Ayat
Terjemahan Per Kata
لِلۡفُقَرَآءِ
bagi orang-orang fakir
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
أُحۡصِرُواْ
(mereka) terkepung
فِي
di
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
لَا
tidak
يَسۡتَطِيعُونَ
mereka dapat
ضَرۡبٗا
berusaha
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
يَحۡسَبُهُمُ
menyangka mereka
ٱلۡجَاهِلُ
orang yang bodoh
أَغۡنِيَآءَ
orang-orang kaya
مِنَ
dari
ٱلتَّعَفُّفِ
meminta-minta
تَعۡرِفُهُم
kamu kenal mereka
بِسِيمَٰهُمۡ
dengan sifat-sifat mereka
لَا
tidak
يَسۡـَٔلُونَ
mereka meminta
ٱلنَّاسَ
manusia
إِلۡحَافٗاۗ
secara mendesak
وَمَا
dan apa
تُنفِقُواْ
kamu nafkahkan
مِنۡ
dari
خَيۡرٖ
yang baik
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
بِهِۦ
dengannya/padanya
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
لِلۡفُقَرَآءِ
bagi orang-orang fakir
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
أُحۡصِرُواْ
(mereka) terkepung
فِي
di
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
لَا
tidak
يَسۡتَطِيعُونَ
mereka dapat
ضَرۡبٗا
berusaha
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
يَحۡسَبُهُمُ
menyangka mereka
ٱلۡجَاهِلُ
orang yang bodoh
أَغۡنِيَآءَ
orang-orang kaya
مِنَ
dari
ٱلتَّعَفُّفِ
meminta-minta
تَعۡرِفُهُم
kamu kenal mereka
بِسِيمَٰهُمۡ
dengan sifat-sifat mereka
لَا
tidak
يَسۡـَٔلُونَ
mereka meminta
ٱلنَّاسَ
manusia
إِلۡحَافٗاۗ
secara mendesak
وَمَا
dan apa
تُنفِقُواْ
kamu nafkahkan
مِنۡ
dari
خَيۡرٖ
yang baik
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
بِهِۦ
dengannya/padanya
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
Terjemahan
(Apa pun yang kamu infakkan) diperuntukkan bagi orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah dan mereka tidak dapat berusaha di bumi. Orang yang tidak mengetahuinya mengira bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka memelihara diri dari mengemis. Engkau (Nabi Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya (karena) mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Kebaikan apa pun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Mahatahu tentang itu.
Tafsir
(Ialah bagi orang-orang fakir) menjadi predikat atau khabar dari subjek atau mubtada yang dibuang yang diperkirakan berbunyi, "Sedekah itu untuk...." (yang terikat di jalan Allah), maksudnya yang menyediakan diri mereka untuk berjihad. Mereka itu ialah ahli sufi sebanyak 400 orang Muhajirin yang menekuni Al-Qur'an dan menunggu kesempatan untuk pergi keluar bersama rombongan pasukan. (Mereka tidak dapat berusaha) atau menjadi musafir (di muka bumi) untuk berdagang dan mencari penghidupan karena kesibukan mereka dalam perjuangan itu. (Orang-orang yang tidak tahu menyangka mereka) melihat keadaan lahiriah mereka (kaya raya karena mereka memelihara diri dari meminta-minta) karena segan dan tak hendak menadahkan tangan mereka. (Kamu mengenal mereka) hai para mukhathab (dengan tanda-tanda) atau ciri-ciri mereka misalnya tawaduk atau rendah hati dan bekas-bekas keletihan. (Mereka tak hendak meminta kepada orang-orang) sesuatu (dengan mendesak) artinya pada dasarnya mereka tak hendak meminta, hingga tidak mungkin pula akan mendesak. (Dan apa saja harta yang baik yang kamu infakkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya) dan akan membalasnya.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 272-274
Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (taufik) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kalian infakkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kalian sendiri. Dan janganlah kalian berinfak kecuali untuk mencari rida Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kalian infakkan, niscaya kalian akan diberi pahalanya dengan cukup, sedangkan kalian tidak akan dizalimi (dirugikan) sedikit pun.
(Berinfaklah) untuk orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat berusaha mencari nafkah di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta.
Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara paksa. Dan apa saja harta yang baik yang kalian infakkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.
Orang-orang yang menginfakkan hartanya di malam dan siang hari secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada diri mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.
Ayat 272
Abu Abdur Rahman An-An-Nasai mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdus Salam ibnu Abdur Rahim, telah menceritakan kepada kami Al-Faryabi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari Ja'far ibnu Iyas, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mereka (kaum muslim pada permulaan Islam) tidak suka bila nasab (hubungan kekeluargaan) mereka dikaitkan dengan orang-orang musyrik. Lalu mereka meminta, dan diberikan keringanan kepada mereka dalam masalah ini. Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya:
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (taufik) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kalian infakkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kalian sendiri. Dan janganlah kalian berinfak kecuali untuk mencari rida Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kalian infakkan, niscaya kalian akan diberi pahalanya dengan cukup, sedangkan kalian tidak akan dizalimi (dirugikan) sedikit pun.” (Al-Baqarah: 272)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Abu Huzaifah, Ibnul Mubarak, Abu Ahmad Az-Zubairi, dan Abu Dawud Al-Hadrami, dari Sufyan (yaitu Ats-Tsauri).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Qasim ibnu Atiyyah, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Abdurrahman (yakni Addusytuki) ayahku telah menceritakan kepadaku dari ayahnya; Asy'as ibnu Ishaq telah menceritakan kepada kami dari Ja'far ibnu Abdul Mugirah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ, bahwa Nabi ﷺ memerintahkan agar janganlah diberi sedekah kecuali orang-orang yang memeluk Islam, hingga turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 272), hingga akhir ayat. Setelah ayat ini turun, maka Nabi ﷺ memerintahkan memberi sedekah kepada setiap orang yang meminta kepadamu dari semua kalangan agama.
Dalam hadits Asma binti As-Siddiq akan dijelaskan masalah ini, yaitu dalam tafsir firman-Nya: “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian.” (Al-Mumtahanah: 8)
Firman Allah ﷻ: “Dan apa saja harta yang baik yang kalian infakkan (di jalan Allah), maka pahalanya untuk kalian sendiri.” (Al-Baqarah: 272) sama dengan firman-Nya: “Barang siapa yang mengerjakan amal yang saleh, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri.” (Fussilat: 46) Dan di dalam Al-Qur'an masih banyak ayat yang semakna.
Firman Allah ﷻ: “Dan janganlah kalian berinfak kecuali untuk mencari rida Allah.” (Al-Baqarah: 272)
Menurut Al-Hasan Al-Basri adalah infak seorang mukmin buat dirinya sendiri. Seorang mukmin tidak sekali-kali mengeluarkan infak kecuali untuk mencari rida Allah.
Menurut ‘Atha’ Al-Khurrasani, makna yang dimaksud ialah 'apabila kamu mengeluarkan sedekah karena Allah, maka kamu tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang telah kamu amalkan itu'.
Makna ini cukup bagus, yang artinya dengan kata lain ialah 'apabila seseorang bersedekah karena mengharapkan rida Allah, maka sesungguhnya pahalanya telah ada di sisi Allah'. Ia tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang apakah memberikannya kepada orang yang takwa atau orang yang ahli maksiat, atau orang yang berhak atau orang yang tidak berhak. Kesimpulannya ia mendapat pahala sesuai dengan apa yang diniatkannya.
Sebagai dalil yang dijadikan dasar dari makna ini ialah firman selanjutnya, yaitu: “Dan apa saja harta yang baik yang kalian infakkan, niscaya kalian akan diberi pahalanya dengan cukup, sedangkan kalian tidak akan dizalimi (dirugikan) sedikit pun.” (Al-Baqarah: 272)
Hadits shahih yang diketengahkan di dalam kitab shahihain melalui jalur Abuz Zanad, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Seorang lelaki berkata, "Aku benar-benar akan mengeluarkan sedekah malam ini." Lalu ia keluar dengan membawa sedekahnya, kemudian ia memberikannya kepada wanita tuna susila. Pada pagi harinya orang-orang ramai membicarakan bahwa dia telah memberikan sedekahnya pada wanita tuna susila. Maka ia berkata, "Ya Allah, segala puji bagi-Mu atas sedekahku untuk wanita pezina. Aku benar-benar akan mengeluarkan sedekah lagi malam ini."
Maka ia memberikan sedekahnya itu kepada orang kaya. Pada pagi harinya orang-orang ramai membicarakan bahwa dia tadi malam memberikan sedekahnya kepada orang kaya. Ia berkata, "Ya Allah, segala puji bagi-Mu atas sedekahku untuk orang kaya. Aku benar-benar akan mengeluarkan sedekahku lagi malam ini."
Lalu ia keluar dan memberikan sedekahnya kepada pencuri, maka pada pagi harinya orang-orang ramai membicarakan bahwa dia telah memberikan sedekahnya tadi malam kepada pencuri. Ia berkata, "Ya Allah, segala puji bagi-Mu atas sedekahku untuk wanita tuna susila, orang kaya, dan pencuri."
Kemudian ia didatangi (seseorang) dan dikatakan kepadanya, "Adapun mengenai sedekahmu, sesungguhnya telah diterima darimu. Mengenai wanita tuna susila, barangkali ia akan memelihara kehormatannya dengan sedekahmu itu dan tidak berzina lagi. Barangkali orang yang kaya itu sadar karena sedekahmu itu, lalu ia pun menginfakkan sebagian dari apa yang diberikan oleh Allah kepadanya. Dan barangkali si pencuri akan memelihara kehormatannya dengan sedekahmu itu dan tidak mencuri lagi."
Ayat 273
Firman Allah ﷻ: (Berinfaklah) untuk orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. (Al-Baqarah: 273)
Yakni kaum Muhajirin yang menyibukkan diri mereka untuk membela Allah dan Rasul-Nya serta tinggal di Madinah, sedangkan mereka tidak mempunyai usaha yang dijadikan pegangan untuk mencukupi diri mereka sendiri.
“Mereka tidak dapat berusaha mencari nafkah di bumi.” (Al-Baqarah: 273)
Maksudnya, mereka tidak dapat bepergian untuk berusaha mencari penghidupan. Istilah ad-darbu fil ardi adalah bepergian, seperti pengertian yang ada di dalam firman lainnya, yaitu: “Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian mengqasar shalat (kalian).” (An-Nisa: 101) “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kalian orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang lain yang berjuang di jalan Allah.” (Al-Muzzammil: 20), hingga akhir ayat.
Adapun firman Allah ﷻ: “Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta.” (Al-Baqarah: 273) Artinya, orang yang tidak mengetahui perihal dan keadaan mereka pasti menduga bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka memelihara dirinya melalui pakaian, keadaan, dan ucapan mereka. Semakna dengan ayat ini sebuah hadits yang kesahihannya telah disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang miskin itu bukanlah orang yang suka berkeliling (meminta-minta) yang pergi setelah diberi sebiji atau dua biji kurma, sesuap atau dua suap makanan, dan sepiring atau dua piring makanan; tetapi orang miskin yang sesungguhnya ialah orang yang tidak mempunyai kecukupan yang mencukupi dirinya, dan keadaannya tidak diketahui sehingga mudah diberi sedekah, serta tidak pernah meminta sesuatu pun kepada orang lain.”
Imam Ahmad meriwayatkannya pula melalui hadits Ibnu Mas'ud
Firman Allah ﷻ: “Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya.” (Al-Baqarah: 273)
Yakni melalui penampilan mereka bagi orang-orang yang memahami sifat-sifat mereka. Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya: “Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” (Al-Fath: 29)
“Dan kalian benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka.” (Muhammad: 30)
Di dalam sebuah hadits yang terdapat di dalam kitab-kitab sunnah disebutkan seperti berikut: Takutlah kalian kepada firasat orang mukmin, karena sesungguhnya dia memandang dengan nur Allah. Kemudian beliau ﷺ membacakan firman-Nya, "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda." (Al-Hijr 75)
Firman Allah ﷻ: “Mereka tidak meminta kepada orang secara paksa.” (Al-Baqarah: 273)
Maksudnya, dalam meminta mereka tidak pernah memaksa (mendesak) dan tidak pernah membebankan kepada orang lain apa yang tidak mereka perlukan. Karena sesungguhnya orang yang meminta kepada orang lain, sedangkan ia mempunyai kecukupan yang dapat menjaminnya untuk tidak meminta, berarti ia melakukan permintaan dengan cara memaksa (mendesak).
Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syarik ibnu Abu Namir, bahwa ‘Atha’ ibnu Yasar dan Abdur Rahman ibnu Abu Amrah Al-Ansari pernah menceritakan bahwa mereka pernah mendengar Abu Hurairah menceritakan hadits berikut, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang miskin itu bukanlah orang yang pergi (setelah diberi) sebiji atau dua biji kurma, dan sesuap atau dua suap makanan; melainkan orang miskin yang sebenarnya ialah orang yang memelihara dirinya (dari meminta-minta). Bacalah oleh kalian jika kalian suka, yakni firman-Nya, ‘Mereka tidak meminta kepada orang secara paksa’.” (Al-Baqarah: 273)
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadits Ismail ibnu Ja'far Al-Madini, dari Syarik ibnu Abdullah ibnu Abu Namir, dari ‘Atha’ ibnu Yasar sendiri, dari Abu Hurairah dengan lafal yang sama.
Abu Abdur Rahman An-An-Nasai mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Hujr, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Syarik (yakni Ibnu Abu Namir), dari ‘Atha’ ibnu Yasar, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Orang miskin itu bukanlah orang yang pergi (setelah diberi) sebiji atau dua biji kurma, dan sesuap atau dua suap makanan; melainkan orang miskin adalah orang yang memelihara dirinya (dari meminta-minta). Bacalah oleh kalian jika kalian suka, yaitu firman-Nya, ‘Mereka tidak meminta kepada orang secara paksa’.” (Al-Baqarah: 273).
Imam Al-Bukhari meriwayatkan melalui hadits Syu'bah, dari Muhammad ibnu Abu Ziyad, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ hal yang serupa.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Zi-b, dari Abul Walid, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang miskin itu bukanlah orang yang suka berkeliling (meminta-minta) kepada kalian, lalu kalian memberinya makan sesuap demi sesuap. Sesungguhnya orang miskin hanyalah orang yang memelihara dirinya dari meminta-minta kepada orang lain secara paksa.”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Mu'tamir, dari Al-Hasan ibnu Malik, dari Saleh ibnu Suwaib, dari Abu Hurairah yang mengatakan: “Orang miskin itu bukanlah orang yang suka berkeliling (meminta-minta), yang pergi setelah diberi sepiring atau dua piring makanan; tetapi orang miskin itu adalah orang yang memelihara dirinya, tinggal di dalam rumahnya, tidak pernah meminta kepada orang lain sesuatu hajat yang diperlukannya. Bacalah oleh kalian firman Allah ﷻ jika kalian suka, yaitu: ‘Mereka tidak meminta kepada orang secara paksa’.” (Al-Baqarah: 273).
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al-Hanafi, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnu Ja'far, dari ayahnya, dari seorang lelaki dari kalangan Bani Muzayyanah, bahwa ibu si lelaki tersebut pernah berkata kepadanya, "Mengapa kamu tidak berangkat untuk meminta-minta kepada Rasulullah ﷺ sebagaimana orang-orang lain meminta-minta kepadanya?" Maka aku (lelaki tersebut) berangkat untuk meminta-minta kepadanya, tetapi kujumpai beliau sedang berdiri berkhotbah seraya bersabda dalam khotbahnya itu: “Barang siapa yang memelihara dirinya (dari meminta-minta), maka Allah akan memelihara kehormatannya; dan barang siapa yang merasa berkecukupan, maka Allah membuatnya berkecukupan. Dan barang siapa yang meminta kepada orang lain, sedangkan ia mempunyai makanan sejumlah kurang lebih lima uqiyah, berarti dia meminta kepada orang lain secara paksa.” Maka aku berkata kepada diriku sendiri bahwa seekor unta milikku jauh lebih baik daripada lima uqiyah makanan, dan budakku memiliki unta lain yang jelas lebih baik daripada lima uqiyah. Maka aku kembali, tidak jadi meminta.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abur Rijal, dari Imarah ibnu Arafah, dari Abdur Rahman ibnu Abu Sa'id, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ibunya menyuruhnya datang kepada Rasulullah ﷺ untuk meminta sesuatu kepada beliau ﷺ. Lalu ia datang menghadap kepada Rasulullah dan duduk. Rasulullah ﷺ menyambutku, lalu bersabda: “Barang siapa yang merasa berkecukupan, maka Allah akan membuatnya berkecukupan; dan barang siapa yang memelihara dirinya (dari meminta-minta), maka Allah memelihara kehormatannya. Dan barang siapa yang menahan dirinya (dari meminta-minta), maka Allah memberinya kecukupan. Dan barang siapa yang meminta, sedangkan dia mempunyai makanan satu uqiyah, berarti dia telah berbuat ilhaf (meminta dengan cara paksa).” Perawi melanjutkan kisahnya, lalu aku berkata bahwa untaku yang bernama Yaqutah lebih baik daripada satu uqiyah makanan. Maka aku kembali, tidak jadi meminta-minta kepadanya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasai yang keduanya bersumber dari Qutaibah. Imam Abu Dawud menambahkan, juga dari Hisyam ibnu Ammar; keduanya dari Abdur Rahman ibnu Abur Rijal berikut sanadnya dengan lafal yang serupa.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Jamahir, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abur Rijal, dari Imarah ibnu Arafah, dari Abdur Rahman ibnu Abu Sa'id yang menceritakan bahwa Abu Sa'id Al-Khudri menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang meminta-minta, sedangkan dia mempunyai barang sebanyak satu uqiyah, berarti dia orang yang mulhif (meminta secara paksa).” Yang dimaksud dengan satu uqiyah adalah sama harganya dengan empat puluh dirham.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Zaid ibnu Aslam, dari ‘Atha’ ibnu Yasar, dari seorang lelaki dari kalangan Bani Asad yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang meminta-minta, sedangkan dia mempunyai barang sebanyak satu uqiyah atau yang sebanding dengannya, berarti dia telah meminta secara paksa.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Hakim ibnu Jubair, dari Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Yazid, dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺbersabda: Barang siapa yang meminta-minta, sedangkan dia mempunyai sesuatu yang mencukupinya, maka kelak perbuatan meminta-mintanya itu datang di hari kiamat dalam bentuk gurat-gurat atau luka-luka goresan pada wajahnya. Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah jumlah yang mencukupi itu?" Nabi ﷺ menjawab, "Lima puluh dirham atau yang seharga dengannya dalam bentuk emas."
Para pemilik kitab sunnah yang empat (Arba'ah) mengetengahkan hadits ini melalui Hakim ibnu Jubair Al-Asadi Al-Kufi, yang dinilai matruk (ditinggalkan haditsnya) oleh Syu'bah ibnul Hajjaj dan dinilai dha’if tidak hanya oleh seorang Imam ahli hadits sebagai akibat dari hadits ini.
Al-Hafidzh Abul Qasim At-Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Hadrami, telah menceritakan kepada kami Abu Husain Abdullah ibnu Ahmad ibnu Yunus, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Iyasy, dari Hisyam ibnu Hassan, dari Muhammad ibnu Sirin yang mengatakan, "Telah sampai kepada Al-Haris seorang lelaki yang tinggal di negeri Syam dari kalangan Quraisy bahwa Abu Dzar dalam keadaan miskin. Maka Al-Haris mengirimkan kepadanya tiga ratus dinar. Lalu Abu Dzar berkata, 'Abdullah (hamba Allah) tidak akan menemukan seorang lelaki pun yang lebih memerlukannya selain dari diriku. Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Barang siapa yang meminta-minta, sedangkan dia mempunyai empat puluh (dirham), berarti ia telah berbuat ilhaf (meminta secara paksa).’ Saat itu keluarga Abu Dzar mempunyai empat puluh dirham, empat puluh ekor kambing, dan dua orang pelayan (budak)."
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abdul Jabbar, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Daud ibnu Sabur, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Barang siapa yang meminta-minta, sedangkan dia mempunyai empat puluh dirham, berarti dia orang yang mulhif dan perumpamaannya sama dengan pasir.”
Imam An-Nasai meriwayatkan dari Ahmad ibnu Sulaiman, dari Ahmad ibnu Adam, dari Sufyan (yakni Ibnu Uyaynah) berikut sanadnya dengan lafal yang serupa.
Firman Allah ﷻ: “Dan apa saja harta yang baik yang kalian infakkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 273)
Yakni tidak ada sesuatu pun yang samar bagi Allah. Karena itu, Dia akan memberikan balasan pahalanya dengan lengkap dan sempurna di hari kiamat kelak, yaitu di saat orang yang bersangkutan sangat memerlukannya.
Ayat 274
Firman Allah ﷻ: “Orang-orang yang menginfakkan hartanya di malam dan siang hari secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada diri mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 274)
Hal ini merupakan pujian dari Allah ﷻ kepada orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah dan untuk mencari rida-Nya di segala waktu baik siang maupun malam hari dan dengan berbagai cara baik yang sembunyi-sembunyi ataupun yang terang-terangan sehingga infak (nafkah) buat keluarga pun termasuk ke dalam pengertian ini pula.
Seperti yang telah dituliskan di dalam kitab Shahihain, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada Sa'd ibnu Abu Waqqas, ketika beliau menjenguknya yang sedang sakit pada tahun kemenangan atas kota Mekah, menurut pendapat yang lain pada tahun haji wada', yaitu: “Dan sesungguhnya kamu tidak sekali-kali mengeluarkan suatu infak dengan mengharapkan rida Allah, melainkan engkau makin bertambah derajat dan ketinggianmu karenanya, termasuk makanan yang kamu suapkan ke dalam mulut istrimu.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far dan Bahz; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Addi ibnu Sabit yang telah menceritakan bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Yazid Al-Ansari menceritakan hadits berikut dari Abu Mas'ud , dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Sesungguhnya seorang muslim itu apabila mengeluarkan suatu infak (nafkah) kepada istrinya dengan mengharapkan pahala dari Allah, maka hal itu bernilai sedekah baginya.”
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadits ini melalui Syu'bah dengan lafal yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Yasar menceritakan hadits berikut dari Yazid ibnu Abdullah ibnu Uraib Al-Mulaiki, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi ﷺ, bahwa firman-Nya: “Orang-orang yang menginfakkan hartanya di malam dan di siang hari secara-sembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.” (Al-Baqarah: 274), diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang memiliki kuda (untuk berjihad di jalan Allah).
Habsy As-San'ani meriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, bahwa mereka adalah orang-orang yang memelihara kuda untuk berjihad di jalan Allah. Atsar yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, kemudian ia mengatakan bahwa hal yang sama diriwayatkan pula dari Abu Umamah, Sa'id ibnul Musayyab, dan Makhul.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Yaman, dari Abdul Wahhab ibnu Mujahid, dari Ibnu Jubair, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Ali mempunyai uang empat dirham, lalu ia meginfakkan satu dirham darinya di malam hari, satu dirham lainnya pada siang harinya, dan satu dirham lagi dengan sembunyi-sembunyi, sedangkan dirham terakhir ia infakkan secara terang-terangan. Maka turunlah Firman-Nya: “Orang-orang yang menginfakkan hartanya di malam hari dan di siang hari secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan.” (Al-Baqarah: 274)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur Abdul Wahhab ibnu Mujahid, sedangkan dia orang yang dha’if. Akari tetapi, Ibnu Mardawaih meriwayatkannya pula melalui jalur yang lain dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ali ibnu Abu Thalib.
Firman Allah ﷻ: “Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.” (Al-Baqarah: 274)
Yakni di hari kiamat nanti sebagai balasan dari infak yang telah mereka keluarkan di jalan ketaatan.
“Tidak ada ada rasa takut pada diri mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 274)
Tafsir ayat ini telah diterangkan sebelumnya.
petunjuk yang membuat mereka melaksanakan tuntunan Allah secara benar. Engkau hanyalah sekadar penyampai risalah secara lisan dan dengan keteladanan melalui cara-cara yang terbaik, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Apa pun harta yang kamu infakkan, atau keluarkan, maka kebaikannya akan kembali untuk dirimu sendiri selama kamu berusaha keras dan melakukannya secara ikhlas untuk mendapatkan keridaan-Nya. Dan janganlah kamu berinfak mengeluarkan harta melainkan karena mencari rida Allah. Dan apa pun harta yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi balasan secara penuh bahkan akan dilipatgandakan balasannya dan kamu tidak akan dizalimi atau dirugikan, bahkan diuntungkan, sebab seperti dinyatakan dalam Surah an-Nahl/16: 96, harta yang ada pada seseorang akan habis dan punah, sedangkan yang disedekahkan untuk mencari keridaan Allah akan kekal ganjarannya hingga hari kiamat. Orang-orang yang menginfakkan hartanya dalam berbagai situasi dan kondisi, di malam dan siang hari, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, banyak atau sedikit, mereka akan mendapat pahala di sisi Tuhannya selama mereka mengeluarkannya secara ikhlas dan dengan cara-cara yang baik. Tidak ada kekhawatiran atas mereka bahwa nanti mereka akan mendapat siksa, sebab mereka aman dari siksa karena amal saleh yang mereka persembahkan, dan mereka tidak pula bersedih hati, risau dan gelisah, sebab hati mereka selalu dalam keadaan tenang.
.
Ciri-ciri dan hal ihwal orang-orang yang lebih berhak menerima sedekah, yaitu:
1. Mereka yang dengan ikhlas telah mengabdikan diri pada tugas dalam rangka jihad fi sabilillah, sehingga mereka tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan pekerjaan lain sebagai sumber rezeki. Misalnya kaum muhajirin, yang pada permulaan Islam ada yang termasuk fakir miskin, karena telah meninggalkan harta benda mereka di Mekah, untuk dapat berhijrah ke Medinah, demi mempertahankan dan mengembangkan Agama Islam. Mereka sering bertempur di medan perang, menangkis kezaliman orang-orang kafir sehingga tidak punya waktu luang untuk mencari nafkah.
2. Fakir miskin yang tidak mampu berusaha, baik dengan berdagang maupun dengan pekerjaan lainnya, karena mereka sudah lemah, atau sudah lanjut usia, atau karena sebab-sebab lain.
3. Fakir miskin yang dikira oleh orang lain sebagai orang berkecukupan, karena mereka itu sabar dan menahan diri dari meminta-minta.
4. Mereka yang bertugas untuk menghafal Al-Qur'an, mempelajari ajaran agama serta memelihara sunah Nabi dengan cara hidup sederhana.
Fakir miskin dapat diketahui dari tanda-tanda yang tampak pada diri mereka. Mereka sama sekali tidak mau minta-minta, atau kalau mereka meminta, tidak dengan mendesak atau memaksa. Dalam hubungan ini Rasulullah ﷺ bersabda:
Yang dinamakan "orang miskin" bukanlah orang yang keliling (untuk minta-minta) pada orang-orang, yang tidak memperoleh sesuap atau dua suap nasi, dan sebiji atau dua biji kurma. Tetapi orang miskin yang sejati adalah orang yang tidak mendapatkan kecukupan untuk dirinya dan tidak diketahui keadaannya sehingga ia diberi sedekah, ia juga tidak pergi untuk meminta-minta kepada orang-orang. (Muttafaq 'Alaih)
Di dalam agama Islam, mengemis atau meminta-minta hukumnya haram, kecuali dalam keadaan darurat. Rasulullah bersabda:
Dari Qabishah bin al-Mukhariq r.a. dia berkata, "Saya mempunyai tanggungan untuk umat. Kemudian saya mengahadap Rasulullah ﷺ untuk minta dana dari beliau untuk membayar tanggungan itu. Beliau menjawab, "Tunggulah nanti apabila datang dana zakat, saya akan perintahkan agar kamu diberi dari dana itu". Nabi kemudian berkata, "Hai Qabishah, meminta-minta itu tidak halal kecuali bagi salah satu dari tiga orang. Pertama, orang yang mempunyai tanggungan untuk umat, ia halal meminta-minta sampai ia dapat melunasi tanggungannya, kemudian ia berhenti tidak meminta-minta lagi. Kedua, orang yang ditimpa bencana yang menghancurkan hartanya. Ia boleh meminta-minta sampai dapat menegak-kan kehidupannya. Dan ketiga, orang yang ditimpa kefakiran sampai ada tiga orang yang berakal berkata bahwa orang itu benar-benar ditimpa kefakiran. Dia halal meminta-minta sampai dapat menegakkan kehidupan-nya. Meminta-minta di luar itu, hai Qabishah adalah perbuatan haram yang dimakan oleh pelakunya dengan cara haram." (Riwayat Muslim)
Dalam hubungan infak, yaitu zakat dan sedekah, perlu ditegaskan di sini hal-hal sebagai berikut:
1. Agama Islam telah menganjurkan kepada orang yang berharta agar mereka bersedekah kepada fakir miskin. Apabila bersedekah, hendaklah diberikan barang yang baik, berupa makanan, pakaian dan sebagainya, dan tidak boleh disertai dengan kata-kata yang menyakitkan hati. Artinya, fakir miskin itu harus diperlakukan sebaik mungkin.
2. Anjuran berinfak bukan berarti bahwa Islam memperbanyak fakir miskin dan memberikan dorongan kepada mereka untuk mengemis dan selalu mengharapkan sedekah orang lain sebagai sumber rezeki mereka. Sebab, walaupun di satu pihak agama Islam mewajibkan zakat dan menganjurkan sedekah kepada orang-orang kaya untuk fakir miskin, namun di lain pihak, Islam menganjurkan kepada fakir miskin untuk berusaha melepaskan diri dari kemiskinan, sehingga hidup mereka tidak tergantung kepada sedekah dan pemberian orang lain. Dalam hubungan ini terdapat ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis Rasulullah yang meng-anjurkan untuk giat bekerja, menghilangkan sifat malas dan lalai, serta memuji orang-orang yang dapat mencari rezeki dengan usaha dan jerih payahnya sendiri. Allah berfirman:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. ? (ar-Ra'd/13: 11).
Yang dimaksudkan dengan "apa yang terdapat pada diri mereka" itu antara lain ialah sifat-sifat yang jelek yang merupakan penyebab timbulnya kemiskinan. Misalnya, sifat malas, lalai, tidak jujur, tidak mau menuntut ilmu untuk memiliki kecakapan bekerja, dan sebagainya. Apabila mereka mengubah sifat-sifat tersebut dengan sifat-sifat yang baik, yaitu rajin bekerja, maka Allah akan memberikan jalan kepadanya untuk memperbaiki kehidupannya. Dalam ayat lain, Allah berfirman:
"Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah ?." (al-Jumu'ah/62:10).
Rasulullah ﷺ memuji orang yang memperoleh rezeki dari hasil jerih payah dan keringatnya sendiri. Beliau bersabda:
"Makanan yang terbaik untuk dimakan seseorang ialah dari hasil kerjanya sendiri".(Riwayat al-Bukhari)
Untuk mengangkat harga diri dan menjauhkan dari meminta-minta atau mengharapkan pemberian orang lain, maka Rasulullah ﷺ bersabda:
"Tangan yang di atas (tangan yang memberi), lebih baik dari tangan yang di bawah (tangan yang menerima sedekah atau pemberian orang lain)." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Demikianlah, Islam menghendaki orang-orang yang mempunyai harta suka membantu fakir-miskin.Sebaliknya, Islam menuntun fakir miskin agar berusaha keras untuk melepaskan diri dari kemiskinan itu.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
HIKMAH
Ayat 269
“Dia menganugerahkan hikmah kepada barang siapa yang Dia kehendaki."
Hikmah lebih luas daripada ilmu, bahkan ujung dari ilmu adalah permulaan dari hikmah. Hikmah bisa juga diartikan mengetahui yang tersirat di belakang yang tersurat, menilikyang gaib dari melihat yang nyata, mengetahui akan kepastian ujung karena telah melihat pangkal. Ahli hikmah melihat “cewang di langit tanda panas, gabak di hulu tanda hujan". Perasaan ahli hikmah adalah halus. Karena, melihat alam maka ahli hikmah mengenal Tuhan. Sebab itu, dalam bahasa kita, hikmah disebut bijaksana, sedangkan ahli hikmah disebut bahasa Arab al-hakim adalah satu di antara Asma' Allah! Maka kekayaan yang paling tinggi yang diberikan Allah kepada hamba-Nya ialah kekayaan hikmah itu.
Allah berfirman selanjutnya,"Dan barang-siapa yang diberi hikmah maka sesungguhnya dia telah diberi kekayaan yang banyak."
Ayat ini menunjukkan bahwasanya kekayaan yang sejati ialah hikmah yang diberikan Allah. Kecerdasan akal, keluasaan ilmu, ketinggian budi, kesanggupan menyesuaikan diri dengan masyarakat, itulah kekayaan yang sangat banyak. Betapapun orang menjadi kaya raya, jutawan yang harta bendanya berlimpah-limpah, kalau dia tidak dianugerahi oleh Allah dengan hikmah, samalah artinya dengan orang miskin sebab dia tidak sanggup dan tidak mempunyai pertimbangan yang sehat, buat apa harta bendanya itu akan dikeluarkannya.
“Tetapi tidaklah akan ingat melainkan orang-orang yang berpikiran dalam (yang mempunyai inti pikiran)."
Hanya orang yang mempunyai inti pikiranlah yang akan mengerti soal yang penting ini. Orang yang pikirannya hanya terhadap mengumpulkan benda, yang memandang bahwa kekayaan ialah kesanggupan mengum-pulkan harta belaka, tidaklah akan mengingat ini. Tujuan hidupnya telah berkisar dari Allah kepada harta. Sebab itu, hidupnya tidaklah akan memberi faedah dan manfaat kepada sesamanya manusia dan hari depannya pun akan gelap gulita, baik hari depan dunianya, apatah lagi hari depan akhiratnya.
Ayat 270
“Dan apa pun pembelanjaan yang kamu belanjakan, ataupun nadzar yang kamu nadzarkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya."
Tegasnya, apa pun macamnya belanja yang kamu belanjakan, dermakah atau zakat, bantuan untuk suatu pekerjaan bagi maslahat umum atau pertolongan kepada fakir miskin, memberi belanja kepada kaum keluarga dan lain-lain, baik kamu keluarkan dengan tulus ikhlas hatimu maupun guna kamu bangkit-bangkit dan menyakiti hati mereka, baikkarena Allah maupun karena mengharapkan puji sanjungan manusia, semuanya itu diketahui oleh Allah. Sebab itu, janganlah kamu lupa bahwa Allah selalu memperhatikan kamu dalam gerak-gerikmu.
“Dan bagi orang-orang yang aniaya tidaklah ada orang-orang yang akan menolong."
Maka, Allah lah yang Maha Mengetahui bagaimana sebenarnya niat hatimu ketika engkau memberikan bantuan kepada fakir miskin atau membelanjakan kalau kamu riya maka kamu telah aniaya kepada dirimu sendiri. Bantuanmu tidak diberi pahala di sisi Allah dan perbuatanmu tercela, dan orang lain tidak ada yang dapat menolong buat mengelakkan siksa Tuhan. Demikian juga nadzar yang telah kamu ucapkan, walaupun yang mendengar itu hanya telingamu dan hatimu sendiri saja, tetapi karena telah engkau persaksikan dengan Allah, Allah pun Mahatahu. Kalau nadzar itu tidak engkau penuhi, berdosalah engkau dan tidak pula ada orang lain yang dapat menolongmu jika tempelak Allah datang kepadamu.
***
Ayat 271
“Jika kamu tampakkan sedekah-sedekah itu, baguslah itu, dan jika kamu sembunyikan dia dan kamu berikan dia kepada orang-orang fakir maka itu pun terlebih baik lagi buat kamu."
Dengan ini teranglah bahwa memberikan sedekah, bantuan, sokongan harta benda dengan secara terang-terangan adalah pekerjaan yang bagus. Akan tetapi, pada taraf yang kedua, kalau hendak memberikan bantuan, zakat, sedekah kepada orang-orang yang miskin fakir, melarat, terlebih baik diberikan dengan secara rahasia. Memberikan sedekah untuk pembangunan agama yang lebih umum itu lebih baik dengan terang-terang. Misalnya mendirikan rumah sekolah agama, membangun rumah sakit, rumah pemeliharaan orang-orang miskin, menyelesaikan pembangunan masjid, pendeknya segala perbantuan amal akhirat, seumpama memberikan perbelanjaan bagi perkumpulan-perkumpulan agama, baguslah kalau diberikan dengan terang dan tampak. Meskipun kita menjaga supaya jangan sampai terjadi beramal karena riya, yang pada ayat di atas telah diancam, ada lagi maksud baik dari sedekah yang dilakukan secara terang-terangan, yaitu buat menarik orang-orang dermawan yang lain supaya sudi pula memberikan perbantuannya. Semuanya berlomba atas mengerjakan kebajikan.
“Dia akan menghapuskan sebagian dari dosa-dosa kamu." Sebab mungkin ada juga terperbuat kesalahan-kesalahan yang lain, maklumlah manusia tidak terlepas dari alpa dan lalai. Maka, dengan sebab membantu fakir miskin dengan diam-diam, melepaskan kesulitan orang yang kesusahan dengan diam-diam, dengan sembunyi, moga-moga dapatlah mengimbangi kelalaian dan kekurangan itu, bahkan menghapuskannya.
“Dan Allah atas apa-apa yang kamu kerjakan adalah amat teliti."
Artinya, di dalam melakukan sedekah itu, baik yang ditampakkan untuk menarik teman-teman yang lain bergotong-royong maupun memberikan secara rahasia agar terpelihara air muka orang yang dibantu, semuanya itu ditilik Allah dengan teliti. Sebab, dalam hal yang demikian setan bisa juga masuk. Bersedekah yang ditampakkan dengan maksud menarik teman-teman yang lain, bisa juga dibelokkan setan kepada riya mencari nama.
Selanjutnya, Allah berfirman kepada Rasul-Nya,
Ayat 272
“Bukanlah kewajiban engkau memberi mereka petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang akan memberi petunjuk kepada barangsiapa yang Dia kehendaki."
Janganlah disangka bahwa ayat ini sudah putus hubungannya dengan ayat yang sebelumnya.
Menurut riwayat dari Ibnu Abi Syaibah, yang diterimanya dari Said bin Jubair (Tabi'in, murid Ibnu Abbas), Rasulullah ﷺ pernah bersabda.
“Tak usah kamu bersedekah kecuali kepada ahli seagama kamu."
Maka, turunlah ayat ini memberi tahu bahwa urusan memberi orang yang masih musyrik itu dengan petunjuk, bukanlah kewajiban kamu. Itu adalah hak Allah semata-mata. Adapun hak kamu ialah memberi bantuan kepada fakir miskin walaupun dia belum masuk Islam.
Ibnu Abi Hatim dan beberapa ahli riwayat yang lain menyatakan pula satu riwayat dari Ibnu Abbas. Dia mengatakan bahwa pernah Nabi memberi ingat kepada kami kalau-kalau hendak mengeluarkan sedekah, hendaklah kepada yang sesama Islam saja. Kemudian turunlah ayat ini memberi ingat kami.
Dan satu riwayat lagi dari Ibnu Jarir, dari Ibnu Abbas juga bahwasanya beberapa banyak dari sahabat Anshar mempunyai kaum keturunan dan sekeluarga, mereka itu belum Islam, sedangkan sahabat-sahabat Anshar itu takut-takut akan memberi sedekah kepada mereka, padahal mereka itu mau masuk Islam.
Dengan keterangan-keterangan sebab-sebab turun ayat ini menjadi jelas bahwa bukanlah semata-mata sesama Islam saja yang mesti diberi sedekah ataupun zakat, ataupun zakat fitrah. Orang yang belum islam, sebagai-mana musyrik di zaman Rasul ﷺ itu, yang diharapkan akan Islamnya, atau orang-orang Ahlul Kitab yang menjadi tetangga baik, sedangkan dia miskin. Mereka pun patut mendapat. Inilah yang sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
Selanjutnya Allah berfirman, “Dan apa yang kamu belanjakan dari kekayaan kamu maka itu adalah untuk dirimu sendiri"
Ini adalah peringatan keras dari Allah kepada orang yang mampu. Kalau kamu ingin selamat, dermawanlah, murah tanganlah. Harta benda yang kamu berikan itu akan merapatkan silaturahimmu dengan orang-orang yang sengsara.
Lanjutan ayat, “Dan apa saja pun yang kamu belanjakan, janganlah selain mengharapkan wajah Allah" Tujuan cita-cita kepada puncaknya, yaitu karena Allah. Karena, kalau di dalam cita-cita terselip agak sedikit maksud yang lain, misalnya supaya dihargai oleh sesama manusia maka kadang-kadang orang yang berjuang dengan ikhlas itu tidak tampak oleh mata manusia. Yang baik dicita, diterima orang juga dengan salah. Apatah lagi dalam masyarakat sebagaimana sekarang ini, masyarakat yang mempunyai berbagai corak pandangan hidup. Berkorban, bersedekah, berbuat baik yang didasarkan karena mengharapkan wajah Allah, keridhaan Allah, hanya itulah yang akan dapat mengobat hati apabila kecewa. Sebab itu, di ujung ayat Allah menegaskan,
“Dan apa pun yang kamu belanjakan dari kekayaan, niscaya akan disempunnakan untuk kamu, dan tidaklah kamu akan dianiaya."
Kemudian itu, Allah menarik perhatian kaum yang beriman lagi mampu itu tentang satu kelompok masyarakat Mukmin yang wajib mendapat perhatian istimewa, yaitu,
Ayat 273
“Untuk orang-orang fakir yang telah terikat pada jalan Allah, yang tidak sanggup lagi berusaha di bumi, disangka oleh orang-orang yang tidak tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang kaya dan sangat menahan diri, engkau akan dapat mengenal mereka dengan tanda mereka. Mereka tidak meminta-minta kepada manusia memaksa-maksa."
Di zaman Rasulullah ﷺ di negeri Madinah itu (tempat seluruh surah al-Baqarah diturunkan) ada segolongan sahabat Rasulullah saw, yang diberi gelar Ahlus Shuffah, Kata setengah ahli riwayat, jumlah mereka sampai empat ratus orang, kata setengahnya lagi tidak sampai sebilangan itu, hanya di antara dua ratus dan tiga ratus orang saja. Mereka mempunyai tugas yang berat juga, yaitu memelihara dan menghafal tiap-tiap ayat yang turun. Di antara mereka ada yang lemah badannya sehingga tidak pula kuat buat turut pergi berperang, padahal dalam peperangan empat perlima dari ghanimah adalah hak mujahidin. Niscaya mereka tidak mendapat bagian itu sebab tidak sanggup pergi berperang. Maka, kata ahli tafsir, ayat ini turun untuk menarik perhatian dermawan-derma-wan Muslim supaya mereka ini diberi bantuan istimewa dan patut.
Sebab itu, orang-orang yang seperti ini dipaksa oleh pembagian pekerjaan menjadi miskin. Di sini, kita melihat lima keistimewaan dari golongan orang-orang.
1. Fakir-fakir yang telah terikat pada jalan Allah.
2. Yang tidak sanggup lagi berusaha di bumi.
3. Disangka mereka oleh orang-orang yang tidak tahu bahwa mereka adalah orang-orangyang kaya raya, dari sangat menahan diri.
4. Engkau akan dapat mengenal mereka pada tanda mereka.
5. Mereka tidak meminta-minta kepada manusia memaksa-maksa.
Kemudian di penutup ayat Allah berfirman,
“Maka apa pun kekayaan yang kamu belanjakan, sesungguhnya Allah amatlah mengetahuinya."
Demikianlah Allah memberikan bimbingan kepada kaum yang beriman agar mereka menjadi orang yang dermawan.
Ayat 274
“Orang-orang yang membelanjakan harta benda mereka malam dan siang secara rahasia dan tenang-tenangan maka untuk mereka adalah pahala di sisi Tuhan."
Hati mereka terbuka terus dan pintu rumah mereka terbuka, dan pundi-pundi uang mereka pun terbuka. Malam ataupun siang. Didahulukan di dalam ayat ini menyebut malam daripada siang karena ada orang yang kesusahan tengah malam mengetuk pintu rumahnya ataupun dia sendiri pun teringat membantu orang yang susah sehingga matanya tidak mau tidur. Malam hari pun dia berjalan juga untuk mengantarkan perbantuannya. Sedangkan malam dia begitu, apatah lagi pada siang hari. Dia pun memberikan secara rahasia kepada yang patut menerimanya ataupun secara terang-terangan karena patut terang-terang, tetapi jiwanya ialah jiwa yang selalu ingin memberi sebab jiwa itu telah tergembleng oleh iman. Sikapnya yang demikian disambut oleh Allah dengan janji, sedangkan janji Allah pasti benar bahwa dia akan diberi pahala, ganjaran, dunia dan akhirat, terutama di akhirat. Dan, dikuatkan Allah semangatnya, “Talaklah ada ketakutan atas mereka, dan tidaklah mereka akan berduka cita."
(ujung ayat 274)