Ayat
Terjemahan Per Kata
لِّلَّذِينَ
bagi orang-orang yang
أَحۡسَنُواْ
(mereka) berbuat baik
ٱلۡحُسۡنَىٰ
terbaik
وَزِيَادَةٞۖ
dan tambahan
وَلَا
dan tidak
يَرۡهَقُ
mereka itu
وُجُوهَهُمۡ
wajah-wajah mereka
قَتَرٞ
kehitaman
وَلَا
dan tidak
ذِلَّةٌۚ
kehinaan
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
أَصۡحَٰبُ
penghuni
ٱلۡجَنَّةِۖ
surga
هُمۡ
mereka
فِيهَا
didalamnya
خَٰلِدُونَ
kekal
لِّلَّذِينَ
bagi orang-orang yang
أَحۡسَنُواْ
(mereka) berbuat baik
ٱلۡحُسۡنَىٰ
terbaik
وَزِيَادَةٞۖ
dan tambahan
وَلَا
dan tidak
يَرۡهَقُ
mereka itu
وُجُوهَهُمۡ
wajah-wajah mereka
قَتَرٞ
kehitaman
وَلَا
dan tidak
ذِلَّةٌۚ
kehinaan
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
أَصۡحَٰبُ
penghuni
ٱلۡجَنَّةِۖ
surga
هُمۡ
mereka
فِيهَا
didalamnya
خَٰلِدُونَ
kekal
Terjemahan
Bagi orang-orang yang berbuat baik (ada pahala) yang terbaik (surga) dan tambahannya (kenikmatan melihat Allah). Wajah-wajah mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula diliputi) kehinaan. Mereka itulah para penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya.
Tafsir
(Bagi orang-orang yang berbuat baik) dengan keimanannya (ada pahala yang terbaik) yaitu surga (dan tambahannya) yaitu dapat melihat Allah ﷻ sebagaimana yang telah diterangkan di dalam hadis sahih Muslim. (Dan tidak pernah layu) tidak pernah tertutup (wajah mereka oleh kekelaman) kesusahan yang kelam (dan tidak pula oleh kehinaan) kesedihan. (Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.).
Tafsir Surat Yunus: 26
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.
Allah ﷻ memberitahukan pahala bagi orang yang berbuat baik dalam amalnya selama di dunia ini, yaitu beriman dan beramal saleh, bahwa mereka mendapat balasan yang baik di negeri akhirat nanti. Perihalnya sama dengan yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Ar-Rahman: 60)
Adapun firman Allah ﷻ: “dan tambahannya.” (Yunus: 26)
Maksudnya, pahala amal yang baik itu dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat kebaikan sampai dengan tujuh ratus kali lipat, bahkan lebih dari itu.
Balasan kebaikan itu mencakup semua kenikmatan yang diberikan oleh Allah kepada ahli surga di dalam surga, berupa gedung-gedung, bidadari-bidadari yang bermata jeli, rida Allah kepada mereka, dan apa yang disimpan oleh Allah buat mereka berupa hal-hal yang menyejukkan hati dan pandangan mata. Dan yang paling utama di antara semua nikmat surgawi itu ialah memandang kepada Zat Allah ﷻ Yang Maha Mulia. Sesungguhnya nikmat ini jauh lebih besar daripada semua yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka; mereka sebenarnya tidak berhak mendapatkannya karena amal perbuatan mereka, melainkan berkat kemurahan dan rahmat dari Allah semata.
Sehubungan dengan tafsir makna ayat ini yang diinterpretasikan dengan pengertian memandang Zat Allah Yang Mahamulia, telah diriwayatkan dari Abu Bakar As-Siddiq, Huzaifah ibnul Yaman, Abdullah bin Abbas, Sa'id ibnul Musayyab, Abdur Rahman bin Abu Laila, Abdur Rahman bin Basit, Mujahid, Ikrimah, Amir bin Sa'd, Ata, Ad-Dahhak, Al-Hasan, Qatadah, As-Suddi, Muhammad bin Ishaq, dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf.
Sehubungan dengan hal ini, banyak hadis yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ yang menerangkannya, antara lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa: Telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah, dari Sabit Al-Bannani, dari Abdur Rahman bin Abu Laila, dari Suhaib r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ membaca ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (Yunus: 26) Lalu beliau ﷺ bersabda: “Apabila ahli surga telah masuk surga dan ahli neraka telah masuk neraka, maka ada suara yang menyerukan, ‘Hai ahli surga, sesungguhnya Allah telah menjanjikan suatu janji kepada kalian, sekarang Dia hendak menunaikannya kepada kalian.’ Mereka berkata, ‘Apakah itu? Bukankah Dia telah memberatkan timbangan-timbangan amal kami, bukankah Allah telah membuat wajah kami menjadi putih dan memasukkan kami ke dalam surga serta menyelamatkan kami dari neraka?’ Dilanjutkan bahwa lalu Allah membuka hijab-Nya bagi mereka, maka mereka dapat memandang kepada Allah. Demi Allah, Allah belum pernah memberikan suatu nikmat yang lebih mereka sukai daripada memandang Dzat-Nya, dan tidak (pula) lebih menyenangkan mata (hati) mereka (selain dari memandang kepada Dzat Allah).”
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dan sejumlah orang dari kalangan para imam melalui hadis Hammad bin Salamah dengan sanad yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan: Telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dan telah menceritakan kepadaku Syabib, dari Aban, dari Abu Tamimah Al-Hijaimi, bahwa ia pernah mendengar Abu Musa Al-Asy'ari menceritakan hadis berikut dari Rasulullah ﷺ: Sesungguhnya Allah pada hari kiamat nanti memerintahkan juru penyeru untuk menyerukan, "Hai penduduk surga, (dengan suara yang dapat didengar oleh mereka semua dari awal hingga akhirnya) sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian pahala yang terbaik dan tambahannya. Pahala yang terbaik adalah surga, sedangkan tambahannya ialah memandang kepada Dzat Tuhan Yang Maha Pemurah.”
Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya pula melalui hadis Abu Bakar Al-Huzali, dari Abu Tamimah Al-Hujaimi, dengan sanad yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Mukhtar, dari Ibnu Juraij, dari Ata, dari Ka'b bin Ujrah, dari Nabi ﷺ sehubungan dengan firman-Nya: “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (Yunus: 26) Nabi ﷺ bersabda: “(Tambahannya adalah) memandang kepada Zat Allah ﷻ.”
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Abdur Rahim, telah menceritakan kepada kami Umar bin Abu Salamah, bahwa ia pernah mendengar Zahir mengatakan dari orang yang mendengarnya dari Abul Aliyah, telah menceritakan kepada kami Ubay bin Ka'b, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ mengenai firman Allah ﷻ berikut: “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (Yunus: 26) Nabi ﷺ bersabda: “Pahala yang terbaik adalah surga, sedangkan tambahannya ialah memandang kepada Zat Allah ﷻ.”
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula melalui hadis Zuhair dengan sanad yang sama.
Firman Allah ﷻ:” Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam.” (Yunus: 26)
Yakni kegelapan dan kehitaman di Padang Mahsyar, seperti yang dialami oleh orang-orang kafir lagi pendurhaka, maka wajah mereka hitam lagi kotor oleh debu yang hitam.
“Dan tidak (pula) kehinaan.”(Yunus: 26)
Maksudnya, kehinaan dan diremehkan.
Dengan kata lain, keadaan mereka baik lahir maupun batinnya tidak terkena kehinaan, bahkan keadaan mereka adalah seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam ayat yang lain melalui firman-Nya: “Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.” (Al-Insan: 11) Yaitu kesegaran dalam wajah mereka dan kegembiraan dalam kalbu mereka. Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan mereka berkat kemurahan dan rahmat-Nya, amin.
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik, yaitu surga, dan tambahannya, yakni kenikmatan melihat Allah (Lihat: Surah al-Qiya'mah/75: 22-23). Dan wajah mereka tidak ditutupi debu hitam akibat kesedihan dan tidak pula dalam kehinaan, tetapi muka mereka berseri-seri ekspresi kegembiraan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Adapun orang-orang yang berbuat kejahatan akan mendapat balasan kejahatan yang setimpal dengan yang telah mereka kerjakan dan mereka diselubungi kehinaan akibat dari kejahatan tersebut. Tidak ada bagi mereka seorang pelindung pun yang menyelamatkan mereka dari azab Allah, seakan-akan wajah mereka ditutupi dengan kepingan-kepingan malam yang gelap gulita, yakni suram dan muram ekspresi dari penyesalan dan kesedihan yang mendalam. Mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa bagi orang-orang yang dapat memahami petunjuk dan mengambil manfaat dari petunjuk itu serta mengamalkannya, Allah akan memberikan pahala sesuai dengan amal perbuatan mereka. Bahkan untuk menggalakkan mereka agar lebih giat mengamalkannya, Allah menjanjikan pahala sepuluh kali lipat atau lebih banyak dari pada itu. Firman Allah:
(Dengan demikian) Dia akan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan dan Dia akan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga). (an-Najm/53: 31)
Orang yang melakukan amal yang baik akan mendapat imbalan pahala melebihi pahala yang seharusnya diterima. Mereka itu akan menerima pahala yang berlipat ganda.
Mereka akan mendapat tambahan pahala lagi yang tidak ternilai harganya, yaitu mereka akan mengetahui dengan sebenarnya bahwa Allah Yang Mahamulia. Pengetahuan ini adalah pengetahuan yang paling tinggi, karena mereka mengetahui dengan sebenarnya Pencipta alam semesta ini, dan membenarkan terjadinya hari akhir. Mereka hidup bahagia, dari wajah mereka tampak cahaya yang berseri-seri, sedikitpun tidak terlihat kemurungan dan kemuraman, lantaran mereka itu tidak merasa kecewa atas keyakinannya yang kuat, dan tidak merasa bersusah hati.
Allah menegaskan bahwa mereka inilah orang-orang yang berhak menjadi penghuni surga. Mereka akan bertempat tinggal di dalamnya selama-lamanya. Di situlah mereka mengalami kebahagiaan yang abadi, karena tidak akan merasa bosan dan jemu akan kenikmatan yang mereka rasakan, dan tidak pula mereka takut akan berkurangnya kenikmatan atau dikeluarkan dari sana.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 18
“Dan mereka sembahyang selain dari Allah, sesuatu yang tidak akan memudhanatkan mereka dan tidak akan memanfaatkan."
Mereka pertahankan persembahan kepada yang selain Allah itu. Padahal apakah kelebihan yang selain Allah? Dapatkah kayu, batu, berhala, keris, pedang, burung, gunung dan sebagainya itu memberikan manfaat dengan kehendak sendiri kepada manusia? Atau dapatkah semuanya itu membawa celaka kepada manusia? Kalau semuanya itu bernyawa, siapakah yang memberi mereka nyawa? Adakah nyawa mereka itu buatan mereka sendiri? Adakah timbul sesuatu di dalam alam ini atas kehendaknya sendiri dan mati pun atas kehendaknya sendiri? Ketika ditegur perbuatan mereka yang keluar dari pikiran yang tidak beres itu, mereka membela diri: “Dan mereka katakan: “Mereka itu adalah pembela-pembela kami pada sisi Allah."
Dengan jawaban pembelaan diri ini meng-akuilah mereka bahwa Allah itu memang Satu dan paling tinggi dan mulia. Kata mereka, jika mereka sembah, puja, muliakan, dan ibadahi benda-benda yang lain itu, maksud mereka ialah untuk membela mereka di sisi Allah, menjadi Syaafi' kalau satu dan Syufa'a kalau banyak. Mereka berpendapat bahwa Allah tidak ada hubungan langsung dengan mereka. Mesti ada perantara di tengah-tengah yang akan menyampaikan permohonan mereka kepada Allah. Kalau misalnya Allah murka kepada makhluk, maka si Syufa'a tadi akan bisa membujuk-bujuk Allah agar reda marahnya atau membela.
Dan dengan pengakuan itu pula, bahwa yang mereka sembah itu hanya sebagai pembela mereka di sisi Allah, mereka pun telah mengakui bahwa semuanya manusia yang di-Allahkan, atau sapi dan ular (di India) atau monyet atau berhala apa pun memang tidaklah berkuasa memberikan manfaat dan mudharat kepada mereka. Mereka itu hanyalah sebagai perantara atau pembela saja di hadapan Allah, atau penyambung lidah penyampai permo-honan.
Menurut riwayat yang disampaikan oleh Ikrimah, bahwasanya seorang pemuka musyrikin bernama an-Nadhr bin al-Harits pernah mengatakan, “Bahwa berhala al-Laata dan al-Uzza yang mereka puja di Mekah itu akan menjadi syafaat mereka di hari Kiamat nanti. Pendeknya, jika datang pertanyaan-pertanyaan Allah, tuduhan, pemeriksaan dan sebagainya, si Laata dan Uzza akan tampil ke muka untuk mempertahankan mereka."
Ada pula musyrikin mempunyai kepercayaan bahwa kita manusia ini terlalu banyak dosa. Permohonan kita tidak akan diterima oleh Allah jika kita mohonkan sendiri. Demi untuk kemuliaan martabat Allah, lebih baiklah adakan orang tengah yang akan menyampaikan. Seakan-akan mereka berpikir bahwa Allah tidak tahu keadaannya yang sebenarnya, dan Allah hanya menerima “laporan" dari Syufa'a.
Pendeknya, demikianlah alasan-alasan yang tidak masuk dalam akal yang waras tentang penilaian kaum musyrikin itu kepada Allah. Yang sirna jika dijemur di hadapan cahaya matahari kebenaran.
Maka untuk menyambut penjawaban yang salah itu, berfirmanlah Allah kepada Rasul, “Katakanlah: “Apatah kamu akan menerangkan kepada Allah sesuatu yang tidak diketahui-Nya di semua langit dan tidak di bumi?"
Amat keras pertanyaan ini! Artinya ialah bahwa Allah Ta'aala Mahakuasa pada seluruh langit dan bumi, sejak dari yang besar-besar sampai pada yang kecil-kecil, yang akal waras manusia merasakan mustahil kekuasaan itu ada batas-batas. Dia langsung menjadikan semua langit dan bumi dengan tidak perantaraan. Dia pun langsung menerima permohonan makhluk-Nya dengan tidak ada perantaraan. Sekarang kamu katakan ada perantaraan itu, ada Syufa'a. Kalau demikian, tentu kamu telah mempunyai suatu pengetahuan yang Allah sendiri tidak tahu! Sekarang maukah kamu memberitahukan kepada Allah! Hai Allah, aku telah tahu hal yang Engkau tidak tahu, yaitu bahwa Engkau tidak perlu susah-susah, sebab menurut pengetahuan kami, ada orang-orang perantara di antara Engkau dengan kami. Barangkali Engkau pernah pusing kepala, lemah, payah mengatur alam ini dan payah menyelesaikan rekes-rekes dan permohonan hamba-Mu. Selama ini orang-orang perantara itulah yang kami jadikan orang tengah di antara Engkau dengan kami.
Memang ada kaum musyrikin itu yang memisalkan Allah Ta'aala dengan raja besar! Seorang raja besar, sebagai pelengkap dari kebesarannya mempunyai pengawal pribadi, ajudan, sekretaris pribadi, orang-orang yang akan membaca surat-surat permohonan, lalu meringkaskan isinya dan menyampaikan kepada paduka raja! Dan kemudian di atas nama raja menulis surat-surat jawaban permohonan itu, dan raja hanya tinggal menandatangani saja. Sebab kalau dia mengurus semuanya, padahal rekes datang beribu-ribu setiap hari niscaya tidak terkerjakan. Dengan raja-raja besar itulah musyrikin memisalkan kekuasaan Allah,
Maka isi pertanyaan yang disuruh Allah Nabi-Nya mengemukakan kepada si Musyrik itu ialah, beranikah kamu menyampaikan pengetahuanmu itu ke hadapan Allah? Supaya kamu usulkan kepada Allah, agar Allah jangan terlalu payah dan lelah, agar diangkatnya Syufa'a? Atau mereka sendiri terlebih dahulu mengangkat Syufa'a itu, lalu mau tidak mau Allah mesti mengakui?
“Mahasuci Dia dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan itu."
Mahasuci Allah dari persangkaan mereka yang karut-marut itu. Mahatinggi Allah, dan Mahamutlak Kekuasaan Allah. Tidaklah Allah memerlukan para perantara atau orang tengah, atau pembantu pribadi, tukang me
nerima rekes dan menyampaikan kepada Beliau, atau tukang membuat surat dan Beliau hanya tinggal menandatangani saja. Semua perbuatan ini bukanlah memuja Allah, tetapi menghina dan mengurangi kemuliaan Allah. Dan inilah dasar dari segala persembahan pada berhala!
Ayat ini adalah pokok pegangan umat yang benar-benar hendak menegakkan Tauhid. Sebab itu ayat ini bukan hanya sekadar untuk kafir Quraisy musyirikm Mekah, tetapi adalah pokok pengajaran Islam sampai hari Kiamat. Tidak boleh menyembah memuja benda, baik manusia dan malaikat atau berhala atau kayo atau batu, ataupun berupa kuburan tempat berkuburnya orang yang dianggap wali atau keramat. Kita dianjurkan Rasulullah ﷺ ziarah kepada segala kuburan, bukan hanya kuburan tertentu saja. Dan ziarah ke kuburan pun bukan meminta tolong kepada yang terkubur di dalam tanah itu supaya menyampaikan suatu hajat kepada Allah, tetapi kita yang datang ziarahlah yang disuruhkan Nabi ﷺ agar mendoakan orang yang telah meninggal itu, supaya baik mereka ataupun kita yang masih hidup sama-sama diberi ‘afiat atau kelapangan oleh Allah.
“Setamat sejahtera bagi kamu, wahai ahli kampung-kampung ini, dan orang-orang yang beriman. Dan kami pun, in syaa Allah, akan menyusuli kamu. Kami mohonkan kepada Allah, untuk kami dan untuk kamu ‘afiat."
Sederhana sekali doa yang diajarkan Rasul ﷺ bila ziarah ke kuburan, walaupun kuburan kaum Muslimin yang biasa, ataupun kuburan ulama besar. Pengakuan bahwa kita pun akan menuruti mereka pula, bila datang masanya. Dan kita mohon supaya kita dan mereka sama-sama diberi ‘afiat. ‘Afiat, terlepas dari bahaya menurut alamnya masing-masing. Malahan ziarah pada kuburan Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar dan Umar di Madinah sendiri pun tidak ada suatu doa yang ma'tsur yang menyuruh kita meminta-minta apa kepada Allah dengan perantaraan beliau-beliau.
Sedangkan membaca al-Faatihah, lalu pahala membaca itu dihadiahkan kepada si mati, pun tidak ada dianjurkan oleh Rasulullah ﷺ, apatah lagi kata-kata lain, selain dari doa yang beliau ajarkan ini.
Perhatikanlah orang-orang yang datang ziarah ke kuburan yang dipuja itu, kelihatan mereka lebih khusyuk memohonkan berbagai hajat, daripada di waktu mengerjakan shalat lima waktu yang difardhukan oleh Allah.
UMAT MANUSIA ADALAH SATU
Pada zaman dahulu, tatkala rasul-rasul datang membawa syari'at dan pengajaran, ada orang yang menerima patuh dan ada yang menolak. Betapa pun teguhnya kebenaran yang datang, betapa pun kuat alasannya, namun yang membangkang mesti ada. Tandanya pikiran manusia itu tidak sama. Rasul penghabisan ialah Nabi Muhammad ﷺ, beliau pun membawa dakwah. Ada yang menerima dan banyak yang membantah. Oleh sebab itu, keadaan manusia itu sejak mereka ada dalam dunia ini, sampai pun kepada masa Kiamat kelak, tabiat mereka adalah satu. Perangai sama, kelakuan sama!
Ayat 19
“Dan tidaklah manusia itu dahulunya, melainkan umat yang satu."
Pada juz yang kedua di dalam surah al-Baqarah dahulu, hal ini pun telah kita tafsirkan ala kadarnya. Di sini kita ulangkan mencari inti sarinya kembali ala kadarnya pula. Pada hakikatnya, walaupun berbeda warna kulit, berbeda bahasa, berlain benua, namun manusia itu adalah satu. Artinya, pada pokok dasar, seluruh manusia itu sejak dahulu suka yang baik, benci kepada yang buruk. Dan
pada pokok asal pula, bahwasanya manusia itu adalah percaya kepada adanya Maha Pencipta atas alam ini. Akan tetapi, “Lalu mereka berselisih." Setelah pergaulan manusia itu luas, dan setelah pikiran diadu satu sama lain, dan setelah terjadi perebutan kepentingan, timbullah perselisihan. Kadang-kadang hanya perselisihan pendapat yang tidak membawa bahaya, tetapi kadang pula perselisihan yang membawa kepada permusuhan, karena takut dirugikan. Di antara yang diperselisihkan itu ialah tentang nilai-nilai kebenaran. Oleh sebab itu, sebagaimana telah ditegaskan Allah dalam surah al-Baqarah ayat 213, diutus Allah-lah para rasul untuk memberi petunjuk tentang apa yang baik dan apa yang buruk sehingga perselisihan itu dapat dicarikan jalan damai, yaitu kembali pada kebenaran sejati, yang memang semuanya mencarinya.
Setelah kebenaran dari Allah datang, masih adakah perselisihan? Masih ada! Sebab kadang-kadang manusia itu tidak mau menerimanya, atau kadang-kadang dia mau benar sendiri saja. Lantaran itu maka di dalam bersatunya umat manusia pada dasar, namun perselisihan tidaklah akan hilang.
“Dan kalau tidaklah kalimat yang telah terdahulu daripada Allah engkau, niscaya telah diberi kepulasan di antaia mereka pada apa yang mereka perselisihkan itu."
Manusia semuanya pada pokok asal adalah satu! Ini sudah ketentuan Allah. Tetapi mereka ditakdirkan berselisih karena berlain-lain pandangan hidup atau ketidaksamaan pikiran. Ini pun ketentuan Allah.
Sebagai Yang Mahakuasa atas alam, Allah mengutus rasul-rasul. Ini pun sudah ketentuan Allah. Tetapi setelah petunjuk rasul datang, perselisihan belum juga hilang. Di segala za-man masih tetap ada pertentangan di antara penilaian atas yang baik dengan yang buruk, di antara yang adil dengan yang zalim. Ini pun suatu ketentuan yang pasti dari Allah.
Karena jelasnya kebenaran itu ialah setelah jelas pula yang menentangnya. Allah mudah saja, kalau Dia kehendaki, sekarang juga menjatuhkan adzab kepada yang melanggar ketentuan Allah. Tetapi perjuangan di antara pikiran baik dan pikiran buruk tidaklah semudah itu dijadikan Allah. Maka ayat ini memberikan ajaran kepada manusia agar manusia selalu mencari titik-titik pertemuan dan kembali pada kesatuannya sebagai umat. Berselisih pikiran tidak dapat dielakkan, tapi janganlah itu menjadi sebab dari permusuhan. Manusia adalah satu, apa yang dirasai oleh lain, itu pun engkau rasai. Tetapi kalau perselisihan itu sudah timbul dari hawa nafsu mau menang sendiri, engkaulah yang menjadi biang keladi dari perpecahan lebih lanjut. Hukuman Allah pasti datang kepadamu. Walaupun belum tampak sekarang, namun kelak di akhirat pasti engkau temui siksaan itu. Setengah daripada yang diperselisihkan itu, masing-masing mempertahankan kebenarannya, tidak mau mengalah. Keputusan terakhir pun adalah pada Allah, sebab yang mutlak benar hanya Allah.
Tentang sebab turun ayat ini, menurut setengah tafsir, yang dimaksud dengan manusia di sini ialah bangsa Arab. Karena pada mulanya bangsa Arab itu hanya memegang satu Aqidah saja, yaitu Agama Hanif (Islam) ajaran Nabi Ibrahim a.s. Barulah timbul perpecahan setelah datang seorang yang bernama Amer bin Luhay membuat bid'ah baru dengan membuat peribadahan pada berhala-berhala. Sejak itu timbullah perpecahan sehingga ada yang menyembah berhala dan ada yang tetap mempertahankan agama Hanif. Hal ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya. Dan penyembahan kepada berhala yang dimulai oleh Amer bin Luhay itu pun akhirnya diikuti oleh yang lain dengan membuat pula berhala lain sehingga berdirilah berbagai berhala dengan pemuja-pemujanya sendiri, sampai 360 buah banyaknya di sekeliling Ka'bah.
Meskipun riwayat tafsir yang mengkhu
suskan bagi Arab ini telah dikemukakan, tafsir yang lebih luas ialah bahwa yang dimaksud ialah seluruh manusia. Pokok asal ialah bahwa manusia itu percaya kepada satu Allah, se-bagai kepercayaan yang fitrah daiam jiwanya. Perselisihan menjadi timbul kemudian saja, yaitu setelah ada yang menyatakan pendirian bahwa Allah itu berbilang (politeisme) atau tidak ada Allah sama sekali (ateisme).
Ayat 20
“Dan mereka berkata: “Mengapa tidak dituntutkan atasnya suatu tanda dari Allahnya?"
Inilah pula salah satu hal yang disebut-sebut oleh kaum musyrikin di Mekah itu dan mereka hadapkan Rasul ﷺ Yaitu, kalau memang dia mengakui dirinya sebagai rasul, mengapa dia tidak mengemukakan suatu tanda ataupun bukti kerasulan, sebagaimana yang dilakukan nabi-nabi yang terdahulu? Mengapa dia tidak membelah laut dengan tongkat seperti Musa? Atau mengeluarkan unta besar dari dalam lubang sebagai Shalih? Dan kita pun telah bertemu dan akan bertemu lagi banyak ayat tentang tuntutan-tuntutan mereka meminta mukjizat itu, dan baru saja kita uraikan pada permulaan surah, ketika menguraikan bahwa Al-Qur'an adalah mukjizat terbesar. Tuntutan mereka itu disuruh jawab oleh Allah kepada rasul-Nya."Maka katakanlah, “Sesungguhnya hal yang gaib itu hanyalah bagi Allah." Dengan jawaban ini, Rasulullah ﷺ disuruh menyampaikan kepada mereka bahwa mukjizat, kejadian yang menyimpang dari adat tersebut, bukanlah kuasa dari seorang manusia pun. Tatkala Musa mengangkat tongkatnya lalu lautan terbelah atau timbul mata air dari dalam batu, bukanlah Musa yang berkuasa dan bukan pula tongkat itu. Hal gaib sedemikian semata-mata khusus kuasa Allah. Maka kalau mereka meminta kepada Muhammad agar mengemukakan tanda-tanda itu, dia pun akan seperti Musa pula, tidak dapat berbuat apa-apa sebelum ditentukan oleh Allah.
Dengan jawab seperti ini, betapa pun berat, Nabi ﷺ telah melaksanakan tugasnya. Beliau mengajak orang menghimpunkan kepercayaan ada Allah Yang Tunggal, dan sekali-kali bukan kepada manusia. Orang-orang yang telah cerdas berpikir dan telah mendalam tauhid, mukjizat yang ganjil-ganjil itu tidaklah perkara yang amat penting baginya. Nabi-nabi yang dahulu telah membawa berbagai mukjizat. Maka mukjizat mereka itu hanya menambah kuat iman orang yang telah beriman dan menambah kufur yang kufur. Sedang kalau mukjizat telah dinampakkan, dan orang masih tetap kufur, adzab besarlah yang akan menimpa mereka. Oleh karena itu, di dalam jawaban ini Nabi ﷺ telah menegaskan, yang penting terlebih dahulu ialah mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan mutlak Allah. Bila dia akan mengadakan mukjizat, ataukah akan ada mukjizat itu, terserahlah kepada Allah.
“Karena itu tunggulah, sesungguhnya aku pun bersama-sama kamu termasuk orang-orang yang menunggu."
Di sini beliau memulangkan mukjizat itu kepada kekuasaan Allah semata-mata. Kalau Allah berkenan, tentu mukjizat akan Dia adakan. Dan di dalam sejarah hidup Nabi memang beberapa mukjizat telah terjadi, tetapi hanya khusus disaksikan orang yang beriman saja. Ketika dalam Perang Tabuk, Rasulullah ﷺ telah berdoa memohon hujan, karena tentara sudah sangat kehausan, karena Abu Bakar telah sangat memohonkan. Jatuhlah hujan lebat di tengah hari tepat, hanya sekeliling tempat tentara itu saja sehingga dapatlah mereka me-nampungkan tempat-tempat air mereka dan segarlah badan mereka kembali. Orang yang beriman menerimanya dengan khusyuk, tetapi orang munafik mengatakan “kebetulan".
Maka, yang diakui sebagai puncak mukjizat Rasulullah ﷺ ialah Al-Qur'an ini, baik dari segi isi yang diwahyukan di dalamnya maupun dari segi susun bahasanya. Seluruhnya ialah mukjizat yang sampai sekarang, sudah empat belas abad, masih terasa mukjizat itu. Arti Mukjizat ialah melemahkan, membuat ajaz orang yang mencoba hendak meniru dan menandinginya. Dia diwahyukan di dalam bahasa Arab, yaitu bahasa Arab 14 abad yang lalu, namun sampai sekarang dia masih dipandang oleh bangsa yang berbahasa Arab sebagai bahasa yang paling fasih dan paling tinggi. Pu-jangga-pujangga Arab zaman modern sendiri pernah mengatakan sehingga akan menyusun bahasa Arab secara sastra tinggi, untuk menyalin salah satu ayat daripada Al-Qur'an itu sendiri, yang mencakup dan menandingi maksudnya, tidaklah kita sanggup.
Nabi ﷺ mempersilakan mereka menunggu mukjizat tersebut, dan beliau pun menunggu. Al-Qur'an telah turun, itulah mukjizat utama. Bagaimana akan sikap mereka terhadapnya? Dan apa maksud disuruh menunggu di sini? Di akhir surah kelak akan bertemu penjelasannya, yaitu ayat 102. Kalau mukjizat telah datang, dan mereka tidak juga mau percaya, padahal segala alasan untuk menolak telah patah, maka yang ditunggu ialah adzab Allah, sebagaimana adzab yang telah ditimpakan kepada umat-umat yang terdahulu juga.
Kemudian diterangkan lagi oleh Allah salah satu tabiat kufur manusia.
Ayat 21
“Dan apabila Kami kecapkan kepada manusia sesuatu rahmat sesudah bahaya yang menyentuh mereka, tiba-tiba ada bagi mereka tipu-dayapada ayat-ayat Kami."
Ini pun masih boleh dihubungkan dengan permintaan mereka kepada mukjizat tadi, dan boleh pula pada umumnya nikmat yang diberikan Allah. Apabila Allah mengecapkan, kita pilih sebagai arti daripada adzaqnaa. Kecap atau mengecapkan lidah atas suatu barang makanan, untuk mencoba manis atau pahit, asin atau asam, dinamai mengecap dengan lidah. Maka adalah manusia yang dikecapkan oleh Allah dengan berbagai nikmat dan rah-mat, entah hujan turun sesudah kemarau panjang, lalu bumi menghasilkan buah-buahan yang subur. Entah seorang berniaga mendapat untung besar dengan tidak terkirakan dari semula, padahal tadinya telah rugi. Atau telah berlarut-larut menunggu terlepas dari suatu malapetaka, lalu tiba-tiba dilepaskan Allah dari bahaya itu sehingga mulailah mengecap rahmat Allah. Setelah rahmat itu datang dengan tiba-tiba, dengan tiba-tiba pula orang yang berjiwa kufur itu bertipu-daya dengan ayat-ayat Allah. Hujan rahmat diturunkan Allah, lalu mereka katakan bahwa hal itu hanya soal biasa saja, sesudah panas memang ada hujan. Mereka mengecap kenikmatan, yang datang tiada disangka-sangka, lalu mereka katakan bahwa ini hanya kebetulan! Ditegaskan dalam ayat ini bahwa mereka mencari berbagai tipu-daya untuk mengelakkan bahwa semua nikmat rahmat itu adalah karunia Allah. Kalau mereka diberi kekayaan, berani mereka mengatakan bahwa itu adalah hasil usahaku sendiri, dan Allah tidak campur tangan, sebagaimana pernah diucapkan Qarun pada saat jayanya. (Lihat al-Qashash: 78)
Dari orang-orang seperti demikian, baik rahmat nikmat yang diterima setiap hari, apatah lagi mukjizat, tidaklah akan banyak membawa perubahan bagi jiwa mereka, karena hati mereka telah tertutup. Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Rasul-Nya, “Katakanlah, “Allah lebih cepat pada tipu daya" Artinya, janganlah kamu coba berlarut-larut mengingkari kekuasaan Allah dengan memakai tipu daya, dengan mengemukakan ber-bagai dalih, bukan dalil. Janganlah mencoba mengelak dari kebenaran Ilahi, sebab peredaran tipu daya Allah itu cepat jalannya. Rahmat yang telah ada bisa dicabutnya pula kembali
dengan segera. Kalau hal itu kejadian, ke mana lagi kamu akan mengadu, sedangkan dengan secara tipu daya, kamu telah memungkiri kebesaran Allah.
“Sesungguhnya utusan-utusan Kami menuliskan apa yang kamu tipu dayakan."
Jangan disangka bahwa mulut yang telanjur tidak ada yang mencatat. Manusia bisa lupa kepada apa yang pernah dikatakan, namun Allah tidak lupa, Malaikat-malaikat pencatat pun tidak lupa, bahkan manusia pun ada yang tidak akan lupa.
Bertambah meluasnya pengetahuan manusia, bertambah teguhlah kepercayaan kita tentang catatan malaikat terhadap gerak-gerik, sepak terjang kita manusia ini di dalam hidup. Tape recorder sebagai alat yang telah populer di zaman ini, yang bisa merekam apa yang dikatakan orang, bahkan apa saja yang terdengar bunyinya, menambah yakin kita bahwa dia itu hanya sebagian kecil saja dari alamat adanya catatan Allah dalam alam ini. Kata orang, segala suara yang keluar dari mulut kita ini, tidaklah hilang demikian saja, tetapi beredar terus dalam udara keliling kita. Sedangkan bunyi dan gerak-gerik dalam bulan atau bintang Mars, lagi dicatat orang dengan alat pencatat, untuk mengetahui keadaan di sana, dengan melepaskan orbit-orbit ke angkasa luar, lalu bertanyalah kita, adakah sesuatu yang lepas dari pengetahuan Allah? Dan dari catatan-catatan malaikat utusan-Nya?
Apabila di sesuatu negeri di zaman modern, pemerintahnya sudah berlaku zalim; dia menanam berpuluh mata-mata, reserse, inteligen untuk mengintip dan mendengarkan percakapan rakyatnya yang tidak dipercayainya lagi sehingga orang yang berbisik-bisik duduk berdua atau bertiga pun bercakap kepada temannya, “Hati-hati! Dinding itu pun bisa mendengarkan percakapan kita!"
Sekarang kita berhadapan dengan Allah Yang Mahabesar dan Mahatahu, malaikat yang ditugaskan mencatat amal kita yang baik atau tipu daya kita yang buruk, akan mencatat seluruhnya dengan adil. Jangankan yang dikatakan kepada orang lain, sedangkan yang masih tersimpan dalam dada, belum dikeluarkan, ada dalam catatan. Dan semuanya kelak akan dibuka dan dibeberkan satu per satu.
***
(22) Dialah yang memperjalankan kamu di darat dan di laut, sehingga apabila kamu telah berada di dalam kapal-kapal, dan setelah kapal-kapal itu telah melayarkan mereka dengan angin yang baik dan seteiah bergembira mereka dengan dia, datanglah angin yang keras dan ombak dari tiap penjuru dan setelah mereka berat sangka bahwa bahaya telah mengepung mereka, maka menyerulah mereka kepada Allah dengan mengikhlaskan agama kepadaNya: “Sungguh, jika Engkau selamatkan kami dari bahaya ini, niscaya akan jadilah kami dari orang-orang yang berterima kasih.
(23) Tetapi setelah Dia menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka pun berbuat sewenang-wenang di bumi dengan tidak benar. Wahai manusia! Kesewenang-wenangan kamu itu hanyalah terhadap diri kamy sendiri; perhiasan hidup di dunia!
Kemudian itu kepada Kamilah tempat kembali kamu, maka akan Kami beritakan kepada kamu apa-apa yang telah kamu perbuat.
Ayat ini pun sebagai lanjutan dari ayat sebelumnya. Yakni bahwa manusia yang kufur, jika dikecapkan rahmat sesudah berturut-turut ditimpa susah, tiba-tiba mereka ber-tipu daya buat mengelakkan pengakuan bahwa itu adalah rahmat Allah. Di akhir ayat, Allah mengatakan bahwa janganlah Allah dipermain-mainkan, sebab Allah pun lebih cepat mengatur tipu daya, dan malaikat tidak lalai dari mencatat. Datanglah ayat ini sebagai lanjutan,
Ayat 22
“Dialah yang memperjalankan kamu di darat dan di laut."
Di darat ada berbagai angkutan darat; sejak dari manusia berjalan kaki, sampai pada memakai kendaraan berkaki empat, kuda, unta, keledai, sapi dan kerbau. Sampai pula pada masa manusia mendapat ilham membuat roda, akhirnya timbul kendaraan darat bermotor. Semua itu Dialah yang memperjalankan, Dialah yang memberi ilham kepada manusia sehingga dapat membuat biduk, sampan, perahu, sekunar, kano, pencalang, jung, gurab, dan bahtera atau kapal. Dan kapal itu sudah amat maju, sejak dari berdayung, memakai layar, memakai uap dan motor dan listrik. Sekarang datang zaman mempergunakan tenaga atom. Nuklir untuk melayarkan kapal, “Sehingga apabila kamu telah berada di dalam kapal-kapal dan setelah kapal-kapal itu melayarkan mereka dengan angin yang baik, dan setelah bergembira mereka dengan dia."
Di dalam ayat ini terdapat tiga masa dalam hal berkapal, yang akan dirasakan orang yang telah biasa berlayar, walaupun di zaman kapal modern sekarang ini. Pertama, ialah setelah berada di dalam kapal, sebelum kapal belayar.
Dapat kita rasakan betapa khususnya suasana pada saat itu, yaitu ketika kita telah bersiap hendak meninggalkan bumi daratan, akan berpisah dengan kaum kerabat sahabat-handai, berdiri ke tepi polka kapal melihat ke darat. Kedua, ialah setelah kapal mulai mengangkat sauh dan tali-temali yang menyangkutkan kapal dengan daratan mulai dilepaskan dan peluit kapal mulai belayar. Di situ datanglah suasana baru yang gembira, sebagai ganti daripada rada-rada sedih ketika akan berlayar tadi, moga-moga angin baik belayar selamat. Kemudian datanglah perasaan ketiga, yaitu gembira karena angin berembus dengan baik, kapal belayar dengan tenang, cuaca langit menguntungkan bagi yang belayar. Tiba-tiba sedang merasa sedang gembira karena angin berembus dengan baik itu."Datanglah angin yang keras dan datanglah kepada mereka ombak dari tiap penjuru, dan setelah mereka berat sangka bahwa bahaya telah mengepung mereka." Ini pun sifat lagi dari keadaan yang dijumpai dengan tiba-tiba di dalam pelayaran jauh. Sedang penumpang-penumpang enak duduk, bernyanyi melihat lautan, melihat alun turun dan naik dan burung camar atau ikan belalang melompat mengatasi ombak, tiba-tiba dari jauh kelihatanlah segumpal awan kecil. Biasanya nakhoda kapal yang telah mahir dan berpengalaman mengerti bahwa itulah pertanda badai akan datang, dan tidak dapat dielakkan. Mula-mula anginlah yang berembus dan dengan cepat sekali menjadi keras dan dahsyat sehingga tiap-tiap bagian kapal rasakan pecah dari kerasnya pukulan angin, malahan pernah juga ada tiang kapal yang patah. Setelah itu datanglah ombak, gelombang dan badai yang besar dahsyat, sehingga betapa pun besarnya kapal, sudah sebagai sabut kelapa terapung-apung saja dibuat oleh ombak itu. Apabila angin sudah keras berembus, kadang-kadang isi kapal yang ada di atas geladak dapat diembuskan oleh hebatnya angin badai. Malahan ombak pun naik menggulung ke geladak, sehingga kalau barang-barang yang ada di sana tidak diikatkan teguh, bisa meluncur masuk laut. Di saat itu penumpang akan merasa bahwa mati telah dekat sekali. Harapan buat hidup sudah tipis. Tanah daratan telah jauh, diri terkatung-katung di tengah laut; angin topan, badai dan ombak gelombang bergulung ini entah bila akan berhenti. Kadang-kadang para penumpang hanya tidur bersembunyi di belakang dinding kecil, kadang-kadang diikatkan diri ke dinding atau tiang kapal supaya jangan sampai diluncurkan ombak masuk laut, dan kadang-kadang banyak yang mabuk dan muntah-muntah.
Penulis tafsir ini sudah pernah mengalami badai dan ombak besar begini dalam pelayaran dari Pulau Pinang menuju Olheu Lhee (Banda Aceh) pada tahun 1943 bersama-sama Tuanku Abdul Aziz al-Qadi Malikul Adil dan Tengku Hasbi Shiddiqi kembali dari Singapura, pulang ke Sumatera melalui Pulau Pinang. Setelah hari pagi dan kelihatan Pelabuhan Olheu Lhee, barulah kami yakin bahwa kami masih akan hidup.
Bagaimanakah perasaan kita dengan badai mengamuk, ombak dan gelombang menggulung dan kematian serasa mengancam dari segala penjuru itu? Lanjutan ayat menyatakan perasaan kita pada saat itu,
“Maka menyerulah mereka kepada Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya: ‘Sungguh, jika Engkau selamatkan kami dari bahaya ini, niscaya akan jadilah kami dari orang-orang yang berterima kasih.
Bulatlah perasaan pada masa itu, menyerah kepada Allah. Segala ucapan dan sebutan kepada nama Allah keluarlah pada waktu itu. Tidak ada lagi teringat yang lain, melainkan Allah semata, benar-benar agama yang ikhlas dan tauhid, makrifat yang tidak bercabang: Ya Allah, tolong aku! Ya Allah, tolong kami! Aku bernazar, jika aku terlepas dari bahaya ini, jika aku sampai ke pelabuhan dengan selamat, aku akan puasa sekian hari, aku akan menjamu fakir miskin dan sebagainya, sebagai alamat syukur akan karunia Allah, karena tidak ada yang lain yang sanggup melepaskan dari bahaya itu, hanya Dia.
Di dalam ayat ini jelaslah bahwa apabila tiba suatu saat yang sudah sangat berbahaya, yang sangat kritis kata orang sekarang sehingga bahaya telah mengancam dari atas (angin) dari bawah (ombak) dari segala penjuru pun sehingga tidak ada pintu lain terbuka lagi, jiwa manusia terus menembus mengingat Allah. Mereka tidak ingat yang lain lagi. Mereka meminta kekuasaan tertinggi itu turun tangan. Pikiran mereka, intelek mereka, akal cerdik, logika, dialektika tidak main lagi di waktu itu. Hanya menyerah diri minta tolong kepada yang Satu itu. Yang untuk itu bersatu sekalian manusia. Waktu itulah benar-benar terdapat agama yang ikhlas.
Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Abu Dawud dan an-Nasa'i dari Sa'ad bin Abu Waqqash, bahwa tatkala Nabi kita ﷺ menaklukkan Mekah, seorang yang selama ini memusuhi beliau, yaitu Ikrimah bin Abu fahal, lari meninggalkan Mekah, bermaksud hendak berlayar meninggalkan tanah Hejaz. Maka sampailah dia ke tepi laut dan berlayar-lah dia menumpang sebuah perahu layar. Maka datanglah badai topan besar sehingga menjadi permainan yang kecil sajalah perahu layar itu oleh ombak yang besar-besar. Di saat itu berkatalah juragan kapal itu kepada para penumpang, “Di saat yang begini, yang perlu ialah doa yang ikhlas. Adapun berhala-berhala tidaklah sebuah juga yang dapat menolong di saat seperti ini." Dan pada ketika itu sadarlah Ikrimah dan berkatalah dia, “Kalau di lautan dalam bahaya yang begini besarnya, hanya ikhlas yang menyelamatkan daku, niscaya di darat pun tidak ada yang akan menyelamatkan daku melainkan ikhlas ini juga. Oh, Allah! Kalau aku tertepas baik dari bahaya besar ini, aku akan datang kepada Muhammad ﷺ dan aku akan meletakkan tanganku di atas tangannya, sebab aku percaya bahwa dia seorang yang pemaaf dan muliawan." Tiba-tiba tidak berapa lama kemudian badai pun teduh, ombak pun menenang. Maka dimintanyalah supaya dia dipulangkan kembali dan orang-orang yang lain pun pulang. Ikrimah langsung menepati nazarnya, dia datang kepada Rasulullah ﷺ menyerahkan diri dan memeluk agama Islam.
Sedang seorang musyrik yang terkemuka, sebagai Ikrimah seorang pemuka musyrikin anak pemuka musyrikin pula, lagi keinsafan dan keikhlasan kepada Allah-lah yang timbul pada jiwanya pada saat yang sangat genting itu, apatah lagi kalau seorang yang telah men-dalami rasa tauhid. Oleh sebab itu, ayat ini sangatlah jauh bersimpang dengan golongan yang mengaku dirinya beragama Islam, tetapi telah musyrik.
Ada kita baca buku-buku orang-orang tasawuf yang sangat berbeda ajarannya, sebagai perbedaan siang dengan malam, dengan maksud ayat ini, yaitu ikhlas agama kepada Allah. Ada bertemu satu kitab kaum sufi mengajarkan, bahwa kalau ditimpa bahaya, misalnya kapal nyaris tenggelam, hendaklah panggil nama Syekh Samman, seorang waiiyullah yang sangat keramat di Madinah."Ya Samman!"
Ada pula yang mengajarkan bahwa seorang yang sangat terancam oleh suatu bahaya sangatlah mengikhlaskan agamanya kepada Allah, lalu dia berseru, “Ya Allah! Tolong aku!" Tetapi Allah tidak mau menolongnya. Maka berserulah dia, “Ya Sayyid Abdul Qadir Jailani!" Tiba-tiba, terlepaslah dia dari bahaya itu. Maka kemudian bertemulah dia dengan Sayyid Abdul Qadir Jailani dalam satu mimpi. Sayyid Abdul Qadir Jailani marah kepadanya, dan berkata bahwa lain kali kalau meminta apa-apa jangan langsung kepada Allah, melainkan dengan perantaraan beliau. Sebab Allah akan menolak segala permohonan yang tidak dengan melalui dia. Inilah kufur yang terang menentang ayat Allah yang timbul dalam khayal setengah penganut tasawuf.
Ayat 23
“Tetapi setelah Dia menyelamatkan mereka."
Artinya, betapa pun besarnya badai dan angin ribut, akhirnya cuaca akan tenang juga. Ombak yang bergulung-gulung besar laksana gunung, akhirnya pun akan menurun, pela-yaran pun akan sampai juga menjejak tanah tepi. Orang-orang yang belayar tadi akan lupa bahaya yang pernah mengancam mereka."Tiba-tiba mereka pun berbuat sewenang-we-nang di bumi dengan tidak benar." Sampai di darat mereka telah lupa bahaya yang pernah mengancam. Mereka telah berbuat sewenang-wenang kembali sesuka hati, melampaui batas, menganiaya, berbuat curang. Baik kepada sesama manusia, apatah lagi kepada Allah.
Dengan ayat lanjutan ini teranglah bahwa angin badai dalam pelayaran di lautan itu hanyalah sebagai perumpamaan saja daripada gelombang hidup yang ditempuh manusia dalam berbagai hal. Goncangan pelayaran, angin badai, ombak dan gelombang sebesar-besar gunung, bukan saja akan berjumpa di lautan, bahkan juga dalam seluruh segi dari kehidupan kita di darat ini pun. Kita akan ditimpa susah, sengsara; sesudah memuncak naik, kadang-kadang akan terhempas turun, sebab keadaan hidup ini tetap berirama, tidak akan begitu ke begitu saja, maiahan berpasang naik berpasang turun.
Coba perhatikan kembali pangkal ayat 22 tersebut. Di pangkal ayat Allah menyebutkan bahwa “Dialah yang memperjalankan kamu di darat dan di laut." Artinya, semua orang akan menempuh pelayaran dan perjalanan, akan menempuh ombak dan gelombang, angin, badai dan tenang. Tetapi di dalam lanjutan ayat disebut mereka, yaitu setelah Allah me-layarkan kapal-kapal mereka dengan angin yang baik. Setelah menyebut kamu, disebut pula mereka. Kalau kita tidak mengerti kunci ayat, kita sangka bahasa ini tidak fasih. Pa-dahal dengan kata kamu terlingkunglah segala manusia. Tidak ada manusia yang tidak akan belayar mengarungi lautan hidup. Dan dengan kata mereka, dikhususkanlah kepada orang-orang yang di kala hebat datangnya badai, mereka khusyuk dan ikhlas, dan demi setelah mereka sampai di darat mereka lupa kembali (ayat 23). Mereka tempuhlah jalan yang tidak benar, yang akan membawa celaka diri mereka sendiri, yang ditegaskan oleh lanjutan ayat, “Wahai manusia! Kesewenang-wenangan kamu itu hanyalah terhadap diri kamu sendiri." Kalau kamu lewati batas yang ditentukan Allah, kalau kamu berbuat semau-maumu saja di dalam dunia ini, yang akan celaka bukanlah orang lain, melainkan dirimu sendiri juga."Perhiasan hidup di dunia." Artinya, sampai di mana pun kamu melangkah ke luar dari garis kebenaran, sampai di mana pun kamu memperturutkan kendali dari hawa nafsumu sendiri, menganiaya, berlaku zalim, ketahuilah bahwa semuanya itu hanya semata perhiasan hidup di dunia. Apalah artinya kalau hanya perhiasan hidup dalam masa dunia yang pendek. Kamu kejar pangkat tinggi sebagai perhiasan, dan dengan sebab itu kamu melanggar segala ukuran atau norma-norma yang patut, pangkat itu tidaklah akan kamu bawa mati. Dan kalau kamu menempuh langkah sewenang-wenang untuk mencapai kekayaan, kekayaan itu pun tidak akan kamu angkat ke kubur. Perhiasan hidup di dunia ini hanya berlaku pada ruang yang sedikit dan waktu yang tidak lama. Misalnya cincin emas bermata berlian adalah perhiasan. Kalau badan telah sakit, cincin emas bermata berlian itu tidak bercahaya lagi."Kemudian itu kepada Kamilah tempat kembali kamu." Habis tempo hidup di dunia, diri pun kembali kepada Allah. Perhitungan di alam sana lain dari perhitungan di alam sini. Perhiasan-perhiasan tadi tinggal belaka, satu pun tidak ada yang diangkut ke alam sana. Waris dibagi pusaka dipecah, rumah indah kosong, sebab penghuninya telah berbelah bagi.
“Maka akan Kami beritakan kepada kamu apa-apa yang telah kamu perbuat."
Apa yang akan dibawa ke akhirat kalau perhiasan dunia tidak dapat diangkut? Ialah catatan amal. Kita sendiri tidak mencatat lengkap apa yang kita amalkan selama hidup. Tidak ada orang yang membawa catatan ke dalam kubur, dan itu pun tidak perlu. Sebab di ayat 21 di atas tadi pun telah diterangkan, yaitu segala amalan dan perbuatan, mulut bercakap, langkah dan gerak-gerik tidak lepas dari catatan Allah. Allah telah menugaskan beberapa malaikat untuk itu. Itulah yang akan dibuka kembali kelak di hadapan Allah, untuk diperhitungkan mana amalan yang bernas dan mana yang hampa.
Maka kedua rangkaian ayat ini telah memberi bahan bagi kita, bahwasanya kita hidup di dunia ini adalah dalam pelayaran. Kita pun selalu mendengar ungkapan tentang bahtera hidup. Kita akan bertemu kegoncangan dan ketenangan. Orang yang meraung-raung ketika menghadapi bahaya, banyak yang menjadi sombong bila terlepas dari bahaya, dan lupa bahwa pelayaran ini belum selesai. Sebab itu hendaklah bertenang, dapat mengendalikan jiwa dan merapatkan hubungannya dengan Allah, baik pada waktu genting-gentingnya bahaya maupun waktu ombak kehidupan itu sedang tenang.
RIWAYAT SEORANG NAKHODA KAPAL
Sayyid Rasyid Ridha menceritakan di dalam Tafsir al-Manarnya, (Juz 11, hal 341) tentang seorang nakhoda (kapten) kapal besar yang selalu belayar pergi dan pulang di antara London dan India. Di waktu-waktu senggangnya di dalam kapal selalu suka membaca; mula-mulanya sebagai iseng perintang waktu, kemudiannya sebagai studi menambah
pengetahuan. Salah satu kitab yang menarik perhatiannya ialah Al-Qur'an yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Dibacanya terjemahan itu, mulanya secara iseng, lama-lama menjadi perhatian, terutama bila bertemu ayat-ayat yang menceritakan perihal lautan. Di antaranya ialah ayat 22 dan 23 dari surah Yuunus ini. Bertemu di dalam surah ar-Rahmaan ayat yang menyatakan perbedaan di antara dua lautan, air tawar dan air asin yang tidak pernah berkacau di tiap-tiap kuala dan muara sungai besar. Bertemu lagi ayat lain di dalam surah ar-Rahmaan juga yang dengan pendek menerangkan betapa indahnya kapal-kapal mengarunglautan, Bertemu pula di Surah lain tentang angin, tentang badai, tentang gulungan ombak, tentang gelap tengah malam sehingga tangan sendiri pun tidak kelihatan, gelap-gulita sekeliling, di bawah badai di atas gumpalan awan hitam (surah an-Nuur). Dan di ayat bertemu lagi bahwa kadang-kadang lautan itu menghasilkan luk-luk (mutiara) dan marjan. Bertemu lagi ayat bahwa kadang-kadang kapal itu belayar beriring-iring laksana dayang-dayang inang pengasuh membawa tanda, yaitu torehan bekas jejak kapal di lautan bila angin berhembus tenang, dan kadang-kadang berhenti angin turun (di zaman kapal layar), maka terkatung-katunglah kapal itu menunggu angin.
Dalam suatu trip pelayarannya dari London ke India dia sengaja pergi menanyakannya kepada orang-orang Islam, apakah Nabi Muhammad ﷺ itu pernah belayar. Mereka jawab bahwa kapten itu bisa mempelajari sendiri riwayat hidup Muhammad ﷺ, tidaklah pernah beliau belayar menempuh lautan. Sejak itu timbullah dengan sendirinya di dalam dadanya kepercayaan bahwa Al-Qur'an ini benar-benarlah wahyu dari Allah kepada Muhammad ﷺ. Dan lebih dari itu dia pun mendapat kesan pula sehingga menjadi keper-cayaan, bahwasanya ayat-ayat Al-Qur'an itu penuh dengan isi ajaran tauhid, tasyri' dan tandzib (pendidikan budi) yang mendalam, yang sangat sempurna dan lebih lekas masuk ke dalam akal murni insan, lebih dari apa yang tersebut di dalam Taurat ataupun Injil. Sejak timbul keyakinan yang demikian, masuk Islamlah Kapten itu dengan sendirinya. Dibacanya Al-Qur'an lalu diamalkannya isinya, dan dia pun beribadahlah mengerjakan shalat di atas kapal dengan khusyuknya menurut tuntunan yang didapatnya dari terjemahan Al-Qur'an itu.
Kemudian, datanglah masanya dia meninggalkan pekerjaan di lautan, dan dipilihnyalah Mesir menjadi tempat kediamannya yang tetap, lalu dipelajarinya bahasa Arab dan ber-gaul dengan ahli-ahli agama Islam. Kata Sayyid Rasyid Ridha, “Orang itu ialah Mr. Abdullah Brown."
Demikian tulus dan ikhlasnya keislaman Mr. Abdullah Brown itu sehingga Syekh Muhammad Abduh ketika menguraikan tentang perlunya khusyuk dalam shalat pernah mengambil perumpamaan dengan dia. Yaitu ketika dia mulai memeluk Islam, beberapa lamanya dia shalat lima waktu di dalam kapal, menurut paham yang didapatnya dari terjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa Inggris itu, dikerjakannya dengan khusyuk dan tekun, lengkap rukun dan syaratnya. Kata Syekh Muhammad Abduh, “Shalatnya dalam keadaan demikian lebih dekat pada keridhaan Allah dan lebih dapat diterima Allah, daripada shalat setengah orang ruku', sujud, tunggang-tunggik, shalat rutin karena telah begitu dipusakai dari nenek moyang. Padahal ketika mengerjakan itu hati mereka tidak terhadap sama sekali kepada Allah dan tidak menyadari kebesaran dan keesaan Allah."
Mr. Abdullah Brown atau Syekh Abdullah Brown itu dikenal dalam masyarakat Mesir di awal abad 20, sebagai penganut Islam yang saleh. Dia meninggal dunia di Mesir juga.
Pihak-pihak yang bermaksud menggoyah
kan iman orang Islam kerap kali menonjolkan bahwasanya Muhammad ﷺ itu menjadi rasul hanya untuk orang Arab, dan surga-surga dengan air sungai mengalir dan kebun-kebun itu hanya sesuai untuk masyarakat Arab. Mereka tidak sadar atau tidak mau insaf bahwasanya soal lautan dan pelayaran dengan ayatnya yang begitu banyak di dalam Al-Qur'an adalah soal yang umum untuk seluruh manusia di dalam dunia ini, dari dahulu sampai sekarang dan sampai zaman depan, sedang Nabi Muhammad ﷺ sendiri tidak pernah pergi belayar.
(24) Perumpamaan kehidupan dunia ini adalah laksana air yang telah Kami turunkan dari langit, lalu bercampur dengan dia tumbuh-tumbuhan bumi dari apa-apa yang dimakan oleh manusia dan binatang-binatang ternak sehingga apabila bumi telah menampakkan keindahannya dan dia telah berhias dan telah berat sangka penduduknya bahwasanya mereka sanggup menguasainya, datanglah ketentuan Kami, malam ataupun siang. Maka Kami jadikanlah dia licin-tandas, seakan-akan tak pernah ada dia kemarin. Seperti itulah Kami menjelaskan tanda-tanda itu untuk kaum yang mau berpikir.
(25) Dan Allah menyeru kepada Negeri Setamat, dan Dia akan memberi petunjuk barangsiapa yang Dia kehendaki, kepada jalan yang lurus.
(26) (Yaitu) untuk orang-orang yang telah berbuat baik akan diberilah ganjaran baik dan ada tambahan; dan tidaklah akan keruh wajah mereka oleh kehitaman dan tidak kehinaan. Mereka ituiah ahli-ahli surga. Mereka di dalamnya akan kekal.
(27) Dan orang-orang yang mengusahakan yang jahat-jahat, balasan kejahatannya itu sebanding dengan dia, dan akan keruhlah mereka itu oleh kehinaan. Tidak ada untuk mereka suatu pemeliharaan pun dari Allah. Seakan-akan ditutuplah wajah-wajah mereka oleh potongan-potongan malam yang keadaannya gelap. Mereka itu adalah penghuni-penghuni neraka. Mereka di dalamnya akan kekal.
PERUMPAMAAN HIDUP DI DUNIA
Sesudah Allah menyuruh membangkitkan perhatian kepada lautan dengan kapalnya yang belayar dan betapa hebat pertarungan badai di laut, untuk mengukuhkan tauhid kepada Allah, sekarang Allah mengemukakan perumpamaan lagi dengan hujan, atau air yang turun dari langit dan betapa erat hubungannya dengan kehidupan di muka bumi.
Ayat 24
“Perumpamaan kehidupan dunia ini adalah laksana air yang telah Kami turunkan dari langit."
Keseluruhan hidup ini tidak ada ubahnya dengan air hujan yang turun dari langit, baik dari segi rupanya maupun kesudahannya. Yaitu bahwa kedatangan hujan adalah pengharapan yang sangat besar, baik bagi manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Sehingga peternakan dan penanaman amat bergantung pada hujan. Kalau telah lama hujan tidak turun, pada suatu waktu kedengaran petir dan tampak awan gelap bergumpal, harapan pun timbul. Dan bila dia turun dengan lebatnya, gembiralah petani, peladang dan peternak."Lalu bercampur dengan dia tumbuh-tumbuhan bumi." Tumbuh-tumbuhan, baik rumput-rumput atau sayur-sayuran atau tanam-tanaman yang tadinya telah kering layu, dengan turunnya hujan menjadi menconggah kembali, menghijau subur, mendapat napas baru. Sebab air hujan yang turun itu telah masuk meresap ke dalam dirinya melalui urat-uratnya, “Dari apa-apa yang dimakan oleh manusia dan binatang-binatang ternak." Padi, kacang, timun, ketela, pisang dan lain-lain sebagai makanan manusia telah kelihatan subur dan memberi harapan, sebab hujan turun. Rumput-rumput makanan binatang pun telah menghijau sehingga kambing-kambing, biri-biri, sapi dan kerbau, yang selama ini telah kurus, sekarang telah makan dengan asyiknya dan tidak berhenti memamah-biak. Manusia dan binatang ternak sama-sama gembira, bahwa hujan yang turun ini akan membawa berkah. Tetapi kadang-kadang pengharapan itu bertukar dengan kecewa dan bencana."Sehingga apabila bumi telah menampakkan keindahannya dan dia telah berhias." Padang yang tandus telah mulai menghijau, padi telah mulai mengandung isi, lada sudah membin-tang timur, terung sudah ayun-ayunan, tebu sudah menyentak ruas dan kembang bunga warna-warni telah mengayun di lemah gemulai diayun dibuaikan angin sejuk. Kelihatan indah permailah bumi karena perubahan yang dibawa hujan itu, dan petani menaksir-naksir berapa keuntungan hasil ladangnya berlipat ganda di tahun ini."Dan telah berat sangka penduduknya bahwasanya mereka sanggup menguasainya." Habis turun hujan padi akan bernas, hasil berlipat dan keuntungan akan masuk, tidak lagi akan lapar dan lebih dari akan dimakan dapat dijual, untuk membeli yang patut dibeli, pakaian lusuh akan terganti, rumah rusak akan diperbaiki, alat pertanian akan diperbarui. Pendeknya, melihat suburnya yang ditanam lantaran hujan, terasa terpikir bahwa semuanya akan dapat dikuasai, tiba-tiba “Datanglah ketentuan Kami malam ataupun siang." Rupanya datang ketentuan Allah, berlain daripada harapan manusia semula, Hujan itu terus-menerus, berlebih daripada jangka yang diharap, “hujan dahulu" kata orang kita yang tinggal dekat gunung. Hujan yang sangat lebat kadang-kadang sampai sehari atau dua hari. Timbullah banjir atau air bah, menggarah sungai-sungai, pecah pinggir tanggul air yang tergenang, kadang-kadang membawa runtuhan bukit-bukit, naiklah air sampai sekian meter, timbul banjir atau air bah.
Orang tidak bisa lagi keluar dari dalam rumahnya untuk pergi ke mana-mana mengurus hidup, sebab telah sama rata di antara sawah, jalan raya, sungai dan kebun-kebun. Semua telah jadi lautan. Terkadang air naik lagi, sampai separuh rumah hilang ke dalam air. Kadang-kadang dia naik lagi, sampai penghuni rumah naik ke atas atap rumah. Kadang-kadang dilulurnya pula rumah itu, sehingga penghuni rumah hanyut. Dan binatang-bina-tang ternak pun habis hanyut. Ayam dan itik, kambing dan sapi, semuanya habis disapu air. Air bah itu bisa berlaku pada malam hari sedang orang enak tidur, ataupun siang hari bolong."Maka Kami jadikanlah dia licin-tandas,
seakan-akan tidak pernah ada dia kemarin." Yakni setelah beberapa waktu, kadang-kadang cepat sehari saja, kadang-kadang memakan dua tiga hari, air itu telah turun dan hujan pun telah berhenti. Apa lagi yang akan didapati? Ialah kelicin-tandasan! Kadang-kadang sawah yang tadinya masih berpadi muda, yang diharapkan akan disabit bulan depan, telah habis tertimbun pasir. Bukan padinya saja yang telah rusak hilang, sawahnya pun mesti diteroka sekali lagi buat menghindarkan pasir atau tanah yang menimbun. Benar-benarlah di bekas banjir itu tidak bertemu lagi tanam-tanaman atau tumpak sawah yang dahulunya subur itu, seakan-akan tidak ada dia kemarin. Orang yang datang dari tempat jauh, hanya mendengar cerita bahwa di tempat itu dahulu adalah sawah yang subur.
“Sepenti itulah Kami menunjukkan tanda-tanda itu untuk kaum yang berpikir."
Pikirkanlah itu, dan itu acapkal» terjadi. Tidak boleh kita katakan bahwa perumpamaan ini hanya untuk orang Arab saja, sebagaimana dikatakan oleh orang-orang yang digoyahkan imannya oleh propaganda kafir. Di negeri kita sendiri, di Indonesia yang luas ini, berkali-kali dan hampir setiap tahun kita menghadapi bahaya banjir. Tidak di Jawa, tentu di Sumatera. Tidak di Sulawesi tentu di Kalimatan. Kerap kali pengharapan pemerintah sendiri, yang telah menaksir bahwa produksi padi tahun ini akan cukup untuk dimakan sehingga tidak perlu mengimpor lagi dari luar negeri, dari rencana yang telah diatur di atas kertas sekian bulan, dalam masa hanya satu malam menjadi hancur-lebur karena datangnya banjir.
Pikirkanlah ini, bahwa kehidupan dunia itu janganlah terlalu dipergantungi. Harapan jangan digantungkan kepada alam. Pada ayat di atas telah disebutkan bahwa semuanya itu adalah perhiasan dunia. Padi yang sedang di dalam sawah, belum tentu kita yang punya. Banjir bisa datang tengah malam, dan besok paginya bisa hancur semua, dan kita menderita lagi. Atau datang bahaya belalang tengah hari tepat, sebagai kerap kali kejadian di Timur Tengah, di India, Pakistan, Iran dan di Afrika. Datang berjuta-juta belalang, dia hinggap barang 10 menit saja dan dan dia pun terbang kembali, maka tinggallah tunggul jagung, sedang isi jagungnya telah habis. Tinggal batang gandum, sedang buah gandumnya telah dibawa terbang oleh belalang.
Bukanlah ayat ini berarti melarang kita berusaha mengatasi banjir dengan memelihara baik-baik hutan cadangan atau mengorek sungai supaya jangan dangkal, atau memberantas hama belalang, hama tikus dan sebagainya. Maksud ayat ialah melarang terlalu menyangkutkan hati kepada perhiasan dunia, sehingga lupa akhirat. Atau terlalu percaya kekuatan sendiri, hingga lupa kepada kekuatan Allah, Terlalu harap, akhirnya tertiarap. Hati terpaut kepada yang fana sehingga lupa bahwa di dunia ini hanya singgah saja, untuk memperkuat persiapan bagi menempuh akhirat.
Ayat 25
“Dan Allah menyeru kepada … …"
Ingatlah bahwa perjalanan ini masih jauh. Ada sesuatu yang kita tuju, yaitu suatu negeri yang bernama Darus Salam, Negeri Bahagia, Negeri Selamat, Kampung Sentosa, itulah dia surga. Oleh sebab itu, selama di dunia ini bekerjalah dengan mengingat tujuan yang terakhir itu, jadikanlah dunia menjadi persemaian buat mengambil hasilnya di Darus Salam itu.
“Dan Dia akan membeli petunjuk barangsiapa yang Dia kehendaki kepada jalan yang tulus."
Siapakah yang dikehendaki Allah untuk diberi-Nya petunjuk? Tentulah orang yang sekali memohonkan petunjuk itu dengan sungguh-sungguh. Oleh sebab itu, di dalam setiap rakaat shalat, baik yang fardhu ataupun yang sunnah, hendaklah kita membaca al-Faati-hah, yang salah satu di antara ayatnya ialah memohonkan petunjuk Allah kepada jalan yang lurus. Di ayat ini Allah menegaskan bahwa Dia akan memberikan petunjuk-Nya itu kepada barangsiapa yang Dia kehendaki. Sedangkan kita sendiri pun menghendaki, meng-ingini petunjuk itu, sebab alangkah bahagianya kita kalau keinginan kita yang kita sampaikan kepada Allah setiap waktu sesuai pula dengan kehendak Allah. Sehingga hidayah sesuai dengan taufik.
Lalu ayat selanjutnya memberi ketegasan terperinci siapa yang akan diterima di dalam Darus Salam dan siapa yang akan diberi petunjuk jalan yang lurus itu.
Ayat 26
“(Yaitu) untuk orang-orang yang telah berbuat baik, akan dibelilah ganjaran baik."
Sekali lagi ditegaskan dalam ayat ini, bahwasanya Allah memanggil, Allah menghimbau, marilah kemari ke Darus Salam. Allah sendiri pun bersedia memberi petunjuk kepada barangsiapa yang dikehendaki-Nya, yaitu orang yang mau menerima petunjuk untuk menuju negeri itu. Orang-orang itu telah membuktikan kesediaannya dengan amalnya yang baik, dengan kerja dan usaha. Bukan hanya kesediaan di mulut, padahal tenaga tidak diberikan. Maka orang-orang yang telah beramal baik itulah yang akan diterima di Darus Salam, menerima ganjaran yang setimpal."Dan ada tambahan." Artinya, sesudah amal baik diberi ganjaran yang baik, atau ahsanuu, lalu mendapat al-husnaa, ialah orang yang tidak berhenti berusaha baik. Mereka berani membangun dan memelihara. Itulah dia ihsan. Lantaran itu, kalau selain dari ganjaran yang patut diterimanya dia pun diberi tambahan lagi berlipat ganda oleh Allah, adalah itu sesuai dengan sikap hidup yang telah dilaluinya. Apakah tambahan itu? Menurut kebanyakan hadits, tambahan utama di dalam Darus Salam itu ialah bilamana kelak telah diberi kesempatan melihat wajah Allah.
“Dan tidaklah akan keruh wajah mereka oleh kehitaman dan tidak kehinaan." Kekeruhan muka karena hati yang kusut, sehingga disebut bermuka hitam, muka yang gelap karena pikiran kacau, tidaklah akan bertemu lagi di dalam surga itu. Yang akan bertemu hanya sinar dari iman, dari kegembiraan hati dan bahagia, karena hidup yang lalu tidak habis tersia-sia. Berbeda dengan orang yang ketika hidup hatinya terpaut kepada dunia, dia dirintang dibimbangkan oleh perhiasan dunia. Dia kembali sewenang-wenang bila telah lepas dari ombak pelayaran. Dia berbangga melihat hujan turun, sehingga dia lupa bahwa banjir ataupun belalang bisa menghancur-leburkan segala harapannya. Hatinya tidak bersangkut dengan Allah. Orang yang beginilah yang akan keruh mukanya di akhirat kelak, hitam gelap dan hina. Orang yang telah beramal baik itu tidak akan demikian.
“Meteku itulah ahli-ahli sutga. Meteku di dalamnya akan kekal."
Tunggulah di sana selama-lamanya, mengecap nikmat yang telah tersedia, obat dari jerih payah menegakkan kalimat Allah di dalam dunia ini.
Ayat 27
“Dan orang-orang yang mengusahakan yang jahat-jahat, balasan kejahatan itu sebanding dengan dia."
Artinya, orang yang di kala hidup ini yang jahat-jahatlah yang selalu diusahakan sehingga kelam picik jiwanya dari rencana baik, maka kehinaan yang akan diterimanya kelak, sengsaranya di dalam neraka, tidaklah lebih daripada apa yang patut diterimanya karena kejahatannya itu. Jika dia diadzab, adalah hal yang memang patut diterimanya."Dan akan keruhlah mereka itu oleh kehinaan." Keruh
muka karena kusut hati, sebab dosa terlalu banyak. Zalim, kejam, kepalsuan, kemunafikan dan kedurjanaan dan bertumpuknya dosa-dosa yang lain. Semuanya itu menyebabkan muka keruh kusut, ditekan oleh rasa hina diri karena dosa."Tidak ada untuk mereka suatu pemeliharaan pun dari Allah." Tidak ada tempat melindungkan diri, tempat bersembunyi. Seakan-akan seorang yang berjalan sembunyi-sembunyi di tempat gelap, menyangka tidak akan kelihatan oleh orang lain, tiba-tiba datang sebuah mobil memancarkan sinar lam-punya dengan keras sehingga jelas sama sekali muka orang yang sengaja hendak sem-bunyi itu. Maka segala berhala, segala kayu, keris, wali, keramat, azimat dan berbagai ra-gam itu, yang disangka dapat melindungi, tidak ada satu pun di saat itu yang muncul buat melindungi."Seakan-akan ditutuplah wajah-wajah mereka oleh potongan-potongan malam yang keadaannya gelap." Malam sudah gelap, artinya pengharapan tidak ada lagi. Dan bertimpa-timpa kegelapan itu, berpotong-potong. Tak ada cahaya bulan, karena bulan belum terbit. Tak ada cahaya bintang, karena awan terlalu banyak, hari akan hujan. Tak ada cahaya lampu, sebab lampu padam oleh embusan angin. Gelap di atas gelap. Sebab gelap itu datang dari jiwa sendiri, yang tidak mau menerima cahaya kebenaran sejak tatkala hidup, dan tidak pula mau berikhtiar sendiri membersihkan jiwa fitrah, sehingga mudah menerima cahaya kebenaran. Jiwanya laksana dasar lautan yang dalam sekali, yang cahaya matahari tidak pernah sampai ke sana.
“Mereka itu adalah penghuni-penghuni neraka. Mereka di dalamnya akan kekal."
Demikianlah perbandingan hidup akhirat dari kedua golongan itu, yaitu ahli surga dan ahli neraka. Di dalam ayat 25 ketika menyebut nama surga sebagai Darus Salam, Allah menjelaskan bahwa Dia memanggil, hendak merayu, mengajak: Marilah kemari. Ke sanalah yang lebih disukai oleh Allah kalau kita pergi. Allah tidak pernah memanggil kita buat masuk neraka, bahkan Allah mencegah “Jangan ke sana!" tanda kasih dan sayang-Nya diutus-Nya rasul-rasul untuk menuntunkan Shira-thal Mustaqim, jalan yang lurus menuju Darus Salam itu. Hati sanubari kita pun atau fitrah kita, bersuara pula menyambut seruan Allah itu. Maka bila Allah berkata, “Marilah kemari!" seyogianyalah kita sambut, “Labbaik,ya Rabbl" Ini aku ya Allahku, bersedia datang.
Dan marilah kita beramal berbuat baik, sebab dasar jiwa kita adalah baik.
Moga-moga setiap kita, karena amalan yang baik, dan anak-anak kita dan istri-istri kita diberi peluang oleh Allah menjadi isi Darus Salam. Amin!!