Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُوٓاْ
beriman
إِذَا
apabila
تَدَايَنتُم
kamu berhutang piutang
بِدَيۡنٍ
dengan hutang
إِلَىٰٓ
sampai
أَجَلٖ
waktu
مُّسَمّٗى
yang ditentukan
فَٱكۡتُبُوهُۚ
maka hendaklah kamu menuliskannya
وَلۡيَكۡتُب
dan hendaklah menulis
بَّيۡنَكُمۡ
diantara kamu
كَاتِبُۢ
seorang penulis
بِٱلۡعَدۡلِۚ
dengan adil
وَلَا
dan tidak
يَأۡبَ
enggan
كَاتِبٌ
seorang penulis
أَن
bahwa
يَكۡتُبَ
menulis
كَمَا
sebagaimana
عَلَّمَهُ
telah mengajarkannya
ٱللَّهُۚ
Allah
فَلۡيَكۡتُبۡ
maka hendaklah ia menulis
وَلۡيُمۡلِلِ
dan hendaklah membacakan
ٱلَّذِي
orang yang
عَلَيۡهِ
atasnya
ٱلۡحَقُّ
hak
وَلۡيَتَّقِ
dan hendaklah ia bertakwa
ٱللَّهَ
Allah
رَبَّهُۥ
Tuhannya
وَلَا
dan janganlah
يَبۡخَسۡ
ia mengurangi
مِنۡهُ
daripadanya
شَيۡـٔٗاۚ
sesuatu/sedikitpun
فَإِن
maka jika
كَانَ
ada
ٱلَّذِي
orang yang
عَلَيۡهِ
atasnya
ٱلۡحَقُّ
hak
سَفِيهًا
lemah akal
أَوۡ
atau
ضَعِيفًا
lemah (keadaannya)
أَوۡ
atau
لَا
tidak
يَسۡتَطِيعُ
ia mampu
أَن
untuk
يُمِلَّ
membacakan
هُوَ
ia
فَلۡيُمۡلِلۡ
maka hendaklah membacakan
وَلِيُّهُۥ
walinya
بِٱلۡعَدۡلِۚ
dengan adil
وَٱسۡتَشۡهِدُواْ
dan persaksikanlah
شَهِيدَيۡنِ
dua orang saksi
مِن
dari
رِّجَالِكُمۡۖ
orang-orang laki-lakimu
فَإِن
maka jika
لَّمۡ
tidak
يَكُونَا
ada
رَجُلَيۡنِ
dua orang lelaki
فَرَجُلٞ
maka seorang lelaki
وَٱمۡرَأَتَانِ
dan dua orang perempuan
مِمَّن
dari orang
تَرۡضَوۡنَ
kamu ridhai
مِنَ
dari
ٱلشُّهَدَآءِ
saksi-saksi
أَن
bahwa
تَضِلَّ
lupa
إِحۡدَىٰهُمَا
salah seorang dari keduanya
فَتُذَكِّرَ
maka mengingatkan
إِحۡدَىٰهُمَا
salah seorang dari keduanya
ٱلۡأُخۡرَىٰۚ
yang lain
وَلَا
dan jangan
يَأۡبَ
enggan
ٱلشُّهَدَآءُ
saksi-saksi itu
إِذَا
apabila
مَا
apa
دُعُواْۚ
mereka seru/panggil
وَلَا
dan jangan
تَسۡـَٔمُوٓاْ
kamu jemu
أَن
bahwa/untuk
تَكۡتُبُوهُ
menuliskan
صَغِيرًا
kecil
أَوۡ
atau
كَبِيرًا
besar
إِلَىٰٓ
sampai
أَجَلِهِۦۚ
waktu
ذَٰلِكُمۡ
demikian itu
أَقۡسَطُ
lebih adil
عِندَ
disisi
ٱللَّهِ
Allah
وَأَقۡوَمُ
dan lebih menguatkan
لِلشَّهَٰدَةِ
bagi persaksian
وَأَدۡنَىٰٓ
dan lebih dekat
أَلَّا
untuk tidak
تَرۡتَابُوٓاْ
menimbulkan keragu-raguan
إِلَّآ
kecuali
أَن
bahwa
تَكُونَ
itu (muamalah) adalah
تِجَٰرَةً
perdagangan
حَاضِرَةٗ
tunai
تُدِيرُونَهَا
kamu jalankannya
بَيۡنَكُمۡ
diantaramu
فَلَيۡسَ
maka tidak ada
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
جُنَاحٌ
dosa
أَلَّا
untuk tidak
تَكۡتُبُوهَاۗ
kamu menulisnya
وَأَشۡهِدُوٓاْ
dan persaksikanlah
إِذَا
apabila
تَبَايَعۡتُمۡۚ
kamu berjual beli
وَلَا
dan jangan
يُضَآرَّ
saling menyulitkan
كَاتِبٞ
penulis
وَلَا
dan jangan
شَهِيدٞۚ
saksi
وَإِن
dan jika
تَفۡعَلُواْ
kalian kerjakan
فَإِنَّهُۥ
maka sesungguhnya itu
فُسُوقُۢ
kefasikan
بِكُمۡۗ
dengan/untuk kalian
وَٱتَّقُواْ
dan bertakwalah
ٱللَّهَۖ
Allah
وَيُعَلِّمُكُمُ
dan mengajarmu
ٱللَّهُۗ
Allah
وَٱللَّهُ
dan Allah
بِكُلِّ
dengan segala
شَيۡءٍ
sesuatu
عَلِيمٞ
Maha Mengetahui
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُوٓاْ
beriman
إِذَا
apabila
تَدَايَنتُم
kamu berhutang piutang
بِدَيۡنٍ
dengan hutang
إِلَىٰٓ
sampai
أَجَلٖ
waktu
مُّسَمّٗى
yang ditentukan
فَٱكۡتُبُوهُۚ
maka hendaklah kamu menuliskannya
وَلۡيَكۡتُب
dan hendaklah menulis
بَّيۡنَكُمۡ
diantara kamu
كَاتِبُۢ
seorang penulis
بِٱلۡعَدۡلِۚ
dengan adil
وَلَا
dan tidak
يَأۡبَ
enggan
كَاتِبٌ
seorang penulis
أَن
bahwa
يَكۡتُبَ
menulis
كَمَا
sebagaimana
عَلَّمَهُ
telah mengajarkannya
ٱللَّهُۚ
Allah
فَلۡيَكۡتُبۡ
maka hendaklah ia menulis
وَلۡيُمۡلِلِ
dan hendaklah membacakan
ٱلَّذِي
orang yang
عَلَيۡهِ
atasnya
ٱلۡحَقُّ
hak
وَلۡيَتَّقِ
dan hendaklah ia bertakwa
ٱللَّهَ
Allah
رَبَّهُۥ
Tuhannya
وَلَا
dan janganlah
يَبۡخَسۡ
ia mengurangi
مِنۡهُ
daripadanya
شَيۡـٔٗاۚ
sesuatu/sedikitpun
فَإِن
maka jika
كَانَ
ada
ٱلَّذِي
orang yang
عَلَيۡهِ
atasnya
ٱلۡحَقُّ
hak
سَفِيهًا
lemah akal
أَوۡ
atau
ضَعِيفًا
lemah (keadaannya)
أَوۡ
atau
لَا
tidak
يَسۡتَطِيعُ
ia mampu
أَن
untuk
يُمِلَّ
membacakan
هُوَ
ia
فَلۡيُمۡلِلۡ
maka hendaklah membacakan
وَلِيُّهُۥ
walinya
بِٱلۡعَدۡلِۚ
dengan adil
وَٱسۡتَشۡهِدُواْ
dan persaksikanlah
شَهِيدَيۡنِ
dua orang saksi
مِن
dari
رِّجَالِكُمۡۖ
orang-orang laki-lakimu
فَإِن
maka jika
لَّمۡ
tidak
يَكُونَا
ada
رَجُلَيۡنِ
dua orang lelaki
فَرَجُلٞ
maka seorang lelaki
وَٱمۡرَأَتَانِ
dan dua orang perempuan
مِمَّن
dari orang
تَرۡضَوۡنَ
kamu ridhai
مِنَ
dari
ٱلشُّهَدَآءِ
saksi-saksi
أَن
bahwa
تَضِلَّ
lupa
إِحۡدَىٰهُمَا
salah seorang dari keduanya
فَتُذَكِّرَ
maka mengingatkan
إِحۡدَىٰهُمَا
salah seorang dari keduanya
ٱلۡأُخۡرَىٰۚ
yang lain
وَلَا
dan jangan
يَأۡبَ
enggan
ٱلشُّهَدَآءُ
saksi-saksi itu
إِذَا
apabila
مَا
apa
دُعُواْۚ
mereka seru/panggil
وَلَا
dan jangan
تَسۡـَٔمُوٓاْ
kamu jemu
أَن
bahwa/untuk
تَكۡتُبُوهُ
menuliskan
صَغِيرًا
kecil
أَوۡ
atau
كَبِيرًا
besar
إِلَىٰٓ
sampai
أَجَلِهِۦۚ
waktu
ذَٰلِكُمۡ
demikian itu
أَقۡسَطُ
lebih adil
عِندَ
disisi
ٱللَّهِ
Allah
وَأَقۡوَمُ
dan lebih menguatkan
لِلشَّهَٰدَةِ
bagi persaksian
وَأَدۡنَىٰٓ
dan lebih dekat
أَلَّا
untuk tidak
تَرۡتَابُوٓاْ
menimbulkan keragu-raguan
إِلَّآ
kecuali
أَن
bahwa
تَكُونَ
itu (muamalah) adalah
تِجَٰرَةً
perdagangan
حَاضِرَةٗ
tunai
تُدِيرُونَهَا
kamu jalankannya
بَيۡنَكُمۡ
diantaramu
فَلَيۡسَ
maka tidak ada
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
جُنَاحٌ
dosa
أَلَّا
untuk tidak
تَكۡتُبُوهَاۗ
kamu menulisnya
وَأَشۡهِدُوٓاْ
dan persaksikanlah
إِذَا
apabila
تَبَايَعۡتُمۡۚ
kamu berjual beli
وَلَا
dan jangan
يُضَآرَّ
saling menyulitkan
كَاتِبٞ
penulis
وَلَا
dan jangan
شَهِيدٞۚ
saksi
وَإِن
dan jika
تَفۡعَلُواْ
kalian kerjakan
فَإِنَّهُۥ
maka sesungguhnya itu
فُسُوقُۢ
kefasikan
بِكُمۡۗ
dengan/untuk kalian
وَٱتَّقُواْ
dan bertakwalah
ٱللَّهَۖ
Allah
وَيُعَلِّمُكُمُ
dan mengajarmu
ٱللَّهُۗ
Allah
وَٱللَّهُ
dan Allah
بِكُلِّ
dengan segala
شَيۡءٍ
sesuatu
عَلِيمٞ
Maha Mengetahui
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang pencatat di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah pencatat menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajar-kan kepadanya. Hendaklah dia mencatat(-nya) dan orang yang berutang itu mendiktekan(-nya). Hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia menguranginya sedikit pun. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada) sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Janganlah kamu bosan mencatatnya sampai batas waktunya, baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu pada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perniagaan tunai yang kamu jalankan di antara kamu. Maka, tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak mencatatnya. Ambillah saksi apabila kamu berjual beli dan janganlah pencatat mempersulit (atau dipersulit), begitu juga saksi. Jika kamu melakukan (yang demikian), sesungguhnya hal itu suatu kefasikan padamu. Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman! Jika kamu mengadakan utang piutang), maksudnya muamalah seperti jua beli, sewa-menyewa, utang-piutang dan lain-lain (secara tidak tunai), misalnya pinjaman atau pesanan (untuk waktu yang ditentukan) atau diketahui, (maka hendaklah kamu catat) untuk pengukuhan dan menghilangkan pertikaian nantinya. (Dan hendaklah ditulis) surat utang itu (di antara kamu oleh seorang penulis dengan adil) maksudnya benar tanpa menambah atau mengurangi jumlah utang atau jumlah temponya. (Dan janganlah merasa enggan) atau berkeberatan (penulis itu) untuk (menuliskannya) jika ia diminta, (sebagaimana telah diajarkan Allah kepadanya), artinya telah diberi-Nya karunia pandai menulis, maka janganlah dia kikir menyumbangkannya. 'Kaf' di sini berkaitan dengan 'ya'ba' (Maka hendaklah dituliskannya) sebagai penguat (dan hendaklah diimlakkan) surat itu (oleh orang yang berutang) karena dialah yang dipersaksikan, maka hendaklah diakuinya agar diketahuinya kewajibannya, (dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya) dalam mengimlakkan itu (dan janganlah dikurangi darinya), maksudnya dari utangnya itu (sedikit pun juga. Dan sekiranya orang yang berutang itu bodoh) atau boros (atau lemah keadaannya) untuk mengimlakkan disebabkan terlalu muda atau terlalu tua (atau ia sendiri tidak mampu untuk mengimlakkannya) disebabkan bisu atau tidak menguasai bahasa dan sebagainya, (maka hendaklah diimlakkan oleh walinya), misalnya bapak, orang yang diberi amanat, yang mengasuh atau penerjemahnya (dengan jujur. Dan hendaklah persaksikan) utang itu kepada (dua orang saksi di antara laki-lakimu) artinya dua orang Islam yang telah balig lagi merdeka (Jika keduanya mereka itu bukan), yakni kedua saksi itu (dua orang laki-laki, maka seorang laki-laki dan dua orang perempuan) boleh menjadi saksi (di antara saksi-saksi yang kamu sukai) disebabkan agama dan kejujurannya. Saksi-saksi wanita jadi berganda ialah (supaya jika yang seorang lupa) akan kesaksian disebabkan kurangnya akal dan lemahnya ingatan mereka, (maka yang lain (yang ingat) akan mengingatkan kawannya), yakni yang lupa. Ada yang membaca 'tudzkir' dan ada yang dengan tasydid 'tudzakkir'. Jumlah dari idzkar menempati kedudukan sebagai illat, artinya untuk mengingatkannya jika ia lupa atau berada di ambang kelupaan, karena itulah yang menjadi sebabnya. Menurut satu qiraat 'in' syarthiyah dengan baris di bawah, sementara 'tudzakkiru' dengan baris di depan sebagai jawabannya. (Dan janganlah saksi-saksi itu enggan jika) 'ma' sebagai tambahan (mereka dipanggil) untuk memikul dan memberikan kesaksian (dan janganlah kamu jemu) atau bosan (untuk menuliskannya), artinya utang-utang yang kamu saksikan, karena memang banyak orang yang merasa jemu atau bosan (biar kecil atau besar) sedikit atau banyak (sampai waktunya), artinya sampai batas waktu membayarnya, menjadi 'hal' dari dhamir yang terdapat pada 'taktubuh' (Demikian itu) maksudnya surat-surat tersebut (lebih adil di sisi Allah dan lebih mengokohkan persaksian), artinya lebih menolong meluruskannya, karena adanya bukti yang mengingatkannya (dan lebih dekat), artinya lebih kecil kemungkinan (untuk tidak menimbulkan keraguanmu), yakni mengenai besarnya utang atau jatuh temponya. (Kecuali jika) terjadi muamalah itu (berupa perdagangan tunai) menurut satu qiraat dengan baris di atas hingga menjadi khabar dari 'takuuna' sedangkan isimnya adalah kata ganti at-tijaarah (yang kamu jalankan di antara kamu), artinya yang kamu pegang dan tidak mempunyai waktu berjangka, (maka tidak ada dosa lagi kamu jika kamu tidak menulisnya), artinya barang yang diperdagangkan itu (hanya persaksikanlah jika kamu berjual beli) karena demikian itu lebih dapat menghindarkan percekcokan. Maka soal ini dan yang sebelumnya merupakan soal sunah (dan janganlah penulis dan saksi -maksudnya yang punya utang dan yang berutang- menyulitkan atau mempersulit), misalnya dengan mengubah surat tadi atau tak hendak menjadi saksi atau menuliskannya, begitu pula orang yang punya utang, tidak boleh membebani si penulis dengan hal-hal yang tidak patut untuk ditulis atau dipersaksikan. (Dan jika kamu berbuat) apa yang dilarang itu, (maka sesungguhnya itu suatu kefasikan), artinya keluar dari taat yang sekali-kali tidak layak (bagi kamu dan bertakwalah kamu kepada Allah) dalam perintah dan larangan-Nya (Allah mengajarimu) tentang kepentingan urusanmu. Lafal ini menjadi hal dari fi`il yang diperkirakan keberadaannya atau sebagai kalimat baru. (Dan Allah mengetahui segala sesuatu).
Tafsir Surat Al-Baqarah: 282
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kalian menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antara kalian). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian sukai, supaya jika seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kalian jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan kesaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan kalian, (tulislah muamalah kalian itu) kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kalian jalankan di antara kalian; maka tak ada dosa bagi kalian jika kalian tidak menulisnya. Dan ambillah saksi apabila kalian berjual-beli; dan janganlah penulis dan saksi dipersulit. Jika kalian lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada diri kalian. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajar kalian; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ayat 282
Ayat yang mulia ini merupakan ayat yang terpanjang di dalam Al-Qur'an.
Imam Abu Jafar ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yunus, dari Ibnu Syihab yang menceritakan bahwa telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnul Musayyab, telah sampai kepadanya bahwa ayat Al-Qur'an yang menceritakan peristiwa yang terjadi di Arasy adalah ayat dain (utang piutang).
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Mahran, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa tatkala ayat mengenai utang piutang diturunkan, Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya orang yang mula-mula berbuat ingkar adalah Adam a.s. Bahwa setelah Allah menciptakan Adam, lalu Allah mengusap punggung Adam, dan dikeluarkan dari punggungnya itu semua keturunannya hingga hari kiamat, semua keturunannya ditampilkan kepadanya. Lalu Adam melihat di antara mereka seorang lelaki yang kelihatan cemerlang. Maka Adam bertanya, "Wahai Tuhanku, siapakah orang ini?" Allah menjawab, "Dia adalah anakmu Daud." Adam berkata, "Wahai Tuhanku, berapakah umurnya?" Allah menjawab, "Enam puluh tahun." Adam berkata, "Wahai Tuhanku, tambahlah usianya. Allah berfirman, "Tidak dapat, kecuali jika Aku menambahkannya dari usiamu." Dan tersebutlah bahwa usia Adam (ditakdirkan) selama seribu tahun. Maka Allah menambahkan kepada Daud empat puluh tahun (diambil dari usia Adam). Lalu Allah mencatatkan hal tersebut ke dalam suatu catatan dan dipersaksikan oleh para malaikat. Ketika Adam menjelang wafat dan para malaikat datang kepadanya, maka Adam berkata, "Sesungguhnya masih tersisa usiaku selama empat puluh tahun. Lalu dikatakan kepadanya, "Sesungguhnya kamu telah memberikannya kepada anakmu Daud. Adam menyangkal, "Aku tidak pernah melakukannya.” Maka Allah menampakkan kepadanya catatan itu dan para malaikat mempersaksikannya.
Telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir ibnu Hammad ibnu Salamah, lalu ia menyebutkan hadits ini, tetapi di dalamnya ditambahkan seperti berikut: “Maka Allah menggenapkan usia Daud menjadi seratus tahun, dan menggenapkan bagi Adam usia seribu tahun.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Yusuf ibnu Abu Habib, dari Abu Dawud Ath-Thayalisi, dari Hammad ibnu Salamah. Hadits ini gharib (aneh) sekali. Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an hadits-hadisnya berpredikat munkar (tidak dapat diterima). Tetapi hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya dengan lafal yang serupa dengan hadits Al-Haris ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Wisab, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah. Juga dari riwayat Abu Dawud ibnu Abu Hind, dari Asy-Sya'bi, dari Abu Hurairah; serta dari jalur Muhammad ibnu Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah; juga dari hadits Tammam ibnu Sa'd, dari Zaid ibnu Aslam, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ. Lalu Imam Hakim menuturkan hadits yang serupa.
Firman Allah ﷻ: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.” (Al-Baqarah: 282)
Hal ini merupakan petunjuk dari Allah ﷻ buat hamba-hamba-Nya yang mukmin apabila mereka mengadakan muamalah secara tidak tunai, yaitu hendaklah mereka mencatatkannya; karena catatan itu lebih memelihara (menjaga) jumlah barang dan masa pembayarannya serta lebih tegas bagi orang yang menyaksikannya. Hikmah ini disebutkan dengan jelas dalam akhir ayat, yaitu melalui firman-Nya: “Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan kesaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan kalian.” (Al-Baqarah: 282)
Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.” (Al-Baqarah: 282) Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan transaksi salam yang dibatasi dengan waktu tertentu.
Qatadah meriwayatkan dari Abu Hassan Al-A:raj, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Aku bersaksi bahwa utang yang dalam tanggungan sampai dengan batas waktu yang tertentu merupakan hal yang dihalalkan dan diizinkan oleh Allah pemberlakuannya." Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan.” (Al-Baqarah: 282)
Demikianlah menurut riwayat Imam Al-Bukhari. Telah ditetapkan di dalam kitab Shahihain melalui riwayat Sufyan ibnu Uyaynah, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Abdullah ibnu Kasir, dari Abul Minhal, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, para penduduknya telah terbiasa saling mengutangkan buah-buahan untuk masa satu tahun, dua tahun, sampai tiga tahun. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang berutang, maka hendaklah ia berutang dalam takaran yang telah dimaklumi dan dalam timbangan yang telah dimaklumi untuk waktu yang ditentukan.”
Firman Allah ﷻ: “Hendaklah kalian menuliskannya.” (Al-Baqarah: 282)
Melalui ayat ini Allah memerintahkan adanya catatan untuk memperkuat dan berjaga-jaga jika terjadi perselisihan.
Bisa timbul pertanyaan bahwa telah ditetapkan di dalam kitab Shahihain dari Abdullah ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi (buta huruf), kami tidak dapat menulis dan tidak pula menghitung.” Maka bagaimanakah menggabungkan pengertian antara hadits (buta huruf) ini dan perintah mengadakan tulisan (catatan)? Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa utang piutang itu bila dipandang dari segi hakikatnya memang tidak memerlukan catatan pada asalnya. Dikatakan demikian karena Kitabullah telah dimudahkan oleh Allah untuk dihafal manusia; demikian pula sunnah-sunnah, semuanya dihafal dari Rasulullah ﷺ. Hal yang diperintahkan oleh Allah untuk dicatat hanyalah masalah-masalah rinci yang biasa terjadi di antara manusia. Maka mereka diperintahkan untuk melakukan hal tersebut dengan perintah yang mengandung arti petunjuk, bukan perintah yang berarti wajib seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama. Ibnu Juraij mengatakan, "Barang siapa yang melakukan transaksi utang piutang, hendaklah ia mencatatnya; dan barang siapa yang melakukan jual beli, hendaklah ia mengadakan persaksian.”
Qatadah mengatakan, disebutkan kepada kami bahwa Abu Sulaiman Al-Mur'isyi (salah seorang yang berguru kepada Ka'b) mengatakan kepada teman-teman (murid-murid)nya, "Tahukah kalian tentang seorang yang teraniaya yang berdoa kepada Tuhannya, tetapi doanya tidak dikabulkan?" Mereka menjawab, "Mengapa bisa demikian?" Abu Sulaiman berkata, "Dia adalah seorang lelaki yang menjual suatu barang untuk waktu tertentu, tetapi ia tidak memakai saksi dan tidak pula mencatatnya. Ketika tiba masa pembayarannya, ternyata si pembeli mengingkarinya. Lalu ia berdoa kepada Tuhannya, tetapi doanya tidak dikabulkan. Demikian itu karena dia telah berbuat durhaka kepada Tuhannya (tidak menuruti perintah-Nya yang menganjurkannya untuk mencatat atau mempersaksikan hal itu)."
Abu Sa'id, Asy-Sya'bi, Ar-Rabi ibnu Anas, Al-Hasan, Ibnu Juraij, dan Ibnu Zaid serta lain-lainnya mengatakan bahwa pada mulanya hal ini (menulis utang piutang dan jual beli) hukumnya wajib, kemudian di-mansukh oleh firman-Nya: “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya).” (Al-Baqarah: 283) Dalil lain yang memperkuat hal ini ialah sebuah hadits yang menceritakan tentang syariat umat sebelum kita, tetapi diakui oleh syariat kita serta tidak diingkari, yang isinya menceritakan tiada kewajiban untuk menulis dan mengadakan persaksian.
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Al-Laits, dari Ja'far ibnu Rabi'ah, dari Abdur Rahman ibnu Hurmuz, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ yang mengisahkan dalam sabdanya: Bahwa (dahulu) ada seorang lelaki dan kalangan Bani Israil meminta kepada seseorang yang juga dari kalangan Bani Israil agar meminjaminya uang sebanyak seribu dinar. Maka pemilik uang berkata kepadanya, "Datangkanlah kepadaku para saksi agar transaksiku ini dipersaksikan oleh mereka." Ia menjawab, "Cukuplah Allah sebagai saksi." Pemilik uang berkata, "Datangkanlah kepadaku seorang yang menjaminmu." Ia menjawab, "Cukuplah Allah sebagai penjamin." Pemilik uang berkata, "Engkau benar." Lalu pemilik uang memberikan utang itu kepadanya untuk waktu yang ditentukan.
Lalu ia berangkat memakai jalan laut (naik perahu). Setelah keperluannya selesai, lalu ia mencari perahu yang akan mengantarkannya ke tempat pemilik uang karena saat pelunasan utangnya hampir tiba. Akan tetapi, ia tidak menjumpai sebuah perahu pun. Akhirnya ia mengambil sebatang kayu, lalu melubangi tengahnya, kemudian uang seribu dinar itu dimasukkan ke dalam kayu itu berikut sepucuk surat buat alamat yang dituju.
Lalu lubang itu ia sumbat rapat, kemudian ia datang ke tepi laut dan kayu itu ia lemparkan ke dalamnya seraya berkata, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah mengetahui bahwa aku pernah berutang kepada si Fulan sebanyak seribu dinar. Ketika ia meminta kepadaku seorang penjamin, maka kukatakan, 'Cukuplah Allah sebagai penjaminku,' dan ternyata ia rela dengan hal tersebut. Ia meminta saksi kepadaku, lalu kukatakan, 'Cukuplah Allah sebagai saksi,' dan ternyata ia rela dengan hal tersebut. Sesungguhnya aku telah berusaha keras untuk menemukan kendaraan (perahu) untuk mengirimkan ini kepada orang yang telah memberiku utang, tetapi aku tidak menemukan sebuah perahu pun. Sesungguhnya sekarang aku titipkan ini kepada Engkau." Lalu ia melemparkan kayu itu ke laut hingga tenggelam ke dalamnya. Sesudah itu ia berangkat dan tetap mencari kendaraan perahu untuk menuju ke negeri pemilik piutang.
Lelaki yang memberinya utang keluar dan melihat-lihat barangkali ada perahu yang tiba membawa uangnya. Ternyata yang ia jumpai adalah sebatang kayu tadi yang di dalamnya terdapat uang. Maka ia memungut kayu itu untuk keluarganya sebagai kayu bakar. Ketika ia membelah kayu itu, ternyata ia menemukan sejumlah harta dan sepucuk surat itu.
Kemudian lelaki yang berutang kepadanya tiba, dan datang kepadanya dengan membawa uang sejumlah seribu dinar, lalu berkata, "Demi Allah, aku terus berusaha keras mencari perahu untuk sampai kepadamu dengan membawa uangmu, tetapi ternyata aku tidak dapat menemukan sebuah perahu pun sebelum aku tiba dengan perahu ini." Lelaki yang memberi utang bertanya, "Apakah engkau pernah mengirimkan sesuatu kepadaku?" Lelaki yang berutang balik bertanya, "Bukankah aku telah katakan kepadamu bahwa aku tidak menemukan sebuah perahu pun sebelum perahu yang datang membawaku sekarang?" Lelaki yang memberi utang berkata, "Sesungguhnya Allah telah membayarkan utangmu melalui apa yang engkau kirimkan di dalam kayu tersebut. Maka kembalilah kamu dengan seribu dinarmu itu dengan suka cita."
Sanad hadits ini shahih, dan Imam Al-Bukhari meriwayatkannya dalam tujuh tempat (dari kitabnya) melalui berbagai jalur yang shahih secara muallaq dan memakai sigat jazm (ungkapan yang tegas). Untuk itu ia mengatakan bahwa Al-Laits ibnu Sa'id pernah meriwayatkan, lalu ia menuturkan hadits ini. Menurut suatu pendapat, Imam Al-Bukhari meriwayatkan sebagian dari hadits ini melalui Abdullah ibnu Saleh, juru tulis Al-Al-Laits, dari Al-Al-Laits.
Firman Allah ﷻ: “Dan hendaklah seorang penulis di antara kalian menuliskannya dengan benar.” (Al-Baqarah: 282)
Yakni secara adil dan benar. Dengan kata lain, tidak berat sebelah dalam tulisannya; tidak pula menuliskan, melainkan hanya apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, tanpa menambah atau menguranginya.
Firman Allah ﷻ: “Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis.” (Al-Baqarah: 282)
Janganlah seorang yang pandai menulis menolak bila diminta untuk mencatatnya buat orang lain; tiada suatu hambatan pun baginya untuk melakukan hal ini.
Sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya apa yang belum ia ketahui sebelumnya, maka hendaklah ia bersedekah kepada orang lain yang tidak pandai menulis, melalui tulisannya. Hendaklah ia menunaikan tugasnya itu dalam menulis, sesuai dengan apa yang disebutkan oleh sebuah hadits: “Sesungguhnya termasuk sedekah adalah bila kamu memberikan bantuan dalam bentuk jasa atau membantu orang yang bisu.”
Dalam hadits yang lain disebutkan: “Barang siapa yang menyembunyikan suatu pengetahuan yang dikuasainya, maka kelak di hari kiamat akan dicocok hidungnya dengan kendali berupa api neraka.”
Mujahid dan ‘Atha’ mengatakan, orang yang pandai menulis diwajibkan mengamalkan ilmunya.
Firman Allah ﷻ: “Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.” (Al-Baqarah: 282)
Dengan kata lain, hendaklah orang yang berutang mendiktekan kepada si penulis tanggungan utang yang ada padanya, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam hal ini.
“Dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari utangnya.” (Al-Baqarah: 282)
Artinya, jangan sekali-kali ia menyembunyikan sesuatu dari utangnya.
“Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya.” (Al-Baqarah: 282)
Yang dimaksud dengan istilah safih (lemah akal) ialah orang yang dilarang ber-tasarruf (melakukan tindakan hukum atas harta benda) karena dikhawatirkan akan berbuat sia-sia atau lain sebagainya.
“Atau lemah keadaannya.” (Al-Baqarah: 282)
Yakni karena masih kecil atau berpenyakit gila.
“Atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan.” (Al-Baqarah: 282)
Umpamanya karena sulit berbicara atau ia tidak mengetahui mana yang seharusnya ia lakukan dan mana yang seharusnya tidak ia lakukan (tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang salah). Maka dalam keadaan seperti ini disebutkan oleh firman-Nya: “Maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur.” (Al-Baqarah: 282)
Adapun firman Allah ﷻ: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antara kalian).” (Al-Baqarah: 282)
Ayat ini memerintahkan mengadakan persaksian di samping tulisan untuk lebih memperkuat kepercayaan.
“Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan.” (Al-Baqarah: 282)
Hal ini berlaku hanya dalam masalah harta dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Sesungguhnya persaksian wanita diharuskan dua orang untuk menduduki tempat seorang lelaki, hanyalah karena akal wanita itu kurang.
Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ja'far, dari Amr ibnu Abu Amr, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ yang bersabda: Wahai semua kaum wanita, bersedekahlah dan banyaklah beristigfar, karena sesungguhnya aku melihat kalian adalah mayoritas penghuni neraka. Lalu ada salah seorang wanita dari mereka yang kritis bertanya, "Wahai Rasulullah, mengapa kami adalah kebanyakan penghuni neraka?" Nabi ﷺ menjawab, "Kalian banyak melaknat dan ingkar kepada suami. Aku belum pernah melihat orang (wanita) yang lemah akal dan agamanya dapat mengalahkan orang (lelaki) yang berakal selain dari kalian." Wanita itu bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan lemah akal dan agamanya itu?" Nabi ﷺ bersabda, "Adapun kelemahan akalnya ialah kesaksian dua orang wanita mengimbangi kesaksian seorang lelaki, inilah segi kelemahan akalnya. Dan ia diam selama beberapa malam tanpa shalat serta berbuka dalam bulan Ramadan (karena haid), maka segi inilah kelemahan agamanya."
Firman Allah ﷻ: “Dari saksi-saksi yang kalian sukai.” (Al-Baqarah: 282)
Di dalam ayat ini terkandung makna yang menunjukkan adanya persyaratan adil bagi saksi. Makna ayat ini bersifat muqayyad (mengikat) yang dijadikan pegangan hukum oleh Imam Syafii dalam menangani semua kemutlakan di dalam Al-Qur'an yang menyangkut perintah mengadakan persaksian tanpa syarat.
Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang menolak kesaksian seseorang yang tidak dikenal. Untuk itu ia mempersyaratkan, hendaknya seorang saksi itu haras adil dan disetujui.
Firman Allah ﷻ: “Supaya jika seorang lupa.” (Al-Baqarah: 282)
Yakni jika salah seorang dari kedua wanita itu lupa terhadap kesaksiannya,
“Maka yang seorang lagi mengingatkannya.” (Al-Baqarah: 282)
Maksudnya, orang yang lupa akan diingatkan oleh temannya terhadap kesaksian yang telah dikemukakannya.
Berdasarkan pengertian inilah sejumlah ulama ada yang membacanya fatuzakkira dengan memakai tasydid. Sedangkan orang yang berpendapat bahwa kesaksian seorang wanita yang dibarengi dengan seorang wanita lainnya, membuat kesaksiannya sama dengan kesaksian seorang laki-laki; sesungguhnya pendapat ini jauh dari kebenaran. Pendapat yang benar adalah yang pertama.
Firman Allah ﷻ: “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila dipanggil.” (Al-Baqarah: 282)
Makna ayat ini menurut suatu pendapat yaitu 'apabila para saksi itu dipanggil untuk mengemukakan kesaksiannya, maka mereka harus mengemukakannya'. Pendapat ini dikatakan oleh Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu Anas. Hal ini sama dengan makna firman-Nya: “Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis.” (Al-Baqarah: 282)
Berdasarkan pengertian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa mengemukakan kesaksian itu hukumnya fardu kifayah. Menurut pendapat lain, makna ini merupakan pendapat jumhur ulama; dan yang dimaksud dengan firman-Nya: “Dan janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila dipanggil.” (Al-Baqarah: 282), menunjukkan pengertian pemberian keterangan secara hakiki.
Sedangkan firman-Nya, "Asy-syuhada" yang dimaksud dengannya ialah orang yang menanggung persaksian. Untuk itu apabila ia dipanggil untuk memberikan keterangan, maka ia harus menunaikannya bila telah ditentukan. Tetapi jika ia tidak ditentukan, maka hukumnya adalah fardu kifayah. Mujahid dan Abu Mijlaz serta lain-lainnya yang tidak hanya seorang mengatakan, "Apabila kamu dipanggil menjadi saksi, maka kamu boleh memilih antara mau dan tidak. Tetapi jika kamu telah bersaksi, kemudian dipanggil untuk memberikan keterangan, maka kamu harus menunaikannya."
Di dalam kitab Shahih Muslim telah ditetapkan, demikian pula di dalam kitab-kitab sunnah lainnya melalui jalur Malik, dari Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, dari ayahnya (yaitu Abdullah ibnu Amr ibnu Usman), dari Abdur Rahman ibnu Abu Amrah, dari Zaid ibnu Khalid, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Maukah aku ceritakan kepada kalian sebaik-baik para saksi? Yaitu orang yang memberikan keterangan (kesaksian)nya sebelum diminta untuk mengemukakannya.”
Hadits lain dalam kitab Shahihain menyebutkan: Maukah aku ceritakan kepada kalian para saksi yang buruk? Yaitu orang-orang yang mengemukakan kesaksiannya sebelum diminta melakukannya. Demikian pula sabda Nabi ﷺ yang mengatakan: “Kemudian datanglah suatu kaum yang kesaksian mereka mendahului sumpah, dan sumpah mereka mendahului kesaksiannya.” Menurut riwayat yang lain disebutkan: “Kemudian datanglah suatu kaum yang selalu mengemukakan kesaksian mereka, padahal mereka tidak diminta untuk mengemukakan kesaksiannya. Mereka adalah saksi-saksi palsu.”
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Al-Hasan Al-Basri bahwa makna ayat ini mencakup kedua keadaan itu, yakni menanggung dan mengemukakan persaksian.
Firman Allah ﷻ: “Dan janganlah kalian jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.” (Al-Baqarah: 282)
Hal ini merupakan kesempurnaan dari petunjuk, yaitu perintah untuk mencatat hak, baik yang kecil maupun yang besar. Karena disebutkan pada permulaannya. La tas-amu, artinya janganlah kalian merasa enggan mencatat hak dalam jumlah seberapa pun, baik sedikit ataupun banyak, sampai batas waktu pembayarannya.
Firman Allah ﷻ: “Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan kalian.” (Al-Baqarah: 282)
Maksudnya, hal yang Kami perintahkan kepada kalian yaitu mencatat hak bilamana transaksi dilakukan secara tidak tunai merupakan hal yang lebih adil di sisi Allah. Juga lebih menguatkan persaksian, yakni lebih kukuh kesaksian si saksi bila ia membubuhkan tanda tangannya; karena manakala ia melihatnya, ia pasti ingat akan persaksiannya. Mengingat bisa saja seandainya ia tidak membubuhkan tanda tangannya, ia lupa pada persaksiannya, seperti yang kebanyakan terjadi.
“Dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan kalian.” (Al-Baqarah: 282)
Yakni lebih menghapus keraguan; bahkan apabila kalian berselisih pendapat, maka catatan yang telah kalian tulis di antara kalian dapat dijadikan sebagai rujukan, sehingga perselisihan di antara kalian dapat diselesaikan dan hilanglah rasa keraguan.
Firman Allah ﷻ: “Kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kalian jalankan di antara kalian, maka tak ada dosa bagi kalian, jika kalian tidak menuliskannya.” (Al-Baqarah: 282)
Dengan kata lain, apabila transaksi jual beli dilakukan secara kontan dan serah terima barang dan pembayarannya, tidak mengapa jika tidak dilakukan penulisan, mengingat tidak ada larangan bila tidak memakainya.
Adapun mengenai masalah persaksian atas jual beli, hal ini disebutkan oleh firman-Nya: “Dan ambillah saksi apabila kalian berjual beli.” (Al-Baqarah: 282)
Ibnu Abu Hatim mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Abdullah ibnu Bakr, telah menceritakan kepadaku Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku ‘Atha’ ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan ambillah saksi apabila kalian berjual beli.” (Al-Baqarah: 282) Yaitu buatlah persaksian atas hak kalian jika memakai tempo waktu, atau tidak memakai tempo waktu. Dengan kata lain, buatlah persaksian atas hak kalian dalam keadaan apa pun.
Ibnu Abu Hatim mengatakan: Telah diriwayatkan dari Jabir ibnu Zaid, Mujahid, ‘Atha’, dan Adh-Dhahhak hal yang serupa.
Asy-Sya'bi dan Al-Hasan mengatakan bahwa perintah yang ada dalam ayat ini di-mansukh oleh firman-Nya: “Akan tetapi jika sebagian kalian mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat-nya (utangnya).” (Al-Baqarah: 283) Tetapi menurut jumhur ulama, perintah yang terkandung di dalam ayat ini ditafsirkan sebagai petunjuk dan anjuran, namun bukan perintah wajib. Sebagai dalilnya adalah hadits Khuzaimah ibnu Sabit Al-Ansari yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan: Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Imarah ibnu Khuzaimah Al-Ansari, bahwa pamannya yang merupakan salah seorang sahabat Nabi ﷺ pernah menceritakan kepadanya hadits berikut: Nabi ﷺ pernah membeli seekor kuda dari seorang Arab Badui. Setelah harganya disetujui, maka Nabi ﷺ mencari lelaki Badui itu untuk membayar harga kuda tersebut. Nabi ﷺ mengambil keputusan yang cepat, sedangkan lelaki Badui itu terlambat. Akhirnya di tengah jalan lelaki Badui itu dikerumuni oleh banyak orang lelaki; mereka menawar harga kuda itu, sedangkan mereka tidak mengetahui bahwa Nabi ﷺ telah membelinya. Hingga salah seorang dari mereka ada yang mau membelinya dengan harga yang lebih tinggi dari apa yang pernah ditawar oleh Nabi ﷺ. Lalu lelaki Badui itu berseru kepada Nabi ﷺ, "Jika engkau ingin membeli kuda ini, maka belilah; dan jika engkau tidak mau membelinya, aku akan menjualnya (kepada orang lain)." Maka Nabi ﷺ berdiri dan bangkit ketika mendengar seruan itu, lalu beliau bersabda, "Bukankah aku telah membelinya darimu?" Lelaki Badui itu menjawab, "Tidak, demi Allah, aku belum menjualnya kepadamu." Nabi ﷺ bersabda, "Tidak, bahkan aku telah membelinya darimu." Maka orang-orang mengerumuni Nabi ﷺ dan lelaki Badui yang sedang berbantahan itu.
Orang Badui itu berkata, "Datangkanlah seseorang yang mempersaksikan bahwa aku telah menjual kuda ini kepadamu." Lalu setiap orang yang datang dari kaum muslim mengatakan kepada lelaki Badui itu, "Celakalah kamu ini, sesungguhnya Nabi ﷺ tidak pernah berbicara tidak benar melainkan hanya benar belaka." Hingga datanglah Khuzaimah, lalu ia mendengarkan pengakuan Nabi ﷺ dan sanggahan lelaki Badui yang mengatakan, "Datangkanlah seorang saksi yang mempersaksikan bahwa aku telah menjual(nya) kepadamu." Lalu Khuzaimah berkata, "Aku bersaksi bahwa engkau (Nabi ﷺ) telah membeli kuda itu darinya." Lalu Nabi ﷺ berpaling ke arah Khuzaimah dan bersabda, "Dengan alasan apakah kamu bersaksi?" Khuzaimah menjawab, "Dengan percaya kepadamu, wahai Rasulullah." Maka Rasulullah ﷺ menjadikan persaksian Khuzaimah sama kedudukannya dengan persaksian dua orang lelaki. Hal yang semisal diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud melalui hadits Syu'aib dan An-An-Nasai melalui riwayat Muhammad ibnul Walid Az-Zubaidi; keduanya meriwayatkan hadits ini dari Az-Zuhri dengan lafal yang serupa.
Akan tetapi, untuk lebih hati-hati sebagai tindakan preventif adalah pendapat yang mengatakan sebagai petunjuk dan sunnah, karena berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh kedua Imam, yaitu Al-Hafidzh Abu Bakar Ibnu Mardawaih dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui riwayat Mu'az ibnu Mu'az Al-Anbari, dari Syu'bah, dari Firas, dari Asy-Sya'bi, dari Abu Burdah, dari Abu Musa, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Ada tiga macam orang yang berdoa kepada Allah, tetapi tidak diperkenankan bagi mereka, yaitu seorang lelaki yang mempunyai istri yang berakhlak buruk, tetapi ia tidak menceraikannya. Seorang lelaki yang menyerahkan harta anak yatim kepada anak yatim yang bersangkutan sebelum usianya balig, dan seorang lelaki yang memberikan sejumlah utang kepada lelaki lain tanpa memakai saksi.”
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih dengan syarat Syaikhain. Imam Hakim mengatakan, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya, mengingat murid-murid Syu'bah me-mauquf-kan hadits ini hanya pada Abu Musa (yakni kata-kata Abu Musa).
Sesungguhnya yang mereka sepakati sanad hadits Syu'bah hanyalah hadits yang mengatakan: “Ada tiga macam orang yang diberikan pahalanya kepada mereka dua kali lipat.”
Firman Allah ﷻ: “Dan janganlah penulis dan saksi dipersulit.” (Al-Baqarah: 282)
Menurut suatu pendapat, makna ayat ini ialah janganlah penulis dan saksi berbuat menyeleweng, misalnya dia menulis hal yang berbeda dari apa yang didiktekan kepadanya, sedangkan si saksi memberikan keterangan yang berbeda dengan apa yang didengarnya, atau ia menyembunyikan kesaksiannya secara keseluruhan. Pendapat ini dikatakan oleh Al-Hasan dan Qatadah serta selain keduanya.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud adalah tidak boleh mempersulit keduanya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Usaid ibnu ‘Ashim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain (yakni Ibnu Hafs), telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Yazid ibnu Abu Ziad, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan janganlah penulis dan saksi dipersulit.” (Al-Baqarah: 282) Bahwa seorang lelaki datang, lalu memanggil keduanya (juru tulis dan saksi) supaya mencatat dan mempersaksikan, lalu keduanya mengatakan, "Kami sedang ada keperluan." Kemudian ia berkata, "Sesungguhnya kamu berdua telah diperintahkan melakukannya." Maka tidak boleh baginya mempersulit keduanya.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hal yang serupa telah diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid, Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Adh-Dhahhak, Atiyyah, Muqatil ibnu Hayyan, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta As-Suddi.
Firman Allah ﷻ: “Jika kalian lakukan (yang demikian itu), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada diri kalian.” (Al-Baqarah: 282)
Yakni jika kalian menyimpang dari apa yang diperintahkan kepada kalian atau kalian melakukan hal yang dilarang kalian melakukannya, maka hal ini merupakan perbuatan fasik yang kalian lakukan. Kalian dicap sebagai orang fasik, tidak dapat dielakkan lagi; dan kalian tidak terlepas dari julukan ini.
Firman Allah ﷻ: “Dan bertakwalah kepada Allah.” (Al-Baqarah: 282)
Yaitu takutlah kalian kepada-Nya, tanamkanlah rasa raqabah (pengawasan Allah) dalam diri kalian, kerjakanlah apa yang diperintahkan oleh-Nya, dan tinggalkanlah apa yang dilarang oleh-Nya.
“Allah mengajari kalian.” (Al-Baqarah: 282)
Sama maknanya dengan firman Allah ﷻ: “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian furqan (kemampuan untuk membedakan kebenaran dan kebatilan).” (Al-Anfal: 29)
Sama pula dengan makna firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepada kalian dua kali lipat dan menjadikan untuk kalian cahaya, yang dengan cahaya itu kalian dapat berjalan.” (Al-Hadid: 28)
Adapun firman Allah ﷻ: “Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 282)
Yakni Dia mengetahui semua hakikat, semua urusan, kemaslahatan-kemaslahatannya, dan akibat-akibatnya; tiada sesuatu pun yang samar bagi Dia, melainkan pengetahuan-Nya meliputi semua makhluk.
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu pembayaran yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya untuk melindungi hak masing-masing dan untuk menghindari perselisihan. Dan hendaklah seorang yang bertugas sebagai penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar, jujur, dan adil, sesuai ketentuan Allah dan peraturan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Kepada para penulis diingatkan agar janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagai tanda syukur, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya kemampuan membaca dan menulis, maka hendaklah dia menuliskan sesuai dengan pengakuan dan pernyataan pihak yang berutang dan disetujui oleh pihak yang mengutangi. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan apa yang telah disepakati untuk ditulis, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhan Pemelihara-nya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripada utangnya, baik yang berkaitan dengan kadar utang, waktu, cara pembayaran, dan lain-lain yang dicakup oleh kesepakatan. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya, tidak pandai mengurus harta karena suatu dan lain sebab, atau lemah keadaannya, seperti sakit atau sangat tua, atau tidak mampu mendiktekan sendiri karena bisu atau tidak mengetahui bahasa yang digunakan, atau boleh jadi malu, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar dan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada saksi dua orang laki-laki, atau kalau saksi itu bukan dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi yang ada, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi. Hal tersebut agar jika yang seorang dari perempuan itu lupa, maka perempuan yang seorang lagi yang menjadi saksi bersamanya mengingatkannya. Dan sebagaimana Allah berpesan kepada para penulis, kepada para saksi pun Allah berpesan. Janganlah saksi-saksi itu menolak memberi keterangan apabila dipanggil untuk memberi kesaksian, karena penolakannya itu dapat merugikan orang lain. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, baik utang itu kecil maupun besar, sampai yakni tiba batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, yakni penulisan utang piutang dan persaksian yang dibicarakan itu, lebih adil di sisi Allah, yakni dalam pengetahuan-Nya dan dalam kenyataan hidup, dan lebih dapat menguatkan kesaksian, yakni lebih membantu penegakan persaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan terkait jenis utang, besaran dan waktunya. Petunjuk-petunjuk di atas adalah jika muamalah dilakukan dalam bentuk utang piutang, tetapi jika hal itu merupakan perdagangan berupa jual beli secara tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya, sebab memang pencatatan jual beli tidak terlalu penting dibanding transaksi utang-piutang. Dan dianjurkan kepadamu ambillah saksi apabila kamu berjual beli untuk menghindari perselisihan, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi oleh para pihak untuk memberikan keterangan dan kesaksian jika diperlukan, begitu juga sebaliknya para pencatat dan saksi tidak boleh merugikan para pihak. Jika kamu, wahai para penulis dan saksi serta para pihak, lakukan yang demikian, maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah dan rasakanlah keagunganNya dalam setiap perintah dan larangan, Allah memberikan pengajaran kepadamu tentang hak dan kewajiban, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Tuntunan pada ayat yang lalu mudah dilaksanakan jika seseorang tidak sedang dalam perjalanan. Jika kamu dalam perjalanan dan melakukan transaksi keuangan tidak secara tunai, sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis yang dapat menulis utang piutang sebagaimana mestinya, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang oleh yang berpiutang atau meminjamkan. Tetapi menyimpan barang sebagai jaminan atau menggadaikannya tidak harus dilakukan jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain. Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya, utang atau apa pun yang dia terima, dan hendaklah dia yang menerima amanat tersebut bertakwa kepada Allah, Tuhan Pemelihara-nya. Dan wahai para saksi, janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, yakni jangan mengurangi, melebihkan, atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh pemilik hak maupun yang tidak diketahuinya, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor, karena bergelimang dosa. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan, sekecil apa pun itu, yang nyata maupun yang tersembunyi, yang dilakukan oleh anggota badan maupun hati.
Dengan adanya perintah membelanjakan harta di jalan Allah, anjuran bersedekah dan larangan melakukan riba, maka manusia harus berusaha memelihara dan mengembangkan hartanya, tidak menyia-nyiakannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa harta itu bukan sesuatu yang dibenci Allah dan dicela agama Islam. Bahkan Allah di samping memberi perintah untuk itu, juga memberi petunjuk dan menetapkan ketentuan-ketentuan umum serta hukum-hukum yang mengatur cara-cara mencari, memelihara, menggunakan dan menafkahkan harta di jalan Allah. Harta yang diperoleh sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah adalah harta yang paling baik, sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
"Harta yang paling baik ialah harta kepunyaan orang saleh." (Riwayat Ahmad dan ath-thabrani dari 'Amr bin 'Ash).
Yang dibenci Allah dan yang dicela oleh Islam ialah harta yang diperoleh dengan cara-cara yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan Allah ﷻ dan harta orang-orang yang menjadikan dirinya sebagai budak harta. Seluruh kehidupan, usaha, dan pikirannya dicurahkan untuk menumpuk harta dan memperkaya diri sendiri. Karena itu timbullah sifat-sifat tamak, serakah, bakhil dan kikir pada dirinya, sehingga dia tidak mengindahkan orang yang miskin dan terlantar. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Celakalah budak dinar, celakalah budak dirham." (Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada orang yang beriman agar mereka melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah setiap melakukan transaksi utang piutang, melengkapinya dengan alat-alat bukti, sehingga dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari.
Pembuktian itu bisa berupa bukti tertulis atau adanya saksi.
1. Bukti tertulis
"Bukti tertulis" hendaklah ditulis oleh seorang "juru tulis", yang menuliskan isi perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Syarat-syarat juru tulis itu ialah:
a. Orang yang adil, tidak memihak kepada salah satu dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sehingga tidak menguntungkan pihak yang satu dan merugikan pihak yang lain.
b. Mengetahui hukum-hukum Allah terutama yang berhubungan dengan hukum perjanjian dan transaksi, sehingga dia dapat memberi nasihat dan petunjuk yang benar kepada pihak-pihak yang berjanji. Karena juru tulis itu ikut bertanggung jawab dan menjadi saksi antara pihak-pihak yang berjanji, seandainya terjadi perselisihan di kemudian hari. Juru tulis dalam era modern sekarang ini diwujudkan dalam bentuk notaris/pencatat akte jual beli dan utang piutang.
Dalam susunan ayat ini didahulukan menyebut sifat "adil" daripada sifat "berilmu", adalah karena sifat adil lebih utama bagi seorang juru tulis. Banyak orang yang berilmu, tetapi mereka tidak adil, karena itu diragukan kebenaran petunjuk dan nasihat yang diberikannya. Orang yang adil sekalipun ilmunya kurang, dapat diharapkan daripadanya nasihat dan petunjuk yang benar dan tidak memihak.
Tugas juru tulis ialah menuliskan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang berjanji. Caranya ialah pihak yang berutang mendiktekan kepada juru tulis tentang sesuatu yang telah dipinjamnya, cara serta pelaksanaan perjanjian itu dan sebagainya. Tujuan mendiktekan isi perjanjian itu oleh pihak yang berjanji, ialah agar yang ditulis itu merupakan pengakuan dari pihak yang berutang, karena dengan tulisan semata-mata tanpa ada ucapan yang dilakukan oleh pihak yang berutang, maka yang ditulis itu saja tidak dapat dijadikan sebagai pengakuan.
Allah memperingatkan orang yang berjanji agar dia selalu menepati janjinya dengan baik. Hendaklah dia takut kepada Allah, dan komitmen terhadap janji yang telah diucapkan. Hendaklah bersyukur kepada Allah yang telah melunakkan hati orang yang telah membantunya dalam kesukaran. Bila dia bersyukur, Allah akan selalu menjaga, memelihara serta memberinya petunjuk ke jalan yang mudah dan ke jalan kebahagiaan.
Jika orang yang berjanji itu, orang yang lemah akalnya atau dia sendiri tidak sanggup untuk mendiktekan, maka hak untuk mendiktekan itu pindah ke tangan wali yang bersangkutan. Hendaklah wali itu orang yang adil dan mengetahui tentang hukum-hukum yang berhubungan dengan muamalah. Hendaklah para wali berhati-hati dalam melaksanakan tugas perwalian itu.
Yang dimaksud dengan "orang yang lemah akalnya" ialah orang yang belum cakap memelihara dan menggunakan hartanya. Orang yang tidak sanggup mendiktekan ialah seperti orang bisu, orang yang gagap dan sebagainya.
2. Saksi
"Saksi" ialah orang yang melihat dan mengetahui terjadinya suatu peristiwa. Persaksian termasuk salah satu dari alat-alat bukti (bayyinah) yang dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan suatu perselisihan atau perkara.
Menurut ayat ini persaksian dalam muamalah sekurang-kurangnya dilakukan oleh dua orang laki-laki, atau jika tidak ada dua orang laki-laki boleh dilakukan oleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
Mengenai syarat-syarat "laki-laki" bagi yang akan menjadi saksi adalah sebagai berikut:
a. Saksi itu hendaklah seorang Muslim. Pendapat ini berdasarkan perkataan min rijalikum (dari orang laki-laki di antara kamu) yang terdapat di dalam ayat. Dari perkataan itu dipahami bahwa saksi itu hendaklah seorang Muslim. Menurut sebagian ulama: beragama Islam itu bukanlah merupakan syarat bagi seorang saksi dalam muamalah. Karena tujuan persaksian di dalam muamalah ialah agar ada alat bukti, seandainya terjadi perselisihan atau perkara antara pihak-pihak yang terlibat di kemudian hari. Karena itu orang yang tidak beragama Islam dibolehkan menjadi saksi asal saja tujuan mengadakan persaksian itu dapat tercapai.
b. Saksi itu hendaklah orang yang adil, tidak memihak sehingga tercapai tujuan diadakannya persaksian, sesuai dengan firman Allah:
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu ... (ath-thalaq/65: 2)
Selanjutnya ayat ini membedakan persaksian laki-laki dengan persaksian perempuan. Seorang saksi laki-laki dapat diganti dengan dua orang saksi perempuan. Para ulama berbeda pendapat tentang apa sebabnya Allah membedakan jumlah saksi laki-laki dengan jumlah saksi perempuan. Alasan yang sesuai dengan akal pikiran ialah bahwa laki-laki dan perempuan masing-masing diciptakan Allah mempunyai kelebihan dan kekurangan. Masing-masing mempunyai kesanggupan dan kemampuan dalam suatu perkara lebih besar dari kesanggupan pihak yang lain. Dalam bidang muamalah, laki-laki lebih banyak mempunyai kemampuan dibandingkan dengan perempuan. Pada umumnya muamalah itu lebih banyak laki-laki yang mengerjakannya. Karena perhatian perempuan agak kurang dibandingkan dengan perhatian laki-laki dalam bidang muamalah, maka pemikiran dan ingatan mereka dalam bidang ini pun agak kurang pula. Bila persaksian dilakukan oleh seorang perempuan, kemungkinan dia lupa, karena itu hendaklah ada perempuan yang lain yang ikut sebagai saksi yang dapat mengingatkannya.
Menurut Syekh Ali Ahmad al-Jurjani: laki-laki lebih banyak mengguna-kan pikiran dalam menimbang suatu masalah yang dihadapinya, sedang perempuan lebih banyak menggunakan perasaannya. Karena itu perempuan lebih lemah iradahnya, kurang banyak menggunakan pikirannya dalam masalah pelik, lebih-lebih apabila dia dalam keadaan benci dan marah, dia akan gembira atau sedih karena suatu hal yang kecil. Lain halnya dengan laki-laki, dia sanggup tabah dan sabar menanggung kesukaran, dia tidak menetapkan suatu urusan, kecuali setelah memikirkannya dengan matang. )
Bidang muamalah adalah bidang yang lebih banyak menggunakan pikiran daripada perasaan. Seorang saksi dalam muamalah juga berfungsi sebagai juru pendamai antara pihak-pihak yang berjanji bila terjadi perselisihan di kemudian hari. Berdasarkan keterangan Syekh Ali Ahmad al-Jurjani dan keterangan-keterangan lainnya diduga itulah di antara hikmah mengapa Allah menyamakan seorang saksi laki-laki dengan dua orang saksi perempuan.
Menurut Imam asy-Syafi'i: Penerimaan kesaksian seorang saksi hendaklah dengan bersumpah. Beliau beralasan dengan sunah Rasulullah ﷺ yang menyuruh saksi mengucapkan sumpah sebelum mengucapkan kesaksiannya. Sedang menurut Abu Hanifah: penerimaan kesaksian seseorang tidak perlu disertai dengan sumpah.
Dalam ayat ini disebutkan "janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil." Maksudnya ialah:
1. Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi dalam suatu kejadian atau peristiwa, bila kesaksian itu diperlukan.
2. Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi bila terjadi suatu perkara, sedang dia adalah orang yang mengetahui terjadinya peristiwa itu.
3. Hendaklah seorang bersedia menjadi saksi terhadap suatu peristiwa yang terjadi, bila tidak ada orang lain yang akan menjadi saksi.
Diriwayatkan oleh ar-Rabi' bahwa ayat ini diturunkan ketika seorang laki-laki mencari saksi di kalangan orang banyak untuk meminta persaksian mereka, tetapi tidak seorang pun yang bersedia.
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan "janganlah mereka enggan" ialah: jangan mereka enggan menerima permintaan menjadi saksi dan melaksanakannya. Enggan melakukan keduanya itu hukumnya haram. Hukum melakukan persaksian itu fardu kifayah.
Kemudian Allah menjelaskan perintah-Nya, agar orang-orang yang beriman jangan malas dan jangan jemu menuliskan perjanjian yang akan dilakukannya, baik kecil maupun besar, dan dijelaskan syarat-syarat dan waktunya. Dalam ayat ini Allah mendahulukan menyebut "yang kecil" daripada "yang besar", karena kebanyakan manusia selalu memandang enteng dan mudah perjanjian yang terkait dengan hal-hal yang remeh (kecil). Orang yang meremehkan perjanjian yang terkait dengan hal-hal yang remeh (kecil) tentu dia akan menganggap enteng perjanjian yang terkait dengan hal-hal primer (besar). Dari ayat ini juga dapat dipahami bahwa Allah memperingatkan manusia agar berhati-hati dalam persoalan hak dan kewajiban, sekalipun hak dan kewajiban itu terkait dengan hal-hal yang sekunder/remeh.
Allah menyebutkan hikmah perintah dan larangan yang terdapat pada permulaan ayat ini, ialah untuk menegakkan keadilan, menegakkan persaksian, untuk menimbulkan keyakinan dan menghilangkan keragu-raguan. Jika perdagangan dilakukan secara tunai, maka tidak berdosa bila tidak ditulis. Dari ayat ini dipahami bahwa sekalipun tidak berdosa bila tidak menuliskan perdagangan secara tunai, namun yang paling baik ialah agar selalu dituliskan.
Sekalipun tidak diwajibkan menuliskan perdagangan tunai, namun Allah memerintahkan untuk mendatangkan saksi-saksi. Perintah di sini bukan wajib, hanyalah memberi pengertian sunat. Tujuannya ialah agar manusia selalu berhati hati di dalam muamalah.
Selanjutnya Allah memperingatkan agar juru tulis, saksi dan orang-orang yang melakukan perjanjian memudahkan pihak-pihak yang lain, jangan menyulitkan dan jangan pula salah satu pihak bertindak yang berakibat merugikan pihak yang lain. Sebab terlaksananya perjanjian dengan baik bila masing-masing pihak mempunyai niat yang baik terhadap pihak yang lain.
Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu? (al-Baqarah/2: 237)
Jika seseorang mempersulit atau merugikan orang lain, maka perbuatan yang demikian adalah perbuatan orang fasik, dan tidak menaati ketentuan dari Allah.
Pada akhir ayat ini Allah memerintahkan agar manusia bertakwa kepada-Nya dengan memelihara diri agar selalu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dia mengajarkan kepada manusia segala yang berguna baginya, yaitu cara memelihara harta dan cara menggunakannya, sehingga menimbulkan ketenangan bagi dirinya dan orang-orang yang membantunya dalam usaha mencari dan menggunakan harta itu. Allah mengetahui segala sesuatu yang diperbuat manusia, dan Dia akan memberi balasan sesuai dengan perbuatan itu.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAT-SURAT PERJANJIAN
Ayat 282
“Wahai, orang-orang yang beriman! Apabila kamu mengadakan suatu perikatan utang-piutang buat dipenuhi di suatu masa yang tertentu maka tuliskanlah dia."
Perhatikanlah tujuan ayat! Yaitu kepada sekalian orang yang beriman kepada Allah, supaya utang-piutang ditulis, itulah dia yang berbuat sesuatu pekerjaan “karena Allah", karena perintah Allah, dilaksanakan. Sebab itu, tidaklah layak, karena berbaik hati kedua belah pihak, lalu berkata tidak perlu dituliskan karena kita sudah percaya memercayai. Padahal umur kedua belah pihak sama-sama di tangan Allah. Si Anu mati dalam berutang, tempat berutang menagih kepada warisnya yang tinggal. Si waris bisa mengingkari utang itu karena tidak ada “surat perjanjian".
“Hendaklah menulis di antara kamu seorang penulis dengan adil."
Penulis yang tidak berpihak-pihak, yang mengetahui, menuliskan apa-apa yang minta dicatatkan oleh kedua belah pihak yang berjanji dengan selengkapnya. Kalau utang uang kontan, hendaklah sebutkan jumlahnya dengan terang dan kalau pakai agunan hendaklah tuliskan dengan jelas apa-apa barang yang digunakan itu.
“Dan janganlah enggan seorang penulis menuliskan sebagaimana yang telah diajarkan akan dia oleh Allah!"
Kata-kata ini menunjukkan pula bahwa si penulis itu jangan semata-mata pandai menulis saja; selain dari adil, hendaklah dia mematuhi peraturan-peraturan Allah yang berkenaan dengan urusan utang-piutang. Sekali-kali tidak boleh si penulis itu enggan-enggan atau segan-segan menuliskan meskipun pada mulanya hal yang akan dituliskan ini kelihatannya kecil saja, padahal di belakang hari bisa menjadi perkara besar."Maka hendaklah dia menuliskan!' Kata-kata ini sebagai ta'kid, menguatkan lagi perintah yang telah diuraikan di atas.
“Dan hendaklah merencanakan orang yang berkewajiban atasnya." Yang berkewajiban atasnya ialah terutama si berutang dan si berpiutang, atau seumpama si pengupah membuat rumah kepada tukang atau pemborong membuat rumah itu.
“Dan hendaklah dia takut kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun darinya."
Akhirnya ketika menjelaskan bunyi perjanjian kedua belah pihak yang akan ditulis oleh penulis hendaklah dengan hati jujur, dengan ingat kepada Allah, jangan sampai ada yang dikurangi, artinya yang di kemudian hari bisa jadi pangkal selisih, karena misalnya salah penafsiran karena memang disengaja hendak mencari jalan membebaskan diri dengan cara yang tidak jujur.
“Maka jika orang yang berkewajiban itu seorang yang safih atau lemah, atau dia tidak sanggup merencanakan maka hendaklah walinya yang merencanakan dengan adil" Di dalam kata ini terdapat tiga macam orang yang bersangkutan, tidak bisa turut dalam menyusun surat perjanjian. Pertama orang safih, kedua dhaif, ketiga tidak sanggup. Orang safih ialah orang yang tidak pandai mengatur harta bendanya sendiri, baik karena borosnya maupun karena bodohnya. Dalam hukum Islam, hakim berhak memegang harta bendanya dan memberinya belanja hidup dari harta itu. Karena, kalau diserahkan kepadanya, beberapa waktu saja akan habis. Orang yang dfcm/(lemah) ialah anak kecil yang belum mumayyiz atau orang tua yang telah lemah ingatannya, atau anak yatim kecil yang hidup dalam asuhan orang lain. Orang yang tidak sanggup membuat rencana ialah orang yang bisu atau gagap, atau gagu. Pada orang-orang yang seperti ketiga macam itu, hendaklah walinya, yaitu penguasa yang melindungi mereka tampil ke muka menyampaikan rencana-rencana yang mesti ditulis kepada penulis tersebut. Dan, si wali itu pun wajib bertindak yang adil.
“Dan hendaklah kamu adakan dua saksi dari laki-laki kamu." Di sini dijelaskan dua orang saksi laki-laki. Meskipun di sini tidak disebutkan bahwa kedua saksi itu mesti adil, dengan sendirinya tentulah dapat dipahamkan bahwa keduanya tentu mesti adil kalau pada penulis dan wali sudah diisyaratkan berlaku adil. Dalam kata syahid (A-4-L) sudah terkandung makna bahwa kedua saksi itu hendaklah benar-benar mengetahui dan menyaksikan perkara yang tengah dituliskan itu, jangan hanya semata-mata hadir saja, sehingga kalau perlu diminta keterangan dari mereka di belakang hari, mereka sanggup menjelaskan sepanjang yang mereka ketahui. Ahli-ahli fiqih pun membolehkan mengambil saksi yang bukan beragama Islam, asalkan dia adil dan jujur serta mengetahui duduk perkara yang dituliskan mengenai perjanjian itu.
“Tetapi jika tidak ada dua laki-laki maka (bolehlah) seorang laki-laki dan dua perempuan, di antara saksi-saksi yang kamu sukai!'
Di ujung kalimat dikatakan “di antara saksi-saksi yang kamu sukai", yaitu yang disukai atau disetujui karena dipercaya kejujuran dan keadilan mereka. Syukur kalau dapat dua laki-laki yang disukai karena dia mengerti duduk persoalan dan bisa dipercaya. Akan tetapi, meskipun banyak laki-laki, padahal mereka tidak
disukai, bolehlah diminta menjadi saksi dua orang perempuan yang disukai sebagai ganti dari seorang saksi laki-laki, ialah, “Supaya jika seorang di antara kedua (perempuan) itu keliru, supaya diperingatkan oleh yang seorang lagi."
Dalam hal ini, oleh golongan-golongan lain yang tidak menyukai peraturan Islam ditimbulkan tuduhan bahwa Islam tidak memberi hak sama terhadap kaum perempuan dan kaum laki-laki. Mengapa dalam kesaksian ini, untuk ganti seorang saksi laki-laki tidak diambil seorang saksi perempuan? Mengapa mesti berdua? Padahal soal ini bukanlah perkara hak yang tidak sama, melainkan perkara pengetahuan tentang perkara yang dihadapi ini tidaklah sama di antara laki-laki dan perempuan. Sebab, urusan-urusan utang-piutang, pagang-gadai, rungguhan dan agunan, kontrak sewa-menyewa, dan sebagainya, pada umumnya lebih jelas oleh orang laki-laki daripada oleh orang perempuan, sebab hal itu telah mereka hadapi tiap hari. Akan tetapi, urusan yang halus-halus dalam urusan masakan, urusan penyelenggaraan rumah tangga, lebih teliti, lebih berpengetahuan orang perempuan daripada orang laki-laki. Oleh sebab itu, kalau mereka terpaksa diambil menjadi saksi di dalam perkara begini, lebih baik berdua supaya yang satu dapat mengingatkan yang lain dalam perkara yang dia kurang begitu jelas. Adapun dalam mempertahankan kehormatan dan kemulian diri, samalah hak perempuan dengan laki-laki, yaitu kalau suaminya menuduhnya berzina (qadzaf) si suami wajib bersumpah lian empat kali, sedangkan yang kelima bersedia dilaknat Allah kalau ia bohong bahwa istrinya memang berzina. Dan, si perempuan jadi bebas dari yang dituduhkan suaminya itu sampai empat kali pula, sedangkan yang kelimanya bersedia menerima murka Allah kalau dia bohong dan suaminya itulah yang benar.
Orang yang mengorek-ngorek itu terpaksa diam mulutnya kalau hal ini kita kemukakan, padahal dia tidak dapat mengemukakan mana jaminan yang jauh lebih bagus daripada jaminan Islam itu kepada kaum perempuan di dalam agama yang mereka peluk.
“Dan janganlah enggan saksi-saksi apabila mereka diundang (jadi saksi)."
Maka, apabila saksi itu diperlukan, terutama dalam permulaan mengikat janji dan membuat surat, janganlah hendaknya mereka enggan, malahan dia termasuk amaian yang baik, yaitu turut memperlancar perjanjian antara dua orang sesama Islam. Dia boleh hanya enggan kalau menurut pengetahuannya ada lagi orang lain yang lebih tahu duduk soal daripada dirinya sendiri. Adapun kalau di kemudian hari terjadi kekacauan, padahal umumnya sudah turut tertulis menjadi saksi, sedang dia tidak berhalangan buat datang, tentu salahnya dia sendiri!
“Dan janganlah kamu jemu menuliskannya, kecil ataupun besar, buat dipenuhi pada masanya"
Karena, sebagaimana kita katakan di atas tadi, kerap kali hal yang pada mulanya disangka kecil, kemudian hari ternyata syukur dia telah tertulis karena dia termasuk soal yang besar dalam rangkaian perjanjian itu."Yang demikian itulah yang lebih adil di sisi Allah dan lebih teguh untuk kesaksian, dan yang lebih dekat untuk tidak ada keragu-raguan." Dengan begini, keadilan di sisi Allah terpelihara baik sehingga tercapai yang benar-benar “karena Allah", Apabila di belakang hari perlu dipersaksikan lagi, sudah ada hitam di atas putih tempat berpegang, dan keragu-raguan hilang sebab sampai yang sekecil-kecilnya pun dituliskan.
“Kecuali perdagangan tunai yang kamu adakan di antara kamu maka tidaklah mengapa tidak kamu tuliskan." Sebab sudah timbang terima berhadapan maka jika tidak dituliskan pun tidak apa-apa. Akan tetapi, di zaman kemajuan sebagai sekarang, orang berniaga sudah lebih teratur, sehingga membeli kontan pun dituliskan orang juga sehingga si pembeli dapat mencatat berapa uangnya keluar pada hari itu dan si penjual pada menghitung penjualan berapa barang yang laku dapat pula menjumlahkan dengan sempurna. Akan tetapi, yang semacam itu terpuji pula pada syara'. Kalau dikatakan tidak apa-apa, tandanya ditulis lebih baik.
“Dan hendaklah kamu mengadakan saksi jika kamu berjual-beli."
Ini pun untuk menjaga jangan sampai setelah selesai akad jual-beli, ada di antara kedua belah pihak yang merasa dirugikan. Apatah lagi terhadap barang-barang yang besar, tanah, rumah, mobil, kapal, dan se-bagainya. Misalnya si pembeli dirugikan dengan mutu barang yang dia beli atau si pembeli dirugikan dengan nilai pem-bayaran yang tidak cukup. Dalam perniagaan yang telah maju sebagaimana sekarang, orang menentukan harga barang pada barang yang dikedaikan sehingga penipuan dapat dihindari sedapat mungkin. Apatah lagi orang sudah sampai kepada ilmu pengetahuan ekonomi bahwasanya kejujuran berniaga adalah modal yang paling kuat bagi si penjual. Adanya penipuan menjatuhkan nama tokonya.
“Dan tidak boleh dipersusahkan penulis dan tidak pula saksi."
Teranglah bahwa yang dimaksud di sini ialah perbelanjaan atau ganti kerugian bagi si penulis dan saksi di dalam menuliskan perjanjian-perjanjian itu atau menyaksikannya. Sebab, hal ini meminta tenaga mereka dalam hal untung rugi orang."Karena kalau kamu berbuat begitu maka yang begitu adalah suatu kedurhakaan pada diri kamu masing-masing." Tidaklah salahnya sebelum surat perjanjian diperbuat, diadakan tawar-menawar dengan si penulis dan saksi ataupun sebagaimana notaris zaman sekarang mengadakan ukuran tarif tertentu pada perkara-perkara yang diperbuat surat perjanjiannya di hadapan mereka. Dan, sebagai penutup, berfirmanlah Allah,
“Dan hendaklah kamu bertakwa kepada Allah, dan Allah akan mengajar kamu"
Artinya, bagaimana besar. Bagaimana pun kecil perjanjian yang tengah kamu ikat itu, tetapi satu hal jangan diabaikan, yaitu dengan Allah, baik oleh si penulis, saksi-saksi, maupun oleh wali yang mewakili mereka-mereka yang tidak dapat mengemukakan rencana tadi, apatah lagi bagi pihak yang utang-piutang keduanya, in syaa Allah urusan ini tidak akan sukar, insyaaAllah tidak akan terjadi kesulitan, Allah akan memberi petunjuk jalan yang sebaik-baiknya. Akan tetapi, kalau takwa sudah mulai hilang dari salah satu pihak, mudah sajalah mengacaukan perjanjian utang-piutang yang telah ditulis itu,
“Dan Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Mengetahui."
Oleh sebab itulah, kepada Allah jualah hendaknya didasarkan segala urusan dan perjanjian, dan selamatlah masyarakat yang dasar perjanjiannya ialah ingat kepada Allah; Allah yang mengetahui akan segala gerak-gerik hati kita.
Ayat 283
“Dan jika kamu di dalam perjalanan."
Yakni di dalam keadaan musafir, “sedang kamu tidak mendapat seorang penulis maka hendaklah kamu pegang barang-barang agunan" Artinya, pokok pertama, baik ketika berada di rumah maupun di dalam perjalanan, hendaklah perjanjian utang-piutang dituliskan. Akan tetapi, kalau terpaksa karena penulis tidak ada, atau sama-sama terburu-buru di dalam perjalanan di antara yang berutang dan yang berpiutang maka sebagai ganti menulis, peganglah oleh yang memberi utang itu barang agunan atau gadaian, atau borg, sebagai jaminan dari uangnya yang dipinjam atau diutang itu."Akan tetapi, jika percaya yang setengah kamu akan yang setengah maka hendaklah orang yang diserahi amanah itu menunaikan amanahnya dan hendaklah dia takwa kepada Allah, Tuhannya." Misalnya, si fulan berutang kepada temannya itu Rpl.000 dan janji hendak dibayar dalam masa tiga bulan, dan untuk penguatkan janji digadaikannya sebentuk cincin yang biasanya harganya berlebih dari jumlah utangnya. Maka, hendaklah kedua belah pihak memenuhi janji. Yang berutang hendaklah segera sebelum sampai tiga bulan sudah membayar habis utangnya, sedangkan yang menerima gadaian sekali-kali jangan merusak amanah lalu menjual barang itu sebelum habis janji atau mencari dalih macam-macam. Keduanya memegang amanah dan hendaklah keduanya menjaga takwa kepada Allah, supaya hati keduanya atau salah satu dari keduanya jangan dipesonakan oleh setan kepada niat yang buruk."Dan janganlah kamu sembunyikan kesaksian." Satu peringatan kepada orang lain yang menjadi saksi ketika terjadi perkara, baik perkara yang timbul sesudah ada surat perjanjian maupun perkara yang timbul dari gadAl-menggadai dengan tidak pakai surat, bahwa dalam saat yang demikian haramlah bagi saksi itu menyembunyikan kesaksian, hendaklah dia turut menyatakan hal yang sebenarnya yang diketahuinya dengan adil."Maka barangsiapa yang menyembunyikan (kesaksian) itu maka sesungguhnya telah berdosalah hatinya" Artinya telah tersembunyi dalam jiwanya suatu yang tidak jujur, yang kelak akan mendapat tuntutan di hadapan Allah.
“Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Demikianlah, dengan dua ayat ini soal perjanjian telah dituntunkan. Dan, ayat 282 terkenal sebagai ayat yang paling panjang dalam seluruh Al-Qur'an. Dia menunjukkan dengan tegas bahwasanya agama Islam bukanlah semata-mata mengurus soal-soal ibadah dan puasa saja. Kalau soal-soal urusan muamalah atau kegiatan hubungan di antara manusia dengan manusia yang juga dinamai “hukum perdata", sampai begitu jelas disebut di dalam ayat yang paling panjang dalam Al-Qur'an, dapatlah kita mengatakan dengan pasti bahwa soal-soal begini pun termasuk agama juga. Dalam Islam tidak ada pemisahan antara urusan negara dari dalam agama. Islam menghendaki hu-bungan yang lancar. Hadits mengatakan,
“Tidak merusak dan tidak kerusakan (di antara manusia dengan manusia)."
Maka, adanya peraturan penulis dalam Al-Qur'an, di negara yang teratur telah menjelma menjadi notaris, sedangkan saksi memang menjadi alat pelengkap dari seorang notaris, dan memang notaris wajib menuliskan apa saja syarat yang dikemukakan oleh yang bersangkutan, dan memang notaris serta saksi itu tidak boleh disusahkan, artinya hendaklah dibayar. Ayat ini menguatkan lagi bahwa kalau pembayaran notaris dan saksi tidak diperhitungkan, termasuklah itu suatu kedurhakaan dalam agama. Ketika Al-Qur'an diturunkan, jabatan notaris belum ada di negeri-negeri Barat. Maka, jika orang Islam membuat kontrak pakai notaris, hendaklah dengan niat melaksanakan perintah Allah supaya berpahala.