Ayat
Terjemahan Per Kata
فَإِذَا
maka apabila
ٱنسَلَخَ
telah habis
ٱلۡأَشۡهُرُ
bulan-bulan
ٱلۡحُرُمُ
Haram
فَٱقۡتُلُواْ
maka bunuhlah
ٱلۡمُشۡرِكِينَ
orang-orang musyrik
حَيۡثُ
dimana saja
وَجَدتُّمُوهُمۡ
kamu dapati/jumpai mereka
وَخُذُوهُمۡ
dan tangkaplah mereka
وَٱحۡصُرُوهُمۡ
dan kepunglah mereka
وَٱقۡعُدُواْ
dan duduk/intailah
لَهُمۡ
bagi mereka
كُلَّ
tiap-tiap
مَرۡصَدٖۚ
tempat pengintaian
فَإِن
maka jika
تَابُواْ
bertaubat
وَأَقَامُواْ
dan mereka mendirikan
ٱلصَّلَوٰةَ
sholat
وَءَاتَوُاْ
dan mereka menunaikan
ٱلزَّكَوٰةَ
zakat
فَخَلُّواْ
maka berilah kebebasan
سَبِيلَهُمۡۚ
jalan mereka
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
فَإِذَا
maka apabila
ٱنسَلَخَ
telah habis
ٱلۡأَشۡهُرُ
bulan-bulan
ٱلۡحُرُمُ
Haram
فَٱقۡتُلُواْ
maka bunuhlah
ٱلۡمُشۡرِكِينَ
orang-orang musyrik
حَيۡثُ
dimana saja
وَجَدتُّمُوهُمۡ
kamu dapati/jumpai mereka
وَخُذُوهُمۡ
dan tangkaplah mereka
وَٱحۡصُرُوهُمۡ
dan kepunglah mereka
وَٱقۡعُدُواْ
dan duduk/intailah
لَهُمۡ
bagi mereka
كُلَّ
tiap-tiap
مَرۡصَدٖۚ
tempat pengintaian
فَإِن
maka jika
تَابُواْ
bertaubat
وَأَقَامُواْ
dan mereka mendirikan
ٱلصَّلَوٰةَ
sholat
وَءَاتَوُاْ
dan mereka menunaikan
ٱلزَّكَوٰةَ
zakat
فَخَلُّواْ
maka berilah kebebasan
سَبِيلَهُمۡۚ
jalan mereka
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
Terjemahan
Apabila bulan-bulan haram telah berlalu, bunuhlah (dalam peperangan) orang-orang musyrik (yang selama ini menganiaya kamu) di mana saja kamu temui! Tangkaplah dan kepunglah mereka serta awasilah di setiap tempat pengintaian! Jika mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, berilah mereka kebebasan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tafsir
(Apabila sudah habis) telah habis (bulan-bulan haram itu) hal ini merupakan batas maksimal masa penangguhan (maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka) baik di tanah suci maupun di luar tanah suci (dan tangkaplah mereka) dengan menahannya (kepunglah mereka) dalam benteng-benteng dan tempat-tempat perlindungan mereka sehingga mereka terpaksa harus bertempur dengan kalian atau menyerah masuk Islam (dan intailah mereka di tempat pengintaian.) yakni jalan-jalan yang biasa mereka lalui. Dinashabkannya lafal kulla karena huruf jarnya dicabut. (Jika mereka bertobat) dari kekafiran (dan mendirikan salat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka.) jangan sekali-kali kalian menghambat dan mempersulit mereka (Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.) terhadap orang yang bertobat.
Tafsir Surat At-Taubah: 5
Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka, dan tangkap dan kepunglah mereka dan awasilah mereka dari tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ulama tafsir berbeda pendapat mengenai makna yang dimaksud dari 'bulan-bulan haram' dalam ayat ini.
Ibnu Jarir berpendapat, yang dimaksud dengan bulan-bulan haram di sini adalah seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzalimi diri kalian dalam bulan yang empat itu.” (At-Taubah, 36), hingga akhir ayat.
Demikianlah menurut Abu Ja'far Al-Baqir, tetapi Ibnu Jarir mengatakan bahwa akhir dari bulan-bulan haram bagi mereka adalah bulan Muharram. Apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini bersumberkan dari apa yang diriwayatkan oleh Ali bin Abu Thalhah, dari Ibnu Abbas.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Adh-Dhahhak. Tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan, mengingat apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas ditinjau dan segi teksnya berasal dari riwayat Al-Aufi dari dia (Ibnu Abbas), yakni bukan melalui Adh-Dhahhak.
Pendapat yang sama dikatakan oleh Mujahid, Amr bin Syu'aib, Muhammad bin Ishaq, Qatadah, As-Suddi, dan Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam bahwa yang dimaksud ialah Asyhurut Tasyiir (bulan-bulan yang dibolehkan padanya bagi orang-orang musyrik untuk bepergian bebas) selama empat bulan. Hal ini dinyatakan tegas di dalam firman-Nya: “Maka berjalanlah kalian (kaum musyrik) di muka bumi selama empat bulan.” (At-Taubah: 2)
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu.” (At-Taubah: 5) Artinya, apabila telah habis masa empat bulan yang Kami haramkan bagi kalian memerangi orang-orang musyrik di masa-masa tersebut sebagai masa tangguh dari Kami buat mereka, maka di mana saja kalian jumpai mereka, bunuhlah mereka. Penyebutan kembali lafal “al-asyhurul hurum” dalam ayat ini lebih baik daripada seandainya dirujukkan dengan memakai dhamir (kata ganti). Kemudian sehubungan dengan empat bulan haram (suci) ini, nanti akan diterangkan hukum-hukumnya pada ayat lain sesudah ini di surat At-Taubah ini.
Firman Allah ﷻ: “Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka.” (At-Taubah: 5)
Yakni di kawasan mana saja mereka berada. Pengertian ayat ini umum. Tetapi menurut pendapat yang terkenal, keumuman makna ditakhshish (dikecualikan) oleh hukum haram melakukan perang di Tanah Suci, yaitu oleh firman-Nya: “Dan janganlah kalian memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kalian di tempat itu. Jika mereka memerangi kalian (di tempat itu), maka bunuhlah mereka.” (Al-Baqarah: 191)
Adapun firman Allah ﷻ: “Dan tangkaplah mereka.” (At-Taubah: 5) Maksudnya, tawanlah mereka. Dengan kata lain, jika kalian ingin membunuh mereka, maka kalian boleh membunuh mereka; dan jika kalian ingin menahan mereka, maka kalian boleh menahan mereka.
Firman Allah ﷻ: “Kepunglah mereka dan awasilah mereka dari tempat pengintaian.” (At-Taubah: 5)
Yakni janganlah kalian merasa puas hanya dengan keberadaan kalian di mata mereka, tetapi kepunglah mereka di benteng-benteng dan tempat-tempat perlindungannya, dan intailah mereka di jalan-jalan yang biasa mereka lalui, hingga bumi yang luas ini terasa sempit bagi mereka, dan akhirnya mereka terpaksa harus berperang melawan kalian atau masuk Islam.
Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: “Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 5)
Karena ayat ini pulalah Khalifah Abu Bakar As-Siddiq radhiyallahu ‘anhu memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat dengan berpegang kepada ayat yang mulia ini dan ayat-ayat lainnya yang semakna sebagai dalilnya. Ayat ini mengharamkan memerangi mereka dengan syarat bila mereka mau melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, yaitu masuk Islam dan menunaikan semua kewajibannya.
Pada permulaannya disebutkan hal yang paling tinggi di antara kewajiban-kewajiban tersebut, kemudian menyusul yang di bawahnya. Karena sesungguhnya Rukun Islam yang paling mulia sesudah membaca kedua kalimah syahadat adalah shalat yang merupakan hak Allah ﷻ. Sesudah itu menunaikan zakat yang merupakan pertolongan buat orang-orang miskin dan orang-orang yang memerlukan bantuan. Hal ini merupakan perbuatan mulia yang berkaitan dengan makhluk. Untuk itulah shalat dan zakat sering disebutkan secara bergandengan.
Di dalam kitab Shahihain dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi orang-orang hingga mereka mau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat.”
Abu Ishaq telah meriwayatkan dari Abu Ubaidah, dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan, "Kalian diperintahkan untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Barang siapa yang tidak mau menunaikan zakat, maka shalatnya tidak diterima."
Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam mengatakan bahwa Allah tidak mau menerima shalat kecuali dengan zakat. Dan ia mengatakan, "Semoga Allah merahmati Abu Bakar, alangkah mendalamnya ilmu fiqih beliau."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali bin Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Humaid Ath-Thawil, dari Anas, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi orang-orang hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Apabila mereka mau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan mereka menghadap ke arah kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan mengerjakan shalat kami, maka sesungguhnya telah diharamkan bagiku darah dan harta benda mereka kecuali menurut haknya; mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslim.”
Imam Bukhari di dalam kitab Shahih-nya dan Ahlus Sunan kecuali Ibnu Majah telah meriwayatkannya melalui hadis Abdullah ibnul Mubarak dengan sanad yang sama.
Imam Abu Ja'far bin Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la bin Wasil Al-Asadi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Musa, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far Ar-Razi, dari Ar-Rabi' bin Anas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Barang siapa yang meninggal dunia dalam keadaan ikhlas kepada Allah semata dan menyembah-Nya serta tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, maka ia meninggal dunia dalam keadaan Allah rida kepadanya.
Ar-Rabi' bin Anas mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah berpegang kepada agama Allah yang didatangkan serta disampaikan oleh para rasul dari Tuhan mereka sebelum terjadi kekacauan dan perbedaan kecenderungan (yakni sebelum diubah oleh para pengikutnya sepeninggal mereka).
Hal yang membenarkan hal tersebut ada di dalam Kitabullah pada bagian yang paling akhir diturunkan, yaitu firman-Nya: “Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka.” (At-Taubah: 5) Taubat mereka adalah menghentikan penyembahan semua berhala, lalu beribadah (menyembah) Tuhan mereka (yakni Allah), mendirikan shalat dan menunaikan zakat.
Allah ﷻ berfirman di dalam ayat lain: “Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudara kalian seagama.” (At-Taubah: 11)
Ibnu Marduyah dan Muhammad bin Nashr Al-Marwazi telah meriwayatkannya di dalam Kitab Shalat-nya bahwa telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hakam bin Salamah, telah menceritakan kepada kami Abu Jafar Ar-Razi dengan sanad yang sama dan lafal yang serupa.
Ayat yang mulia ini disebut “Ayatus Saif “(ayat perang) yang dikatakan oleh Adh-Dhahhak bin Muzahim, bahwa ayat ini me-mansukh semua perjanjian perdamaian antara Nabi ﷺ dan semua orang dari kalangan kaum musyrik, begitu pula semua transaksi dan semua batas waktu perjanjian.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, bahwa tidak ada lagi perjanjian dan tidak ada lagi jaminan terhadap seorang pun dari kalangan kaum musyrik sejak surat Bara’ah diturunkan dan berlalunya bulan-bulan haram (suci).
Sedangkan masa tangguh bagi orang musyrik yang mempunyai perjanjian perdamaian sebelum diturunkan surat Bara’ah ialah empat bulan, dimulai sejak diumumkan surat Bara’ah sampai dengan tanggal sepuluh dari permulaan bulan Rabi'ul Akhir.
Ali bin AbuTalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa Allah ﷻ memerintahkan Nabi ﷺ untuk mengangkat senjata terhadap orang-orang yang telah mengadakan perjanjian perdamaian dari kalangan kaum musyrik jika mereka tidak mau masuk Islam, dan terhadap orang-orang yang berani merusak dan melanggar perjanjian serta jaminannya, dan menghapuskan syarat yang pertama.
Ibnu Abi Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Musa Al-Ansari yang mengatakan bahwa Sufyan bin Uyaynah mengatakan, "Ali bin Abu Talib pernah menceritakan bahwa Nabi ﷺ telah mengirimkan empat pedang. Pedang yang pertama ditujukan terhadap orang-orang musyrik Arab."
Allah ﷻ berfirman: “Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka.” (At-Taubah: 5)
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim secara ringkas.
Menurut kami, pedang yang kedua ditujukan untuk memerangi kaum Ahli Kitab, karena Allah ﷻ berfirman: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedangkan mereka dalam keadaan tunduk.”(At-Taubah: 29)
Pedang yang ketiga untuk memerangi orang-orang munafik, seperti yang disebutkan di dalam firman Allah ﷻ: “Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu.” (At-Taubah: 73), hingga akhir ayat.
Pedang yang keempat untuk memerangi para pemberontak, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat zalim terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat zalim itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (Al-Hujurat: 9)
Ulama tafsir berbeda pendapat tentang Ayatus Saif ini. Menurut Adh-Dhahhak dan As-Suddi, Ayatus Saif ini dimansukh (direvisi) oleh firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Dan sesudah itu kalian boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti.” (Muhammad: 4) Tetapi Qatadah berpendapat sebaliknya.
Ayat ini memerintahkan apa yang seharusnya dilakukan oleh kaum muslim setelah habisnya masa tenggang tersebut. Apabila telah habis bulan-bulan haram, yakni masa tenggang waktu empat bulan yang diberi kepada kaum musyrik itu, maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kalian temui saat itu, baik di luar tanah Haram maupun di wilayah tanah Haram, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasilah di tempat pengintaian sehingga mereka tidak mampu bergerak dan meloloskan diri. Jika mereka bertobat dari kemusyrikan dan kekufuran yang membuat mereka memerangi umat Islam, dan memenuhi ketentuanketentuan agama secara konsekuen, seperti mendirikan salat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka, dan jangan ditangkap atau diawasi gerak-geriknya lagi. Sebab jika mereka benar-benar bertobat, Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Meski Allah mewajibkan kaum muslim untuk menyerang kaum musyrik setelah habis masa tenggang waktu atau disebabkan mereka merusak perjanjian, hal itu bukan berarti mereka tidak punya kesempatan untuk memperoleh perlindungan keamanan sedikit pun. Dan jika di antara kaum musyrik ada yang meminta perlindungan kepadamu, setelah habisnya masa tenggang waktu empat bulan, maka lindungilah agar dia dapat mendengar firman Allah sehingga dengan begitu diharapkan mereka tertarik dan bisa insaf. Namun begitu, kamu tidak boleh memaksanya jika ternyata dia tidak mau masuk Islam. Bahkan, setelah dia tinggal bersama kaum muslim beberapa lama kemudian dia minta pulang ke tempat asalnya, maka antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu karena sesungguhnya mereka kaum yang tidak mengetahui tentang kebenaran Islam.
.
Apabila telah selesai bulan-bulan yang diharamkan memerangi kaum musyrikin Mekah yaitu selama empat bulan terhitung mulai tanggal 10 Zulhijjah sampai dengan tanggal 10 Rabiul Akhir tahun 9 Hijriah, maka diperintahkan kepada kaum Muslimin untuk mengerjakan salah satu dari empat hal yang lebih bermanfaat bagi mereka, yaitu:
1. Memerangi kaum musyrikin di mana saja mereka berada, baik di tanah suci maupun di luarnya.
2. Menawan mereka.
3. Mengepung dan memenjarakan mereka.
4. Mengintai gerak gerik mereka dimana saja mereka berada.
Adapun membunuh atau memerangi mereka di mana saja, menurut Ibnu Katsir, pendapat yang masyhur ialah bahwa ayat ini umum dan ditakhsiskan dengan firman Allah:
Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka. (al-Baqarah/2: 191)
Adapun tentang menawan mereka, telah diperbolehkan pada ayat ini, sedang pada surah sebelumnya belum diperbolehkan seperti firman Allah:
Tidaklah pantas, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di bumi. (al-Anfal/8: 67)
Ayat ini sesuai dengan hadis sahih antara lain sabda Nabi saw:
Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengakui bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah rasul Allah, dan mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari 'Abdullah bin Umar).
Ayat ini adalah salah satu dari empat ayat yang dinamakan "ayatul qital" artinya "ayat-ayat perang", karena empat ayat ini diturunkan untuk membunuh atau berperang dengan memakai kekuatan senjata.
Pertama: ayat ini untuk membunuh atau memerangi kaum musyrikin.
Kedua: untuk memerangi Ahli Kitab yang disebutkan dalam firman Allah:
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan Kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (at-Taubah/9: 29)
Ketiga: ialah memerangi orang-orang munafik yang disebut dalam firman Allah:
Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik. (At-Tahrim/66: 9)
Keempat: ialah memerangi orang-orang bugat (yang membuat kerusuhan) yang disebutkan dalam firman Allah:
Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. (al-hujurat/49: 9)
Di antara ulama tafsir ada yang berpendapat bahwa ayat ini dinasakhkan oleh firman Allah:
Setelah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang selesai. (Muhammad/47: 4)
Di antara ulama ada yang berpendapat sebaliknya, yaitu ayat inilah yang menasakhkan ayat 4 Surah Muhammad tersebut, karena ayat ini turunnya kemudian. Dan ada pula yang berpendapat bahwa ayat ini tidaklah bertentangan dengan ayat 4 Surah Muhammad dan ayat-ayat lainnya, karena semua ulama berpendapat tentang kewajiban memberantas kekufuran dan kesesatan yang semuanya tidak harus dengan peperangan tetapi hendaknya disesuaikan dengan faktor-faktor lainnya, seperti kemampuan dan keadaan.
Apabila kaum musyrikin itu bertobat dan kembali ke jalan yang benar dengan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mengucapkan dua kalimah syahadat, mengerjakan salat dan menunaikan zakat, maka kepada mereka harus diberi kebebasan yang luas, tidak diperangi, tidak ditawan, tidak dikurung, dan tidak diintai gerak geriknya lagi. Sebagai kesaksian lahiriyah beriman itu harus dengan mengucapkan dua kalimah syahadat setelah menyatakan masuk Islam. Dan yang dimaksud dengan salat di sini ialah salat fardzu lima waktu yang menjadi rukun Islam dan menunjukkan kepatuhan beriman yang dituntut bagi setiap mukmin tanpa perbedaan dari segi apa pun, salat ini membersihkan jiwa dan memperbaiki akhlak:
Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar. (al-'Ankabut/29: 45)
Dan karena salat itu mempunyai daya kekuatan mengadakan hubungan manusia dengan Tuhan.
Dan laksanakanlah salat untuk mengingat Aku. (thaha/20: 14)
Tentang zakat di sini ialah zakat fardu (wajib) dalam Islam bagi orang-orang yang telah memenuhi syarat-syaratnya, karena zakat ini selain membersihkan jiwa orang yang berzakat dari sifat-sifat tidak terpuji seperti cinta harta dan bakhil atau kikir, juga sangat diperlukan untuk fakir miskin dan untuk kepentingan umum. Tegasnya, orang-orang musyrik tidak boleh diperangi jika mereka masuk Islam dengan memenuhi tiga syarat yaitu:
1. Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan mengucapkan dua kalimah syahadat.
2. Melaksanakan salat fardu lima waktu.
3. Menunaikan wajib zakat apabila telah memenuhi syarat-syaratnya.
Sabda Rasulullah saw:
Saya diperintahkan memerangi orang-orang hingga mereka bersyahadat bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka apabila mereka telah berbuat demikian, niscaya darah dan harta benda mereka terpelihara dari saya, kecuali dengan hak Islam dan hisab mereka terserah kepada Allah. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari 'Abdullah bin 'Umar)
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka sebagian ulama berpendapat bahwa orang-orang yang tidak melaksanakan salat lima waktu yang difardzukan tanpa udzur atau alasan yang dibolehkan syariat, dan orang-orang yang tidak mau menunaikan zakat yang sudah cukup syarat-syaratnya, maka hukumnya wajib dibunuh. Sedang pendapat ulama lain mengatakan tidak wajib dibunuh, hanya ditazir oleh imam (penguasa) dengan memberikan hukuman penjara dan sebagainya menurut pertimbangannya, dan orang-orang yang tidak mau menunaikan zakat, maka imam berhak mengambil zakatnya dengan paksa.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Kemudian itu diadakan pula pengecualian daripada empat bulan.
Ayat 4
“Kecuali mereka yang telah kamu ikat perjanjian dari orang-orang musyrikin itu."
Yaitu kalau ada diikat dengan mereka suatu janji yang masanya ditentukan, lebih daripada jangka waktu empat bulan. Yang pertama dan dihabisi setelah empat bulan sehabis pemakluman, ialah perjanjian yang tidak ditentukan batas waktunya, itu habis setelah empat bulan. Tetapi kalau ada perjanjian lain yang waktunya masih lama, lebih dari jangka empat bulan, maka janji itu boleh diteruskan sampai habis waktunya.
Sampai di batas waktu itu perjanjian baru tidak diperbuat lagi karena memang orang terkemuka buat mengikat janji itu tidak ada lagi, “Kemudian itu mereka tidak mencederai janji kamu itu sedikit pun dan tidak (pula) membantu seseorang yang melawan kamu." Tegasnya, janji dengan mereka dihormati dan dipelihara sampai habis batas waktunya. Tetapi kalau mereka sendiri yang mencederai janji atau membantu musuh Islam dalam masa ikatan janji itu, dengan sendirinya perjanjian tadi menjadi batal, walaupun waktunya belum sampai, sebab mereka yang mungkir. Di penutup ayat Allah peringatkan,
“Maka sempurnakanlah olehmu kepada mereka perjanjian mereka itu, sampai habis waktunya. Sesungguhnya Allah amat suka kepada orang-orang yang takwa."
(ujung ayal 4)
Riwayat-riwayat ahli-ahli tafsir ada mengemukakan nama dari beberapa kabilah yang mengikat perjanjian dengan Rasulullah ﷺ, yang waktu habis temponya ialah selepas ke-sempatan yang empat bulan itu. Di dalam ayat ini diberikan perintah kepada Rasul ﷺ agar janji itu dipelihara dan dipenuhi sebagaimana yang telah diputuskan. Di ujung ayat dikatakan bahwa Allah amat sayang, amat suka, dan cinta kepada orang-orang yang bertakwa, yang di sini berarti memelihara, yaitu memelihara janji. Ujung ayat ini yang kesekian kalinya telah menjelaskan bahwa Islam mewajibkan memuliakan janji dan memeliharanya menurut yang telah dijanjikan. Jangan mencari-cari dalih buat memungkirinya. Kata takwa mengandung dua makna; pertama memelihara janji dengan sesama manusia, kedua memelihara bakti kepada Allah sehingga tidak ada terkandung maksud-maksud jahat untuk membebaskan diri dari janji itu, walau yang dibawa berjanji itu musuh sekalipun. Padahal pada masa ayat ini turun dan proklamasi dibacakan, sudah terang bahwa Islam sudah mencapai kekuatannya dan teguh kekuasaannya sehingga kalau janji dimungkiri-nya, pihak musyrikin tidak akan dapat mengangkat mulut lagi, sebab mereka tidak ada kekuatan lagi.
Ayat 5
“Maka apabila telah luput bulan-bulan yang dihormati itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu dapati mereka."
Artinya, jika telah lepas yang empat bulan itu, sejak 10 Dzulhijjah tahun kesembilan, sampai 10 Rabi'ul Akhir tahun kesepuluh, hendaklah kamu perangi mereka. Adapun se-lama empat bulan itu, sebab mereka sedang diberi kesempatan berpikir, bahkan diberi kesempatan menyusun diri buat memerangi Islam. Dalam masa yang empat bulan itu diha-ramkan memerangi mereka, dan dihormatilah bulan yang empat itu. Lepas dari yang empat bulan, mulailah kembali waspada. Perangi mereka! Yah, bunuhlah mereka di mana saja mereka berada. Karena sudah terang bahwa mana yang tidak mengambil kesempatan tobat dalam masa yang empat bulan, tandanya mereka menyusun kekuatan buat melawan. Jangan mereka diberi kesempatan lagi, hantam terus! “Dan lawanlah mereka," apabila mereka telah dapat ditangkap di waktu melawan; “dan kepunglah mereka," apabila mereka telah berkumpul di satu tempat, menurut ilmu strategi perang, “Dan tunggulah mereka di tiap-tiap tempat pengintaian."
Yakni, jika mereka masih saja melawan atau mengumpulkan kekuatan hendak melawan, setelah lepas masa yang empat bulan, (sejak 10 Dzulhijjah tahun kesepuluh, sampai 10 Rabi'ul Akhir tahun kesebelas).
KETERANGAN TENTANG BULAN HARAM
Bulan Haram ialah bulan-bulan yang telah termasuk suasana haji. Pada bulan-bulan itu, terlarang berperang. Begitu telah dijadikan tradisi kabilah-kabilah Arab sejak zaman dahulu. Dan tradisi itu tidak diutik-utik oleh Islam. Bulan yang empat tidak boleh berperang itu ialah bulan Dzulqa'idah, Dzulhijjah, Muharram, dan bulan Rajab.
Tetapi khusus di dalam ayat-ayat ini, yang dimaksud ialah empat bulan sejak 10 Dzulhijjah sampai 10 Rabrul Akhir itu. Dalam masa empat bulan kaum musyrikin diberi kebebasan berjalan ke mana-mana. Mereka diizinkan masuk negeri Madinah dan negeri mana saja. Mereka berpikir untuk memeluk agama Islam. Lepas empat bulan, mereka sudah harus menentukan sikap. Dan pihak Islam pun sudah nyata pula sikapnya sebagaimana tersebut di dalam ayat ini. Maka sikap keras yang bersifat ultimatum itu diiringi dengan penjelasan yang lunak,
“Maka jika mereka tobat dan mereka dirikan shalat dan mereka keluarkan zakat, maka berikanlah jalan mereka."
Di sini ditegaskan bahwa kalau mereka telah menyatakan tobat, tidak lagi memercayai dan menyembah berhala, lalu mereka ucapkan sebagai pengakuan, “Asyhadu alla ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah", dan mereka buktikan pengakuan itu dengan mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, berikanlah mereka jalan. Artinya karena sikap yang demikian, mereka tidak akan diperangi lagi, tidak akan ditawan, di-kepung, dan diintai lagi.
Inilah satu perbincangan yang tegas dalam kalangan ahli fiqih Islam. Yaitu, mengucapkan dua kalimat syahadat saja belumlah cukup kalau belum diikuti dengan shalat Dan walaupun telah mendirikan shalat, mana yang telah memenuhi syarat zakat, yaitu harta yang lebih satu nishab dan telah sampai tahunnya, hendaklah dilakukan puia. Sehingga walaupun telah mendirikan shalat, tetapi tidak mau membayar zakat, sama juga artinya dengan belum Islam. Ini sebabnya maka setelah Sayyidina Abu Bakar menjadi Khalifah Rasulullah ﷺ, beliau mengambil sikap tegas memerangi Malik bin Nuwairah yang tidak mau membayarkan zakat.
Oleh sebab itu, setengah imam-imam madzhab berpendapat, orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kufur. Demikian juga tidak mau mengeluarkan zakat. Ini dikuatkan oleh hadits yang shahih (marfu') dirawikan dari Abdullah bin Umar,
“Aku diperintahkan memerangi manusia, sampai mereka mengucapkan: tidak ada Tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, dan mereka dirikan shalat dan mereka keluarkan zakat. Maka apabila telah mereka perbuat yang demikian itu, terpeliharalah daripadaku darah mereka dan harta mereka, kecuali menurut Hak Islam. Dan perhitungan mereka adalah atas Allah." (HR Bukhari dan. Muslim)
Kemudian datang lagi satu hadits, dirawikan oleh Bukhari dan tiga orang Ashhabus-Sunan, dari Anas bin Malik,
“Aku diperintahkan memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan, ‘Tidak ada Tuhan melainkan Allah. Apabila mereka telah mengucapkan itu, dan mereka shalatkan shalat kita dan mereka berkiblat kepada kiblat kita, dan mereka menyembelih menurut penyembelihan kita, jadi haramlah atas kita darah mereka dan harta benda mereka, kecuali menurut haknya. Dan perhitungan mereka adalah di atas Allah.'" (HR Bukhari dan tiga Ashhabus Sunan)
Maka pintu gerbang yang pertama dari Islam itu ialah pengakuan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan mengakui pula dengan sungguh-sungguh bahwa Muhammad ﷺ itu memang rasul (utusan) dari Allah. Dan, setelah kita tilik pertikaian ulama-ulama dan ahli-ahli fiqih Islam sejak dahulu kala, teranglah bahwa mengucap dua kalimat syahadat saja belumlah mencukupi kalau belum diikuti dengan shalat dan mengeluarkan zakat. Sebab shalat adalah tiang agama, jika shalat mulai runtuh, mulai pulalah agama runtuh. Baik pada diri pribadi orang yang bersangkutan, ataupun dalam rumah tangga mereka dengan anak dan istrinya, ataupun di dalam lorong kampung. Itu pula sebabnya maka kesempurnaan Islam itu diikuti lagi dengan shalat berjamaah, yang tiap-tiap waktu yang sekali sejum'at. Sampai Rasulullah ﷺ dalam salah satu sabdanya pernah berkata.
“Dari A betullah bin Mas'ud r. a., berkata dia, “Barangsiapa yang rindu hendak berjumpa dengan Allah kelak sebagai seorang Muslim, maka hendaklah dia memelihara atas shalat-shalat itu, ketika dia diseru kepadanya. Sesungguhnya, Allah telah mensyari'atkan bagi Nabi kamu ﷺ apa yang dinamai sunanil-huda. Maka ini semuanya adalah sunanil-huda. Kalau kamu shalat di rumah kamu saja, sebagaimana shalat orang yang terbelakang di rumahnya itu, maka kamu telah meninggalkan Sunnah Nabi kamu, dan kalau telah kamu tinggalkan Sunnah Nabi kamu, sungguh kamu telah tersesal." (HR Muslim, Abu Dawud, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah)
Lalu, diberi keterangan lagi apa arti dan maksud dari kalimat Sunanil Huda itu. Suna-nil Huda ialah mendirikan shalat berjamaah di suatu masjid yang orang dipanggil untuk datang dengan menyerukan adzan.
Sebuah lagi hadits dari Abu Darda,
Abu Darda berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ berkata, ‘Kalau ada tiga orang dalam satu Qaryah (desa) atau Badui, padahal tidak didirikan pada mereka shalat, pastilah mereka akan dikepung oleh setan. Hendaklah kamu semua berjamaah. Karena yang selalu diterkam sengala ialah kambing-kambing yang terpencil." (HR Imam Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban pada Shahih-nya dan al-Hakim)
“Dari Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah ﷺ berkata, Aku bermaksud memerintahkan kepada pemuda-pemudaku mengumpulkan kayu bakar untukku. Kemudian aku datangi kaum yang shalat di rumah mereka. padahal tidak ada sebab yang menghalangi; maka aku bakar rumah-rumah mereka." (HR Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)
Berbagai pendapat ahli-ahli fiqih sebagai yang saya terangkan sebelumnya. Sampai ada yang memegang pendirian bahwa barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja, walaupun satu waktu, namun qadhanya tidak ada lagi, selain tobat kembali, ulang syahadat kembali. Sebab dia telah keluar dari Islam. Tetapi pendirian yang keras itu tidak dapat kita pertahankan dalam keadaan zaman sebagai sekarang. Beratus tahun lamanya negeri-negeri Islam dijajah bangsa yang bukan Islam, Beratus tahun lamanya mereka dijauhkan dari masjid sehingga di zaman sekarang timbullah manusia-manusia yang namanya saja Islam, sehingga kalau kita pertahankan pendirian setengah Ulama yang mengatakan meninggalkan shalat dengan sengaja, kufur hukumnya, akan berangsur habislah bilangan Islam yang sejati.
Kewajiban kita sekarang ialah mengadakan dakwah agar kesadaran beragama itu timbul kembali. Jangan kita hanya mengharamkan orang yang shalat sendiri-sendiri di rumahnya, melainkan kita ajak, kita anjurkan, dan kita pimpin, agar mereka sudi berkumpul, berjamaah, di dalam dusun dan desa, teratak dan kampung. Di dalam lorong dan jalan-jalan kecil sebagai rukun tetangga.
Dengan begitu barulah semangat Islam itu mulai timbul kembali. Dan, kalau kita biarkan saja satu kampung atau lorong tidak mempunyai tempat shalat, walaupun langgar kecil, akan berangsurlah hilang semangat agama itu. Sebab agama ialah pergaulan.
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Allah akan memberi ampun dosa-dosa selama ini karena kaum musyrikin itu telah bertahun-tahun lamanya menentang Nabi. Dengan segeranya mereka bertobat, sesudah diberi kesempatan begitu luas sampai empat bulan, dosa mereka selama ini diampuni. Dan, Allah pun Maha Penyayang. Allah akan membimbing mereka dengan cinta kasih-Nya menjadi umat yang bersemangat baru, karena memegang teguh ajaran tauhid.
Dalam praktik kelangsungan ayat ini ialah bahwa dalam masa empat bulan itu telah berduyun-duyun seluruh musyrikin keliling Tanah Arab itu datang menyatakan diri memeluk agama Islam. Sebenarnya sejak Perjanjian Hudaibiyah pada tahun keenam; se-sudah menaklukkan Khaibar tahun ketujuh dan setelah Mekah ditaklukkan pada tahun kedelapan, kaum musyrikin tidak bangkit lagi. Ultimatum empat bulan diberi kesempatan itu, cuma tinggal menghabisi sisa kekuatan musyrikin saja. Sesudah Rasulullah ﷺ wafat memang datang gerakan yang bersifat pemberontakan dari pemimpin-pemimpin yang jauh dari Madinah. Sebagian mendakwakan diri pula bahwa mereka pun adalah Nabi. Aswad al-Ansi di Yaman, Thulaihah al-Asadi dari Bani Asad, Musailamah al-Kadzdzab di Yamamah (Nej), dan seorang lagi Malik bin Nuwairah tidak mau menghantarkan zakat ke Madinah. Dan seorang perempuan Nasrani bernama Sajjah bintil Harits mendakwakan pula dirinya jadi Nabiyah. Semua pemberontakan ini sudah dianggap diselesaikan oleh Abu Bakar di dalam masa pemerintahannya yang hanya 2 tahun.
Oleh sebab itu, kehendak Rasulullah ﷺ yang telah termaktub di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan telah dijalankan oleh Abu Bakar dengan baik. Pada zaman terakhir dari pemerintahannya yang pendek itu, seluruh musyrikin dan murtad Arab telah tunduk. Pe-mimpin-pemimpin pemberontakan dikalahkan dan dipatahkan belaka perlawanan mereka.
MINTA PERLINDUNGAN
Ayat 6
“Dan jika seorang dari orang musyrikin itu meminta perlindungan kepada engkau"
Dalam ayat ini bertemu kalimat istajaraka yang kita artikan meminta perlindungan atau meminta diterima jadi tetamu barang beberapa waktu dalam masyarakat kaum Muslimin. Dan sudah pula menjadi adat istiadat yang telah tua dalam kalangan orang Arab, memberikan perlindungan dan janji keamanan bagi orang yang datang meminta perlindungan. Firman Allah selanjutnya, “Maka berilah dia perlindungan."
Meskipun kepada kaum musyrikin itu diberi waktu empat bulan, dan setelah habis masa empat bulan itu, mereka belum juga menyatakan Islam sehingga telah bersiap orang menundukkan mereka, namun jika mereka datang ke dalam kota Madinah, kepada DaruI Islam, meskipun satu orang, hendaklah diberikan kepada mereka kesempatan, berikan jaminan aman dan perlindungan, “Sehingga dia mendengar Kalam Allah."
Beri mereka kesempatan memasuki pergaulan hidup orang Islam. Supaya mereka dapat menyaksikan sendiri perbedaan hidup dalam musyrik dengan hidup dalam iman. Supaya mereka dengar sendiri Kalam Allah dibacakan. Apalagi pada masa ayat diturunkan, Musyrikin itu adalah bangsa Arab dan berbahasa Arab juga. Jiwa mereka akan ter-pengaruh. Mereka akan menginsafi bahwa mereka secara pribadi tidaklah dibenci oleh kaum Muslimin. Yang diperangi selama ini bukan pribadinya, melainkan pahamnya yang salah di dalam memuja Allah."Kemudian itu sampaikanlah dia ke tempat keamanannya." Artinya, kalau mereka telah mohon diri hendak pulang ke tempat kaum keluarganya karena di sana mereka merasa lega bertemu kembali dengan mereka. Sampaikanlah mereka ke sana. Menyampaikan mereka ke sana ialah dengan membantu perjalanannya. Kalau dia tidak berkendaraan, beri dia kendaraan. Kurang belanja, beri mereka perbelanjaan. Dengan demikian, mereka telah ditaklukkan dengan budi bahasa Islam,
“Jadi demikian, ialah karena sesungguhnya mereka itu adalah suatu kaum yang tidak mengetahui."
Mereka menentang selama ini ialah karena mereka belum mengetahui hakikat yang sebenarnya. Moga-moga setelah mereka ketahui ini berubahlah pandangannya, luaslah pikirannya karena, “Tak kenal, maka tak cinta."
Selama ini, orang-orang itu hanya mendengarkan keburukannya dari pihak musuh-musuhnya. Maka dengan datangnya dia ke dalam masyarakat Islam, kesempatan yang baiklah memberi mereka pengertian. Tanda bukti dengan perbuatan kadang-kadang lebih besar pengaruhnya bagi mereka daripada susunan perkataan. Kedatangan mereka meminta perlindungan diri itu saja telah menunjukkan bahwa meskipun mereka tidak mengetahui Islam, namun mereka ada mempunyai perasaan yang baik. Penyelenggaraan dan perlin-dungan yang diberikan kepada mereka akan membawa kesan ke dalam hati yang baik itu. Dan, jika mereka bodoh, hendaklah dimaafkan kebodohan mereka. Sehingga pernahlah seorang badui yang baru datang itu kencing di dalam masjid sehingga ada sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ yang marah, tetapi ditegur Nabi ﷺ orang yang marah itu, dan beliau su-ruh saja mengambil air untuk menyiram bekas kencing itu, sehingga seakan-akan tidak ada kejadian saja.
Malahan perutusan Nasrani dari Najran diberi kesempatan shalat secara upacara agama mereka di dalam Masjid Madinah. Saat mereka hendak datang menghadap Rasulullah ﷺ pada hari yang telah ditentukan, mereka hendak mengenakan pakaian-pakaian resmi agama mereka, sebab mereka itu kebanyakan adalah uskup-uskup Nasrani. Beliau suruh saja mereka memakai pakaian mereka dalam perjalanan yang ringan sehingga bercakap lebih leluasa dengan beliau. Sebab utusan-utusan itu pada mulanya menyangka bahwa datang menghadap Muhammad ﷺ hendaklah dengan pakaian kebesaran lengkap, sebagaimana menghadap kaisar-kaisar mereka sendiri.
Padahal dengan pakaian demikian mereka akan terpengaruh protokol-protokol yang resmi sehingga tidak leluasa bercakap dari hati ke hati.
Maka baik utusan resmi dari salah satu kabilah atau negeri atau perutusan Ahlul Kitab, ataupun tetamu yang datang sementara, ataupun orang yang memang datang memohonkan perlindungan, semuanya sudah disambut dengan baik, dengan dakwah yang baik, dengan budi bahasa, dengan memberikan perbantuan belanja, maka bertambahlah besar pengaruh Islam ke dalam hati mereka. Itulah ikhtiar yang lain, yang lemah lembut, di samping bersikap keras, memerangi sampai tidak berkutik lagi kepada siapa yang melawan.
Dan, ayat ini pun menjadi contoh teladan bagi kita umat Muhammad ﷺ yang datang di belakangini, di dalam cara menghormati tetamu dari negeri lain, yang walaupun agama mereka lain dari agama kita, kita sambut dan hormati, kita berikan kepadanya nikmat beragama, kita tunjukkan semangat persaudaraan dan cinta yang diajarkan oleh Islam. Maka sambutan yang baik itu akan berkesanlah dalam hati mereka. Kalau selama ini mereka belum Islam, ialah karena mereka belum mengenal Islam dan belum pula mengenal bagaimana Islam itu dipraktikkan oleh umatnya.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah telah menulis dengan susunan yang baik sekali dari hal tertib sikap Rasulullah ﷺ terhadap kaum kafir dan munafik, sejak mulai beliau menerima tugas sebagai utusan Allah ke dunia ini, sampai beliau wafat menemui Tuhannya. Hal ini telah diterangkannya seketika beliau, Ibnul Qayyim menafsirkan surah Bara'ah ini.
Kata beliau, “Wahyu yang mula sekali beliau terima ialah ketika Allah memerintahkannya membaca dengan nama Tuhannya yang telah Menjadikan."
Itulah permulaan nubuwwat Dia diperintahkan membaca, semata-mata untuk dirinya, belum diperintahkan kepadanya menyampaikan kepada orang lain. Setelah itu, tak berapa lama kemudian turunlah wahyu,
“Wahai yang berselubung, berdirilah dan sampaikanlah ancaman." (al-Muddatstsir: 1-2)
Jadi, jelaslah bahwa perintah pertama menyuruhnya membaca, kemudian itu baru dia disuruh berdiri untuk menyampaikan ancaman. Kemudian dari itu diterangkanlah ke-padanya kepada siapa mula-mula ancaman itu mesti ditujukannya. Yaitu kepada keluarganya yang terdekat (‘asyiratul aqrabin). Kemudian, baru kepada kaumnya, sesudah itu hendaklah sampaikan seruan kepada orang Arab yang berada sekelilingnya. Kemudian itu hendaklah menyampaikan ancaman itu kepada seluruh bangsa Arab; dan sesudah itu kepada seluruh isi alam.
Maka dikerjakanlah tugasnya itu beberapa belas tahun (13 tahun) sesudah nubuwwat itu mengadakan seruan dan dakwah, dengan tidak mengadakan peperangan ataupun memungut jizyah. Diperintahkannya kepada para Mukmin agar menahan hati, sabar, dan pemaaf. Setelah itu, barulah dia diberi izin hijrah. Dan sesudah hijrah, baru diberi izin berperang. Kemudian diperintahkanlah dia memerangi orang yang memeranginya, dan tidak berperang dengan orang yang tidak memeranginya, dan kemudian diperintahkanlah dia memerangi musyrikin, sampai jadilah agama itu seluruhnya bagi Allah.
Sesudah itu diperintahkan melakukan jihad, maka sikap kepada orang kafir itu terbagi atas tiga macam:
• Ahli perdamaian dan perletakan senjata.
• Golongan yang tengah berperang.
• Golongan yang diberi zimmah (perlindungan dan jaminan).
Diperintahkan kepadanya agar terhadap kafir yang berdamai dan letak senjata agar dipenuhi janji, selama mereka pun masih memegang setia janji itu. Tetapi kalau dicurigai bahwa mereka akan mengkhianati janji, hendaklah batalkan janji itu seluruhnya. Tetapi mereka belum boleh diperangi sebelum diberitahu lebih dahulu bahwa kita membatalkan janji itu. Setelah itu barulah boleh pemungkir janji itu diperangi.
Setelah surah Bara'ah diturunkan, dijelaskanlah hukum terhadap ketiga golongan itu.
Diperintahkanlah memerangi Ahlul Kitab sampai mereka bersedia membayar jizyah atau masuk ke dalam Islam. Dan diperintahkan dengan tegas kepadanya supaya berjihad menghadapi kuffar dan munafik dan bersikap keras kepada mereka. Caranya ialah, terhadap kuffar hadapi dengan pedang dan senjata lain, dan terhadap munafik dengan hujjah dan lidah. Pada akhir sekali diperintahkan memutuskan segala hubungan janji dengan kuffar. Setelah itu, dibagi pula ahli perjanjian itu pada tiga bagian;
• Diperintahkanlah memerangi mereka, yaitu orang yang memungkiri janji. Perangi mereka sampai mereka tunduk.
• Mereka mengikat janji sampai pada waktu yang tertentu; dan mereka teguh memegang janji itu sampai waktunya. Maka Nabi diperintahkan supaya memelihara janji itu sampai kepada waktunya.
• Golongan yangtidakada janji apa-apa yang diikat dan mereka pun tidak memerangi Rasul, atau ada bagi mereka janji mutlak. Dalam hal ini Allah memerintahkan Rasui-Nya memberi mereka kesempatan empat bulan. Sehabis empat bulan itu, bolehlah mereka diperangi. Dibunuh mana yang mengkhianati janji, diberi kesempatan mana yang tidak mengikat janji atau janji mutlak, lamanya empat bulan. Diperintah pula beliau memenuhi isi janji sampai kepada masa yang ditentukan. Lantaran itu semuanya pun masuk Islam dan tidak ada lagi yang tetap dalam kafir sampai kepada masa yang ditentukan itu.