Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَا
jangan
تَتَّخِذُواْ
kamu mengambil
ٱلۡكَٰفِرِينَ
orang-orang kafir
أَوۡلِيَآءَ
pelindung
مِن
dari
دُونِ
selain
ٱلۡمُؤۡمِنِينَۚ
orang-orang mukmin
أَتُرِيدُونَ
apakah kamu ingin
أَن
bahwa
تَجۡعَلُواْ
kalian jadikan
لِلَّهِ
bagi Allah
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
سُلۡطَٰنٗا
alasan/kekuasaan
مُّبِينًا
nyata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَا
jangan
تَتَّخِذُواْ
kamu mengambil
ٱلۡكَٰفِرِينَ
orang-orang kafir
أَوۡلِيَآءَ
pelindung
مِن
dari
دُونِ
selain
ٱلۡمُؤۡمِنِينَۚ
orang-orang mukmin
أَتُرِيدُونَ
apakah kamu ingin
أَن
bahwa
تَجۡعَلُواْ
kalian jadikan
لِلَّهِ
bagi Allah
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
سُلۡطَٰنٗا
alasan/kekuasaan
مُّبِينًا
nyata
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai teman setia dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah kamu ingin memberi alasan yang jelas bagi Allah (untuk menjatuhkan hukuman) atasmu?
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil orang-orang kafir dan bukan orang-orang mukmin sebagai pelindung! Apakah kamu hendak memberikan kepada Allah buat menyiksamu) dengan mengambil mereka sebagai pelindung itu (suatu alasan yang nyata) atau bukti yang tegas atas kemunafikanmu?.
Tafsir Surat An-Nisa': 144-147
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kalian mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk mengazab kalian)?
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) di tingkatan yang paling bawah dari neraka, dan kalian sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolong pun bagi mereka.
Kecuali orang-orang yang tobat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan pahala yang besar kepada orang-orang yang beriman.
Allah tidak akan mengazab kalian, jika kalian bersyukur dan beriman. Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.
Ayat 144
Allah ﷻ melarang hamba-hamba-Nya yang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai teman terdekat mereka, bukannya orang-orang mukmin. Yang dimaksud dengan istilah 'wali' dalam ayat ini ialah berteman dengan mereka, setia, ikhlas, dan merahasiakan kecintaan serta membuka rahasia orang-orang mukmin kepada mereka. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lain yang mengatakan: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kalian akan diri-Nya.” (Ali Imran: 28) Allah memperingatkan kalian terhadap azab-Nya jika kalian melanggar larangan-Nya.
Sedangkan dalam surat ini disebut melalui firman-Nya:”Inginkah kalian mengadakan alasan yang nyata bagi Allah?” (An-Nisa: 144) Yakni alasan untuk mengazab kalian.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Alasan yang nyata.” (An-Nisa: 144) Bahwa setiap sultan atau alasan di dalam Al-Qur'an merupakan hujah.
Sanad atsar ini sahih. Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, Ad-Dah-hak, As-Suddi, dan An-Nadr ibnu Arabi.
Selanjutnya Allah ﷻ memberitahukan melalui firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) di tingkatan yang paling bawah dari neraka.” (An-Nisa: 145) Yaitu di hari kiamat kelak, sebagai pembalasan atas kekufuran mereka yang keras.
Al-Walibi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Di tingkatan yang paling rendah dari neraka.” (An-Nisa: 145) Yakni di dasar neraka. Selain itu Ibnu Abbas mengatakan bahwa neraka itu terdiri atas berbagai tingkatan (derajat), sebagaimana surga pun mempunyai berbagai tingkatan (derajat).
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Asim, dari Zakwan Abu Saleh, dari Abu Hurairah sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) di tingkatan yang paling bawah dari neraka” (An-Nisa: 145) Yaitu di dalam peti-peti yang dikocok-kocok, sedangkan mereka berada di dalamnya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Ibnu Waki', dari Yahya ibnu Yaman, dari Sufyan As Sauri dengan lafal yang sama.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Al-Munzir ibnu Syazan, dari Ubaidillah ibnu Musa, dari Israil, dari Asim, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah sehubungan dengan firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) di bagian yang paling bawah dari neraka.” (An-Nisa: 145) Dikatakan bahwa bagian yang paling bawah merupakan rumah-rumah yang memiliki banyak pintu, lalu dikunci rapat-rapat, sedangkan mereka (orang-orang munafik) berada di dalamnya, kemudian dari bagian bawahnya juga dari bagian atasnya dinyalakan api neraka.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Salamah ibnu Kahil, dari Khaimah, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) di tingkatan yang paling bawah dari neraka.” (An-Nisa: 145) Di dalam peti-peti dari api neraka yang dikunci rapat-rapat (dikunci mati), sedangkan mereka (orang-orang munafik) berada di dalamnya.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Abu Sa'id Al-Asyaj, dari Waki', dari Sufyan, dari Salamah, dari Khaimah, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan sehubungan makna firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) di tingkatan yang paling bawah dari neraka.” (An-Nisa: 145) Yakni di dalam peti-peti besi yang telah dikunci mati, sedangkan mereka ada di dalamnya; peti itu tidak dapat dibuka sama sekali.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepada kamiHammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Yazid, dari Al-Qasim ibnu Abdur Rahman, bahwa Ibnu Mas'ud pernah ditanya mengenai orang-orang munafik, maka ia menjawab bahwa mereka dimasukkan ke dalam peti-peti dari api neraka yang dikunci mati, sedangkan mereka berada di dalamnya, yaitu ditempatkan di dasar neraka.
“Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolong pun bagi mereka.” (An-Nisa: 145)
Yaitu orang yang dapat menyelamatkan mereka dari azab yang mereka alami dan mengeluarkan mereka dari azab yang amat pedih itu.
Selanjutnya Allah ﷻ memberitahukan bahwa barang siapa dari kalangan orang-orang munafik itu bertobat ketika di dunia, niscaya Allah menerima tobatnya. Allah memaafkan penyesalannya jika ia ikhlas dalam tobatnya dan memperbaiki amal perbuatannya serta berpegang teguh kepada Tuhannya dalam semua urusan. Untuk itu disebut dalam firman selanjutnya:
“Kecuali orang-orang yang tobat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah.” (An-Nisa: 146)
Mereka mengganti ria (pamer) dalam amalnya dengan ikhlas dalam beramal. Dengan demikian, amal salehnya bermanfaat, sekalipun sedikit.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la secara qiraat, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Ayyub, dari Ubaidillah ibnu Zahr, dari Khalid ibnu'Abu Imran, dari Imran, dari Amr ibnu Murrah, dari Mu'az ibnu Jabal, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tulus ikhlaslah dalam agamamu, niscaya amal yang sedikit dapat mencukupimu.”
Firman Allah ﷻ: “Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman.” (An-Nisa: 146)
Yakni dimasukkan ke dalam golongan orang-orang mukmin kelak di hari kiamat. “Dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (An-Nisa: 146)
Selanjutnya Allah ﷻ berfirman memberitahukan tentang sifat Maha Kaya-Nya, bahwa Dia tidak memerlukan selain diri-Nya, dan sesungguhnya Dia mengazab hamba-hamba-Nya hanyalah karena dosa-dosa mereka sendiri. Untuk itu Allah ﷻ berfirman:
“Mengapa pula Allah akan mengazab kalian, jika kalian bersyukur dan beriman?” (An-Nisa: 147)
Yaitu jika kalian memperbaiki amal perbuatan dan beriman kepada Allah serta Rasul-Nya.
“Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” (An-Nisa: 147) Maksudnya, barang siapa yang bersyukur kepada-Nya, maka Dia membalas rasa syukurnya itu; dan barang siapa yang beriman, maka Allah menerima imannya. Allah mengetahuinya dan kelak akan membalasnya dengan pahala yang berlimpah.
[Akhir juz ke-5].
Perbuatan orang-orang munafik yang memilih orang-orang kafir sebagai auliya' mereka pada ayat di atas mendapat kecaman dari Allah. Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya', yakni pemimpin-pemimpin, teman-teman penolong serta pendukung kamu, dengan meninggalkan orang-orang mukmin, yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan iman yang mantap. Maukah kamu memberi alasan yang jelas bagi Allah untuk menghukum dan menyiksamu' Ketahuilah wahai Muhammad dan orang-orang yang beriman, bahwa sungguh, orang-orang munafik itu di akhirat kelak ditempatkan pada tingkatan yang paling bawah, paling rendah, dan paling hina dari neraka. Dan kamu, wahai Muhammad dan siapa pun, sama sekali tidak akan mendapat seorang penolong pun yang dapat memberikan pertolongan bagi mereka dari azab neraka itu.
Dalam ayat ini ada larangan, agar orang-orang mukmin tidak meminta pertolongan kepada orang kafir yang memusuhi kaum Muslimin, baik dengan meminta pendapat atau berteman dekat dengan mereka, dan tidak boleh memberikan kepercayaan apalagi membocorkan rahasia kepada mereka. Larangan serupa ini terdapat juga dalam firman Allah:
"Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan (siksa) dari-Nya, ?." (Ali 'Imran/3:28).
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. ?" (al-Maidah/5:51).
Kaum Muslimin diperingatkan agar berhati-hati dalam meminta pertolongan kepada orang kafir yang memusuhi Islam baik dengan niat, ide-ide maupun dengan perbuatan, karena pertolongan yang didapat dari orang-orang kafir itu mungkin akan membahayakan kaum Muslimin sendiri. Allah menanyakan kepada orang-orang mukmin, apakah mereka akan membuat hal-hal yang menyebabkan mereka berhak menerima siksaan yaitu apabila mereka menggunakan orang kafir menjadi penolong mereka?.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Dilanjutkan lagi membuka rahasia orang-orang yang munafik itu.
Ayat 142
“Sesungguhnya orang-orang yang munafik itu menipu Allah, dan Allah pun (balas) menipu mereka."
Meskipun bukan terang-terang mereka bermaksud hendak menipu Allah, tetapi tingkah laku mereka, “main-main komidi" mereka terhadap Rasulullah dan orang yang beriman, samalah artinya dengan menipu Allah. Sebab apa yang dijalankan oleh Rasul dan orang-orang beriman tidaklah lain daripada kehendak Allah. Di permulaan surah al-Baqarah sudah pernah diterangkan juga bahwa kaum yang munafik itu menipu Allah dan orang-orang yang beriman tetapi hasil penipuan mereka itu ialah menipu diri sendiri. Di ayat ini diterangkan lagi bahwa Allah pun membalas menipu mereka. Artinya jalan yang mereka tempuh itu dengan tidak mereka sadari ialah menipu diri sendiri. Sebab sudah menjadi sunnatullah bahwa kalau orang menempuh jalan yang salah, sudah pasti kesesatan dan kerugian jualah yang akan didapatinya pada akhirnya. Tentu bukanlah maksud ayat menerangkan bahwa Allah pun bertindak menipu mereka pula, melainkan jalan salah yang mereka tempuh itu menyebabkan mereka sampai pada kerugian buat diri sendiri. Begitulah garis sunnatullah yang pasti.
Kemudian diterangkaniah beberapa tanda dari orang munafik itu, “Dan apabila mereka berdiri kepada shalat, mereka berdiri dalam keadaan malas."
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsirnya, “Inilah sifat orang munafik terhadap suatu amalan semulia-mulianya dan seutama-utamanya dan sebaik-baiknya, yaitu shalat Kalau mereka berdiri akan mengerjakannya, mereka pun merasa malas, karena tidak ada niat terhadap shalat itu dan tidak ada imannya, dan tidak ada rasa takutnya kepada Allah, dalam perasaan malas. Tetapi hendaklah dia berdiri dengan muka jernih berseri, dengan sebesar-besar keinginan dan kegembiraan. Sebab dia akan menyampaikan permohonan kepada Allah dan akan berhadapan dengan Dia, dan Allah akan memberinya ampun dan akan memperkenankan doanya. “Mereka hendak menonjol-nonjol kepada manusia."
Artinya, meskipun mereka mengerjakan shalat juga, namun maksud mereka hanya semata-mata riya, yaitu hendak mempertontonkan kepada manusia bahwa dia orang shalat dan beriman. Bukan karena ikhlas dan bukan karena taat kepada Allah. Oleh sebab itu, suatu shalat yang akan mengganggu kesenangan nafsunya malaslah dia mengerjakan. Seumpama shalat Isya di gelap malam, dan shalat Shubuh di waktu fajar. Sebab itu di dalam suatu hadits shahih yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim tersebut, Nabi berkata bahwa shalat yang paling berat me-ngerjakannya bagi orang munafik ialah shalat Isya dan shalat Shubuh. Beliau pun berkata, kalau sekiranya mereka tahu betapa besar pengaruh Isya dan Shubuh bagi pembersihan dan pembangunan jiwa, betapa pun jauhnya, niscaya akan mereka datangi.
Dan haruslah jadi perhatian juga bahwa shalat berjamaah adalah menjadi salah satu bagian dari mendirikan shalat. Nabi pernah menyatakan murkanya atas orang yang lalai mendatangi shalat berjamaah, sehingga pernah dia menyatakan, satu kali beliau hendak mewakilkan berjamaah kepada salah seorang sahabatnya, lalu beliau sendiri datang membakar kampung-kampung orang yang malas pergi berjamaah itu.
Menurut satu riwayat dari al-Hafizh dan Abu Ja'ala dari Abdullah, berkata Nabi ﷺ,
“Barangsiapa yang memperbagus shalat ketika kelihatan oleh manusia, tetapi buruk apabila dia telah shalat sendiri di tempat sunyi, maka perbuatan itu adalah menghina. Yaitu menghina kepada Tuhannya Yang Mahamulia."
Disalinkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa' dari hadits Anas bin Malik bahwa Rasulullah ﷺ mengatakan shalat orang seperti itu, “Itulah shalat munafik. Itulah shalat munafik. Itulah shalat munafik." (Sampai tiga kali)
“Dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit. “
Mereka hanya mengingat Allah di waktu susah. Kalau dia telah senang, Allah dilupakannya. Bahkan kadang-kadang lebih dari itu, tidak senang perasaannya kalau nama Allah banyak disebut orang dekat dia.
Seyogianyalah kita pahamkan ayat ini, bukan semata-mata untuk mencela orang lain, bahkan terutama hendaklah untuk menguji jiwa kita sendiri, adakah agak riya tanda-tanda munafik itu pada kita. Kalau bertemu tanda-tanda itu lekaslah obati.
tetap beragama Islam, padahal dia takut akan terikat hawa nafsunya kalau dia mengerjakan agama. Sebab itu maka agamanya hanya menilik ke mana angin yang keras. Pucuk aru di puncak bukit.
Akhirnya Allah memberikan kepastian tentang hari depan orang seperti ini,
“Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, sekali-kali tidaklah akan engkau dapat untuk mereka Suatu jalan pun."
Sejak semula mereka telah memilih jalan yang salah. Mereka telah tersesat. Laksana sebuah kendaraan bermotor melalui jurang yang amat curam. Telah diberi beberapa tanda peringatan bahwa tempat itu berbahaya, namun dia tidak mempedulikan juga. Akhirnya dia terjerumus hancur lebur dalam jurang. Tentu tidaklah ada lagi suatu kekuatan pun yang akan dapat menahan mereka dari kejatuhan itu. Sebab kehancuran masuk jurang itu adalah sunnatullah atau undang-undang alam yang sewajarnya mereka temui.
Ayat 143
“Hal keadaan mereka terombang-ambing di antara yang demikian itu."
Mereka terombang-ambing di antara kafir dan Islam, karena pendirian yang tiada tetap, atau karena jiwa yang berpecah belah. Sebagian ditawan dunia, sebagian lagi ingin juga hendak Islam, tetapi ditahan oleh hawa nafsu. “Tidak kepada mereka itu dan tidak kepada mereka ini." Tidak masuk ke dalam golongan orang Mukmin betul-betul, sebab masih berat terlepas dari maksiat, atau merasa kalau jadi Mukmin dia jadi terikat dengan suruhan dan larangan, jadi kafir benar pun tidak; bahkan mau dia memukul orang kalau dia dikatakan kafir!
Alangkah banyaknya orang seperti itu di zaman kita. Islamnya hanya pada merk luar saja, namun hidupnya menolak Islam. Kadang-kadang dia mendabik dada mengatakan dia
MEMILIH PIMPINAN
Ayat 144
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu ambil orang-orang kafir menjadi pemimpin, yang bukan dari orang-orang yang beriman".
Di ayat 139 sudah diperingatkan dengan tegas bahwa mengambil orang yang kafir jadi pimpinan adalah salah satu perangai kelakuan orang munafik. Sekarang ditegaskan kepada orang yang beriman, bahwa mereka sekali-kali jangan berbuat demikian. Jangan dipercayakan pimpinan kamu kepada orang yang tidak percaya kepada Allah. Keingkaran mereka kepada Allah dan peraturan-peraturan Allah akan menyebabkan rencana pimpinan mereka tidak tentu arah. Kalau demikian, niscaya kamu yang mereka pimpin akan celaka. Akhirnya datanglah pertanyaan sebagai sesalan dari Allah,
“Apakah kamu ingin bahwa Allah menjadikan atas kamu sesuatu kekuasaan yang nyata?"
Di sini terdapat satu kalimat, yaitu sul-than; yang berarti kekuasaan. Artinya, karena pimpinan suatu umat Islam diserahkan oleh orang Islam sendiri kepada orang yang bukan Islam, atau bukan berjiwa Islam, atau tidak mengerti sama sekali apakah maksud Islam, atau tidak mau mengerti, timbullah kacau-balau dan keruntuhan kaum Muslimin itu sendiri.
Di saat demikian, tentu Allah akan memakai kekuasaan menjatuhkan adzab siksaan-Nya kepada kamu. Apakah itu yang kamu ingini?
Sebab itu orang yang beriman tidaklah akan menyerahkan pimpinan kepada orang kafir, ataupun kepada orang munafik. Yang akan menyerahkan pimpinan kepada orang yang bukan mementingkan Islam adalah orang munafik pula, sebagai tersebut dalam ayat 139 tadi.
Ayat 145
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah di tingkat yang paling bawah dari mereka"
Dalam ayat 140 sudah dijelaskan bahwa orang munafik dan orang kafir akan sama dikumpulkan dalam neraka Jahannam. Di ayat 140 ini sudah jelas bahwa munafik didahulukan menyebutnya dari kafir. Sekarang datang ayat 145 ini, menjelaskan lagi, bahwa meskipun munafik dan kafir sama-sama masuk neraka, namun tempat munafik adalah di alas yang di bawah sekali. Sebab karena dipandang lebih hina.
Orang kafir sudah terang yang dikafir-kannya. Bagaimana orang munafik? Seketika kita mulai membaca Al-Qur'an surah al-Baqarah, dengan 4 ayat permulaan sudah jelas pendirian orang Islam. Dan dengan 2 ayat berikutnya sudah terang pendirian orang kafir. Tetapi kecurangan orang munafik diterangkan dalam 12 ayat. Orang munafik adalah musuh dalam selimut bagi orang yang beriman. Dia bersama Muslimin, hatinya bersama orang lain. Dia mudah berkhianat, membuka rahasia pertahanan atau kelemahan orang Islam kepada musuhnya, dan dia mengukur sesuatu dengan keuntungan pribadi. Orang kafir bisa diperangi sebab dia ada di muka front. Sedangkan orang munafik tidak bisa! Sebab dia di dalam tubuh sendiri. Tidaklah heran jika tempat mereka dalam neraka Jahannam ialah pada dasar yang di bawah sekali.
“Dan sekali-kali tidak akan engkau dapati untuk mereka satu penolongan pun."
Tegasnya tidak seorang pun yang dapat menolong mereka, melepaskan dari siksaan itu. Sebab masuk ke dalam alas neraka itu adalah pilihan mereka sendiri.
Tetapi, bagaimanapun keras ancaman Allah atas jiwa yang sesat karena tindakan sendiri itu, namun pintu untuk kembali kepada jalan yang benar masih tetap dibuka. Allah lebih mengetahui tentang jiwa manusia. Manusia tersesat adalah karena memperturutkan kelemahan jiwa. Namun dalam sudut jiwa manusia itu masih tetap ada sesuatu kekuatan yang selalu menyanggah kesalahan-kesalahannya sendiri. Dalam diri manusia selalu ada peperangan di antara nafsu jahat dengan cita-cita yang baik. Oleh sebab itu, ayat-ayat ancaman keras selalu diikuti oleh ayat bujukan kepada hamba-Nya supaya kembali kepada jalan yang benar. Hati sanubari yang suci bersih itu diketuk Allah supaya tobat. Ini dapat kita lihat dalam ayat sambungannya.
Ayat 146
“Kecuali orang-orang yang telah tobat."
Tobat, artinya kembali ke jalan yang benar. “Sesat surut, terlangkah kembali." Ini menghendaki kekuatan ruhani yang besar.
Melepaskan diri dari kebiasaan yang buruk, terutama kebiasaan munafik adalah berat. Tetapi kalau berhasil, adalah kemenangan yang besar pula. Sesudah tobat, “Dan memperbaiki," yaitu memperbaiki langkah hidup, mem-perbaiki jiwa yang telah berantakan. Sebab semata tobat barulah suatu azam, atau suatu tekad dalam hati. Barulah sempurna kalau telah diikuti oleh perbaikan. Kalau selama ini, misalnya shalat lalai, hendaklah kembali segera mengerjakan shalat bila waktunya telah datang. Kalau selama ini tidak suka berkorban berbuat baik, atau malas atau hanya ambil muka kepada manusia (riya), hendaklah segera latih diri jadi dermawan, walaupun nama tidak disebut orang. “Dan berpegang teguh dengan Allah." Sebagai ganti dari sikap selama ini yang hanya berpegang teguh dengan cari nama, dengan megah kebendaan. Berpegang teguh kepada Allah ialah dengan mengerjakan yang disuruh, menghentikan yang ditegah, menurut bimbingan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul.
Ibadah diperkuatdan diperbanyaksehingga perasaan bahwa kita hidup adalah selalu di dalam penilaian Allah bertambah mendalam, ‘Dan mengikhlaskan agama mereka kepada Allah." Dalam kata dua ini, pertama berpegang teguh kepada Allah, kedua mengikhlaskan agama kepada Allah, terdapatlah pertalian di antara aqidah dan ibadah. Karena hendak berpegang teguh kepada Allah, tidaklah akan tercapai kalau ibadah kepada-Nya tidak diperkuat. Dengan demikian, seluruh ad-diin atau agama, benar-benar ikhlas karena Allah. Tidak ada yang lain lagi yang terlintas dalam pikiran, kecuali Allah.
Inilah empat syarat yang harus dipenuhi buat membersihkan diri dari hidup munafik. Yaitu tobat, memperbaiki, berpegang teguh kepada Allah, dan mengikhlaskan agama karena Allah. Kalau ini sudah tercapai, datanglah sambungan ayat, “Maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang beriman."
Keempat syarat itu adalah obat penyakit jiwa. Obat munafik dan obat kekafiran juga. Kadang-kadang timbulnya sesalan atas suatu dosa, lebih mempertinggi martabat ruhani daripada orang yang merasa dirinya tidak pernah berdosa. Sesalan atas kesesatan jiwa di zaman lampau menyebabkan selalu berusaha mencapai tath-hir (pembersihan) dan tazkiyah (penyucian) Niat dalam hati pun hendak naik keluar dari dalam lembah kehinaan itu. Sebab itu selalu berusaha. Usaha itu tidakkan gagal. Sebab Allah sendiri pun akan menolong-menarik tangan orang itu naik ke atas.
Itu sebabnya Allah mengatakan bahwa orang itu karena usahanya sendiri akan mendapat tempatnya dalam barisan orang yang beriman. Sebab Allah hanya al-Muntaqim (berdendam) kepada orang yang tidak mau me-nempuh jalan yang telah dibukakan oleh Allah. Adapun kepada yang menempuh jalan yang dibuka oleh Allah itu, Allah adalah mempunyai pula sifat al-'Afwu (pemberi maaf), at-Tawwab (pemberi tobat), dan ar-Rahim (pengasih), dan sifat-sifat yang lain.
“Dan Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman itu ganjaran yang besar."
Dengan demikian tentu cap yang begitu hina selama ini, yaitu munafik, pepat di luar pencung di dalam, lain di mulut lain di hati, tidak jujur jiwa kecil, semuanya itu tidak ada lagi. Karena jiwa mereka sudah berubah oleh karena iman. Maka apa yang dijanjikan Allah kepada orang yang beriman, mereka pun pasti akan menerimanya pula. Yaitu ganjaran besar, karena iman telah dituruti dengan amal. Maka sepadanlah janji Allah dengan usaha mereka memperbaiki diri, berpegang dengan tali dan tauhid yang ikhlas.
Tak usah ragu lagi!
Ayat 147
“Apakah Allah akan berbuat mengadzab kamu, jika kamu telah bersyukur dan beriman?"
Ayat yang mengandung pertanyaan seperti ini adalah lanjutan dari ayat sebelumnya, buat menghilangkan keraguan hati manusia apabila mereka telah tobat dari jalan yang salah. Sebab ada orang yang merasa khawatir dalam hatinya mengingat dosanya yang sudah-sudah, kalau-kalau Dia masih murka kepadanya, sedemikian banyak kesalahannya selama ini. Tidak bersyukur berterima kasih atas nikmat Allah dan tidak pula memegang iman yang sejati, banyak perangai munafik.
Kalau kamu telah benar-benar bersyukur atas nikmat Allah dan benar-benar percaya kepada-Nya, beriman dan beramal saleh, beribadah dengan hati yang patuh, apa gunanya lagi Allah akan mengadzab menyiksa kamu? Apakah Allah itu akan melepaskan dendam dan sakit hati? Manfaat apa yang akan diambil Allah dengan menyiksa kamu? Padahal kamu telah tobat kepada-Nya? Apakah engkau sangka bahwa Allah Yang Mahamulia, Mahasayang, Pemurah, dan Kasih, akan serupa dengan raja-raja yang zalim dan kepala negara yang bersifat diktator? Melepaskan dendam kepada musuh-musuh politiknya karena takut akan dirampas kekuasaannya?
Tidak!
Jika Dia menyiksa kamu hanyalah karena kamu bersalah, yaitu menolak kebenaran yang disampaikan Allah kepadamu. Kalau itu telah hilang dan syukurmu telah terbukti dan imanmu telah berbuah, tidak ada jalan lagi buat mengadzab menyiksa kamu. “Dan adalah Allah itu pembalas terima kasih." Artinya, bahwa Allah senang dan gembira sekali apabila ham-ba-Nya itu bersyukur dan berterima kasih kepada-Nya. Terima kasih itu akan dibalasnya lagi, dan nikmat akan diperganda-gandakan-Nya. Sekali kamu berbuat baik, sepuluh gandanya akan engkau terima. Di dalam sabda yang lain, dalam surah ibraahiim ayat 7, Allah memberikan kepastian janji, bahwasanya jika kamu telah bersyukur berterima kasih, Dia berjanji akan menambahi lagi nikmat-Nya kepada kamu. Sebagaimana seorang Mukmin tingkatmu akan bertambah naik dan dosa-dosamu selama ini akan diampuni.
“Lagi Mengetahui."
Dia mengetahui kelemahanmu selama ini. Dia mengetahui betapa pun hawa nafsumu memengaruhimu sehingga selama ini tertem-puh jalan yang sesat, namun maksud yang terpendam di dalam hati sanubari senantiasa hendak mencari jalan yang baik, jalan kepada Allah. Maka Allah adalah Maha Mengetahui perjuanganmu itu, yaitu perjuangan dalam batin yang hebat sekali sehingga akhirnya cita-cita yang mulia jua yang menang. Allah mengetahui itu, dan Allah pun tidak melupakan memberi penghargaan kepada perjuangan kamu itu.
Selesai.