Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
كُتِبَ
diwajibkan
عَلَيۡكُمُ
atas kalian
ٱلۡقِصَاصُ
hukum Qishash
فِي
didalam
ٱلۡقَتۡلَىۖ
pembunuhan
ٱلۡحُرُّ
orang merdeka
بِٱلۡحُرِّ
dengan orang merdeka
وَٱلۡعَبۡدُ
dan hamba sahaya
بِٱلۡعَبۡدِ
dengan hamba sahaya
وَٱلۡأُنثَىٰ
dan wanita
بِٱلۡأُنثَىٰۚ
dengan wanita
فَمَنۡ
maka barang siapa
عُفِيَ
dimaafkan
لَهُۥ
padanya
مِنۡ
dari
أَخِيهِ
saudaranya
شَيۡءٞ
sesuatu
فَٱتِّبَاعُۢ
maka hendaklah mengikuti
بِٱلۡمَعۡرُوفِ
dengan cara yang baik
وَأَدَآءٌ
dan membayar diat
إِلَيۡهِ
kepadanya
بِإِحۡسَٰنٖۗ
dengan baik
ذَٰلِكَ
demikian itu
تَخۡفِيفٞ
keringanan
مِّن
dari
رَّبِّكُمۡ
Tuhan kalian
وَرَحۡمَةٞۗ
dan rahmat
فَمَنِ
maka barang siapa
ٱعۡتَدَىٰ
melampaui batas
بَعۡدَ
sesudah
ذَٰلِكَ
demikian itu
فَلَهُۥ
maka baginya
عَذَابٌ
siksa
أَلِيمٞ
sangat pedih
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
كُتِبَ
diwajibkan
عَلَيۡكُمُ
atas kalian
ٱلۡقِصَاصُ
hukum Qishash
فِي
didalam
ٱلۡقَتۡلَىۖ
pembunuhan
ٱلۡحُرُّ
orang merdeka
بِٱلۡحُرِّ
dengan orang merdeka
وَٱلۡعَبۡدُ
dan hamba sahaya
بِٱلۡعَبۡدِ
dengan hamba sahaya
وَٱلۡأُنثَىٰ
dan wanita
بِٱلۡأُنثَىٰۚ
dengan wanita
فَمَنۡ
maka barang siapa
عُفِيَ
dimaafkan
لَهُۥ
padanya
مِنۡ
dari
أَخِيهِ
saudaranya
شَيۡءٞ
sesuatu
فَٱتِّبَاعُۢ
maka hendaklah mengikuti
بِٱلۡمَعۡرُوفِ
dengan cara yang baik
وَأَدَآءٌ
dan membayar diat
إِلَيۡهِ
kepadanya
بِإِحۡسَٰنٖۗ
dengan baik
ذَٰلِكَ
demikian itu
تَخۡفِيفٞ
keringanan
مِّن
dari
رَّبِّكُمۡ
Tuhan kalian
وَرَحۡمَةٞۗ
dan rahmat
فَمَنِ
maka barang siapa
ٱعۡتَدَىٰ
melampaui batas
بَعۡدَ
sesudah
ذَٰلِكَ
demikian itu
فَلَهُۥ
maka baginya
عَذَابٌ
siksa
أَلِيمٞ
sangat pedih
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu (melaksanakan) kisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan. Siapa yang memperoleh maaf dari saudaranya hendaklah mengikutinya dengan cara yang patut dan hendaklah menunaikan kepadanya dengan cara yang baik. Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Siapa yang melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.
Tafsir
(Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu kisas) pembalasan yang setimpal (berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh) baik tentang sifat maupun perbuatan (orang merdeka) dibunuh (oleh orang merdeka) maka tidak boleh oleh hamba (hamba oleh hamba dan wanita oleh wanita). Sunah menyatakan bahwa laki-laki boleh dibunuh oleh wanita dan dalam agama dipandang seimbang atau sebanding, tetapi tidak boleh seorang Islam walaupun ia seorang hamba dibunuh oleh seorang kafir walaupun ia seorang merdeka. (Barang siapa yang mendapat kemaafan) maksudnya di antara pembunuh-pembunuh itu (berkenaan dengan) darah (saudaranya) yang dibunuh (berupa sesuatu) misalnya dengan ditiadakannya kisas yang menyebabkan gugurnya sebagian hukuman oleh sebagian ahli waris. Dengan disebutkannya 'saudaranya', membangkitkan rasa santun yang mendorong seseorang untuk memaafkan dan menjadi pernyataan bahwa pembunuhan itu tidaklah mengakibatkan putusnya persaudaraan dalam agama dan keimanan. 'Man' yang merupakan syarthiyah atau isim maushul menjadi mubtada, sedangkan khabarnya ialah, (maka hendaklah mengikuti) artinya orang yang memaafkan itu terhadap pembunuh hendaklah mengikuti (dengan cara yang baik) misalnya memintanya supaya membayar diat atau denda dengan baik-baik dan tidak kasar. Pengaturan 'mengikuti' terhadap 'memaafkan' menunjukkan bahwa yang wajib ialah salah satu di antara keduanya dan ini merupakan salah satu di antara kedua pendapat Syafii, sedangkan menurut pendapatnya yang kedua yang wajib itu ialah kisas, sedangkan diat menjadi penggantinya. Sekiranya seseorang memaafkan dan tidak menyebutkan diat, maka bebaslah dari segala kewajiban (dan) hendaklah si pembunuh (membayar) diat (kepadanya) yaitu kepada yang memaafkan tadi, yakni ahli waris (dengan cara yang baik pula) artinya tanpa melalaikan dan mengurangi pembayarannya. (Demikian itu) maksudnya diperbolehkan mengganti hukum kisas dan kemaafan dengan diat, hal ini adalah (suatu keringanan) atau kemudahan (dari Tuhanmu) terhadapmu (suatu rahmat) kepadamu berupa kelapangan dan tidak dipastikan-Nya salah satu di antara keduanya, seperti diwajibkan-Nya kisas atas orang-orang Yahudi dan diat atas orang-orang Kristen. (Dan barang siapa yang melanggar batas) misalnya dianiayanya si pembunuh dengan membunuhnya pula (sesudah itu) maksudnya setelah memaafkan, (maka baginya siksa yang pedih) atau menyakitkan, yaitu di akhirat dengan api neraka, atau di dunia dengan dibunuh pula.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 178-179
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.
Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) kehidupan bagi kalian, wahai orang-orang yang berakal, agar supaya kalian bertakwa.
Ayat 178
Allah ﷻ berfirman, "Telah diharuskan atas kalian berbuat adil dalam hukum qisas, wahai orang-orang mukmin; orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita; janganlah kalian melampaui batas dan jangan pula kalian berbuat zalim, sebagaimana orang-orang sebelum kalian berbuat kelewat batas karena mereka mengubah hukum Allah yang berkaitan dengan qisas."
Penyebabnya ialah Bani Quraizz dan Bani Nadir. Di masa Jahiliah, Bani Nadir berperang melawan Bani Quraizz dan dapat mengalahkan mereka. Tersebutlah bahwa apabila seorang dari Bani Nadir membunuh seorang dari Bani Quraizz, maka si pembunuh tidak dikenakan hukum balasan, melainkan hanya membayar tebusan berupa seratus wasaq kurma. Tetapi apabila seorang Quraizz membunuh seorang Nadir, maka tebusannya dua kali lipat, yaitu dua ratus wasaq kurma; jika tidak, ia akan dikenakan hukuman qisas (dibunuh lagi). Maka Allah memerintahkan agar keadilan ditegakkan dalam hukum qisas, tidak boleh mengikuti jalan orang-orang yang merusak lagi menyimpang dan menentang hukum-hukum Allah di kalangan mereka karena ingkar dan melampaui batas.
Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita.” (Al-Baqarah: 178)
Mengenai asbabun nuzul ayat ini, menurut riwayat Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim disebutkan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku ‘Atha’ ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (Al-Baqarah: 178) Yakni jika kasus pembunuhan terjadi dengan sengaja, maka ketentuan hukumnya ialah orang merdeka dengan orang merdeka.
Demikian itu karena ada dua kabilah dari kalangan orang-orang Arab saling berperang di zaman Jahiliah yang mendekati zaman Islam dalam jangka waktu yang tidak begitu lama. Dahulu di antara mereka terjadi pembunuhan dan pelukaan, yang terbunuh termasuk budak-budak dan kaum wanita. Sebagian dari mereka belum sempat menuntut sebagian yang lain hingga mereka masuk Islam semuanya. Salah satu dari kedua belah pihak mempunyai keunggulan atas pihak lain yang menjadi lawannya dalam hal persenjataan dan harta benda (perbekalan). Mereka bersumpah bahwa mereka tidak rela sebelum orang merdeka dari kalangan musuhnya dibunuh karena membunuh budak dari kalangan mereka, dan seorang lelaki dari kalangan musuh dibunuh karena membunuh seorang wanita dari kalangan mereka.
Berkenaan dengan mereka itu turunlah firman-Nya: “Orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita.” (Al-Baqarah: 178) Sebagian dari kandungan ayat ini ada yang di-mansukh dengan ayat yang menyatakan, "Jiwa dengan jiwa." Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Wanita (dihukum mati) karena (membunuh) wanita.” (Al-Baqarah: 178) Demikian itu membuat mereka tidak menghukum mati lelaki karena membunuh wanita.
Mereka hanya membunuh lelaki karena membunuh lelaki lainnya, dan wanita dibunuh karena membunuh wanita lainnya.
Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata.” (Al-Maidah: 45) Dengan demikian, orang-orang yang merdeka dijadikan sama dalam hukum qisas dalam kasus pembunuhan yang terjadi di antara sesama mereka dengan sengaja; kaum lelaki dan kaum wanitanya dalam kasus jiwa dan pelukaan diberlakukan sama, tanpa membedakan jenis kelamin. Budak-budak dijadikan sama di antara sesama mereka dalam kasus pembunuhan yang disengaja, demikian pula dalam kasus pelukaan di antara kaum lelaki dan kaum wanitanya.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Abu Malik, bahwa ayat ini di-mansukh oleh firman-Nya: “Jiwa (dibalas) dengan jiwa.” (Al-Maidah: 45)
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang merdeka dihukum mati karena membunuh budak, berdasarkan keumuman makna ayat surat Al-Maidah (ayat 45). Pendapat ini diikuti oleh Ats-Tsauri, Ibnu Abu Laila, dan Daud. Pendapat inilah yang diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas'ud, Sa'id ibnul Musayyab, Ibrahim An-Nakha'i, Qatadah, dan Al-Hakam. Imam Al-Bukhari, Ali ibnul Madini, Ibrahim An-Nakha'i, dan Ats-Tsauri menurut salah satu riwayat darinya mengatakan bahwa seorang tuan pemilik budak dihukum mati karena membunuh budaknya, karena keumuman makna hadits Al-Hasan dari Samurah yang mengatakan: “Barang siapa yang membunuh budaknya, maka kami bunuh pula dia; dan barang siapa yang memotong hidung budaknya, maka kami potong pula hidungnya; dan barang siapa yang mengebiri budaknya, maka kami kebiri pula ia.”
Akan tetapi, jumhur ulama berbeda pendapat dengan mereka. Jumhur ulama mengatakan bahwa orang merdeka tidak dihukum mati karena membunuh budak, karena budak kedudukannya sama dengan barang dagangan; sekiranya seorang budak dibunuh secara keliru (tidak sengaja), maka tidak wajib diat dalam kasusnya, melainkan yang wajib hanyalah membayar harga budak tersebut. Demikian pula halnya dalam kasus pemotongan anggota tubuh, tidak ada hukum balasan; terlebih lagi terhadap jiwa, tidak ada hukuman qisas bagi orang merdeka yang melakukannya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang muslim tidak dihukum mati karena membunuh orang kafir, berdasarkan sebuah hadits shahih yang diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari melalui sahabat Ali yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang muslim tidak dihukum mati karena (membunuh) orang kafir.” Tidak ada suatu hadits atau atsar shahih pun yang bertentangan dengan makna hadits ini. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang muslim tetap dihukum mati karena membunuh orang kafir, karena keumuman surat Al-Maidah ayat 45. Al-Hasan dan ‘Atha’ mengatakan bahwa seorang lelaki tidak dihukum mati karena membunuh seorang wanita, berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 178.
Berbeda dengan jumhur ulama, mereka berpendapat sebaliknya karena berdasarkan surat Al-Maidah ayat 45. Juga berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ yang mengatakan: “Orang-orang muslim itu, darah mereka sebanding (satu sama lainnya).” Al-Al-Laits mengatakan, sekiranya seorang suami membunuh istrinya, maka si suami tidak dikenai hukuman mati hanya karena membunuh istrinya.
Mazhab keempat Imam dan jumhur ulama mengatakan bahwa sejumlah orang terkena hukuman mati semuanya karena membunuh satu orang. Khalifah Umar pernah berkata dalam kasus seorang pelayan yang dibunuh oleh tujuh orang, "Seandainya semua penduduk San'a ikut mengeroyoknya, niscaya aku hukum mati mereka semuanya." Ternyata di masanya itu tidak ada seorang sahabat pun yang menentang pendapatnya; yang demikian itu sama kedudukannya dengan ijma' (kesepakatan).
Telah diriwayatkan dari Imam Ahmad sebuah riwayat yang menyatakan bahwa suatu jamaah tidak dibunuh karena hanya membunuh satu orang, dan tidaklah suatu jiwa itu dihukum mati kecuali karena membunuh satu jiwa lainnya. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnul Munzir, dari Mu'az dan Ibnuz Zubair, Abdul Malik ibnu Marwan, Az-Zuhri, Ibnu Sirin, dan Habib ibnu Abu Sabit.
Kemudian Ibnul Munzir mengatakan bahwa sanad riwayat ini lebih shahih, dan tidak ada hujah bagi orang yang membolehkan menghukum mati suatu jamaah karena hanya membunuh satu orang. Sesungguhnya terbukti adanya suatu riwayat dari Ibnuz Zubair yang menentang pendapat pertama tadi. Untuk itu apabila para sahabat berbeda pendapat, maka jalan keluarnya ialah mempertimbangkannya.
Firman Allah ﷻ: “Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dimaafkan) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (Al-Baqarah: 178)
Mujahid mengatakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya.” (Al-Baqarah: 178) Yakni konsekuensi memberi maaf dalam kasus pembunuhan secara sengaja ialah menerima pembayaran diat. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Abul Aliyah, Abusy Sya'sa, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, ‘Atha’, Al-Hasan, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya. (Al-Baqarah: 178) Bahwa barang siapa yang diberi suatu pemaafan dari saudaranya, yakni saudaranya memilih mengambil diat sesudah berhak menuntut darah, yang demikian itulah yang dimaksud dengan pemaafan.
Selanjutnya disebutkan: “Hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah: 178) Dengan kata lain, pihak si penuntut hendaklah mengikuti cara yang baik bila ia menerima diat, yakni jangan mempersulit dan mengada-ada.
“Dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (Al-Baqarah: 178) Yakni hendaklah si pembunuh membayar diat-nya tanpa membahayakan dirinya, juga tidak boleh menolak.
Telah diriwayatkan oleh Imam Hakim melalui hadits Sufyan, dari Amr, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah hendaklah orang yang diberi maaf menunaikan apa yang diminta pihak si terbunuh dengan cara yang baik.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Abusy Sya'sa, Jabir ibnu Zaid, Al-Hasan, Qatadah, ‘Atha’ Al-Khurra-sani, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Suddi, dan Muqatil ibnu Hayyan. Imam Malik mengatakan di dalam riwayat Ibnul Qasim darinya, yang merupakan pendapat yang terkenal di kalangan mazhabnya. Begitu pula Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, juga Imam Syafii dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, bahwa pihak wali darah tidak mempunyai hak memberi maaf dengan imbalan diat, kecuali dengan kerelaan dari pihak si pembunuh.
Sedangkan ulama lainnya berpendapat, pihak wali darah boleh memaafkan dengan imbalan diat, sekalipun pihak si pembunuh tidak rela. Segolongan ulama Salaf berpendapat bahwa bagi kaum wanita tidak ada hak untuk memberi maaf. Mereka yang mengatakan demikian antara lain Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Ibnu Syabramah, Al-Al-Laits, dan Al-Auza'i; tetapi ulama Salaf lainnya berpendapat berbeda.
Firman Allah ﷻ: “Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan rahmat.” (Al-Baqarah: 178) Yakni sesungguhnya Allah mensyariatkan kepada kalian pembayaran diat dalam kasus pembunuhan sengaja tidak lain hanyalah suatu keringanan dari Allah buat kalian dan merupakan suatu rahmat bagi kalian, yang membebaskan kalian dari apa yang berlaku di kalangan umat-umat terdahulu sebelum kalian, yaitu hukuman mati atau memaafkan secara cuma-cuma.
Seperti yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, telah menceritakan kepadaku Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa diwajibkan atas kaum Bani Israil hukuman qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh tanpa ada pemaafan di kalangan mereka. Maka Allah berfirman kepada umat ini (umat Nabi Muhammad ﷺ): “Diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya.” (Al-Baqarah: 178)
Pemaafan itu ialah menerima diat dalam kasus pembunuhan disengaja. Itu merupakan keringanan ketimbang apa yang diwajibkan atas kaum Bani Israil dan umat-umat sebelum kalian.
“Hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (Al-Baqarah: 178)
Takwil ini telah diriwayatkan tidak hanya oleh seorang saja, melalui Amr. Diketengahkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui Amr ibnu Dinar; hal yang serupa diriwayatkan pula oleh Jamaah melalui Mujahid, dari Ibnu Abbas.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: “Itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian.” (Al-Baqarah: 178) Semoga Allah merahmati umat ini, Allah telah memperkenankan bagi mereka makan hasil diat yang belum pernah dihalalkan kepada seorang pun sebelumnya. Tersebutlah bahwa hukum yang berlaku di kalangan ahli Taurat hanyalah qisas dan pemaafan tanpa diat. Sedangkan dalam syariat ahli Injil, hanya maaf belaka yang dianjurkan kepada mereka. Maka Allah menjadikan bagi umat ini hukum qisas dan pemaafan serta diat. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Jubair, Muqatil ibnu Hayyan, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Firman Allah ﷻ: “Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (Al-Baqarah: 178) Dengan kata lain, barang siapa yang membunuh sesudah mengambil diat dari si terbunuh atau sesudah ia setuju dengan diat, maka baginya siksa Allah yang sangat pedih lagi menyakitkan dan sangat keras. Demikianlah takwil ayat menurut apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, ‘Atha’, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Suddi, dan Muqatil ibnu Hayyan. Kesimpulan dari semuanya itu, yang dimaksud dengan orang yang melampaui batas ialah orang yang membunuh si pembunuh sesudah mengambil diat darinya.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Al-Haris ibnu Fudail, dari Sufyan ibnu Abul Auja, dari Abu Syuraih Al-Khuza'i, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa yang tertimpa musibah pembunuhan atau pelukaan, maka sesungguhnya dia memilih salah satu di antara tiga perkara, yaitu: Adakalanya meng-qisas (pelakunya), adakalanya memaafkannya, dan adakalanya mengambil diat. Dan jika dia menghendaki yang keempat, maka belenggulah kedua tangannya (lakukanlah qisas terhadapnya). Dan barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya.” (Riwayat Imam Ahmad)
Sa'id ibnu Abu Urubah meriwayatkan dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku tidak akan memaafkan seorang lelaki yang membunuh (si pembunuh) sesudah dia mengambil diat (darinya). Dengan kata lain, aku tidak mau menerima diat darinya melainkan kujalankan hukum qisas terhadapnya, tanpa ampun.”
Ayat 179
Firman Allah ﷻ: “Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) kehidupan bagi kalian.” (Al-Baqarah: 179) Allah ﷻ berfirman bahwa di dalam pen-tasyri'-an hukum qisas bagi kalian, yakni membunuh si pembunuh, terkandung hikmah yang besar, yaitu jaminan kelangsungan kehidupan dan terpeliharanya nyawa.
Sesungguhnya seseorang itu apabila mengetahui (jika dia membunuh seseorang, maka ia akan dikenai hukuman mati), niscaya dia akan mencegah dirinya dari melakukan niatnya itu. Di dalam peraturan ini terkandung jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia. Di dalam kitab-kitab terdahulu disebutkan bahwa hukum mati itu lebih meniadakan pembunuhan. Maka pengertian ini diungkapkan oleh Al-Qur'an dengan ungkapan yang lebih fasih, lebih mengena, dan lebih ringkas, yaitu melalui firman-Nya: “Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) kehidupan bagi kalian.” (Al-Baqarah: 179)
Abul Aliyah mengatakan, Allah menjadikan hukum qisas sebagai jaminan kelangsungan kehidupan bagi kalian; karena berapa banyak orang dari kaum laki-laki yang hendak melakukan pembunuhan, tetapi niatnya itu dia urungkan karena takut akan terkena hukum qisas. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu Malik, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Firman Allah ﷻ: “Wahai orang-orang yang berakal, agar supaya kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 179) Allah ﷻ berfirman, "Wahai orang-orang yang berakal, mempunyai pengertian dan pemahaman (tentang ditetapkan-Nya hukum qisas itu) agar supaya kalian sadar dan menghentikan hal-hal yang diharamkan Allah dan semua perbuatan dosa." Takwa merupakan isim (istilah) yang pengertiannya mencakup semua perbuatan taat dan menghentikan hal-hal yang mungkar.
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu melaksanakan kisas, hukuman yang semisal dengan kejahatan yang dilakukan atas diri manusia berkenaan dengan orang yang dibunuh apabila keluarga korban tidak memaafkan pembunuh. Ketentuannya adalah orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, yakni keluarga korban, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, yaitu meminta ganti dengan diat (tebusan) secara baik tanpa niat memberatkan, dan pembunuh hendaknya membayar diat kepadanya dengan baik pula dan segera, tidak menunda-nunda dan tidak mengurangi dari jumlah yang sudah disepakati, kecuali jika keluarga pihak terbunuh memaafkan pembunuh dan juga tidak menuntut diat.
Ketentuan hukum yang demikian itu, yaitu kebolehan memaafkan pembunuh dan diganti dengan diat atau tebusan, adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu supaya tidak ada pembunuhan yang beruntun dan permusuhan dapat dihentikan dengan adanya pemaafan. Barangsiapa melampaui batas setelah itu dengan berpura-pura memaafkan pembunuh dan menuntut diat, tetapi setelah diat dipenuhi masih tetap melakukan pembunuhan terhadap pembunuh, maka ia telah berbuat zalim dan akan mendapat azab yang sangat pedih kelak di akhirat. Ayat ini mengisyaratkan bahwa pemaafan itu tidak boleh dipaksakan, sekalipun memaafkan lebih bagus daripada menghukum balik dengan hukuman yang setimpal.
' Dan Allah menegaskan pada ayat ini bahwa di dalam kisas itu ada jaminan keberlangsungan kehidupan bagimu, wahai manusia. Sebab, jika seseorang menyadari kalau dia akan dibunuh apabila melakukan pembunuhan, maka dia akan memperhitungkan dengan sangat saksama ketika mau melakukan pembunuhan. Isyarat ayat ini ditujukan kepadamu, wahai orang-orang yang berakal yang mampu memahami hikmah adanya hukuman kisas dan memiliki pikiran yang bersih, agar kamu bertakwa, takut kepada Allah apabila melanggar ke-tentuan hukum yang sudah ditetapkan oleh Allah.
.
Ayat ini menetapkan suatu hukuman kisas yang wajib dilaksanakan dengan ketentuan-ketentuan:
1. Apabila orang merdeka membunuh orang merdeka, maka kisas berlaku bagi pembunuh yang merdeka tersebut.
2. Apabila seorang budak membunuh budak (hamba sahaya), maka kisas berlaku bagi budak pembunuh.
3. Apabila yang membunuh seorang perempuan, maka yang terkena hukuman mati adalah perempuan tersebut.
Demikianlah menurut bunyi ayat ini, tetapi bagaimana hukumannya kalau terjadi hal-hal seperti berikut:
a. Apabila orang merdeka membunuh seorang hamba sahaya.
b. Apabila seorang Muslim membunuh seorang kafir zimmi (kafir yang menjadi warga negara Islam).
c. Apabila orang banyak bersama-sama membunuh seorang manusia
d. Apabila seorang laki-laki membunuh seorang perempuan.
e. Apabila seorang ayah membunuh anaknya.
Para ulama memberikan hasil ijtihadnya masing-masing sebagai berikut: Menurut mazhab Hanafi, pada masalah no. 1 dan no. 2 hukumnya ialah bahwa si pembunuh itu harus dihukum mati, walaupun derajat yang dibunuh dianggap lebih rendah dari yang membunuhnya, dengan alasan antara lain:
1) Dari permulaan ayat 178 ini sampai kepada kata-kata al-qatl sudah dianggap satu kalimat yang sempurna. Jadi, tidak dibedakan antara derajat manusia yang membunuh dan yang dibunuh. Sedang kata-kata berikutnya yaitu orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya dan perempuan dengan perempuan, hanyalah sekadar memperkuat hukum, agar jangan berbuat seperti pada masa jahiliah.
2) Ayat ini dinasakhkan (tidak berlaku lagi hukumannya) dengan ayat 45 surah al-Ma'idah/5 yang tidak membedakan derajat dan agama manusia.
Menurut mazhab Maliki dan Syafi'i, pada masalah No. 1 dan No. 2 ini, pembunuh tidak dibunuh, karena persamaan itu adalah menjadi syarat bagi mereka dengan alasan bahwa:
1) Kalimat dalam ayat tersebut belum dianggap sempurna kalau belum sampai kepada kata-kata:
(perempuan dengan perempuan). Jadi merdeka dengan yang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya dan perempuan dengan perempuan. Persamaan itu menjadi syarat, sedang ayat 45 Al-Ma'idah sifatnya umum ditakhsiskan dengan ayat ini.
2) Sabda Rasulullah saw:
Tidak dibunuh orang mukmin karena membunuh orang kafir. (Riwayat al-Bukhari dari Ali bin Abi thalib)
Masalah no. 3: menurut jumhur ulama, semua dihukum mati karena masing-masing telah mengambil bagian dalam pembunuhan. Masalah no. 4 hukumnya sesuai dengan ijmak sahabat, yaitu pembunuh wajib dihukum mati, karena dianggap tidak ada perbedaan yang pokok antara laki-laki dengan perempuan. Masalah no. 5 hukumnya tidak dihukum mati karena membunuh anaknya, sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
Ayah tidak dibunuh karena membunuh anaknya (Riwayat al-Bukhari dari Umar)
Pada masalah yang terakhir ini dan masalah-masalah sebelumnya ditetapkan hukumnya bahwa si pembunuh bebas dari hukuman kisas, tetapi dijatuhkan kepadanya hukuman lain, seperti diat, denda, dan sebagainya, sebagaimana diterangkan secara terinci di dalam kitab-kitab fikih.
Selanjutnya Allah ﷻ menerangkan adanya kemungkinan lain yang lebih ringan dari kisas, yaitu "Barang siapa mendapat suatu pemaafan dari saudara yang terbunuh, maka hendaklah orang yang diberi maaf itu membayar diat kepada saudara (ahli waris) yang memberi maaf dengan cara yang baik." Artinya gugurlah hukuman wajib kisas dan diganti dengan hukuman diat yang wajib dibayar dengan baik oleh yang membunuh.
Kemudian dalam penutup ayat ini Allah memperingatkan kepada ahli waris yang telah memberi maaf, agar jangan berbuat yang tidak wajar kepada pihak yang telah diberi maaf, karena apabila ia berbuat hal-hal yang tidak wajar, maka artinya perbuatan itu melampaui batas dan akan mendapat azab yang pedih di hari kiamat.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
QISHASH
Ayat 178
Dengan ajaran agama Islam, Nabi Muhammad ﷺ telah mempersatukan bangsa Arab yang telah beratus tahun tidak mengenal persatuan karena tidak ada suatu cita untuk mempersatukan. Agama pusaka Nabi Ibrahim sudah tinggal hanya sebutan. Yang penting bagi mereka ialah kabilah sendiri. Di antara kabilah dan kabilah saling berperang. Bermusuh dan berebut tanah penggembalaan ternak atau berebut unta ternak itu sendiri. Niscaya terjadi pembunuhan maka timbullah cakak berbelah di antara suku dan suku atau kabilah dan kabilah. Meranalah suku yang lemah dan kecil, berleluasalah kabilah yang besar dan kuat. Menurut keterangan al-Baidhawi, ahli tafsir yang terkenal, “Di zaman jahiliyyah pernah terjadi pertumpahan darah di antara dua buah persukuan Arab. Yang satu kabilahnya kuat dan yang satu lagi lemah. Maka, terbunuhlah salah seorang dari anggota kabilah kuat itu oleh kabilah yang lemah tadi. Lantaran merasa diri kuat, kabilah yang kuat itu mengeluarkan sumpah, akan mereka balas bunuh, biarpun yang terbunuh di kalangan mereka seorang budak, mereka akan meminta orang yang merdeka. Walaupun yang terbunuh di kalangan mereka seorang perempuan, mereka akan minta ganti nyawa dengan seorang laki-laki."
Riwayat ini juga dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim dan Said bin Jubair. Lantaran itu, hukum qishash zaman jahiliyyah bukan hukum, tetapi balas dendam, yang mereka sebut tsa'r.
Agama Islam pun datang, yaitu di saat perdendaman masih belum habis. Islam tidak dapat membenarkan balas dendam. Islam hanya mengakui adanya hukum qishash, bukan balas dendam. Maka, kalau terjadi lagi pembunuhan manusia atas manusia, tanggung jawab penuntutan hukum bukan saja lagi terletak pada keluarga yang terbunuh, tetapi terletak ke atas pundak orang yang beriman. Balas dendam harus dicegah, yang berutang nyawa harus dibayar dengan nyawa, tetapi pintu maaf selalu terbuka; maka datanglah ayat ini,
“Wahai, orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu hukum qishash pada orang-orang yang terbunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, dan hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan."
Di pangkal ayat ini kita telah mendapat dua kesan. Pertama, urusan penuntutan bela kematian telah diserahkan kepada orang-orang yang beriman. Artinya, kepada masyarakat, masyarakat Islam, Masyarakat Islam mempunyai “syura" (lihat surah asy-Syura: 38) Di zaman ayat turun, yang memimpin masyarakat Islam itu ialah Rasulullah ﷺ sendiri. Ayat ini telah menunjukkan bahwa masyarakat orang yang beriman wajib mendirikan pemerintahan untuk menegakkan keadilan, di antaranya untuk menuntutkan bela atas orang yang mati teraniaya.
Kesan yang kedua ialah bahwa bela nyawa itu mulailah diatur seadil-adilnya. Di antaranya ditunjukkan contoh-contohnya; kalau orang merdeka membunuh laki-laki merdeka, wajiblah dilakukan hukum qishash kepadanya, yaitu dia dibunuh puia. Kalau seorang hamba sahaya membunuh seorang hamba sahaya, dia pun akan dihukum bunuh. Kalau seorang perempuan membunuh seorang perempuan, si pembunuh itu akan dihukum bunuh pula.
Dengan tiga patah kata ini mulailah ditanamkan peraturan yang adil, pengganti peraturan jahiliyyah yang berdasar balas dendam. Di zaman jahiliyyah, sebagai dikatakan tadi, walaupun yang terbunuh itu seorang budak dan yang membunuh itu budak pula, wajiblah tuan dari budak yang terbunuh itu yang membayar dengan nyawanya. Walaupun yang terbunuh perempuan, pembunuhnya perempuan pula, wajiblah yang membayar dengan nyawanya keluarga perempuan itu. Kalau belum, keluarga si terbunuh belumlah merasa puas. Dalam peraturan ini, siapa yang membunuh, itulah yang menjalankan hukum qishash dengan dirinya sendiri. Baik yang terbunuh orang merdeka maupun budak dan yang membunuh orang merdeka pula atau budak, tetapi yang berutang itulah yang membayar. Dalam hal jiwa ganti jiwa itu, dilanjutkan hukum Taurat, sebagaimana tersebut di dalam surah al-Maa'idah: 45, “An-nafsa bin-nafsi (nyawa bayar nyawa)." Ayat ini kemudian turunnya daripada surah al-Baqarah ayat 178 ini.
Dengan ayat ini, nyatalah bahwa hak menuntut kepada si pembunuh supaya dia dibunuh pula masih tetap ada pada keluarga yang terbunuh. Akan tetapi, perjalanan hukum telah mulai di bawah tilikan orang-orang yang beriman di sini ialah hakim. Ini karena dia yang diserahi dan diakui oleh orang-orang yang beriman untuk menjaga perjalanan hukum.
Akan tetapi, ayat ini telah menimbulkan suasana yang berbeda sama sekali dengan zaman jahiliyyah. Panggilan untuk mencari penyelesaian jatuh ke atas pundak tiap-tiap orang-orang yang beriman, termasuk keluarga si pembunuh dan keluarga si terbunuh. Dan, orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara,
“Bahwasanya orangorang yang beriman itu adalah bersaudara."
Maka, kalau masih ada jalan lain selain dari bunuh, yaitu jalan maaf, dalam suasana orang beriman, saudara dengan saudara, adalah sangat diharapkan. Sebab itu, lanjutan ayat berbunyi, “Akan tetapi, barangsiapa yang di-ampunkan untuknya dari saudaranya sebagian maka hendaklah mengikuti dengan yang baik, dan tunaikan kepadanya dengan cara yang baik!' Artinya, jika ada pernyataan maaf dari keluarga yang terbunuh itu, walaupun sebagian, tidak semuanya menyatakan pemberian maaf, hendaklah pernyataan maaf itu disambut dengan sebaik-baiknya. Sehingga dalam susunan ayat disebutkan bahwa yang memberi maaf itu ialah saudaranya. Banyak ahli lughat memberi arti yaitu si pemberi maaf itu, sebagai keluarga dari yang terbunuh ialah memandang bahwa si pembunuh itu saudara sendiri, dia berikan kepadanya maaf. Pada waktu itu, hakim harus menyetujui dan me-nguatkan pernyataan yang mulia itu. Itulah yang dikatakan mengikuti dengan baik. Maka, dengan pemberian maaf, permusuhan dua keluarga telah hilang, malahan telah dianggap bersaudara. Hakim menyambut keputusan kedua keluarga ini dengan baik. Akan tetapi, si pembunuh dengan keluarganya—sebagai orang-orang yang Mukmin pula—harus mengingat kelanjutan, supaya persaudaraan ini menjadi kekal dan dendam kesumat jadi habis. Di sinilah keluar peraturan yang bernama diyat, yaitu harta ganti kerugian. Jaminan harta benda untuk keluarga yang terbunuh. Ini yang disebut diyat yang ditunaikan kepadanya dengan baik, cara yang makruf. Tentu saja secara perdamaian kedua belah pihak dengan disaksikan hakim berapa diyat harus dibayar.
Lantaran itu, jelaslah bahwa dalam hukum pidana pembunuhan. Islam mempunyai tiga taraf: pertama nyawa bayar nyawa, kedua maaf, ketiga diyat.
Dalam qishash perkembangan hukum dalam Islam, ada juga kejadian, diyat itu pun tidak diterimanya karena berkembangnya rasa iman. Ada bapak dari yang terbunuh berkata kepada keluarga yang membunuh, “Anak saya yang satu sudah terbunuh oleh saudaranya sendiri. Saya tidak mau kehilangan dua anak." Ketika akan dibayar diyat, dia berkata, “Yang hilang tidaklah dapat diganti dengan uang. Marilah kita ganti saja dengan ukhuwah yang rapat di antara kita."
Apatah lagi pintu buat memberi maaf tentang diyat ini pun memang ada. Tersebut di dalam surah an-Nisaa': 92,
“Dan diyat yang (wajib) diserahkan kepada keluarganya (keluarga si terbunuh). Kecuali jika mereka (keluarga) itu menyedekahkan." (an-Nisaa': 92)
Maka, berkata ayat selanjutnya, “Demikianlah keringanan dari Tuhanmu dan rahmat!' Moga-moga dengan cara peraturan demikian, persaudaraanmu menjadi kekal, iman menjadi bertambah mendalam, dan pintu berdamai lebih terbuka daripada penuntutan hukum. Memberi ihsan lebih tinggi daripada menuntut hak. Di sini diminta sangat kebijaksanaan hakim.
Akan tetapi, ayat mempunyai ujung lagi,
“Namun, barangsiapa yang (masih) melanggar. sesudah demikian maka untuknya adalah adzab yang pedih."
Sesudah hukum diputuskan, baik secara qishash maupun secara diyat, kalau masih ada yang membunuh, misalnya ada keluarga si terbunuh merasa tidak puas lalu dibunuhnya si pembunuh tadi, padahal sudah selesai dengan bayaran diyat, karena ada di kalangannya yang memberi maaf, atau si pembunuh itu merasa congkak karena tidak jadi dia dihukum bunuh maka tidak pelak lagi adzab yang pedihlah yang akan diterimanya. Artinya, pada waktu itu hakim bertindak melakukan hukum yang tidak mengenal ampun demi menjaga ketenteraman bersama. Hakim dapat membunuh si pembunuh itu. Dan, di akhirat, tentu saja orang yang merusak perdamaian itu mendapat hukum neraka yang pedih pula.
Hukum yang teperinci tentang qishash, maaf, dan diyat ada di dalam kitab-kitab fiqih. Yang dapat disimpulkan di sini ialah hukum pidana Islam tentang qishash lebih banyak diserahkan pada jalan ishlah kedua belah pihak, keluarga pembunuh dan yang terbunuh. Dan, kalau keluarga terbunuh tidak mau menerima diyat, hakim tidak memaksa diyat, melainkan dibunuhlah si pembunuh itu oleh hakim, yakni setelah diselidiki duduk perkara sedalam-dalamnya.
Menurut pengetahuan kita, hukum qishash menurut Al-Qur'an ini masih berjalan sepenuhnya dalam kerajaan Saudi Arabia, Yordaria, Irak, dan Kuwait. Kalau seorang pembunuh telah ditangkap dan diperiksa serta telah terang salahnya, terlebih dahulu ditanya keluarga si terbunuh apakah dia mau memberi maaf dan menerima diyat. Kalau mau akan diadakan penaksiran yang patut. Kalau keluarga itu tidak mau, barulah dijalankan hukum bunuh.
Kita yakin bahwa hukum yang diturunkan Al-Qur'an inilah jalan yang baik. Sekiranya di serata-rata negeri Islam yang berlaku sekarang ialah hukum pidana secara Barat, bukanlah berarti bahwa itulah yang lebih bagus, hanyalah karena beratus tahun lamanya hukum BarAllah yang menguasai negeri-negeri Islam sebab mereka jajah. Akan tetapi, di negeri-negeri Islam yang telah merdeka, di zaman sekarang mulai timbul kembali peninjauan atas hukum dan pembinaan hukum yang sesuai dengan kepribadian bangsa itu sendiri, di antaranya di negeri kita Indonesia. Tidaklah mustahil bahwa perkembangan pikiran kita akan sampai juga kepada cara islam ini; qishash dasar pertama, maaf yang kedua, dan diyat, yaitu ganti kerugian di bawah tilikan hakim, yang ketiga.
Ayat 179
“Dan untuk kamu dalam hal qishash itu ada kehidupan, wahai orang-orang yang mempunyai pikiran dalam."
Artinya, dengan adanya hukum qishash, nyawa bayar nyawa, sebagai hukum tingkat pertama, terjaminlah kehidupan masyarakat. Orang yang akan membunuh berpikir terlebih dahulu sebab dia pun akan dibunuh. Lantaran itu, hiduplah orang dengan aman dan damai, dan dapAllah dibendung kekacauan dalam masyarakat karena yang kuat berlantas angan kepada yang lemah.
Akan tetapi, kalau si pembunuh hanya dihukum misalnya lima belas tahun dan apabila datang hari besar mungkin pula hukumannya dipotong, orang-orang yang telah rusak akhlaknya akan merasa mudah saja membunuh sesama manusia. Ada penjahat yang bahkan lebih senang masuk-keluar penjara, ada yang memberi gelar bahwa penjara itu “hotel prodeo" atau pondokan gratis, dan sebagainya. Sungguh pun demikian, selalu juga ada terdengar ahli-ahli ilmu masyarakat yang meminta supaya hukum bunuh itu ditiadakan. Akan tetapi, apa yang dikatakan Al-Qur'an adalah lebih tepat. Lebih baik dipegang pangkal kata, yaitu utang nyawa bayar nyawa. Adapun membunuh dengan tidak sengaja ataupun dengan sebab-sebab lain, itu dapAllah diserahkan kepada penyelidikan polisi, jaksa, atau hakim sehingga menjatuhkan hukum dapat dengan seadil-adilnya. Namun, meniadakan hukum bunuh sama sekali adalah suatu teori yang terlalu cayah (lengah). Sebab, ahli-ahli penyakit jiwa manusia telah membuktikan memang ada kejahatan jiwa yang hanya dengan hukuman matilah baru dapat dibereskan. Apalagi orang yang telah membunuh, menjadi amat rusak jiwanya, sehingga bila bertengkar sedikit saja, mudah saja dia mencabut belati dan hendak membunuh lagi.
Maka, di akhir ayat dinyatakan kunci yang sebenarnya,
“Supaya kamu semua menjadi orang-orang yang bertakwa."
(ujung ayat 179)