Ayat
Terjemahan Per Kata
وَوَصَّىٰ
dan telah mewasiatkan
بِهَآ
dengannya
إِبۡرَٰهِـۧمُ
Ibrahim
بَنِيهِ
anak-anaknya
وَيَعۡقُوبُ
dan Yaqub
يَٰبَنِيَّ
Wahai keturunan
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
ٱصۡطَفَىٰ
telah memilih
لَكُمُ
bagi kalian
ٱلدِّينَ
agama
فَلَا
maka jangan
تَمُوتُنَّ
kamu mati
إِلَّا
kecuali
وَأَنتُم
dan kalian
مُّسۡلِمُونَ
orang-orang yang tunduk (muslim)
وَوَصَّىٰ
dan telah mewasiatkan
بِهَآ
dengannya
إِبۡرَٰهِـۧمُ
Ibrahim
بَنِيهِ
anak-anaknya
وَيَعۡقُوبُ
dan Yaqub
يَٰبَنِيَّ
Wahai keturunan
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
ٱصۡطَفَىٰ
telah memilih
لَكُمُ
bagi kalian
ٱلدِّينَ
agama
فَلَا
maka jangan
تَمُوتُنَّ
kamu mati
إِلَّا
kecuali
وَأَنتُم
dan kalian
مُّسۡلِمُونَ
orang-orang yang tunduk (muslim)
Terjemahan
Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya dan demikian pula Ya‘qub, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu. Janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.”
Tafsir
(Dan Ibrahim telah mewasiatkan) maksudnya agama itu. Menurut suatu qiraat 'aushaa', (kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub) kepada anak-anaknya, katanya, ("Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu) yakni agama Islam, (maka janganlah kamu mati kecuali dalam menganut agama Islam!") Artinya ia melarang mereka meninggalkan agama Islam dan menyuruh mereka agar memegang teguh agama itu sampai nyawa berpisah dari badan.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 130-132
“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang membodohi dirinya sendiri. Dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sungguh dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.
(Ingatlah) ketika Tuhannya berfirman kepadanya, "Tunduk patuhlah" Ibrahim menjawab, "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam."
Dan Ibrahim telah mewasiatkan (perkataan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub, (Ibrahim berkata) "Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untuk kalian, maka janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam.”
Ayat 130
Ayat-ayat ini merupakan sanggahan dari Allah ﷻ terhadap orang-orang kafir atas apa yang telah mereka buat-buat dan hal-hal baru yang mereka adakan berupa kemusyrikan terhadap Allah ﷻdan bertentangan dengan agama Nabi Ibrahim, imam para Hunafa (orang yang berpegang pada kebenaran). Karena sesungguhnya dia hanya mengesakan Tuhannya dan tidak menyeru kepada siapa pun selain kepada Tuhannya. Dia tidak mempersekutukan-Nya barang sedikit pun dan membebaskan diri dari semua sesembahan selain-Nya. Untuk membela agamanya ini Nabi Ibrahim menentang semua yang disembah oleh kaumnya hingga dia membebaskan dirinya dari ayahnya yang berpihak kepada kaumnya.
Nabi Ibrahim berkata, seperti yang disitir oleh firman-Nya: “Dia berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan’.” (Al-An'am: 78-79).
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kalian sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi taufik kepadaku’." (Az-Zukhruf: 26-27).
“Dan permintaan ampun Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun” (At-Taubah: 114).
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif (berpegang pada kebenaran). Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan). Dia mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang yang saleh” (An-Nahl: 120-122).
Mengingat alasan-alasan yang telah disebutkan di atas serta lain-lainnya yang semakna, maka dikatakan di dalam firman-Nya: “Dan tiada yang benci kepada agama Ibrahim melainkan orang yang membodohi dirinya sendiri” (Al-Baqarah: 130). Dengan kata lain, dia berbuat zalim terhadap dirinya sendiri dengan membodohinya, dan buruk dalam berpikir karena meninggalkan kebenaran menuju kepada kebatilan; mengingat dia menyimpang dari jalan orang yang terpilih di dunia, diberikan hidayah dan bimbingan sejak dia kecil sampai Allah mengangkatnya menjadi kekasih-Nya, sedangkan dia di akhirat kelak menjadi salah seorang yang saleh lagi berbahagia. Barang siapa yang menyimpang dari jalan dan agama serta tuntunannya, lalu ia mengikuti jalan-jalan kesesatan dan kezaliman, maka perbuatan bodoh apakah yang lebih parah daripada hal ini? Dan perbuatan zalim manakah yang lebih besar daripada hal ini? Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: “Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar perbuatan zalim yang besar” (Luqman: 13).
Abul Aliyah dan Qatadah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi, karena mereka membuat jalan yang bukan dari sisi Allah, dan mereka bertentangan dengan agama Nabi Ibrahim dalam hal-hal yang mereka buat-buat itu.
Kebenaran dari takwil ini terbukti melalui firman-Nya: “Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang yang beriman” (Ali-Imran: 67-68).
Ayat 131
Adapun firman Allah ﷻ: (Ingatlah) ketika Tuhannya berfirman kepadanya, "Tunduk patuhlah" Ibrahim menjawab, "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam" (Al-Baqarah: 131). Yakni Allah memerintahkannya untuk berikhlas kepada-Nya, tunduk dan patuh kepada-Nya; dan ternyata Ibrahim a.s. menunaikan perintah Allah ini seperti apa yang telah dikehendaki oleh-Nya.
Ayat 132
Firman Allah Swt: “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub” (Al-Baqarah: 132).
Maksudnya Nabi Ibrahim mewasiatkan agama yang mengajarkan tunduk patuh kepada Allah ini kepada anak-anaknya; atau damir yang terkandung di dalam lafal biha kembali kepada ucapan Nabi Ibrahim yang disebutkan oleh firman selanjutnya, yaitu: Ibrahim menjawab, "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam” (Al-Baqarah: 131).
Itu karena keteguhan mereka dan kecintaan mereka kepada agama ini. Mereka tetap berpegang teguh kepadanya hingga meninggal dunia, dan bahkan sebelum itu mereka mewasiatkan kepada anak-anaknya agar berpegang teguh kepada agama ini sesudah mereka. Keadaannya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: “Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid ini kalimat yang kekal pada keturunannya” (Az-Zukhruf: 28).
Sebagian ulama Salaf membaca lafal Ya'qub dengan bacaan nasab yakni Ya'quba karena di-'ataf-kan kepada lafal banihi, seakan-akan Ibrahim mewasiatkannya kepada anak-anaknya, juga kepada cucunya (yaitu Ya'qub ibnu Ishaq) yang pada saat itu memang Ya'qub menghadirinya.
Imam Qusyairi menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Qurtubi darinya mengira bahwa Ya'qub hanya dilahirkan sesudah Nabi Ibrahim wafat. Akan tetapi, pendapat ini memerlukan dalil yang sahih. Menurut pendapat yang kuat hanya Allah yang mengetahuinya Ishaq mempunyai anak Ya'qub sewaktu Nabi Ibrahim dan Sarah masih hidup, karena berita gembira yang disebutkan pada ayat berikut ditujukan kepada keduanya (Nabi Ibrahim dan Siti Sarah), yaitu firman-Nya: “Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan sesudah Ishaq (lahir pula) Ya'qub” (Hud: 71). Ya'qub dapat pula dibaca nasab, yakni Ya'quba, atas dasar mencabut huruf khafad.
Sekiranya Ya'qub masih belum lahir di masa keduanya masih hidup, niscaya penyebutan Ya'qub di antara anak-anak Ishaq tidak mempunyai faedah yang berarti. Lagi pula karena Allah ﷻ telah berfirman di dalam surat Al-'Ankabut, yaitu: “Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub, dan Kami jadikan kenabian dan Al-Kitab pada keturunannya” (Al-'Ankabut: 27) hingga akhir ayat. Allah ﷻ telah berfirman di dalam ayat yang lain, yaitu: “Dan kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim) Ishaq dan Ya'qub sebagai suatu anugerah (dari Kami)” (Al-Anbiya: 72). Hal ini semua menunjukkan bahwa Nabi Ya'qub memang telah ada semasa Nabi Ibrahim a.s. masih hidup.
Dan sesungguhnya Nabi Ibrahim-lah yang mula-mula membangun Baitul Maqdis, seperti yang disebutkan oleh kitab-kitab terdahulu. Di dalam kitab Shahihain telah disebutkan sebuah hadis melalui Abu Dzar yang menceritakannya:
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, masjid manakah yang mula-mula dibangun di muka bumi? Nabi ﷺ menjawab, "Masjidil Haram" Aku bertanya, "Kemudian masjid mana lagi?" Nabi ﷺ menjawab, "Baitul Maqdis." Aku bertanya, "Berapa lamakah jarak di antara keduanya? Nabi ﷺ menjawab, "Empat puluh tahun," hingga akhir hadis.
Ibnu Hibban menduga bahwa jarak masa antara Nabi Sulaiman - yang menurutnya dialah yang membangun Baitul Maqdis, padahal kenyataannya dia hanya merenovasi dan memperbaharuinya sesudah mengalami banyak kerusakan, lalu dia menghiasinya dengan berbagai macam hiasan - dan Nabi Ibrahim adalah empat puluh tahun.
Pendapat ini merupakan salah satu pendapat Ibnu Hibban yang menjadi bumerang baginya, karena sesungguhnya jarak di antara Nabi Ibrahim dan Nabi Sulaiman lebih dari ribuan tahun. Lagi pula sesungguhnya wasiat Ya'qub kepada anak-anaknya akan disebutkan dalam ayat berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa Ya'qub adalah termasuk orang yang berwasiat (bukan orang yang menerima wasiat. Dengan kata lain, bacaan rafa'-lah yang lebih kuat, yaitu Ya'qubu).
Firman Allah ﷻ: “Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kalian, maka janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam” (Al-Baqarah: 132). Artinya, berbuat baiklah selama kalian hidup, dan berpegang teguhlah kalian kepada agama ini agar kalian diberi rezeki wafat dengan berpegang teguh padanya; karena sesungguhnya manusia itu biasanya meninggal dunia dalam keadaan memeluk agama yang dijalankannya, dan kelak dibangkitkan berdasarkan agama yang ia bawa mati.
Sesungguhnya Allah telah memberlakukan kebiasaan-Nya, bahwa barang siapa yang mempunyai tujuan baik, maka Dia akan menuntunnya ke arah kebaikan itu dan memudahkan jalan baginya ke arah kebaikan. Barang siapa yang berniat melakukan kesalehan, maka Allah akan meneguhkannya dalam kesalehan itu. Hal ini tidaklah bertentangan dengan sebuah hadis sahih yang mengatakan: “Sesungguhnya seseorang itu benar-benar mengerjakan amal perbuatan ahli surga, hingga jarak antara dia dan surga hanya tinggal satu depa lagi atau satu hasta lagi; tetapi takdir menghendaki lain, akhirnya dia melakukan amal perbuatan ahli neraka dan masuklah ia ke dalam neraka.
Dan sesungguhnya seseorang itu benar-benar mengerjakan amal perbuatan ahli neraka, hingga jarak amara dia dan neraka hanya tinggal satu depa atau satu hasta lagi; tetapi takdir menghendaki lain, maka akhirnya dia mengamalkan amalan ahli surga dan masuklah ia ke dalam surga.”
Dikatakan ini tidak bertentangan karena di dalam riwayat yang lain dari hadis ini dijelaskan bahwa amal perbuatan ahli surga itu menurut apa yang tampak di mata manusia, dan amal ahli neraka tersebut menurut apa yang tampak di mata manusia. Karena sesungguhnya Allah ﷻ telah berfirman dalam ayat lainnya, yaitu: “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar” (Al-Lail: 5-10).
Salah satu faktor yang membuat kedudukan Nabi Ibrahim tinggi di dunia dan akhirat adalah Islam, yaitu penyerahan diri sepe nuhnya kepada Allah. Dan Ibrahim pun mewasiatkan ajaran penyerahan diri itu kepada anak-anaknya, Ismail dan Ishak. Demikian pula Yakub, ia berwasiat kepada anak-anaknya, Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama penyerahan diri ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim yang berserah diri. Orang-orang Yahudi berkata kepada Rasulul lah, Tidakkah engkau tahu bahwa Yakub'yang juga disebut Israil'menjelang kema tiannya berwasiat kepada anak-anaknya untuk memeluk agama Yahudi' Untuk menjawab hal itu Allah menurunkan ayat ini. Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Yakub, ketika dia berkata kepada anakanaknya, Apa yang kamu sembah sepeninggalku' Tentu orang-orang Yahudi itu tidak menyaksikan nya, sehingga ucapan mereka hanya dusta belaka. Menjawab pertanyaan Nabi Yakub, mereka, yakni anak-anak Nabi Yakub, menjawab, Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail, dan Ishak, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dan kami hanya berserah diri kepada-Nya. (Lihat: Surah a'li Imra'n/ 3: 84).
Ibrahim dan Yakub berwasiat kepada putra-putranya, demikian juga yang dilakukan oleh cucunya Yakub kepada putra-putranya bahwa Allah telah memilihkan agama yang paling baik bagi mereka dan mengingatkan mereka agar menganut agama itu selama-lamanya, dan jangan sampai mati kecuali dalam keadaan Muslim. Agama yang dimaksud adalah agama Islam. Allah menegaskan bahwa agama yang hak di sisi-Nya ialah agama Islam. Allah berfirman:
Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya. (Ali 'Imran/3: 19)
Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi. (Ali 'Imran/3: 85)
Agama yang dibawa Ibrahim itu terdapat pula di dalam kitab Musa (Taurat). Allah ﷻ berfirman:
Sesungguhnya ini terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa. (al-A'la/87: 18,19)
Katakanlah, "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. ?" (al-Baqarah/2: 136)
Allah tidak membeda-bedakan para nabi dan rasul yang diutus-Nya. Allah berfirman:
"?Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya." (al-Baqarah/2: 136)
Karena itu, Allah memerintahkan Nabi Muhammad dan kaum Muslimin beriman kepada para nabi dan rasul-Nya. Iman kepada para nabi dan rasul serta apa yang dibawanya termasuk rukun iman.
Dari perkataan "Ibrahim telah mewasiatkan ..." dapat dipahami:
1. Bahwa yang diwariskan itu adalah suatu hal yang sangat penting. Berbahaya bagi kehidupan bila wasiat itu tidak dilaksanakan. Karena itu di dalam ayat digunakan perkataan:
a. "Wasiat" bukan "memerintahkan". Perkataan "wasiat" menunjukkan bahwa sesuatu itu sangat penting.
b. "Anak-anaknya", bukan "orang lain". Menurut kebiasaan, berwasiat kepada "anak-anak sendiri" itu diharapkan lebih mungkin terlaksana dibandingkan dengan wasiat kepada orang lain.
2. Di dalam ayat ini disebut bahwa yang berwasiat itu ialah Ibrahim a.s. dan Yakub a.s. seakan perkataan itu dipisahkan. Hal ini memberi pengertian bahwa yang disuruh melaksanakan wasiat itu bukan hanya keturunan Ibrahim a.s. dan cucunya Yakub a.s. (Bani Israil) saja, tetapi wasiat itu mencakup seluruh anak cucu Ibrahim dan seluruh kaum Muslimin, termasuk di dalamnya keturunan Ismail a.s.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 130
“Dan siapakah yang akan enggan dari agama ibrahim itu kalau bukan orang telah memperbodoh dirinya."
Apakah sikap agama yang lebih tepat dan yang lebih benar daripada menyerahkan diri dengan tulus ikhlas kepada Allah? Kamu, hai keturunan Ibrahim, yang meramaikan Ka'bah itu, yang hidup aman damai di sekelilingnya dan menerimai pusaka itu, bukankah kebodohanmu jua yang menyebabkan kamu enggan kembali kepada hakikat ajaran Ibrahimu itu? “Padahal sesungguhnya Kami telah memilih dia di dunia ini." Dia telah menjadi imam bagi manusia dan telah berkembang anak-cucunya melanjutkan ajarannya.
“Dan sesungguhnya dia di akhirat adalah dari orang-orang yang saleh."
Termasuk daftar orang-orang yang mulia yang mendapat kedudukan tinggi di sisi Tuhan, Ayat yang selanjutnya memberikan penegasan lagi,
“Tatkala berfirman kepadanya Tuhannya,
Ayat 131
“Bersenah dirilah engkau!' Dia menjawab, ‘Aku serahkan diriku kepada Tuhan bagi sekalian alam.'"
Allah berfirman, “Aslim! Berserah dirilah engkau'."
Ibrahim menjawab, “Aslamtu li Rabbil ‘alamin'. Aku telah menyerahkan diriku, jiwa dan ragaku kepada Allah Tuhan sarwa sekalian alam. Aku tidak berpaling sedikit jua pun kepada yang lain." Dari sinilah asal kata Islam itu. Dengan demikian, sejak semula sudahlah terang bahwa berhala, atau patung, atau kayu, ataupun batu, atau manusia yang diagung didewakan sudah tidak diakui sama sekali.
Kemudian datanglah ayat berikutnya,
Ayat 132
“Dan telah memesankan (pula) Ibrahim dengan itu kepada anak-anaknya dan Yakub."
Artinya, tatkala Ibrahim telah dekat akan wafat, dipanggilnyalah sekalian putranya untuk menyampaikan wasiatnya. Putra beliau yang terkenal ialah Isma'il dan Ishaq. Ibu Isma'il ialah Hajar, istri muda beliau yang dari gundik. Ibu Ishaq ialah Sarah. Tersebut juga bahwa ada lagi istri beliau yang ketiga, bernama Katura. Dari Katura ini beliau beroleh putra Zimram, Yoksan, Medan dan Madyan, Isbak dan Suah. Di antara cucu-cucunya yang telah besar di waktu beliau akan wafat itu ialah Ya'kub anak Ishaq. Ya'kub pun turut hadir di kala Ibrahim akan melepaskan napasnya yang penghabisan. Maka kepada anak-anak dan cucu itulah beliau pesankan wasiat terakhir, yaitu supaya mereka semuanya menyerahkan diri kepada Allah (Muslimun), jangan mempersekutukan yang lain dengan Dia, dan jangan menyembah berhala. Maka di antara wasiat beliau itu ialah,
“Wahai, anak-anakku. Sesungguhnya, Allah telah memilihkan untuk kamu suatu agama. Maka janganlah kamu mati melainkan hendaklah kamu di dalam Muslimin."
Artinya, sampai akhir hayat dikandung badan, pegang teguhlah agama yang satu ini, agama menyerahkan diri sepenuh dan sebulatnya kepada Allah, tidak bercabang kepada yang lain, tidak mempersekutukan, dan tidak mengatakan bahwa Dia beranak atau diperanakkan. Bahkan sampai kamu menutup mata, hendaklah tegas pegangan kamu, yaitu: Tiada Tuhan Melainkan Allah.
Ayat 133
“Atau apakah kamu menyaksikan, ketika telah dekat kepada Ya'kub kematian, tatkala dia berkata kepada anak-anaknya, ‘Apakah yang akan kamu sembah sepeninggalku?'"
Atau, apakah kamu menyaksikan? Suatu pertanyaan yang bersifat pengingkaran. Pertanyaan yang dihadapkan kepada orang Yahudi ataupun Nasrani, yang mengatakan bahwa Isma'il atau Ya'kub adalah pemeluk agama Yahudi ataupun agama Nasrani. Datang pertanyaan seperti ini yang maksudnya boleh diartikan, “Apakah kamu tahu benar apa wasiat Ya'kub kepada anak-anaknya tidak lain adalah menanyakan, apakah atau siapakah yang akan kamu sembah kalau aku telah meninggal dunia?" Di dalam ayat ini diterangkan dengan jelas apa bunyi jawaban dari anak-anaknya itu,
“Mereka menjawab, ‘Kami akan menyembah Tuhan engkau dan Tuhan bapak-bapakmu Ibrahim dan Isma'il dan Ishaq, yaitu Tuhan Yang Tunggal, dan kepada-Nyalah kami akan menyerah diri.
Di ujung ayat ini dijelaskanlah bahwa jawaban anak-anak Ya'kub tidak berubah sedikit jua pun dengan apa yang telah mereka pegang teguh selama ini, yaitu agama ayah mereka dan datuk-nenek mereka; tidak ada Tuhan yang lain melainkan Allah. Sesudah mengakui bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, mereka pun mengaku pula bahwa tempat menyerahkan diri hanya Allah itu pula, tidak ada yang lain, dan itulah yang disebut di dalam bahasa Arab: Islam.
Ayat 134
“Mereka itu adalah umat yang telah lampau."
Setelah ayat-ayatyang di atas menguraikan panjang lebar dari hal Nabi Ibrahim, Nabi Isma'il, dan Nabi Ishaq dan menurunkan Bani Israil, menjadi kebanggaanlah pada umat keturunan mereka yang mendengar ayat-ayat ini apabila nenek moyang mereka diper-katakan. Memang nama-nama yang mulia itu telah meninggalkan bekas sejarah yang baik, tetapi mereka sekarang sudah tak ada lagi. Memang keturunan Ibrahim, dari Bani Isma'il dan Bani Israil, adalah pendukung ajaran ketuhanan yang murni, yaitu pengakuan atas keesaan Allah, tetapi hanya tinggal riwayat “Mereka akan beroleh apa yang teiah mereka usahakan!' Artinya, segala usaha mereka, perjuangan mereka, suka dan duka mereka di dalam menegakkan kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa itu, yang tidak bersekutu yang lain dengan Dia, tidaklah lepas dari tilikan Allah, “Dan kamu pun akan beroleh (pula) hasil dari apa yang kamu usahakan “ Artinya, tidaklah kamu yang datang di belakang ini akan mendapat pahala dari hasil usaha umat yang telah lampau itu. Tidak pada tempatnya kamu membanggakan hasil usaha umat yang telah lampau itu, yang telah istirahat di alam kubur, sedangkan kamu tidak berusaha melanjutkannya. Kamu baru akan mendapat
pahala kalau katnu membuat usaha sendiri pula.
“Dan tidaklah kamu akan diperiksa dari hal apa yang telah Mereka kerjakan."
Salah atau benar hasil usaha orang yang telah terdahulu itu tidaklah ada sangkut pautnya dengan kamu yang datang di belakang; barulah mendapat pahala pula kalau kamu menghasilkan pekerjaan yang baik.
***
Ayat 135
“Dan mereka berkata, ‘Menjadilah kamu Yahudi atau Nasrani supaya kamu dapat petunjuk."
Orang Yahudi berkata, “Masuklah ke dalam agama Yahudi supaya kamu mendapat petunjuk." Orang Nasrani pun berkata begitu pula. Sekarang, setelah dijelaskan duduk perkara, yaitu bahwa yang ditegakkan oleh Muhammad ﷺ adalah agama Nabi Ibrahim, menyerah diri dengan segala tulus ikhlas kepada Allah, dan agama itu jauh terlebih dahulu daripada apa yang dinamakan agama Yahudi atau apa yang dinamakan agama Nasrani, dapAllah disambut seruan mereka mengajak masuk agama mereka itu."Katakanlah, ‘Bahkan agama Ibrahim yang lurus!" Agama Ibrahim adalah agama yang lurus. Demikian kita artikan kata hanif. Kadang-kadang diartikan orang juga condong sebab kalimat itu pun mengandung arti condong. Maksudnya satu lurus menuju Allah atau condong hanya kepada Allah, tidak membelok kepada yang lain. Sebab itu, di dalamnya terkandung juga makna tauhid. Itu-lah agama Nabi Ibrahim,
“Dan bukanlah dia dari orang-orang yang musyrik."
Oleh sebab agama Nabi Ibrahim adalah lurus kepada Allah dan Ibrahim itu sendiri bukanlah seorang yang mempersekutukan Allah dengan yang lain, dan itu agama yang kami pegang, perlu apa lagi kami masuk ke agama Yahudi atau agama Nasrani. Sebab kalau kedua agama itu berasal lurus pula, tidak mempersekutukan Allah dengan yang lain, perlu apa lagi masuk ke agama yang dua itu, padahal dia pun timbul jauh kemudian di belakang Nabi Ibrahim. Dan lalu pemuka kedua agama itu mengatakan bahwa agama mereka memang agama Nabi Ibrahim juga.
Ayat 136
“Katakanlah olehmu!"
Seruan memakai kamu ini ialah kepada umat beriman pengikut Nabi Muhammad ﷺ Artinya, terangkanlah pendirian Islam yang sebenarnya tentang agama, “Kami percaya kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami," yaitu Al-Qur'an yang disampaikan oleh Nabi Muhammad ﷺ"Dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il dan Ishaq dan Ya'kub dan anak-cucu." Dan sudahlah dijelaskan tadi bahwasanya dasar ajaran Ibrahim yang dilanjutkan oleh Isma'il, nenek moyang orang Arab dan Ishaq dan Ya'kub nenek moyang Bani Israil adalah satu jua, yaitu menyerah diri kepada Allah. Ini pun dipegang teguh oleh anak-cucu mereka, yaitu anak Nabi Ya'kub yang dua belas orang dan keturunan mereka.
“Dan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa dan apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka; tidaklah Kami membeda-bedakan di antara seorang pun dari Mereka, dan kami kepada-Nya, semua menyerah diri."
Inilah dia pokok ajaran Islam. Segala nabi-nabi itu sama-sama dipercayai dan diimani. Kepada Ibrahim dan anak-anaknya diturunkan wahyu; kami percaya akan ajaran itu. Kepada Musa dan Isa diberikan Taurat dan Injil; kami pun percaya bahwa Tuhan memang memberikan kitab-kitab itu kepada mereka. Dan nabi-nabi yang lain pun ada yang diberi kitab-kitab, shuhufatau Zabur. Semuanya itu adalah dalam kepercayaan kami. Dan kepada Allah sendiri kami tetap menyerah diri, kami tetap Muslim.
Ayat 137
“Maka jika Mereka telah percaya sebagaimana yang kamu telah percaya sesungguhnya telah dapat petunjuklah Mereka."
Dengan pangkal ayat ini mereka diajak berpikir yang waras, yang logis (menurut manthiq).
Kalau mereka sudi menurut pikiran yang teratur, tidak dipengaruhi oleh hawa nafsu mempertahankan golongan, tentu mereka akan menyetujui, yaitu bahwa sekalian nabi, sejak dari Ibrahim sebagai nenek moyang sampai kepada Isma'il, sampai kepada Musa sebagai rasul pahlawan pembebas Bani Israil dari belenggu perbudakan Fir'aun, sampai kepada Isa al-Masih, sebagai pemberi peringatan kembali akan pokok ajaran Taurat, adalah semuanya beliau-beliau itu penegak dari hanya satu paham saja, yaitu menyerah diri kepada Allah yang Tunggal. Kalau mereka telah menyetujui ini dengan sendirinya mereka telah memegang petunjuk itu, artinya itulah hakikat yang ditegakkan oleh Nabi Muhammad ﷺ sebagai penyambung usaha nabi-nabi yang dahulu itu.
Mari kita perhatikan bunyi ayat sekali lagi. Di dalam ayat ini tidak ada perkataan “masuklah ke dalam agama kami ini supaya kamu mendapat petunjuk seperti kami pula", tetapi susunan ayat lebih halus dari itu, yaitu kalau kamu telah benar-benar menyerah diri dengan tulus ikhlas kepada Allah, dengan sendirinya kamu telah mendapat petunjuk. Maka dengan ayat ini, kita yang telah mengakui diri orang Islam, karena kebetulan kita keturunan orang Islam, diberi pula peringatan bahwa Islam yang sebenarnya ialah penyerahan diri yang sebenarnya kepada Allah, disertai ikhlas, tidak bercabang kepada yang lain. Meskipun bernama orang Islam, tetapi jika penyerahan diri tidak bulat kepada Allah, sama sajalah dengan orang Yahudi dan Nasrani, yang mengambil persandaran kepada nabi-nabi Allah pada nama, padahal tidak pada hakikat. Maka sesuailah semuanya itu dengan maksud ujung ayat, “Tetapi jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka akan berpecah-belah."Terang sekali tujuan ayat ini. Persatuan seluruh umat manusia hanya akan tercapai bilamana penyerahan mereka hanya satu, yaitu kepada Allah saja. Apabila berpaling dari Allah kepada yang lain, niscaya perpecahanlah yang timbul.
Perselisihan yang terjadi di antara penyembah berhala sesama penyembah berhala, semuanya tidak akan membahayakan bagi Rasul dan orang yang beriman kepada ajarannya, asal mereka tidak berganjak dari pendirian yang digariskan itu, bahkan merekalah yang akan membawa damai bagi segala yang bertentangan: fa sayakfikahumullah! Allah akan menyelamatkan engkau dari mereka. Ayat sekelumit kecil ini amat luas yang dicakupnya. Asal pegangan sudah ada, asal tauhid sudah matang, janganlah bimbang menghadapi hidup. Tidak ada setan yang akan dapat memperdayakan, tidak ada jin yang akan dapat memengaruhi, tidak ada manusia yang akan dapat membujuk. Demikian luas dan dalamnya pengaruh firman Allah yang sepatah ini, sehingga dia dapat kita ingat di waktu-waktu kita menghadapi bahaya. Apa pun yang kita hadapi, Allah akan tetap menyelamatkan dan memelihara kita, asal kita pun ingat selalu kepada-Nya.
“Karena Dia adalah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui."
Kemudian diberikan Allah-lah jaminan yang tertinggi atas nilai pendirian agama Nabi Ibrahim itu, maka firman Allah,
Ayat 138
“Celupan Allah, dan siapakah lagi yang lebih bagus celupannya daripada Allah."
Shibghatallahi ‘celupan Allah'! Berkata al-Akhfasy dan lain-lain, “Celupan Allah artinya Agama Allah!"
Menurut satu riwayat dari Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dart Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dengan celupan Allah ialah agama Allah. Menurut keterangan yang disampaikan oleh Abdullah bin Humaid dan Ibnu Jarir dari Mujahid bahwa maksud “celupan Allah" itu ialah fitrah Allah atau kemurnian Allah yang telah difitrahkan manusia atasnya.
Celupan Allah atas alam ini adalah keindahan yang asli, yang di dalam filsafat disebut estetika. Maka manusia yang sanggup mendekati keindahan yang asli itu sekali lagi kita katakan; mendekati! Manusia yang sanggup mendekati keaslian itu dalam lukisannya, dalam campuran warnanya, dinamai seniman. Bertambah pandai mereka mendekati, bertambah agunglah mereka dalam pandangan para peminat seni. Sebab itu, kebenaran seni bukanlah keasliannya, melainkan pula kesanggupannya mendekati keaslian.
Begitu uratan kita tentang tafsir celupan itu, yang pertama, yaitu celupan atau campuran warna ciptaan Allah yang tidak dapat diatasi oleh siapa pun dalam alam ini.
Penafsiran yang kedua sebagai dari tabi'in yang ternama, yaitu Mujahid, arti celupan ialah fitrah, yang dapat kita artikan warna asli atau celupan asli dari jiwa manusia. Dan menurut penafsiran Qatadah tadi, dikatakan bahwasanya keyahudian atau kenasranian adalah celupan buatan manusia yang dicelupkan oleh ayah kepada anak atau celupan pendeta, yang sewaktu-waktu pasti luntur. Maka Islam yang berarti penyerahan diri yang sungguh-sungguh kepada Zat Allah Yang Maha Esa adalah celupan asli pada akal manusia. Sama terjadinya dengan akal itu sendiri. Sebab itu, dapAllah dipahami suatu hadits shahih yang terkenal bahwasanya manusia seluruhnya ini dilahirkan dalam fitrah, artinya dalam Islam, Cuma pendidikan ayah bundanyalah yang membuat anak jadi Yahudi, jadi Nasrani, atau jadi Majusi.
“Dan kami, kepada-Nyalah kami menghambakan …."
Kalau kita ambil tafsiran yang pertama tadi, yaitu bahwa celupan Allah atas alam, dengan berbagai ragam warna, tidaklah dapat diatasi oleh pencelup yang lain, atau keindahan alam karena keindahan Allah. Kita sampai kepada inti sari agama dengan melihat benda yang nyata di sekeliling kita. Kita mengakui beribadah kepada Allah. Di sini, kita mendapat Allah di dalam seni.
Kalau kita ambil penafsiran kedua bahwa celupan Allah yang asli itu ialah keadaan fitrah manusia, jiwa murni manusia, belum dicampuri oleh celupan dan lukisan warna manusia, yang bisa rusak karena hujan dan panas, sampailah kita kepada hakikat hidup, artinya sampailah kepada Allah dari segi keruhanian. Di sini, kita mendapat Allah dari segi filsafat. Sebab campuran warna yang lahir telah menimbulkan kesan kepada campuran warna yang batin.
Di samping kedua tafsiran tadi, shibghah dengan makna warna-warni yang diciptakan Allah di dalam alam, yang menimbulkan minat kesenian, dan shibghah dengan arti fitrah, celupan asli jiwa manusia, bertemu lagi kete-rangan dari setengah ahli tafsir. Kata mereka, asalnya maka timbul kata celupan ini ialah karena orang Nasrani membaptiskan putranya dengan air, yang mereka namai ma'mudiyah atau baptisan atau di-doop, atau dipermandi-kan, barulah mereka berkata “shibghatallah" celupan Allah, artinya Islam, inilah permandian yang betul.
Bila kita renungkan penafsiran yang ketiga ini, dapatlah kita menarik garis perbedaan paham tentang kesucian jiwa di antara Islam dan Nasrani. Di dalam Islam, anak lahir ke dunia dalam keadaan suci, tidak ada dosa dan bersih (fitrah). Setelah datang ke dalam lingkungan orang tuanya, barulah anak itu mempunyai warna yang tidak asli. Oleh sebab itu, hendaklah pendidikan orang tua memelihara dan menumbuhkan kemurnian anak itu di dalam hidupnya, agar tidak terlepas daripada beribadah kepada Allah. Sedang bagi agama Nasrani adalah sebaliknya; anak lahir ke dunia adalah dalam dosa, yaitu dosa waris dari Nabi Adam. Setelah dipermandian dengan air serani itu, barulah dia bersih dari dosa. Karena dengan permandian itu berarti dia telah diberkati oleh Yesus Kristus yang dianggap sebagai Tuhan yang menebus dosa manusia dengan mati di kayu palang.
Setelah mengakui celupan Allah, yang satu kuasa pun tidak sanggup menyamai, usah pun melebihi celupan Allah, seorang yang beriman bertambah insaf akan kebesaran Allah. Keinsafan itu dibuktikannya dengan berbuat baik. Beribadah mempertahankan diri. Sebab itu, jelaslah bahwa peribadatan timbul sesudah berpikir.
Bagaimana orang yang telah mencoba pendirian demikian, hanya Allah tempat mereka berabdi, menyembah dan memuja, akan dapat diajak turun kembali pergi menyembah sesama makhluk?
Ayat 139
“Katakanlah, ‘Apakah kamu hendak membantah kami perihal Allah?"
Apakah kamu hendak membantah kami karena pada sangkamu bahwa Allah telah menentukan hanya Bani Israil-lah kaum yang terpilih. Nabi-nabi dan rasul-rasul hanyalah dari Bani Jsrail."Kami Bani Israii adalah kekasih Allah dan anak-anak Allah. Dan kalau masuk neraka, kami hanya berbilang hari saja." Pendeknya dalam tingkah dan caramu selama ini, kamu hendak memonopoli Allah hanya untuk kamu. Bagaimana kamu mendakwakan demi-kian, wahai saudara-saudara kami AhluI Kitab? “Padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu?" Kita sama-sama makhluk-Nya. Jika nabi-nabi ada dalam kalangan Bani Israii, maka dalam kalangan Bani Isma'il pun apa salahnya ada nabi? Apakah kamu sangka bahwa umat yang telah memercayai Allah dan menyerah diri kepada-Nya bukanlah umat yang utama? Melainkan yang menjadi pengikut kamu saja yang utama? “Dan bagi kami adalah amalan kami dan bagi kamu amalan kamu." Mengapa kita harus bertengkar berbantah-bantah. Marilah kita masing-masing pihak beramal, bekerja, berusaha. Bukankah agama yang benar adalah mementingkan amal? Kalau kita bertengkar dan berbantah, niscaya amal menjadi telantar “Dan kami terhadap-Nya adalah ikhlas."
Kami terhadap Allah, ikhlas, bersih tidak terganggu oleh niat yang lain sebab kepercayaan kami tidak bercabang kepada yang lain.
Ayat 140
“Ataukah kamu katakan, ‘Sesungguhnya, Ibnahim dan Isma'il dan Ishaq dan Ya'kub dan anak-cucu adalah semuanya Yahudi dan Nasrani."
Artinya, bahwa orang Yahudi akan mengatakan Ibrahim dan keturunannya itu adalah Yahudi. Nasrani mengatakan demikian pula, mereka semuanya adalah Nasrani. Kalau mereka berkata demikian, “Katakanlah—wahai utusan-Ku, ‘Apakah kamu yang lebih tahu ataukah Allah?'" Dapatkah kamu mengemukakan bukti bahwa nama Yahudi sudah ada di zaman Ibrahim, Isma'il, Ishaq, dan Ya'kub? Nama Yahudi kamu ambil dari Yahuda anak Ya'kub, sebagai nama agama. Mulanya hanya nama dari keturunan satu suku, lama-lama kamu jadikan nama agama. Bagaimana kamu mengatakan nenek moyang itu beragama Yahudi? Kitab Talmud pegangan kamu, kumpulan peraturan dari pendeta-pendeta kamu, lama sesudah Nabi Musa barulah ada. Bagaimana kamu mengata-kan nenek moyang itu beragama Yahudi?
Apakah lagi agama Nasrani. Di zaman Isa al-Masih sendiri nama agama Nasrani atau Kristen belum ada atau belum pernah terdengar. Barulah Paulus kemudian meresmikan nama Masehi atau Kristen, yaitu setelah Nabi Isa sendiri meninggal dunia! Dan ketentuan, upacara peribadatan, pembaptisan, dan sebagainya itu belumlah dikenal di zaman Nabi Ibrahim, Isma'il, Ishaq, dan Ya'kub serta anak-cucu mereka itu. Hal ini jelas tertulis di dalam Kitab Perjanjian Baru sendiri, yaitu di dalam Kisah Segala Rasul, Pasal 11. Di dalam ayat 19 sampai ayat 25 dinyatakan bahwa pada mulanya setelah Isa al-Masih meninggalkan dunia, murid-muridnya hanya menyebarkan ajaran al-Masih dalam kalangan Yahudi saja. Akan tetapi, karena tantangan yang keras dari orang Yahudi di Jerusalem sendiri sehingga seorang di antara murid itu yang bernama Stepanus mati dibunuh orang Yahudi, ber-cerAl-berailah murid-murid al-Masih itu. Ada yang mengembara ke Cyprus dan ada yang berangkat ke Cyrania. Dan, ada yang berangkat ke Antiochia, mencoba menyebarkan ajaran itu pula kepada orang Greek (Yunani). Seorang di antara murid al-Masih bernama Barnabus, berangkat ke Tarsus dan di sana bergabung dengan Paul (Paulus) dan menyebarkan ajaran al-Masih bersama-sama, dan melanjutkan perjalanan ke Antochia."Tatkala dijumpainya dia, lalu dibawanya ke Antiochia."
Demikianlah setahun genap lamanya keduanya itu berhimpun bersama-sama dengan sidang Jum'at serta mengajar beberapa banyak orang. Maka di Antiochialah murid-murid itu mula-mula disebut orang Kristen.
Jadi, nama Kristen, Nasrani, atau Masehi itu tidaklah dalam zaman Isa al-Masih itu sendiri dan bukanlah beliau yang memberikan nama itu, melainkan murid-muridnya sesudah dia mati saja. Sedang al-Masih semasa hidupnya menamai dirinya dari keturunan Bani Israil.
Apakah kamu yang lebih tahu ataukah Allah? Kalau kamu berbicara dengan jujur, kamu akan mengakui bahwa awal pokok ajaran Nabi Musa ialah menyembah Allah Yang Maha Esa, yang tersebut dalam Hukum yang Sepuluh. Dan Nabi Isa al-Masih ketika ditanyai oleh orang Yahudi, pun mengakui bahwa yang beliau tegakkan ialah agar mencintai Allah, lebih dari mencintai diri sendiri. Mengapa hal ini hendak kamu sembunyikan? “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan kesaksian dari Allah yang ada padanya?" Yang tertulis dengan jelas dari kitab-kitabmu itu? Itulah pokok agama Ibrahim sejati, yang dilanjutkan oleh Musa dan Isa lalu sekarang oleh Muhammad ﷺ Yang lain dari itu adalah tambahan-tambahan saja dari pendeta-pendeta kamu, kahin, dan ahbar Yahudi, uskup, petrick, kardinal Kristen.
“Dan Allah tidaklah lengah daripada apa yang kamu kerjakan."
Artinya, pemalsuan-pemalsuan yang telah kamu lakukan, tambahan yang telah kamu tambahkan, sehingga keputusan pemuka-pemuka agama yang telah mengubah pokok ajaran yang asal dari Allah tidaklah lepas dari penglihatan Allah. Tidak selamanya pula manusia dapat didinding dari kebenaran, sehingga lama-lama bila manusia telah timbul keberanian dan kebebasan pikiran, agama yang kamu tegakkan dengan cara begini akan kian lama kian ditentang orang dan perpecahan dalam kalanganmu sendiri akan bertambah menjadi-jadi. Sebab celupan manusia, bukan celupan Allah.
Agama yang sebenar agama hanyalah satu, yaitu penyerahan diri yang tulus ikhlas kepada Allah. Kalau ini dibantah, berarti kamu membantah fitrahmu.
Sekali lagi Allah mengulang peringatan-Nya,
Ayat 141
“Mereka itu adalah suatu umat yang sesungguhnya telah berlalu"
Mereka telah pergi dan yang tinggal hanyalah jejak bekas dan sejarah, “Mereka akan mendapatkan apa yang telah mereka usahakan dan kamu pun akan mendapat apa yang telah kamu usahakan pula." Inilah peringatan kepada umat yang datang di belakang, baik umat Arab keturunan Isma'il maupun umat Yahudi keturunan Ya'kub dan Ishaq dengan kedua belas pecahan keturunannya. Bahwasanya nenek moyang mereka yang telah terdahulu itu, yang mana mereka telah banyak disebut dan jasa mereka menegakkan agama Allah atau hanifan Musliman, telah banyak diperkatakan.
Mereka itu sekarang sudah tidak ada lagi; yang tinggal hanya bekas dan sejarah mereka. Mereka itu telah berjasa menyampaikan ajaran agama Allah yang sejati itu kepada dunia. Jasa mereka yang baik akan mendapat ganjaran yang baik dari Allah. Dan kamu pun yang datang di belakang ini sebagai anak sejak anak-cucu keturunan mereka, tidaklah perlu hanya membanggakan dan mencukupkan sebutan dan pujian atas jasa mereka. Kalau mereka mendapat ganjaran yang baik dari Allah, bukanlah itu berarti menjadi ganjaran pula, mentang-mentang kamu membanggakan diri sebagai keturunan mereka.
Barulah kamu akan mendapat ganjaran setimpal pula dari Allah, apalagi usaha mereka yang telah lalu itu kamu sambung dengan amalan yang mulia pula,
“Dan tidaklah kamu akan diperiksa perihal apa yang Mereka kerjakan."
Buruk atau baik, mulia atau hina, per-ouatan umat-umat yang telah terdahulu itu, bukanlah tanggung jawab bagi kamu yang datang belakang. Yang akan kamu pertanggungjawabkan di hadapan Allah adalah amal usaha kamu sendiri.
Inilah satu peringatan yang keras, sampai diulang Allah dua kali, yaitu ayat 134 dan ayat 141 ini, yang sama isinya dan sama susunannya. Memang patutlah hal ini diulang-ulangi walaupun berpuluh kali. Sebab sudah menjadi penyakit bagi suatu umat keturunan umat yang besar, membanggakan amalan nenek moyang, tetapi tidak berusaha menyambung usaha itu. Orang Arab keturunan Isma'il di negeri Hijaz membanggakan bahwa mereka adalah keturunan dari pembangun Ka'bah, padahal mereka telah menyembah berhaia. Orang Yahudi di Madinah merasa diri lebih tinggi dari orang Arab, dengan menyebut nama nabi-nabi yang diutus Allah di kalangan mereka, sejak Musa sampai beberapa Nabi dari Bani Israil, padahal merekalah yang banyak membunuh nabi-nabi itu karena tidak cocok dengan hawa nafsu mereka. Sekarang, datang Nabi Muhammad ﷺ mengajak kembali kepada ajaran pokok yang asli dari nenek moyang itu, tetapi mereka bertahan pada pendirian-pendirian yang salah, yang telah jauh dari ajaran nenek moyang itu.