Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لِيَسۡتَـٔۡذِنكُمُ
hendaklah meminta izin kepadamu
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
مَلَكَتۡ
memiliki
أَيۡمَٰنُكُمۡ
tangan kananmu
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
لَمۡ
(mereka) belum
يَبۡلُغُواْ
sampai
ٱلۡحُلُمَ
mimpi
مِنكُمۡ
diantara kamu
ثَلَٰثَ
tiga
مَرَّـٰتٖۚ
kali
مِّن
dari
قَبۡلِ
sebelum
صَلَوٰةِ
sholat
ٱلۡفَجۡرِ
fajar/subuh
وَحِينَ
dan ketika
تَضَعُونَ
kamu menanggalkan
ثِيَابَكُم
pakaian kamu
مِّنَ
dari
ٱلظَّهِيرَةِ
yang tampak (luar)
وَمِنۢ
dan dari
بَعۡدِ
sesudah
صَلَوٰةِ
sholat
ٱلۡعِشَآءِۚ
'Isya'
ثَلَٰثُ
tiga
عَوۡرَٰتٖ
'aurat
لَّكُمۡۚ
bagi kalian
لَيۡسَ
tidak/bukan
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
وَلَا
dan tidak
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
جُنَاحُۢ
berdosa
بَعۡدَهُنَّۚ
sesudah mereka
طَوَّـٰفُونَ
mereka melayani
عَلَيۡكُم
atas kalian
بَعۡضُكُمۡ
sebagian kamu
عَلَىٰ
atas
بَعۡضٖۚ
sebagian yang lain
كَذَٰلِكَ
demikianlah
يُبَيِّنُ
menjelaskan
ٱللَّهُ
Allah
لَكُمُ
bagi kalian
ٱلۡأٓيَٰتِۗ
ayat-ayat
وَٱللَّهُ
dan Allah
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
حَكِيمٞ
Maha Bijaksana
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لِيَسۡتَـٔۡذِنكُمُ
hendaklah meminta izin kepadamu
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
مَلَكَتۡ
memiliki
أَيۡمَٰنُكُمۡ
tangan kananmu
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
لَمۡ
(mereka) belum
يَبۡلُغُواْ
sampai
ٱلۡحُلُمَ
mimpi
مِنكُمۡ
diantara kamu
ثَلَٰثَ
tiga
مَرَّـٰتٖۚ
kali
مِّن
dari
قَبۡلِ
sebelum
صَلَوٰةِ
sholat
ٱلۡفَجۡرِ
fajar/subuh
وَحِينَ
dan ketika
تَضَعُونَ
kamu menanggalkan
ثِيَابَكُم
pakaian kamu
مِّنَ
dari
ٱلظَّهِيرَةِ
yang tampak (luar)
وَمِنۢ
dan dari
بَعۡدِ
sesudah
صَلَوٰةِ
sholat
ٱلۡعِشَآءِۚ
'Isya'
ثَلَٰثُ
tiga
عَوۡرَٰتٖ
'aurat
لَّكُمۡۚ
bagi kalian
لَيۡسَ
tidak/bukan
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
وَلَا
dan tidak
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
جُنَاحُۢ
berdosa
بَعۡدَهُنَّۚ
sesudah mereka
طَوَّـٰفُونَ
mereka melayani
عَلَيۡكُم
atas kalian
بَعۡضُكُمۡ
sebagian kamu
عَلَىٰ
atas
بَعۡضٖۚ
sebagian yang lain
كَذَٰلِكَ
demikianlah
يُبَيِّنُ
menjelaskan
ٱللَّهُ
Allah
لَكُمُ
bagi kalian
ٱلۡأٓيَٰتِۗ
ayat-ayat
وَٱللَّهُ
dan Allah
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
حَكِيمٞ
Maha Bijaksana
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah hamba sahaya (laki-laki dan perempuan) yang kamu miliki dan orang-orang yang belum balig (dewasa) di antara kamu meminta izin kepada kamu tiga kali, yaitu sebelum salat Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari, dan setelah salat Isya. (Itu adalah) tiga (waktu yang biasanya) aurat (terbuka) bagi kamu. Tidak ada dosa bagimu dan tidak (pula) bagi mereka selain dari (tiga waktu) itu. (Mereka) sering keluar masuk menemuimu. Sebagian kamu (memang sering keluar masuk) atas sebagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat kepadamu. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman, hendaklah meminta izin kepada kalian budak-budak yang kalian miliki) baik yang laki-laki maupun yang perempuan (dan orang-orang yang belum balig di antara kalian) maksudnya dari kalangan orang-orang yang merdeka dan belum mengetahui perihal kaum wanita (sebanyak tiga kali) yaitu dalam tiga waktu untuk seharinya (yaitu sebelum salat subuh dan ketika kalian menanggalkan pakaian luar kalian di tengah hari) yakni waktu salat Zuhur (dan sesudah salat Isyak. Itulah tiga aurat bagi kalian) kalau dibaca Rafa' menjadi Tsalaatsu 'Auraatin, berarti menjadi Khabar dari Mubtada yang diperkirakan keberadaannya, dan sebelum Khabar terdapat Mudhaf, kemudian kedudukan Mudhaf yang diperkirakan itu diganti oleh Mudhaf ilaih yaitu lafal Tsalaatsun itu sendiri. Makna selengkapnya ialah, Ketentuan tersebut adalah tiga waktu yang ketiga-tiganya merupakan aurat bagi kalian. Jika dibaca Nashab menjadi Tsalaatsa Auraatin Lakum, dengan memperkirakan adanya lafal Auraatin yang dinashabkan, juga karena menjadi Badal secara Mahal dari lafal sebelumnya, kemudian Mudhaf ilaih menggantikan kedudukannya. Dikatakan demikian karena pada saat-saat tersebut, yaitu ketiga waktu itu, orang-orang membuka pakaian luar mereka untuk istirahat sehingga auratnya kelihatan. (Tidak ada atas kalian dan tidak pula atas mereka) atas budak-budak yang kalian miliki dan anak-anak kecil (dosa) untuk masuk menemui kalian tanpa izin (selain dari tiga waktu itu) yakni sesudah ketiga waktu tadi, sedangkan mereka (melayani kalian) meladeni kalian (sebagian kalian) yakni pelayan itu mempunyai keperluan (kepada sebagian yang lain) kalimat ini berkedudukan mengukuhkan makna sebelumnya. (Demikianlah) sebagaimana apa yang telah disebutkan tadi (Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kalian) yakni menjelaskan hukum-hukum-Nya. (Dan Allah Maha Mengetahui) tentang semua urusan makhluk-Nya (lagi Maha Bijaksana) di dalam mengatur kepentingan mereka. Ayat yang menyangkut masalah meminta izin ini menurut suatu pendapat telah dinasakh. Akan tetapi menurut pendapat yang lain tidak dinasakh, hanya saja orang-orang meremehkan masalah meminta izin ini, sehingga banyak dari mereka yang tidak memakainya lagi.
Tafsir Surat An-Nur: 58-60
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kalian miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kalian, meminta izin kepada kalian tiga kali (dalam satu hari) yaitu: Sebelum salat Subuh, ketika kalian menanggalkan pakaian (luar) kalian di tengah hari, dan sesudah salat Isya. (Itulah) tiga aurat bagi kalian. Tidak ada dosa atas kalian dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani, sebagian kalian (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan apabila anak-anak kalian telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin berkawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ayat-ayat yang mulia ini mengandung etika meminta izin masuk untuk menemui kaum kerabat, sebagian dari mereka kepada sebagian yang lain.
Sedangkan apa yang telah disebutkan pada permulaan surat ini menyangkut meminta izin untuk menemui orang lain, sebagian dari mereka kepada sebagian yang lain. Allah ﷻ memerintahkan kepada kaum mukmin agar para pelayan mereka yang terdiri atas budak-budak yang mereka miliki dan anak-anak mereka yang belum berusia balig meminta izin kepada mereka bila hendak menemui mereka dalam tiga keadaan, yaitu sebelum menunaikan salat Subuh, karena pada saat itu orang-orang masih dalam keadaan tidur di peraduannya masing-masing.
ketika kalian menanggalkan pakaian (luar) kalian di tengah hari. (An-Nur: 58) Karena orang-orang biasanya berkumpul bersama keluarganya pada waktu itu dengan menanggalkan pakaian luar mereka. dari sesudah salat Isya. (An-Nur: 58) Karena waktu itu adalah waktunya tidur, maka para pelayan dan anak-anak diperintahkan agar jangan mendatangi suatu ahli bait dalam waktu tersebut, sebab dikhawatirkan seseorang sedang bersama istrinya atau sedang melakukan pekerjaan lainnya. Karena itulah disebutkan oleh firman berikutnya: (Itulah) tiga aurat bagi kalian. Tidak ada dosa atas kalian dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. (An-Nur: 58) Yakni apabila mereka masuk di lain ketiga waktu tersebut, maka tidak ada dosa bagi kalian mempersilakan mereka masuk.
Tidak ada dosa pula bagi mereka jika mereka mempunyai sesuatu keperluan untuk masuk di saat selain ketiga waktu itu; karena mereka mendapat izin untuk masuk, juga karena mereka adalah orang-orang yang sering keluar masuk kepada kalian, untuk keperluan pelayanan dan keperluan lainnya. Telah dimaafkan pula bagi orang-orang yang bertugas menjadi pelayan banyak hal yang tidak dimaafkan bagi selain mereka.
Imam Malik dan Imam Ahmad ibnu Hambal serta Ahlus Sunan telah meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda sehubungan dengan kucing: -" Sesungguhnya kucing itu tidak najis, sesungguhnya kucing itu termasuk yang banyak keluar masuk kepada kalian, atau hewan yang jinak (dengan kalian). Mengingat ayat ini muhkam dan tiada yang me-nasakh-nya, sedangkan orang-orang sedikit yang mengamalkannya, maka Abdullah ibnu Abbas mengingkari sikap mereka yang demikian itu. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Ata ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas telah berkata, "Orang-orang meninggalkan tiga ayat, mereka tidak mau mengamalkannya," yaitu firman Allah ﷻ: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kalian miliki meminta izin kepada kalian. (An-Nur: 58), hingga akhir ayat.
Dan firman Allah ﷻ dalam surat An-Nisa, yaitu: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat. (An-Nisa: 8), hingga akhir ayat. Dan firman Allah ﷻ di dalam surat Al-Hujurat, yaitu: Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. (Al-Hujurat: 13) Menurut lafaz lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, juga melalui hadis Isma'il ibnu Muslim yang berpredikat daif, dari Amr ibnu Dinar, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Setan telah mengalahkan manusia terhadap tiga ayat, sehingga mereka tidak mengamalkannya, yaitu firman Allah ﷻ: 'Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kalian miliki meminta izin kepada kalian. (An-Nur: 58), hingga akhir ayat." Abu Daud telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ibnus Sabbah dan Ibnu Sufyan serta Ibnu Abdah seperti berikut ini: Telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ubaidillah ibnu Abu Yazid yang pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan bahwa kebanyakan orang tiada yang mengamalkan ayat meminta izin, dan sesungguhnya aku benar-benar memerintahkan kepada budak wanitaku ini agar selalu meminta izin kepadaku (bila ingin bersua denganku).
Abu Daud mengatakan bahwa demikian pula hal yang diriwayatkan oleh Ata, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas menganjurkan hal ini. As-Sauri telah meriwayatkan dari Musa ibnu Abu Aisyah yang bertanya kepada Asy-Sya'bi tentang makna firman-Nya: hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kalian miliki meminta izin kepada kalian. (An-Nur: 58) Bahwa ayat ini tidak di-mansukh. Maka aku berkata, "Akan tetapi, orang-orang tidak mengamalkannya." Maka Asy-Sya'bi berkata, "Hanya kepada Allah-lah meminta pertolongan." Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Bilal, dari Amr ibnu Abu Umar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa pernah ada dua orang lelaki menanyakan kepadanya tentang masalah meminta izin pada tiga aurat yang telah diperintahkan oleh Allah ﷻ di dalam Al-Qur'an.
Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya Allah itu suka menutupi diri-Nya Dia menyukai penutup. Dahulu orang-orang tidak memakai kain penutup pada pintu-pintu rumah mereka, tidak pula memakai kain gordin pada rumah-rumah mereka. Adakalanya seseorang dikejutkan oleh kedatangan pelayannya, atau anaknya, atau anak yatim yang ada dalam pengasuhannya sedangkan dia dalam keadaan bersama istrinya. Maka Allah memerintahkan kepada mereka untuk meminta izin terlebih dahulu pada ketiga waktu tersebut yang telah dijelaskan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya." Kemudian sesudah itu Allah meluaskan rezeki mereka.
Akhirnya mereka membuat kain-kain penutup dan kain-kain gordin pada rumah-rumah mereka. Maka orang-orang memandang bahwa hal tersebut sudah cukup bagi mereka tanpa memakai izin yang diperintahkan kepada mereka untuk menggalakkannya. Sanad asar ini sahih sampai kepada Ibnu Abbas. Abu Daud meriwayatkannya dari Al-Qa'nabi, dari Ad-Darawardi, dari Amr ibnu Abu Umar dengan sanad yang sama. As-Saddi mengatakan bahwa dahulu ada segolongan orang dari kalangan para sahabat suka menyetubuhi istrinya di waktu-waktu tersebut, sekalian mereka mandi, lalu keluar untuk melakukan salat berjamaah.
Maka Allah memerintahkan kepada mereka agar menganjurkan kepada budak-budak mereka dan anak-anak kecil mereka jangan masuk menemui mereka di saat-saat tersebut, kecuali dengan izin mereka. Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, telah sampai kepada kami suatu hadis hanya Allah Yang Maha Mengetahui kebenarannya yang menceritakan bahwa pernah ada seorang lelaki dari kalangan Ansar dan istrinya yang bernama Asma binti Marsad membuat jamuan makanan untuk Nabi ﷺ Maka orang-orang masuk tanpa izin. Lalu Asma binti Marsad berkata, "Wahai Rasulullah, alangkah buruknya hal ini, sesungguhnya masuk menemui sepasang suami istri yang sedang berada dalam satu pakaian, anak-anak keduanya tanpa izin terlebih dahulu." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kalian miliki meminta izin kepada kalian. (An-Nur: 58), hingga akhir ayat.
Termasuk di antara hal yang menunjukkan bahwa ayat ini muhkam tidak di-mansukh adalah firman berikutnya yang mengatakan: Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (An-Nur: 59) Kemudian Allah ﷻ berfirman: Dan apabila anak-anak kalian telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. (An-Nur: 59) Yaitu bilamana anak-anak yang telah mencapai usia balig diharuskan meminta izin dalam ketiga waktu tersebut, berarti diwajibkan kepada selain mereka meminta izin untuk masuk dalam setiap waktu di luar ketiga waktu tersebut, saat-saat seseorang sedang bersama istrinya, sekalipun bukan pada ketiga waktu tersebut.
Al-Auza'i telah meriwayatkan dari Yahya ibnu Kasir, bahwa apabila seorang anak menjelang usia balig, dianjurkan untuk meminta izin kepada kedua orang tuanya bila hendak menemui mereka pada ketiga waktu tersebut. Dan apabila dia telah mencapai usia balig, maka dianjurkan meminta izin dalam waktu mana pun. Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair. Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sebagaimana orang-orang sebelum mereka meminta izin. (An-Nur: 59) Yakni seperti orang-orang dewasa dari kalangan anak seseorang dan kaum kerabatnya meminta izin masuk terlebih dahulu untuk menemuinya.
Firman Allah ﷻ: Dan perempuan-perempuan tua yang telah berhenti (dari haid dan mengandung). (An-Nur: 60) Sa'id ibnu Jubair, Mu'qatil ibnu Hayyan, Ad-Dahhak, dan Qatadah telah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mereka adalah wanita-wanita yang tidak berhaid lagi dan sudah tidak beranak lagi. yang tiada ingin berkawin (lagi). (An-Nur: 60) Artinya, mereka tidak mempunyai keinginan dan selera untuk berkawin. tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan. (An-Nur: 60) Yakni tiada larangan bagi mereka dalam masalah tersebut berbeda halnya dengan wanita lainnya.
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad Al-Marwazi, telah menceritakan kepadaku Ali ibnul Husain ibnu Waqid, dari ayahnya, dari Yazid An-Nahwi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya. (An-Nur: 31), hingga akhir ayat. Maka di-nasakh-lah, lalu dikecualikan dari hal ini wanita-wanita tua yang telah terhenti dari haid dan mengandung yang tiada ingin berkawin lagi.
Ibnu Mas'ud telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka. (An-Nur: 60) Yakni meletakkan jilbab atau kain selendangnya. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abusy Sya'sa, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, dan Al-Auza'i serta lain-lainnya. Abu Saleh mengatakan, diperbolehkan baginya berdiri di hadapan lelaki lain dengan memakai baju kurung dan memakai kerudung.
Sa'id ibnu Jubair dan lain-lainnya mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya sesuai dengan qiraat Ibnu Mas'ud, "Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan sebagian dari pakaiannya." yaitu jilbab yang dipakai di luar kain kerudung. Maka tidak mengapa jika mereka menanggalkannya di hadapan lelaki lain atau lainnya sesudah ia memakai kain kerudung yang tebal. Sa'id ibnu Jubair telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan. (An-Nur: 60) Yaitu janganlah mereka ber-tabarruj dengan menanggalkan kain jilbab (baju kurung)nya agar perhiasannya kelihatan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepadaku Siwar ibnu Maimun, telah menceritakan kepada kami Talhah ibnu Asim, dari Ummul Masa'in (Ummud Diya) yang mengatakan bahwa ia pernah masuk menemui Siti Aisyah r.a., lalu bertanya, "Hai Ummul Muminin, bagaimanakah pendapatmu tentang pacar, mengibaskan kain, kain celupan, anting-anting, gelang kaki, cincin emas, dan pakaian yang tipis?" Siti Aisyah menjawab, "Hai kaum wanita, kisah (pengalaman) kalian adalah sama.
Allah telah menghalalkan bagi kalian memakai perhiasan, tetapi bukan untuk tabarruj (ditampakkan)." Dengan kata lain, tidak dihalalkan bagi kalian memperlihatkan perhiasan kalian yang tidak boleh dilihat oleh mahram. As-Saddi mengatakan bahwa dia pernah mempunyai seorang teman yang dikenal dengan nama Muslim. Muslim adalah maula (bekas budak) seorang wanita, dan wanita itu adalah istri Huzaifah ibnul Yaman. Pada suatu hari ia datang ke pasar, sedangkan di tangannya terdapat bekas pacar.
Maka aku bertanya kepadanya tentang bekas pacar itu. Dia menjawab, bahwa itu adalah bekas pacar saat ia menyemir rambut bekas tuannya, yaitu istrinya Huzaifah. Maka aku mengingkari perbuatannya itu. Dia berkata kepadaku, "Jika kamu suka, aku akan membawamu menemuinya." Aku menjawab, "Ya." Muslim membawaku masuk menemui tuan wanitanya, dan ternyata tuan wanitanya itu adalah seorang wanita yang sudah tua.
Maka aku bertanya kepadanya, "Sesungguhnya Muslim telah menceritakan kepadaku bahwa dia telah menyemir rambutmu." Istri Huzaifah menjawab, "Ya benar, hai anakku. Aku termasuk wanita yang sudah tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin berkawin lagi, sedangkan Allah ﷻ telah berfirman sehubungan dengan masalah ini seperti yang kamu pernah dengar tentunya.'" Firman Allah ﷻ: dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. (An-Nur: 60) Yakni tidak menanggalkan pakaian luar mereka adalah lebih baik, sekalipun hal itu diperbolehkan. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Kembali berbicara tentang etika dalam pergaulan, Allah menegaskan, 'Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah hamba sahaya yang kamu miliki, baik laki-laki maupun perempuan yang telah atau hampir balig, dan orang-orang yaitu anak-anak yang sudah paham tentang aurat meskipun belum balig di antara kamu, hendaklah mereka semua meminta izin kepada kamu pada tiga kali atau tiga kesempatan dalam satu hari, yaitu sebelum salat Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian luarmu di tengah hari untuk sekadar berbaring atau beristirahat, dan setelah salat Isya hingga sepanjang malam karena ketika itu kamu bersiap atau sedang tidur. Itulah tiga waktu yang biasa kamu gunakan untuk mengganti pakaian sehingga kemungkinan aurat terlihat bagi kamu. Tidak ada dosa bagi kamu dan tidak pula bagi mereka bila masuk tanpa meminta izin selain dari tiga waktu itu; mereka sering keluar masuk melayani kamu, sebagian kamu ada keperluan atas sebagian yang lain, dan interaksi semacam ini tidak mudah dihindari. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat itu kepadamu. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang bermanfaat bagi hamba-Nya, Mahabijaksana dalam ketentuan dan bimbingan-Nya. 59. Dan apabila anak-anak kamu telah sampai umur dewasa, maka hendaklah mereka juga meminta izin untuk masuk ke kamar kamu, seperti halnya orang-orang yang lebih dewasa harus meminta izin seperti ketentuan yang telah dijelaskan sebelumnya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi hatim dari Muqatil Ibnu hayyan, bahwasannya seorang laki-laki dari kaum Ansar bersama istrinya Asma` binti Musyidah membuat makanan untuk Nabi Saw, kemudian Asma` berkata, "Wahai Rasulullah, alangkah jeleknya ini. Sesungguhnya masuk pada (kamar) isteri dan suaminya sedang keduanya berada dalam satu sarung masing-masing dari keduanya tanpa izin, lalu turunlah ayat ini.
Sebagaimana kita ketahui, pada masa kini sebuah rumah biasanya terdiri atas beberapa kamar, dan tiap-tiap kamar ditempati oleh anggota keluarga dan orang lain yang ada di rumah itu. Ada kamar untuk kepala keluarga dan istrinya, ada kamar untuk anak-anak dan kamar untuk pembantu dan lain sebagainya. Biasanya masing-masing anggota keluarga dapat masuk ke kamar yang bukan kamarnya itu bila ada keperluan dan tidak perlu minta izin kepada penghuni kamar itu. Akan tetapi, Islam memberikan batas-batas waktu untuk kebebasan memasuki kamar orang lain. Maka para hamba sahaya, dan anak-anak yang belum balig tidak dibenarkan memasuki kamar orang tua atau kamar anggota keluarga yang sudah dewasa dan berkeluarga pada waktu-waktu yang ditentukan kecuali meminta izin lebih dahulu, seperti dengan mengetuk pintu dan sebagainya. Bila ada jawaban dari dalam "Silahkan masuk", barulah mereka boleh masuk. Waktu-waktu yang ditentukan itu ialah pertama pada waktu pagi hari sebelum salat Subuh, kedua pada waktu sesudah Zuhur, dan ketiga pada waktu sesudah salat Isya`.
Waktu-waktu itu disebut dalam ayat ini "aurat", karena pada waktu-waktu itu biasanya orang belum mengenakan pakaiannya dan aurat mereka belum ditutupi semua dengan pakaian. Pada pagi hari sebelum bangun untuk salat subuh biasanya orang masih memakai pakaian tidur. Demikian pula halnya pada waktu istirahat sesudah zuhur dan istirahat panjang sesudah Isya`. Pada waktu-waktu istirahat seperti itu suami istri mungkin melakukan hal-hal yang tidak pantas dilihat oleh orang lain, pembantu, atau anak-anak.
Adapun di luar tiga waktu yang telah ditentukan itu maka amat berat rasanya kalau diwajibkan meminta izin dahulu sebelum memasuki kamar-kamar itu, karena para pembantu dan anak-anak sudah sewajarnya bergerak bebas dalam rumah karena banyak yang akan diurus dan banyak pula yang perlu diambil dari kamar-kamar tersebut. Para pembantu biasa memasuki kamar untuk membersihkan kamar atau untuk mengambil sesuatu yang diperintahkan oleh tuan atau nyonya rumah dan demikian pula halnya dengan anak-anak.
Allah menjelaskan adab sopan santun dalam rumah tangga yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Para ahli ilmu jiwa setelah mengadakan penelitian yang mendalam berpendapat bahwa anak-anak di bawah umur (sebelum balig) tidak boleh melihat hal-hal yang belum patut dilihatnya karena akan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa mereka dan mungkin akan menimbulkan berbagai macam penyakit kejiwaan. Amat besar hikmah adab sopan santun ini bagi ketenteraman rumah tangga, dan memang demikianlah halnya karena adab ini diperintahkan oleh Allah Yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Peraturan Dalam Rumah (Etiket Islam)
Telah selesai kita dibawa kepada cita-cita tinggi menegakkan iman dan amal shalih, memberituk masyarakat Islam dan menegakkan hukum, sehingga seorang Mu'min dengan sendirinya mempunyai cita-cita besar.
Ingin menjadi Khatifah di atas bumi, menegakkan keadilan dan ke-makmuran, aman dan damai dan hukum berdiri. Masyarakat yang mendirikan sembahyang, mengeluarkan zakat dan tunduk kepada peraturan Rasul.
dengan berzakat perhubungan dengan masyarakat seialu diperkuat, sehingga rasa dendam tidak tumbuh di antara si kaya dengan si miakin. Dengan demikian seorang Mu'min adalah seorang yang mempunyai ideologi, yang kian lama bukan kian samar, melainkan kian terang-bencierang. Dan di antara yang satu dengan yang lain, di antara sembahyang, iman dan amal shalih dengan zakat dan dengan menegakkan hukum tidaklah dapat terpIsah.
Hal itu sudah dijelaskan panjang lebar pada ayat-ayat yang sebelumnya. Tetapi ayat-ayat yang seterusnya ini memberi penjelasan lagi bahwasanya orang-orang yang beriman itu bukanlah orang yang berjalan menengadah puncak gunung padahal butir-butir batu kerikil yang kecil-kecil yang dapat menarung kakinya tidak diperdulikannya.
Ayat 58 ini memanggil lagi orang-orang yang mengakui percaya kepada Allah, ALLAZI NA AAMANU supaya menoleh lagi kepada sopan-santun dalam rumahtangganya sendiri. Rumahtangga seorang Mu'min adalah tempat dia iatirahal, bahkan tempat dia menggembleng kehidupan beragama, kehidupan yang beriman. Sebab itu dia mesti teratur menurut aturan Nabi Muhammad.
Rumahtangga adalah beriteng tempat mempertahankan budi dan harga diri. Rumahtangganya orang yang beriman bukanlah rumahtangga yang kucar-kacir.
Sekali lintas orang sudah dapat melihat cahaya iman memancar dari dalam rumah itu. Di sana dapat dilihat kedaulatan ayah sebagai nahkoda dan ibu sebagai juru batu dan anak-anak sebagai anggota atau awak kapal yang setia. Di dalam ayat ini diakui dan dijaga kehormatan kepala-kepala rumahtangga itu. Dahulu diterangkan sopan-santun orang lain akan masuk rumah. Sekarang diterangkan lagi sopan-santun isi rumah di dalam rumahnya.
Adalah tiga waktu, yaitu sebelum sembahyang Subuh, dan siang sehabis tergelincir matahari waktu Zuhur dan selesai sembahyang Iaya', tiga waktu yang wajib dIsaktikan, demi kehormatan ibu-bapak atau anggota rumahtangga yang lain. Pada waktu sedemikian itu maka setiap hamba sahaya (masa negeri ber-budak) atau khartam, bujang-bujang, orang-orang gajian atau pesuruh rumahtangga dan anak-anak yang belum dewasa dalam rumah itu sendiri, baik anak tuan rumah atau cucunya atau anak-anak lain yang dipelihara di dalam rumah itu meminta izin terlebih dahulu jika hendak menemui tuan dan nyonya rumah.
Apa sebab? Sebab ketiga waktu itu adalah aurat, artinya pada waktu itu peribadi orang-orang yang dihormati itu sedang bebas daripada ikatan berpakaian yang dimestikan di dalam pergaulan hidup yang sopan.
Bertambah teratur hidup manusia bertambah banyaklah peraturan sopan-santun yang harus dihargainya. Ada pakaian buat keluar dari rumah dan ada pakaian yang harus dipakainya secara terhormat jika tetamu datang dan ada pakaian yang harus dilekatkannya jika ia keliling pekarangan. Pakaian-pakaian demikian kadang memberati, kadang-kadang panas jika dilekatkannya juga. Adalah tiga waktu mereka ingin beriatirahal membebaskan dirinya daripada pakaian-pakaian itu, sehingga kadang-kadang hanya tinggal celana dalam dan
singlet saja bagi si ayah, atau kutang sehelai bagi sl ibu. Waktu yang begitu Ialah tiga kali, yaitu sebelum sembahyang Subuh bangun tidur, tengah hari ketika pulang dari pekerjaan iatirahal melepaskan lelah dan sehabis sembahyang Iaya'.
Pada waktu demikian pemharitu-pemharitu rumahtangga haruslah diberi ingat dan diatur agar jangan berhubungan langsung dengan tuan rumah sebelum meminta Izin. Anak-anak yang masih kecil pun harus diatur dan diriidik agar mereka menghargai waktu iatirahal ayah-bunda atau pengaruhnya Itu.
Niscaya orang yang mampu mempunyai rumahtangga berblltk-blllk dan kamar, bilik ibu dan bilik ayah, maka bujang-bujang dan pemharitu rumahtangga, bahkan anak kandung sendiri yang masih kecil,1 tidaklah boleh dekat ke bilik itu kalau tidak meminta izin terlebih dahulu.
Dengan adanya peraturan agama meminta izin, jelaslah kesaktian tempat khas tuan dan nyonya rumah pada saat-saat demikian. Dengan itu pula nampak bahwa lebih baik di saat itu mereka jangan diganggu. Barangkali ada pertanyaan, bukankah anak-anak itu belum mukallaf? Mengapa kepada mereka diwajibkan minta izin masuk kamar ayahnya?
Jawabnya tentu jelas. Yaitu orang tuanya diwajibkan mendiriik anaknya menjunjung tinggi kehormatan orang tuanya.
Dan dapat diambil lagi kesimpulan, sedangkan anak kandungnya sendiri wajib diriidik menghargai waktu yang aurat itu, konon lagi bagi orang-orang lain, kurang layak bertetamu ke rumah orang di waktu-waktu begitu.
Menjadi kagumlah kita dengan ayat ini, demi kita mempelajari per-kembangan penyelidikan ilmu jiwa moden, anak-anak kecil yang belum dewasa haruslah dijaga penglihatan dan pengalamannya di waktu kecil itu. Penyelidikan ilmu jiwa moden terhadap perkembangan jiwa anak-anak me-ngatakan sesuatu yang bernama “buhul jiwa", yaitu sesuatu yang ganjil yang dilihatnya di waktu masih kecil belum dewasa itu berkesan pada jiwanya itu dan berbekas selama hidupnya, sehingga menjadi tekanan yang payah buat menghilangkannya yang kadang-kadang menjadi pangkal penyakit yang mengganggu rohani dan jasmani, sampai pun dia dewasa; yang ahli-ahli spesialia ilmu jiwa harus mencari penyakit itu bertahun-tahun, baru dapat. Oleh sebab itu sesuai benarlah penyelidikan ini dengan apa yang dikehendaki oleh ayat itu.
Dan menurut ilmu jiwa sebagai pendiriikan juga, bagi kanak-kanak di bawah umur itu ayahnya adalah seorang yang dijunjung tinggi, puncak penghormatan dan cita, dan yang tidak pernah bersalah, yang dicintai dan dikagumi. Padahal ada saat-saat yang demikian ayah itu tidak tahu diikat oleh kemestian yang menjadi kekaguman anak-anaknya itu.
Jangan sampai karena hal yang kecil itu pengharapan anak kepada ayah atau bundanya akan berkurang.
Bahkan tersebut juga di dalam ilmu pergaulan rumahtangga suami-isteri bahwa seketika seorang isteri berIbliss, sebaiknya suaminya jangan melihat tubuh isterinya, sampai d>» melesai berpakaian.
Terhadap bujang-bujang atau pemharitu rumahtangga dan hambasahaya, seketika dunia masih mengakui adanya perbudakan, kehormatan saat yang aurat itu pun harus diperhatikan. Seorang tuan atau nyonya rumah harus menjaga kehormatan diri peribadiriya," dan menentukan saat-saat mereka tidak boleh langsung leluasa saja berhubungan dengan majikannya.
Dan terhadap tamu-tamu yang datang dan luar, dapatlah ayat ini dikiaskan. Sedangkan anak kandungnya lagi wajib permisi lebih dahulu akan berhubungan dengan ayah kandungnya sendiri di saat yang tiga itu, apatah lagi bagi orang lain yang hendak bertetamu. Kuranglah layak menamu di saat-saat aurat itu, karena kita sebagai tetamu dapaLmerepotkan-tuan atau nyonya rumah. Kalau siang, nantikanlah petang hari setelah selesai mereka mengenakan pakaiannya yang layak buat menerima tetamu kembali.
Adapuh di luar ketiga saat itu (sesaat sebelum Subuh, waktu “qailulah", yaitu iatirahal siang dan sehabis waktu Iaya'), maka kanak-kanak di bawah umur dan pemharitu rumahtangga tidaklah dimestikan meminta izin tetapi dalam ayat 59 dijelaskan, bahwa anak-anak yang telah dewasa, meskipun anak-anak kita sendiri mIsalnya yang telah kawin dan berumahtangga sendiri pula, hendak Jugalah dia meminta izin sebagaimana meminta izinya orang-orang yang lain, apabila dia akan menemui pengemudi-pengemudi rumahtangga itu. Berlakulah kepada mereka sebagai yang tersebut pada ayat 22 yang telah terdahulu. Meminta izin itu telah ditunjukkan pula caranya pada ayat 22, yaitu mengucapkan salam dan bermuka jemih.
Di Aceh, Mandahiling dan Minangkabau ayat ini telah menjadi kebudayaan dan masuk ke dalam adat-iatiadat umat Islam. Anak-anak muda tidak tidur di rumah ibu-bapaknya. Mereka pergi ke Meunasah atau surau dan langgar. Pulangnya pagi-pagi untuk menolong ibu-bapaknya ke sawah dan ke ladang. Pemuda yang masih duduk-duduk di rumah pada waktu yang tidak patut (terutama tergelek Lohor, ketika iatirahal) amat tercela dalam pandangan masya-' rakat kampungnya. Seorang saudara laki-laki atau mamak yang akan datang ke rumah saudara perempuan atau kemenakan, dari jauh-jauh sudah bersorak memanggil anak-anak kecil yang ada bermain-main di halaman rumah itu, supaya seisi rumah tahu dia datang, dan yang sedang tidak memakai bajunya segera dia berpakaian yang pantas. Sedangkan kepada saudara dan mamak atau paman lagi begitu, apatah lagi terhadap orang luar.
Kemudian itu pada ayat 60 dijelaskan lagi tentang perempuan yang tidak diharap nikah lagi, yang disebut Qawa'id, perempuan yang telah duduk, tidak baidh lagi, artinya tidak ada lagi tarikan kelamin (sex) karena telah padam nyalanya. Tidak tergiur lagi nafsu syahwat laki-laki memandangnya dan dia sendiri pun tidak ingat lagi akan hal itu, maka mereka tidaklah mengapa jika tidak berpakaian lengkap, artinya tidak mengapa jika ditanggali pakaian luanya untuk menutupi tarikan tubuhnya.
Setengah ulama mengatakan bahwa seluruh tubuh itu aurat, artinya seluruhnya membawa daya tarik. Sebab itu hendaklah dia berpakaian yang dapat menutupi nafsu syahwat orang yang memandangnya, artinya yang
sopan. Ada pakaian (uar dan ada pakaian dalam untuk dipakai di rumah. Umumnya wanita Islam di Indanesia jika keluar memakai selendang penutup kepala. Jangan sebagai pakaian pengaruh Barat sekarang ini, yang setiap segi dari guntingan itu memang sengaja buat menimbulkan syahwat, maka bagi wanita yang telah mulai tua, tidak haidh lagi, tidak dipakainya pakaian luanya di sekeliling rumahnya itu tidaklah mengapa, asal kemulIsannya sebagai orang tua yang dihormati tetap dijaganya. Karena amatlah buruk rupa, dan salah canda kalau seorang perempuan yang telah dituakan dan dihormati masih saja berlagak sebagai orang muda, yang berjalan berIbliss-Ibliss dan bersolek sehingga buruk dipandang orang. Dan diperingatkan pula bahwa sikap yang sopan dan tahu akan harga diri adalah suatu yang sebaik-baiknya bagi perempuan yang telah dituakan itu.
Peringatan ini amat penting bagi wanita yang telah menuju gerbang tua itu.
Ada suatu saat yang kaum wanita mendapat tekanan ganjil di dalam batin, yang bIsa menjadi penyakit yaitu saat orang perempuan masih sayang kepada mudanya, padahal tua telah datang dengan beransur. Dia hendak melawan keriput kening dengan pupur tebal, menentang uhari yarig telah berserak dengan cat rambut, bersikap genit menonjolkan diri, padahal telah menjadi tertawaan. Dia belum mau mengakui bahwa dia telah mulai tua, sebab itu dia hendak bertahan terus. Kadang-kadang beriombalah dia dengan anaknya yang-masih muda mempersolek diri. Kadang-kadang tingkah laku perangainya membosankan orang yang melihat. Hanyalah pendiriikan iman kepada Tuhan yang diterima sejak muda yang akan menolong perempuan itu dalam saat yang demikian, yaitu saat “pancaroba" yang kedua. Sebab itu Tuhan menutup baik ayat 59 ataupun ayat 60 dengan: “Dan Tuhan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui akan tingkah lakumu, gerak-gerikmu."
Maka di dalam ayat ini dijelaskan bahwa soal pakaian teratur sebagai keluar rumah, atau mantel (baju luar) sebagai yang terpakai di Eropa, atau Tanah Arab, selendang penutup kepala atau baju-baju lain tidak perlu lagi memberati kepada wanita apabila dia telah memasuki gerbang tua, tidak ada harapan beranak lagi ataupun berhaidh, yang penting baginya untuk masa demikian ialah menjaga sikap hidup, kewibawaan dan menjaga sikap diri dan jiwa supaya tetap terhormat, menjadi contoh teladan yang diaegani oleh anak cucunya dalam rumahtangga apatah lagi bagi orang lain.
Kemudian pada ayat 61 dijelaskan pula hubungan kekeluargaan orang yang beriman dan soal makan dan minum di rumah keluarga itu.
Sudah menjadi adat manusia di seluruh dunia ini, urusan jamuan makan dan minum adalah urusan sopan-santun dan pergaulan yang mulia. Sudah menjadi adat-iatiadat orang Timur, terutama dalam negeri-negeri yang agraria (pertanian) tidak merasa senang kalau tetamu, baik karib ataupun jauh, datang ke rumah kita tidakdiberi makan. Sekurangnya air agak seteguk. Bertambah budi masyarakat, terutama budi Islam, bertambah diperhatikan perkara memberi makan dan minum ini.
Sehingga mIsalnya seorang musafir yang memulai perjalanannya dari Pulau Lombok melalui Bali, Jawa, Sumatra sampai Sabang, tidaklah dia akan lapar dalam perjalanan, tidaklah akan membeli nasi selama dia pandai membawakan dirinya sebagai Muslim di negeri-negeri yang disinggahinya.
. Tetapi sungguhpun makan dan minum menjadi puncak perbasaan, tidak boleh kita lancang saja masuk rumah orang lalu makan. Islam menyuruh seseorang menghormati tetamunya, tetapi si tetamu wajib pula menghormati dirinya. Tetamu yang tidak menghormati diri dan tidak menghormati ahli rumah yang ditamuinya, bukanlah orang yang patut dihormati. Bukan perkara kecil menyelenggarakan orang lain yang bukan keluarga.