Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِن
dan jika
طَآئِفَتَانِ
dua golongan
مِنَ
dari
ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
orang-orang yang beriman
ٱقۡتَتَلُواْ
mereka berperang
فَأَصۡلِحُواْ
maka damaikanlah
بَيۡنَهُمَاۖ
diantara keduanya
فَإِنۢ
maka jika
بَغَتۡ
berbuat aniaya
إِحۡدَىٰهُمَا
salah seorang dari keduanya
عَلَى
atas
ٱلۡأُخۡرَىٰ
yang lain
فَقَٰتِلُواْ
maka perangilah
ٱلَّتِي
yang
تَبۡغِي
berbuat aniaya
حَتَّىٰ
sehingga
تَفِيٓءَ
(golongan) kembali
إِلَىٰٓ
kepada
أَمۡرِ
perintah
ٱللَّهِۚ
Allah
فَإِن
maka jika
فَآءَتۡ
kembali
فَأَصۡلِحُواْ
maka damaikanlah
بَيۡنَهُمَا
diantara keduanya
بِٱلۡعَدۡلِ
dengan adil
وَأَقۡسِطُوٓاْۖ
dan berlaku adil-lah kamu
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
يُحِبُّ
menyukai
ٱلۡمُقۡسِطِينَ
orang-orang yang berbuat adil
وَإِن
dan jika
طَآئِفَتَانِ
dua golongan
مِنَ
dari
ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
orang-orang yang beriman
ٱقۡتَتَلُواْ
mereka berperang
فَأَصۡلِحُواْ
maka damaikanlah
بَيۡنَهُمَاۖ
diantara keduanya
فَإِنۢ
maka jika
بَغَتۡ
berbuat aniaya
إِحۡدَىٰهُمَا
salah seorang dari keduanya
عَلَى
atas
ٱلۡأُخۡرَىٰ
yang lain
فَقَٰتِلُواْ
maka perangilah
ٱلَّتِي
yang
تَبۡغِي
berbuat aniaya
حَتَّىٰ
sehingga
تَفِيٓءَ
(golongan) kembali
إِلَىٰٓ
kepada
أَمۡرِ
perintah
ٱللَّهِۚ
Allah
فَإِن
maka jika
فَآءَتۡ
kembali
فَأَصۡلِحُواْ
maka damaikanlah
بَيۡنَهُمَا
diantara keduanya
بِٱلۡعَدۡلِ
dengan adil
وَأَقۡسِطُوٓاْۖ
dan berlaku adil-lah kamu
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
يُحِبُّ
menyukai
ٱلۡمُقۡسِطِينَ
orang-orang yang berbuat adil
Terjemahan
Jika ada dua golongan orang-orang mukmin bertikai, damaikanlah keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap (golongan) yang lain, perangilah (golongan) yang berbuat aniaya itu,
Tafsir
(Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin) hingga akhir ayat. Ayat ini diturunkan berkenaan dengan suatu masalah, yaitu bahwa Nabi ﷺ pada suatu hari menaiki keledai kendaraannya, lalu ia melewati Ibnu Ubay. Ketika melewatinya tiba-tiba keledai yang dinaikinya itu kencing, lalu Ibnu Ubay menutup hidungnya, maka berkatalah Ibnu Rawwahah kepadanya, "Demi Allah, sungguh bau kencing keledainya jauh lebih wangi daripada bau minyak kesturimu itu," maka terjadilah antara kaum mereka berdua saling baku hantam dengan tangan, terompah dan pelepah kurma (berperang) Dhamir yang ada pada ayat ini dijamakkan karena memandang dari segi makna yang dikandung lafal Thaaifataani, karena masing-masing Thaaifah atau golongan terdiri dari sekelompok orang. Menurut suatu qiraat ada pula yang membacanya Iqtatalataa, yakni hanya memandang dari segi lafal saja (maka damaikanlah antara keduanya) dan Dhamir pada lafal ini ditatsniyahkan karena memandang dari segi lafal. (Jika berbuat aniaya) atau berbuat melewati batas (salah satu dari kedua golongan itu terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali) artinya, rujuk kembali (kepada perintah Allah) kepada jalan yang benar (jika golongan itu telah kembali kepada perintah Allah maka damaikanlah antara keduanya dengan adil) yaitu dengan cara pertengahan (dan berlaku adillah) bersikap jangan memihaklah. (Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.).
Tafsir Surat Al-Hujurat: 9-10
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. Allah ﷻ berfirman memerintahkan kaum mukmin agar mendamaikan di antara dua golongan yang berperang satu sama lainnya: Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. (Al-Hujurat: 9) Allah menyebutkan mereka sebagai orang-orang mukmin, padahal mereka berperang satu sama lainnya. Berdasarkan ayat ini Imam Bukhari dan lain-lainnya menyimpulkan bahwa maksiat itu tidak mengeluarkan orang yang bersangkutan dari keimanannya, betapapun besarnya maksiat itu.
Tidak seperti yang dikatakan oleh golongan Khawarij dan para pengikutnya dari kalangan Mu'tazilah dan lain-lainnya (yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar dimasukkan ke dalam neraka untuk selama-lamanya). Hal yang sama telah disebutkan di dalam kitab Sahih Bukhari melalui hadis Al-Hasan, dari Abu Bakrah r.a. yang mengatakan bahwa: pada suatu hari Rasulullah ﷺ berkhotbah di atas mimbarnya, sedangkan beliau membawa Al-Hasan ibnu Ali r.a. Lalu beliau sesekali memandang ke arah cucunya itu, dan pada kesempatan lain memandang ke arah orang-orang, lalu beliau bersabda: Sesungguhnya anak (cucu)ku ini adalah seorang pemimpin, mudah-mudahan dengan melaluinya Allah mendamaikan di antara dua golongan besar kaum muslim (yang berperang). Ternyata kejadiannya memang persis seperti apa yang dikatakan oleh Nabi ﷺ sesudah beliau tiada. Allah ﷻ melalui Al-Hasan telah mendamaikan antara penduduk Syam dan penduduk Irak sesudah kedua belah pihak terlibat dalam peperangan yang panjang lagi sangat mengerikan. Firman Allah ﷻ: Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. (Al-Hujurat: 9) Yakni hingga keduanya kembali taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, serta mau mendengar perkara yang hak dan menaatinya.
Seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih, dari Anas r.a., bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: ". Tolonglah saudaramu, baik dalam keadaan aniaya atau teraniaya. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, kalau dia teraniaya, aku pasti menolongnya. Tetapi bagaimana aku menolongnya jika dia aniaya?" Rasulullah ﷺ menjawab: Engkau cegah dia dari perbuatan aniaya, itulah cara engkau menolongnya. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Arim, telah menceritakan kepada kami Mu'tamiryang mengatakan bahwa ia pernah mendengar ayahnya menceritakan bahwa Anas r.a. pernah berkata bahwa pernah dikatakan kepada Nabi ﷺ, "Sebaiknya engkau datang kepada Abdullah ibnu Ubay ibnu Salut (pemimpin kaum munafik, pent.)." Maka Rasulullah ﷺ berangkat menuju ke tempatnya dan menaiki keledainya, sedangkan orang-orang muslim berjalan kaki mengiringinya. Jalan yang mereka tempuh adalah tanah yang terjal.
Setelah Nabi ﷺ sampai di tempatnya, maka ia (Abdullah ibnu Ubay) berkata, "Menjauhlah kamu dariku. Demi Allah, bau keledaimu menggangguku." Maka seorang lelaki dari kalangan Ansar berkata, "Demi Allah, sesungguhnya bau keledai Rasulullah ﷺ lebih harum ketimbang baumu." Maka sebagian kaum Abdullah ibnu Ubay marah, membela pemimpin mereka; masing-masing dari kedua belah pihak mempunyai pendukungnya. Kemudian tersebutlah di antara mereka terjadi perkelahian dengan memakai pelepah kurma, pukulan tangan, dan terompah. Maka menurut berita yang sampai kepada kami, diturunkanlah ayat berikut berkenaan dengan mereka, yaitu firman Allah ﷻ: Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. (Al-Hujurat: 9) Imam Bukhari meriwayatkannya di dalam kitab As-Sulh, dari Musaddad; dan Muslim meriwayatkannya di dalam kitab Al-Magazi, dari Muhammad ibnu Abdul A'la; keduanya dari Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal.
Sa'id ibnu Jubair menceritakan bahwa orang-orang Aus dan orang-orang Khazraj terlibat dalam suatu perkelahian memakai pelepah kurma dan terompah, maka Allah ﷻ menurunkan ayat ini dan memerintahkan kepada Nabi ﷺ untuk mendamaikan kedua belah pihak. As-Saddi menyebutkan bahwa dahulu seorang lelaki dari kalangan Ansar yang dikenal dengan nama Imran mempunyai istri yang dikenal dengan nama Ummu Zaid. Istrinya itu bermaksud mengunjungi orang tuanya, tetapi suaminya melarang dan menyekap istrinya itu di kamar atas dan tidak boleh ada seorang pun dari keluarga istri menjenguknya. Akhirnya si istri menyuruh seorang suruhannya untuk menemui orang tuanya.
Maka kaum si istri datang dan menurunkannya dari kamar atas dengan maksud akan membawanya pergi. Sedangkan suaminya mengetahui hal itu, lalu ia keluar dan meminta bantuan kepada keluarganya. Akhirnya datanglah saudara-saudara sepupunya untuk menghalang-halangi keluarga si istri agar tidak di bawa oleh kaumnya. Maka terjadilah perkelahian yang cukup seru di antara kedua belah pihak dengan terompah (sebagai senjatanya), maka turunlah ayat ini berkenaan dengan mereka.
Lalu Rasulullah ﷺ mengirimkan utusannya kepada mereka dan mendamaikan mereka, akhirnya kedua belah pihak kembali kepada perintah Allah ﷻ Firman Allah ﷻ: jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Al-Hujurat: 9) Berlaku adillah dalam menyelesaikan persengketaan kedua belah pihak,' berkaitan dengan kerugian yang dialami oleh salah satu pihak akibat ulah pihak yang lain, yakni putuskanlah hal itu dengan adil dan bijaksana. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Al-Hujurat: 9) ". Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Bakar Al-Maqdami, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abdullah ibnu Amr r.a. yang mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil di dunia berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah berkat keadilan mereka sewaktu di dunia.
Imam Nasai meriwayatkan hadis ini dari Muhammad ibnul Musanna, dari Abdul A'la dengan sanad yang sama. Sanad hadis ini kuat lagi baik, tetapi para perawinya dengan syarat Syaikhain. ". Telah menceritakan pula kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Amr ibnu Aus, dari Abdullah ibnu Amr r.a., dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Orang-orang yang adil kelak di hari kiamat di sisi Allah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya di sebelah kanan 'Arasy.
Mereka adalah orang-orang yang berlaku adil dalam hukumnya dan terhadap keluarga serta kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka. Imam Muslim dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Sufyan ibnu Uyaynah dengan sanad yang sama. Firman Allah ﷻ: Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. (Al-Hujurat: 10) Yakni semuanya adalah saudara seagama, seperti yang disebutkan oleh Rasulullah ﷺ dalam salah satu sabdanya yang mengatakan: Orang muslim itu adalah saudara muslim lainnya, ia tidak boleh berbuat aniaya terhadapnya dan tidak boleh pula menjerumuskannya.
Di dalam hadis sahih disebutkan: Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama si hamba selalu menolong saudaranya. Di dalam kitab shahih pula disebutkan: Apabila seorang muslim berdoa untuk kebaikan saudaranya tanpa sepengetahuan yang bersangkutan, maka malaikat mengamininya dan mendoakan, "Semoga engkau mendapat hal yang serupa. Hadis-hadis yang menerangkan hal ini cukup banyak; dan di dalam hadis sahih disebutkan: Perumpamaan orang-orang mukmin dalam persahabatan kasih sayang dan persaudaraannya sama dengan satu tubuh; apabila salah satu anggotanya merasa sakit, maka rasa sakitnya itu menjalar ke seluruh tubuh menimbulkan demam dan tidak dapat tidur (istirahat).
Di dalam hadis sahih disebutkan pula: Orang mukmin (terhadap mukmin lainnya) bagaikan satu bangunan, satu sama lainnya saling kuat-menguatkan. Lalu Rasulullah ﷺ merangkumkan jari jemarinya. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Hajjaj, telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada kami Mus'ab ibnu Sabit, telah menceritakan kepadaku Abu Hazim yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sahl ibnu Sa'd As-Sa'idi r.a. menceritakan hadis berikut dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: Sesungguhnya orang mukmin dari kalangan ahli iman bila dimisalkan sama kedudukannya dengan kepala dari suatu tubuh; orang mukmin akan merasa sakit karena derita yang dialami oleh ahli iman, sebagaimana tubuh merasa sakit karena derita yang dialami oleh kepala.
Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini secara munfarid, sedangkan sanadnya tidak mempunyai cela, yakni dapat diterima. Firman Allah ﷻ: maka damaikanlah antara keduanya. (Al-Hujurat: 10) Yakni di antara kedua golongan yang berperang itu. dan bertakwalah kepada Allah. (Al-Hujurat: 10) dalam semua urusan kalian. supaya kamu mendapat rahmat. (Al-Hujurat: 10) Ini merupakan pernyataan dari Allah ﷻ yang mengandung kepastian bahwa Dia pasti memberikan rahmat-Nya kepada orang yang bertakwa kepada-Nya."
Setelah Allah memperingatkan kepada orang mukmin supaya berhati-hati dalam menerima berita yang disampaikan orang fasik, maka Allah menerangkan pada ayat ini tentang apa yang bisa terjadi akibat berita itu. Misalnya pertikaian antara dua kelompok yang kadang-kadang menyebabkan peperangan. Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang atau bertikai satu sama lain maka damaikanlah antara keduanya dengan memberi petunjuk dan nasihat ke jalan yang benar. Jika salah satu dari keduanya, yakni golongan yang bermusuhan itu terus menerus berbuat zalim terhadap golongan yang lain, maka pera-ngilah golongan yang berbuat zalim itu, yang enggan menerima kebenar-an, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali kepada perintah Allah, yakni menerima kebenaran maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, sehingga terjadi hubungan baik antara keduanya, dan berlakulah adil dalam segala urusan agar putusan kamu diterima oleh semua golongan. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil dalam perbuatan mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan balasan yang sebaik-baiknya. 10. Ayat yang lalu menjelaskan perlunya melakukan perdamaian antara dua kelompok orang mukmin yang berperang. Hal itu perlu dilakukan sebab sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, sebab mereka itu satu dalam keimanan, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu yang sedang beselisih atau bertikai satu sama lain dan bertakwalah kepada Allah dengan melaksanakan perintahnya antara lain mendamaikan kedua golongan yang saling bermusuhan itu agar kamu mendapat rahmat persudaraan dan persatuan.
Allah menerangkan bahwa jika ada dua golongan dari orangorang Mukmin berperang, maka harus diusahakan perdamaian antara kedua pihak yang bermusuhan itu dengan jalan berdamai sesuai dengan ketentuan hukum dari Allah berdasarkan keadilan untuk kemaslahatan mereka yang bersangkutan. Jika setelah diusahakan perdamaian itu masih ada yang membangkang dan tetap juga berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka golongan yang agresif yang berbuat aniaya itu harus diperangi sehingga mereka kembali untuk menerima hukum Allah. Jika golongan yang membangkang itu telah tunduk dan kembali kepada perintah Allah, maka kedua golongan yang tadinya bermusuhan itu harus diperlakukan dengan adil dan bijaksana, penuh kesadaran sehingga tidak terulang lagi permusuhan seperti itu di masa yang akan datang. Allah memerintahkan supaya mereka tetap melakukan keadilan dalam segala urusan mereka, karena Allah menyukainya dan akan memberi pahala kepada orang-orang yang berlaku adil dalam segala urusan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
BERMASYARAKAT
Ayat 6
“Wahai orang-orang yang beiiman, jika datang kepada kamu orangyang fasik membawa berita maka selidikilah; agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum dengan tidak mengetahui maka jadilah kamu menyesal atas pembuatanmu itu."
Ayat ini jelas sekali memberikan larangan yang sekeras-kerasnya lekas percaya kepada berita yang dibawa oleh seorang yang fasik, memburukkan seseorang atau suatu kaum. Janganlah perkara itu langsung saja diiyakan atau ditidakkan, melainkan diselidikilah terlebih dahulu dengan saksama sekali benar atau tidaknya, jangan sampai karena terburu menjatuhkan keputusan yang buruk atas suatu perkara, sehingga orang yang diberitakan itu telah mendapat hukuman padahal kemudian ternyata bahwa tidak ada sama sekali salahnya dalam perkara yang diberitakan orang itu.
Ayat 7
“Dan ketahuilah olehmu bahwasanya pada kamu ada Rasulullah."
Maksudnya ialah memperingati bahwa kamu itu adalah sedang berkumpul dengan Rasulullah, dengan pesuruh atau utusan Allah. Sebab itu tidaklah layak kamu samakan saja Rasulullah itu dengan orang lain. Sedangkan kepada sesama kamu sendiri tidaklah boleh kamu berdusta, apatah lagi dengan utusan Allah. Dengan beliau ﷺ tidaklah boleh kamu bermain-main, membuat berita bohong. Sebab akhirnya rahasiamu akan terbuka juga dan kamu akan rendah hina di hadapan beliau."Yang jikalau beliau ikuti saja kepada kamu pada kebanyakan daripada urusan, niscaya akan sulitlah kamu." Artinya, kalau kiranya tiap-tiap laporan saja diikuti oleh Rasulullah dan diterimanya sa|a apa yang kamu katakan, kemudian ternyata bahwa berita yang kamu sampaikan itu adalah berita bohong, siapakah yang akan mendapat kesulitan? Atau tegas lagi, siapakah yang akan mendapatdosa besar karena membuat kacau? Padahal beliau dituntun oleh wahyu Ilahi dan oleh kecerdasan pikiran beliau sendiri."Tetapi Allah telah menimbulkan cinta kamu kepada iman." Ini pun akan membuka topeng orang-orang pembohong pembuat laporan palsu, sebab di samping mereka pasti terdapat pula orang yang lebih mencintai iman dan mencintai kejujuran, mengatakan yang sebenarnya, berpikir lebih dahulu dengan saksama barulah mereka bertindak. Mereka lebih mencintai iman daripada membuat berita bohong."Dan Dia hiaskan akan dia dalam hati kamu." Maka orang-orang yang dihiaskan Allah iman dalam hatinya lebih suka jika berita yang mereka sampaikan kepada Rasulullah itu adalah kabar yang benar dan dapat di-pertanggungjawabkan,"Dan ditimbulkan-Nya rasa berici kamu kepada kufur dan fasik dan kedurhakaan." Dihiaskan Allah dalam hati mereka yang baik itu iman dan ditimbulkan pada hati mereka keberician kepada sifat-sifat buruk yang dapat mengacaukan masyarakat, yaitu kufur dan fasik dan kedurhakaan kepada Allah. Sebagaimana tadi telah dijelaskan pada ayat sebelumnya bahwasanya perkabaran itu hendaklah diperiksa terlebih dahulu, jangan langsung dipercaya saja. Kelak akan ternyata bahwa yang membawa berita palsu itu ialah orang fasik. Maka orang-orang yang beriman niscaya beri pikir terlebih dahulu manfaat dan mudharat pekerjaan yang akan dikerjakannya. Kalau tidak jelas dan tidak lengkap bukti, tidaklah mereka akan melapor. Tetapi kalau perkabaran itu jelas, terbukti dan dapat dipertanggungjawabkan, niscaya orang-orang yang beriman itu berani melaporkannya kepada Rasulullah ﷺ walaupun perang besar yang akan terjadi. Karena menyimpan saja berita itu, padahal bahayanya sudah nyata besar, dia pun akan merasa berdosa pula menyembunyikan dan tidak segera melaporkan. Oleh sebab itu, di ujung ayat dikatakan bahwa,
“Meteku itulah otang-orang yang menempuh jalan yang bijak."
Orang yang bijak ialah orang yang berkata sepatah dipikirkan, berjalan selangkah menghadap surut. Bukan orang yang"mulai tegak terus berlari, mulai duduk terus menghunjur". Apa saja pekerjaan yang akan mereka lakukan, semuanya dipertimbangkan mana yang besar manfaatnya dengan mudharatnya. Kalau man-faatnya lebih besar dari mudharatnya, walaupun diri sendiri akan menjadi kurban, amal membawa faedah bagi bersama, mereka tidak ragu-ragu akan mengerjakannya.
Ayat 8
“Karunia daripada Allah dan nikmat."
Tegasnya ialah bahwasanya apabila dalam suatu masyarakat buah pikiran orang yang bijak biaperi, berpikiran mendalam, mempertimbangkan mudharat dan manfaat, orang semacam itu yang lebih banyak terkemuka, itulah dia karunia paling besar dari Allah dan itulah nikmat yang paling membawa kebahagiaan bagi bersama. Dan kalau suatu pemerintahan telah berdiri,"rajulun rasyid". laki-laki yang bijak itulah yang sangat diperlukan, bukan yang banyak gembar-gembor tidak menentu.
“Dan Allah adalah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana."
Maka di dalam suatu negara atau dalam satu masyarakat apabila masih ada keinsafan bahwasanya Allah Maha Mengetahui, akan tersekatlah orang daripada perbuatan yang sembrono dan kurang pikir. Sebab itu hen-daklah dalam menghadapi bangunan suatu negara orang berusaha pula menambah pengetahuannya, sehingga dia dapat memandang jauh, jangan hanya sehingga sekadar yang ada di hadapan matanya saja; hendaklah berpan-dangan jauh."Lagi Mahabijaksana", adalah lanjutan yang wajar dari sifat Maha Mengetahui. Kalau pengetahuan kita telah ada terhadap suatu soal, dipandang dari segala seginya, tidaklah kita akan terburu-buru mengambil suatu keputusan. Kita mesti mengambil suatu keputusan dengan bijaksana, tidak dengan ceroboh. Ini pun masih ada sangkut pautnya dengan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat. Hendaklah kita dapat menguasai sesuatu soal, memandangnya dari segala seginya, sehingga kita dapat mengambil keputusan yang menunjukkan keluasan paham, bukan yang berat sebelah. Di dalam ilmu hukum ketika akan menentukan keputusan diadakan beberapa undang-undang. Misalnya,
“Bukti-bukti hendak dikemukakan oleh yang mendakwa, sumpah atas orang yang membantahnya."
Setelah hakim mendengar keterangan yang cukup daripada yang mendakwa, hakim pun meminta penolakan keterangan dari si terdakwa yang ingkar akan dakwa yang mendakwa. Kalau dia tidak dapat menolak bukti yang kuat dan jelas dengan bukti yang lebih kuat dan lebih jelas, maka setinggi-tinggi haknya hanyalah bersumpah. Hakim akan tetap menyalahkan dia, walaupun pada hakikatnya sendiri barangkali dia tidak bersalah. Sebab itu maka pihak pendakwa lebih kuat kedudukannya daripada sumpah yang terdakwa. Bahkan kalau si terdakwa tidak hati-hati bisa saja dengan bukti-bukti yang kuat dia dituduh pula.
Ayat 9
“Dan jika dua golongan dari orang-orang yang berperang maka damaikanlah di antara keduanya. Maka jika menganiaya salah satu golongan itu kepada yang lain, perangilah yang menganiaya itu sehingga dia kembali kepada perintah Allah."
Dalam ayat ini jelas sekali perintah Allah kepada orang-orang beriman yang ada perasaan tanggung jawab, kalau mereka dapati ada dua golongan orang yang sama-sama beriman dan keduanya berkelahi, dalam ayat ini disebut iqtatalu yang dapat diartikan berperang, hendaklah orang beriman yang lain itu segera mendamaikan kedua golongan yang berperang itu. Karena bisa saja kajadian bahwa kedua golongan sama-sama beriman kepada Allah tetapi timbul salah paham sehingga timbul perkelahian. Maka hendaklah datang golongan ketiga mendamaikan kedua golongan beriman yang berkelahi itu. Kalau kiranya keduanya sama-sama mau didamaikan, sama mau kembali kepada yang benar, niscaya mudahlah urusan. Tetapi kalau yang satu pihak mau berdamai dan satu pihak lagi masih mau saja meneruskan peperangan, hendaklah diketahui apa sabab-sebabnya maka dia hendak terus
berperang juga. Hendaklah diketahui mengapa ada satu pihak yang tidak mau berdamai. Yang tidak mau berdamai itu di dalam ayat ini disebut orang yang menganiaya. Maka orang yang ingin hendak mendamaikan itu hendaklah memerangi pula yang tidak mau berdamai itu, sampai dia kalah dan mau tunduk kepada kebenaran. Setelah itu barulah diperiksa! dengan teliti dan dicari jalan perdamaian dan diputuskan dengan adil, disalahkan mana yang salah dan dibenarkan mana yang benar. Jangan menghukum berat sebelah. Sama sekali wajib dikembalikan kepada jalan Allah.
“Maka jika dia telah kembali, hendaklah damaikan di antara keduanya dengan adil." Orang yang hendak mendamaikan benar-benarlah tegak di tengah, jangan berpihak, tunjukkan di mana kesalahan masing-masing karena bila keduanya telah sampai berkelahi tidak mungkin dikatakan bahwa yang salah hanya satu saja. Kemauan yang satunya lagi buat turut berkelahi sudah menunjukkan bahwa dia pun salah juga."Dan berlaku adillah/'yang salah katakan bahwa dia memang salah dan jelaskan dalam hal apa salahnya dan berapa tingkat kesalahannya dan yang benar katakan pula di mana kebenarannya;
“Sesungguhnya Allah adalah amat suka kepada oiang-orangyang bedaku adil.''
Apabila orang yang mengetahui dan mendamaikan perkara dua orang atau dua golongan yang berselisih itu benar-benar adil, kedua golongan itu niscaya akan menerima dan merasa puas menerima keadilan itu. Dan dia sendiri pun dengan hati terbuka akan melanjutkan usaha mendamaikan karena tidak ada usaha lain yang berlaku sebagai mencari"udang di balik batu" mencari keuntungan untuk diri sendiri. Keikhlasan hatilah yang utama dalam hal ini.
Maka setiap orang yang bermaksud dengan jujur menjalankan perintah Allah dalam ayat ini, mendamaikan dua golongan orang yang beriman yang telah jatuh ke dalam perselisihan lalu mendamaikannya dengan adil, untuk mereka itu sabda Rasulullah ﷺ,
“Orang yang berlaku adil di sisi Allah di hari Kiamat akan duduk di atas mimbar dan cahaya yang bersinar di sebelah kanan Arsy, yaitu orang-orang yang adil pada hukum mereka dan pada ahli keluarga mereka selama mereka mengatur." (HR Sufyan bin Uyaynah dari hadits Abdullab bin Amr bin al-Ash)
Dan sebuah hadits lagi,
“Orang yang berlaku adil di dunia akan duduk di atas mimbar dari mutiara di hadapan Allah yang bersifat rahman, Azza wa jalla, karena keadilan mereka di dunia."
Dari ayat ini pula kita mendapat kesimpulan bahwasanya kedua orang Islam yang telah berkelahi sampai menumpahkan darah, sampai berperang itu, masih dipanggilkan oleh Allah kepada orang lain bahwa mereka kedua belah pihak adalah orang-orang yang beriman maka hendaklah orang-orang lain yang merasa dirinya bertanggung jawab karena beriman pula agar berusaha mendamaikan mereka. Di sini kita mendapat kesan bahwa bagaimanapun hebatnya perjuangan sampai bertumpah darah namun tidak ada di kalangan kedua belah pihak yang tidak beriman.
Hal yang seperti ini, yaitu perkelahian sampai pertumpahan darah, peperangan hebat menyebabkan melayang nyawa beribu-ribu orang telah pernah kejadian di antara sahabat-sahabat Rasulullah sendiri, yaitu di antara Ali bin Abi Thalib bersama Abdullah bin Abbas di satu pihak dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan beserta Amr bin al-Ash di pihak yang lain. Maka orang-orang Islam yang berpikiran lurus, yang bersikap adil tidaklah akan menuduh kafir salah satu pihak daripada sahabat-sahabat Rasulullah yang utama itu. Dan tidaklah boleh kita cuaikan perkataan Rasulullah yang telah memuji baik yang khusus kepada sahabat-sahabatnya, sebagai yang dijanjikan masuk surga atau yang umum.
Dalam hal ini madzhab yang kita pakai lebih baiklah madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah; yaitu dalam hal yang berkenaan dengan pertentangan sahabat-sahabat Rasulullah itu lebih baik kita diam. Ibnul Furak berkata,"Pertentangan yang timbul di antara sahabat-sahabat Rasulullah sesamanya sama sajalah halnya dengan pertentangan di antara saudara-saudara Nabi Yusuf terhadap Nabi Yusuf sendiri. Mereka berselisih tidaklah ada di antara mereka yang keluar dari barisan wilayah dan nubuwwah."
Setengah orang benar-benar Islam dan banyak orang mengatakan bahwa yang berkata ini ialah Sayyidina Umar bin Abdul Aziz sendiri, ketika ditanya orang bagaimana sikapnya terhadap pertentangan golongan Ali dengan Mu'awiyah itu. Beliau berkata,"Tanganku telah dibersihkan Allah sehingga tidak turut kena percikan dari darah yang tertumpah di waktu itu. Maka saya harap janganlah tuan tanyakan lagi kepadaku bagaimana pendapatku dalam perkara itu supaya lidahku jangan turut pula berlumur dengan darah itu sesudah hal itu lama berlalu."
Yang lebih tepat lagi ialah jawaban Hasan al-Bishri ketika ditanyai orang ke mana dia berpihak. Beliau berkata,"Peperangan besar yang dihadiri oleh sahabat-sahabat Rasulullah yang besar-besar, sedang saya sendiri tidak turut hadir. Mereka itu lebih tahu duduk persoalannya karena lebih dekat dan mengalami sedang saya datang kemudian dan tidak tahu. Dalam hal yang mereka sepaham kita ikut. Dalam hal yang mereka berselisih kita diam."
Al-Harits al-Muhasibi alim tasawuf yang terkenal berkata,"Saya sependapat dengan apa yang dikatakan oleh al-Hasan itu. Karena mereka itu jauh lebih mengetahui persoalan yang mereka hadapi daripada kita yang lahir kemudian dari mereka. Dalam hal yang mereka sama pendapat, marilah kita ikut. Dalam hal yang mereka berselisih marilah kita berdiam diri dan tidak perlu kita menambah lagi dengan perselisihan baru karena pendapat kita sendiri. Kita maklum bahwa orang-orang yang terdahulu itu semuanya telah memakai ijtihad mereka dalam hal-ihwal yang mereka hadapi, namun mereka tetap ingat kepada Allah. Ijtihad bisa khilaf dan bisa benar, namun kehidupan mereka beragama tidak kita ragui.
Inilah pendirian Ahlus Sunnah wal jamaahl Bukan seperti kaum Syi'ah yang dengan berani menghukum kafir segala lawan politik dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dan bukan pula sebagai paham kaum Khawarij yang telah memandang tersesat khalifah-khalifah yang sesudah dua orang Syekh Abu Bakar dan Umar. Sampai golongan Khawarij itulah yang menganjurkan membunuh tiga orang yang mereka anggap sebagai pangkat pengacau, yaitu Ali bin Abi Thalib, Mu'awiyah bin Abi Sufyan, dan Amr bin al-Ash.
Alhasil, jika kita tidak dapat turut mendamaikan perselisihan besar yang telah terjadi di antara dua golongan orang yang beriman, golongan Ali dan golongan Mu'awiyah karena masanya telah lama berlalu, janganlah kita menambah lagi kekusutan itu dengan menegakkan paham dalam perselisihan madzhab dan firqah yang telah ada sekarang, padahal telah empat belas abad berlalu, sehingga ada negeri islam yang menetapkan dengan resmi bahwa mereka bermadzhab Syi'ah dan Syi'ah itu pun terbagi kepada berbagai firqah pula, seperti Itsna Asyriyah, Zaidiyah, Isma'iliyah dan Khawarij pun demikian pula, ada yang menetapkan madzhabnya dengan nama Ibadhiyah. Lantaran itu maka kekecewaan yang terdapat dalam sejarah, sehingga kaum Muslimin tidak mendapat kesanggupan mendamaikan di antara dua golongan kaumnya yang beriman, sampai terjadi berperang berlarut-larut, berlanjut-lanjut, dan tinggal bekas lukanya sampai empat belas abad kemudian, menjadi pelajaran pahitlah bagi kita untuk menjaga janganlah kejadian lagi yang serupa itu di antara Muslim sesama Muslim. Bahkan hendaklah berusaha golongan Muslim Mukmin yang ketiga, yang tidak terlibat kepada salah satu pihak buat mendamaikannya, sehingga kusut dapat diselesaikan dan keruh dapat dijernihkan, jangan sampai timbul permusuhan yang berurat berakar, beratus beribu tahun,
Ayat 10
“Hanya saja orang-orang yang beriman itu seyogianya adalah bersaudara karena itu maka damaikanlah di antara kedua saudaramu."
Ayat 10 ini masih ada kaitannya yang erat dengan ayat 9, Diperingatkan di sini pangkal dan pokok hidup orang yang beriman, yaitu bersaudara, Sesuai dengan ayat terakhir (ayat 29) dari surah al-Fath yang dahulu itu, yaitu bahwasanya orang-orangyang telah terikat di dalam iman kepada Allah, dengan sendirinya mereka bersikap keras terhadap orang-orangyang kafir dan berkasih sayang di antara mereka sesama mereka. Maka ayat 10 surah ini menjelaskan yang lebih positif lagi bahwasanya kalau orang sudah sama-sama tumbuh iman dalam hatinya, tidak mungkin mereka akan bermusuhan, jika tumbuh permusuhan lain tidak adalah karena sebab yang lain saja, misalnya karena salah paham, salah terima. Maka itu pula sebabnya maka di ayat 6 pada surah ini diberi peringatan kepada orang yang beriman, kalau ada orang membawa berita yang buruk dari pihak sebelah kaum Muslimin hendaklah diselidiki lebih dahulu dengan saksama, supaya jangan sampai suatu kaum ditimpa oleh musibah hanya karena kejahilan kita saja. Ini adalah menjaga jangan sampai timbul permusuhan atau kekacauan atau permusuhan di antara dua golongan kaum Muslimin.
Kita teringat perkataan Abdullah bin Abbas ketika ditanyai orang mengapalah sampai terjadi perkelahian yang begitu hebat di antara golongan Ali dengan Mu'awiyah, Ibnu Abbas menjawab setelah kejadian itu lama lampau. Kata beliau,"Sebabnya ialah karena dalam kalangan kami tidak ada orang yang seperti Mu'awiyah dan dalam kalangan Mu'awiyah tidak ada orang yang seperti Ali." Alangkah tepatnya jawaban ini.
Oleh sebab itu diperingatkan kembali bahwasanya di antara dua golongan orang yang beriman pastilah bersaudara. Tidak ada kepentingan diri sendiri yang akan mereka pertahankan. Pada keduanya ada kebenaran tetapi kebenaran itu telah robek terbelah dua, di sini separuh di sana separuh. Maka hendaklah berusaha golongan ketiga,"Damaikanlah di antara kedua saudaramu!" Lalu ditunjukkan pula bagaimana usaha perdamaian agar berhasil dan berjaya;"Dan bertakwalah kepada Allah," artinya bahwa di dalam segala usaha mendamaikan itu tidak ada maksud lain, tidak ada keinginan lain melainkan semata-mata karena mengharapkan ridha Allah, karena kasih sayang yang bersemi di antara Mukmin dengan Mukmin, di antara dua yang berselisih dan di antara pendamai dengan kedua yang berselisih,
“Supaya kamu mendapat rahmat."
Asal niat itu suci, berdasar iman dan takwa, kasih dan cinta, besar harapan bahwa rahmat Allah akan meliputi orang-orang yang berusaha mendamaikan itu.