi menjadi ujianlah tentang kesanggupan manusia itu melalui hidup masing-masing. Di dalam perjuangan hidup di dunia, yang pintar supaya memimpin yang bodoh, yang kuat supaya membela yang lemah. Namun, pada sisi Allah yang mulia ialah barangsiapa yang lebih takwa kepada-Nya. Yang tahan menderita dan bersyukur jika dapat untung. Dan sampai di akhirat kelak manusia pun akan mendapat ganjaran sesuai dengan niat dan amalnya, dengan iman atau kufurnya, dengan tauhid atau syiriknya.
Dalam ayat ini bertemulah kita kembali inti sari dari tauhid. Bahwasanya seluruh manusia dalam sifat kemanusiaannya adalah sama tugasnya, sama-sama khalifah. Baik khalifah Allah menurut tafsir yang pertama atau khalifah dari umat yang dahulu sebagai tafsiran yang kedua. Dengan demikian, seluruh manusia itu terjadi langsung menurut kehendak dan berhubungan langsung dengan Allah. Tidak ada “orang tengah" yang membatas di antara manusia dengan Allah. Perbedaan nasib boleh diterima sebagai suatu kenyataan, tetapi bukan berarti bahwa orang disuruh bermalas-malas. Sebab selain dari ketentuan Maharaya dari Allah, pada tiap-tiap pribadi insan itu tersimpan suatu alat pemberian Allah untuk bekal hidupnya, yaitu kesadaran hidup yang timbul dari akalnya.
Meskipun ada orang pandai dan ada orang bodoh, keduanya sama-sama makhluk Allah. Perbedaan keadaan, pertingkatan derajat di antara manusia adalah ujian semata-mata, bukan buat lemah dan melempem, melainkan buat diatasi. Kalau bukan buat diatasi, tidaklah insan akan diriamai khalifah bumi. Di dalam Al-Qur'an, kita selalu bertemu ayat-ayat yang mengandung ibtilaa' walanabluwannakum, walaqad fatanna, sesungguhnya akan Kami uji kamu, sesungguhnya telah Kami cobai kamu. Dengan ujian dan cobaan itu menanglah siapa yang sabar dan syukur, yang gigih dan tidak mengenal putus asa. Dan dalam melaksanakan tugas jadi khalifah itu, umur pun sampai, kita pun mati dan kembali ke hadirat Allah, mempertanggungjawabkan usaha kita sebagai khalifah. Maka berfirmanlah Allah sebagai penutup ayat dan penutup surah:
“Sesungguhnya Tuhan engkau itu sangat cepat slksaan-Nya dan sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Penyayang."
(ujung ayat 165)