Ayat
Terjemahan Per Kata
وَوَصَّيۡنَا
dan Kami wasiatkan
ٱلۡإِنسَٰنَ
manusia
بِوَٰلِدَيۡهِ
terhadap kedua orang tuanya
إِحۡسَٰنًاۖ
berbuat baik
حَمَلَتۡهُ
mengandungnya
أُمُّهُۥ
ibunya
كُرۡهٗا
susah payah
وَوَضَعَتۡهُ
dan melahirkannya
كُرۡهٗاۖ
susah payah
وَحَمۡلُهُۥ
dan mengandungnya
وَفِصَٰلُهُۥ
dan menyapihnya
ثَلَٰثُونَ
tiga puluh
شَهۡرًاۚ
bulan
حَتَّىٰٓ
sehingga
إِذَا
apabila
بَلَغَ
dia sampai
أَشُدَّهُۥ
dewasanya
وَبَلَغَ
dan sampai
أَرۡبَعِينَ
empat puluh
سَنَةٗ
tahun
قَالَ
dia berkata
رَبِّ
ya Tuhan
أَوۡزِعۡنِيٓ
Tunjukilah aku
أَنۡ
untuk
أَشۡكُرَ
aku bersyukur
نِعۡمَتَكَ
nikmat Engkau
ٱلَّتِيٓ
yang
أَنۡعَمۡتَ
Engkau beri nikmat
عَلَيَّ
kepadaku
وَعَلَىٰ
dan kepada
وَٰلِدَيَّ
kedua orang tuaku
وَأَنۡ
dan agar
أَعۡمَلَ
aku beramal
صَٰلِحٗا
shaleh
تَرۡضَىٰهُ
Engkau meridhainya
وَأَصۡلِحۡ
dan berilah kebaikan
لِي
kepadaku
فِي
pada
ذُرِّيَّتِيٓۖ
keturunanku
إِنِّي
sesungguhnya aku
تُبۡتُ
aku bertaubat
إِلَيۡكَ
kepada-Mu
وَإِنِّي
dan sesungguhnya aku
مِنَ
termasuk/dari
ٱلۡمُسۡلِمِينَ
orang-orang yang berserah diri
وَوَصَّيۡنَا
dan Kami wasiatkan
ٱلۡإِنسَٰنَ
manusia
بِوَٰلِدَيۡهِ
terhadap kedua orang tuanya
إِحۡسَٰنًاۖ
berbuat baik
حَمَلَتۡهُ
mengandungnya
أُمُّهُۥ
ibunya
كُرۡهٗا
susah payah
وَوَضَعَتۡهُ
dan melahirkannya
كُرۡهٗاۖ
susah payah
وَحَمۡلُهُۥ
dan mengandungnya
وَفِصَٰلُهُۥ
dan menyapihnya
ثَلَٰثُونَ
tiga puluh
شَهۡرًاۚ
bulan
حَتَّىٰٓ
sehingga
إِذَا
apabila
بَلَغَ
dia sampai
أَشُدَّهُۥ
dewasanya
وَبَلَغَ
dan sampai
أَرۡبَعِينَ
empat puluh
سَنَةٗ
tahun
قَالَ
dia berkata
رَبِّ
ya Tuhan
أَوۡزِعۡنِيٓ
Tunjukilah aku
أَنۡ
untuk
أَشۡكُرَ
aku bersyukur
نِعۡمَتَكَ
nikmat Engkau
ٱلَّتِيٓ
yang
أَنۡعَمۡتَ
Engkau beri nikmat
عَلَيَّ
kepadaku
وَعَلَىٰ
dan kepada
وَٰلِدَيَّ
kedua orang tuaku
وَأَنۡ
dan agar
أَعۡمَلَ
aku beramal
صَٰلِحٗا
shaleh
تَرۡضَىٰهُ
Engkau meridhainya
وَأَصۡلِحۡ
dan berilah kebaikan
لِي
kepadaku
فِي
pada
ذُرِّيَّتِيٓۖ
keturunanku
إِنِّي
sesungguhnya aku
تُبۡتُ
aku bertaubat
إِلَيۡكَ
kepada-Mu
وَإِنِّي
dan sesungguhnya aku
مِنَ
termasuk/dari
ٱلۡمُسۡلِمِينَ
orang-orang yang berserah diri
Terjemahan
Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya itu selama tiga puluh bulan. Sehingga, apabila telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, dia (anak itu) berkata, “Wahai Tuhanku, berilah petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dapat beramal saleh yang Engkau ridai, dan berikanlah kesalehan kepadaku hingga kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim.”
Tafsir
(Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya) menurut suatu qiraat lafal Ihsaan dibaca Husnan; maksudnya: Kami perintahkan manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Lafal Ihsaanan adalah Mashdar yang dinashabkan oleh Fi'ilnya yang diperkirakan keberadaannya; demikian pula penjabarannya bila dibaca Husnan (ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah pula) artinya penuh dengan susah payah. (Mengandungnya sampai menyapihnya) dari penyusuannya (adalah tiga puluh bulan) yakni dalam masa enam bulan sebagai batas yang paling minim bagi mengandung, sedangkan sisanya dua puluh empat bulan, yaitu lama masa penyusuan yang maksimal. Menurut suatu pendapat disebutkan bahwa jika sang ibu mengandungnya selama enam bulan atau sembilan bulan, maka sisanya adalah masa penyusuan (sehingga) menunjukkan makna Ghayah bagi jumlah yang diperkirakan keberadaannya, yakni dia hidup sehingga (apabila dia telah dewasa) yang dimaksud dengan pengertian dewasa ialah kekuatan fisik dan akal serta inteligensinya telah sempurna yaitu sekitar usia tiga puluh tiga tahun atau tiga puluh tahun (dan umurnya sampai empat puluh tahun) yakni genap mencapai empat puluh tahun, dalam usia ini seseorang telah mencapai batas maksimal kedewasaannya (ia berdoa, "Ya Rabbku!) dan seterusnya. Ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq, yaitu sewaktu usianya mencapai empat puluh tahun sesudah dua tahun Nabi ﷺ diangkat menjadi rasul. Lalu ia beriman kepada Nabi ﷺ lalu beriman pula kedua orang tuanya, lalu menyusul anaknya yang bernama Abdurrahman, lalu cucunya yang bernama Atiq (Tunjukilah aku) maksudnya berilah ilham (untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan) nikmat tersebut (kepadaku dan kepada ibu bapakku) yaitu nikmat tauhid (dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai) maka Abu Bakar segera memerdekakan sembilan orang hamba sahaya yang beriman; mereka disiksa karena memeluk agama Allah (berilah kebaikan kepadaku dengan memberi kebaikan kepada cucuku) maka semua anak cucunya adalah orang-orang yang beriman. (Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.").
Tafsir Surat Al-Ahqaf: 15-16
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa, "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku temasuk orang-orang yang berserah diri.
Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka. Setelah dalam ayat-ayat terdahulu disebutkan tentang tauhid ikhlas dalam beribadah hanya karena Allah, dan istiqamah, lalu disebutkan perintah Allah yang memerintahkan manusia untuk berbakti kepada kedua orang tuanya.
Hal seperti ini sering disebutkan secara bergandengan di dalam Al-Qur'an, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (Al-Isra: 23) Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Luqman: 14) Dan masih banyak ayat-ayat lainnya yang senada. Firman Allah ﷻ: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya. (Al-Ahqaf: 15) Yakni Kami perintahkan kepada manusia untuk berbakti kepada kedua orang tuanya dan mengasihi keduanya.
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepadaku Sammak ibnu Harb yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Mus'ab ibnu Sa'd menceritakan berita ini dari Sad r.a yang telah mengatakan bahwa Ummu Sa'd berkata kepada Sad, "Bukankah Allah telah memerintahkan manusia untuk menaati kedua orang tuanya? Maka sekarang aku tidak mau makan dan, minum lagi sebelum kamu kafir kepada Allah." Ternyata Ummu Sad tidak mau makan dan minum sehingga keluarganya terpaksa membuka mulutnya dengan memakai tongkat (lalu memasukkan makanan dan minuman ke dalamnya).
Lalu turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya. (Al-Ahqaf: 15), hingga akhir ayat. Imam Muslim dan para penulis kitab sunan -kecuali Ibnu Majah- telah meriwayatkan hadis ini melalui Syu'bah dengan sanad yang semisal dan lafaz yang lebih panjang. ibunya mengandungnya dengan susah payah. (Al-Ahqaf: 15) Yaitu mengalami kesengsaraan karena mengandungnya dan kesusahan serta kepayahan yang biasa dialami oleh wanita yang sedang hamil.
dan melahirkannya dengan susah payah (pula). (Al-Ahqaf: 15) Yakni dengan penderitaan pula saat melahirkan bayinya lagi sangat susah dan masyaqqat. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. (Al-Ahqaf: 15) Sahabat Ali r.a. menyimpulkan dalil dari ayat ini dan ayat yang ada di dalam surat Luqman. yaitu firman-Nya: Dan menyapihnya dalam dua tahun. (Luqman: 14) Dan Firman Allah ﷻ: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (Al-Baqarah: 233) Bahwa masa mengandung yang paling pendek ialah enam bulan. Ini merupakan kesimpulan yang kuat lagi benar dan disetujui oleh Usman r.a. dan sejumlah sahabat lainnya. Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar telah meriwayatkan dari Yazid ibnu Abdullah ibnu Qasit dari Ma'mar ibnu Abdullah Al-Juhani yang menceritakan bahwa seorang lelaki dari kalangan kami pernah mengawini seorang wanita dari Bani Juhainah.
Dan ternyata wanita itu melahirkan bayi dalam usia kandungan genap enam bulan. Lalu suaminya menghadap kepada Usman r.a. dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Maka Usman memanggil wanita tersebut. Setelah wanita itu berdiri hendak memakai pakaiannya, saudara perempuan wanita itu menangis. Lalu wanita itu berkata, "Apakah yang menyebabkan engkau menangis? Demi Allah, tiada seorang lelaki pun yang mencampuriku dari kalangan makhluk Allah selain dia (suaminya), maka Allah-lah Yang akan memutuskan menurut apa yang dikehendaki-Nya terhadap diriku." Ketika wanita itu telah dihadapkan kepada Khalifah Usman r.a., maka Usman r.a. memerintahkan agar wanita itu dihukum rajam.
Dan manakala berita tersebut sampai kepada sahabat Ali r.a., maka dengan segera Ali mendatangi Usman, lalu berkata kepadanya, "Apakah yang telah dilakukan oleh wanita ini?" Usman menjawab, "Dia melahirkan bayi dalam enam bulan penuh, dan apakah hal itu bisa terjadi?" Maka Ali r.a. bertanya kepada Usman, "Tidakkah engkau telah membaca Al-Qur'an?" Usman menjawab, "Benar." Ali r.a. mengatakan bahwa tidakkah engkau pernah membaca firman-Nya: Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. (Al-Ahqaf: 15) Dan firman Allah ﷻ: selama dua tahun penuh. (Al-Baqarah: 233) Maka kami tidak menjumpai sisanya selain dari enam bulan Usman berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui hal ini, sekarang kemarikanlah ke hadapanku wanita itu." Ketika mereka menyusulnya, ternyata jenazah wanita itu telah dimakamkan.
Abdullah ibnu Qasit mengatakan bahwa Ma'mar berkata "Demi Allah, tiadalah seorang anak itu melainkan lebih mirip dengan rupa orang tuanya. Ketika ayahnya melihat bayinya, lalu si ayah berkata, ini benar anakku, demi Allah, aku tidak meragukannya lagi'." Ma'mar mengatakan bahwa lalu ayah si bayi itu terkena cobaan muka yang bernanah di wajahnya sehabis peristiwa tersebut, yang mana luka itu terus-menerus menggerogoti wajahnya hingga ia mati.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan atsar ini yang telah kami kemukakan dari jalur lain dalam tafsir firman-Nya: maka akulah (Muhammad) orang yang mula-mula memuliakan (anak itu). (Az-Zukhruf: 81); Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami Farwah ibnu Abul Migra telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Misar, dari Daud ibnu Abu Hindun dan Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa apabila seorang wanita melahirkan bayi setelah sembilan bulan, maka cukuplah baginya menyusui bayinya selama dua puluh satu bulan. Apabila dia melahirkan bayinya setelah tujuh bulan, maka cukup baginya dua puluh tiga bulan menyusui anaknya.
Dan apabila ia melahirkan bayinya setelah enam bulan maka masa menyusui bayinya adalah genap dua tahun, karena Allah ﷻ telah berfirman: Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. (Al-Ahqaf: 15) sehingga apabila dia telah dewasa. (Al-Ahqaf: 15) Yakni telah kuat dan menjadi dewasa. dan umurnya sampai empat puluh tahun. (Al-Ahqaf. 15) Yaitu akalnya sudah matang dan pemahaman serta pengendalian dirinya sudah sempurna. Menurut suatu pendapat, biasanya seseorang tidak berubah lagi dari kebiasaan yang dilakukannya bila mencapai usia empat puluh tahun. Abu Bakar ibnu Iyasy mengatakan dan Al-A'masy, dan Al-Qasim ibnu Abdur Rahman, bahwa ia pernah bertanya kepada Masruq, "Bilakah seseorang dihukum karena dosa-dosanya?" Masruq menjawab, "Bila usiamu mencapai empat puluh tahun, maka hati-hatilah kamu dalam berbuat." Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Qawariri, telah menceritakan kepada kami Urwah ibnu Qais Al-Azdi yang usianya mencapai seratus tahun, telah menceritakan kepada kami Abul Hasan Al-Kufi alias Umar ibnu Aus, bahwa Muhammad ibnu Amr ibnu Usman telah meriwayatkan dan Usman r.a., dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Seorang hamba yang muslim apabila usianya mencapai empat puluh tahun, Allah meringankan hisabnya; dan apabila usianya mencapai enam puluh tahun, Allah memberinya rezeki Inabah (kembali ke jalan-Nya).
Dan apabila usianya mencapai tujuh puluh tahun, penduduk langit menyukainya. Dan apabila usianya mencapai delapan puluh tahun, Allah ﷻ menetapkan kebaikan-kebaikannya dan menghapuskan keburukan-keburukannya. Dan apabila usianya mencapai sembilan puluh tahun, Allah mengampuni semua dosanya yang terdahulu dan yang akan datang, dan mengizinkannya untuk memberi syafaat buat ahli baitnya dan dicatatkan (baginya) di langit, bahwa dia adalah tawanan Allah di bumi-Nya. Hadis ini telah diriwayatkan pula melalui jalur lain, yaitu di dalam kitab Musnad Imam Ahmad.
Al-Hajjaj ibnu Abdullah Al-Hakami, salah seorang amir dari kalangan Bani Umayyah di Dimasyq telah mengatakan, "Aku telah meninggalkan kemaksiatan dan dosa-dosa selama empat puluh tahun karena malu kepada manusia, kemudian aku meninggalkannya (sesudah itu) karena malu kepada Allah." Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh seorang penyair dalam bait syairnya: ... Diturutinya semua yang disukainya sehingga uban telah menghiasi kepalanya. Dan manakala uban telah memenuhi kepalanya, ia berkata kepada kebatilan, "Menjauhlah dariku!" Firman Allah ﷻ: Ya Tuhanku, tunjukilah aku. (Al-Ahqaf: 15) Maksudnya, berilah aku ilham, atau bimbinglah aku.
untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai. (Al-Ahqaf: 15) Yakni di masa mendatang. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. (Al-Ahqaf: 15) Yaitu keturunanku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku temasuk orang-orang yang berserah diri. (Al-Ahqaf: 15) Ini adalah panduan bagi yang sudah berusiah empat puluh tahun untuk memperbaharui tobat dan berserah diri kepada Allah.
Telah diriwayatkan oleh Abu daud di dalam kitab sunan-nya, dari Ibnu Mas'ud ra. Bahwa Rasulullah ﷺ mengajari doa tasyahhud, yaitu: selamatkanlah kami dari kegelapan menuju kepada cahaya, dan jauhkanlah kami dari perbuatan-perbuatan fahisyah, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Dan berkahilah bagi kami pendengaran kami, penglihatan kami hati kami, istri-istri kami dan keturunan kami. Dan terimalah tobat kami, sesungguhnya Engkau Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
Dan jadikanlah kami sebagai orang-orang yang mensyukuri nikmat-Mu, selalu memuji dan menerima nikmat itu, dan sempurnakanlah bagi kami nikmat itu. Firman Allah ﷻ: Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka. (Al-Ahqaf: 16) Yakni mereka yang menyandang predikat yang telah kami sebutkan yaitu orang-orang yang bertobat dan kembali kepada Allah lagi menanggulangi apa yang telah mereka lewatkan dengan bertobat dan memohon ampun merekalah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal baiknya dan Kami maafkan kesalahan-kesalahan mereka, dan Kami ampuni dosa-dosa mereka serta Kami terima amal mereka walaupun sedikit.
bersama penghuni-penghuni surga. (Al-Ahqaf: 16) Yakni mereka termasuk penghuni-penghuni surga. Demikianlah status mereka d. s.si Allah sebagaimana yang telah dijanjikan oleh-Nya kepada orang-orang yang bertobat dan kembali ke jalan-Nya, oleh karena itu Allah berfirman: Sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka. (Al-Ahqaf: 16) Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari Al-Hakam ibnu Aban, dari Al-Gatrif, dari Jabir ibnu Yard, dan Ibnu Abbas r.a., dari Rasulullah ﷺ, dari Ar-Ruhul Amin a.s.
yang telah mengatakan: Seorang hamba akan didatangkan kebaikan dan keburukannya, lalu dilakukanlah penghapusan sebagiannya dengan sebagian yang lain. Jika masih tersisa suatu kebaikan, Allah memberikan keluasan kepadanya di dalam surga. Ibnu Jarir mengatakan, bahwa lalu ia datang kepada Ali Yazdad dan ternyata dia pun meriwayatkan hadis yang semisal. Aku bertanya, "Bagaimana jika kebaikannya habis?" Ali menjawab dengan membacakan firman-Nya: Mereka itulah orang-orang yang kami terima dari mereka amal baik yang telah mereka kerjakan dan kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka. (Al-Ahqaf: 16) Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dari ayahnya, dari Muhammad ibnu Abdul Ala As-San'ani, dari Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman berikut sanadnya yang semisal, tetapi ditambahkan 'dan Ar-Ruhul Amin (Malaikat Jibril a.s.)'.
Disebutkan bahwa Allah ﷻ mendatangkan kepada seorang hamba amal-amal baiknya dan amal-amal buruknya, lalu Allah ﷻ mengingatkannya. Hadis ini garib, tetapi sanadnya baik dan tidak mengandung cela. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ma'bad telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Asim Al-Kala'i, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Abu Bisyr Ja'far ibnu Abu Wahsyiyyah dan Abu Wahsyiyyah, dari Yusuf ibnu Sa'd, dari Muhammad ibnu Hatib bahwa ketika Al.
beroleh kemenangan atas kota Al-Basrah, Muhammad ibnu Hatib tinggal di rumahku. Dan pada suatu hari ia mengatakan kepadaku, bahwa sesungguhnya ia menyaksikan Khalifah Ali yang sedang bersama dengan Ammar, Sa'sa'ah, Asytar, dan Muhammad ibnu Abu Bakar r.a. Lalu mereka menceritakan perihal Khalifah Usman dan pada akhirnya pembicaraan mereka mendiskreditkannya. Saat itu Ali a. sedang berada di atas dipannya, sedangkan tangannya memegang tongkat. Lalu seseorang dari mereka berkata, "Sesungguhnya seseorang di antara kalian ada seorang yang akan memutuskan hal ini di antara kalian.
Maka mereka menanyakannya kepada Ali r.a. Lalu Ali menjawab bahwa Usman r.a. termasuk salah seorang yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya: Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka. (Al-Ahqaf: 16) Kemudian Ali r.a. berkata, "Demi Allah, Usman dan teman-temannya Hal ini diulanginya sebanyak tiga kali. Yusuf ibnu Sa'd berkata, bahwa lalu ia bertanya kepada Muhammad ibnu Hatib, "Apakah engkau mendengar ini langsung dari Ali r.a?" Muhammad ibnu Hatib menjawab, "Demi Allah, aku benar-benar mendengarnya dari Ali r.a. secara langsung.""
Ayat-ayat yang lalu menjelaskan tuntunan tentang pemurnian akidah disertai perintah agar mengesakan Allah dan tidak menyekutukan kepada-Nya. Kini Allah mewasiatkan kepada umat manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tua. Dan Kami telah mewasiatkan, yakni telah perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya dengan kebaikan yang sempurna. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah pula. Masa mengandung sampai menyapihnya yang sempurna adalah selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia, sang anak itu telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, merupakan usia yang menunjukkan kesempurnaan bagi perkembangan jasmani dan rohani manusia, maka dia berdoa, 'Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan berilah aku kemampuan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir turun temurun sampai kepada anak cucuku. Sungguh, aku bertobat kepada Engkau atas segala dosa-dosaku dan sungguh, aku termasuk orang muslim, yang tunduk patuh dan berserah diri kepada Allah. 16. Allah memuji orang-orang yang berbuat baik kepada orang tua dengan menyatakan bahwa mereka itulah orang-orang yang mensyukuri nikmat dan berbuat kebaikan yang Kami terima amal baiknya yang telah mereka kerjakan dan kepada mereka kami anugerahkan pahala yang besar sebagai balasan atas amalnya dan mereka itulah orang-orang yang Kami maafkan kesalahan-kesalahannya, maka Kami tidak menimpakan azab atasnya. Kelak di akhirat, mereka akan menjadi penghuni-penghuni surga. Itu janji yang benar dari Allah yang telah dijanjikan melalui para utusan-Nya kepada mereka.
Diriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan Abu Bakar. Beliau termasuk orang yang beruntung karena beliau termasuk sahabat yang paling dekat dengan Nabi ﷺ Salah satu putri beliau, yaitu 'Aisyah, adalah istri Rasulullah saw, dan kedua orang tuanya yaitu Abu Quhafah dan Ummul Khair binti Shakhar bin Amir telah masuk Islam, demikian pula anak-anak beliau yang lain dan saudara-saudaranya. Beliau bertobat, bersyukur, dan berdoa kepada Allah karena memperoleh nikmat yang tiada tara.
Allah memerintahkan agar semua manusia berbuat baik kepada ibu-bapaknya, baik ketika keduanya masih hidup maupun telah meninggal dunia. Berbuat baik ialah melakukan semua perbuatan yang baik sesuai dengan perintah agama. Berbuat baik kepada orang tua ialah menghormatinya, memelihara, dan memberi nafkah apabila ia sudah tidak mempunyai penghasilan lagi. Sedangkan berbuat baik kepada kedua orang tua setelah meninggal dunia ialah selalu mendoakannya kepada Allah agar diberi pahala dan diampuni segala dosanya. Berbuat baik kepada kedua orang tua termasuk amal yang tinggi nilainya di sisi Allah, sedangkan durhaka kepadanya termasuk perbuatan dosa besar.
Anak merupakan penerus kehidupan bagi kedua orang tuanya, cita-cita atau perbuatan yang tidak dapat dilakukan semasa hidupnya diharapkan dapat dilanjutkan oleh anaknya. Oleh karena itu, anak juga merupakan harapan orang tuanya, bukan saja harapan sewaktu ia masih hidup, tetapi juga harapan setelah meninggal dunia. Dalam hadis Rasulullah saw, diterangkan bahwa di antara amal yang tidak akan putus pahalanya diterima oleh manusia sekalipun ia telah meninggal dunia ialah doa dari anak-anaknya yang saleh yang selalu ditujukan untuk orang tuanya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
Apabila manusia meninggal dunia terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)
Dari hadis ini dapat dipahami bahwa orang tua hendaklah mendidik anaknya agar menjadi orang yang taat kepada Allah, suka beramal saleh, melaksanakan perintah Allah, dan menjauhi larangan-Nya. Pendidikan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, misalnya dengan pendidikan di sekolah, pendidikan di rumah, memberikan contoh yang baik, dan sebagainya. Hanya anak-anak yang saleh yang taat kepada Allah dan suka beramal saleh, yang dapat berbakti dan berdoa untuk orang tuanya.
Pada ayat ini, Allah menerangkan secara khusus mengapa orang harus berbuat baik kepada ibunya. Pengkhususan itu menunjukkan bahwa ketika anak akan berbuat baik kepada orang tuanya, ibu harus didahulukan daripada ayah. Sebab perhatian, pengorbanan, dan penderitaan ibu lebih besar dan lebih banyak dalam memelihara dan mendidik anak dibandingkan dengan perhatian, pengorbanan, dan penderitaan yang dialami oleh ayah. Di antara pengorbanan, perhatian, dan penderitaan ibu ialah:
1. Ibu mengandung anak dalam keadaan penuh cobaan dan penderitaan. Semula dirasakan kandungan itu ringan, sekalipun telah mulai timbul perubahan-perubahan dalam dirinya, seperti makan tidak enak, perasaan gelisah, kadang-kadang mual, muntah, dan sebagainya. Semakin lama kandungan itu semakin berat. Bertambah berat kandungan itu bertambah berat pula cobaan yang ditanggung ibu, sampai saat-saat melahirkan. Hampir-hampir cobaan itu tidak tertanggungkan lagi, serasa nyawa akan putus.
2. Setelah anak lahir, ibu memelihara dan menyusuinya. Masa mengandung dan menyusui ialah 30 bulan. Ayat Al-Qur'an menerangkan bahwa masa menyusui yang paling sempurna ialah dua tahun. Allah berfirman:
Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. (al-Baqarah/2: 233)
Dalam ayat ini diterangkan bahwa masa menyusui dan hamil adalah 30 bulan. Hal ini berarti bahwa ibu harus menumpahkan perhatiannya selama masa hamil dan menyusui, yaitu 30 bulan.
Sehubungan dengan ayat ini, ada riwayat yang mengatakan bahwa seorang wanita melahirkan dalam masa kandungan enam bulan. Maka perkara itu diajukan kepada 'Utsman bin 'Affan, khalifah waktu itu. 'Utsman bermaksud melakukan hukum had (merajam) karena wanita itu disangka telah berbuat zina lebih dahulu sebelum melakukan akad nikah. Maka 'Ali bin Abi thalib mengemukakan pendapat kepada 'Utsman dengan berkata, "Allah ﷻ menyatakan bahwa masa menyusui itu dua tahun (24 bulan), dan dalam ayat ini dinyatakan bahwa masa mengandung dan masa menyusui 30 bulan. Hal ini berarti bahwa masa hamil itu paling kurang 6 bulan. Berarti wanita tidak dapat dihukum rajam karena ia melahirkan dalam masa hamil yang ditentukan ayat." Mendengar itu, 'Utsman bin 'Affan mengubah pendapatnya semula dan mengikuti pendapat 'Ali bin Abi thalib.
Ibnu 'Abbas berkata, "Apabila seorang wanita mengandung selama sembilan bulan, ia cukup menyusui anaknya selama 21 bulan, apabila ia mengandung 7 bulan, cukup ia menyusui anaknya 23 bulan, dan apabila ia mengandung 6 bulan ia menyusui anaknya selama 24 bulan.
Oleh karena itu, maka amat bijaksana kalau seorang anak disusui dengan air susu ibu (ASI), sesuai dengan ajaran Al-Qur'an dan sesuai pula dengan tuntunan ilmu kedokteran, kecuali kalau karena keadaan terpaksa bisa diganti dengan susu produk lain.
3. Ibulah yang paling banyak berhubungan dengan anak dalam memelihara dan mendidiknya, sampai anaknya sanggup mandiri. Kewajiban ibu memelihara dan mendidik anaknya itu tidak saja selama ibu terikat dengan perkawinan dengan bapak si anak, tetapi juga pada saat ia telah bercerai dengan bapak si anak.
Kecintaan dan rasa sayang ibu terhadap anaknya adalah ketentuan dari Allah, sebagaimana firman-Nya:
Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. (Luqman/31: 14)
Sehubungan dengan persoalan di atas, Rasulullah ﷺ menjawab pertanyaan seorang sahabat dalam salah satu hadis:
Dari Bahz bin hakim dari bapaknya dari kakeknya, mudah-mudahan Allah meridainya, ia berkata, "Aku berkata, 'Ya Rasulullah, kepada siapa aku berbakti? Rasulullah menjawab, 'Kepada ibumu. Aku berkata, 'Kemudian kepada siapa? Jawab Rasulullah, 'Kepada ibumu. Aku berkata, 'Kemudian kepada siapa? Jawab Rasulullah, 'Kepada ibumu. Aku berkata, 'Kemudian kepada siapa? Rasulullah berkata, 'Kepada ayahmu, kemudian kepada karibmu yang paling dekat, lalu yang paling dekat." (Riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidhi)
Adapun tanggung jawab ayah sebagai orang tua adalah sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab memelihara, memberi nafkah, dan menjaga ketenteraman dan keharmonisan keluarga. Ayah sebagai pemimpin keluarga dapat membagi tugas-tugas kepada istri, anak-anak yang lebih tua, maupun anggota-anggota keluarga lain yang tinggal dalam keluarga tersebut. Tanggung jawab spiritual sebagai ayah ialah membawa keluarga pada kedekatan kepada Allah, melaksanakan ibadah dengan benar dan melahirkan generasi baru, sebagaimana firman Allah:
Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa." (al-Furqan/25: 74)
Ayat ini menerangkan sikap yang baik dari seorang anak kepada orang tuanya yang telah mengasuhnya sejak kecil sampai dewasa, pada saat-saat orang tuanya itu telah berusia lanjut, lemah, dan pikun. Waktu itu si anak telah berumur sekitar 40 tahun, ia berdoa, "Wahai Tuhanku, berilah aku bimbingan dan petunjuk untuk mensyukuri nikmat-Mu yang tiada taranya yang telah engkau berikan kepadaku, baik yang berhubungan dengan petunjuk sehingga aku dapat melaksanakan perintah-Mu dan menghindari larangan-Mu, maupun petunjuk yang telah Engkau berikan kepada kedua orang tuaku sehingga mereka mencurahkan rasa kasih sayangnya kepadaku, sejak aku masih dalam kandungan, waktu aku masih kecil sampai aku dewasa. Wahai Tuhanku, terimalah semua amalku dan tanamkan dalam diriku semangat ingin beramal saleh yang sesuai dengan keridaan-Mu, dan bimbinglah pula keturunanku mengikuti jalan yang lurus; jadikanlah mereka orang yang bertakwa dan beramal saleh."
Sehubungan dengan ayat ini Ibnu 'Abbas berkata, "Barang siapa telah mencapai umur 40 tahun, sedangkan perbuatan baiknya belum dapat mengalahkan perbuatan jahatnya, maka hendaklah ia bersiap-siap untuk masuk neraka."
Pada riwayat yang lain Ibnu 'Abbas berkata, "Allah telah memperkenankan doa Abu Bakar. Beliau telah memerdekakan sembilan orang budak mukmin di antaranya Bilal dan Amir bin Fuhairah. Beliau tidak pernah bermaksud hendak melakukan suatu perbuatan baik, melainkan Allah menolongnya. Beliau berdoa, "Wahai Tuhanku, berikanlah kebaikan pada diriku, dengan memberikan kebaikan kepada anak cucuku. Jadikanlah kebaikan dan ketakwaan itu menjadi darah daging bagi keturunanku." Allah telah memperkenankan doa beliau. Tidak seorang pun dari anak-anaknya yang tidak beriman kepada Allah; ibu-bapaknya dan anak-anaknya semua beriman. Oleh karena itu, tidak seorang pun di antara sahabat Rasulullah yang memperoleh keutamaan seperti ini.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibnu Mas'ud dalam Sunan-nya bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengajarkan doa berikut ini:
Wahai Tuhanku, timbulkanlah rasa kasih sayang dalam hati kami; timbulkanlah perdamaian di antara kami, bimbinglah kami ke jalan keselamatan. Lepaskanlah kami dari kegelapan dan bimbinglah kami menuju cahaya yang terang. Jauhkanlah kami dari segala kekejian baik yang lahir maupun yang batin. Berkatilah kami pada pendengaran kami, pada penglihatan kami, pada hati kami, pada istri-istri kami, pada keturunan kami. Terimalah tobat kami, sesungguhnya Engkau Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Jadikanlah kami orang yang selalu mensyukuri nikmat Engkau serta memuji-Mu, karena pemberian nikmatmu itu dan sempurnakanlah nikmat-Mu itu atas kami. (Riwayat Abu Dawud).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MENGHORMATI AYAH BUNDA
Ayat 15
“Dan Kami wasiatkan kepada manusia supaya dengan kedua ibu bapaknya hendaklah berbuat baik."
Inilah wasiat atau perintah utama kepada manusia, sesudah perintah-perintah percaya kepada Allah sebagai dasar kehidupan. Dengan percaya kepada Allah, kalau manusia hendak menegakkan budi baik dalam dunia ini maka perintah kedua sesudah perintah berbakti kepada Allah ialah perintah menghormati kedua orang tua, ayah bunda, ibu-bapak. Sebab pertalian darah, pertalian keturunan, terutama ayah dan bunda itu adalah tabiat murni manusia. Bahkan tabiat murni binatang pun. Si ayah dan si ibu menumpahkan kasih sayangnya, cintanya yang murni dan tidak mengharapkan balasan dari putra yang lahir dari hubungan mereka. Keinginan beroleh putra adalah jadi idaman dari setiap perempuan yang sehat caranya berpikir. Dalam ayat ini ditegaskan bahwasanya seorang anak hendaklah berbuat kebajikan kepada kedua orang tuanya. Manusia yang sehat mempunyai perasaan yang halus, mempunyai perasaan kasih, sayang, dan cinta."Telah mengandung akan dia ibunya dengan susah payah dan telah melahirkannya dengan susah payah."
Ini diperingatkan oleh Allah terlebih dahulu kepada insan berbudi: diperingatkan kepadanya kesusahpayahan ibu mengandung dan kesusahpayahan ibu melahirkan! Semua kita melihat sendiri kesusahan itu. Seorang ibu menderita karena mengandung, karena melahirkan, namun kesusahpayahannya menambah erat cintanya.
Bahkan bukan sedikit seorang ibu yang subur, melahirkan tahun ini menyusukan tahun depan, melahirkan tahun yang satu lagi dan menyusukan pula sesudah itu, sehingga tahun ini beranak tahun depan menyusukan. Kian lama anak kian banyak, namun badan kian lama kian lemah dan kasih kepada anak tidak berkurang.
Kerap kali orang mengambil perumpamaan burung pelikan, yang menghisap darahnya sendiri buat minuman anaknya dan sehabis darahnya itu dia pun mati dan anaknya hidup, namun dia tidak menyesal. Kita melihat banyak ibu yang demikian. Saya sendiri mengalami istri saya, ibu dari anak-anak saya, sepuluh banyaknya anak yang hidup, tujuh laki-laki dan tiga perempuan, dua yang meninggal dan dua kali keguguran sehingga jumlahnya menjadi empat belas orang anak semuanya. Akhirnya berhenti sendiri dan tidak beranak lagi tetapi badannya sudah sangat lemah dan berbagai penyakit tidak terderitakan lagi. Beliau wafat dalam usia lima puluh tujuh tahun.
Sebab itu manusia pun ada yang bernasib sebagai burung pelikan, mendermabaktikan darahnya, tenaganya, dan nyawanya buat anak-anaknya, sesudah itu dia pun mati.
Maka banyak sekalilah wasiat Allah, perintah wajib dari Allah agar manusia menghormati, berbuat kebajikan, berkhidmat kepada dua orang ibu bapaknya. Dan tidaklah kita bertemu di dalam Al-Qur'an atau di dalam hadits yang memerintahkan supaya seorang ayah atau seorang ibu memelihara putranya dengan baik. Sebab, memelihara putra dengan baik walaupun tidak diperintahkan, akan pasti dikerjakan orang karena didorong oleh kasih, didorong oleh sayang. Kadang-kadang makanan yang telah ada dalam mulutnya dicabutnya kembali karena diminta oleh anaknya, biar si ibu lapar. Bahkan diberi ingat oleh Allah agar kasih kepada anak, buah hati pengarang jantung dibatasi hendaknya. Karena kasih yang demikian bisa jadi fitnah. Dan memang Allah memerintahkan putra menghormati dan berbuat baik kepada ibu bapak, sebab banyaklah anak yang telah lupa kepada ibunya dan bapaknya bila dia merasa telah dewasa. Kalau dipandang dari segi yang lain, anak tidak sempat membalas jasa kebaikan ibu dan bapak sebab dia pun akan menumpahkan kasih dan sayang pula kepada anaknya sendiri. Sebab itu, seorang putra tidaklah dapat membalas budi ayah bundanya sebagaimana ayah bundanya memelihara dia waktu kecilnya. Semuanya akan ditumpahkannya pula kepada putranya sendiri di belakang hari setelah dia berumah tangga pula.
Islam menjadikan rumah tangga sebagai asa atau sendi pertama dari berdirinya suatu bangsa ataupun suatu agama. Pergaulan dengan ibu dan bapak di waktu kecil itulah yang dinamai dalam ilmu pendidikan dengan lingkungan pertama atau yang disebut dalam bahasa Arab “al-baratul ulaa", sebelum manusia memasuki dua lingkungan lagi yaitu lingkungan kawan bersekolah dan lingkungan sepermainan. Maka lingkungan pertamalah, ibu dan bapak yang meninggalkan kesan yang dalam sekali pada jiwa anak. Asuhan di waktu anak masih kecil itulah yang sangat penting menentukan hidup di hari dewasa kelak. Didikan yang diterima, permainan, pergaulan di masa kecil, tergambar dan tidak akan terlupakan selama-lamanya. Itulah sebabnya amat besar perhatian harus ditumpahkan oleh masyarakat kepada anak yang kematian ayah yang bernama yatim atau kematian ibu yang bernama piatu di waktu anak itu masih kecil masih mengharapkan asuhan, lalu menjadi anjuran besar pula agar orang yang mampu memerhatikan asuhan atas anak yatim itu. Asuhan dalam rumah tangga. Maka ahli-ahli pendidik banyak yang tidak menyetujui membuatkan asrama anak yatim. Karena dengan asrama itu anak yatim tidak akan merasakan kasih yang mendalam. Mereka berpendapat lebih baik suatu rumah tangga yang tidak dianugerahi Allah anak, supaya dia memelihara anak yatim dalam rumahnya, bukan anak yatim yang diantarkan ke dalam asrama. Sebab asuhan di waktu kecil itulah bibit pertama yang akan menumbuhkan rumah tangga bahagia dan dari rumah tangga-rumah tangga inilah kelak akan tersusun masyarakat.
Dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini, ditonjolkan pengorbanan ibu. Pengorbanan yang benar-benar pengorbanan, yang tidak dapat dibalas dan tidak dapat dibayar walaupun dengan uang berjuta. Allah Mahakuasa sajalah. Allah yang bersifat rahman dan rahim yang mencurahkan sifat rahman dan rahimnya pula dalam hati seorang ibu sehingga,"Telah mengandung akan dia ibunya dengan susah payah dan telah melahirkannya dengari susah payah dan mengandungnya dan menceraikannya selama tiga puluh bulan."
Telur yang kecil di dalam sperma (mani) itu melekat dalam rahim si ibu. Ditakdirkan Allah tidak akan tanggal lagi sampai waktu dia lahir. Dan selama dia melekat dalam rahim itu, dia akan menghisap makanan yang masuk ke dalam rahim itu sehingga sejak dia melekat dia telah mengisap darah ibunya untuk makanan pokoknya. Tambah sehari si janin tambah mem
besar, berendam dalam darah ibu dan menghisap makanan ibu. Sehingga sejak mulai mengandung telah terasa oleh si ibu bagaimana anak itu menghisap, sehingga si ibu sendiri menjadi lemah, menjadi berubah selera. Si ibu makan, minum, menelan, dan mencerna dan semua yang dimakan, diminum, dan dicerna itu disaring untuk dijadikan makanan oleh si janin. Terutama bila si janin telah mulai tumbuh tulang setelah melalui masa menjadi nuthfah (air segumpal), ‘alaqah (darah segumpal) sampai kepada jadi mudhghah (daging segumpal) dalam masa empat bulan sepuluh hari. Kemudian tumbuhlah tulangnya dan tulang yang telah mulai tumbuh ini pun lebih banyak lagi meminta bahan makan, sehingga tenaga ibunya benar-benar diambilnya, sehingga si ibu jadi lemah. Malam-malam si ibu dengan bangga membukakan perutnya dan memperlihatkan kepada suaminya bahwa anak yang dalam kandungan mulai “nakal", mulai keras gerak-geriknya. Begitu dia payah, namun dia tersenyum. Dia payah, tetapi dia tersenyum. Payah mengandung, tersenyum mengingat bahwa tidak lama lagi dia akan memangku!
Maka datanglah bulannya, sekitar sembilan bulan dan mulailah terasa si anak akan lahir. Si anak akan memandang dunia nan luas dan si ibu menceringir dan merintih kesakitan, namun senyum tidak juga hilang dari bibirnya. Di saat itulah si ayah gelisah, dada berdebar, duduk tidak senang, berjalan keluar dan ke dalam, ke hilir dan ke mudik sambil setiap sejenak melihat jam menunggu berita dari dokter atau bidan sambil berdoa, sambil berseru dalam batin: selamatlah kiranya istriku melahirkan anakku. Maka dari jauh kedengaranlah anak menangis! Tandanya dia sudah lahir. Tidak berapa lama dukun atau bidan pun keluar dengan muka berseri menyatakan bahwa si buyung atau si upik sudah lahir dengan selamat. Si ayah terharu, air matanya berlinang. Dia kejar istrinya, dilihatnya anaknya sudah tidur di samping istri dan si istri masih saja tersenyum walaupun dia baru saja terlepas dari suatu kepayahan besar. Si ayah mulailah surut rasa harunya lalu diciumnya kening atau pipi istrinya dan si istri pun mendambakan dirinya membiarkan diciumnya pula si anak yang tadi mulai merasakan hangat dinginnya dunia, mulai terlancar dari perut ibunya menangis keras. Sekarang dia tidur nyenyak sekali dan dia pun menerima cium ayahnya. Lalu dokter mempersoalkan dia keluar.
Sesudah itu akan mulailah kepayahan yang baru, yaitu kepayahan mengasuh anak. Kepayahan mendengarkan tangisnya, kepayahan mencuci kotorannya, kepayahan memandikannya, kepayahan atas kepayahan, namun hatinya tetap senang. Kira-kira dua bulan sesudah dia dilahirkan barulah dia mulai memberikan obat penawar atau obat jerih bagi kepayahan ibu itu. Dia mulai tersenyum.
Apabila anak sebesar itu sudah tersenyum, mulailah terkabang warna keikhlasan dalam alam dunia ini. Ikhlas sejati akan bertemu di dalam senyumnya anak kecil. Senyum yang sebenar senyum. Senyum yang tidak disertai apa-apa. Karena apabila telah dewasa kelak, senyum itu akan bertukar. Tidak ada lagi senyum yang tulus. Segala senyum adalah laksana pantun orang Maninjau: berpadi masak, batang kapas bertimbal jalan. Hati risau dibawa gelak, bagai panas mengandung hujan. Senyum saya, senyum tuan, dan senyum siapa saja adalah senyum sejenak karena menyeruak hati yang susah. Suatu senyum bisa terhenti kalau orang teringat kembali akan kesusahannya, akan urusannya, dan utang piutangnya. Anak kecil baru lahir belum ada itu semuanya, sebab itu senyumnya asli.
Menyusukan dan membesarkan: seluruh daging dan seluruh kekuatan tulang diberikan yang menjelma dalam air susu. Hari dan jiwa terpadu dalam pemeliharaan: semua diberikan dan semua dikorbankan dengan segala senang hati dan dengan segenap kegembiraan. Tak pernah bosan. Tak pernah berici dan tak pernah mengeluh: ‘Anak kandung lekaslah gadang!"
Dan apakah yang dapat diberikan oleh seorang anak sebagai balasan? Seperti ucapan terima kasih?
Pada suatu hari, berthawaflah Rasulullah ﷺ di sekeliling Ka'bah. Tengah berthawaf itu dilihatnya bersama dengan dia seorang laki-laki yang gempal badannya sedang mendukung ibunya yang telah tua mengerjakan thawaf. Setelah selesai thawaf, dia pun pergi ke makam Ibrahim dan terus menggendong ibunya itu. Diturunkannya ibunya dari dalam gendongannya lalu mereka pun shalat sunnah thawaf bersama Rasulullah ﷺ Lalu bertanya Rasulullah ﷺ kepada orang itu,"Puaskah engkau melakukan tugasmu menggendong ibumu mengerjakan ibadah ini?"
Laki-laki itu segera menjawab, “Belum! Belum terbalas jasanya walaupun buat sekali saja meneguk air susunya!" (HR Hafizh al-Bazzar, dengan sanadnya dari hadits Buraidah yang diterima dari ayahnya.)
Secara kebiasaan, sampai tiga puluh bulan sejak dari sembilan bulan mengandung barulah anak itu lepas dari gendongan dan ingatan ibunya. Terlambat saja dia pulang dari jamnya yang tertentu, si ibu tidak bersenang hati lagi. Kalau ada anak yang lebih besar, disuruhlah dia mencari di mana adiknya bermain, mengapa dia terlambat pulang jatuhkah dia, terberiamkah dia masuk sungai, diganggu orangkah dia? Dan si ibu belum hendak makan sebelum si anak hadir di hadapannya."Sehingga setelah dia mencapai dewasanya dan mencapai empat puluh tahun, berkatalah dia, ‘Tuhanku! Berilah peluang aku supaya aku bersyukur atas nikmat Engkau, yang telah Engkau nikmatkan ke atasku.'" Di dalam ayat inilah dijelaskan bahwa setelah manusia berumur empat puluh tahun, barulah mantap tumbuhnya kedewasaan. Barulah manusia mensyukuri nikmat kehidupan yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Karena memang setelah umur sampai empat puluh tahun, pada umumnya manusia baru mencapai kematangan dan kemantapan sebagai insan. Kalau umur belum mencapai empat puluh tahun, biasanya masihlah manusia mau benar sendiri dan menang sendiri. Bila telah usia empat puluh tahun mulailah dia menginsafi akan orang lain yang ada di kelilingnya dan mulai dia menginsafi bahwa dia tidaklah mungkin hidup sendiri dalam dunia ini dan mulailah berkurang dorongan (puber) hawa nafsu. Tepat apa yang dikatakan oleh al-Hajjaj bin Abdullah al-Hakami salah seorang pangeran terkemuka dari Bani Umaiyah. Beliau berkata,"Empat puluh tahun peringkat usia pertama aku meninggalkan berbuat dosa karena malu terhadap manusia. Tetapi setelah lepas empat puluh tahun ke atas, aku telah meninggalkan berbuat dosa karena malu kepada Allah!"
Apabila Allah mengaruniakan kepada kita usia panjang, lebih dari empat puluh tahun bahkan mencapai tujuh puluh tahun, terasalah mendalam kebenaran ucapan Abdullah al-Hakimi ini pada diri kita.
“Dan ke atas kedua ibu bapakku," aku syukuri nikmat Engkau, ya Allah, terhadap diriku sendiri dan juga nikmat yang telah Engkau limpahkan kepada kedua orang ibu bapakku. Sebab apabila anak telah berusia empat puluh tahun, mulailah dia merasakan apa yang pernah dirasakan oleh ibu bapaknya, penderitaan, pengorbanan, kasih sayang, kesukaran atau kemudahan hidup ketika membesarkan anaknya. Oleh sebab itu, bertambah dewasa orang, bertambah pulalah keinsafan dan kasih sayang kepada kedua orang ibu bapak.
Alhamdulillah, Allah memberikan agak cepat keinsafan kasih ibu bapak itu kepadaku. Aku di waktu kecil terhitung anak nakal, berigal, kurang patuh kepada ayahku, sehingga aku dikatakan orang anak yang sukar diberituk. Perjalanan mengerjakan haji yang pertama adalah kekerasan hatiku sendiri, yang maksud semula hendak menunjukkan kepada ayahku bahwa aku ini tidaklah seburuk yang beliau sangka. Setelah aku pulang (1928), aku beliau carikan tunangan. Bapak kecilku Haji Yusuf Amrullah (meninggal 11 Ramadhan 1393 dalam usia 85 tahun) berkata kepadaku,"Terimalah jika engkau dipertunangkan oleh ayahmu, untuk mengobat hati beliau. Sebab perginya engkau ke Mekah dengan kehendakmu sendiri, tidak dengan perbelanjaannya sangat melukai hati beliau!" Lalu aku jawab,"Baiklah!" Dan setahun di belakang itu (5 April 1929) dalam usiaku baru 21 tahun syamsiyah, aku telah kawin. Maka dalam usia 23 tahun, dua tahun setelah kawin aku diberi karunia anak pertama dan aku beri nama Hisyam. Dia dilahirkan di kampung halamanku di Sungaibatang Maninjau, dalam diri masih miskin dan masih banyak bantuan orang tua. Di akhir tahun itu juga aku berangkat ke Makasar jadi mubaligh Islam atas prakarsa Perserikatan Muhammadiyah. Maka sejak waktu itulah berangsur Allah menumbuhkan dalam hatiku rasa khidmat kepada orang tua. Mulailah aku memberikan hadiah ala kadarnya kepada ibuku. Setelah ibuku mulai merasakan kasih sayang anaknya ini maka pada tahun 1934 beliau pun berpulang ke rahmatullah, usiaku ketika itu baru 26 tahun. Maka pada tahun 1936 dalam usiaku 28 tahun barulah aku memulai pula menunjukkan hormat dan rasa cinta kepada ayahku. Dan mana pun aku kembali dari perjalanan, selalulah teringat membawakan beliau hadiah ala kadarnya. Kadang-kadang sarung, kadang-kadang songkok, kadang-kadang tongkat! Semuanya beliau sambut dengan gembira. Dan berangsur pula tumbuh dalam hatinya rasa bangga, bahkan titik air matanya lantaran terharu melihat perkembanganku dalam masyarakat. Tetapi dalam mulai tumbuhnya kasih mesra kami, kebanggaan beliau mempunyai anak yang beliau sebutkan"si Malik" atau menurut orang lain dengan ditambah"si", yaitu"si Hamka", di bulan Januari 1941 dia ditangkap Belanda dan diasingkan ke Sukabumi. Barulah aku sempat menemui beliau setelah aku datang melihatnya di Jakarta di zaman Jepang pada tahun 1943. Usiaku ketika itu telah 34 tahun!
Waktu telah bertemu dengan beliau itu, lebih mendalamlah pengaruh ayat 15 daripada surah al-Ahqaaf ini ke dalam jiwaku sendiri bilamana selesai shalat lima waktu. Beliau sendiri pun membaca doa memakai ayat ini ketika kami akan berpisah, setelah datang waktunya (April 1943) saya akan kembali ke Medan. Setelah itu, kami tidak bertemu lagi. Pada bulan Juni tahun 1945, dua bulan sebelum Indonesia merdeka, beliau pun telah mengembuskan napas yang penghabisan. Baru pada 19 Disember 1949 saya dapat ziarah ke kuburan beliau di Karet Tanah Abang.
Doa itu masih diteruskan dalam ayat selanjutnya,"Dan supaya aku berbuat amal saleh yang Engkau ridhai." Maka setelah mensyukuri karena kita dilahirkan ke dunia oleh dua orang ibu bapak yang baik-baik dan kita muliakan dan kita wajib berbuat baik kepada beliau dengan berkhidmat kepadanya di kala hidupnya dan mendoakannya setelah keduanya meninggal maka di sambungan ayat ini, kita pun berdoa kepada Allah agar diri kita sendiri dapatlah kiranya menyambung kebajikan beliau-beliau itu. Kalau ayah seorang yang berjasa, diberi Allah kiranya kita sebagai putra melanjutkan jasa itu supaya kita beramal yang saleh yang diridhai Allah. Selanjutnya kita teruskan doa dan harapan,"Dan perbaikilah bagiku pada keturunanku." Janganlah kiranya terhenti sejarah kebajikan dalam hidup kami sehingga aku saja, malahan terus turun-temurun menjadi sejarah dan menjadi kebanggaan.
Dalam perjalanan hidup yang berbelit-belit ini, mendaki dan menurun, pasang naik dan turun, tertawa dan menangis, pernah jaya dan pernah gagal, namun aku tidak hendak berhenti di tengah jalan, mengakulah aku terus terang bahwa tidaklah aku sunyi daripada khilaf dan alpa. Ada kebenaran dan ada bersalah, namun Engkau ya Ilahi tidaklah pernah aku lupakan."Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau," atas kesalahan yang terlanjur aku membuatnya karena kelemahanku, karena kebebalanku, na
mun aku selalu berusaha hendak jadi orang baik.
“Dan walaupun bagaimana, namun aku adalah seorang Muslim."
Pada ayat selanjutnya Allah memberikan pengharapan. Alangkah sedihnya hidup kalau tidak diberi pengharapan! Allah berfirman selanjutnya.
Ayat 16
“Itulah orang-orang yang Kami kabulkan dari mereka yang amat baik dari apa yang mereka kerjakan."
Dalam ayat ini Allah menunjukkan bahwa Dia adalah Mahabesar. Dia berkata bahwa perAllahonan yang tulus ikhlas itu dikabulkan berkat amalan baik yang pernah mereka kerjakan. Banyak hamba-Nya itu beramal, ada yang baik atau yang hampir baik tetapi ada lagi yang sangat baik dan lebih baik. Demi yang lebih baik itu, perAllahonannya akan ampunan dikabulkan.
“Dan Kami lampaui dari kesalahan-kesalahan mereka." Artinya, kalau ada kesalahan maka kesalahan itu Kami"lampaui" saja, tidak Kami ambil menjadi tuntutan yang berat karena bilamana dibandingkan kesalahan itu dengan jasa-jasa dan amalan baik dan yang mulia yang mereka amalkan, menjadi kecillah kesalahan itu. Sebab itu dilampaui saja! Karena jaranglah di atas dunia ini manusia yang akan terlepas sama sekali daripada kesalahan dan kealpaan. Kesalahan itu menjadi kecil jika dibandingkan dengan jasa dan usaha baik yang mereka kerjakan. Di sini terdapat lagi kepentingan amalan yang dikerjakan oleh manusia di samping pengakuannya, sebagaimana tersebut di ujung ayat 14 di atas tadi. Dijelaskan lagi selanjutnya bahwa mereka"termasuk yang menempati surga."
Dengan ayat ini diberilah manusia pengharapan atau raja' yang tegas dan tidak berliku-liku. Yaitu hiduplah dan beramallah dan tujulah yang baik. Mungkin ada kesalahan dan kealpaan berkecil-kecil yang itu akan dilampaui saja oleh Allah. Karena kesalahan yang kecil itu sudah dilampaui saja, dipandang tidak ada saja atau tidak dibuka bukunya dibandingkan dengan amalan dan usaha besar yang telah diperjuangkannya dengan segenap tenaganya di kala hidupnya.
Maka apabila ditinjau dan direnungkan dari ayat 15 di atas, jelaslah bagaimana manusia meneruskan warisan budi dari orang tuanya, menerima pusaka dari laku yang baik. Anak menerima dari ayah dan meneruskan lagi kepada anak cucunya. Disuruh orang berbuat baik, melakukan jasa kepada kedua orang ibu bapaknya sehingga ibu bapak itu merasa bahagia karena anak-anaknya meneruskan pusaka orang tuanya. Karena pusaka emas, perak, dan harta berida bisa saja habis dan musnah karena peredaran masa. Namun waris pusaka yang hakiki ialah pendirian hidup, aqidah dan agama. Itulah yang mesti dipelihara dan dipupuk. Anak mensyukuri apa yang diterimanya dari kedua orang tuanya dan berharap lagi kepada Allah semoga anak-anak yang akan menggantikannya kelak meneruskan pula.
“Janji yang benar yang mereka telah dijanjikan."
Jika mereka benar dalam tujuan, benar dalam amalan, dan segala usahanya hanya tertuju kepada Alah dan karena Alah, dikerjakannya dengan penuh ikhlas serta hati yang tulus, tidak disyarikatkannya dengan selain daripada Allah maka janji Allah tetap akan berlaku.
Kemudian itu, Allah menerangkan pula kemungkinan lain, yang bisa saja terjadi.
Ayat 17
“Dan ada yang berkata kepada kedua orang ibu bapaknya, ‘Akh, kamu keduanya!'"
Dalam kata-kata demikian ternyata si anak menghinakan kepada kedua orang ibu bapaknya. Biasa juga dikatakan orang dalam susunan bahasa yang lain,"Cis, bagi kamu keduanya!" Kita artikan"akh!" atau"cis!" se-bagai arti dari kata bahasa Arab:"ujfin!" Yaitu kata mengejek, memandang rendah dan menghina kepada orang tua yang di dalam ayat 23 surah al-Israa' Allah berfirman,
“Dan janganlah berkata kepada keduanya,
Atau janganlah berkata kepada keduanya,"Akh!" menunjukkan bosan, merendahkan, memandang ayah bunda di bawah derajat dari anak."Apakah kamu keduanya menjanjikan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan? Padahal telah berlalu beberapa angkatan sebelum aku?" Dan tahun ke tahun dikatakan bahwa manusia sesudah matinya akan dibangkitkan kembali bahwa kelak hari akan Kiamat, bahwa manusia akan dibangkitkan lagi sesudah matinya. Turun-temurun mendengar kata-kata demikian dari nabi-nabi, dari orang tua-orang tua. Semuanya itu cakap kosong, tidak ada bukti. Sudah turun-temurun sejak zaman purbakala ada saja perkataan demikian, namun belum seorang juga manusia yang telah mati hidup kembali. Kami tidak percaya lagi kata-kata kolot dan bodoh seperti demikian. Sudah berlalu berapa angkatan sebelum aku semuanya menyebut itu, padahal satu pun belum ada yang terbukti. Kalau sudah mati, hancurlah badan dalam kubur dan tinggallah tulang-belulang!
Maka sedihlah hati kedua orang tua, ayah dan bunda yang sangat besar harapan mereka bahwa anaknya akan meneruskan aqidah dan kepercayaan yang mereka pegang turun-temurun."Dan kedua orang tua itu pun meAllahon pertolongan kepada Allah," karena sangat sedih hatinya mendengarkan perkataan putranya yang telah sangat sesat itu, lalu mereka berkata dengan sedihnya,"Malang engkau, Nak! Percayatah, sesungguhnya janji Allah itu adalah benar!" Dengan kata demikian si ayah dan bunda telah menyatakan iman mereka yang mendalam dan kasih sayang kepada anak, walaupun anak itu telah sesat tidaklah berkurang sedikit jua, hanya kasihanlah yang tumbuh. Namun si anak, karena kufurnya telah pula menjawab seruan orang tuanya.
“Maka berkatalah dia, ‘Tidak lain ini hanyalah dongeng-dongeng purbakala belaka.'"
Lalu Allah berfirman menjelaskan peristiwa itu.
Ayat 18
“Itulah orang-orang yang pasti berlaku atas mereka perkataan pada umat-umat yang telah berlalu sebelum mereka."
Artinya, bahwasanya hal yang demikian bukanlah berlaku di waktu itu saja seperti tersebut dalam ayat. Bahkan sebelum mereka sudah ada juga orang-orang durhaka seperti demikian, bahkan ayah dan bundanya pun dilecehkannya, dianggapnya bodoh sebab memegang kepercayaan demikian. Dikatakannya kepercayaan begitu tidak masuk akal, itu hanya dongeng yang tidak dapat dipegang. Masakan orang yang telah mati akan hidup kembali."Dari jin dan manusia," artinya bukan dalam kalangan manusia yang berani berkata begitu, membantah dan menghinakan kepercayaan akan hari kemudian, hari berbangkit, hidup sesudah inati kelak, bahkan jin pun ada yang berkata begitu kepada sesamanya bangsa jin. Maka di ujung ayat ditegaskan oleh Allah nasib orang-orang yang berpendirian begitu,
“Sesungguhnya mereka itu adalah merugi semua"
Kemudian sekali lagi datanglah ayat lebih
menjelaskan lagi tentang pengaruh amai bagi kehidupan manusia buat zaman kini dan zaman depan.
Ayat 19
“Dan bagi masing-masing mereka ada tingkatan dari sebab apa yang telah mereka amalkan"
Ayat ini menjelaskan bahwa bagi tiap-tiap orang adalah amal itu yang menentukan tingkat hidup dalam masyarakat. Amalan yang baik tidak akan ada kelengahan, bahkan selalu ada penghargaan atas nilai amalan yang telah mereka kerjakan. Terutama di sisi Allah dan di sisi orang yang berakal dan berbudi.
"Supaya dipenuhi-Nya untuk mereka bekas amalan-amalan itu." Maka dengan karunia dari Allah orang yang lebih banyak amalannya yang baik, berfaedah bagi dirinya dan bagi masyarakatnya dan lebih banyak yang baik itu daripada yang jahat, sesudah melalui pertimbangan yang saksama maka dengan karunia Allah menerimalah dia pahala dan rahmat yang berlipat ganda. Adapun yang bersalah, setelah dilakukan pula pemeriksaan dan pertimbangan yang teliti, ternyata pula bahwa kejahatannya lebih banyak maka dihukumlah dia. Kalau dia dihukum bukanlah karena Allah Ta'aala itu kejam, melainkan karena Allah Ta'aala itu adil. Kasih sayang Allah yang tidak disertai keadilan Allah adalah menurunkan derajat Allah itu sendiri. Dan itu adalah mustahil. Di ujung ayat dijelaskan lagi untuk menghilangkan segala keraguan.
“Dan mereka tidaklah akan teraniaya."
Mustahil bahwa Allah akan menganiaya. Karena aniaya adalah sifat kekurangan. Sifat dendam dari orang yang ambisi hendak mempertahankan kekuasaan sehingga orang yang tidak bersalah dia hukum juga demi mempertahankan kedudukan atau prestise.
Ayat 20
“Dan di hati yang akan dipertontonkan orang-orang yang tidak mau percaya itu ke neraka."
Sebelum masuk ke dalam neraka itu, lebih dahulu diperlihatkan kepada mereka bagaimana berituknya, bagaimana rupanya, dan bagaimana hebat dahsyatnya tempat yang pasti akan mereka masuki itu. Lalu diterangkan apa sebab mereka mesti dimasukkan ke sana. Allah berkata selanjutnya kepada mereka tatkala mereka telah berdiri melihat dahsyatnya nyala api neraka."Kamu telah menghabiskan kebaikan kamu semasa hidup kamu di dunia." Kamu telah mengatakan sendiri"semasa di dunia ambil kesempatan karena mati belum tentu bila datangnya." Lalu kamu berfoya-foya menurutkan hawa nafsu yang tidak berbatas. Padahal nafsumu dan keinginanmu saja yang tidak berbatas. Tenagamu berbatas, kekuatanmu berbatas, dan waktumu pun berbatas! Kamu lupa itu." Dan kamu telah bersenang-senang dengan dia" Senang yang kamu cari padahal penyakit yang kamu dapati. Penyakit jasmani atau ruhari, kegelisahan, penyesalan, kacau balau dalam rumah tangga."Namun pada hari ini, kamu akan dibalasi dengan adzab siksaan yang hina dari sebab kamu telah menyombong di bumi tidak dengan kebenaran." Kesombongan memang tidak dengan kebenaran. Karena, kesombongan adalah kedustaan pada perbuatan. Karena dusta itu bukanlah mengatakan yang lurus jadi bengkok menurut mulut saja! Kesombongan termasuk dalam sikap hidup. Apabila seseorang hidup mewah berlebih-lebihan, nyatalah dia telah berdusta, sebab uang yang dipakainya itu bukanlah kepunyaannya sendiri. Apabila orang berlaku berigis dan zalim karena dia berpangkat tinggi, itu adalah kedustaan karena dia tidak mengakui kata hatinya sendiri bahwa pangkat yang dijabatnya itu dahulu tidak ada dan satu waktu akan ditinggalkannya. Maka selain dari kesombongan ada lagi yang lain.
“Dan dari sebab kamu telah berbuat kejahatan."
Dan semua adalah perlakuan atas keadilan Allah.