Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
ٱتَّقُواْ
bertakwalah
ٱللَّهَ
Allah
وَٱبۡتَغُوٓاْ
dan carilah
إِلَيۡهِ
kepadaNya
ٱلۡوَسِيلَةَ
jalan yang mendekatkan
وَجَٰهِدُواْ
dan berjihadlah
فِي
di/pada
سَبِيلِهِۦ
jalanNya
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تُفۡلِحُونَ
kamu mendapatkan keuntungan
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
ٱتَّقُواْ
bertakwalah
ٱللَّهَ
Allah
وَٱبۡتَغُوٓاْ
dan carilah
إِلَيۡهِ
kepadaNya
ٱلۡوَسِيلَةَ
jalan yang mendekatkan
وَجَٰهِدُواْ
dan berjihadlah
فِي
di/pada
سَبِيلِهِۦ
jalanNya
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تُفۡلِحُونَ
kamu mendapatkan keuntungan
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah wasilah (jalan untuk mendekatkan diri) kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya agar kamu beruntung.
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah) artinya takutlah akan siksa-Nya dengan jalan menaati-Nya (dan carilah jalan kepada-Nya) yaitu jalan yang akan mendekatkan dirimu kepada-Nya dengan jalan taat dan ibadah (dan berjihadlah pada jalan-Nya) maksudnya untuk meninggikan agama-Nya (semoga kamu beruntung atau beroleh keberhasilan).
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 35-37
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kalian mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya orang-orang kafir, seandainya mereka mempunyai apa yang ada di bumi ini seluruhnya dan ditambah sebanyak itu pula untuk menebus diri mereka dengan itu dari azab di hari kiamat, niscaya (tebusan itu) tidak akan diterima dari mereka dan mereka beroleh azab yang pedih.
Mereka ingin keluar dari neraka padahal mereka sekali-kali tidak dapat keluar darinya dan mereka beroleh azab yang kekal.
Ayat 35
Allah ﷻ berfirman, memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar bertakwa kepada-Nya. Lafal takwa apabila dibarengi penyebutannya dengan makna yang menunjukkan taat kepada-Nya, maka makna yang dimaksud ialah mencegah diri dari hal-hal yang diharamkan dan meninggalkan semua larangan.
Sesudah itu Allah ﷻ berfirman: “Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya.” (Al-Maidah: 35)
Sufyan Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Talhah, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dengan al-wasilah di sini ialah qurbah atau mendekatkan diri kepada Allah ﷻ.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Abu Wail, Al-Hasan, Qatadah, Abdullah ibnu Kasir, As-Suddi dan Ibnu Zaid serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Qatadah mengatakan, makna yang dimaksud ialah "dekatkanlah diri kalian kepada-Nya dengan taat kepada-Nya dan mengerjakan hal-hal yang diridai-Nya.”
Sehubungan dengan makna al-wasilah ini, Ibnu Zaid membacakan firman berikut dengan bacaan: “Mereka itu sendiri - orang-orang yang kalian seru itu - juga mencari jalan kepada Tuhan mereka.” (Al Isra: 57) Yakni dengan bacaan tad'una, bukan yad'una. Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa makna al-wasilah ialah jalan atau sarana. Tiada seorang pun dari kalangan mufassirin yang memperselisihkan pendapat yang telah dikatakan oleh para imam ini.
Sehubungan dengan pengertian lafal ini, Ibnu Jarir mengetengahkan ucapan seorang penyair yang mengatakan: “Apabila para pengadu domba keletihan, maka kita kembali berhubungan, dan kembalilah di antara kita kejernihan serta semua jalan dan sarana.”
Al-wasilah ialah sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Al-wasilah mengandung makna "nama suatu kedudukan yang tertinggi di dalam surga, yaitu kedudukan Rasulullah ﷺ dan rumah tinggalnya di dalam surga.” Kedudukan ini merupakan bagian dari surga yang paling dekat ke 'Arasy.
Di dalam kitab Shahih Bukhari telah disebutkan melalui jalur Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir ibnu Abdullah, yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa ketika mendengar suara azan (yakni sesudahnya) mengucapkan doa berikut, yaitu: ‘Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna dan shalat yang didirikan ini, berilah Muhammad al-wasilah (kedudukan) dan keutamaan, dan tempatkanlah dia pada kedudukan yang terpuji seperti apa yang telah Engkau janjikan kepadanya,’ niscaya syafaat akan diperolehnya pada hari kiamat.”
Hadits lain. Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan melalui hadits Ka'b ibnu Alqamah, dari Abdur Rahman ibnu Jubair, dari Abdullah ibnu Amr ibnul As, bahwa ia pernah mendengar Nabi ﷺ bersabda: "Apabila kalian mendengar suara muazin, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkannya, kemudian bacalah salawat untukku, karena sesungguhnya barang siapa yang membaca salawat sekali untukku, maka Allah membalas sepuluh kali salawat untuknya. Kemudian mohonkanlah al-wasilah untukku, karena sesungguhnya al-wasilah adalah suatu kedudukan di dalam surga yang tidak layak kecuali bagi seorang hamba Allah saja, dan aku berharap semoga aku adalah hamba yang dimaksud. Dan barang siapa yang memohonkan al-wasilah buatku, niscaya akan mendapat syafaat (dariku).”
Hadits lain. Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-Al-Laits, dari Ka'b, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila kalian memanjatkan salawat untukku, maka mohonkanlah al-wasilah buatku.” Ketika ditanyakan, "Wahai Rasulullah, apakah al-wasilah itu?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Kedudukan yang paling tinggi di surga, tidak ada seseorang pun yang dapat meraihnya kecuali seorang lelaki, dan aku berharap semoga aku adalah orangnya.”
Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya dari Bandar, dari Abu ‘Ashim, dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Al-Laits ibnu Abu Sulaim, dari Ka'b yang mengatakan bahwa Abu Hurairah telah menceritakan hadits ini kepadaku. Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan hadits ini gharib (asing), mengingat Ka'b orangnya tidak dikenal; kami belum pernah mengetahui ada seseorang meriwayatkan darinya selain Al-Laits ibnu Abu Sulaim.
Hadits lain dari Abu Hurairah. Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi ibnu Qani', telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Nasr At-At-Tirmidzi, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dari Al-Laits, dari Al-Muala, dari Muhammad ibnu Ka'b, dari Abu Hurairah yang me-rafa'-kannya (sampai kepada Nabi ﷺ), disebutkan: “Bacalah salawat untukku dalam shalat kalian, dan mohonkanlah kepada Allah al-wasilah untukku.” Ketika mereka menanyakan tentang al-wasilah kepadanya, beliau menjawab, "Al-wasilah adalah suatu kedudukan di dalam surga, yang tidak dapat diraih kecuali hanya oleh seorang saja," dan beliau berharap semoga diri beliau adalah orang yang dimaksud.
Hadits yang lain. Al-Hafidzh Abul Qasim At-Ath-Thabarani mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ali Al-Abar, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Abdul Malik Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu A'yan, dari Ibnu Abu Zi-b, dari Muhammad ibnu Amr ibnu ‘Atha’, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Kalian mohonkanlah kepada Allah al-wasilah untukku, karena sesungguhnya tidak sekali-kali seorang hamba memohonkannya untukku di dunia ini melainkan aku akan membelanya atau memberikan syafaat untuknya di hari kiamat nanti.”
Kemudian Imam Thabrani mengatakan bahwa tiada yang meriwayatkannya dari Ibnu Zib kecuali Musa ibnu A'yan.
Ibnu Mardawaih meriwayatkannya juga. Dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnu Duhaim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ubaidah, dari Muhammad ibnu Amr ibnu ‘Atha’. Lalu Ibnu Mardawaih mengetengahkan hadits yang serupa.
Hadits yang lain. Ibnu Mardawaih telah meriwayatkan berikut kedua sanadnya, dari Imarah ibnu Gazyah, dari Musa ibnu Wardan; ia pernah mendengar Abu Sa'id Al-Khudri mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya al-wasilah itu adalah suatu kedudukan di sisi Allah yang di atasnya tiada kedudukan lagi. Maka kalian mohonkanlah kepada Allah, semoga Dia memberiku al-wasilah buat makhluk-Nya.”
Hadits yang lain. Ibnu Mardawaih meriwayatkan pula melalui dua jalur dari Abdul Hamid ibnu Bahr: Telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Abu Ishaq, dari Al-Haris, dari Ali, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Di dalam surga terdapat suatu kedudukan yang disebut al-wasilah. Karena itu, apabila kalian memohon kepada Allah, mohonkanlah al-wasilah untukku.” Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah yang akan tinggal bersamamu?" Rasulullah ﷺ bersabda: “Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husain.” Hadits ini gharib lagi munkar bila dipandang dari segi ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepada kami Abu Zuhair, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Tarif, dari Ali ibnul Husain Al-Azdi maula Salim ibnu Sauban yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ali ibnu Abu Thalib berseru di atas mimbar Kufah, "Wahai manusia, sesungguhnya di dalam surga terdapat dua mutiara, yang satu berwarna putih, dan yang lain berwarna kuning. Adapun mutiara yang kuning, letaknya sampai kepada halaman 'Arasy (berdekatan dengannya). Dan Maqamul Mahmud (kedudukan yang terpuji) adalah dari mutiara putih terdiri atas tujuh puluh ribu gurfah, setiap rumah luasnya tiga mil berikut semua gurfah, pintu-pintu, dan pelaminannya. Sedangkan para penduduknya berasal dari satu keturunan. Nama tempat tersebut adalah al-wasilah, diperuntukkan bagi Muhammad ﷺ dan ahli baitnya. Dan di dalam mutiara yang kuning juga terdapat al-wasilah, khusus untuk Ibrahim a.s. dan ahli baitnya." Atsar ini berpredikat gharib (asing) sekali.
Firman Allah ﷻ: “Dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kalian mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah: 35)
Setelah Allah memerintahkan mereka agar meninggalkan semua yang diharamkan dan mengerjakan ketaatan, Allah pun memerintahkan mereka untuk berperang melawan musuh dari kalangan orang-orang kafir dan orang-orang musyrik yang keluar dari jalan yang lurus dan meninggalkan agama yang benar.
Lalu Allah memberikan dorongan kepada mereka melalui apa yang telah Dia sediakan pada hari kiamat buat orang-orang yang mau berjihad di jalan-Nya, yaitu berupa keberuntungan dan kebahagiaan yang besar lagi kekal dan terus-menerus yang tidak akan lenyap, tidak akan berpindah serta tidak akan musnah di dalam gedung-gedung yang tinggi-tinggi lagi berada di kedudukan yang tinggi.
Di dalamnya penuh dengan keamanan, indah pemandangannya lagi semerbak dengan wewangian tempat-tempat tinggalnya yang membuat para penghuninya merasa nikmat, tidak pernah sengsara dan hidup kekal, tidak akan mati; semua pakaiannya tidak akan rusak, dan kemudaannya tidak akan pudar.
Selanjutnya Allah ﷻ memberitakan tentang apa yang disediakanNya buat musuh-musuh-Nya yang kafir, yaitu berupa azab dan pembalasan di hari kiamat nanti. Untuk itu, Allah ﷻ berfirman:
Ayat 36
“Sesungguhnya orang-orang kafir, seandainya mereka mempunyai apa yang ada di bumi ini seluruhnya dan ditambahkan sebanyak itu (pula) untuk menebusi diri mereka dengan itu dari azab di hari kiamat, niscaya (tebusan itu) tidak akan diterima dari mereka, dan mereka beroleh azab yang pedih.” (Al-Maidah: 36)
Dengan kata lain, seandainya seseorang dari mereka datang pada hari kiamat dengan membawa emas (kekayaan) sepenuh dunia ini dan ditambahkan sebanyak itu lagi untuk menebus dirinya dengan harta tersebut dari azab Allah yang telah meliputi dirinya dan pasti akan menimpanya, niscaya hal itu tidak diterima darinya, bahkan sudah merupakan suatu kepastian baginya siksa itu dan tiada jalan selamat baginya serta tiada jalan lari dari siksaan Allah ﷻ. Karena itulah dalam akhir ayat disebutkan:
“Dan mereka beroleh azab yang pedih.” (Al-Maidah: 36)
Yakni siksa yang menyakitkan.
Ayat 37
“Mereka ingin keluar dari neraka, padahal mereka sekali-kali tidak dapat keluar darinya, dan mereka beroleh azab yang kekal.” (Al-Maidah: 37)
Makna ayat ini sama dengan ayat lain, yaitu firman-Nya: “Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka lantaran kesengsaraan mereka, niscaya mereka dikembalikan ke dalamnya.” (Al-Hajj: 22), hingga akhir ayat. Mereka terus-menerus berupaya untuk keluar dari siksaan yang mereka alami itu karena keras dan sangat menyakitkan, tetapi tidak ada jalan bagi mereka untuk itu.
Setiap kali luapan api mengangkat mereka, yang membuat mereka berada di atas neraka Jahannam, maka Malaikat Zabaniyah memukuli mereka dengan gada-gada besi, lalu mereka terjatuh lagi ke dasar neraka.
“Dan mereka beroleh azab yang kekal.” (Al-Maidah: 37)
Yakni siksaan yang kekal terus-menerus, tiada jalan keluar bagi mereka darinya, dan tiada jalan selamat bagi mereka dari siksaan itu.
Hammad ibnu Salamah telah meriwayatkan dari Sabit, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Seorang lelaki dari kalangan ahli neraka dihadapkan, lalu dikatakan kepadanya, ‘Wahai anak Adam, bagaimanakah rasanya tempat tinggalmu?’ Ia menjawab, ‘Sangat buruk.’
Dikatakan kepadanya, ‘Apakah kamu mau menebus dirimu dengan emas sepenuh bumi?’ Ia menjawab, ‘Ya, wahai Tuhanku.’ Maka Allah ﷻ berfirman, ‘Kamu dusta, sesungguhnya Aku pernah meminta kepadamu yang lebih kecil daripada itu, lalu kamu tidak melakukannya.’ Maka ia diperintahkan untuk dimasukkan ke dalam neraka.”
Imam Muslim dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui jalur Hammad ibnu Salamah dengan lafal yang serupa. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui jalur Mu'az ibnu Hisyam Ad-Dustuwai, dari ayahnya, dari Qatadah, dari Anas dengan lafal yang sama. Hal yang sama diriwayatkan oleh keduanya melalui jalur Abu Imran Al-Jauni yang bernama asli Abdul Malik ibnu Habib, dari Anas ibnu Malik dengan lafal yang sama. Matar Al-Warraq telah meriwayatkannya melalui Anas ibnu Malik, dan Ibnu Mardawaih meriwayatkannya melalui jalur Matar Al- Warraq, dari Anas ibnu Malik.
Kemudian Ibnu Mardawaih meriwayatkan melalui jalur Al-Mas'udi, dari Yazid ibnu Suhaib Al-Faqir, dari Jabir ibnu Abdullah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Kelak akan dikeluarkan dari neraka suatu kaum, lalu dimasukkan ke dalam surga.” Yazid ibnu Suhaib Al-Faqir mengatakan, aku bertanya kepada Jabir ibnu Abdullah tentang firman Allah ﷻ: “Mereka ingin keluar dari neraka, padahal mereka sekali-kali tidak dapat keluar darinya.” (Al-Maidah: 37) Jabir ibnu Abdullah memerintahkan kepadanya untuk membaca bagian permulaan dari ayat yang sebelumnya, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang kafir seandainya mereka mempunyai apa yang di bumi ini seluruhnya dan ditambahkan yang sebanyak itu (pula) untuk menebus diri mereka dengan itu” (Al-Maidah: 36), hingga akhir ayat.
Jabir ibnu Abdullah mengatakan, yang dimaksud dengan mereka yang tidak dapat keluar dari neraka itu adalah orang-orang kafir.
Imam Ahmad dan Imam Muslim telah meriwayatkan hadits ini melalui jalur lain, dari Yazid Al-Faqir, dari Jabir, tetapi yang ini lebih sederhana konteksnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnu Abu Syaibah Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Mubarak ibnu Fudalah, telah menceritakan kepadaku Yazid Al-Faqir yang mengatakan bahwa ia duduk di majelis Jabir ibnu Abdullah yang sedang mengemukakan suatu hadits.
Lalu Jabir ibnu Abdullah menceritakan bahwa ada segolongan manusia yang kelak dikeluarkan dari neraka. Saat itu aku (perawi) memprotes hal tersebut dan marah, lalu kukatakan, "Aku tidak heran dengan segolongan manusia itu, tetapi aku heran kepada kalian, wahai sahabat-sahabat Muhammad. Kalian menduga bahwa Allah mengeluarkan manusia dari neraka, padahal Allah ﷻ sendiri telah berfirman: “Mereka ingin keluar dari neraka, padahal mereka sekali-kali tidak dapat keluar darinya.” (Al-Maidah: 37), hingga akhir ayat. Kemudian murid-muridnya membentakku, sedangkan Jabir ibnu Abdullah sendiri adalah orang yang penyantun (penyabar), lalu ia berkata, "Biarkanlah laki-laki itu, sesungguhnya hal tersebut hanyalah bagi orang-orang kafir" (yakni bukan untuk orang muslim yang berdosa).
Kemudian ia membaca Firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang kafir seandainya mereka mempunyai apa yang ada di bumi ini seluruhnya dan ditambahkan sebanyak itu (pula) untuk menebus diri mereka dengan itu dari azab hari kiamat.” (Al-Maidah: 36) sampai dengan firman-Nya: “Dan bagi mereka azab yang kekal.” (Al-Maidah: 37) Jabir ibnu Abdullah bertanya, "Tidakkah kamu hafal Al-Qur'an?" Aku (Yazid Al-Faqir) menjawab, "Memang benar, aku telah hafal semuanya." Jabir ibnu Abdullah bertanya, "Bukankah Allah ﷻ telah berfirman: 'Dan pada sebagian malam hari bersalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.’ (Al-Isra: 79) Maka kedudukan itulah yang dapat berbuat demikian, karena sesungguhnya Allah ﷻ menahan banyak kaum di dalam neraka karena dosa-dosa mereka selama yang dikehendaki-Nya. Allah tidak mau berbicara kepada mereka; dan apabila Dia hendak mengeluarkan mereka, maka Dia tinggal mengeluarkan mereka." Yazid Al-Faqir mengatakan, "Sejak saat itu ia tidak berani lagi mendustakannya."
Kemudian Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Da'laj ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Hafs As-Sadusi, telah menceritakan kepada kami ‘Ashim ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnu Al-Fadl, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnul Muhallab, telah menceritakan kepadaku Talq ibnu Habib yang mengatakan bahwa dia pada mulanya adalah orang yang paling tidak percaya kepada adanya syafaat sebelum ia bertemu dengan Jabir ibnu Abdullah, "Ketika aku bertemu dengannya, aku membacakan kepadanya semua ayat yang aku hafal mengenai ahli neraka yang disebutkan oleh Allah bahwa mereka kekal di dalamnya." Maka Jabir ibnu Abdullah menyangkal, "Wahai Talq, apakah menurutmu kamu adalah orang yang lebih pandai tentang Kitabullah dan lebih alim tentang sunnah Rasulullah ﷺ daripada aku?" Jabir ibnu Abdullah mengatakan, "Sesungguhnya mengenai orang-orang yang kamu sebutkan dalam ayat-ayat tersebut adalah penghuni tetapnya, yaitu kaum musyrik, tetapi mengenai mereka adalah kaum yang melakukan banyak dosa, lalu mereka diazab karenanya, kemudian dikeluarkan dari neraka." Kemudian ia menutupi kedua telinganya dengan kedua tangannya dan berkata, "Tulilah aku jika aku tidak pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Mereka (orang muslim yang berdosa) dikeluarkan dari neraka sesudah memasukinya.’ Dan kami pun membacanya sebagaimana kamu membacanya."
Sesudah dijelaskan tentang hukuman para pengacau keamanan dan pelanggar larangan Allah dan Rasul-Nya karena dengki dan ketidaktaatan mereka, maka ayat ini memerintahkan orang mukmin untuk bertakwa dan melakukan perbuatan baik. Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dengan ibadah dan melaksanakan semua perintah-Nya, dan carilah wasilah, jalan yang paling tepat, untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah, yakni berjuanglah, di jalan-Nya dengan melakukan kebaikan dan membantu mereka yang memerlukan. Semua perintah ini dimaksudkan agar kamu menjadi lebih beruntung, baik ketika di dunia maupun kelak di akhirat. Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yaitu mereka yang tidak mau bertakwa kepada Allah dan tidak mau membersihkan diri dari dosa, serta mengingkari keesaan-Nya pasti akan mendapat balasan. Seandainya mereka memiliki segala apa yang ada di bumi dan ditambah dengan sebanyak itu lagi yang kemudian dipergunakan untuk menebus diri mereka agar terlepas dari azab pada hari Kiamat akibat keingkarannya, niscaya semua itu tidak akan diterima Allah sebagai tebusan dari mereka. Oleh karena itu, di akhirat mereka tetap akan mendapat azab yang pedih. 37.
Allah memerintahkan orang-orang mukmin supaya selalu berhati-hati, mawas diri jangan sampai terlibat di dalam suatu pelanggaran, melakukan larangan-larangan agama yang telah diperintahkan Allah untuk menjauhinya.
Menurut sebagian mufasir, menjauhi larangan Allah lebih berat dibandingkan dengan mematuhi perintah-Nya. Tidak heran kalau di dalam Al-Qur'an, kata ittaqu yang maksudnya supaya kita menjaga diri jangan sampai melakukan larangan agama, disebut berulang sampai 69 kali, sedang kata ati'u yang berarti supaya kita patuh kepada perintah agama hanya disebutkan 19 kali.
Di samping menjaga diri memperketat terhadap hal-hal yang mungkin menyebabkan kita berbuat pelanggaran atau ketentuan-ketentuan agama, kita harus pula selalu mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah yaitu dengan jalan melaksanakan perintah-Nya dan mengamalkan segala sesuatu yang diridai.
Ibnu 'Abbas, Mujahid, Abu Wali, al-hasan, Zaid, 'Ata, as-sauri dan lain-lain, mengartikan al-wasilah di dalam ayat ini dengan mendekatkan diri. Mengenai pengertian ini, Ibnu Kasir dalam tafsirnya (2/52), berkata:
Pengertian yang telah diberikan oleh para imam ini, tidak terdapat perbedaan antara para mufasir.
Kata wasilah ada kalanya berarti tempat tertinggi di surga, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
"Apabila engkau bersalawat kepadaku, maka mintakanlah untukku "wasilah". Lalu beliau ditanya: "Wahai Rasullullah, apakah wasilah itu?." Rasullulah menjawab, "Wasilah itu ialah derajat yang paling tinggi di Surga tidak ada yang akan mencapainya kecuali seorang saja dan saya berharap, sayalah orang itu." (Riwayat Ahmad dari Abu Hurairah).
Menjauhi dan meninggalkan larangan Allah serta melaksanakan perintah-Nya adalah hal-hal yang tidak mudah, karena nafsu yang ada pada tiap manusia itu selalu mengajak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan yang baik, yaitu melanggar dan meninggalkan perintah Allah sebagaimana firman-Nya:
"Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan." (Yusuf /12:53).
Oleh karena itu kita harus berjuang untuk mengekang hawa nafsu, mengatasi segala kesulitan dan mengelakkan semua rintangan yang akan menyebabkan kita bergeser dari jalan Allah agar kita berada di atas garis yang telah ditetapkan. Dengan demikian kita akan memperoleh kebahagiaan yang telah dijanjikan oleh Allah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
WASILAH
Setelah menerangkan seluk-beluk keamanan masyarakat, dan menyatakan hukuman berat bagi siapa yang mengacaunya, Allah kembali memberikan bimbingan bagi kemajuan jiwa tiap-tiap orang. Sebab di samping hukum berlaku untuk tiap-tiap yang melanggar dan merusak masyarakat, namun terlebih dahulu hendaklah tiap-tiap warga yang beriman berusaha sendiri mempermaju kebersihan jiwanya. Penguasa-penguasa negara, berkewajiban menjaga ketenteraman umum. Tetapi tiap-tiap pribadi berkewajiban pula mempertinggi nilai pribadinya sendiri. Di samping takut akan ancaman dunia, sampai hukum bunuh, hukum salib, hukum potong kaki-tangan berselang-seling, dan dibuang, hendaklah takut kepada Allah sendiri, walaupun jauh dari mata orang lain.
Ayat 35
“Wajud orang-orang yang beriman! Takwalah kepada Allah dan carilah jalan yang menyampaikan kamu kepada-Nya."
Hendaklah selalu melatih diri agar takwa kepada Allah, Takwa mengandung akan arti takut dan memelihara. Di dalamnya terkandung: Khauf dan Raja'. Khauf berarti takut, yaitu takut akan adzab-Nya. Tadi pada ayat 33 diterangkan hukuman dunia bagi pengacau. Kemudian sehabis hukuman dunia itu, di akhirat kelak akan dihukum pula. Kalau sekiranya telah habis terbayar karena hukuman dunia saja, mungkinlah orang bersenang hati. Padahal setelah mati dihukum bunuh rupanya perkara belum habis. Di akhirat akan masuk neraka pula. Keberatan hukum di dunia belumlah sebesar miang dibandingkan dengan siksaan neraka. Sebab itu haluan hidup yang pertama hendaklah menegakkan takwa kepada Allah. Takut akan adzab-Nya (khauf) dan mengharap akan rahmat-Nya (raja')
Di samping pendirian takwa yang demikian, hendaklah disusun wasilah, yaitu jalan-jalan dan cara-cara supaya kian lama kian mendekati Allah. Yaitu dengan memperbanyak amal ibadah, berbuat kebajikan, menegakkan budi yang tinggi, belas kasihan kepada sesama manusia. Bertambah banyak amal kebajikan, bertambah sampailah ke tempat yang diridhai oleh Allah. Maka wasilah atau jalan itu, tidak lain, ialah usaha dari masing-masing orang. Kelak di akhirat akan ditimbang segala amal baik dan buruknya. Bertambah berat amalan kebajikan, bertambah dekatlah kepada yang dituju. Oleh sebab itu, maka wasilah itu ialah amal dan usaha sendiri. Bukanlah wasilah itu dengan memakai perantaraan orang lain. Bukanlah seumpama seorang rakyat kecil, memakai wasilah orang yang disegani atau tinggi pangkatnya, untuk menyampaikan kepada penguasa yang iebih tinggi.
Sebab di hadapan Allah, semua makhluk adalah sama.
“Dan bersungguh-sungguhlah pada jalan-Nya mudah-mudahan kamu mendapat kejayaan."
Bersungguh-sungguh, bekerja keras seperti arti dari jihad. Jalan Allah itu adalah lurus, menuju tujuan yang tentu. Tiap-tiap orang diserukan supaya masuk ke dalam jalan itu menuju tujuan yang tentu itu, yaitu Allah.
Orang dapat berjihad dengan bakatnya sendiri di dalam lapangannya sendiri. Segala macam pekerjaan yang baik dengan tujuan yang baik, termasuklah dalam jalan Allah. Maka semua pekerjaan itu hendaklah dikerjakan jangan dengan kepalang-tanggung. Itulah yang dinamai jihad. Berperang melawan musuh yang hendak merusak agama dan negara bernama jihad juga. Tetapi itu baru satu cabang dari jihad. Menurut ilmu pengetahuan, mendidik pemuda supaya menjadi Muslim yang baik, membangun bangunan-bangunan besar yang berfaedah, bertani bercocok tanam, berniaga, duduk dalam pemerintahan, dan sebagainya, hendaknya dikerjakan dengan semangat jihad, semangat berjuang dan bekerja keras, dengan niat menuntut ke-ridhaan Allah dan melapangkan jalannya. Hasil dari suatu jihad tidaklah percuma. Allah memberikan harapan bagi kita, yaitu “mudah-mudahan kamu mendapat kejayaan." Kejayaan dunia dan akhirat.
Kalimat wasilah telah kita beri arti, yaitu jalan menuju Allah. Atau jalan tercepat untuk mendekati Allah. Setengah ahli bahasa mengatakan bahwa kalimat wasilah itu ialah jalan untuk mencapai yang dituju.
Di dalam Al-Qur'an kalimat wasilah ini bertemu dua kali. Yaitu ayat yang tengah kita tafsirkan ini (ai-Maa'idah, ayat 3S) dan pada surah al-lsraa' ayat 57.
Dari ayat yang kedua dapatlah kita pahamkan bahwa maksud al-Wasilah ialah selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah, atau mencapai Allah. Jalan ini ialah dengan berbuat banyak ibadah dan amal yang saleh, disertai memperbanyak doa yang langsung kepada Allah.
Tersebut pula dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Imam Ahmad dan keempat Ashhabus Sunan, dari hadits yang diterima dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
“Barangsiapa yang membaca apabila dia men-dengar seruan, yaitu adzan, “Ya Allah, Allah yang empunya seruan yang sempurna ini, dan shalat yang berdhi ini, kurniakanlah kiranya kepada Muhammad al-Wasilah dan al-Fadhilah (jalan dan keutamaan), dan sediakan kiranya buat dia tempat yang terpuji yang celah Engkau janjikan. Barangsiapa yang membaca itu, niscaya dia akan beroleh syafaatku di hari Kiamat. “ (HR Bukhari, Imam Ahmad,' dan Ashhabus Sunan)
Inilah anjuran Rasulullah, doa kepada Allah yang sunnah, kita baca sehabis kita mendengar adzan. Di dalam sabda yang lain yang dirawikan oleh Muslim dan Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan, kecuali Ibnu Majah, dari hadits Abdullah bin Umar, Nabi bersabda bahwa kalau kamu mendengar adzan, hendaklah kamu baca apa yang dibaca oleh orang yang adzan itu, setelah selesai, hendaklah kamu ucapkan shalawat buat aku, sesudah itu mohonlah agar Allah menganugerahkan kepadaku al-Wasilah. Nabi mengatakan bahwa al-Wasilah itu ialah suatu istimewa di dalam surga, yang hanya disediakan buat seseorang saja dari hamba Allah, kata Nabi selanjutnya, “Aku mengharap moga-moga akulah hamba Allah itu." Maka barangsiapa yang memohonkan al-Wasilah itu untukku, layaklah dia beroleh syafaat."
Dari keterangan hadits ini nyata pulalah bahwa al-Wasilah itu adalah nama suatu tempat yang diistimewakan buat seorang hamba Allah di dalam surga.
Hamba Allah itu ialah Nabi Muhammad sendiri. Bila kita baca doa itu, menurut harapan yang diberikan Rasulullah, moga-moga kita akan mendapat syafaat dari Allah di akhirat esok. Karen itu menandakan rapatnya cinta kasih di antara kita dengan Nabi ikutan kita.
Selain itu pernah pula sahabat-sahabat Nabi meminta kepada Rasulullah di waktu beliau masih hidup, supaya beliau mendoakan mereka. Dan setelah Rasulullah ﷺ wafat, pernah pula Sayyidina Umar bin Khaththab seketika mengerjakan shalat minta hujan (Istisqa'), meminta kepada paman Nabi ﷺ, yaitu Abbas bin Abdul Muthalib agar beliau yang membaca doa.
Setelah selesai Abbas bin Abdul Muthalib membaca doa, bermunajat pulalah Umar bin Khaththab kepada Allah, yang artinya demikian, “Ya Allahku, di kala Nabi Engkau masih hidup, kami pernah memohonkan agar kami dituruni hujan, dengan meminta agar Nabi Engkau yang membacakan doa. Sekarang kami memohon pula kepada Engkau, dengan perantaraan paman Nabi Engkau, Abbas. Mohon kiranya Engkau turunkan hujan pada kami."
Dengan ini dapatlah kita pahamkan bahwa kata-kata al-Wasilah itu terdapat pada dua tempat di dalam Al-Qur'an, dan terdapat pula pada dua hadits shahih yang dirawikan oleh perawi kenamaan, yaitu yang dianjurkan Nabi supaya kita baca sehabis mendengarkan adzan, Sedang Nabi sendiri menerangkan bahwa ai-Wasilah ialah nama satu tempat istimewa dalam surga, yang disediakan untuk Rasulullah ﷺ.
Apabila kita sambungkan di antara kedua ayat dalam Al-Qur'an dengan hadits doa menyambut adzan ini, dapatlah kita memahami bahwa maksudnya adalah satu. Yaitu supaya kita mencapai tempat yang dekat kepada Allah, hendaklah kita membuat wasilah, dengan amal saleh dan dengan doa. Dan di surga pun memang ada tempat khusus bernama al-Wasilah, istimewa buat Rasulullah ﷺ. Kita mengharapkan tempat itu didapat oleh Rasulullah ﷺ.
Rasulullah ﷺ dengan segala kerendahan hati mengatakan, moga-moga sayatah yang mendapat tempat itu. Pasti dialah yang akan mendapat tempat itu, sebab dialah penghulu dari sekalian Rasul, dan penutup dari sekalian Nabi. Apabila Nabi kita telah mendapat itu, niscaya kita pun berusaha pula dengan ibadah, doa dan amal saleh mencari wasilah itu di waktu hidup kita ini, sehingga mendapat syafaat di akhirat. Artinya, apabila kita telah hidup dengan beribadah dan beramal, menjauhi dosa besar dan tidak berkelakuan dengan dosa kecil berhaklah kita mendapat syafaat, dan berhaklah kita mendapat kedudukan berdekatan dengan Rasulullah, dan orang-orang shiddiqin, dan orang-orang syuhada' dan shalihin, di tempat yang amat mulia sebagaimana tersebut di dhlam surah an-Nisaa' ayat 69, yang telah kita tafsirkan pada juz 5 yang telah lalu.
Kemudian itu dapat pulalah kita pahami tentang al-Wasilah yang kedua, yaitu meminta kepada Nabi semasa beliau hidup, supaya beliau membaca doa memohonkan sesuatu. Dan kemudian setelah Nabi wafat, yaitu Abbas bin Abdul Muthalib supaya dia pula membaca doa.
Baik dari perbuatan-perbuatan sahabat Rasulullah meminta kepada Rasulullah supaya beliau mendoakan mereka, maupun perbuatan Umar meminta Abbas membaca doa Istisqa', dapatlah kita pahamkan bahwa meminta tolong mendoa kepada orang yang masih hidup, tidaklah dilarang agama. Malahan telah menjadi kebiasaan terus-menerus dalam pergaulan Islam, menyerahkan seseorang membaca doa, dan yang hadir semua membaca “Aamiin". Dari perbuatan Sayyidina Umar bin Khaththab inilah diambil contoh berdoa bersama-sama, satu orang yang membaca, yang lain mengaminkan. Biasanya yang disuruh membaca itu ialah yang dipandang mempunyai keutamaan (al-Fadhl), baik pada umur maupun pada ilmu.
Tetapi kemudian di kurun-kurun pertengahan, jauh dari zaman Nabi, yang biasanya timbul dari kaum Shufi, suatu perbuatan yang sudah sangat jauh daripada contoh yang diberikan Rasulullah ﷺ itu. Dan dinamai orang juga al-Wasilah.
Yaitu orang pergi ke kuburan orang yang telah mati, baik ke kubur Nabi, atau kubur orang yang dipandang wali, atau guru, atau ulama besar. Lalu meminta tolong, memakai orang yang telah di dalam kubur itu menjadi wasilah atau jalan buat menyampaikan doa kepada Allah.
Di sinilah timbul satu persoalan besar. Terutama setelah Taqiyuddin Ahmad Ibnu Taimiyah (662—729 H. 1263—1328 M). Dengan tegas beliau menyatakan pendapatnya bahwasanya wasilah yang dilakukan dengan meminta kepada orangyang telah mati, supaya orang itu mendoakan kepada Allah, agar kita terlepas dari bahaya, atau diberi rezeki dan sebagainya, bukan wasilah dan bukan tawas-sul, melainkan perbuatan syirik. Tidak pernah yang begitu dilakukan oleh sahabat-sahabat Rasulullah, ketika beliau hidup atau setelah beliau mati.
Golongan yang melakukan meminta doa kepada orang yang telah mati itu mengatakan bahwa perbuatan mereka adalah wasilah kepada orang yang saleh, yang lebih dekat kepada Allah, meskipun mereka telah mati. Maka dengan keras Ibnu Taimiyah membantahnya: Karena orang yang telah mati tidak dapat berbuat apa-apa. Golongan yang sebelah mengambil alasan bahwa Umar bin Khaththab meminta kepada paman Nabi membaca doa untuk umat supaya Allah menurunkan hujan adalah wasilah juga. Maka Ibnu Taimiyah membantah keras paham itu. Kata beliau, bahwa yang diperlukan oleh Umar bukan diri Abbas melainkan doanya. Dan kalau berdoa bersama, sudah terang seorang juga yang berdoa dan yang lain mengaminkan. Musa berdoa, Harun mengaminkan. Adam berdoa dan Hawa mengaminkan. Semuanya itu di kala hidup. Tidak ada orang yang telah mati memohonkan doa kepada Allah untuk orang yang masih hidup, kalau ada tidaklah Umar akan meminta kepada Abbas supaya berdoa, bahkan sudah pasti dia akan pergi ke kubur Rasulullah, lalu meminta kepada beliau yang di dalam kubur mendoakan untuk umat supaya Allah menurunkan hujan kepada mereka.
Ibnu Taimiyah telah menulis sebuah buku, yang diberinya nama Qa'idah Jalilah, fit Tawassul wal Wasilah yang isinya mengupas kesalahan wasilah dan tawassul kepada orang yang telah mati itu, sehingga berguncanglah masyarakat di waktu itu, sebab rupanya sudah lama pekerjaan ini dikerjakan orang, sedang ulama-ulama telah membiarkannya saja.
Dengan nama tawassul dan wasilah itulah orang mempertahankan pemujaan kubur, sehingga banyak orang memusuhi Ibnu Taimiyah, yang keras menentang pemujaan kubur itu. Padahal perbuatan demikian sudah sangat bertentangan dengan ajaran tauhid.
Kemudian ajaran Ibnu Taimiyah itu dibangkitkan kembali oleh Syekh Muhammad bin Abdulwahhab, pendiri ajaran wahabi dalam lingkungan madzhab Hanbali. Tentu saja ajaran Wahabi ini pun menjadi tantangan keras dari negeri-negeri Islam yang telah terpengaruh oleh pemujaan kubur dengan nama tawassul dan wasilah itu. Sehingga sampai sekarang masih saja terasa reaksi yang hebat dari golongan Islam yang telah menjadikan kubur-kubur orang yang dianggap keramat itu sebagai tempat pemujaan. Baik di dalam negeri-negeri penganut paham Sunnah, apatah lagi dalam negeri penganut madzhab Syi'ah. Dan juga di negeri-negeri kita Indonesia ini.
Maka ayat ini menunjukkan dengan jelas garis yang wajib kita tempuh sebagai Muslim di dalam menuju kejayaan dan kemenangan jiwa. Yaitu,
Pertama, takwa kepada Allah.
Kedua, wasilah yaitu mengatur jalan supaya dapat cepat sampai (kurban) kepada Allah dengan ibadah, amal saleh, dan doa.
Ketiga, berjihad bersungguh-sungguh atau bekerja keras mengatasi segala penghambat perintang yang akan menghambat kita akan sampai kepada keridhaan Allah.
Sebagaimana tersebut dalam satu hadits yang dirawikan oleh ath-Thabrani dengan isnad yang hasan, dari Abu Bakar ash-Shiddiq sendiri, bahwa Rasulullah ﷺ berkata,
“Tidaklah, meninggalkan suatu kaum akan jihad, melainkan akan disapu bersih mereka oleh Allah dengan adzab." (HR ath-Thabrani)
Lain daripada jalan yang telah ditentukan itu adalah jalan sesat dan kufur.
Ayat 36
“Sesungguhnyalah orang-orang yang kufur."
Kufur artinya menolak atau tidak menerima kebenaran yang dituntunkan oleh Rasul yang beliau terima dari Allah. Mereka tidak mau bertakwa, tidak takut kepada Allah dan tidak menjaga batas-batas yang perlu diper-hatikan dan jangan dilanggar. Mereka tidak mau mencari atau mendatarkan jalan buat membuat diri lebih dekat kepada Allah, malahan bertambah lama bertambah menjauh. Mereka tidak pernah berjihad bersungguh-sungguh, atau menghadapi tugas hidupnya dengan bersemangat. Orang yang demikian itu,
“Walaupun mereka mempunyai apa yang ada di bumi ini semua." Artinya, walaupun mereka mempunyai kekayaan sepenuh bumi ini, “Dan seumpama itu pula sertanya." Artinya ada lagi padanya persediaan kekayaan sebanyak itu, artinya dua kali lipat kekayaan sepenuh bumi; “Karena hendak menebus diri mereka dengan dia, daripada siksaan hari Kiamat, niscaya tidaklah akan diterima dari mereka."
Ayat ini telah memberi peringatan kepada orang yang kufur dari bimbingan Allah, lalu menyangka kalau dia melengah dari anjuran agama, harta kekayaannya bisa menebusinya. Dia menyangka bahwa Surga Jannatun-Na'im, bisa dibeli dengan uang. Dia hendak menyamakan pandangan kepada hidup di hari Akhirat dengan kehidupan di dunia ini, bahwa orang yang kaya bisa memelihara diri dengan kekuatan uang. Padahal, adzab siksaan akhirat tidaklah dapat ditebus dengan kekayaan yang ada di dunia ini, walaupun ditambah dua kali lipat. Harta dunia tidaklah akan dapat dibawa ke akhirat. Orang akan mati dengan berbungkus tiga lapis kain kafan. Harta bendanya yang berlipat ganda akan tinggal di dunia. Bahkan warisnya yang ditinggalkannya tidaklah akan dapat mengupahkan lebai-lebai membaca surah Yaasiin tiap malam Jum'at buat menebus diri si kaya raya itu daripada siksaan adzab kubur atau pun adzab neraka.
Jangankan di akhirat sedangkan di dunia ini hal yang serupa itu pun bisa dialami. Saya pernah mempunyai seorang sahabat seorang kaya raya yang mempunyai harta benda berjuta-juta. Mempunyai pabrik dan usaha-usaha besar. Tiba-tiba dia ditimpa sakit, sehingga perlu berobat di rumah sakit hampir tiga tahun lamanya. Telah berjuta dari kekayaannya itu dibelanjakan buat berobat, namun dia tidak juga sembuh. Seketika seorang temannya menziarahinya ke rumah sakit pada suatu hari, mengeluhlah dia karena kekayaannya tidak dapat menolongnya sama sekali. Dia insaf bahwasanya harta benda kekayaan yang berlimpah-ruah, tidaklah dapat menebus kesehatan yang hilang. Waktu itulah terus-terang dia berkata, “Apa guna kekayaan, kalau sudah begini nasib yang menimpa."
“Dan bagi mereka adalah siksaan yang pedih."
Ayat 37
“Mereka ingin bahwa keluan dari neraka, padahal tidak mereka akan keluar dari dalamnya, sedang bagi mereka adalah siksaan yang tetap."
Inilah ayat yang menambah takut. Dan takut membuka jalan buat kembali patuh kepada Allah, yang dapat ditempuh sekarang ini. Memang ngeri kepedihan adzab dan siksa yang tetap itu. Tetapi dari kini dia dapat di-elakkan. Jangan ditempuh jalan yang jahat itu. Karena kalau jalan yang ditempuh dari sekarang adalah jahat, niscaya akhirnya tiba pada jahat juga. Tidak lain! Allah sendiri pun tidaklah ingin kita sampai ke sana. Kalau Allah menginginkan itu, niscaya tidaklah diberinya tahu dari sekarang. Jika ditimpa oleh nasib yang malang, tidak lain adalah karena pilihan kita sendiri.