Ayat
Terjemahan Per Kata
وَكَذَٰلِكَ
dan demikianlah
زَيَّنَ
menjadikan memandang baik
لِكَثِيرٖ
bagi kebanyakan
مِّنَ
dari
ٱلۡمُشۡرِكِينَ
orang-orang musyrik
قَتۡلَ
membunuh
أَوۡلَٰدِهِمۡ
anak-anak mereka
شُرَكَآؤُهُمۡ
sekutu/pemimpin mereka
لِيُرۡدُوهُمۡ
untuk membinasakan mereka
وَلِيَلۡبِسُواْ
dan untuk mencampurkan/mengaburkan
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
دِينَهُمۡۖ
agama mereka
وَلَوۡ
dan jika
شَآءَ
menghendaki
ٱللَّهُ
Allah
مَا
tidak
فَعَلُوهُۖ
mereka mengerjakannya
فَذَرۡهُمۡ
maka tinggalkanlah mereka
وَمَا
dan apa
يَفۡتَرُونَ
mereka ada-adakan
وَكَذَٰلِكَ
dan demikianlah
زَيَّنَ
menjadikan memandang baik
لِكَثِيرٖ
bagi kebanyakan
مِّنَ
dari
ٱلۡمُشۡرِكِينَ
orang-orang musyrik
قَتۡلَ
membunuh
أَوۡلَٰدِهِمۡ
anak-anak mereka
شُرَكَآؤُهُمۡ
sekutu/pemimpin mereka
لِيُرۡدُوهُمۡ
untuk membinasakan mereka
وَلِيَلۡبِسُواْ
dan untuk mencampurkan/mengaburkan
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
دِينَهُمۡۖ
agama mereka
وَلَوۡ
dan jika
شَآءَ
menghendaki
ٱللَّهُ
Allah
مَا
tidak
فَعَلُوهُۖ
mereka mengerjakannya
فَذَرۡهُمۡ
maka tinggalkanlah mereka
وَمَا
dan apa
يَفۡتَرُونَ
mereka ada-adakan
Terjemahan
Demikianlah berhala-berhala mereka (setan) menjadikan terasa indah bagi banyak orang musyrik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan mengacaukan agama mereka sendiri. Seandainya Allah berkehendak, niscaya mereka tidak akan mengerjakannya. Biarkanlah mereka bersama apa (kebohongan) yang mereka ada-adakan.
Tafsir
(Dan demikianlah) sebagaimana telah menjadi kebiasaan mereka apa-apa yang telah disebutkan itu (telah menghiasi kebanyakan orang-orang musyrik memandang baik membunuh anak-anak mereka) dengan cara mengubur mereka hidup-hidup (karena hasutan sesembahan-sesembahan mereka) yang terdiri dari makhluk jin. Dengan dibaca rafa' sebagai fa'il dari fi'il zayyana; dan menurut suatu qiraat dengan dibaca bina maf'ul serta Lafal qatla dibaca rafa', dan dibaca nashab Lafal al-awlaad, berdasarkan bacaan ini Lafal syurakaaihim dibaca jar dengan mengidhafatkannya kepada Lafal al-qatlu; dengan demikian berarti ada fashal/pemisah antara mudhaf dan mudhaf ilaih yang dipisahkan oleh maf'ul, hal ini tidak mengapa, sebab mengidhafatkan Lafal al-qatlu kepada Lafal syurakaa karena merekalah pada hakikatnya yang melakukannya melalui bujukan mereka (untuk membinasakan mereka) untuk memusnahkan mereka (dan untuk mengaburkan) dengan mencampur-adukkan (bagi mereka agamanya. Dan kalau Allah menghendaki niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan).
Tafsir Surat Al-An'am: 137
Dan demikianlah berhala-berhala mereka (setan) telah menjadikan tampak indah bagi kebanyakan orang-orang yang musyrik membunuh anak-anak mereka, untuk membinasakan mereka, dan untuk mengacaukan agama mereka sendiri. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.
Ayat 137
Allah ﷻ berfirman bahwa sebagaimana setan-setan telah menjadikan kepada mereka memandang baik perbuatan mempersembahkan sajian bagi Allah dari suatu bagian tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, maka setan-setan itu pun menjadikan kepada mereka memandang baik membunuh anak-anak mereka sendiri karena takut akan kemiskinan, dan membunuh anak-anak perempuan mereka karena takut terkena aib.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Dan demikianlah berhala-berhala mereka (setan) telah menjadikan tampak indah bagi kebanyakan orang-orang yang musyrik membunuh anak-anak mereka.” (Al-An'am: 137)
Yakni para pemimpin (berhala) mereka telah menjadikan mereka memandang baik membunuh anak-anak mereka sendiri.
Mujahid mengatakan, yang dimaksud dengan ialah setan-setan mereka, yang memerintahkan mereka agar mengubur hidup-hidup anak-anak mereka karena takut jatuh miskin.
As-Suddi mengatakan bahwa setan memerintahkan kepada mereka supaya membunuh anak-anak perempuan mereka, baik karena untuk membinasakan mereka maupun untuk mengaburkan pandangan mereka terhadap agama mereka, sehingga mereka bingung dan pemahaman mereka terhadap agama menjadi kacau.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa maknanya semisal dengan firman Allah ﷻ:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah, Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan berita buruknya yang disampaikan kepadanya.”
(An-Nahl: 58-59)
Sama dengan firman-Nya: “Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?” (At-Takwir: 8-9)
Dahulu mereka sering membunuh anak-anak mereka karena takut kelaparan, yakni takut jatuh miskin atau takut harta mereka menjadi hancur. Maka Allah melarang mereka melakukan perbuatan tersebut, karena sesungguhnya perbuatan itu merupakan hiasan dari setan dan peraturan mereka di masa Jahiliah.
Firman Allah ﷻ: “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya.” (Al-An'am: 137)
Semuanya itu terjadi karena kehendak Allah ﷻ karena di dalamnya terkandung hikmah yang sempurna, yang hanya Dia saja yang mengetahui-Nya. Tidak ada yang bisa menanyakan mengapa Dia melakukan sesuatu, sedangkan mereka pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.
“Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Al-An'am: 157)
Maksudnya, biarkanlah mereka, jauhilah mereka dan apa yang mereka perbuat itu, kelak Allah akan mengadili di antara kamu (Muhammad) dan mereka.
Dan demikianlah berhala-berhala itu membuat sesat kaum musyrik. Selain kesyirikan, berhala-berhala mereka, yaitu setan, baik dari kalangan jin maupun golongan manusia, juga menjadikan terasa indah, maksudnya adalah menganggap baik, bagi banyak orang-orang musyrik membunuh anak-anak mereka dengan dalih berkurban sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ibrahim kepada Ismail. Padahal, sesungguhnya alasan mereka yang sebenarnya hanyalah karena takut miskin. Hal ini mereka lakukan untuk membinasakan anak-anak mereka dan mengacaukan agama mereka sendiri. Dan kalau Allah menghendaki agar mereka tidak mengerjakan perbuatan itu, niscaya mereka tidak akan mengerjakannya. Namun kehendak, ketetapan, dan hikmah-Nya telah menjadikan mereka seba-gai contoh bagi setiap kaum yang memiliki pola pikir buruk seperti mereka. Biarkanlah mereka, wahai Nabi Muhammad, bersama apa, yaitu kebohongan, yang mereka ada-adakan. Orang-orang musyrik itu juga membagi hasil pertanian dan peternakan mereka menjadi tiga macam. Mereka berkata sesuai anggapan mereka, Pertama, inilah hewan ternak dan hasil bumi yang dilarang untuk disentuh oleh siapa pun, tidak boleh dimakan oleh siapa pun, kecuali oleh orang yang kami kehendaki, karena hewan dan hasil bumi ini kami persembahkan untuk berhala-berhala kami. Kedua, dan ada pula hewan yang diharamkan atau tidak boleh ditunggangi seperti bahirah, sa'ibah, washilah, dan ha'm (Lihat: Surah al-Ma'idah/5: 103), dan yang ketiga, ada hewan ternak yang ketika disembelih boleh tidak menyebut nama Allah, tetapi menyebut nama tuhan-tuhan mereka. Perbuatan mereka membagi hasil bumi dan ternak dengan ragam di atas itu sebagai kebohongan terhadap Allah karena mereka telah menisbatkan hal ini kepada-Nya. Padahal, Allah berlepas diri dari perbuatan mereka tersebut. Kelak Allah akan membalas semua yang mereka ada-adakan.
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bagaimana sewenang-wenangnya para pemimpin dan pemuka agama kaum musyrik Mekah, dengan menganjurkan kepada pengikut-pengikutnya agar tidak segan membunuh anak-anak perempuan mereka sendiri dengan alasan yang tidak jelas dan sulit dimengerti. Padahal membunuh anak perempuan sendiri itu bertentangan dengan naluri manusia, dan bertentangan pula dengan cita-cita pembinaan keluarga yang harmonis. Dengan sendirinya bertentangan dengan pembinaan umat yang kukuh dan kuat karena kukuh dan kuatnya suatu umat tergantung kepada kuat dan kukuhnya keluarga-keluarga yang membentuk umat tersebut. Anjuran mereka itu hanya berdasarkan tiga hal:
Pertama: Karena kemiskinan atau takut akan ditimpa kemiskinan. Hal ini diterangkan Allah dalam firman-Nya:
Janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka. (al-An'am/6: 151)
Dalam firman-Nya yang lain:
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar. (al-Isra'/17: 31)
Kedua: Karena takut akan mendapat malu di belakang hari. Mereka membunuh anak-anak mereka yang perempuan dengan menguburnya hidup-hidup, karena anak-anak itu apabila mereka besar nanti mungkin melakukan perbuatan keji dan tercela, atau dirampas menjadi tawanan dan diperbudak, atau kawin dengan laki-laki yang tidak sekufu atau lebih rendah derajatnya dari derajat bapaknya.
Dalam hal ini Allah berfirman:
Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu. (an-Nahl/16: 58-59)
Ketiga: Karena mereka nazar kepada berhala, bahwa mereka akan mengorbankan anak mereka untuk mendekatkan diri kepada berhala-berhala itu. Atau karena alasan lain misalnya kebiasaan mereka bila mereka telah mendapat sejumlah anak akan mengorbankan seorang diantara mereka seperti yang pernah dilakukan Abdul Muththalib kakek Nabi Muhammad ketika dia bersumpah akan mengorbankan Abdullah ayah Nabi Muhammad, apabila ia diberi sepuluh orang anak. Demikianlah anjuran kaum musyrikin yang merusak tabiat dan naluri mereka sebagai manusia yang mempunyai rasa cinta dan kasih sayang kepada anak, sifat yang mulia ini berbalik menjadi kejam. Ia tidak segan-segan membunuh anaknya darah daging sendiri. Demikianlah mereka mengelabui kaumnya sehingga mereka tidak dapat lagi membedakan antara yang baik dan yang buruk, dan mana peraturan agama yang sebenarnya yang harus diikuti dan dilaksanakan. Jika Allah menghendaki, tentulah Allah dapat menahan mereka dari perbuatan yang merusak itu dan mereka tidak akan melakukannya. Oleh sebab itu Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar membiarkan mereka membuat peraturan yang merusak dengan sekehendak hati mereka, karena dengan demikian mereka akan menjadi lemah dan kehilangan kepercayaan terhadap diri mereka sendiri.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 133
“Dan, Tuhan engkau adalah kaya mempunyai rahmat."
Dengan menyebutkan kedua sifat ini, Allah telah menunjukkan kepada hamba-Nya bahwa jika si hamba beramal yang baik, bukanlah karena amalan hamba itu akan menambah kekayaan Allah sehingga bukanlah Allah yang akan rugi jika si hamba tidak mau beramal, melainkan kekayaan Allah-lah yang akan dilimpahkan-Nya kepada hamba-Nya itu, kalau dia suka beramal. Sebab, Allah mempunyai rahmat. Segala perintah dan taklif dari Allah kepada hamba-Nya adalah bagi muslihat diri hamba itu sendiri. Allah tidak memerlukan hamba, melainkan hambalah yang memerlukan Allah. Dan, kedua sifat kaya dan rahmat, hanya ada pada Allah. Hamba Allah tidak ada yang kaya. Kalau ada orang yang disebut kaya-raya, bertambah dia disebut kaya, bertambah nyata kekurangannya. Orang yang disebut kaya rayatah yang paling banyak kekurangan. Sebab, bertambah banyak kekayaan, bertambah terasa belum mencukupi. Orang yang telah mempunyai harta berlimpah-limpah sangat miskin dari rasa aman. Oleh karena itu, dia memerlukan penjagaan, memerlukan dokter, memerlukan pengacara (advokat). Kadang-kadang terlintas dalam pikiran orang yang kaya dengan harta itu, kalau begini beratnya menjadi orang kaya, lebih baik menjadi orang sederhana saja. Kadang-kadang kesehatan pun diganggu oieh kekayaan. Dan, kalau orang lain datang meminta, banyaklah permintaan orang itu yang tidak dapat dikabulkan oleh orang yang disebut kaya karena dia tidak mempunyai. Tatkala malaikat maut hendak mencabut nyawa dari anak kandung si kaya yang sangat dicintainya, walaupun hendak dibayarnya dengan emas sebesar peti, untuk menebus anaknya itu, tidaklah dapat dikabulkan.
Itu sebabnya, yang kaya hanya Allah saja. Adapun makhluk, dalam keadaan yang bagai-mana pun, dia selalu dalam kekurangan. Tepat sekali ungkapan orang, “Bertambah banyak hajat yang diperlukan, bertambahlah miskin orang."
Allah selain kaya, juga mempunyai rahmat. Di dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ menyatakan bahwa Tuhan telah menciptakan rahmat itu 100 banyaknya, dan baru hanya satu bagian yang diturunkan ke dunia ini, adapun yang 99 bagian masih disimpan untuk nanti. Maka, termasuklah di dalam yang satu bagian itu seorang ibu yang tengah enak tidur, tersentak tengah malam dalam saat itu, bila mendengar anaknya menangis. Termasuk dalam itu seketika induk ayam menyimpan anak-anaknya berkumpul ke dalam lindungan sayapnya di bawah pohon karena panas terlalu terik. Setengah ulama menerangkan maksud hadits 100 rahmat, baru satu yang diturunkan, yaitu bahwa rahmat itu terbagi dua, satu bagian yang tetap pada Allah Ta'aala, yang banyaknya tidak terbilang dan satu bagian lagi ialah rahmat pada pelaksanaan. Inilah yang terbagi dalam 100 bagian itu. Sedang yang satu itu pun sudah menggenangi kita tidak terhitung-hitung lagi, yang terasa gejalanya dalam setiap sudut dari kehidupan kita. Hidup itu sendiri adalah puncak rahmat Allah.
Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya,
“Jika Dia kehendaki, niscaya akan dibinasakan-Nya kamu dan diganti-Nya sesudah kamu (dengan) siapa yang Dia kehendaki, sebagaimana telah Dia jadikan kamu dari kelwiunan kaum yang lain."
Bilamana Allah telah menyatakan sifat-Nya, yaitu kaya dan mempunyai rahmat maka lekaslah ambil olehmu kesempatan untuk mendekati Allah itu dengan taat dan setia, beriman dan beramal. Niscaya segala permohonan akan dipertimbangkan-Nya sebab Dia kaya. Dan, rahmat-Nya pun akan dilimpahkan kepadamu sebab Dia mempunyainya dengan cukup. Jikalau perintah-Nya tidak dijalankan, suruhan-Nya tidak dikerjakan, dan larangan-Nya tidak dihentikan, demi kekayaan-Nya, mudah saja bagi-Nya memusnahkan kamu dan mengganti kamu dengan keturunan yang lain.
…yang jauh lebih sanggup melakukan perintah-Nya daripada kamu.
Hendaklah menjadi perhatian bagi Muslim peringatan di dalam ayat ini. Allah itu kaya dan Allah itu melimpahkan rahmat-Nya. Teranglah bahwa kesempatan yang diberikan Allah kepada kita akan hidup selamat di dalam dunia ini tidak lain ialah dari sebab kaya dan rahmat-Nya. Karena ada di antara manusia yang diberi Allah sedikit kekayaan lalu kekayaan yang dipunyainya itu tidak lain adalah anugerah Ilahi dan rahmat-Nya yang sewaktu-waktu bisa saja dicabut-Nya.
Memang, banyak manusia yang lupa kekayaan Allah dan rahmat-Nya bila mereka telah berenang di dalam kekayaan dan rahmat itu. Di dalam ayat ini, Allah memberi ingat bahwa Dia Mahakuasa untuk mencabut nikmat dan rahmat itu kembali jika manusia tidak pandai mempergunakannya, lalu diserahkan kepada barangsiapa yang pandai menerima rahmat itu.
Bila diingat asal mula turun ayat, yaitu di Mekah, pada saat demikian hebat tantangan kepada Rasulullah ﷺ dari kaumnya sendiri, dapatlah kita mengerti tujuan pertama dari ayat ini. Dalam surah-surah yang turun di Mekah ini telah banyak dikisahkan tentang kaum-kaum purbakala yang telah binasa karena menentang Allah dan membantah Rasul. Allah Mahakaya. Bukan Allah yang memerlukan kaum itu, melainkan merekalah yang memerlukan Allah. Mereka dibinasakan Allah, lalu digantikan atau disilihkan Allah dengan umat lain, kadang-kadang tetangga dari umat yang telah hancur itu.
Sebagaimana tersebut di dalam surah Huud ayat 89), Nabi Syu'aib pernah memberi peringatan kepada kaumnya, orang Madyan, agar mereka insaf dan ingat kepada nasib umat-umat dan kaum yang telah binasa sebelum mereka, yaitu kaum Nuh, kaum Hud, kaum Shalih, dan kaum Luth.
Allah mudah saja, sebab Dia kaya, mengganti umat yang durhaka dengan umat baru yang lebih sanggup memikul amanah Allah. Di dalam ayat ini disebutkan pula contoh yang lain. Yaitu, “Sebagaimana yang telah dia jadikan kamu dari keturunan kaum yang lain." Maka, di sini ditunjukkan contoh pemusnahan kaum yang lain, yaitu angkatan bapak yang mempertahankan susunan yang lama dan kolot telah habis, datang angkatan baru, anak mereka sendiri, keadaan pun berubah, suasana bertukar. Pada zaman bapak dahulu keras bertahan kepada kesalahan maka datang zaman anak, mereka pun berubah sama sekali. Mereka mendukung cita-cita perubahan. Dan, apa yang diperingatkan Allah kepada kaum Quraisy itu pada ayat ini benar-benar telah kejadian.
Semua pemimpin penting dari kaum Qu-raisy musnah dalam Peperangan Badar.
Sejak peperangan Badar, berturut-turut orang-orang penting di kalangan mereka binasa. Kemudian, datang angkatan kedua yang jadi Muhajirin, bersama-sama dengan kaum Ashar menjadi pembangun Islam. Dengan gagah berani membela agama Allah, berdiri di samping Rasulullah ﷺ Kemudian itu, di zaman keempat khalifah melebarkan sayap Islam, sampai menaklukkan dua buah kerajaan besar, Romawi dan Persia. Tegaklah Islam selama-lamanya di muka bumi ini.
Kemudian Allah melanjutkan peringatan-Nya pula,
Ayat 134
“Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepada kamu, pastilah datang dan tidaklah kamu akan terlepas."
Pada ayat tersebut diancamkan kepada mereka kemusnahan di dunia maka di ayat ini diancamkanlah kepada mereka kepastian yang akan mereka hadapi di akhirat. Kalau mereka masih tetap mempertahankan kemusyrikan, mereka akan hancur dan digantikan umat yang lain, dan tidak habis hingga itu saja, bahkan di akhirat akan dihadapkan lagi ke hadirat
Allah buat menerima balasan atas dosa yang diperbuat. Hari itu pasti datang dan kamu ti-daklah akan terlepas dari soal-soal yang akan dihadapkan itu dan adzab siksa yang akan diterima di neraka. Ke mana kamu akan lari lagi? Tidak ada jalan lain untuk selamat, melainkan tunduk kepada kebenaran.
Ayat 135
“Katakanlah, wahai kaumku, … Allah kamu merunut kesanggupan kamu, sesung-guhnya aku pun akan beramal."
Dari ayat ini kita mendapat beberapa pelajaran, pertama Allah menyuruhkan Rasul-Nya memakai kata-kata yang mengandung cinta kasih dan mengenangkan kepada kaum musyrikin itu bahwa mereka bukanlah dipandang orang lain oleh Rasul. Oleh karena itu, dimulai dengan ucapan, “Wahai kaumku!" Dengan kata ini, kasih sayanglah yang tampak, bukan kebencian. Yang kedua, diakui kekuatan mereka pada masa itu karena mereka mempunyai makaanat, yaitu banyak kemungkinan sebab mereka berkuasa dan berpengaruh dan banyak harta benda. Bolehlah mereka bekerja terus melanjutkan keyakinan mereka dengan sebab adanya makaanat itu. Sedangkan aku, kata Rasul, akan bekerja pula, dan Rasul tidak menyebut bahwa dia pun mempunyai makaanat sebab dia masih golongan kecil dalam negeri itu dan pengikut-pengikutnya tidak pula orang-orang yang mempunyai kekayaan atau kedudukan penting. Sungguh pun demikian, mari kita sama-sama bekerja.
“Maka akan mengetahuilah kamu, siapakah yang akan ada baginya akibat (baik) di akhirat." Niscaya nanti akan diketahui siapa yang akan beroleh akibat dari hasil yang baik untuk akhirat. Di dalam ayat disebut negeri itu, yaitu di negeri akhirat, pada hari Kiamat yang sudah pasti akan ditemui itu, seperti disebutkan pada ayat 134 tadi. Dan, kemenangan akhirat itu dimulai terlebih dahulu dengan kemenangan dunia seperti disebutkan pada ayat 133. Yaitu, dilimpahi oleh Allah dengan kekayaan dan rahmat-Nya semasa di dunia ini, jika perintah Allah dijalankan. Atau di-hancurkan Allah dan diganti dengan umat lain karena tidak mengacuhkan tuntutan dan hidayat Allah. Kemudian, kebahagiaan surga di akhirat bagi yang mendapat rahmat itu, dan adzab siksa neraka bagi yang melanggar.
Mari kita sama-sama berlomba bekerja. Namun, kalau pekerjaanmu yang salah itu kamu teruskan juga, mentang-mentang mempunyai makaanat, percayatah dari sekarang dan pastikanlah bahwa kamu yang akan kalah dan gagal
“kanena sesungguhnya tidaklah akan beroleh bahagia orang-orang yang zalim."
Sebagaimana dimaklumi kezaliman adalah dari sebab kegelapan. Gelap karena rencananya tidak benar. Gelap karena iman tidak ada di dalam. Gelap dan zalim karena mengerjakan pekerjaan yang tidak diridhai oleh Allah. Dan, kami pasti menang! Karena kami memegang hidayah petunjuk dari Allah.
Di dalam ayat ini Allah berfirman kepada Rasul-Nya menyuruh beliau untuk meneguhkan pendirian dan yakin bahwa apa yang diserukannya itu adalah benar. Beliau membawa seruan dengan jujur dan hidup beliau telah dikurbankan untuk itu. Siang dan malam beliau telah bekerja keras menyampaikan dakwah pada jalan Allah yang benar, tetapi kaumnya masih tetap membantah, menolak, dan tidak mau menerima. Mereka mengemukakan berbagai alasan, padahal alasan itu goyah. Maka dalam ayat ini Allah menyuruh Nabi agar kaumnya bekerja, berusaha, dan berbuatlah, serta beramallah menurut kesanggupan dan kekuatan yang ada padanya. Sedangkan kesanggupan dan kekuatan yang ada pada kaumnya itu tidaklah ada dasarnya yang kuat, selain memperturutkan hawa nafsu dan menyandarkan kekuatan pada banyak bilangan dan besar pengaruh selama ini, terkemuka dalam masyarakat Quraisy, menguasai masyarakat dan memegang kekayaan.
Di dalam ayat ini, Rasulullah menantang, mari kita sama bekerja, dan mari kita lihat akibatnya kelak di belakang hari, siapakah di antara kita yang akan menang, dan berhasil sampai kepada yang dimaksud. Dan di ujung ayat, Nabi Muhammad ﷺ disuruh menegaskan bahwa segala orang yang aniaya, yang zalim, yang perjalanannya tidak tentu arah, betapa pun kuatnya, tetapi akhirnya pasti bahwa tidak dia yang akan menang. Tak pernah orang yang menempuh jalan yang salah beroleh kemenangan. Dan ini adalah sunnatullah, peraturan tetap dari Allah dalam alam ini.
Kafilah Rasulullah belum berhenti berjalan dan padang yang akan ditempuh sangat luas. Dalam segala zaman ada saja pertarungan antara yang hak dengan yang batil. Kerap kali yang batil pada lahirnya mempunyai kekuatan dan kesanggupan. Kuasa di tangannya, sebagaimana kekuatan kaum Quraisy di Mekah di permulaan risalah Nabi. Kekayaan di tangan mereka dan orang yang ingin menegakkan kebenaran Nabi terjepit, tersingkir ke tepi, tetapi dia yakin, dia percaya bahwa yang diperjuangkannya ini adalah benar. Pada saat seperti inilah orang yang mengikuti kafilah Rasulullah itu berpegang pada ayat ini dan mengucapkannya, “Walaupun pada lahirnya kami ini sekarang kelihatan lemah sebab kekuasaan tidak ada pada kami, kekayaan tidak ada pada kami, namun kami tetap kuat."
Kekuatan itu terletak dalam jiwa karena kuatnya aqidah. Aqidah yang benar tidaklah dapat ditawar, tidak dapat dijual, digadaikan atau dihancurkan. Mari kita sama-sama berjalan, kalian berjalan dengan kesanggupan yang ada pada kalian dan kami pun berjalan pula. Namun, kami tahu pasti bahwa kalian dalam perjalanan itu akhir kelaknya akan bertemu jalan buntu, sebab dasarnya di dalam, tidak ada.
Nabi ﷺ tatkala mengucapkan ayat ini di Mekah ialah tatkala kaum Muslimin masih lemah, mempelajari agama dan memperkuat iman masih di tempat yang sembunyi-sembunyi, sedangkan kekuatan, kekayaan dan seluruh kesanggupan ada di tangan Quraisy. Namun, Nabi berkata dengan pasti bahwa akhir kelaknya kalian akan tahu untuk siapa akibat terakhir?
Adibatud-daar ditafsirkan ahli tafsir sebagai “kesudahan negeri", yaitu negeri akhirat. Lantaran tafsir yang demikian, banyak orang yang memahamkan bahwa yang dimaksud ialah kemenangan di akhir saja. Padahal, setengah ahli tafsir lagi memahamkan lebih luas dari itu. Dalam perjuangan Nabi kita Muhammad ﷺ menegakkan kebenaran Ilahi, cita yang mulia ini ialah telah menang dunia dan akhirat. Misalnya, Nabi ﷺ menyampaikan ayat ini ketika beliau masih di Mekah menjadi orang yang terpencil dan akhirnya beliau terpaksa pindah ke Madiriah. Namun, setelah 8 tahun di belakang, runtuhlah segala kekuatan dan kesanggupan Quraisy itu dan datanglah kekuatan dan kesanggupan Islam, di bawah pimpinan Nabi sendiri menaklukkan Mekah dan meruntuhkan berhala yang tersandar sekeliling Ka'bah.
Akan tetapi, diakui pula bahwa perjuangan untuk mencapai aqibatud-daar, takluknya Mekah itu meminta banyak kurban yang tewas terlebih dahulu dan syahid sehingga tidak turut dalam 10 ribu orang tentara Islam ketika menaklukkan Mekah. Itulah pahlawan-pahlawan yang gugur di Perang Badar, Uhud, dan lain-lain, termasuk Hamzah bin Abdul Muthalib.
Ayat yang didengungkan oleh Nabi 14 abad yang lalu ini, masih terlukis dengan jelas sampai sekarang. Dan inilah pegangan kita kaum Muslimin menghadapi segala yang munkar, zhulumat, dan kufur yang meliputi dunia sekarang ini, “Bekerjalah kalian menurut kesanggupan kalian. Dan, kami pun akan bekerja pula menurut kesanggupan yang ada pada kami. Keiak kalian akan tahu sendiri, bagi siapa ‘aqibatud-daar" Kami memastikan bahwa satu pendirian yang salah, yang tidak berdasar dari tuntunan wahyu Ilahi, tidaklah akan menang.
(138) Dan, mereka berkata, “ini adalah binatang-binatang temak dan ladang larangan yang seorang pun tidak boleh memakannya kecuali siapa-siapa yang kami kehendaki," menurut pen-dakwaan dan beberapa binatang temak yang diharamkan menungganginya dan beberapa binatang ternak yang tidak disebut nama Allah (ketika menyembelihnya) karena mengada-adakan atasnya. Maka Dia akan membalas kepada mereka dari apa yang telah mereka ada-adakan itu.
(136) Dan mereka adakan pembagian untuk Allah dari apa yang Dia jadikan; dari ladang dan binatang-binatang temak, seraya mereka berkata, “ini adalah untuk Allah menurut pen-dakwaan mereka dan ini untuk berhala-berhala kami." Namun, apa yang mereka untukkan bagi berhala-berhala itu, tidak sampai kepada Allah. Dan, apa yang untuk Allah maka itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Sangat buruklah apa yang mereka putuskan itu.
(137) Dan demikian pula, diriampakkan bagus pada kebanyakan dari musyrikin itu membunuh anak-anak mereka, oleh sekutu-sekutu mereka karena hendak menjerumuskan mereka dan karena hendak menimbulkan keraguan atas mereka berkenaan dengan agama mereka. Kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah mereka berbuat begitu. Maka, biarkanlah mereka dan biarkanlah apa yang mereka ada-adakan itu.
(139) Dan, mereka berkata, “Apa yang ada di dalam perut binatang-binatang ternak ini adalah halal untuk laki-laki kami dan diharamkan untuk istri-istri kami." Dan jika kandungan binatang-binatang itu mati maka mereka bersekutu padanya. Allah akan membalas kepada mereka tentang aturan yang mereka sifatkan itu. Sesungguhnya, Dia adalah Mahabijaksana lagi Mengetahui.
(140) Sesungguhnya telah rugi orang-orang yang membunuh anak-anak mereka karena pandir dan tidak mempunyai pengetahuan dan telah mereka haramkan apa yang telah dika-runiakan Allah kepada mereka, semata-mata karena dibuat-buat saja dusta atas nama Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat, dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.
Kaum yang musyrik itu telah ditantang, bekerjalah kamu menurut kesanggupan yang begitu luas yang ada padamu, dan aku pun akan bekerja. Namun, kamu tidak akan berhasil, sebab kamu zalim atau gelap. Kezaliman dan kegelapan tidak pernah diberi bahagia oleh Allah. Untuk membuktikan kezaliman atau kegelapan itu maka pada ayat-ayat yang seterusnya ini dikemukakanlah beberapa amal atau pekerjaan mereka yang kacau, yang tidak masuk akal dan tidak berujung berpangkal itu, padahal mereka katakan agama.
Ayat 136
“Dan, mereka adakan pembagian untuk Allah dari apa yang Dia jadikan, dari ladang dan binatang-binatang ternak, seraya mereka berkata, ‘Ini adalah untuk Allah" merunut pendakwaan mereka, dan ini untuk berhala-berhala kami."
Artinya, bahwasanya setengah dari kekarutan ibadah mereka ialah menentukan hasil ladang atau pertanian dan hasil peternakan sebagai suatu persembahan kepada Allah dan kepada berhala mereka. Setelah kedua hasil itu mereka kumpulkan, lalu mereka bagi dua. Sebagian mereka katakan, “Ini untuk Allah" dan untuk yang sebagian lagi mereka katakan, “Ini untuk berhala kami." Ketika mereka mengucapkan perkataan, “Ini adalah untuk Allah," sudah mulailah ditegur di dalam ayat dengan kata, “Menurut pendakwaan mereka." Atau, menurut pengakuan mereka. Padahal pengakuan itu salah! Sebab di pangkal ayat sudah dijelaskan bahwa ladang dan ternak itu Allah yang menjadikan. Meskipun mereka mengatakan “Ini untuk Allah", perkataan mereka itu adalah satu kesalahan besar sebab di samping itu mereka pun berkata, “ini untuk berhala kami." Padahal, yang menjadikan sawah ladang dan ternak itu, sedikit pun berhala tidak ikut campur.
Konon, menurut beberapa riwayat, pembagian yang mereka adakan untuk Allah itu ialah buat diberikan kepada fakir miskin atau untuk menjadi jamuan kepada tetamu. Dan, yang diberikan untuk berhala itu adalah untuk perbelanjaan memelihara berhala dan belanja juru-juru kuncinya. Namun, ada yang ganjil lagi, yaitu, “Tetapi, apa yang mereka untukkan bagi berhala-berhala itu, tidak sampai kepada Allah. Dan apa yang untuk Allah maka itu sampai kepada berhala-berhala mereka."
Artinya, segala pembagian yang telah mereka tentukan untuk berhala itu, tidak sampai kepada Allah, dijaga dengan sangat teliti sehingga semuanya benar-benar masuk ke dalam saku baju atau peti pelayan dan juru kunci berhala. Janganlah orang miskin yang sengsara mendapat pembagian dari yang ditentukan untuk berhala itu. Misalnya, kalau ada orang yang meminta supaya mereka diberi karena miskin, tidak akan diluluskan permintaan itu, dan akan selalu dijawab, “Jangan diminta ini sebab ini adalah kepunyaan tuhan-tuhan berhala kita." Padahal, siapa yang mendapat? Yang kenyang adalah si penyelenggara berhala. Sebaliknya mana-mana yang disebutkan pembagian untuk Allah itu, yang mereka maksudkan untuk dihadiahkan kepada fakir miskin atau untuk tetamu atau orang lain negeri yang datang berziarah. Adapun bagian yang untuk Allah, katanya, ini mudah saja menjadi pembagian untuk berhala. Sebab apa? Sebab yang menerimanya ialah penyelenggara itu juga. Dan, orang miskin yang sepatutnya menerima bagian, yang disebut untuk Allah itu tidaklah mendapat pembagian yang jujur. Cara sekarangnya, yang dikatakan untuk Allah itu selalu saja dikorupsi oleh penguasa berhala.
Di sini terdapatlah dua kesalahan yang besar. Kesalahan yang pertama ialah mengadakan pembagian dua macam, untuk Allah dan untuk berhala. Menjadi kesalahan yang besar sebab telah mempersekutukan yang lain dengan Allah. Kesalahan besar yang kedua adalah kecurangan kepada fakir-miskin
Kaum yang musyrik itu telah ditantang, bekerjalah kamu menurut kesanggupan yang begitu luas yang ada padamu, dan aku pun akan bekerja. Namun, kamu tidak akan berhasil, sebab kamu zalim atau gelap. Kezaliman dan kegelapan tidak pernah diberi bahagia oleh Allah. Untuk membuktikan kezaliman atau kegelapan itu maka pada ayat-ayat yang seterusnya ini dikemukakanlah beberapa amal atau pekerjaan mereka yang kacau, yang tidak masuk akal dan tidak berujung berpangkal itu, padahal mereka katakan agama.
“Sangat buruklah apa yang mereka putuskan itu."
Ayat 137
“Dan demikianlah berhala-berhala mereka (setan) menjadikan terasa indah bagi banyak orang-orang musyrik membunuh anak-anak mereka, untuk membinasakan mereka dan mengacaukan agama mereka sendiri."
Siapakah yang menghias-hiaskan pekerjaan yang sangat buruk ini? Pembujuk itu ialah Syurakaauhum. Ketua-ketua agama agama itu membujuk dan merayu, sampai ada musyrikin itu yang membunuh anaknya. Ada yang membunuh anak laki-laki karena takut akan miskin dan ada yang membunuh anak perempuan karena takut akan mendapat malu. Yang membujuk rayu perbuatan kejam ini, di dalam ayat ini telah dibuka rahasianya, yaitu penyelenggara-penyelenggara berhala atau penguasa agama jahiliyyah itu. Apa maksud mereka berbuat demikian? Maksud mereka adalah semata-mata untuk menanamkan pengaruh. Sebab, kaum musyrikin yang bodoh itu sudah sangat tunduk kepada ketua-ketua agama itu. Teringatlah kita bagaimana guru-guru klenik atau dukun-dukun menanamkan pengaruh kepada para pengikutnya yang bodoh sehingga akal mereka sendiri tidak berjalan lagi. Teringatlah kita bahwa hal serupa ini pernah pula kejadian di salah satu tempat di Jawa Barat, yaitu seorang guru ilmu kebatinan menyuruh seorang perempuan membunuh anaknya sendiri. Katanya untuk dikurbankan sebagai pemujaan kepada Tuhan. Dan, perempuan itu mau saja sampai anaknya disembelihnya. Maksud guru itu tidak lain hendak menanamkan pengaruh kepada jiwa si pengikut, biar si pengikut itu terjerumus, dan biar mereka mengerjakan agama tidak dalam suasana yang tenang tenteram, tetapi selalu di dalam ragu karena bertambah mereka bingung dan ragu, bertambah mendalam pengaruh si guru atau si penguasa berhala.
Selain karena sengaja ingin menanamkan pengaruh itu, ada pula maksud lainnya, yaitu menggaruk keuntungan. Ini pun telah terjadi kepada diri nenek Nabi kita sendiri, Abdul Muthalib bin Hasyim, yang menurut nasihat penguasa berhala, hendaklah anaknya yang paling bungsu dikurbankan untuk kemuliaan berhala sebab anaknya telah mencapai dua belas orang laki-laki. Namun, anak itu bisa diganti dengan unta berapa yang dikehendaki oleh berhala. Setelah diadakan peredaran azlam di muka berhala berkali-kali, barulah berhala itu mau, yaitu setelah berkali-kali azlam dikocok dan menunjukkan bahwa ia meminta unta lebih dari 100 ekor. Kepada siapa unta itu diserahkan? Tentu kepada penguasa berhala. Oleh sebab itu, Nabi Muhammad ﷺ pernah bersenda gurau menyebutkan dirinya putra dari dua orang yang dikurbankan untuk disembelih, yaitu Isma'il dan Abdullah.
Lalu di ujung ayat berfirmanlah Allah,
“Kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah mereka berbuat begitu. Maka, biarkanlah mereka dan biarkanlah apa yang mereka ada-adakan itu."
Allah Mahakuasa buat menghilangkan adat kebiasaan yang buruk itu, tetapi kalau dia masih saja terjadi, lain tidak ialah untuk membuktikan bahwa memang dalam dunia ini selalu ada saja manusia yang bisa diperbodoh sesamanya manusia dan ada saja orang-orang yang hendak menanamkan pengaruh dengan menyebarkan pelajaran-pelajaran yang karut-marut.
Maksud membiarkan di sini bukan saja dibiarkan, bahkan disuruh mereka bekerja menurut kesanggupan mereka, sedang di samping mereka bekerja melanjutkan segala macam kepercayaan yang karut itu, Rasul dan umat beriman pun bekerja pula menegakkan ajaran Allah yang benar. Maka, apabila telah bertandirig yang benar dan yang bercahaya dengan yang salah dan gelap, pastilah yang salah dan gelap itu yang akan kalah dan sirna. Dan, berarti lagi dalam perintah membiarkan itu bahwa di dalam menghadapi kemusyrikan itu janganlah terlalu dihadapkan perhatian pada gejala dan akibat kesalahan, tetapi hadapkanlah pada pokok, baik membagi dua pembagian untuk Allah dan berhala maupun menganjurkan orang membunuh anak, semua itu adalah akibat dari penyakit pokok, yaitu musyrik. Jangan rantingnya ditebas, tetapi uratnyalah yang dibongkar.
Semua itu hanya mereka ada-adakan. Artinya, perkara itu pada hakikatnya tidak ada. Maka, barang yang diada-adakan itu, akhir kelaknya akan hilang sendiri, dimusnahkan oleh hal yang sebenarnya ada. Yang sebenarnya ada itu ialah kebenaran ajaran Allah maka tegakkanlah itu, niscaya yang diada-adakan akan habis sendiri.
Ayat 138
“Dan, mereka berkata, ‘Ini adalah binatang-binatang ternak dan ladang … yang seorang pun tidak boleh memakannya kecuali siapa-siapa yang kami kehendaki, ‘ menurut pendakwaan mereka."
Berikut ini suatu peraturan lagi yang mereka ada-adakan sendiri, yaitu mereka tentukan beberapa binatang ternak atau beberapa tumpuk ladang, diriamai ternak larangan atau ladang larangan. Baik ternak maupun isi ladang itu tidak boleh diganggu, tidak boleh dipotong atau diambil hasilnya oleh siapa pun jua kecuali yang mendapat pengecualian. Tentu saja yang mendapat pengecualian itu adalah ketua-ketua dan penguasa-penguasa berhala tadi. Itu yang pertama, lalu ada pula yang kedua, “Dan, beberapa binatang ternak yang diharamkan menungganginya." Berkata As-Suddi, “Binatang-binatang yang dilarang menunggangi ini ialah yang disebut mereka Bahirah, Saaibah, dan Haam!' Dan ini telah kita terangkan satu demi satu di dalam menafsirkan surah al-Maa'idah ayat 106. Yang ketiga ialah, “Dan beberapa binatang ternak yang tidak disebut nama Allah (ketika menyembelihnya)" Berkata Mujahid, “Ada segolongan unta mereka yang tidak disebut-sebut nama Allah sedikit juga ketika mempergunakan unta itu, baik ketika mereka tunggangi maupun ketika mereka memeras susunya atau ketika dipikuli beban atau ketika dikerahkan untuk kerja-kerja lain." Itulah tiga macam lagi, selain dari macam-macam yang lain tadi. Semuanya itu adalah, “Karena mengada-adakan atasnya." Yaitu, peraturan-peraturan yang mereka buat-buat dan mereka ada-adakan sendiri, tetapi mereka namai menjadi sebagian dari ibadah agama, artinya disangkut-pautkan dengan nama Allah.
“Maka dia akan membalas kepada mereka itu dari apa yang telah mereka ada-adakan itu."
Dengan peringatan yang keras dari Allah ini, teranglah bahwa orang jahiliyyah atau musyrikin itu tadiriya dan dahulunya memiliki agama tauhid. Memang itulah agama pusaka Nabi Ibrahim dan Isma'il yang bernama Hanif. Namun, setelah berlalu masa beribu tahun, datanglah ketua-ketua atau para penyelenggara agama yang di belakang hari menambahi dan mengada-adakan sehingga hilanglah yang asli oleh segala macam tambahan sehingga tidak masuk akal lagi, tetapi tidak tentu siapa yang memulai. Maka, oleh anak-cucu dipertahankan dengan keras, tidak boleh diubah atau dikembalikan ke asal. Siapa yang berusaha mengembalikan ke asal, dimusuhilah mereka. Di ujung ayat ini Allah mengancam bahwa kesalahan mereka itu akan dibalas Allah.
Ayat 139
“Dan, mereka berkata, ‘Apa yang ada di dalam penut-penut binatang-binatang ternak ini adalah halal untuk laki-laki kami dan diharamkan untuk istri-istri kami.'"
Ini satu macam lagi peraturan yang mereka bikin-bikin sampai pada yang masih di dalam perut ada lagi peraturan halal-haram-nya. Menurut suatu riwayat, yang dimaksud dengan binatang ternak di sini ialah yang mereka namai ikthirah atau bahirah dan saibah.
Keduanya unta betina. Susunya hanya boleh diminum oleh orang laki-laki dan dilarang perempuan meminumnya. Dan kalau binatang itu beranak jantan dan hidup, kalau disembelih hanya orang laki-laki saja yang boleh memakan dagingnya, perempuan terlarang. Namun, kalau anak kambing misalnya dilahirkan mati, boleh dagingnya dimakan oleh laki-laki dan perempuan, inilah yang dijelaskan oleh lanjutan ayat, “Dan, jika kandungan binatang-binatang itu mati maka mereka pun bersekutu padanya."
Teranglah bahwa segala peraturan yang mereka anggap sebagai syari'at ini tidak ada sumbernya, tidak ada pengambilannya dari satu peraturan agama melainkan khayatan-khayatan saja dari orang-orang terkemuka dalam agama jahiliyyah itu, lalu dijadikan peraturan yang sakti tidak boleh dilanggar. Maka, ujung ayat memberikan ancaman, “Allah akan membalas kepada mereka tentang aturanyang merekasifatkan itu." Yang mereka sifatkan artinya ialah yang mereka karang-karangkan dengan tidak beralasan dan tidak tumbuh dari akal yang sehat
“Sesungguhnya Dia adalah Mahabijaksana lagi mengetahui."
Artinya, dalam memberikan ganjaran dan balasan yang setimpal atas perbuatan mengada-ada itu, Allah selalu bersifat bijaksana dan teliti, lagi Mengetahui dari mana pangkal pokok kesesatan itu. Alamat utama dari kebijaksanaan Allah ialah diutus-Nya rasul-rasul buat menunjukkan jalan yang terang, membawa peraturan yang langsung dari Allah, supaya manusia dapat menuruti jalan yang digariskan rasul itu dan meninggalkan karut-marut yang lain.
PANDIR
Ayat 140
“Sesungguhnya lelah rugi orang-orang yang membunuh anak-anak mereka karena pandiri dengan tidak mempunyai pengetahuan."
Di ayat 137 di atas tadi telah diterangkan bahwa syurakaa-uhum, yaitu kepala-kepala agama, guru-guru, dukun-dukun dan pendeta-pendeta mereka telah membujuk rayu agar mereka suka membunuh anak-anak mereka baik karena takut akan miskin atau karena apa yang mereka namai pengurbanan karena agama. Maka di dalam ayat ini diterangkan pula bahwa orang yang dapat dibujuk, dirayu, ditipu dan dihias-hiaskan berbuat pekerjaan yang kejam dan ngeri itu ialah orang yang pandir.
Di dalam ayat ini terdapat kata safahan yang kita artikan pandir atau dungu. Pandir, dungu lebih buruk lagi dari jahil. Karena jahil adalah keadaan dari orang yang belum berilmu, tetapi safahan yang kita artikan pandir atau dungu ialah orang yang akalnya tidak bisa berjalan. Sudah nyata, misalnya bahwa membunuh anak kandung sendiri terang merugikan, tetapi oleh karena ter-pesona oleh bujuk rayu “berhala-berhala hidup", yaitu dukun dan pendeta tadi, mereka pun menurut saja.
Karena dungu dan pandir, mereka mau membunuh anaknya sendiri. Karena bodoh dan pandir, mereka mau saja menurut peraturan-peraturan yang dibikin-bikin oleh syurakaa itu. Ini dilanjutkan oleh ayat, “Dan, telah mereka haramkan apa yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka, semata-mata karena dibuat-buat saja dusta di atas nama Allah."
Mereka mau membunuh anak sendiri karena pandir. Mereka pun mau menurut saja menjalankan berbagai macam peraturan yang jauh dari agama karena pandir. Mereka namai binatang ternak, ada saibah, bahirah, dan lain-lain nama karena pandir. Mereka buat peraturan hanya laki-laki yang boleh makan daging tertentu, sedangkan perempuan dilarang karena pandir sehingga karunia Ilahi mereka haramkan atas diri mereka sendiri. Mereka diperbodoh, diperpandir, diperdungu oleh pemimpin-pemimpin mereka sendiri.
“Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk."
(ujung ayat 140)