Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَا
dan jangan
تَتَمَنَّوۡاْ
kamu berangan-angan(iri hati)
مَا
apa
فَضَّلَ
memberi karunia
ٱللَّهُ
Allah
بِهِۦ
dengannya
بَعۡضَكُمۡ
sebagian kamu
عَلَىٰ
atas
بَعۡضٖۚ
sebagian yang lain
لِّلرِّجَالِ
bagi orang laki-laki
نَصِيبٞ
bagian
مِّمَّا
daripada apa
ٱكۡتَسَبُواْۖ
mereka usahakan
وَلِلنِّسَآءِ
dan bagi orang-orang perempuan
نَصِيبٞ
bagian
مِّمَّا
daripada apa
ٱكۡتَسَبۡنَۚ
mereka usahakan
وَسۡـَٔلُواْ
dan mohonlah
ٱللَّهَ
Allah
مِن
dari
فَضۡلِهِۦٓۚ
karuniaNya
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
بِكُلِّ
dengan/terhadap segala
شَيۡءٍ
sesuatu
عَلِيمٗا
Maha Mengetahui
وَلَا
dan jangan
تَتَمَنَّوۡاْ
kamu berangan-angan(iri hati)
مَا
apa
فَضَّلَ
memberi karunia
ٱللَّهُ
Allah
بِهِۦ
dengannya
بَعۡضَكُمۡ
sebagian kamu
عَلَىٰ
atas
بَعۡضٖۚ
sebagian yang lain
لِّلرِّجَالِ
bagi orang laki-laki
نَصِيبٞ
bagian
مِّمَّا
daripada apa
ٱكۡتَسَبُواْۖ
mereka usahakan
وَلِلنِّسَآءِ
dan bagi orang-orang perempuan
نَصِيبٞ
bagian
مِّمَّا
daripada apa
ٱكۡتَسَبۡنَۚ
mereka usahakan
وَسۡـَٔلُواْ
dan mohonlah
ٱللَّهَ
Allah
مِن
dari
فَضۡلِهِۦٓۚ
karuniaNya
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
بِكُلِّ
dengan/terhadap segala
شَيۡءٍ
sesuatu
عَلِيمٗا
Maha Mengetahui
Terjemahan
Janganlah kamu berangan-angan (iri hati) terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Tafsir
(Dan janganlah kamu mengangan-angankan karunia yang dilebihkan Allah kepada sebagian kamu dari sebagian lainnya) baik dari segi keduniaan maupun pada soal keagamaan agar hal itu tidak menimbulkan saling membenci dan mendengki. (Bagi laki-laki ada bagian) atau pahala (dari apa yang mereka usahakan) disebabkan perjuangan yang mereka lakukan dan lain-lain (dan bagi wanita ada bagian pula dari apa yang mereka usahakan) misalnya mematuhi suami dan memelihara kehormatan mereka. Ayat ini turun ketika Umu Salamah mengatakan, "Wahai! Kenapa kita tidak menjadi laki-laki saja, hingga kita dapat berjihad dan beroleh pahala seperti pahala laki-laki," (dan mohonlah olehmu) ada yang memakai hamzah dan ada pula yang tidak (kepada Allah karunia-Nya) yang kamu butuhkan niscaya akan dikabulkan-Nya. (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu) di antaranya siapa seharusnya yang beroleh karunia, begitu pula permohonan kamu kepada-Nya.
Tafsir Surat An-Nisa': 32
Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari ibnu Abu Nujaih dan dari Mujahid yang menceritakan bahwa Ummu Salamah pernah berkata, "Wahai Rasulullah, kaum pria dapat ikut berperang, sedangkan kami (kaum wanita) tidak dapat ikut berperang, dan bagi kami hanya separuh warisan (yang diterima lelaki)." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain.” (An-Nisa: 32) Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya dari Ibnu Abu Umar, dari Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ummu Salamah, bahwa ia pernah menceritakan hadits berikut. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah," hingga akhir hadits.
Imam At-Tirmidzi mengatakan hadits ini gharib. Salah seorang dari mereka (perawi hadits) ada yang meriwayatkannya dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, bahwa Ummu Salamah pernah bertanya, "Wahai Rasulullah," hingga akhir hadits.
Ibnu Abu Hatim, Ibnu Jarir, Ibnu Mardawaih, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkan melalui hadits As-Sauri, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang menceritakan bahwa Ummu Salamah pernah berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa kami tidak dapat berperang dan tidak dapat mati syahid, dan mengapa kami tidak dapat mewaris (sepenuhnya)?" Maka turunlah ayat ini, dan Allah menurunkan pula firman-Nya: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kalian, baik laki-laki ataupun perempuan.” (Ali Imran: 195) Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hal yang sama diriwayatkan oleh Sufyan ibnu Uyaynah, dari Ibnu Abu Nujaih dengan lafal yang sama.
Yahya Al-Qattan dan Waki' ibnul Jarrah meriwayatkan dari As-Sauri, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ummu Salamah yang menceritakan, "Aku pernah bertanya, 'Wahai Rasulullah,' hingga akhir hadits." Diriwayatkan dari Muqatil ibnu Hayyan serta Khasif hal yang serupa. Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadits Ibnu Juraij, dari Ikrimah dan Mujahid; keduanya pernah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ummu Salamah.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari seorang syekh dari kalangan ulama Mekah yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan perkataan kaum wanita yang mengatakan, "Aduhai, seandainya kita menjadi kaum pria, niscaya kami akan berjihad sebagaimana mereka berjihad dan kami dapat ikut berperang di jalan Allah ﷻ." Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Qasim ibnu Atiyyah, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Asy'as ibnu Ishaq, dari Ja'far (yakni Ibnu Abul Mugirah), dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, bahwa seorang wanita datang kepada Nabi ﷺ, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, seorang lelaki mendapat warisan dua kali lipat seorang wanita, dan kesaksian dua orang wanita sebanding dengan kesaksian seorang lelaki, padahal kami dalam beramal sama saja. Tetapi jika seorang wanita melakukan suatu kebaikan, maka yang dicatatkan baginya adalah separuh pahala kebaikan (yang dilakukan oleh seorang lelaki)." Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Dan janganlah kalian iri hati” (An-Nisa: 32), hingga akhir ayat. Dengan kata lain, sesungguhnya hal tersebut merupakan tindakan yang adil dari-Ku. Akulah yang membuatnya.
As-Suddi mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa kaum laki-laki mengatakan, "Sesungguhnya kami menghendaki agar kami beroleh pahala dua kali lipat pahala kaum wanita, seperti halnya kami memperoleh dua bagian dalam harta warisan." Kaum wanita mengatakan, "Sesungguhnya kami menghendaki agar kami memperoleh pahala yang sama dengan para syuhada, karena kami tidak mampu berperang. Seandainya diwajibkan atas kami berperang, niscaya kami akan berperang pula." Allah menolak hal tersebut dan berfirman kepada mereka, "Mintalah oleh kalian kepada-Ku sebagian dari kemurahan-Ku." Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa yang dimaksud ialah bukan yang berkaitan dengan harta duniawi. Diriwayatkan hal yang sama dari Qatadah.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, janganlah seorang lelaki berharap melalui ucapannya, "Aduhai, sekiranya aku mempunyai harta dan istri seperti yang dimiliki oleh si Fulan." Maka Allah ﷻ melarang hal tersebut, tetapi hendaklah dia memohon kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Al-Hasan, Muhammad ibnu Sirin, ‘Atha’, dan Adh-Dhahhak mengatakan hal yang serupa. Pengertian ini merupakan makna lahiriah dari ayat. Akan tetapi, tidak termasuk ke dalam pengertian ini hal berikut yang disebutkan di dalam sebuah hadits sahih, yaitu: Tidak boleh dengki kecuali dalam dua hal, yaitu (terhadap) seorang lelaki yang dianugerahi oleh Allah harta yang banyak, lalu ia menginfakkan (membelanjakan)nya di jalan yang hak, dan ada lelaki lain mengatakan, "Seandainya aku mempunyai apa yang serupa dengan yang dipunyai oleh si Fulan, niscaya aku akan mengamalkan hal yang sama," kedua-duanya beroleh pahala yang sama.
Maka sesungguhnya iri hati yang disebutkan di dalam hadits ini bukan termasuk hal yang dilarang oleh ayat ini. Demikian itu karena hadits menganjurkan berharap untuk memperoleh nikmat yang serupa dengan apa yang diperoleh si Fulan. Sedangkan makna ayat dilarang berharap mempunyai kebendaan yang serupa dengan apa yang dimiliki oleh si Fulan tersebut. Allah ﷻ berfirman: “Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain.” (An-Nisa: 32) Yakni yang berkenaan dengan masalah-masalah duniawi; demikian pula dengan masalah-masalah agama, karena berdasarkan kepada hadits Ummu Salamah dan Ibnu Abbas.
Hal yang sama dikatakan oleh ‘Atha’ ibnu Abu Rabah, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan larangan mengharapkan dapat memiliki apa yang dimiliki oleh orang lain, berkenaan dengan harapan kaum wanita yang menginginkan agar mereka seperti laki-laki sehingga mereka dapat berperang. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “(Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” (An-Nisa: 32) Dengan kata lain, setiap imbalan disesuaikan dengan amal perbuatannya. Jika amal perbuatannya baik, maka balasannya pun baik; jika amal perbuatannya buruk, maka balasannya pun buruk pula.
Demikianlah menurut pendapat Ibnu Jarir. Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud dengan hal tersebut berkaitan dengan masalah mirats (warisan). Dengan kata lain, setiap ahli waris mendapat bagian sesuai dengan kedudukannya dengan si mayat. Demikianlah menurut Al-Wabili dari Ibnu Abbas. Kemudian Allah memberikan petunjuk kepada mereka untuk melakukan hal yang bermaslahat buat diri mereka. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: ‘Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.” (An-Nisa: 32) Dengan kata lain, janganlah kalian iri terhadap apa yang telah Kami lebihkan buat sebagian dari kalian atas sebagian yang lain, karena sesungguhnya hal ini merupakan takdir.
Dengan kata lain, berharap untuk memperolehnya merupakan hal yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Tetapi mintalah kalian sebagian dari kemurahan-Ku, niscaya Aku akan memberi kalian, karena sesungguhnya Aku Maha Mulia lagi Pemberi. Imam At-Tirmidzi dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan melalui hadits Hammad ibnu Waqid, bahwa ia pernah mendengar Israil menceritakan hadits berikut dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Mohonlah kalian kepada Allah sebagian dari karunia-Nya, karena sesungguhnya Allah suka bila diminta. Dan sesungguhnya ibadah yang paling afdal (utama) ialah menunggu jalan keluar.
Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hal yang sama diriwayatkan oleh Hammad ibnu Waqid, tetapi Hammad ibnu Waqid bukan orang yang hafiz. Abu Na'im meriwayatkannya dari Israil dari Hakim ibnu Jubair, dari seorang lelaki, dari Nabi ﷺ. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Na'im lebih dekat kepada predikat kesahihan. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih melalui hadits Waki', dari Israil. Kemudian Ibnu Mardawaih meriwayatkannya melalui hadits Qais ibnur Rabi', dari Hakim ibnu Jubair, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yarig mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Memohonlah kalian kepada Allah sebagian dari karunia-Nya, karena sesungguhnya Allah suka bila diminta, dan sesungguhnya hamba Allah yang paling disukai oleh-Nya ialah orang yang suka (menunggu) jalan keluar.
Kemudian Allah ﷻ berfirman:”Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa: 32) Dia Maha Mengetahui terhadap orang yang berhak memperoleh duniawi, lalu Dia memberinya sebagian dari duniawi; juga terhadap orang yang berhak mendapat kemiskinan, lalu Dia membuatnya miskin. Dia Maha Mengetahui terhadap orang yang berhak mendapat pahala ukhrawi, lalu Dia memberinya taufik untuk mengamalkannya. Dia Maha Mengetahui terhadap orang yang berhak memperoleh kehinaan, lalu Dia membuatnya hina hingga tidak dapat melakukan kebaikan dan penyebab-penyebabnya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa: 32).
Namun sering terjadi dalam kehidupan bahwa angan-angan untuk memperoleh sesuatu sebagaimana dimiliki orang lain bisa mendorong seseorang melakukan pelanggaran. Ayat ini berpesan agar menghindari kebiasaan berangan-angan yang menimbulkan sifat iri dan dengki kepada sesama. Dan janganlah kamu berangan-angan yang membuat kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan oleh Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain, baik karunia itu berupa kecerdasan, kemuliaan, nama baik, pangkat, dan jabatan, maupun dalam bentuk harta benda serta kekayaan yang berlimpah. Karena bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan yang sesuai dengan ketentuan Allah dan sesuai pula dengan apa yang mereka usahakan, dan begitu pula bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan sesuai petunjuk Allah dan apa yang mereka usahakan.
Oleh sebab itu, janganlah berangan-angan yang menyebabkan iri hati. Mohonlah kepada Allah dengan tulus agar kamu dianugerahi-Nya sebagian dari karunia-Nya yang berlimpah ruah itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu termasuk angan-angan dan iri serta kedengkian yang tersembunyi dalam hati kamu Usai melarang manusia berangan-angan yang akan mendorongnya iri dan dengki atas kelebihan orang lain, termasuk dalam hal warisan, ayat ini lalu mengingatkan bahwa harta warisan itu sudah ditentukan pembagiannya oleh Allah. Dan ketahuilah bahwa untuk setiap harta peninggalan, dari apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan juga yang ditinggalkan oleh karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya, dan juga bagi orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka sebagai suami istri, maka berikanlah kepada mereka bagiannya sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.
Orang yang beriman tidak boleh merasa iri hati terhadap orang yang lebih banyak memperoleh karunia dari Allah, karena Allah telah mengatur alam ini sedemikian rupa terjalin dengan hubungan yang rapi. Manusia pun tidak sama jenis kemampuannya, sehingga masing-masing memiliki keistimewaan dan kelebihan. Bukan saja antara laki-laki dengan perempuan, tetapi juga antar sesama laki-laki atau sesama perempuan.
Selanjutnya ayat ini menerangkan bahwa laki-laki mempunyai bagian dari apa yang mereka peroleh, demikian juga perempuan mempunyai bagian dari apa yang mereka peroleh, sesuai dengan usaha dan kemampuan mereka masing-masing.
Oleh karena itu orang dilarang iri hati terhadap orang yang lebih banyak memperoleh karunia dari Allah. Akan tetapi ia hendaknya memohon kepada Allah disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh agar Allah melimpahkan pula karunia-Nya yang lebih banyak tanpa iri hati kepada orang lain. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, baik tentang permohonan yang dipanjatkan kepada-Nya, maupun tentang apa yang lebih sesuai diberikan kepada hamba-Nya.
Setiap orang yang merasa tidak senang terhadap karunia yang dianugerahkan Allah kepada seseorang, atau ia ingin agar karunia itu hilang atau berpindah dari tangan orang yang memperolehnya, maka hal itu adalah iri hati yang dilarang dalam ayat ini. Tetapi apabila seseorang ingin memiliki sesuatu seperti yang dimiliki orang lain, atau ingin kaya seperti kekayaan orang lain menurut pendapat yang termasyhur, hal demikian tidaklah termasuk iri hati yang terlarang.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 32
“Dan janganlah kamu mengangan-angan apa yang telah dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu, berlebih dari yang sebagian."
Di dalam ayatbertemu kata la tatamannau, dari pokok kata tamaniy, yaitu mengangan-angan atau berkhayat memikirkan kelebihan orang lain, kekayaan orang, ketinggian yang
dicapainya. Angan-angan adalah memikirkan hal yang diri sendiri sukar mencapainya. Maka akibat dari angan-angan yang demikian ialah timbulnya dengki dan iri hati kepada orang yang mendapat kelebihan itu. Itulah sebabnya Ibnu Abbas di dalam tafsirnya langsung saja memberi arti tamaniy (angan-angan) dengan hasad; tegasnya dengki!
Berkata Ibnu Abbas seketika menafsirkan ayat ini, “janganlah kamu berkata, wahai kiranya aku akan diberi pula harta banyak, nikmat banyak dan istri cantik seperti si fulan itu."
Ibnul Atsir berkata, “Berangan-angan ialah keinginan hendak mendapat apa yang diingini, sebagai suatu keluhan jiwa."
Di dalam ayat ini ditegaskan bahwa yang menimbulkan angan-angan yang tidak-tidak itu ialah lantaran melihat kelebihan yang diberikan Allah kepada orang lain. Sebab memang setengah kamu ada beberapa kelebihan dari yang setengah. Apabila seseorang telah silau karena melihat kelebihan yang ada pada orang lain, dia akan ditimpa oleh satu penyakit dalam jiwanya sendiri, di antaranya ialah penyakit hasad, benci, umpat, mengomel, baik kepada orang yang diberi Allah kelebihan itu maupun kepada Allah. Lantaran dia telah menghabiskan waktu di dalam berangan-angan, ber-tamaniy, dia pun lalai menyelidiki dalam dirinya sendiri—yang tentu ada pula kelebihan pada dirinya—kalau dia pandai memupuknya. Berangan-angan menyebabkan jiwa dia lebih banyak berkhayat daripada bekerja. Lebih banyak mengeluh melihat kelebihan orang lain sehingga dirinya sendiri jadi rendah. Padahal kalau dicarinya, niscaya dia akan bertemu di dalam dirinya itu suatu kelebihan yang diberikan pula oleh Allah. Manusia tak ubahnya dengan batu permata mahal yang disimpan Allah, terpendam di dalam bumi. Baru akan nyata cahayanya jika telah digosok dengan baik.
Sambungan ayat menegaskan lagi, “Bagi laki-laki akan ada bagian dari apa yang mereka usahakan." Artinya, kepada semua orang laki-laki telah disediakan Allah pembagian dan pembagian itu akan didapatnya menurut usahanya. Perempuan-perempuan pun demikian pula. Untuk masing-masing perempuan telah disediakan Allah pembagian, yang akan didapatnya pembagian itu asal diusahakannya. Tetapi kalau tidak diusahakan pembagian itu tidak akan diberikan. Dengan hanya berangan-angan, pembagian akan tetap jauh!
Pembagian yang akan didapat lantaran diusahakan itu ialah dalam rangka tugas diri dan pembagian kerja yang telah ditentukan oleh Allah. Perempuan disuruh berusaha, sebagaimana laki-laki disuruh berusaha, masing -masing dalam bidangnya. Kita misalkan seorang laki-laki jaya dalam usahanya karena bekerja keras keluar rumah, maka kejayaan itu akan sempurna jika perempuan atau istri yang ada dalam rumah tangga yang telah mereka bangunkan berdua, tahu pula akan kewajibannya sebagai istri. Suami bertanggung jawab keluar, istri bertanggung jawab di garis belakang. Pekerjaan laki-laki yang kasar-kasar dan berat-berat, sedang pekerjaan perempuan halus dan rumit. Pekerjaan kasar laki-laki itu tidak akan dapat dilaksanakan oleh perempuan dan pekerjaan halus perempuan tidak akan dapat dilaksanakan oleh laki-laki. Imbangan yang berat kasar dengan yang ringan halus, itulah keharmonisan rumah tangga. Tak usah si perempuan mengeluh dan berangan-angan supaya dia jadi laki-laki, supaya terlepas dari kewajiban mengandung anak, menyusukan, dan mengasuh. Seorang laki-laki pun tidak usah mengeluh karena berat tugasnya, lalu ingin sebagai perempuan.
Kalau ditilik dengan saksama, kebanyakan perempuanlah yang kerap kali mengeluh dan merasakan bahwa kewajibannya yang terbesar dan haknya kurang, lalu dia hendak berlari mengejar ke tengah jalan raya, hendak hidup sebagai laki-laki. Apabila angan-angannya itu diperturutkan, kacaulah susunan dunia ini.
Ini adalah gelombang angan-angan yang menyerang perempuan dan laki-laki. Di samping perempuan berangan-angan karena melihat kelebihan laki-laki, ada lagi orang laki-laki sendiri tenggelam dalam angan-angan karena melihat kelebihan perempuan. Misalnya seorang petani yang payah bertanam padi di desa berangan-angan dan iri hati melihat orang kota tidak payah bertani, hanya menerima beras yang telah ditumbuk saja. Karena angan-angan orang petani yang demikian, niscaya timbullah urbanisasi orang kampung hendak ke kota semua, akhirnya kampung-kampung dan desa jadi lengang. Akhirnya semua lapar karena tidak ada pertanian lagi.
Melihat orang mendapat kekayaan besar atau pangkat yang tinggi, janganlah orang yang tidak mendapat kekayaan atau pangkat itu berangan-angan. Sebab angan-angan akan menimbulkan iri hati. Iri hati akan mengganggu jiwa. Jika jiwa telah terganggu, usaha pun akan terbengkalai. Kalau usaha telah terbengkalai, bagian yang telah disediakan Allah dalam diri sendiri karena diusahakan, tidaklah akan didapat. Yang penting ialah supaya semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan, berusaha dan yakin bahwa asal dia berusaha, dia mesti mendapat bagian sekadar usahanya, bagian yang pantas diterimanya. Kita harus tahu bahwasanya kaya atau miskin, berpangkat tinggi atau menjadi rakyat jelata dalam barisan orang banyak, semuanya itu hanyalah pembagian pekerjaan yang telah ditentukan Allah, dan semua pun ada akibat dan risiko. Semua pun ada tanggung jawabnya dan tidak lepas dari kesukaran-kesukarannya. Hal ihwal yang kelihatan megah dari luar sehingga me-nimbulkan iri hati orang yang melihat, kalau orang yang melihat dari jauh itu mengalami pula, dia akan tahu betapa pahit getir yang diderita lantaran kedudukan.
Sebab itu datanglah tuntunan hidup dari Allah pada ayat ini, bahwasanya Allah akan memberikan pembagian untuk masing-masing manusia, baik dia laki-laki maupun perempuan, asal berusaha. Usaha bukanlah bermenung, bukan berangan-angan dan bukan iri hati.
Termasuk juga dalam hal ini mengangan-angan orang yang tidak-tidak, yang tak mungkin, misalnya awak buruk ingin jadi rancak (cantik) Atau awak tidak cukup pengetahuan, lalu berangan-angan hendak jadi profesor. Padahal manusia tidaklah bisa mengubah bentuk mukanya, tetapi kalau dia mau, dia pun sanggup mempercantik budinya. Lantaran itu, ayat ini menuntun agar manusia menghadapkan tujuannya pada apa yang dapat diusahakan yang sepadan dengan bakat persediaan dirinya dan jangan menerawang langit dengan angan-angan yang tidak-tidak.
Beberapa nama orang besar-besar dalam Islam tercantum dalam sejarah, baik dalam ilmu fiqih atau ilmu tasawuf atau filsafat. Mereka tidak malu-malu mencantumkan nama usahanya atau dia dari keturunan apa. Kita dapati nama an-Najjar (tukang batu), al-Khasysyab (tukang jual kayu untuk perumahan), ad-Dabbagh (tukang samak kulit), al-Haddad (tukang besi), al-Khayyath (tukang jahit), ad-Daqqaq (tukang tepung), dan lain-lain.
Ingatlah nama Omar Khayam (Umar al~ Khayyam) artinya tukang membuat tenda (kemah) Ingatlah nama Imam Ghazali, yang setengah ahli membacanya al-Ghazzali, artinya tukang tenun kain atau keturunan tukang tenun kain. Nama-nama itu bersua dalam kitab-kitab agama, sebagai orang yang patut diikut, tidak dalam fiqih atau tasawuf atau filsafat. Ini adalah pengaruh ayat yang tengah kita tafsirkan ini. Yaitu bahwa mereka tidak bermenung berangan-angan, melainkan menerima dengan ridha apakah kasab atau usaha yang telah terwajab dalam kehidupan mereka.
Lalu dalam lanjutan ayat, “Dan mohonkanlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya." Artinya mohonkanlah kekuatan dan pertolongan Allah sehingga kasab atau usaha itu berhasil dan jaya sehingga tidak ada waktu lagi buat berangan-angan. Sebab seorang tukang kayu atau tukang jahit (al-Khasysyab dan al-Khayyath) yang bekerja dengan sungguh-sungguh dan jujur lebih mulia daripada seorang berpangkat tinggi dan menegakkan pangkatnya dengan kezaliman atau seorang kaya yang mendapat kekayaannya dengan memeras keringat dan air mata si miskin.
Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa yang diperintah berusaha atau kasab bukanlah laki-laki saja, perempuan-perempuan harus berusaha, dan dia akan mendapat bagian dari usahanya. Tetapi hendaklah diingatdi lapangan mana perempuan hendaknya berusaha itu. Jangan sampai sebagaimana bangsa Barat di zaman industrialisasi sekarang ini. Pekerjaan laki-laki direbut oleh perempuan. Sampai menjadi kapten kapal, sampai jadi supir truk. Kaum kapitalis memberikan upah yang murah bagi perempuan dan kaum laki-laki mulai mengenal pengangguran!
Di akhir ayat berfimanlah Allah,
“Sesungguhnya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Mahatahu."
Disebut di sini salah satu dari nama Allah, yaitu Dialah yang memancarkan sinar ilmu-Nya dengan jalan ilham kepada manusia sehingga di dalam manusia berusaha di-ajarkanlah kepadanya hal-hal yang tadinya belum diketahuinya. (Tengok surah al-'Alaq ayat 5) Maka pengetahuan yang lebih mendalam tentang sesuatu hal tidaklah akan diberikan Allah kalau tidak berusaha dan hanya berangan-angan.
Pengetahuan sebagai teori bertambah dalam karena praktik.
Ayat ini dapatlah kiranya menyadarkan kita tentang nasib kita pemeluk agama Islam beratus tahun lamanya. Segala kemegahan,
Anak Raja memikul kayu,
Kayu diambil akan titian;
Nasib malang orang Melayu,
Orang besar-besar berdengki-dengkian.
kekuasaan, kekayaan, dan ketinggian telah dicapai oleh bangsa Barat, sampai kita dijajahnya karena kita di pihak yang bodoh. Sedang kita hanya berangan-angan dan iri hati, sampai ada pepatah sebelum perang, Belanda mati karena pangkat, Cina mati karena kekayaan, Keling mati karena makanan, Melayu mati dalam angan-angan.
Kita bertambah mundur lagi karena hasad dan iri hati. Kalau ada kawan yang kelihatan maju, yang lain membenci dan memfitnah. Tiap-tiap yang akan tumbuh, dipancung pucuknya oleh temannya sendiri.
Pada suatu hari dalam tahun 1955 ber-buallah penafsir ini dengan almarhum Tengku Besar Burhanuddin, ayah saudara dari Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan, Tuanku Abdurrahman, yang kemudian menjadi Yang Dipertuan Agung Kerajaan Malaysia. Kami duduk bersama-sama di dalam Istana Sri Menanti. Berlarat-larat pembicaraan kami dengan orang tua itu, sampai kepada penyakit bahwa pada suatu hari di zaman muda, beliau berjalan memeriksa sawah-sawah rakyat dalam wilayah Kerajaan Negeri Sembilan. Salah seorang pengiring beliau ialah almarhum Munsyi Sulaiman, pengarang Melayu yang terkenal di permulaan abad kedua puluh. Di satu bidang sawah yang luas, bertemulah satu titian yang telah rusak dan lapuk sehingga sebuah bandar galian pengairan sawah tak dapat mereka seberangi. Lalu Tengku Besar Burhanuddin, Munsyi Sulaiman bersama-sama mengangkat kayu-kayu dan bambu titian yang telah berserak-serak itu dan memikulnya sendiri dan menyusun kembali sehingga titian itu dapat diseberangi. Melihat Yang Teramat Mulia Tengku Besar sudah kerja keras, pengiring yang lain pun mulai menyingsingkan lengan baju sehingga titian itu dapat dilalui kembali.
Tengku Besar Burhanuddin bercerita, “Selesai kami mengangkat kayu-kayu dan bambu itu berpantunlah Munsyi Sulaiman,
Tengku Besar berkata, “Beta termenung memikirkan dua hal. Pertama, kecepatan Munsyi Sulaiman menyusun syairnya. Kedua, kagum akan isi syair yang dalam itu. Memang Datuk Indomo.11 kata beliau “Karena orang besar-besar Melayu berdengki-detigkian, mudahlah bagi British memecah-belah kami orang besar-besar Melayu sehingga hak-hak pusaka kami habis dirampas."
Syukur alhamdulillah, sebagian besar tanah Islam sekarang telah mencapai kemerdekaannya dari penjajahan asing. Mereka dahulu terjajah karena tidak ada ilmu. Lalu hidup berangan-angan. Sekarang hal itu sudah patut habis karena kemerdekaan tanah air bersendi kepada kemerdekaan jiwa putranya. Dalam negara yang merdeka, dengan jiwa yang merdeka setiap orang terbuka jalan untuk maju dalam bidangnya sendiri-sendiri. Tidak ada tempat lagi buat berangan-angan dan dengki hanyalah timbul dari jiwa yang kecil kerdil. Penyakit demikian lebih tidak mungkin lagi kalau seorang sadar benar akan dasar aqidah hidupnya, yaitu tauhid. Dan orang yang berjiwa merdeka dan bertauhid tahu bahwa di mana saja pun medan tempat dia tegak, namun dia tetap dapat memberikan apa-apa untuk masyarakat,
Engkau sakti, kalau berbakti!
Datuk Indomo adalah gelar pusaka penulis tafsir ini menurut adat Minangkabau. Oleh karena Negeri Sembilan pun memakai adat Minangkabau (Adat Perpatih), dan Tengku Besar mengetahui gelar saya itu, maka di mana bertemu beliau tidak mau menyebut nama samaran yang selalu saya pakai yaitu Hamka. Selalu beliau sebut Datuk Indomo.
Lantaran kemerdekaan jiwa dan sadar akan harga diri inilah maka seketika Khalifah Abu Ja'far al-Mansur dalam perjalanannya naik haji singgah di Madinah, lalu menyuruh sampaikan kepada Imam Malik bahwa kalau Imam Malik ingin hendak menghadapnya, Baginda berkenan menerimanya. Dengan tegas Imam Malik menjawab bahwa dia tidak merasa ada keperluan pribadi yang akan dibawanya untuk menghadap Khalifah. Tetapi sebaliknya kalau Khalifah memerlukan ilmu yang ada padanya, dia bersedia menerima kedatangan Khalifah di rumahnya. Keluarlah perkataan Imam Malik yang terkenal, “Ilmu didatangi, bukan mendatangi." Artinya Imam Malik tahu di mana kedudukannya.
MASING-MASING SUDAH ADA PEMBAGIAN
Ayat 33
“Dan untuk tiap-tiap orang telah Kami adakan ahli-ahli bagi apa yang ditinggalkan."
Ayat ini adalah penjelasan dan penegasan bahwasanya tiap-tiap orang yang meninggal dunia sudah ada ketentuan siapa-siapa yang akan menerima hartanya, tidak usah ribut lagi, hilanglah segala kemusykilan lantaran ketentuan-ketentuan itu.
Apabila kita baca ayat-ayat Al-Qur'an dengan perasaan yang halus dan minat yang besar, akan terasalah hubungan di antara ayat 32 dengan ayat 33 ini. Meskipun ayatnya sudah terpisah, sambungan batinnya telah ada sendirinya. Ayat 32 mencegah berangan-angan dan iri hati atas kelebihan yang diberikan Allah kepada orang lain. Padahal sangat biasa, kalau seseorang telah meninggal dunia, hanya beberapa hari saja duka cita meliputi ahli rumah itu. Kalau sudah agak lama timbullah iri hati, kedengkian, dan ketamakan. Semua hendak mendapat bagian lebih banyak. Semua takut akan dirugikan. Lebih-lebih pada orang-orang yang dalam hal
ibadah masih mau tunduk kepada Allah, taat shalat, dan puasa, tetapi dalam hal harta waris masih mau bersitegang urat leher menuntut yang bukan haknya. Maka datanglah ayat ini menerangkan bahwa Allah telah menentukan pembagian tarikah yang ditinggalkan oleh si mati, tidak boleh diubah lagi, walaupun ada di antara kamu yang Tamannau, berangan-angan mengkhayat langit atau iri hati. “(Yaitu) ibu bapak dan keluarga-keluarga yang paling karib."
Keterangannya: Dalam ayat ini terdapat kalimat mawaaliya yang diartikan keluarga yang akan menerima waris. Sebab itu arti lurusnya dalam bahasa kita ialah bahwa bagi tiap-tiap harta benda yang ditinggalkan oleh ibu dan bapak dan karib kerabat itu, Kami adakan waris-waris yang akan menerima dan menguasainya.
Kita telah sama mengetahui bahwa di dalam Al-Qur'an banyak kali kita dapati ka-limat Maula, yang jamaknya menjadi Mawaaiiy, sebagaimana tersebut dalam ayat ini. Pokok kata adalah wilayaah. Tajul-Arus ada tersebut,
“AlMaula; al-Qaribu. Artinya mauta itu ialah orang yang terkarib kepadamu. Sebagai anak paman (Ibnul Am) dan sebagainya."
Dari sinilah pangkalnya maka kita kerap kali bertemu kalimat wali.
Seorang perempuan dinikahkan oleh walinya, sebab itulah orang yang terkarib padanya. Sehingga kalau ayah sebagai wali utama tidak ada atau saudara laki-lakinya tidak ada pula, bolehlah paman-pamannya menggantikan tempat ayah dan saudara laki-lakinya itu.
Kepada Allah kita ucapkan, “Ya Maulana." Ya Allah kami. Sebab Allah amat dekat kepada kita.
Kepada guru kita pun mengucapkan, “Ya Maulana." Sebab guru pun dekat kepada jiwa kita. Dan “Ya Maulana" diucapkan juga sebagai kata kehormatan kepada orang-orang yang dihormati, kepada raja misalnya.
Seorang budak hamba sahaya yang dimerdekakan oleh tuannya, lalu menyangkutkan diri dengan tuannya itu disebut juga maula.
Di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini terdapat lagi perkataan mawaaliy, yang diberi arti khusus, yaitu ahli waris. Pendeknya segala harta ibu bapaknya yang meninggal dunia atau karib kerabat, yaitu anak, istri, suami, saudara, dan sebagainya sudah ada mawaaliy atau ahli waris yang akan menerimanya. Sudah ada ketentuan dalam hukum.
Pengertian mawaaliy sebagai ahli waris ini akan terdapat pula dengan sangat jelas pada permohonan Nabi Zakaria kepada Allah, yang tersebut di dalam surah 19, Maryam ayat 4 dan 5, di sana Nabi Zakaria mengeluh memohon kepada Allah agar dia diberi waaliy. Yaitu yang akan mewarisi dia dan mewarisi keluarga Ya'qub. Waaliy yang dimaksud di sini ialah anak kandung. Dan yang akan diwarisi oleh anak kandung itu ialah nubuwwat. Baik nubuwwat Zakaria maupun nubuwwat nabi-nabi yang terdahulu dari beliau dari keturunan Ya'qub. Kalau Allah tidak memberinya putra karena istrinya pun mandul, Nabi Zakaria takut akan nasib mawaaliy-mawaaliy yang lain, keluarga bertali darah yang menjadi pengikut beliau di belakang tidak ada lagi yang akan memimpin mereka. Cobalah perhatikan tafsiran ayat ini kelak pada juz 16.
Pada ayat-ayat faraidh yang lalu telah diterangkan dan dijelaskan oleh Allah siapa-siapa keluarga yang paling karib itu. Terutama— selain dari ibu bapak—ialah anak dan ayah bunda, tidak ada yang mendinding, anak-anak pun tidak. Hilang anak timbullah cucu sebagai penggantinya. Hilang ayah terlebih dahulu, maka kalau kakek masih hidup, kakek itu pun dapat mengantikan tempat ayah. Saudara terdinding oleh anak. Kemudian itu terdapat pula ‘Ashabah, yaitu penerima sisa sesudah yang berhak didahulukan. Kemudian dijelaskan pula bahwa laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan. Kemudian disebut lagi, “Dan orang-orang yang telah diikat oleh tangan kanan kamu."
Abu Muslim al-Asbahani menafsirkan orang-orang yang telah diikat oleh tangan kanan kamu ialah istri, kalau yang meninggal si suami. Dan suami, kalau yang meninggal itu si istri. Sebab yang menghubungkan dua suami istri—yang dahulu hanya sama-sama orang lain—ialah akad nikah, ijab dan qabul di antara wali si perempuan dengan mempelai laki-laki. Secara simbolis dilakukan orang pegang-berpegangan tangan di antara ke-duanya, kadang-kadang diadu empu tangan sesama empu tangan ketika berijab qabul, untuk memperkuat arti aqad. Setelah wali mengucapkan ijabnya menikahkan anak perempuannya dengan si calon menantu, si menantu pun dengan segera mengucapkan qabulnya. Sejak itu terikatlah di antara dua orang yang berlainan jenis, berpadu mendirikan rumah tangga dan menyebarkan keturunan.
Tetapi ada pula tafsiran lain, yang telah dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa yang dimaksud dengan ikatan tangan kamu ialah perjanjian dan sumpah setia di antara dua orang sahabat yang selalu terjadi di zaman jahiliyyah. Mereka berjanji akan waris-mewarisi sehidup semati dengan ungkapan “darahku darah engkau", bela-membela, tuntut-menuntut balas. Meskipun setelah Islam perjanjian semacam itu tidak diperkenankan lagi sebab perjanjian sehidup semati, tuntut-menuntut bela hanya karena agama, namun sisa dari perjanjian yang dahulu itu kalau masih ada, hendaklah diteguhi. Menurut ath-Thabari, setelah kedua orang yang berjanji itu mendapati zaman Islam, bagi mereka janji waris-mewarisi itu masih berlaku juga. Sahabat setia yang berjanji itu mendapat pembagian waris juga seperenam.
Kalau kita tilik penafsiran dari “ulama-ulama" di zaman kita, terdapat juga pertikaian tengan tafsir “dan orang-orang yang telah diikat oleh tangan kanan kamu" ini. Sayyid Rasyid Ridha dalam tafsirnya al-Manar se-jalan penafsirannya dengan Abu Muslim al-Asbahani, yaitu bahwa yang dimaksud ialah ikatan ijab qabul suami istri. Dengan demikian suami istri tidaklah termasuk dalam kata yang sebelumnya yaitu “dan keluarga-keluarga yang paling karib." Sebab yang mempertalikan mereka bukan darah, seperti ayah dengan anak atau saudara, melainkan akad nikah. Bahkan menurut setengah ulama fiqih, meskipun telah bersuami istri, namun bersentuh kulit mereka ketika berwudhu, batal juga wudhu itu sebab yang mempertalikan mereka hanyalah akad nikah.
Tetapi Syekh Jamaluddin al-Qasimi dalam tafsirnya Mahasinut Ta'wil berpendapat dengan mengemukakan beberapa riwayat bahwa yang dimaksud dengan “terikat dengan tangan kanan kamu" itu ialah janji sumpah setia zaman jahiliyyah itu tadi, yang tetap dihormati setelah datang Islam sehingga dua kawan yang telah berjanji teguh setia, dikuatkan dengan sumpah itu, menurut ayat ini, tetap berwaris-warisan, yang kalau salah satu mati, maka yang tinggal berhak menerima warisannya seperenam.
Apatah lagi setelah kaum Muhajirin pindah ke Madinah, mereka itu telah dipersaudarakan dengan resmi oleh Rasulullah, lalu timbul pula ikatan kekeluargaan, waris-mewarisi. Sebab si Muhajirin dengan pindahnya ke Madinah telah mendapat keluarga baru, dan putus kekeluargaannya dengan keluarganya yang masih musyrik yang tinggal di Mekah.
Berkata Ibnu Abbas, “Dahulu seorang Muhajir berwaris dengan seorang Anshar dan putus dengan keluarga sendiri. Tetapi kemudian, setelah semua menerima Islam, peraturan ini telah dihapuskan (mansukhJ"
Bagi kita yang datang kemudian ini, setelah menyatakan hormat kepada hasil penyelidikan Syekh Jamaluddin al-Qasimi yang mendalam itu, kita lebih condong kepada penafsiran
Sayyid Rasyid Ridha atau penafsiran Abu Muslim tadi yang diambil langsung dari pengaruh bahasa dan urutan dari “ibu bapak" sampai kepada “keluarga-keluarga yang karib" sampai kepada “yang terikat dengan akad nikah" itu. Apatah lagi dalam ayat-ayat faraidh yang telah terdahulu sudah jelas uraiannya.
Maka berfirmanlah Allah pada ayat, “Lantaran itu berikanlah kepada mereka bagian mereka." Artinya jalankanlah pembagian tarikah si mati menurut yang ditentukan Allah kepada waris yang berhak menerimanya, ja-ngan sampai ada yang dirugikan atau dicurangi karena tamak dan loba, terutama terhadap anak yatim. Bersabdalah Rasulullah ﷺ yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas,
“Temukanlah faraidh itu kepada ahlinya. Maka yang ketinggalan berikanlah kepada laki-laki yang terutama disebutkan. “(HR Bukhari dan Muslim)
Artinya bagi-bagikanlah harta waris itu kepada mereka yang telah disebutkan Allah dalam ayat-ayatfaraidh itu. Sisanya serahkanlah kepada ‘ashabah. Jangan dilupakan pembagian pengobat hati kepada keluarga dekat yang tidak termasuk dalam daftar yang berhak menerima, seperti saudara seketika dia terdinding oleh anak, atau anak yatim, atau orang miskin. Berilah kepada mereka ala kadarnya. Sebagai penutup, Allah memberikan suatu peringatan yang amat halus, tetapi menimbulkan ingatan keras bagi orang yang beriman,
“Sesungguhnya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Menyaksikan."
Harta benda yang diterima sebagai waris adalah sebagai suatu rezeki yang datang tertumpuk dengan tiba-tiba. Rezeki yang datang dengan tidak dicari.
Seperti yang pernah kita katakan di atas, hanya beberapa hari saja orang-orang yang kematian itu bersedih hati. Setelah berlalu beberapa hari atau beberapa bulan, banyaklah kata-kata, bisik, desus, dan syak wasangka. Sehingga orang-orang yang lemah iman, meskipun telah tahu ketentuan Allah, dalam soal harta ini mudah saja berlaku curang.
Misalnya saudara si mayit yang tidak mendapat bagian kalau si mati meninggalkan anak, bisa diperdayakan oleh setan buat menggunting dalam lipatan terhadap anak yatim yang masih kecil-kecil. Padahal anak saudaranya. Dan orang yang diperdayakan oleh setan mudah saja “menggunting dalam lipatan!"
Maka datanglah peringatan pada akhir ayat ini bahwasanya Allah selalu menyaksikan segala sesuatu dari gerak-gerik semua hamba-Nya. Lantaran itu sudahlah menjadi sunnah dari Rasulullah ﷺ, apabila seseorang me-ninggal dunia, hendaklah segera tarikah (peninggalannya) itu dibagi menurut yang ditentukan oleh Al-Qur'an. Jangan sampai dilamakan dan sebaiknya pembagian faraidh itu disaksikan oleh orang di luar keluarga, jangan sampai sebagaimana pernah kejadian. Seorang meninggal dunia, meninggalkan kedua ibu bapaknya, istrinya, dan anak-anaknya. Sudah terang bahwa kedua ibu bapaknya itu mendapat masing-masing seperenam, istrinya mendapat seperdelapan karena dia beranak, dan anak-anaknya mendapat ‘ashabah. Memang harta benda ini telah dibagi. Yang membaginya ialah saudara-saudara laki-laki dari yang meninggal yang mereka itu telah terdinding oleh anak-anaknya. Maka ditaksirkannyalah seluruh harta benda itu dengan harga sangat murah, di bawah harga pasar, dengan tidak disaksikan oleh orang lain. Lalu semuanya itu dibelinya sendiri dengan keputusan sendiri pula. Semuanya, baik ibu bapak yang telah tua, atau istri si mati yang lemah, maupun anak-anak yatim yang masih kecil-kecil mendapat bagian seperti yang tertulis di dalam Al-Qur'an, tetapi
penilaian harganya sangat murah dan yang sebenarnya beroleh keuntungan di dalam hal ini ialah si saudara-saudara laki-laki yang telah terdinding itu tadi.
Dan Allah menyaksikan semuanya ini.