Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُوٓاْ
beriman
أَوۡفُواْ
penuhilah olehmu
بِٱلۡعُقُودِۚ
dengan/akan janji-janji
أُحِلَّتۡ
dihalalkan
لَكُم
bagi kalian
بَهِيمَةُ
binatang
ٱلۡأَنۡعَٰمِ
ternak
إِلَّا
kecuali
مَا
apa
يُتۡلَىٰ
dibacakan
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
غَيۡرَ
bukan/tidak
مُحِلِّي
menghalalkan
ٱلصَّيۡدِ
berburu
وَأَنتُمۡ
dan kalian
حُرُمٌۗ
ihram/mengerjakan haji
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
يَحۡكُمُ
Dia menetapkan hukum
مَا
apa
يُرِيدُ
Dia kehendaki
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُوٓاْ
beriman
أَوۡفُواْ
penuhilah olehmu
بِٱلۡعُقُودِۚ
dengan/akan janji-janji
أُحِلَّتۡ
dihalalkan
لَكُم
bagi kalian
بَهِيمَةُ
binatang
ٱلۡأَنۡعَٰمِ
ternak
إِلَّا
kecuali
مَا
apa
يُتۡلَىٰ
dibacakan
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
غَيۡرَ
bukan/tidak
مُحِلِّي
menghalalkan
ٱلصَّيۡدِ
berburu
وَأَنتُمۡ
dan kalian
حُرُمٌۗ
ihram/mengerjakan haji
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
يَحۡكُمُ
Dia menetapkan hukum
مَا
apa
يُرِيدُ
Dia kehendaki
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji! Dihalalkan bagimu hewan ternak, kecuali yang akan disebutkan kepadamu (keharamannya) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.
Tafsir
Al-Maidah (Hidangan)
(Hai orang-orang yang beriman, penuhilah olehmu perjanjian itu) baik perjanjian yang terpatri di antara kamu dengan Allah maupun dengan sesama manusia. (Dihalalkan bagi kamu binatang ternak) artinya halal memakan unta, sapi dan kambing setelah hewan itu disembelih (kecuali apa yang dibacakan padamu) tentang pengharamannya dalam ayat, "Hurrimat `alaikumul maitatu..." Istitsna` atau pengecualian di sini munqathi` atau terputus tetapi dapat pula muttashil, misalnya yang diharamkan karena mati dan sebagainya (tanpa menghalalkan berburu ketika kamu mengerjakan haji) atau berihram; ghaira dijadikan manshub karena menjadi hal bagi dhamir yang terdapat pada lakum. (Sesungguhnya Allah menetapkan hukum menurut yang dikehendaki-Nya) baik menghalalkan maupun mengharamkannya tanpa seorang pun yang dapat menghalangi-Nya.
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 1-2
Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji itu. Dihalalkan bagi kalian binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepada kalian yaitu tidak dihalalkan berburu ketika kalian sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian melanggar syiar-syiar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan mengganggu binatang-binatang hadyu (hewan kurban) dan binatang-binatang qalaid (hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan pula mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya; dan apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (kalian) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kalian dari Masjidil Haram, mendorong kalian berbuat zalim (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Ayat 1
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Mis'ar, telah menceritakan kepadaku Ma'an dan Auf atau salah seorang dari keduanya, bahwa seorang lelaki datang kepada Abdullah ibnu Mas'ud, lalu lelaki itu berkata, "Berwasiatlah kepadaku." Maka Ibnu Mas'ud mengatakan, "Jika kamu mendengar firman Allah ﷻ yang mengatakan: 'Wahai orang-orang yang beriman.' Maka dengarkanlah baik-baik oleh telingamu, karena sesungguhnya hal itu adakalanya kebaikan yang dianjurkan atau keburukan yang dilarang."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Ibrahim Dahim, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, dari Az-Zuhri yang mengatakan, "Apabila Allah ﷻ berfirman: 'Wahai orang-orang yang beriman.' Maka kerjakanlah oleh kalian, dan Nabi ﷺ termasuk di antara salah seorang dari mereka."
Telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Khaisamah yang mengatakan bahwa semua ayat di dalam Al-Qur'an yang dimulai dengan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman.” Maka ungkapan ini di dalam kitab Taurat berbunyi seperti berikut, "Wahai orang-orang miskin."
Mengenai apa yang diriwayatkan melalui Zaid ibnu Ismail Al-Sa'id Al-Bagdadi, yaitu: Telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah (yakni Ibnu Hisyam), dari Isa ibnu Rasyid, dari Ali ibnu Bazimah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa di dalam Al-Qur'an tiada suatu ayat pun yang dimulai dengan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman” melainkan Ali adalah penghulunya, orang yang paling terhormat, dan pemimpinnya; karena para sahabat Nabi pernah ditegur oleh Al-Qur'an kecuali Ali ibnu Abu Thalib. Sesungguhnya dia tidak pernah ditegur dalam satu ayat pun dari Al-Qur'an. Maka atsar ini berpredikat gharib, lafaznya tidak dapat diterima, dan di dalam sanadnya ada hal yang masih perlu dipertimbangkan lagi. Sehubungan dengan atsar ini Imam Bukhari mengatakan bahwa Isa ibnu Rasyid yang ada dalam sanadnya adalah orang yang tidak dikenal dan hadisnya ditolak.
Menurut kami, dapat dikatakan pula bahwa Ali ibnu Bazimah sekalipun orangnya dinilai tsiqah, tetapi dia adalah orang syi'ah yang ekstrem, dan hadisnya dalam masalah yang semisal dengan hal ini dicurigai, karena itu tidak dapat diterima. Lafal atsar (yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas) yang mengatakan, "Tidak ada seorang sahabat pun melainkan pernah ditegur oleh Al-Qur'an, kecuali Ali." Sesungguhnya lafal ini mengisyaratkan kepada pengertian suatu ayat yang memerintahkan bersedekah sebelum berbicara dengan Rasulullah ﷺ. Karena sesungguhnya banyak ulama yang tidak hanya seorang saja menyebutkan bahwa tidak ada seorang sahabat pun yang tidak mengamalkannya kecuali Ali.
Ayat yang dimaksud ialah firman-Nya: “Apakah kalian takut (akan menjadi miskin) karena kalian memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kalian tiada melakukannya, dan Allah telah memberi tobat kepada kalian.” (Al-Mujadilah: 13) hingga akhir ayat. Penilaian makna ayat ini sebagai teguran masih perlu dipertimbangkan lagi, mengingat ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa perintah dalam ayat ini menunjukkan makna sunat, bukan wajib. Lagi pula hal tersebut telah dimansukh (direvisi) sebelum mereka melakukannya, dan hal ini tidak ada seorang pun dari mereka yang berpendapat berbeda.
Ucapan atsar yang mengatakan, "Bahwasanya Ali belum pernah ditegur oleh satu ayat pun dari Al-Qur'an," masih perlu dipertimbangkan lagi. Karena sesungguhnya ayat yang ada di dalam surat Al-Anfal yang mengandung makna teguran terhadap sikap menerima tebusan (tawanan Perang Badar) mencakup semua orang yang setuju dengan penerimaan tebusan. Dalam masalah ini tidak ada seorang sahabat pun yang luput dari teguran ayat tersebut kecuali Umar ibnul Khattab. Maka dari keterangan di atas dapat disimpulkan lemahnya atsar tersebut.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Mutsanna. telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Al-Laits, telah menceritakan kepadaku Yunus yang mengatakan, "Muhammad ibnu Muslim pernah menceritakan bahwa dia pernah membaca surat Rasulullah ﷺ yang ditujukan kepada Amr ibnu Hazm (amil Najran). Surat tersebut disampaikan oleh Abu Bakar ibnu Hazm. Di dalamnya termaktub bahwa surat ini adalah penjelasan dari Allah dan Rasul-Nya: 'Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji itu' (Al-Maidah: 1) hingga beberapa ayat berikutnya sampai kepada firman-Nya: 'Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungannya'." (Al-Maidah: 4)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, dari ayahnya yang mengatakan, "Inilah manuskrip surat Rasulullah ﷺ yang ada pada kami.
Surat ini ditujukan kepada Amr ibnu Hazm ketika ia diangkat menjadi amil ke negeri Yaman dengan tugas mengajari agama dan sunnah kepada penduduknya serta memungut zakat mereka. Nabi ﷺ menulis sebuah surat kepadanya yang berisikan perintah dan janji. Di dalam surat ini tertulis bahwa dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, ini adalah perintah dari Allah dan Rasul-Nya, 'Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji itu’ (Al-Maidah: 1) Yaitu perjanjian dari Muhammad Rasulullah ﷺ kepada Amr ibnu Hazm, ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman sebagai amil. Nabi ﷺ memerintahkan kepadanya agar bertakwa kepada Allah dalam semua urusannya, karena sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang selalu berbuat kebaikan."
Firman Allah ﷻ: “Penuhilah janji-janji itu.”(Al-Maidah: 1)
Ibnu Abbas dan Mujahid serta lain-lainnya yang tidak hanya seorang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan 'uqud ialah perjanjian-perjanjian.
Ibnu Jarir meriwayatkan akan adanya kesepakatan mengenai makna ini. Ia mengatakan bahwa 'uqud artinya apa yang biasa mereka cantumkan dalam perjanjian-perjanjian mereka menyangkut masalah hilf (perjanjian pakta pertahanan bersama) dan lain-lainnya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji itu.” (Al-Maidah: 1) Yaitu janji-janji itu menyangkut hal-hal yang dihalalkan oleh Allah dan hal-hal yang diharamkan-Nya serta hal-hal yang difardukan oleh-Nya dan batasan-batasan (hukum-hukum) yang terkandung di dalam Al-Qur'an seluruhnya. Dengan kata lain, janganlah kalian berbuat khianat dan janganlah kalian langgar hal tersebut.
Kemudian Allah ﷻ memperkuat hal tersebut dengan sanksi-sanksi yang keras melalui firman-Nya: “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan.” (Ar-Rad: 25) sampai dengan firman-Nya: “Tempat kediaman yang buruk (Jahannam).” (Ar-Ra'd: 25)
Adh-Dhahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Penuhilah janji-janji itu.” (Al-Maidah: 1) Bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang dihalalkan dan yang diharamkan oleh Allah, semua bentuk perjanjian yang diambil oleh Allah atas orang yang mengakui beriman kepada Nabi dan Al-Qur'an, yakni hendaklah mereka menunaikan fardu-fardu yang telah ditetapkan oleh Allah atas diri mereka, berupa perkara halal dan haram.
Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Penuhilah janji-janji itu.” (Al-Maidah: 1) Menurutnya ada enam perkara, yaitu janji Allah, perjanjian pakta, transaksi syirkah, transaksi jual beli, akad nikah, dan janji sumpah.
Muhammad ibnu Ka'b mengatakan bahwa hal tersebut ada lima perkara, termasuk salah satunya ialah sumpah pakta di masa Jahiliah dan syarikat mufawadah. Sebagian ulama menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa tidak ada khiyar majlis dalam transaksi jual beli, yaitu firman-Nya: “Penuhilah janji-janji itu.” (Al-Maidah: 1) Ia mengatakan bahwa makna ayat ini menunjukkan kuatnya suatu transaksi yang telah dinyatakan dan tidak ada khiyar majlis (hak memilih dari penjual dan pembeli yang berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya masih di tempat (majlis) dan belum berpisah) lagi.
Demikianlah menurut mazhab Abu Hanifah dan Imam Malik. Tetapi Imam Syafii dan Imam Ahmad berpendapat berbeda, begitu pula jumhur ulama, Hujah mereka dalam masalah ini ialah sebuah hadits yang disebutkan di dalam kitab Shahihain melalui Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Dua orang yang bertransaksi jual beli masih dalam khiyar selagi keduanya belum berpisah.” Menurut lafal yang lain yang juga oleh Imam Bukhari: “Apabila dua orang lelaki terlibat dalam suatu transaksi jual beli, maka masing-masing pihak dari keduanya boleh khiyar, selagi keduanya belum berpisah.”
Hal ini menunjukkan secara jelas adanya khiyar majlis seusai transaksi jual beli diadakan. Hal ini tidak bertentangan dengan ketetapan transaksi, bahkan khiyar majlis merupakan salah satu dari pendukung transaksi menurut syara'. Dengan menetapi khiyar majlis, berarti melakukan kesempurnaan bagi penunaian transaksi.
Firman Allah ﷻ: “Dihalalkan bagi kalian binatang ternak.” (Al-Maidah: 1)
Yang dimaksud dengan binatang ternak ialah unta, sapi, dan kambing.
Demikianlah menurut Abul Hasan dan Qatadah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Ibnu Jarir mengatakan bahwa demikian pula menurut pengertian orang-orang Arab. Ibnu Umar dan Ibnu Abbas serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang menyimpulkan dalil dari ayat ini akan bolehnya janin ternak bila dijumpai dalam keadaan mati dalam perut induknya yang disembelih. Sehubungan dengan masalah ini terdapat sebuah hadits di dalam kitab-kitab sunnah yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah melalui jalur Mujalid, dari Abul Wadak Jubair ibnu Naufal, dari Abu Sa'id yang mengatakan: Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, bila kami menyembelih unta, sapi. atau kambing yang di dalam perutnya terdapat janin, apakah kami harus membuangnya atau kami boleh memakannya?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Makanlah, jika kalian suka; karena sesungguhnya sembelihan janin itu mengikut kepada sembelihan induknya." Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.
Imam Abu Dawud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yahya ibnu Faris, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Attab ibnu Ba-syir, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Abu Ziyad Al-Qaddah Al-Makki, dari Abuz Zubair, dari Jabir ibnu Abdullah, dari Rasulullah ﷺ yang bersabda: “Sembelihan janin mengikut kepada sembelihan induknya.”
Hadits diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Abu Dawud.
Firman Allah ﷻ: ‘Kecuali yang akan dibacakan kepada kalian.” (Al-Maidah: 1) Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan hal yang akan dibacakan ialah bangkai, darah, dan daging babi. Sedangkan menurut Qatadah, yang dimaksud adalah bangkai dan hewan yang disembelih tanpa menyebut asma Allah padanya. Menurut lahiriahnya hanya Allah yang lebih mengetahui hal yang dimaksud ialah apa yang disebutkan oleh firman-Nya: “Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas,” (Al-Maidah: 3) Karena sesungguhnya sekalipun hal yang disebutkan termasuk binatang ternak, tetapi menjadi haram karena adanya faktor-faktor tersebut.
Dalam ayat berikutnya disebutkan: “Kecuali yang sempat kalian menyembelihnya, dan (diharamkan bagi kalian) yang disembelih untuk berhala.” (Al-Maidah: 3) Binatang yang diharamkan antara lain hewan yang disembelih untuk berhala. Sesungguhnya hewan yang demikian diharamkan sama sekali dan tidak dapat ditanggulangi serta tidak ada jalan keluar untuk menghalalkannya. Karena itulah pada permulaan surat ini disebutkan: “Dihalalkan bagi kalian binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepada kalian.” (Al-Maidah: 1) Yaitu kecuali apa yang akan dibacakan kepada kalian pengharamannya dalam keadaan tertentu.
Firman Allah ﷻ: “(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kalian sedang mengerjakan haji.” (Al-Maidah: 1)
Menurut sebagian ulama, lafal ghaira dibaca nasab karena menjadi hal. Makna yang dimaksud dengan an'am ialah binatang ternak yang pada umumnya jinak, seperti unta, sapi, dan kambing. Juga binatang yang pada umumnya liar, seperti kijang, banteng, dan kuda zebra. Maka hal-hal tersebut di atas dikecualikan dari binatang ternak yang jinak, dan dikecualikan dari jenis yang liar adalah haram memburunya di saat sedang melakukan ihram.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah Kami menghalalkan bagi kalian binatang ternak, kecuali apa yang dikecualikan darinya bagi orang yang mengharamkan berburu secara tetap, padahal binatang tersebut hukumnya haram, karena ada firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa memakannya dengan tidak berbuat zalim dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nahl: 115) Artinya, Kami halalkan memakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan terpaksa memakannya, tetapi dengan syarat ia tidak dalam keadaan memberontak, juga tidak melampaui batas.
Demikian pula ketentuan tersebut berlaku dalam ayat ini (surat Al-Maidah). Yakni sebagaimana Kami halalkan binatang ternak dalam semua keadaan, maka mereka diharamkan berburu dalam keadaan berihram. Sesungguhnya Allah telah memutuskan demikian, Dia Maha Bijaksana dalam semua yang diperintahkan dan yang dilarang-Nya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: “Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (Al-Maidah: 1)
Ayat 2
Selanjutnya Allah ﷻ berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian melanggar syi’ar-sy'iar Allah.” (Al-Maidah: 2)
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan syiar-syiar Allah ialah manasik haji. Menurut Mujahid, Safa dan Marwah, serta hadyu dan budna termasuk syiar-syiar Allah.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan syiar-syiar Allah ialah semua yang diharamkan oleh Allah. Dengan kata lain, janganlah kalian menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah ﷻ. Oleh karena itu, Allah ﷻ berfirman: “Dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram.” (Al-Maidah: 2) Makna yang dimaksud ialah harus menghormatinya dan mengakui keagungannya, dan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah melakukannya di masa-masa itu misalnya memulai peperangan dan lebih dikuatkan lagi melakukan hal-hal yang diharamkan. Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, ‘Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar’." (Al-Baqarah: 217)
Allah ﷻ telah berfirman: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan.” (At-Taubah: 36) hingga akhir ayat.
Di dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan dari Abu Bakrah, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda dalam haji wada': “Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya di hari Allah menciptakan langit dan bumi; satu tahun adalah dua belas bulan; empat bulan di antaranya adalah bulan haram (suci) tiga (di antaranya) berturut-turut, yaitu Zul Qa'dah, Zul Hijjah, dan Muharram serta Rajab Mudar jatuh di antara bulan Jumada dan bulan Sya'ban.”
Hal ini menunjukkan berlangsungnya status haram bulan-bulan haram tersebut sampai dengan akhir waktu (hari kiamat), seperti yang dikatakan oleh mazhab sejumlah ulama Salaf.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram.” (Al-Maidah: 2) Janganlah kalian menghalalkan perang padanya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Muqatil ibnu Hayyan dan Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari, dipilih oleh Ibnu Jarir.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa hal tersebut telah di-mansukh, dan boleh memulai peperangan dalam bulan-bulan haram. Mereka mengatakan demikian berpegang kepada firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka.” (At-Taubah: 5) Makna yang dimaksud ialah empat bulan yang berlaku itu. Mereka mengatakan, tidak disebutkan adanya pengecualian antara bulan-bulan haram dan yang lainnya.
Imam Abu Ja'far meriwayatkan adanya kesepakatan perihal bahwa Allah membolehkan memerangi orang-orang musyrik dalam bulan-bulan haram maupun bulan-bulan lainnya. Abu Ja'far mengatakan bahwa mereka sepakat pula seandainya orang musyrik mengalungkan serat-serat pepohonan tanah suci pada lehernya atau kedua lengannya, maka hal tersebut bukan merupakan keamanan baginya dari pembunuhan, jika dia tidak terikat dengan perjanjian perlindungan atau keamanan dari kaum muslim. Masalah ini memerlukan pembahasan yang lebih luas dan lebih panjang, tetapi tempatnya bukan pada kitab ini.
Firman Allah ﷻ: “Jangan (mengganggu) binatang-binatang hadya dan binatang-binatang qolaid.” (Al-Maidah: 2)
Maksudnya, janganlah kalian tidak ber-ihda (berkurban) untuk Baitullah, karena sesungguhnya hal tersebut mengandung makna mengagungkan syiar-syiar Allah; jangan pula kalian tidak memberinya kalungan sebagai tanda yang membedakannya dari ternak lainnya, agar hal ini diketahui bahwa ternak tersebut akan dikurbankan untuk Kabah. Dengan demikian, maka orang-orang tidak berani mengganggunya. Sekaligus mendorong orang yang melihatnya untuk melakukan hal yang serupa; karena sesungguhnya barang siapa yang menyerukan kepada jalan petunjuk, maka baginya pahala yang serupa dengan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka barang sedikit pun. Untuk itulah ketika Rasulullah ﷺ melakukan haji, terlebih dahulu beliau menginap di Zul Hulaifah, yaitu di lembah Aqiq. Keesokan harinya beliau menggilir semua istrinya yang saat itu ada sembilan orang. Kemudian beliau mandi dan memakai wewangian, lalu shalat dua rakaat Sesudah itu beliau memberi tanda kepada ternak hadyunya dan mengalunginya dengan kalungan tanda, lalu ber-ihlal (berihram) untuk haji dan umrah.
Saat itu ternak hadyu Nabi ﷺ terdiri atas ternak unta yang cukup banyak jumlahnya, mencapai enam puluh ekor, terdiri atas berbagai jenis dan warna yang semuanya baik. Selaras dengan apa yang disebutkan oleh Allah ﷻ melalui firman-Nya: “Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32) Menurut sebagian ulama Salaf, yang dimaksud dengan mengagungkannya ialah memilihnya dari yang baik-baik dan yang gemuk-gemuk. Sahabat Ali ibnu Abu Thalib mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah memerintahkan kepada kami untuk memberikan tanda pada mata dan telinga (ternak hadyunya). Demikianlah menurut riwayat ahlus sunan.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan jangan (pula) binatang-binatang qalaid.” (Al-Maidah: 2) Dengan kata lain, janganlah kalian mengganggunya. Disebutkan bahwa dahulu ahli Jahiliah bila keluar dari tanah airnya di luar bulan-bulan haram, mereka mengalungi dirinya dengan bulu domba dan bulu unta, dan orang-orang musyrik Tanah Suci mengalungi dirinya dengan serat-serat pepohonan Tanah Suci. Karena itu, mereka aman (tidak ada yang berani mengganggunya). Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnul Awwam, dari Sufyan ibnu Husain, dari Al-Hakam, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa telah di-mansukh dari surat Al-Maidah sebanyak dua ayat, yaitu ayat mengenai qalaid dan firman-Nya: “Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka atau berpalinglah dari mereka.” (Al-Maidah: 42) Telah menceritakan kepada kami Al-Munzir ibnu Syazan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, dari Ibnu Auf yang mengatakan, Aku pernah bertanya kepada Al-Hasan (Al-Basri), 'Apakah ada sesuatu yang di-mansukh dari Al-Maidah?' Al-Hasan menjawab, 'Tidak ada'. ‘Atha’ mengatakan bahwa dahulu mereka mengalungi dirinya dengan akar tumbuh-tumbuhan Tanah Suci, karenanya mereka aman. Maka Allah melarang menebang (memotong) pepohonannya." Hal yang sama dikatakan oleh Mutarrif ibnu Abdullah.
Firman Allah ﷻ: “Dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya.” (Al-Maidah: 2)
Artinya, janganlah kalian menghalalkan perang terhadap orang-orang yang mengunjungi Baitullah yang suci dan barang siapa yang memasukinya akan aman. Jangan pula mengganggu orang yang mengunjunginya dengan tujuan mencari karunia Allah dan berharap mendapat rida-Nya. Jangan sekali-kali kalian mcnghalang-halanginya, jangan mencegahnya, jangan pula mengganggunya.
Mujahid, ‘Atha’, Abul Aliyah, Mutarrif ibnu Abdullah, dan Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, dan Qatadah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sedangkan mereka mencari karunia Allah.” (Al-Maidah: 2) Makna yang dimaksud ialah berdagang. Penafsiran ini sama dengan apa yang telah disebutkan sehubungan dengan firman-Nya: “Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian.” (Al-Baqarah: 198)
Mengenai firman-Nya: “Dan keridaan (dari Tuhan kalian).” (Al-Maidah: 2) Menurut Ibnu Abbas, mereka mencari rida Allah melalui ibadah hajinya.
Ikrimah, As-Suddi, dan Ibnu Jarir menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Al-Hatm ibnu Hindun Al-Bakri; dia pernah menyerang ternak milik orang-orang Madinah (merampoknya), kemudian pada tahun berikutnya dia berumrah ke Baitullah. Maka sebagian sahabat bermaksud menghadangnya di tengah jalan yang menuju ke Baitullah. Lalu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya.” (Al-Maidah: 2) Ibnu Jarir meriwayatkan adanya kesepakatan bahwa orang musyrik boleh dibunuh jika ia tidak mempunyai jaminan keamanan, sekalipun dia bertujuan mengunjungi Baitullah yang suci atau Baitul Maadis.
Hukum yang berkaitan dengan mereka (orang-orang musyrik) di-mansukh. Orang yang bertujuan ke Baitullah dengan maksud untuk melakukan ke-mulhid-an, kemusyrikan, dan kekufuran jelas harus dilarang. Allah ﷻ telah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (At-Taubah: 28) Karena itulah Rasulullah ﷺ pada tahun sembilan Hijriah ketika mengangkat Abu Bakar As-Siddiq sebagai amir jamaah haji menugaskan Ali, sebagai ganti dari Rasulullah ﷺ, untuk menyerukan di kalangan manusia agar Baitullah dibersihkan; dan sesudah tahun ini tidak boleh lagi ada orang musyrik melakukan haji, dan tidak boleh ada orang yang tawaf sambil telanjang bulat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah.” (Al-Maidah: 2); Yaitu orang yang menuju ke Baitullah yang suci. Dahulu orang-orang muslim dan orang-orang musyrik sama-sama melakukan haji, dan Allah ﷻ melarang orang-orang mukmin mencegah seseorang dari kalangan mukmin atau orang kafir untuk sampai kepadanya. Sesudah itu Allah ﷻ menurunkan lagi firman-Nya, yaitu:
“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (At-Taubah: 28)
“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah.” (At-Taubah: 17)
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (At-Taubah: 18)
Maka sejak itu orang-orang musyrik diusir dari Masjidil Haram.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan jangan mengganggu binatang-binatang qalaid dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah.” (Al-Maidah: 2); Ayat ini telah di-mansukh. Dahulu seseorang di zaman Jahiliah apabila keluar dari rumahnya dengan maksud melakukan haji, mereka memakai kalung (qiladah, jamaknya qalaid) yang terbuat dari bagian pohon Tanah Suci, maka tiada seorang pun yang berani mengganggunya. Apabila ia pulang, ia memakai kalung dari (pintalan) bulu domba, maka tiada seorang pun yang berani mengganggunya.
Pada masa itu orang musyrik tidak dihalang-halangi datang ke Baitullah. Sedangkan orang-orang muslim telah diperintahkan tidak boleh melakukan peperangan pada bulan-bulan haram, tidak boleh pula melakukannya di dekat Baitullah (Tanah Suci dalam waktu kapan pun). Kemudian hal ini di-mansukh oleh firman-Nya: “Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka.” (At-Taubah 5) Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa firman-Nya: “Dan jangan mengganggu binatang-binatang qalaid.” (Al-Maidah: 2); Artinya, jika mereka (orang-orang musyrik) mengalungi dirinya dengan kalung yang terbuat dari sesuatu dari Tanah Suci, mereka harus diberi jaminan keamanan.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa orang-orang Arab masih tetap mencela orang yang berani melanggar ketentuan tersebut. Salah seorang penyair mereka mengatakan: “Mengapa kamu membunuh dua orang yang sedang menuju ke Tanah Suci, padahal kamu tidak boleh mengganggunya; keduanya lewat memakai kalung dari serat kayu pohon Tanah Suci yang dipintal.”
Firman Allah ﷻ: “Dan apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.” (Al-Maidah: 2)
Jika kalian telah selesai dari ihram dan sudah ber-tahallul, maka Kami perbolehkan kalian mengerjakan hal-hal yang tadinya kalian dilarang sewaktu ihram, seperti berburu.
Hal ini merupakan perintah sesudah larangan. Menurut pendapat yang shahih lagi terbukti jeli dan mendalam, hukum mengenai hal ini dikembalikan kepada hukum semula sebelum ada larangan. Jika sebelum ada larangan hukumnya wajib, maka dikembalikan menjadi wajib. Jika sebelum ada larangan hukumnya sunat, maka dikembalikan menjadi sunat lagi; atau asalnya mubah, maka dikembalikan menjadi mubah. Menurut orang yang berpendapat bahwa hukum hal ini wajib, berarti pendapatnya itu bertentangan dengan banyak ayat lainnya.
Mengenai pendapat orang yang mengatakan bahwa hukumnya adalah mubah (boleh), akhirnya dibantah oleh ayat lain. Sedangkan pendapat yang sesuai dengan dalil-dalil lainnya adalah pendapat yang kami sebutkan tadi, seperti yang dipilih oleh sebagian ulama Usul Fiqh.
Firman Allah ﷻ: “Dan jangan sekali-kali kebencian (kalian) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kalian dari Masjidil Haram, mendorong kalian berbuat zalim (kepada mereka).” (Al-Maidah: 2)
Sebagian ulama qiraat membacanya as-saddukum, dengan harakat fathah pada alif-nya. Maknanya sudah jelas karena berasal dari an (masdariyah), yakni: Jangan sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum yang dahulunya pernah menghalang-halangi kalian untuk sampai ke Masjidil Haram yang terjadi pada tahun perjanjian Hudaibiyah mendorong kalian melanggar hukum Allah terhadap mereka. Lalu kalian mengadakan balas dendam terhadap mereka secara zalim dan permusuhan. Tetapi kalian harus tetap memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian, yaitu bersikap adil dalam perkara yang hak terhadap siapa pun.
Makna ayat ini sama dengan ayat lain yang pembahasannya akan diuraikan kemudian, yaitu firman-Nya: “Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Al-Maidah: 8) Maksudnya, jangan sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk meninggalkan norma-norma keadilan. Sesungguhnya keadilan itu wajib atas setiap orang terhadap siapa pun dalam segala keadaan. Salah seorang ulama Salaf mengatakan, "Selama kamu memperlakukan orang yang durhaka kepada Allah terhadap dirimu dengan perlakuan yang kamu landasi dengan taat kepada Allah dan selalu berlaku adil dalam menanganinya, niscaya langit dan bumi ini masih akan tetap tegak."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Affan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, dari Zaid ibnu Aslam yang menceritakan bahwa dahulu Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya berada di Hudaibiyah ketika orang-orang musyrik menghalang-halangi mereka sampai ke Baitullah. Peristiwa tersebut terasa amat berat bagi mereka. Kemudian lewatlah kepada mereka sejumlah orang dari kalangan kaum musyrik penduduk kawasan timur dengan maksud akan melakukan umrah. Sahabat-sahabat Nabi ﷺ berkata, "Kita halang-halangi mereka sebagaimana teman-teman mereka menghalang-halangi kita." Lalu Allah ﷻ menurunkan ayat ini.
Asy-syana-an artinya kebencian; menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya berakar dari kata syana-iuhu asynau-hu syana-anan, semuanya di-harakat-i, wazan-nya sama dengan lafal jamazan, darajah, raqalan yang berasal dari jamz, daraj, dan raql. Ibnu Jarir mengatakan bahwa di antara orang-orang Arab ada yang menghapuskan harakat alif-nya hingga disebutkan menjadi sya-nan.
Akan tetapi, menurut saya tidak ada seorang pun yang saya ketahui memakai bacaan ini. Termasuk ke dalam bacaan ini perkataan seorang penyair mereka yang mengatakan: “Tiadalah kehidupan ini melainkan apa yang kamu sukai dan kamu senangi, sekalipun dalam menjalaninya dicela dan dikecam oleh orang yang tidak suka.”
Firman Allah ﷻ: “Dan tolong- menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Maidah: 2)
Allah ﷻ memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk saling menolong dalam berbuat kebaikan dan meninggalkan hal-hal yang mungkar; inilah yang dinamakan ketakwaan. Allah ﷻ melarang mereka bantu-membantu dalam kebatilan serta tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan hal-hal yang diharamkan.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa dosa itu ialah meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dikerjakan. Pelanggaran itu artinya melampaui apa yang digariskan oleh Allah dalam agama kalian, serta melupakan apa yang difardukan oleh Allah atas diri kalian dan atas diri orang lain.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Abu Bakar ibnu Anas, dari kakeknya (yaitu Anas ibnu Malik) yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tolonglah saudaramu, baik dalam keadaan berbuat zalim atau dizalimi. Lalu ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, orang ini dapat kutolong jika ia dizalimi. Tetapi bagaimanakah menolongnya jika dia berbuat zalim?" Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Kamu cegah dan kamu halang-halangi dia dari perbuatan zalim, itulah cara menolongnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid melalui hadits Hasyim dengan sanad yang sama dan lafal yang serupa. Keduanya mengetengahkan hadits ini melalui jalur Sabit, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: "Tolonglah saudaramu, baik dia berbuat zalim ataupun dizalimi." Ditanyakan, "Wahai Rasulullah, orang ini dapat aku tolong bila dalam keadaan terzalimi, tetapi bagaimana menolongnya jika dia berbuat zalim?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Kamu cegah dia dari perbuatan zalim, itulah cara kamu menolongnya."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Sa'id, dari Al-A'masy, dari Yahya ibnu Wassab, dari seorang lelaki sahabat Nabi ﷺ yang mengatakan: “Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar dalam menghadapi gangguan mereka lebih besar pahalanya daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar dalam menghadapi gangguan mereka.”
Imam Ahmad meriwayatkannya pula di dalam kitab Musnad Abdullah ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-A'masy, dari Yahya ibnu Wassab, dari seorang syekh sahabat Nabi ﷺ yang mengatakan: “Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar terhadap gangguan mereka lebih besar pahalanya daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar terhadap gangguan mereka.”
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hal yang serupa melalui hadits Syu'bah, dan Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Ishaq ibnu Yusuf; keduanya dari Al-A'masy dengan lafal yang sama.
Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Muhammad Abu Syaibah Al-Kuti, telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Isa ibnul Mukhtar, dari Ibnu Abu Laila. dari Fudail ibnu Amr, dari Abu Wa-il, dari Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Orang yang menunjukkan (orang lain) kepada perbuatan yang baik, sama (pahalanya) dengan pelaku kebaikan itu.”
Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa kami tidak mengetahuinya meriwayatkan hadits kecuali dalam sanad ini.
Menurut kami, hadits ini mempunyai syahid (bukti) dalam kitab shahih, yaitu: “Barang siapa yang mengajak ke jalan petunjuk, baginya pahala serupa dengan semua pahala orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat; hal tersebut tanpa mengurangi pahala mereka barang sedikit pun. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan, baginya dosa yang serupa dengan semua dosa orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat tanpa mengurangi dosa-dosa mereka barang sedikit pun.”
Abul Qasim At-Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zuraiq Al-Himsi, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Anu ibnul Haris, dari Abdullah ibnu Salim, dari -Az-Zubaidi yang mengatakan, "Abbas ibnu Yunus pernah mengatakan bahwa Abul Hasan Namran ibnu Sakhr pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: 'Barang siapa yang berjalan bersama orang yang zalim untuk membantunya, sedangkan dia mengetahui kezalimannya, maka sesungguhnya dia telah keluar dari Islam'.”
Surah ini diawali dengan perintah kepada setiap orang yang beriman agar memenuhi janji-janji yang telah diikrarkan, baik janji kepada Allah maupun janji kepada sesama manusia. Wahai orang-orang yang beriman!
Penuhilah janji-janji, yaitu janji-janji antara manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan dirinya sendiri, selama janji-janji itu tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram. Di antara janji Allah itu ialah hukum-hukum-Nya yang ditetapkan kepadamu, yaitu bahwasanya hewan ternak, yaitu unta, sapi, kambing, dihalalkan bagimu sesudah disembelih secara sah, kecuali yang akan disebutkan kepadamu haramnya, yaitu yang disebut pada ayat ketiga dari surat ini, dan juga dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram haji atau umrah. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum halal dan haram sesuai dengan yang Dia kehendaki, menurut ilmuNya dan hikmah-Nya. Ayat berikut berisi hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan ibadah haji. Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, yakni segala amalan yang dilakukan dalam melaksanakan ibadah haji seperti tata cara melakukan tawaf dan sa'i, serta tempat-tempat mengerjakannya, seperti Kakbah, Safa, dan Marwah, jangan engkau melanggarnya dengan berburu ketika dalam keadaan ihram dan jangan pula melanggar kehormatan bulanbulan haram, yaitu bulan Zulkaidah, Zulhijah, Muharram, dan Rajab, janganlah pula engkau melanggar kehormatannya dengan berperang pada bulan itu kecuali untuk membela diri ketika diserang. Jangan pula mengganggu hadyu, yaitu hewan-hewan kurban yang dihadiahkan kepada Kakbah untuk mendekatkan diri kepada Allah, hewan-hewan itu disembelih di tanah haram dan dihadiahkan dagingnya kepada fakir miskin, dan qala'id, hewan-hewan kurban yang diberi tanda, dikalungi dengan tali sebagai tanda yang menunjukkan bahwa hewan itu telah dipersiapkan untuk dikurbankan dan dihadiahkan, dan jangan pula mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam, untuk melaksanakan ibadah haji atau umrah, mereka mencari karunia berupa keuntungan duniawi, dan keridaan yang berupa ganjaran dari Tuhannya. Akan tetapi, apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu apabila kamu mau. Jangan sampai kebencian sebagian kamu kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari mengunjungi Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas kepada mereka dengan cara membunuh mereka atau melakukan kejahatan kepada mereka. Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan, melakukan yang diperintahkan Allah, dan takwa, takut kepada larangannya, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa, melakukan maksiat dan permusuhan, sebab yang demikian itu melanggar hukum-hukum Allah. Bertakwalah kepada Allah, takut kepada Allah dengan melakukan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, karena sungguh Allah sangat berat siksaan-Nya kepada orang-orang yang tidak taat kepada-Nya.
Permulaan ayat ini memerintahkan kepada setiap orang yang beriman untuk memenuhi janji-janji yang telah diikrarkan, baik janji prasetia hamba kepada Allah, maupun janji yang dibuat di antara sesama manusia, seperti yang bertalian dengan perkawinan, perdagangan dan sebagainya, selama janji itu tidak melanggar syariat Allah, seperti yang disebutkan di dalam hadis yang berbunyi:
"Setiap syarat (ikatan janji) yang tidak sesuai dengan Kitab Allah, adalah batil meskipun seratus macam syarat." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra).
Selanjutnya ayat ini menyebutkan tentang binatang-binatang yang halal dimakan seperti yang tersebut dalam Surah al-Anam/6:143 dan 144, dan melarang memakan sepuluh macam makanan seperti yang tersebut pada ayat ketiga dari Surah ini. Orang yang sedang berihram haji dan umrah atau salah satu dari keduanya tidak dihalalkan berburu binatang buruan darat baik di tanah haram maupun di luarnya dan tidak dihalalkan memakan dagingnya. Bagi orang yang berada di tanah haram sekalipun tidak sedang berihram tidak dihalalkan berburu binatang buruan darat. Demikianlah Allah menetapkan hukum-Nya menurut kehendak-Nya untuk kemaslahatan hamba-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AL-MAA'IDAH
(HIDANGAN)
SURAH KE-5,120 AYAT, DITURUNKAN DI MADINAH
(AYAT 1-82)
Ayat 1
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah, lagi Pengasih.
Allah dalam surah ini akan mulai menerangkan beberapa peraturan hidup yang wajib dijalankan. Hidup menaati peraturan itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang lebih dahulu telah beriman. Sebab itu permulaan ayat ialah, “Wahai orang-orang yang beriman!" Sebab itu dapatlah kita perhatikan bahwa umumnya ayat-ayat yang dimulai dengan seruan, “Wahai sekalian manusia!" adalah umum sifatnya, menyeru manusia supaya beriman kepada Allah, perintah mengerjakan sesuatu atau melarang, mengatur makanan yang halal atau yang haram, mengerjakan puasa, seruan berjihad, dan lain-lain, dimulailah dia dengan seruan kepada orang-orang yang telah beriman. Setelah seruan yang demikian dimulai di pangkal surah ini, lalu dijatuhkanlah perintah yang pertama, yaitu, “Sempurnakanlah ‘Uqud."
Sengaja kalimat itu tidak kita artikan, bahwa kita ambil saja dalam keseluruhannya, karena kalau sudah diterjemahkan, takut ka-lau-kalau kalimat terjemahan itu tidak menepati akan maksud ‘Uqud.
‘Uqud adalah kata banyak (jamak) dari ‘aqd. Menurut keterangan Raghib, arti'aqd adalah mengumpulkan ujung-ujung sesuatu, artinya mengikatkan yang setengah dengan yang setengah, dan dipakai pada tubuh-tubuh yang keras, seumpama mengikat tali, dan mengikat bangunan, kemudian kata ini dipinjam maknanya untuk perikatan jual-beli, perjanjian, dan lain-lain. Demikian kata Raghib.
Jadi arti yang terdekat daripada ‘aqd atau aqad itu dalam bahasa kita ialah ikat. Mungkin kalimat ikat itu berasal dari aqad. Maka tersebutlah mengikat kata ketika berkawin, mengikat janji, mengikat sumpah. Dan ada ungkapan, “Si anu telah terikat oleh katanya sendiri." Sebab itu maka kata ‘aqd yang jamaknya menjadi ‘uqud itu, lebih luas artinya daripada janji, dan janji termasuk di dalamnya. Maka di dalam ayat ini orang yang telah meng-akui dirinya beriman diperintahkan supaya menyempurnakan sekalian ‘uqud yang telah dibuat. Menurut Ibnu Abbas, ‘uqud di sini yang terutama ialah aqad dengan Allah! Sebab apabila kita telah mengaku beriman, niscaya kita akan patuh menjalankan aqad kita dengan Allah, apabila kita telah berkata, “Amantu billahi" aku telah percaya kepada Allah, artinya kita telah bersedia mengikatkan diri kepada sekalian kehendak-Nya. Halalkan barang yang dihalalkan Allah, haramkan barang yang diharamkan-Nya, jalankan apa yang diwajibkan-Nya, demikian pula sekalian batas-batas yang telah ditentukan Allah di dalam Al-Qur'an, jangan sampai dikhianati dan dimungkiri.
Berkata Ali bin Thalhah, “Telah berkata Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan janji di sini ialah memegang setia ketentuan Allah dengan menjauhi apa yang Allah haramkan dan mengerjakan apa yang Allah halalkan yang semua itu telah tertentu dalam Al-Qur'an ."
Zaid bin Aslam berkata, Aqad janji itu ada enam:
1. Janji dengan Allah
2. Sumpah
3. Aqad perkongsian
4. Aqad berjual-beli
5. Nikah-kawin.
6. Aqad pembebasan budak-budak.
Al-Alusi menyalinkan di dalam tafsirnya Ruhul Ma'ani sebagai kesimpulan dari perkataan Raghib al-Ashbahani, ahli bahasa yang terkenal itu, bahwa ‘Uqud ini dapat disimpulkan kepada tiga pokok terbesar.
■ Aqad di antara seorang hamba dengan Allah. Artinya, apabila kita telah mengakui bahwa Allah adalah Tuhan kita, dan tidak ada Tuhan melainkan Allah, artinya kita telah mengikat janji bahwa kita akan tunduk kepada segala yang diperintahkan Allah dengan perantaraan rasul-rasul-Nya dan kitab-kitab suci-Nya.
■ Aqad janji di antara seorang hamba Allah dan dirinya sendiri. Artinya, seorang yang berakal niscaya sadar akan harga diri, lalu dia tunduk kepada ikatan dari akal budi sehingga dia berangsur-angsur menjadi manusia yang baik. Sebab dengan dirinya dia sendiri telah berjanji akan berbuat baik dan menghentikan perbuatan yang buruk.
■ Aqad janji di antara seseorang dengan sesamanya manusia. Artinya, berusaha agar menjadi anggota masyarakat yang memberi faedah kepada sesama manusia karena kesadaran bahwa seorang manusia tidaklah dapat hidup memencilkan diri daripada orang lain.
Bila ditilik 6 pembagian janji yang dike-mukakan oleh Zaid bin Aslam dan pembagian tiga pokok yang ditafsirkan oleh al-Alusi itu, dapatlah kita pahamkan bahwasanya hidup kita di dunia ini adalah tafsiran dari ayat ini memberi kita petunjuk bahwa bukanlah janji dengan Allah saja yang wajib dipenuhi oleh seorang Mukmin, melainkan Mukmin wajib memenuhi dan meneguhi janjinya dengan sesama manusia. Tegasnya kalau seseorang memungkiri janjinya dengan dirinya sendiri atau pun dengan sesama manusia, keluarlah dia dari dalam golongan orang yang beriman. Dan jelaslah bahwa manusia tidak dapat melangsungkan hidupnya di dunia ini, kalau dia tidak menyadari akan ikatan dirinya dengan Allah dan dengan sesama manusia.
Mengakui janji dengan Allah ialah dengan melakukan ibadah. Aqad nikah suami dan istri diteguhi dengan kesetiaan, bertentara diikat oleh disiplin, bernegara diikat oleh undang-undang. Sebab itu ada ikatan undang-undang, ada ikatan budi bahasa. Bahkan ada janji berutang dan berpiutang, yang dipenuhi dengan memegang amanah, bahwa utang mesti dibayar dan piutang mesti diterima. Hubungan antara bangsa (international), terutama dalam negara-negara modern sekarang ini dikuatkan oleh janji-janji.
Tanda tangan yang telah ditaruhkan di atas surah-surah perjanjian adalah nilai tertinggi dari kehormatan bangsa. Dalam filsafat kenegaraan, pujangga Perancis yang terkenal Jean Jeaquis Rosseau berpendapat bahwasanya berdiri suatu negara ialah karena adanya “Kontrak Sosial" di antara segala warga di dalam negara itu.
Dalam pemerintahan Islam disebut bahwa seorang yang diangkat menjadi khalifah kaum Muslimin adalah menerima baiat dari orang-orang yang mengangkatnya. Kedua belah pihak sama mengulurkan tangan; khalifah berjanji bahwa dia akan tetap menjalankan syari'at dengan baik, memelihara keamanan dan keselamatan umat yang menyerahkan kekuasaan kepadanya, dan wakil rakyat yang memberikan baiat itu berjanji pula akan taat kepada pimpinannya, selama dia masih tetap berjalan di dalam garis yang ditentukan oleh syari'at.
Ayat ini menunjukkan bahwa segala macam aqad atau ‘uqud janji dan kontrak, agreement dan sebagainya diakui oleh Islam, dan wajib diteguhi dan dipenuhi. Kalau tidak diteguhi, atau kalau dimungkiri, si pelanggarnya telah melepaskan diri dari ciri-ciri orang yang beriman. Kecuali janji menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Ini dikuatkan oleh sebuah hadits Rasulullah ﷺ yang bunyinya,
“Suatu perdamaian (persesuaian) di antara sesama Muslimin adalah jaiz (dibolehkan), kecuali suatu janji yang menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal. Dan orang-orang Muslimin itu bergantung kepada syarat-syarat yang mereka bikin sendiri." (HR Abu Dawud dan ad-Daruquthni)
Memenuhi janji itu berlaku juga di antara orang Islam dengan yang bukan Islam. Oleh sebab itu, janganlah ada orang Islam yang berpikir bahwa janji dengan pemeluk agama lain boleh saja dimungkiri.
Ketika Rasulullah ﷺ mulai hijrah ke Madinah, beliau telah mengikat janji dengan penduduk Yahudi yang berdiam di Madinah, bahwa akan hidup bertetangga dengan damai. Dan akan sama-sama mempertahankan kota Madinah kalau sekiranya ada serangan musuh yang datang dari luar. Nabi ﷺ selalu setia memegang janji itu, tetapi orang-orang Yahudi itulah kemudian yang mencari segala daya upaya untuk memungkiri janji yang telah diikat itu, sehingga Bani Quraizhah membantu diam-diam orang Quraisy dalam Peperangan Khandaq yang hendak menyerbu Madinah. Karena kesalahan itu, mereka menerima akibat yang pahit sekali.
Dalam Perdamaian Hudaibiyah, Rasulullah ﷺ pun mengikat janji dengan musyrikin Mekah, untuk berdamai 10 tahun lamanya. Tetapi belum berjalan dua tahun, Quraisy sendirilah yang memungkiri janji itu. Ada pun Rasulullah ﷺ memegang teguh setia janji itu, walaupun harus menelan yang pahit. Di antara janji itu ialah kalau ada orang Quraisy lari ke Madinah, wajib dia dikembalikan, tetapi kalau ada orang Madinah pergi ke Mekah, orang Mekah tidak wajib mengembalikan. Nabi pegang teguh janji itu, tetapi namun demikian, sebelum cukup dua tahun, Quraisy sendirilah yang memungkiri janji, Nabi kita tidak merasa terikat lagi oleh janji itu sehingga pada tahun kedelapan hijriyah, Mekah ditaklukkan.
Keteguhan Islam memegang janji itu tetap dapat dilihat buktinya sampai sekarang. Yaitu masih teguhnya agama Nasrani di Mesir, Suriah, dan Palestina dan sampai dapat menguasai Lebanon, Sebab nenek moyang orang Nasrani Arab yang ada sekarang adalah dilindungi oleh janji yang telah diberikan oleh Rasulullah ﷺ kepada mereka dan demikian juga janji perlindungan daripada khalifah-khalifah beliau di belakang beliau. Maka kekuasaan Islam yang datang berganti-ganti sesudah itu terus memegang teguh janji itu.
Di dalam sejarah Islam ada tersebut, bahwa khalifah Abdul Malik bin Marwan, pernah memberikan janji aman kepada seorang musuh politiknya. Artinya, kalau dia datang menyerahkan diri, dia tidak akan diapa-apakan. Tetapi setelah orang itu menyerahkan diri, dia pun ditangkap dan dibunuh. Maka selalulah sejarah mencatat, “Dzalika awwatu ghadarin fit Islami." (Itulah pengkhianatan janji yang pertama terjadi dalam Islam) Perbuatan itu dinamai ghadar. Dan ghadar itu adalah satu aib menghinakan pandangan orang terhadap si pemungkir.
Kemudian itu dicatatlah bahwasanya aqad janji perkawinan adalah aqad yang paling penting, yang wajib mendapat perhatian istimewa.
“Sesungguhnya syarat-syarat yang lebih penting (dari yang lain-lain) untuk dipenuhi ialah syarat-syarat untuk menghalalkan faraj." (HR Imam Ahmad, Bukhari, dan Muslim)
Artinya, faraj (kehormatan) seorang perempuan adalah haram bagi seorang laki-laki. Inilah pokok! Barulah halal setelah diadakan aqad nikah yang terjadi dari ijab wali si perempuan dan qabul si mempelai laki-laki. Itulah soal sebabnya mengapa qadhi-qadhi atau wali-wali memegang tangan bakal suami ketika akan dilakukan aqad nikah, supaya aqad itu lebih kelihatan. Sebelum nikah diaqadkan, si perempuan yang akan menyerahkan dirinya menjadi istri boleh mengemukakan syarat-syarat sebelum dia terikat. Demikian pula laki-laki dapat pula memikirkan lebih dalam jika syarat-syarat yang dikemukakan perempuan itu tidak akan dapat dipenuhinya, lalu dia mengundurkan diri tidak jadi nikah.
Oleh sebab itu, menurut ijtihad dari Imam Ahmad bin Hambal, seorang perempuan sebelum diikat oleh akad itu boleh mengemukakan syarat, bahwa bakal suaminya itu tidak boleh beristri lain. Yang kalau dia beristri lain, jatuh talaknya dan mengganti kerugian sekian banyaknya.. Atau mengemukakan syarat, bahwa dia mau kawin asal saja dia tidak dibawa merantau keluar kampungnya, atau syarat tidak boleh dia dibawa ke rumah lain.
Oleh sebab itu, dapatlah dimengerti bahwasanya syarat-syarat Ta'liq-Talaq yang biasa diperbuat orang ketika aqad nikah, adalah berasal dari isi yang terkandung dalam hadits ini.
Kemudian itu datanglah lanjutan ayat “Dihalalkan bagi kamu binatang ternak."
Di pangkal ayat dijelaskan bahwa orang yang beriman ialah orang-orang yang teguh setia memegang janji. Lanjutan ayat menerangkan bahwa binatang ternak halal dimakan. Sebab mengerjakan haji adalah salah satu peneguh janji dengan Allah.
Haji mempunyai peraturan dan batas-batas tertentu, yang wajib kita penuhi. Kalau kita telah masuk ke dalam suasana haji, banyaklah peraturan yang mesti kita laku' kan dan banyak batas yang tidak boleh kita lampaui. Sungguh pun demikian, Allah menerangkan juga, meskipun kamu sedang asik mengerjakan haji, namun binatang ternak tetap halal kamu makan. Binatang ternak ialah unta, lembu, kambing, dan domba. Kerbau juga termasuk jenis lembu. “Kecuali yang akan dibacakan kepada kamu."Yaitu daftar makanan yang haram dimakan, yang akan disebut kelak pada ayat 3.
Rangkaian kalimat ini menunjukkan bahwa baik di musim haji maupun di luar musim haji, binatang yang halal, yaitu ternak, tetaplah halal. Baik di musim haji maupun di luar musim haji, namun yang terlarang memakannya, tetaplah terlarang. “Dalam keadaan tidak menghalalkan buruan sedang kamu berihram." Artinya, kalau sedang berihram, tetaplah kamu berburu dan memakan hasil perburuan itu. Berihram ialah dua hal. Pertama sedang melakukan umrah atau haji, dengan pakaian ihram yang telah ditentukan. Pada waktu itu, haram berburu dan memakan binatang buruan. Kedua, sedang berada dalam lingkungan Tanah Haram, yang sudah diberi tanda sekeliling kota Mekah. Meskipun telah selesai mengerjakan umrah atau haji, tidak lagi dalam suasana berihram, maka haram juga berburu dalam lingkungan tanah itu. Binatang buruan ialah binatang liar yang telah ditentukan, seumpama kambing hutan, rusa, kijang, dan ayam hutan.
Kota Rasulullah, yaitu kota Madinatul Munawwarah, pun mempunyai pula Tanah Haram demikian. Meskipun di dalam kota Madinah kita tidak mengerjakan haji, tetapi bila kita masuk dalam lingkungan kota itu, kita pun haram pula berburu binatang buruan. Menurut hadits-hadits yang dirawikan oleh Bukhari dari Anas bin Malik, Rasulullah pernah menyatakan bahwa kota Madinah itu pun menjadi Tanah Haram.
“Dari Anis r.a. dari Nabi ﷺ beliau berkata, ‘Madinah adalah Tanah Haram, dari batas sana ke b atas sana. Pohonnya tidak boleh dipotong, dan tidak boleh diperbuat pekerjaan apa-apa di sana. Barangsiapa yang berbuat, maka ke atasnya akan menimpa kutuk Allah dan kutuk malaikat, dan kutuk manusia sekaliannya." (HR Bukhari)
Pekerjaan yang dimaksud di sini ialah berburu binatang buruan.
“Sesungguhnya Allah menghukumkan apa yang Dia kehendaki."
Yaitu bahwasanya Allah sendirilah yang menentukan bahwa menurut kehendak-Nya, mengharamkan mana yang Allah pandang patut diharamkan dan menghalalkan mana yang dipandang-Nya patut dihalalkan.
Sebab Dialah sumber hukum yang mutlak tidak boleh dibantah lagi. Sesuai dengan pangkal ayat, yaitu bahwa orang yang Mukmin telah terikat janji dengan Allah, yaitu akan patuh menuruti perintah, maka tidak ada jalan lain bagi seorang Mukmin hanyalah menerima benih segala ketentuan hukum itu. Dan percaya bila Allah mengadakan suatu peraturan halal atau haram, percayatah bahwa barang yang dihalalkan Allah adalah barang yang baik. Dan bila Allah mengharamkan, percayatah bahwa yang Dia haramkan itu pastilah yang buruk, keji, dan najis. Baik mengenai jasmani maupun mengenai ruhani. Hal ini ada dijelaskan Allah di dalam surah al-A'raaf, ayat 157.
Bahkan di dalam ayat itu dijelaskan lagi bahwa penentuan halal dan haram selalu ada sangkut-pautnya dengan pembebasan jiwa dari ikatan yang selain Allah, supaya langsung berhubungan dengan Allah dan bebas dari belenggu perbudakan lahir dan batin. Di dalam surah itu pun dijelaskan bahwa penentuan menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang keji bukan saja menjadi isi Al-Qur'an, bahkan menjadi isi juga dari Taurat dan Injil.
JANGAN MENGORAK BUHUL
Ayat 2
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu uraikan syiar-syiar Allah."
Tadi sudah kita jelaskan bahwa apabila kita mengerjakan umrah, atau haji, kita terikat oleh beberapa hal yang tidak boleh diurai atau dibuka buhulnya, dengan begitu saja. Apabila kita sedang berada di Tanah Haram, baik Mekah maupun Madinah, kita diikat oleh satu peraturan yang tidak boleh dipandang enteng. Apabila diabaikan peraturan itu, ibarat buhul kita uraikan sesuka hati, berartilah kita memungkiri janji kita dengan Allah.
Di sini terdapat kalimat Sya'a-ir. Artinya ialah pilar-pilar keagamaan, lbnu Abbas menafsirkan dengan manasik, yaitu rukun syarat haji yang mesti dipenuhi. Misalnya memulai ibadah haji dengan melekatkan pakaian ihram di batas perbatasan memulainya, yang dinamai miqat. Tidak boleh mencukur rambut, tidak boleh mendekati istri selama belum selesai wuquf di Arafah atau mabit (bermalam) di Muz-dalifah dan seterusnya. Barulah kita bebas dari lingkungan sya'a-ir apabila kita telah tahallul.
Yaitu selesai semua rukun, lalu kita bercukur rambut dan menyembelih kurban (hadyu) Sebelum rukun-rukun itu selesai, janganlah kita halalkan, artinya janganlah kita uraikan buhul dengan semau-maunya saja.
“Dan jangan pada bulan yang dihormati." Artinya, selain daripada tidak boleh membuat sesuka hati yang dapat merusak manasik haji, di waktu mengerjakan haji dan umrah, atau melanggar ketentuan dalam lingkungan Tanah Haram, jangan pulalah dilanggar kesucian bulan-bulan yang dihormati, janganlah dilakukan peperangan atau perselisihan-perse-lisihan yang bisa mengotori kesucian bulan-bulan yang dihormati itu. Bulan itu ialah empat: (1) Bulan Dzulqa'dah. (2) Bulan Dzul-hijjah. (3) Bulan Muharram. (4) Bulan Rajab. Di zaman jahiliyyah orang Arab telah memutuskan bahwa dalam keempat bulan itu segala peperangan hendaklah berhenti, perselisihan dihentikan. Setelah agama Islam datang, peraturan jahiliyyah yang baik itu diperkuat dengan syari'at Islam.
Pokok pendirian ini dipegang teguh, kecuali kalau terjadi pihak musuh yang memerangi kaum Muslimin terlebih dahulu dalam bulan suci itu, atau mereka yang terlebih dahulu menghalangi umat Muslimin mengerjakan hajinya di bulan itu. Kalau mereka yang memulai, dan peperangan di bulan suci tak dapat dielakkan lagi, niscaya terlalu sia-sia kalau kaum Muslimin tidak bersedia menghadapi tantangan itu. (Hal ini telah kita bicarakan panjang lebar ketika menafsirkan ayat 217 dari surah al-Baqarah. Lihat Juz 2)
Oleh sebab itu, dalam soal berperang di bulan suci ini tidaklah terdapat nasikh dengan mansukh. Kesucian bulan-bulan yang empat itu tetap dipelihara selama-lamanya, kecuali kalau kejadian pihak musuh yang memulai. Sebab itu wajiblah selalu waspada.
“Dan jangan pada binatang kurban dan jangan pada kalungan leher." Di dalam ayat disebutkan al-hadyu dan al-qalaid. Al-hadyu kita artikan binatang-binatang kurban yang khas disediakan untuk pelengkap syiar haji. Binatang-binatang itu yang terdiri dari binatang-binatang ternak, baik unta atau kambing, domba dan sapi, biasanya digiringkan orang dibawa ke tempat penyembelihan, baik di Mina maupun di Mekah sendiri. Binatang-binatang itu dipotong beramai-ramai setelah mengerjakan haji, lalu dibagi-bagikan dagingnya kepada fakir miskin.
Ini pun kita lakukan di negeri-negeri Islam dengan nama binatang kurban di hari kesepuluh sampai hari ketiga belas Dzulhijjah.
Al-Qalaid, artinya ialah kalung leher. Biasanya binatang-binatang yang hendak dijadikan al-hadyu itu dari jauh-jauh hari telah ditandai, yaitu dikalungi lehernya. Ada yang digantungi terompa oleh empunya, dan ada juga yang digantungi daun-daun dan akar-akar kayu. Di waktu Rasulullah mengerjakan Haji Wada' pada tahun kesembilan Hijrah, beliau telah memberi kalung tidak kurang dari 60 ekor binatang ternak. Semuanya disembelih dan dibagi-bagikan dagingnya untuk menggembirakan jamaah haji yang berhaji bersama beliau di tahun itu. Maka dalam ayat ini ditegaskan bahwa binatang-binatang yang telah disediakan untuk al-hadyu itu tidak boleh diganggu lagi, jangan dibelokkan niat kepada yang lain, buat dijual kembali atau disembelih lebih dahulu sebelum waktunya. Dan mana-mana yang telah dikalungi tanda-tanda itu di lehernya, janganlah dicopot kalungnya itu. Misalnya ada orang membawa binatang yang akan disembelih itu satu rombongan besar, lalu tercecer beberapa ekor di tengah jalan, maka barangsiapa yang bertemu janganlah mencopotkan kalung itu, melainkan hendaklah menolong memungut dan membawanya sehingga sampai ke daerah pemyembelihan, di Mina atau di Mekah pada waktunya yang tepat.
“Dan jangan pada orang-orang yang datang berduyun ke rumah yang mulia."
Artinya kafilah-kafilah haji yang datang berduyun berbondong ke tanah suci hendak mengadakan umrah dan haji janganlah sampai diganggu dan dipersukar perjalanannya, jangan diusik, jangan kamu hilangkan keamanan diri dari tiap orang yang datang berduyun menuju rumah yang mulia itu, yaitu Ka'bah, atau Baitullah, atau Masjidil Haram; baik yang datang mengerjakan haji tiap tahun, maupun mengerjakan umrah di luar waktu haji. Biarkanlah mereka mendatangi tempat itu dengan aman dan selamat “Karena mengharapkan kurnia Allah mereka dan keridhaan." Artinya ialah dua hal yang dilakukan orang-orang yang datang berziarah ke Baitullah di Mekah itu, pertama mereka mengharapkan kurnia Allah, yaitu berniaga, kedua mengharapkan keridhaan Allah, yaitu diterima haji dan umrahnya. Badwi-badwi menghalau unta dan kambingnya, lalu dibeli orang, dan mereka pun beribadah, karena mengharap kurnia dan keridhaan Allah.
Ayat ini menunjukkan bahwa berniaga ketika mengerjakan haji dengan niat untuk melepaskan belanja, tidaklah terlarang. Asal saja bukan berniaga yang jadi tujuan manusia, lalu haji menjadi pekerjaan tersambil. “Dan apabila kamu sudah tahallul (dari pekerjaan haji), bolehlah kamu berburuArtinya selesai mengerjakan haji dan pergi berburu ke luar Tanah Haram.
Maka dengan selesainya pekerjaan haji atau umrah dan telah keluar dari daerah Tanah Haram itu, larangan berburu tidak ada lagi. Yang tadinya dilarang, sekarang sudah dibolehkan. Seibarat dilarang berniaga ketika seruan jum'at sudah datang. Maka apabila Jum'at sudah selesai, bolehlah kamu berniaga kembali, bahkan carilah kurnia Allah. Maka apabila telah selesai thawaf dan sa'i dan mencukur rambut atau menggunting, dinamailah tahallul, artinya telah menghalal. Pakaian ihram dibuka dan kembali memakai pakaian biasa.
“Dan janganlah menimbulkan benci padamu penghalangan suatu kaum. Bahwa mereka pernah mengambat kamu daripada Masjidil Haram."
Ayatini sebagaimana diketahui diturunkan ketika Haji Wada'. Kaum Muslimin naik Haji mengiringkan Rasul beramai-ramai. Maka jangan mereka mengingat akan kesalahan orang-orang Mekah itu, yang dahulu pernah
menghambat mereka di Hudaibiyah, sehingga tidak jadi naik umrah tahun itu. Janganlah mereka berdendam kepada orang-orang itu, sebab pada hakikatnya mereka pun sudah takluk, bahkan syukurilah karena sekarang keadaan sudah aman.
Tetapi meskipun sebab nuzul demikian itu, menjadi peringatanlah seterusnya kepada kaum Muslimin, agar meskipun mereka hanya diganggu orang di negeri Mekah itu, pandai-pandailah menahan hati, jangan bertengkar, jangan memperbesar perkara-perkara yang kecil. Hendaklah tiap-tiap orang yang datang tidak membawa dendam. Apatah lagi yang menunggu di sana, hendaklah memelihara keamanan orang yang berhaji.
Kadang-kadang bertemu dalam sejarah betapa aniaya yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Mekah itu kepada orang-orang haji, seumpamanya penyamunan dan pembegalan orang-orang Arab di antara Mekah dan Ma-dinah, cukai dan biaya yang berat dikenakan oleh amir-amir dan raja-raja di Mekah sendiri kepada orang-orang haji, sebagai di zaman syarif-syarif dahulu. Barulah tercapai keamanan setelah kekuasaan diambil oleh kaum Saudi. Moga-moga demikian hendaknya seterusnya sehingga kehendak Allah atas keamanan manusia di Tanah Haram itu terjamin.
“Yang menyebabkan kamu melampaui batas." Maka dendam karena halangan yang pernah ditimpakan orang kepada kamu dahulu itu, janganlah sampai menyebabkan kamu melampaui batas. “Dan bertolong-tolongan-lah kamu atas kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu bertolong-tolongan atas dosa dan permusuhan."
Di tempatnya yang tepat Allah memberi peringatan dan anjuran supaya hidup tolong-menolong. Aku menolong engkau dan engkau pun menolong aku. Allah mempertalikan perintah tolong-menolong ini dalam rangkaian ayat mengerjakan haji ke Mekah, pekerjaan berat yang dikerjakan rombongan besar.
Maka dianjurkan supaya dalam pekerjaan-pekerjaan yang baik, atau kebajikan, yang di dalam surah al-Baqarah ayat 176 dahulu telah diterangkan panjang lebar oieh Allah, mana-mana pekerjaan yang termasuk kebajikan itu. Mengeluarkan harta untuk pekerjaan yang mulia, menghormati ibu bapak dan mengasihi keluarga, memelihara anak yatim, dan menolong fakir miskin, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat, semuanya telah dijelaskan sebagai perbuatan kebajikan. Di dalam ayat ini, bertalian dengan ayat pergi ke Mekah disebut lagi bahwa lebih baik pekerjaan kebajikan dan takwa itu dikerjakan dengan tolong-menolong. Yang berat sama dipikul dan yang ringan sama dijinjing. Sekali lintas misalnya, telah dapat kita pahamkan, seumpama kita orang Indonesia ini yang naik haji ke Mekah tiap tahun. Alangkah sulitnya perjalanan sejauh itu, alangkah ringan perjalanan kalau dapat kita dengan secara tolong-menolong, berjula-jula dan bergotong royong membeli kapal. Berapa ringannya perbelanjaan kalau satu rombongan dapat dengan secara tolong-menolong atau beriyur membeli keperluan-keperluan perjalanan dengan bersama-sama.
Peninjauan kepada maksud ayat ini bisa menjadi meluas kepada perkembangan lebih jauh. Banyak pekerjaan kebajikan yang lain tidak dapat dipikul seorang diri; dengan tolong-menolong baru lancar. Mendirikan langgar atau masjid, mendirikan rumah sekolah, mengatur pendidikan kanak-kanak, mendirikan rumah pemeliharaan orang miskin, mengadakan dakwah agama. Dan 1001 macam pekerjaan kebajikan yang lain, baru dapat diangkat dengan tolong-menolong. Maka timbullah pikiran mendirikan perkumpulan-perkumpulan agama.
Di zaman Rasulullah ﷺ perkumpulan tidak perlu, sebab masyarakat dipimpin oleh beliau sendiri. Apa yang beliau pimpinkan ditaati. Masyarakat Rasul itu sendiri sudah perkumpulan.
Tetapi dalam perjalanan sejarah Islam bertemu suatu masa yang gerak kebangkitan kebajikan hanya bergantung kepada keadaan bersama. Misalnya tatkala tanah air kita ini dijajah oleh bangsa Belanda yang berlain agama dengan kita, akan hanyutlah kebajikan dibawa arus tekanan penjajahan itu kalau tidak ada kesadaran umat Islam sendiri bekerja sama, perkumpulan, (jam'iyah) untuk tolong-menolong menegakkan amal mereka. Teringatlah kita betapa besar jasanya bagi kebajikan Islam di tanah air kita ini dengan berdirinya perkumpulan-perkumpulan Islam sebagaimana Muhammadiyah, Nahdhatul ulama, Sumatera Thawalib, al-Jamiatul Wasliyah, dan lain-lain di waktu itu.
Untuk memahami ayat ini lebih mendalam, perhatikanlah ayat 38 dari surah asy-Syuura. Dalam ayat itu jelas sekali asal mula tumbuhnya masyarakat Islam. Yaitu timbulnya orang-orang yang sudi menyambut segala perintah dan anjuran Allah. Sebagai bukti yang pertama ialah mereka mendirikan shalat.
Tentu saja shalat itu hanya dengan berjamaah. Setelah selesai mereka mengerjakan shalat berjamaah dengan pimpinan seorang imam, mulailah mereka duduk sejenak buat melakukan musyawarah, memecahkan soal-soal yang harus dipercayakan, dan mencari kata mufakat yang bulat, lalu berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing; dalam melancarkan maksud-maksud yang baik selalu meminta kesudian berkorban mengeluarkan perbelanjaan harta benda. Mereka pun tidak merasa keberatan mengeluarkan nafkah belanja melancarkan amal itu, sebab hati mereka telah terikat kepada Allah dengan shalat, dan terikat bermasyarakat dengan adanya jamaah. Dan musyawarah tadi dipimpin oleh orang yang mereka imamkan buat shalat. Di sini timbullah ta'awun, tolong-bertolong.
Maka ayat ini, menurut perkiraan penulis tafsir ini, menjadi alasan yang kuat untuk menganjurkan adanya perkumpuian-perkumpulan dengan tujuan yang baik, laksana klub-klub persahabatan, yang dasarnya diletakkan di masjid, langgar, surau, dan pondok. Supaya di samping beribadah kepada Allah dilakukan pula dengan bertolong-tolongan segala urusan yang mengenai bersama.
Kalimat ta'awanu adalah dari pokok kata (mashdar) mu'awanah yang berarti bertolong-tolongan, bantu-membantu. Lantaran itu maka makna koperasi pun tersimpan di dalamnya.
Diperintahkan hidup bertolong-tolongan, dalam membina al-Birru, yaitu segala ragam maksud yang baik dan berfaedah, yang didasarkan kepada menegakkan takwa; yaitu mempererat hubungan dengan Allah, Dan ditegah bertolong-tolongan atas berbuat dosa dan menimbulkan permusuhan dan menyakiti sesama manusia. Tegasnya, merugikan orang lain. Kemudian di penutup ayat tersebut pula,
“Dan takwalah kamu sekalian kepada Allah, sesungguhnya Allah adalah sangat keras siksaan."
Perhatikanlah kembali susunan kandungan ayat dan pertalian di antara ayat 1 dengan 2 ini. Pangkal ayat 1 dan 2 mengandung seruan kepada orang yang beriman. Disuruh memenuhi janji dan ditunjukkan makanan yang hala! dimakan dan disuruhkan pula memelihara kesucian segala ibadah di tanah suci. Kemudian mereka disuruh pula membentuk masyarakat yang baik atas dasar tolong-menolong, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, dan jangan berkomplot dalam berbuat dosa dan permusuhan. Kemudian itu di ujung ayat, disuruh menegakkan takwa kepada Allah ber-sama-sama. Lalu diberi ancaman, kalau tidak menempuh jalan yang lurus, siksaan Allah mengancam yaitu kesengsaraan dunia dan kecelakaan di akhirat.
Perhatikan pula sekali lagi hubungan ayat pertama yang menyuruh meneguhi segala janji, dan ayat yang kedua yang menyuruh bertolong-tolongan berbuat baik, atas dasar takwa.
Karena meskipun setengah manusia mengakui bahwa dia memang tidak sanggup hidup sendiri, melainkan mesti juga berteguh-teguhan janji dengan orang lain, namun segala janji itu tidak juga ada jaminannya, bahkan mudah saja orang menyia-nyiakan janjinya dengan sesama manusia, kalau tidak ada latar belakang takwa kepada Allah. Ahli-ahli negara yang tidak jujur bisa saja memandang janji yang telah ditanda tanganinya sebagai secarik kertas yang dapat ditafsirkan menurut sesuka hatinya. Seorang wali perempuan menikahkannya dengan seorang lelaki, sehingga perempuan itu telah diserahkan menjadi istrinya, mudah saja dia menyia-nyiakan janji itu karena menurut nafsunya. Manusia mudah saja mencari jalan keluar buat mengelakkan diri dari satu tanggung jawab moral, karena pandainya mempermain-mainkan undang-undang yang tertulis.
Seoranglaki-laki mudah saja mengucapkan lafaz talak kepada istrinya, karena dia tidak suka lagi atau dia telah bosan, dan talak itu sah jatuhnya, kalau tanggung jawab kepada Allah dalam lingkungan takwa tidak ada padanya.
Itu sebabnya, ujung ayat 2 ini merekan sekali lagi tentang pentingnya takwa. Dan memberi peringatan lagi di ujung ayat bagaimana pintarnya manusia mengelak dari satu janji di dunia ini, namun perkaranya akan dibuka sekali lagi di akhirat, dan kesalahan akan mendapat siksaan yang setimpal.
Manusia boleh dipermainkan, bisa diper-main-mainkan, namun Allah tidak.