Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَا
jangan
يَسۡخَرۡ
memperolok-olok
قَوۡمٞ
suatu kamu
مِّن
dari
قَوۡمٍ
kaum
عَسَىٰٓ
boleh jadi
أَن
bahwa
يَكُونُواْ
adalah mereka
خَيۡرٗا
lebih baik
مِّنۡهُمۡ
dari pada mereka
وَلَا
dan jangan
نِسَآءٞ
wanita
مِّن
dari
نِّسَآءٍ
wanita
عَسَىٰٓ
boleh jadi
أَن
bahwa
يَكُنَّ
mereka adalah
خَيۡرٗا
lebih baik
مِّنۡهُنَّۖ
dari mereka
وَلَا
dan jangan
تَلۡمِزُوٓاْ
kamu mencela
أَنفُسَكُمۡ
diri kalian sendiri
وَلَا
dan jangan
تَنَابَزُواْ
kamu panggil memanggil
بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ
dengan julukan
بِئۡسَ
seburuk-buruk
ٱلِٱسۡمُ
nama
ٱلۡفُسُوقُ
fasik
بَعۡدَ
sesudah
ٱلۡإِيمَٰنِۚ
keimanan
وَمَن
dan barang siapa
لَّمۡ
tidak
يَتُبۡ
berbuat
فَأُوْلَٰٓئِكَ
maka mereka itu
هُمُ
mereka
ٱلظَّـٰلِمُونَ
orang-orang yang zalim
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَا
jangan
يَسۡخَرۡ
memperolok-olok
قَوۡمٞ
suatu kamu
مِّن
dari
قَوۡمٍ
kaum
عَسَىٰٓ
boleh jadi
أَن
bahwa
يَكُونُواْ
adalah mereka
خَيۡرٗا
lebih baik
مِّنۡهُمۡ
dari pada mereka
وَلَا
dan jangan
نِسَآءٞ
wanita
مِّن
dari
نِّسَآءٍ
wanita
عَسَىٰٓ
boleh jadi
أَن
bahwa
يَكُنَّ
mereka adalah
خَيۡرٗا
lebih baik
مِّنۡهُنَّۖ
dari mereka
وَلَا
dan jangan
تَلۡمِزُوٓاْ
kamu mencela
أَنفُسَكُمۡ
diri kalian sendiri
وَلَا
dan jangan
تَنَابَزُواْ
kamu panggil memanggil
بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ
dengan julukan
بِئۡسَ
seburuk-buruk
ٱلِٱسۡمُ
nama
ٱلۡفُسُوقُ
fasik
بَعۡدَ
sesudah
ٱلۡإِيمَٰنِۚ
keimanan
وَمَن
dan barang siapa
لَّمۡ
tidak
يَتُبۡ
berbuat
فَأُوْلَٰٓئِكَ
maka mereka itu
هُمُ
mereka
ٱلظَّـٰلِمُونَ
orang-orang yang zalim
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim.
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman, janganlah berolok-olokan) dan seterusnya, ayat ini diturunkan berkenaan dengan delegasi dari Bani Tamim sewaktu mereka mengejek orang-orang muslim yang miskin, seperti Ammar bin Yasir dan Shuhaib Ar-Rumi. As-Sukhriyah artinya merendahkan dan menghina (suatu kaum) yakni sebagian di antara kalian (kepada kaum yang lain karena boleh jadi mereka yang diolok-olokkan lebih baik dari mereka yang mengolok-olokkan) di sisi Allah (dan jangan pula wanita-wanita) di antara kalian mengolok-olokkan (wanita-wanita lain karena boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olokkan lebih baik dari wanita-wanita yang mengolok-olokkan dan janganlah kalian mencela diri kalian sendiri) artinya, janganlah kalian mencela, maka karenanya kalian akan dicela; makna yang dimaksud ialah, janganlah sebagian dari kalian mencela sebagian yang lain (dan janganlah kalian panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk) yaitu janganlah sebagian di antara kalian memanggil sebagian yang lain dengan nama julukan yang tidak disukainya, antara lain seperti, hai orang fasik, atau hai orang kafir. (Seburuk-buruk nama) panggilan yang telah disebutkan di atas, yaitu memperolok-olokkan orang lain mencela dan memanggil dengan nama julukan yang buruk (ialah nama yang buruk sesudah iman) lafal Al-Fusuuq merupakan Badal dari lafal Al-Ismu, karena nama panggilan yang dimaksud memberikan pengertian fasik dan juga karena nama panggilan itu biasanya diulang-ulang (dan barang siapa yang tidak bertobat) dari perbuatan tersebut (maka mereka itulah orang-orang yang lalim.).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik daripada wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman; dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itu orang-orang yang zalim. Allah ﷻ melarang menghina orang lain, yakni meremehkan dan mengolok-olok mereka. Seperti yang disebutkan juga dalam hadis sahih dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: Takabur itu ialah menentang perkara hak dan meremehkan orang lain; menurut riwayat yang lain, dan menghina orang lain. Makna yang dimaksud ialah menghina dan meremehkan mereka.
Hal ini diharamkan karena barangkali orang yang diremehkan lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah dan lebih disukai oleh-Nya daripada orang yang meremehkannya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik daripada wanita (yang mengolok-olokkan). (Al-Hujurat: 11) Secara nas larangan ditujukan kepada kaum laki-laki, lalu diiringi dengan larangan yang ditujukan kepada kaum wanita. Firman Allah ﷻ: dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri. (Al-Hujurat: 11) Makna yang dimaksud ialah janganlah kamu mencela orang lain.
Pengumpat dan pencela dari kalangan kaum lelaki adalah orang-orang yang tercela lagi dilaknat, seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya: Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. (Al-Humazah: 1) Al-hamz adalah ungkapan celaan melalui perbuatan, sedangkan al-lamz adalah ungkapan celaan dengan lisan. Seperti pengertian yang terdapat di dalam ayat lain melalui firman-Nya: yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah (Al-Qalam: 11) Yakni meremehkan orang lain dan mencela mereka berbuat melampaui batas terhadap mereka, dan berjalan ke sana kemari menghambur fitnah mengadu domba, yaitu mencela dengan lisan.
Karena itulah dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya: dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri. (Al-Hujurat: 11) Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: Dan janganlah kamu membunuh dirimu. (An-Nisa: 29) Yakni janganlah sebagian dari kamu membunuh sebagian yang lain. Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri. (Al-Hujurat: 11) Artinya, janganlah sebagian dari kamu mencela sebagian yang lainnya.
Firman Allah ﷻ: dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. (Al-Hujurat: 11) Yakni janganlah kamu memanggil orang lain dengan gelar yang buruk yang tidak enak didengar oleh yang bersangkutan. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Abu Hindun, dari Asy-Sya'bi yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Abu Jubairah ibnu Ad-Dahhak yang mengatakan bahwa berkenaan dengan kami Bani Salamah ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. (Al-Hujurat: 11) Ketika Rasulullah ﷺ tiba di Madinah, tiada seorang pun dari kami melainkan mempunyai dua nama atau tiga nama.
Tersebutlah pula apabila beliau memanggil seseorang dari mereka dengan salah satu namanya, mereka mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia tidak menyukai nama panggilan itu." Maka turunlah firman-Nya: dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. (Al-Hujurat: 11) Imam Abu Daud meriwayatkan hadis ini dari Musa ibnu Ismail, dari Wahb, dari Daud dengan sanad yang sama. Firman Allah ﷻ: Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman. (Al-Hujurat: 11) Seburuk-buruk sifat dan nama ialah yang mengandung kefasikan yaitu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk, seperti vang biasa dilakukan di zaman Jahiliah bila saling memanggil di antara sesamanya Kemudian sesudah kalian masuk Islam dan berakal, lalu kalian kembali kepada tradisi Jahiliah itu.
dan barang siapa yang tidak bertobat. (Al-Hujurat: 11) Yakni dari kebiasaan tersebut. maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-Hujurat: 11)"
Setelah Allah menerangkan bahwa orang-orang mukmin adalah bersaudara, ayat ini menjelaskan tuntunan agar persaudaraan itu tetap terjaga. Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum, yakni kelompok pria, mengolok-olok kaum, yakni kelompok pria yang lain karena boleh jadi mereka yang diperolok-olokkan lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, dan jangan pula perempuan-perempuan mengolok-olokkan perempuan lain karena boleh jadi perempuan yang diperolok-olokkan lebih baik dari perempuan yang mengolok-olok. Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dengan ucapan, perbuatan atau isyarat, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang dinilai buruk buruk oleh orang yang kamu panggil itu sehingga menyakiti hatinya. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk fasik setelah iman. Yakni seburuh-buruk panggilan kepada orang-orang mukmin adalah bila mereka disebut orang-orang fasik sesudah mereka dahulu disebut sebagai golongan yang yang beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, setelah melakukan kefasikan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim kepada diri sendiri dan karena perbuatannya itu maka Allah menimpakan hukuman atasnya. 12. Selanjutnya Allah memberi peringatan kepada orang-orang ber-iman supaya mereka menjauhkan diri dari prasangka terhadap orang-orang yang beriman. Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka buruk kepada manusia yang tidak disertai bukti atau tanda-tanda, sesungguhnya sebagian prasangka, yakni prasangka yang tidak disertai bukti atau tanda-tanda itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain yang sengaja ditutup-tutupi untuk mencemoohnya dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing, yakni membicarakan aib, sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati' Tentu kamu merasa jijik. Karena itu hindarilah pergunjingan karena itu sama de-ngan memakan daging saudara yang telah mati. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat kepada orang yang bertobat, Maha Penyayang kepada orang yang taat.
Dalam ayat ini, Allah mengingatkan kaum Mukminin supaya jangan ada suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olokkan itu pada sisi Allah jauh lebih mulia dan terhormat dari mereka yang mengolok-olokkan. Demikian pula di kalangan wanita, jangan ada segolongan wanita yang mengolok-olokkan wanita yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olokkan itu pada sisi Allah lebih baik dan lebih terhormat dari wanita-wanita yang mengolok-olokkan. Allah melarang kaum mukminin mencela kaum mereka sendiri karena kaum Mukminin semuanya harus dipandang satu tubuh yang diikat dengan kesatuan dan persatuan. Allah melarang pula memanggil dengan panggilan yang buruk seperti panggilan kepada seseorang yang sudah beriman dengan kata-kata: hai fasik, hai kafir, dan sebagainya. Tersebut dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari an-Nu'man bin Basyir: Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih mengasihi dan sayang-menyayangi antara mereka seperti tubuh yang satu; bila salah satu anggota badannya sakit demam, maka badan yang lain merasa demam dan terganggu pula. (Riwayat Muslim dan Ahmad dari an-Nu'man bin Basyir) Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupamu dan harta kekayaanmu, akan tetapi Ia memandang kepada hatimu dan perbuatanmu. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)
Hadis ini mengandung isyarat bahwa seorang hamba Allah jangan memastikan kebaikan atau keburukan seseorang semata-mata karena melihat kepada amal perbuatannya saja, sebab ada kemungkinan seseorang tampak mengerjakan amal kebajikan, padahal Allah melihat di dalam hatinya ada sifat yang tercela. Sebaliknya pula mungkin ada orang yang kelihatan melakukan suatu yang tampak buruk, akan tetapi Allah melihat dalam hatinya ada rasa penyesalan yang besar yang mendorongnya bertobat dari dosanya. Maka amal perbuatan yang tampak di luar itu, hanya merupakan tanda-tanda saja yang menimbulkan sangkaan yang kuat, tetapi belum sampai ke tingkat meyakinkan. Allah melarang kaum Mukminin memanggil orang dengan panggilan-panggilan yang buruk setelah mereka beriman. Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu 'Abbas dalam menafsirkan ayat ini, menerangkan bahwa ada seorang laki-laki yang pernah di masa mudanya mengerjakan suatu perbuatan yang buruk, lalu ia bertobat dari dosanya, maka Allah melarang siapa saja yang menyebut-nyebut lagi keburukannya di masa yang lalu, karena hal itu dapat membangkitkan perasaan yang tidak baik. Itu sebabnya Allah melarang memanggil dengan panggilan dan gelar yang buruk. Adapun panggilan yang mengandung penghormatan tidak dilarang, seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan as-shiddiq, kepada 'Umar dengan al-Faruq, kepada 'Utsman dengan sebutan dzu an-Nurain, kepada 'Ali dengan Abu Turab, dan kepada Khalid bin al-Walid dengan sebutan Saifullah (pedang Allah). Panggilan yang buruk dilarang untuk diucapkan setelah orangnya beriman karena gelar-gelar untuk itu mengingatkan kepada kedurhakaan yang sudah lewat, dan sudah tidak pantas lagi dilontarkan. Barang siapa tidak bertobat, bahkan terus pula memanggil-manggil dengan gelar-gelar yang buruk itu, maka mereka dicap oleh Allah sebagai orang-orang yang zalim terhadap diri sendiri dan pasti akan menerima konsekuensinya berupa azab dari Allah pada hari Kiamat.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
DOSA MEMPEROLOK-OLOKKAN
Ayat 11
“Wahai orang-orang yang beriman."
Ayat ini pun akan jadi peringatan dan nasihat sopan santun dalam pergaulan hidup kepada kaum yang beriman, itu pula sebabnya maka di pangkal ayat orang-orang yang beriman juga yang diseru,"Janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain." Mengolok-olok, mengejek, menghina, merendahkan dan seumpamanya, janganlah semuanya itu terjadi dalam kalangan orang yang beriman."Boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik dari mereka (yang mengoiok-olokkan)" Inilah peringatan yang halus dan tepat sekali dari Allah. Mengolok-olok, mengejek, dan menghina tidaklah layak dilakukan kalau orang merasa dirinya orang yang beriman. Sebab orang yang beriman akan selalu menilik kekurangan yang ada pada dirinya. Maka dia akan tahu kekurangan yang ada pada dirinya itu. Hanya orang yang tidak beriman jualah yang lebih banyak melihat kekurangan orang lain dan tidak ingat akan kekurangan yang ada pada dirinya sendiri."Dan jangan pula wanita-wanita mengoiok-olokkan kepada wanita yang lain; karena boleh jadi (yang diperolok-olokkan itu) lebih baikdari mereka (yang mengolok-olokkan)." Daripada larangan ini tampaklah dengan jelas bahwasanya orang-orang yang kerjanya hanya mencari kesalahan dan kekhilafan orang lain, niscaya lupa akan kesalahan dan kealpaan yang ada pada dirinya sendiri. Nabi Muhammad ﷺ sendiri bersabda,
“Kesombongan itu ialah menolak kebenaran dan memandang rendah manusia." (HR Bukhari)
Memperolok-olokkan, mengejek dan memandang rendah orang lain, tidak lain adalah karena merasa bahwa diri sendiri serba lengkap, serba tinggi, dan serba cukup padahal awaklah yang serba kekurangan. Segala manusia pun haruslah mengerti bahwa dalam dirinya sendiri terdapat segala macam kekurangan, kealpaan, dan kesalahan.
Maka dalam ayat ini bukan saja laki-laki yang dilarang memakai perangai yang buruk itu, bahkan perempuan pun demikian pula. Sebaliknya hendaklah kita memakai perangai tawadhu, merendahkan diri, menginsafi kekurangannya"Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri." Sebenarnya pada asalnya kita dilarang keras mencela orang lain dan di-tekankanlah dalam ayat ini dilarang mencela diri sendiri. Sebabnya ialah karena mencela orang lain itu sama juga dengan mencela diri sendiri. Kalau kita sudah berani mencela orang lain, membuka rahasia aib orang lain, janganlah lupa bahwa orang lain pun sanggup membuka rahasia kita sendiri. Sebab itu maka mencela orang lain itu sama juga dengan mencela diri sendiri. Di dalam surah yang lain terdapat lagi perkataan ini, yaitu
“Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk." Asal-usul larangan ini ialah kebiasaan orang di zaman jahiiiyyah memberikan gelar dua tiga kepada seseorang menurut perangainya. Misalnya ada seorang bernama si Zaid! Beliau ini suka sekali memelihara kuda kendaraan yang indah, yang dalam bahasa Arab disebut al-Khail. Maka si Zaid itu pun disebutlah Zaid al-Khail! Atau si Zaid Kuda! Oleh Nabi ﷺ nama ini diperindah lalu dia disebut Zaid al-Khair, yang berarti Si Zaid yang Baik! Pertukaran itu hanya dari huruf laam kepada huruf raa saja, tetapi artinya sudah berubah daripada kuda kepada baik!
Maka dalam ayat ini datang anjuran lagi kepada kaum yang beriman, supaya janganlah menghimbau teman dengan gelar-gelaran yang buruk. Kalau dapat tukarlah bahasa itu kepada yang baik, terutama yang akan lebih menyenangkan hatinya. Sebab itu maka Abu Hurairah yang berarti Bapak Si Kucing, tidaklah ditukar. Sebab Abu Hurairah sendiri lebih senang jika dipanggil demikian, sebab memang beliau senang kepada kucing.
"Seburuk-buruk panggilan ialah panggilan nama yang fasik sesudah iman." Maka kalau orang telah beriman, suasana telah bertukar dari jahiliyyah kepada Islam sebaiknyalah ditukar panggilan nama kepada yang baik dan yang sesuai dengan dasar iman seseorang. Karena penukaran nama itu ada juga pengaruhnya bagi jiwa. Dan saya sendiri yang telah beribu orang menolong memimpin orang beragama lain memeluk agama Islam selalu menganjurkan yang baru memeluk Islam itu menukar namanya, agar ada pengaruh kepada jiwanya. Maka bertukarlah nama Komalasari jadi Siti Fatimah, Joyoprayitno menjadi Abdul-hadi, sehingga terjadilah nama yang iman sesudah fasik, bukan sebaliknya, yaitu nama yang fasik sesudah iman.
“Dan barangsiapa yang tiada tobat maka itulah orang-owutg yang aniaya."
Pergantian nama dari yang buruk ketika fasik kepada yang bagus setelah beriman adalah pertanda yang baik dari kepatuhan sejak semula. Demikian jugalah halnya dengan berkhitan bersunat-rasul bagi seorang laki-laki yang memeluk agama Islam. Meskipun khitan itu bukanlah syarat buat memasuki Islam dan kalau tidak berkhitan, Islamnya tidak sah, meskipun bukan demikian namun berkhitan itu pun adalah ujian pertama bagi seseorang dalam syahadatnya mengakui bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, Utusan Allah itu adalah bersunat-rasul dan nabi-nabi yang dahulu daripadanya sejak Nabi Ibrahim, Nabi Isma'il, Nabi Musa, dan Nabi Isa, semuanya bersunat, mengapa orang itu akan keberatan menerimanya? Mengapa pada ujian pertama dari syahadatnya dia sudah tidak mau?
Ayat 12
“Wahai orang-orang yang beriiman, jauhilah kebanyakan daripada prasangka."
Prasangka ialah tuduhan yang bukan-bukan persangkaan yang tidak beralasan, hanya semata-mata rahmat yang tidak pada tempatnya saja."‘Karena sesungguhnya sebagian daripada prasangka itu adalah dosa." Prasangka adalah dosa karena dia adalah tuduhan yang tidak beralasan dan bisa saja memutuskan silaturahim di antara dua orang yang berbaik. Bagaimanalah perasaan yang tidak mencuri lalu disangka orang bahwa dia mencuri, sehingga sikap kelakuan orang telah berlainan saja kepada dirinya.
“Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain." Mengorek-ngorek kalau-kalau ada si anu dan si fulan bersalah, untuk menjatuhkan maruah si fulan di muka umum. Sebagaimana kebiasaan yang terpakai dalam kalangan kaum komunis sendiri apabila mereka dapat merebut kekusaan pada satu negara. Segala orang yang terkemuka dalam negara itu dikumpuikan"sejarah hidupnya", baiknya dan buruknya, kesalahannya yang telah lama berlalu dan yang baru, jasanya dalam negeri dan perlawatannya ke mana saja. Sampai juga kepada segala kesukaannya, baik kesukaan yang terpuji ataupun yang tercela. Maka orang yang dianggap perlu untuk dipakai bagi kepentingan negara, segeralah dia dipakai dengan berdasar kepada"sejarah hidup" itu. Tetapi kalau datang masanya dia hendak didepak dan dihancurkan, akan tampillah ke muka orang-orang yang diperintahkan buat itu, lalu mencaci maki orang itu dengan membuka segala cacat dan kebobrokan yang bertemu dalam sejarah yang telah dikumpulkan itu."Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain." Menggunjing ialah membicarakan aib dan keburukan seseorang sedang dia tidak hadir, sedang dia berada di tempat lain. Hal ini kerap kali sebagai mata rantai dan kemunafikan. Orang asyik sekali membongkar rahasia kebusukan seseorang ketika seseorang itu tidak ada. Tiba-tiba saja, dia pun datang maka pembicaraan pun terhenti dengan sendirinya, lalu bertukar sama sekali dengan memuji-muji menyanjung menjunjung tinggi. Ini adalah perbuatan hina dan pengecut! Dalam lanjutan ayat dikatakan,"Apakah suka seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?" Artinya, bahwasanya membicarakan keburukan seseorang ketika dia tidak hadir, samalah artinya dengan memakan daging manusia yang telah mati, tegasnya makan bangkai yang busuk. Begitulah hinanya! Kalau engkau seorang manusia yang bertanggung jawab, mengapa engkau tidak mau mengatakan di hadapan orang itu terus terang apa kesalahannya, supaya diubahnya kepada yang baik?"Maka jijiklah kamu kepadanya." Memakan bangkai temanmu yang telah mati sudah pasti engkau jijik. Maka membicarakan aib celanya sedang saudara itu tidak ada samalah artinya dengan memakan bangkainya. Kalau ada sececah iman dalam hatimu, tentu engkau percaya apa yang difirmankan Allah. Sebab itu tentu engkau pun akan merasa jijik pula berbuat perangai yang hina yang pengecut itu.
“Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah adalah penerima tobat, lagi Maha Penyayang."
Artinya, jika selama ini perangai yang buruk ini ada pada dirimu, mulai sekarang segeralah hentikan dan bertobatlah daripada kesalahan yang hina itu disertai dengan penyesalan dan bertobat. Allah senantiasa membuka pintu kasih sayang-Nya, membuka pintu selebar-lebarnya menerima kedatangan para hamba-Nya yang ingin menukar perbuatan yang salah dengan perbuatan yang baik, kelakuan yang durjana hina dengan kelakuan yang terpuji sebagai manusia yang budiman.
Ayat 13
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah mendptakan kamu dari semang laki-laki dan seorang perempuan."
Kita boleh menafsirkan hal ini dengan dua
tafsir yang keduanya nyata dan tegas. Pertama ialah bahwa seluruh manusia itu dijadikan pada mulanya dari seorang laki-laki, yaitu Nabi Adam dan seorang perempuan yaitu Siti Hawa. Beliau berdualah manusia yang mula diciptakan dalam dunia ini. Dan boleh kita tafsirkan secara sederhana saja. Yaitu bahwasanya segala manusia ini sejak dahulu sampai sekarang ialah terjadi daripada seorang laki-laki dan seorang perempuan, yaitu ibu. Maka tidaklah ada manusia di dalam alam ini yang tercipta kecuali dari percampuran seorang laki-laki dengan seorang perempuan, persetubuhan yang menimbulkan berkumpulnya dua kumpul mani (khama) jadi satu empat puluh hari lamanya, yang dinamai nuthfah. Kemudian
empat puluh hari pula lamanya jadi darah dan empat puluh hari pula lamanya menjadi daging falaqah). Setelah tiga kali empat puluh hari; nuthfah, ‘alaqah, dan mudhghah, jadilah dia manusia yang ditiupkan nyawa kepadanya dan lahirlah dia ke dunia. Kadang-kadang karena percampuran kulit hitam dan kulit putih atau bangsa Afrika dan bangsa Eropa. Jika diberi permulaan bersatunya mani itu, belumlah kelihatan perbedaan warna, sifatnya masih sama saja."Dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kenal-mengenallah kamu." Yaitu bahwasanya anak, yang mulanya setumpuk mani yang berkumpul berpadu satu dalam satu keadaan belum tampak jelas warnanya tadi, menjadilah kemudian dia berwarna menurut keadaan iklim buminya, hawa udaranya, letak tanahnya, peredaran musimnya, sehingga berbagailah timbul warna wajah dan diri manusia dan berbagai pula bahasa yang mereka pakai, terpisah di atas bumi dalam keluasannya, hidup mencari kesukaannya, sehingga dia pun berpisah berpecah, dibawa untung masing-masing, berkelompok karena dibawa oleh dorongan dan panggilan hidup, mencari tanah yang cocok dan sesuai, sehingga lama-kelamaan hasillah apa yang dinamai bangsa-bangsa dan kelompok yang lebih besar dan rata dan bangsa-bangsa tadi terpecah pula menjadi berbagai suku dalam ukuran lebih kecil terperinci. Dan suku tadi terbagi pula kepada berbagai keluarga dalam ukuran lebih kecil dan keluarga pun terperinci pula kepada berbagai rumah tangga, ibu, bapak dan sebagainya. Di dalam ayat ditegaskan bahwasanya terjadi berbagai bangsa, berbagai suku sampai kepada perinciannya yang lebih kecil, bukanlah agar mereka bertambah lama bertambah jauh, melainkan supaya mereka kenal-mengenal. Kenal-mengenal dari mana asal-usul, dari mana pangkal nenek moyang, dari mana asal keturunan dahulu kala. Seumpama kami orang tepi Danau Maninjau, umum rata menyebut bahwa asal kami datang dari Luhak Agam; dan Luhak Agam adalah berasal dari Pagaruyung. Menjadi kebiasaan pula menurut pepatah"Jika jauh mencari suku, jika dekat menjadi hindu", Walaupun orang suku Tanjung datang dari negeri Tanjung Sani, lalu dia merantau ke Tapan Indrapura di Pesisir Selatan, atau ke Kampar daerah Riau, mulanya secara iseng-iseng orang dari Tanjung Sani tadi menanyakan kepada orang tepatannya di Indrapura atau Kampar tadi, apakah suku, jika dijawab bahwa yang ditanyai itu adalah bersuku Tanjung, mereka pun mengaku bersaudara seketurunan. Kalau yang ditanyai menjawab bahwa sukunya ialah jambak, misalnya, maka orang Tanjung dari Tanjung Sani tadi menjawab dengan gembira bahwa orang suku jambak adalah bako saya, artinya saudara dari pihak ayahnya. Dan kalau orang itu menjawab sukunya Guci maka dengan gembira dia menjawab bahwa saya ini adalah menantu tuan-tuan, sebab istri dan anak-anak saya adalah suku Guci. Demikianlah seterusnya, bahwasanya ke mana pun manusia pergi, dia suka sekali mengaji asal-usul, mencari tarikh asal kedatangan karena ingin mencari pertalian dengan orang lain, agar yang jauh menjadi dekat, yang renggang menjadi karib. Kesimpulannya ialah bahwasanya manusia pada hakikatnya adalah dari asal keturunan yang satu. Meskipun telah jauh berpisah, namun di asal-usul adalah satu. Tidaklah ada perbedaan di antara yang satu dengan yang lain dan tidaklah ada perlunya membangkit-bangkit perbedaan, melainkan menginsafi adanya persamaan keturunan."Sesungguhnya yang semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah yang setakwa-takwa kamu." Ujung ayat ini adalah memberi penjelasan bagi manusia bahwasanya kemuliaan sejati yang dianggap bernilai oleh Allah lain tidak adalah kemuliaan hati, kemuliaan budi, kemuliaan perangai, ketaatan kepada Ilahi.
Hal ini dikemukakan oleh Allah dalam ayatnya, untuk menghapus perasaan setengah manusia yang hendak menyatakan bahwa dirinya lebih dari yang lain, karena keturunan,
bahwa dia bangsa raja, orang lain bangsa budak. Bahwa dia bangsa keturunan Ali bin Abi Thalib dalam perkawinannya dengan Siti Fatimah al-Batul, anak perempuan Rasulullah, dan keturunan yang lain adalah lebih rendah dari itu.
Firman Allah ini pun sesuai pula dengan sabda Rasulullah ﷺ,
“Apabila datang kepada kamu orang yang kamu sukai agamanya dan budi pekertinya maka ni-kahkanlah dia. Kalau tidak, niscaya akan tim-builah fitnah dan kerusakan yang besar." (HR Tirmidzi)
Dengan hadits ini jelaslah bahwasanya yang pokok pada ajaran Allah dan pembawaan Rasul Allah pada mendirikan kafa'ah atau mencari jodoh, bukanlah keturunan, melainkan agama dan budi dan inilah yang cocok dengan hikmah agama. Karena agama dan budi timbul dari sebab takwa kepada Allah maka takwa itulah yang meninggikan gengsi dan martabat manusia. Tetapi setengah manusia tidak memedulikan agama itu. Dia hanya memperturutkan hawa nafsu karena mempertahankan keturunan; seorang anak perempuan bangsa Syarifah, tidak boleh kawin dengan laki-laki yang bukan sayyid, walaupun laki-laki itu beragama yang baik dan berbudi yang terpuji. Dalam hal ini sabda Rasulullah mesti disingkirkan ke tepi. Tetapi kalau bertemu seorang yang disebut keturunan sayyid, keturunan syarif, daripada Hasan dan Husain, meskipun seorang yang fasik, seorang pemabuk, seorang yang tidak mengerjakan agama sama sekali, dialah yang mesti diterima menjadi jodoh daripada syarifah itu. Sedang zaman sekarang ini adalah zaman kekacauan budi, kehancuran nilai agama. Lalu terjadilah hubungan-hubungan di luar nikah dalam pergaulan yang bebas secara orang Barat di antara yang bukan syarif dengan putri syarifah. Padahal ghiirah keagamaan tidak ada lagi, sehingga diamlah dalam seribu bahasa kalau terjadi hubungan di luar nikah dan ributlah satu negeri kaiau ada seorang pemuda yang bukan sayyid padahal dia berbudi dan beragama, kalau dia mengawani seorang syarifah.
Penutup ayak adalah,"Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
Ujung ayat ini, kalau kita perhatikan dengan saksama adalah jadi peringatan lebih dalam lagi bagi manusia yang silau matanya karena terpesona oleh urusan kebangsaan dan kesukuan sehingga mereka lupa bahwa keduanya itu gunanya bukan untuk membanggakan suatu bangsa kepada bangsa yang lain, suatu suku kepada suku yang lain. Kita di dunia bukan buat bermusuhan, melainkan buat berkenalan. Dan hidup berbangsa-bangsa, bersuku-suku bisa saja menimbulkan permusuhan dan peperangan karena orang telah lupa kepada nilai ketakwaan. Di ujung ayat ini Allah menyatakan bahwa Allah Maha Mengetahui, bahwasanya bukan sedikit kebangsaan menimbulkan ashabiyah jahiliyyah, pongah dan bangga karena mementingkan bangsa sendiri sebagai perkataan orang Jerman di kala Hitler naik,"Duitschland ubber alles!" (Jerman di atas dari segala-galanya.) Allah mengetahui bahwa semuanya itu palsu belaka, Allah mengenal bahwa setiap bangsa ada kelebihan sebanyak kekurangan, ada pujian sebanyak cacatnya. Islam telah menentukan langkah yang akan ditempuh dalam hidup;"Yang semulia-mulia kamu ialah barangsiapa yang paling takwa kepada Allah!"