Ayat
Terjemahan Per Kata
قَدۡ
sesungguhnya
جَآءَكُم
telah datang kepadamu
بَصَآئِرُ
beberapa pandangan/keterangan
مِن
dari
رَّبِّكُمۡۖ
Tuhan kalian
فَمَنۡ
maka barang siapa
أَبۡصَرَ
melihat
فَلِنَفۡسِهِۦۖ
maka untuk dirinya sendiri
وَمَنۡ
dan barang siapa
عَمِيَ
buta
فَعَلَيۡهَاۚ
maka atasnya
وَمَآ
dan bukanlah
أَنَا۠
aku
عَلَيۡكُم
atas kalian
بِحَفِيظٖ
dengan penjaga
قَدۡ
sesungguhnya
جَآءَكُم
telah datang kepadamu
بَصَآئِرُ
beberapa pandangan/keterangan
مِن
dari
رَّبِّكُمۡۖ
Tuhan kalian
فَمَنۡ
maka barang siapa
أَبۡصَرَ
melihat
فَلِنَفۡسِهِۦۖ
maka untuk dirinya sendiri
وَمَنۡ
dan barang siapa
عَمِيَ
buta
فَعَلَيۡهَاۚ
maka atasnya
وَمَآ
dan bukanlah
أَنَا۠
aku
عَلَيۡكُم
atas kalian
بِحَفِيظٖ
dengan penjaga
Terjemahan
Sungguh, telah datang kepadamu bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu. Siapa yang melihat (bukti-bukti itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri dan siapa yang buta (tidak melihat bukti-bukti itu), maka (akibat buruknya) bagi dirinya sendiri, sedangkan aku (Nabi Muhammad) bukanlah pengawas(-mu).
Tafsir
Katakanlah olehmu hai Muhammad kepada mereka (Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti-bukti) hujah-hujah (dari Tuhanmu; maka siapa melihat) bukti-bukti kebenaran itu, lalu ia mau beriman kepadanya (maka manfaatnya bagi dirinya sendiri) sebab pahalanya dia sendirilah yang merasakannya sebagai imbalan dari maunya dia melihat bukti-bukti itu (dan siapa buta) tidak mau melihat kebenaran itu sehingga ia menjadi sesat (maka kemudaratannya kembali kepada dirinya) yakni malapetaka dari kesesatannya itu. (Dan aku, Muhammad, sekali-kali bukanlah pemeliharamu) yang selalu mengawasi amal perbuatanmu karena sesungguhnya aku ini hanyalah seorang pemberi peringatan.
Tafsir Surat Al-An'am: 104-105
Sesungguhnya telah datang kepada kalian bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka barang siapa melihat (bukti-bukti itu), maka dia akan mendapatkan manfaat untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa yang buta (tidak melihat bukti-bukti itu), maka dirinya sendirilah yang rugi. Dan aku (Muhammad) bukanlah penjaga kalian.
Demikianlah Kami jelaskan berulang-ulang ayat-ayat Kami (supaya orang-orang yang beriman mengambil pelajaran darinya) dan supaya orang-orang musyrik mengatakan, "Kamu telah mempelajari ayat-ayat itu (dari Ahli Kitab),” dan supaya Kami menjelaskan Al-Qur'an itu kepada orang-orang yang mengetahui.
Ayat 104
Yang dimaksud dengan istilah “bashoir” ialah bukti-bukti dan keterangan yang terkandung di dalam Al-Qur'an dan semua yang disampaikan oleh Rasulullah ﷺ.
“Maka barang siapa melihat (bukti-bukti itu), maka dia akan mendapatkan manfaat untuk dirinya sendiri.” (Al-An'am: 104)
Ayat tersebut semakna dengan ayat lain, yaitu:
“Barang siapa berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri. Dan barang siapa yang tersesat, maka sesungguhnya (kerugian) itu bagi dirinya sendiri.” (Al-Isra: 15)
Karena itulah dalam surat ini disebutkan:
“Dan barang siapa yang buta (tidak melihat bukti-bukti itu), maka dirinya sendirilah yang rugi.” (Al-An'am: 104)
Setelah disebutkan “bashoir”, yakni bukti-bukti dan hujah-hujah, lalu disebutkan:
“Dan barang siapa yang buta (tidak melihat bukti-bukti itu), maka dirinya sendirilah yang rugi.” (Al-An'am: 104)
Artinya, sesungguhnya kerugian itu akan menyebabkan akibat yang buruk bagi dirinya sendiri. Sama halnya dengan yang disebutkan di dalam firman lain:
“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Al-Hajj: 46)
Adapun firman Allah ﷻ: “Dan aku (Muhammad) sekali-kali bukanlah penjaga kalian.” (Al-An'am: 104)
Yakni bukan sebagai pelindung, bukan pula sebagai pengawas kalian, melainkan hanyalah penyampai (petunjuk) dan Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki dan menyesatkan siapa yang dikehendaki.
Ayat 105
Firman Allah ﷻ: “Demikianlah Kami jelaskan berulang-ulang ayat-ayat Kami (supaya orang-orang yang beriman mengambil pelajaran darinya).” (Al-An'am: 105)
Yaitu seperti yang kami jelaskan dalam surat ini, yang menerangkan tentang keesaan, bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan dan tidak ada Tuhan selain Dia. Maka demikian pula Kami menjelaskan setiap ayat dengan jelas, Kami tafsirkan, dan Kami terangkan pada tiap-tiap tempatnya, untuk menyadari orang-orang yang sesat. Dan agar orang-orang musyrik dan orang-orang kafir yang menolak ajaran Rasul mengatakan, "Wahai Muhammad, engkau hanya mempelajari ayat-ayat itu dari orang-orang Ahli Kitab sebelummu, dan engkau membaca serta mengetahui hal-hal itu dari mereka." Demikianlah takwil ayat ini menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id Ibnu Jubair, Adh-Dhahhak, dan lain-lainnya.
Imam Ath-Thabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami ayahku,telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyainah, dari Amr ibnu Dinar, dari Amr ibnu Kaisan yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna “darasta” ialah 'engkau membaca, membantah, dan berdebat'. Makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan oleh Allah ﷻ ketika menceritakan kebohongan dan penolakan dari mereka (orang-orang musyrik), yaitu melalui firman-Nya:
“Dan orang-orang kafir berkata, ‘Al-Qur'an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang dibuat-buat oleh Muhammad, dan dia dibantu oleh kaum yang lain’. Maka sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan kebohongan yang besar. Dan mereka berkata, ‘Dongengan-dongengan orang-orang dahulu yang dia minta untuk dituliskan’.” (Al-Furqan: 4-5), hingga akhir ayat.
Allah ﷻ telah berfirman pula, menceritakan tentang dugaan dan kedustaan mereka:
“Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkan), maka celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan? Kemudian celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan? Kemudian dia memikirkan, sesudah itu dia bermasam muka dan cemberut. Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri, lalu dia berkata, ‘(Al-Qur'an) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu), ini tidak lain hanyalah perkataan manusia’.” (Al-Muddassir: 18-25)
Adapun firman Allah ﷻ: “Dan supaya Kami menjelaskan Al-Qur'an itu kepada orang-orang yang mengetahui.” (Al-An'am: 105)
Artinya, supaya Kami menjelaskan Al-Qur'an itu kepada kaum yang mengetahui kebenaran (Al-Qur'an), agar mereka mengikuti petunjuknya, dan Kami juga menjelaskan Al-Qur'an kepada mereka agar mereka dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, sehingga mereka dapat menjauhi yang salah. Hanya kebijaksanaan Allah-lah yang menetapkan kesesatan mereka, karena Dia telah memberikan semua keterangan kepada mereka.
Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: "Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk.” (Al-Baqarah: 26), hingga akhir ayat.
Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat-ayat yang lain, yaitu:
“Agar Dia menjadikan apa yang ditimbulkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang yang berhati keras. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu benar-benar dalam permusuhan yang jauh.” (Al-Hajj: 53)
Dan yang Kami jadikan penjaga neraka itu hanya dari malaikat. Dan Kami menentukan bilangan mereka itu hanya sebagai cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin, dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya, dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu, dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (berkata), "Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?” Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
“Dan tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri.” (Al-Muddassir: 31)
“Dan Kami turunkan Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (Al-Isra: 82)
"Katakanlah, ‘Al-Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, dan Al-Qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh’.” (Fushshilat: 44)
Masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah ﷻ menurunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk untuk orang-orang yang bertakwa. Dengan Al-Qur'an itu Dia menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya, dengan Al-Qur'an pula Dia memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Karena itulah dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya:
“Demikianlah Kami jelaskan berulang-ulang ayat-ayat Kami (supaya orang-orang yang beriman mengambil pelajaran darinya) dan supaya orang-orang musyrik mengatakan, ‘Kamu telah mempelajari ayat-ayat itu (dari Ahli Kitab)’, dan supaya Kami menjelaskan Al-Qur'an itu kepada orang-orang yang mengetahui.” (Al-An'am: 105)
Sebagian ulama ada yang mengartikan "darasta" dengan pengertian 'engkau baca dan engkau pelajari'. Demikianlah menurut At-Tamimi, dari Ibnu Abbas.
Hal yang sama telah dikatakan pula oleh Mujahid, As-Suddi, Adh-Dhahhak, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Abdur Razzaq telah mengatakan dari Ma'mar, bahwa Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Dan supaya orang-orang musyrik mengatakan, ‘Kamu telah mempelajari ayat-ayat itu (dari Ahli Kitab)’.” (Al-An'am: 105)
Bahwa “darasta” dibaca "darasat" sehingga artinya menjadi kuno atau telah berlalu atau sudah usang.
Abdur Razzaq telah mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar. Ia pernah mendengar tbnuz Zubair mengatakan bahwa sesungguhnya ada anak-anak yang membaca ayat ini dengan bacaan “darasat”, padahal sesungguhnya bacaan yang sebenarnya adalah “darasta”.
Syu'bah mengatakan, Abu Ishaq Al-Hamdani telah menceritakan kepada kami bahwa lafal ini menurut qiraat Ibnu Mas'ud dibaca "darasat".
Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah, bahwa ia membacanya darasta dengan makna 'engkau telah membaca dan mempelajarinya'.
Menurut Ma'mar, dari Qatadah, menyebutkan “darasta” dengan makna 'engkau telah membacanya'.
Menurut dialek bacaan Ibnu Mas'ud disebutkan “darasa”.
Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Harun yang mengatakan bahwa lafal ini menurut dialek Ubay ibnu Ka'b dan Ibnu Mas'ud ialah darasa. Harun mengatakan bahwa mereka bermaksud bahwa Nabi ﷺ telah membacanya. Tetapi pendapat ini gharib, karena sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ubay ibnu Ka'b hal yang berbeda dengan hal tersebut.
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Al-Laits, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abu Buzzah Al-Makki, telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Zam'ah, dari ayahnya, dari Humaid Al-A"raj, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, dari Ubay ibnu Ka'b yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah membacakan kepadaku ayat ini dengan bacaan berikut:
“Dan supaya orang-orang musyrik mengatakan, ‘Kamu telah mempelajari ayat-ayat itu (dari Ahli Kitab)’.” (Al-An'am: 105) Diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Wahb ibnu Zam'ah. Imam Hakim mengatakan bahwa bacaan yang dimaksud ialah darasta. Kemudian ia mengatakan bahwa hadits ini shahih, tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim yang dijadikan standar bagi predikat shahih suatu hadits) tidak mengetengahkannya.
Kemampuan penglihatan manusia amat terbatas seperti diisyaratkan oleh ayat sebelum ini. Namun demikian, manusia dianugerahi oleh Allah dengan mata batin. Ayat ini menegaskan bahwa sungguh, bukti-bukti yang nyata dan sangat jelas telah datang dari Tuhanmu yang disampaikan melalui wahyu. Barang siapa melihat kebenaran itu dengan mata hatinya, maka manfaatnya bagi dirinya sendiri, bukan untuk orang lain, dan barang siapa buta mata batinnya dan tidak melihat kebenaran itu, maka dia sendiri-lah yang akan rugi, bukan orang lain. Dan aku, yakni Nabi Muhammad, bukanlah penjaga-mu, tetapi aku hanya sekadar menyampaikan nasihat. Setelah mengingatkan tugas Nabi Muhammad, kelompok ayat ini ditutup dengan pernyataan Allah sebagai berikut. Dan demikianlah Kami menjelaskan berulang-ulang ayat-ayat sebagai bukti-bukti kekuasaan Kami, baik berupa fenomena yang tergelar di alam semesta maupun yang tertulis di dalam Al-Qur'an, agar orang beriman dapat meraih petunjuk. Hal tersebut mengakibatkan orang-orang musyrik mengatakan, Engkau telah mempelajari ayat-ayat itu dari Ahli Kitab atau siapa pun. Dan hal itu juga bertujuan agar Kami menjelaskan Al-Qur'an itu kepada orang-orang yang mengetahui.
.
Allah menjelaskan hakikat dan keagungan diri-Nya sebagai penegasan dari sifat-sifat-Nya yang telah dijelaskan pada ayat yang baru lalu, yaitu bahwa Allah di atas segala-galanya. Zat-Nya Yang Agung itu tidak dapat dijangkau oleh indera manusia, karena indera manusia itu memang diciptakan dalam susunan yang tidak siap untuk melihat zat-Nya. Sebabnya tidak lain karena manusia itu diciptakan dari materi, dan inderanya hanya menangkap materi-materi belaka dengan perantaraan materi pula; sedangkan Allah bukanlah materi. Maka wajarlah apabila Dia tidak dapat dijangkau oleh indera manusia.
Yang dimaksud dengan Allah tidak dapat dijangkau dengan indera manusia, ialah selama manusia masih hidup di dunia. Sedangkan pada hari Kiamat, orang-orang beriman akan dapat melihat Allah.
Nabi Muhammad bersabda:
Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu di hari Kiamat seperti kamu melihat bulan di malam bulan purnama, dan seperti kamu melihat matahari di kala langit tidak berawan." (Riwayat al-Bukhari dan Jarir, shahih al-Bukhari IV: 283).
Allah berfirman:
Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Memandang Tuhannya. (al-Qiyamah/75: 22-23)
Kemungkinan melihat Tuhan di hari Kiamat, khusus bagi orang-orang mukmin sedangkan orang-orang kafir kemungkinan melihat Allah tertutup bagi mereka.
Allah berfirman:
Sekali-kali tidak! Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya. (al-Muthaffifin/83: 15)
Allah menegaskan bahwa Dia dapat melihat segala sesuatu yang dapat dilihat, dan basirah (penglihatan)-Nya dapat menembus seluruh yang ada, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya, baik bentuk maupun hakikat-Nya.
Di akhir ayat ini Allah menegaskan lagi bahwa Zat-Nya Mahahalus, tidak mungkin dijangkau oleh indera manusia apalagi hakikat-Nya dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu betapa pun halusnya, tidak ada yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 104
“Sesungguhnya telah datang kepada kamu beberapa pandangan dari Tuhan kamu."
Perhatikanlah! Di ayat sebelumnya (103) Tuhan menyebut abshar, yaitu pandangan-pan-dangan mata. Sekarang, dalam ayat ini Allah menyebut basha-ir, yaitu pandangan hati, yang kita ambil artinya pandangan-pandangan juga. Arti yang luas dari basha-ir ialah pendapat hati, makrifat yang putus, pendirian yang teguh, huj-jah, bijaksana. Penglihatan mata melihat apa yang dapat dicapai oleh mata, tetapi pandangan hati menembus pada apa yang tak tampak oleh mata. Biasanya disebutkan orang di antara yang tersurat dengan yang tersirat. Maka melihat yang tersurat, hati memandang yang tersirat. Mata di dalam ayat ini Allah telah mengatakan bahwa banyaklah Allah mendatangkan pandangan kepada kamu, yang sepatutnya kamu perhatikan. Jangan hanya melihat dengan mata saja, tetapi pandanglah dengan hati. Sebab, mata itu hanyalah alat penyambung saja dari hati, Yang sebenarnya mengambil kesimpulan bukanlah mata, melainkan hati. Hati lebih banyak menampak apa yang tidak kelihatan oleh mata. Maka berfirmanlah Allah selanjutnya, “Maka barangsiapa yang telah memandang maka itu adalah untuk dirinya dan barangsiapa yang membuta, itu pun celaka untuk dirinya juga." Artinya kalau segala pandangan yang diberikan oleh Allah itu kamu terima dan kamu lihat, bukan hanya semata-mata dengan mata lahir ini, melainkan disambut oleh kesadaran hati sehingga dapatlah kamu menilai kebenaran maka yang akan merasai bagiannya ialah kamu sendiri, bukan orang lain. Mereka akan keluar dari daerah kegelapan hati, kebodohan, kemusyrikan, dan kezaliman sebab dia telah mendapat inti sesuatu. Sebab yang melihat bukan matanya saja, tetapi dipertimbangkan oleh hatinya, jika hanya matanya saja yang melihat, padahal hati atau akal dan pikiran tidak berjalan mempertimbangkan apa yang dilihat oleh mata, samalah dia dengan orang buta bahkan lebih celaka dari orang yang buta matanya, tetapi tidak buta hatinya.
“Dan bukanlah aku penjaga atas kamu."
Artinya, ujung ayat ialah bahwa Nabi saw, disuruh menyampaikan bahwa keselamatan diri mereka adalah amat bergantung kepada usaha ikhtiar mereka sendiri, jika mereka menggunakan pandangan hati, akan sampailah faedah pandangan-pandangan berbagai macam yang diberikan Allah itu ke dalam dirinya dan yang akan berbahagia adalah mereka sendiri juga. Dan kalau mereka membuta, tidak mau peduli, tidak mempergunakan pertimbangan akal yang waras, yang akan celaka mereka juga. Rasul ﷺ hanyalah sekadar menyampaikan. Rasul tidak berkuasa berbuat apa-apa. Rasul tidak akan mengawal, mereka adalah manusia yang berakal.
Ayat 105
“Dan seperti demikianlah, Kami telah memperpaling-palingkan ayat-ayat."
Ayat-ayat di sini artinya ialah keterangan. Yaitu bahwa dengan berbagai jalan Allah telah menyampaikan keterangan itu. Kadang-kadang sampai menyebut belahnya buah dan biji, kadang-kadang menyebut belahnya subuh oleh datangnya fajar. Terkadang menyebut asal-usul kejadian manusia dari diri yang satu, dan bermacam-macam lagi. Allah memberikan penerangan dari segala sudut, dipalingkan ke sana dan dipalingkan kemari, tetapi tujuan hanya satu, yaitu memberi pengertian kepada mereka untuk memberikan petunjuk dan ilmu, menggugah akal pikiran mereka. “Namun akhirnya mereka berkata, ‘Engkau telah membaca!'" Artinya, segala seruan, pelajaran dan pandangan dan ayat-ayat dengan segala macam perpalingan itu telah mereka tolak saja dengan kasar. Yaitu bahwa segala yang engkau sampaikan itu, ya, Muhammad, tidak ada yang wahyu dari Allah, tetapi semuanya itu telah engkau pelajari dari orang lain. Itulah yang engkau baca-bacakan kepada kami. Malahan ada mereka mengatakan bahwa Muhammad ﷺ datang berulang-ulang belajar hikmah kuno kepada seorang budak bangsa Romawi, seorang ahli membuat pedang yang sudah lama tinggal di Mekah, Itulah guru Muhammad ﷺ yang mengajarnya apa yang dikatakannya wahyu (an-Nahl). Tuduhan yang sangat dangkal ini disuruh Allah membantah; bahwa Allah telah tahu, mereka menuduh bahwa segala ayat ini dipelajari oleh Rasulullah ﷺ kepada seorang ‘Ajami, yaitu orang Romawi, padahal wahyu ini turun dalam bahasa Arab. Dan bahasa Arab yang dipakai oleh Muhammad ﷺ ini pun sangat halus dan fasihnya sehingga sefasih-fasih orang Quraisy pun kagum mendengarkan ayat itu, tidak tertolok terbandirig oleh siapa pun juga orang Arab sendiri. Maka, melihat kenyataan itu, dapatkah diterima keterangan kamu bahwa Al-Qur'an ini dipelajari Muhammad kepada seorang budak ahli menempa pedang, yang datang dari negeri Rum? Yang bagaimanapun lamanya tinggal bergaul dengan orang Arab asli Quraisy di Mekah, tetapi lidah Rum-nya itu tidak dapat diperbaikinya sehingga mesti kentara juga. Orang itu yang kamu katakan guru dari Muhammad? Tuduhan ini pun tidak lain asal menuduh saja karena kufur. Mengapa tidak disebut saja nama seorang ahli bahasa orang Arab Quraisy sendiri, yang telah terkenal ahlinya dalam pidato atau dalam syair? Tentu tidak bisa karena memang orang itu tidak ada. Mereka tidak mau berdusta kecil sebab itu mereka ambillah dusta yang lebih besar.
Kemudian datanglah penutup ayat,
“Dan untuk Kami menenangkannya kepada kaum yang hendak tahu."
Artinya, Al-Qur'an ini akan terus diterangkan juga oleh Allah kepada kaum yang mau mengetahui yang tidak terikat oleh taklid dan membuta, yang terbuka matanya dan terbuka hatinya, yang ingin kebahagiaan dirinya sebagai yang pada ayat yang di atas tadi. Adapun me-reka yang tetap hendak membuta, biarlah mereka menuduh bahaya segala ajaran ini adalah dipelajari Muhammad kepada orang lain, entah tukang pedang budak bangsa Rum atau ‘Adas budak Nasrani yang mengakui Islam ketika bertemu satu kali dengan Rasulullah di Thaif. Namun, segala tuduhan itu hanya akan menambah kejatuhan dan kebutaan mereka jua.
Untuk meneguhkan sikap Rasulullah ﷺ menghadapi tugas yang berat ini maka ber-firmanlah Allah selanjutnya.
Ayat 106
“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepada engkau daripada Tuhan engkau “
“Dan berpalinglah dari orang-orang yang mempersekutukan itu."
Artinya, dengan berjalan terusnya Rasul menanamkan pokok keyakinan ini bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, manusia akan terbagi dua juga, yaitu yang percaya dan yang menolak. Atau yang menerima tauhid dan yang tetap dalam musyrik. Maka tanamkanlah tauhid ini sampai mendalam kepada orang yang telah bersedia beriman dan jangan engkau buang tempo terhadap orang yang menolak dengan membuta-tuli itu. Sebab kalau sudah sampai mereka berkata dengan tidak semena-mena bahwa ajaranmu ini hanya ulangan pelajaran engkau dengan orang lain, tandanya kekufuran mereka ini tidak usah diladeni lagi. Engkau jalan terus memancangkan tauhid di hati umat.
Ayat 107
“Dan jikalau Allah menghendaki, tidaklah mereka akan mempersekutukan."
Dahulu ketika menafsirkan ayat yang serupa ini (lihat tafsir ayat 35), telah kita misalkan binatang-binatang seperti lebah yang disatukan saja semuanya, tetapi tidak berpikir. Maka, di sini pun demikian pula, kalau Allah mau, Dia dapat juga membuat manusia ini menjadi Mukmin semua dan kemusyrikan jadi hilang, orang bersatu semua dalam tauhid, laksana keadaan malaikat. Namun, ini adalah manusia, kejadian manusia lain dari binatang seumpama lebah atau seumpama malaikat. Dalam diri manusia disediakan Allah kesanggupan menerima iman atau kufur, tauhid atau syirik, taat atau fasik, dan semuanya ini ditempuh dengan perjuangan.
“Dan tidaklah Kami jadikan engkau menjadi penjaga atas mereka dan tidaklah engkau atas mereka menjadi pengurus."
Penjaga dan pemelihara mereka adalah Allah sendiri dan pengurus mereka pun tidak lain daripada Allah. Urusan itu terpulanglah seratus per seratus kepada Allah. Dan engkau sendiri teruskanlah pula kewajibanmu menyampaikan, mentablighkan. Tidaklah dipikulkan kepadamu kewajiban yang tidak dapat engkau pikul. Bukan engkau yang akan mengurus iman mereka, tegasnya bukan engkau yang menguasai mereka. Oleh sebab itu, jika belum berhasil, tidak usahlah engkau merasa berkecil hati. Serahkan hal itu kepada Allah.
Menurut Ibnu Abbas, ayat itu telah mansukh setelah datang perintah jihad memerangi Musyrikin. Akan tetapi, jumhur berpendapat bahwa di sini tidak terdapat soa) nasikh dan mansukh. Memang, sebelum umat terbentuk dan kekuatan Islam belum tumbuh, belum ada perintah berperang. Setelah pihak Musyrikin itu sendiri sampai mengusir Nabi dan kaum Muslimin sendiri dari Mekah, berkumpul ke Madiriah datanglah perintah boleh berperang karena mempertahankan aqidah. Akan tetapi, isi ayat memberi petunjuk manusia atau mengawal dan mengurus ini dada mereka dan hidayah mereka, tetaplah Allah jua bukan Nabi. Meskipun ketika habis Peperangan Hunain, Rasulullah ﷺ membagi-bagikan harta rampasan perang sebanyak-banyaknya kepada orang muallaf Mekah, yang membelokkan hati mereka daripada syirik pada iman, bukanlah Rasulullah saw, dan bukan pula harta rampasan itu, melainkan Allah jua adanya.
(108) Dan janganlah kamu maki apa yang mereka seru selain Allah itu karena mereka akan memaki Allah (pula) dengan sebab tak ada ilmu. Seperti demikianlah, telah Kami hiaskan bagi tiap-tiap umat akan amalan mereka kemudian itu kepada Tuhan merekalah tempat pengembalian mereka. Maka, Dia akan menerangkan kepada mereka apa-apa yang telah mereka kerjakan itu.
(109) Dan bersumpahlah mereka dengan nama Allah, sebenar-benar persumpahan jika datang kepada mereka suatu ayat, sungguh-sungguh mereka akan beriman! Katakanlah, “Ayat-ayat itu tidak ada hanyalah pada sisi Allah!" Dan tidaklah menyadarkan kepada kamu bahwasanya ayat-ayat itu apabila datang, mereka tidak juga akan beriman.
(110) Dan akan Kami perpaling-palingkan hati mereka dan pandangan-pandangan mereka, sebagaimana mereka tidak beriman sejak pertama kali."Dan Kami biarkan mereka di dalam kesesatan itu pada kebingungan.
Pada ayat yang telah lalu Allah telah memerintahkan kepada Rasul-Nya supaya jalan terus mengerjakan dakwah dan jangan dipedulikan macam-macam kata dan permintaan dari orang-orang musyrikin itu. Nabi disuruh sabar dan memperbanyak maaf, sebab persediaan dan alat menerima yang ada pada manusia tidaklah sama, selalu bertinggi berendah juga. Rasul hanya menyampaikan bukan memaksakan, pemberi petunjuk bukan menjalankan kehendaknya dengan kekerasan. Yang akan menumbuhkan iman di dalam hati manusia hanyalah Allah sendiri. Setelah itu Allah menambah lagi peringatan-Nya.
Ayat 108
“Dan janganlah kamu maki apa yang mereka seru selain Allah itu karena mereka akan memaki Allah (pula) dengan sebab tak ada ilmu." Pada ayat ini diperingatkanlah kepada sekalian orang Mukmin bahwa berhala-berhala yang disembah oleh orang jahiliyyah itu janganlah dimaki atau dihinakan. Lebih baik tunjukkan saja dengan alasan yang masuk akal bagaimana keburukan menyembah berhala. Namun, jangan berhala itu dimaki atau dicerca. Sebab kalau pihak orang-orang yang beriman sudah mulai memaki-maki atau mencerca dan menghinakan berhala mereka, tandanya pihak kita sudah kehabisan alasan untuk memburukkan perbuatan mereka. Dan kalau berhala yang mereka sembah dimaki oleh pihak Muslimin, niscaya mereka akan mencerca memaki pula apa yang disembah oleh orang yang beriman. Yang disembah oleh orang yang beriman, tidak lain, hanyalah Allah. Maka oleh karena jahil, tidak ada ilmu tentang Allah, mereka nanti akan memaki Allah pula. Padahal, sebagaimana dimaklumi orang-orang yang menyembah berhala itu mengakui juga bahwa Allah Ta'aala tetap ada dan tetap Esa. Mereka menyembah berhala, kata mereka, hanyalah untuk perantara saja yang akan menyampaikan permohonan mereka kepada Allah. Namun, kalau lantaran hati mereka telah disakiti sebab berhala mereka dimaki dengan tiada ada pertimbangan ilmu lagi, akhirnya mereka pun memaki Allah. Sakit hati mereka kepada kaum Muslimin yang memaki berhala mereka, mereka balaskan dengan memaki Allah. Dengan demikian keadaan tidak akan bertambah baik, tetapi bertambah kacau. Kalau mereka memaki Allah karena membalaskan maki orang beriman terhadap berhala mereka, niscaya orang Islam yang memaki itu tidak lepas dari dosa, sebab mereka yang memulai.
Ayat ini menunjukkan bahwa memaki karena perbedaan pendapat atau pendirian tidaklah menunjukkan bahwa orang-orang yang mengerjakannya itu orang yang berilmu. Di dalam bahasa Arab diungkapkan,
“Yang memulai lebih dahulu, itulah yang lebih zalim!"
Pengajaran ini dapat diperluas lagi. Menurut hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr, berkata Rasulullah ﷺ
“Termasuk dosa besar seseorang mencerca ayah bundanya."
Maka bertanyalah mereka, “Ya, Rasulullah! Adakah orang yang mencerca ayahnya?" Beliau menjawab:
“Dia memaki ayah seseorang lalu orang itu memaki ayahnya pula. Lalu dimakinya ibunya, dia pun membalas memaki ibunya pula." (HR Bukhari dan Muslim)
Orang Islam terikat dengan larangan yang keras ini, terutama apabila berhadapan dengan zendirig-zendirig dan misi-misi Kristen. Kadang-kadang di dalam melakukan propaganda agama mereka, tidaklah mereka merasa keberatan menyakitkan hati kaum Muslimin dengan mengatakan Nabi Muhammad ﷺ nabi palsu, nabi syahwat, kepala perang yang ganas, menyiarkan Islam dengan pedang dan sebagainya. Malahan terkadang lebih kasar dari itu, ada yang berkata bahwa Muhammad itu mengharamkan daging babi, sebab dia sendiri amat rakus makan babi! Niscaya sakitlah hati kita mendengarkan kata-kata yang demikian. Padahal kalau kita balas dengan memaki-maki Nabi Isa al-Masih alaihis-salam, kita pun keluar dari Islam, menjadi kafir. Sebab Nabi Isa, walaupun mereka anggap sebagai Tuhan, bagi kita beliau adalah salah seorang nabi dan rasul yang kita imani dan muliakan. Adapun membalas makian mereka kepada Muhammad ﷺ dengan memaki Nabi Isa lagi berdosa besar, apalagi jika kita yang memulai memaki Nabi Isa lalu mereka balas lagi dengan memaki Nabi Muhammad ﷺ, niscaya kita memikul dosa dua kali yang kedua-duanya besar. Pertama memaki Nabi Isa alaihis-salam, kedua menyebabkan orang lain memaki Nabi Muhammad ﷺ
Jika orang Islam memegang teguh agamanya, tidaklah mungkin terjadi pertengkaran yang mengakibatkan maki-memaki. Di dalam ayat sudah diisyaratkan bahwasanya perbuatan yang demikian hanya timbul dengan sebab tidak ada ilmu. Sebagaimana pepatah yang terkenal, “Kalau isi otak tidak ada yang akan dikeluarkan, padahal mulut hendak berbicara juga maka akhirnya isi ususlah yang dikeluarkan!" Demikian juga orang Kristen yang memegang agamanya dengan betul, niscaya mereka tidak akan memakai perkataan yang dapat menyakitkan hati, kebohongan dan makian dalam melakukan propaganda agama mereka sebab salah satu isi Injil yang mereka pegang adalah, “Kasihanilah musuhmu!"
Ada dua-tiga macam asbabun nuzul tersebut dalam kitab-kitab tafsir yang kesimpulannya adalah bahwa memang pernah kejadian kaum Muslimin tatkala di Mekah memaki dan mencela dan mencerca berhala-berhala kaum Musyrikin itu maka lantaran sakit hati berhala mereka dimaki, mereka maki pulalah Allah. Sebab kaum beriman menyembah Allah. Kemudian, datanglah ayat ini, larangan kepada kaum Muslimin memaki berhala mereka agar mereka jangan memaki Allah. Tersebab bodoh tak ada pengetahuan. Tegasnya jangan berlawan dengan orang bodoh kalau engkau berakal. Sebab akhirnya engkau jugalah yang akan terpaksa mengalah. Jangan “cari pasal" dengan mereka.
“Seperti demikianlah telah Kami hiaskan bagi tiap-tiap umat akan amalan merekaLanjutan ayat ini menegaskan lagi kebiasaan jiwa tiap-tiap golongan umat, yaitu selalu merasa bangga dengan kelebihan dan keutamaan yang ada pada mereka. Segala amal perbuatan mereka dihiaskan, artinya, dirasa paling bagus, paling betul. Lantaran telah dihiaskan datam hati begitu rupa, amal yang betul diangkat-angkat dan ditonjolkan setinggi langit, yang sepuluh dijadikan seratus, dan amalan yang salah dibela mati-matian supaya dipandang betul. Pokok ayat ini menerangkan bahwa rasa bangga dengan usaha sendiri itu adalah ditanamkan oleh Allah sendiri dalam hati tiap-tiap umat. Dapatlah kita rasakan bahwa penghiasan begini ditanamkan Allah untuk menjaga niscaya kebanggaan dan hiasan itu dapat membawa kegelapan. Adat jahiliyyah pusaka nenek moyang yang nyata salahnya, tidak masuk akal, sebagai menyembah berhala, tentu akan dipertahankan juga. Sebagai umat Arab sendiri. Pada zaman jahiliyyah dihiaskan bagi mereka kebanggaan kabilah, kebanggaan berhala. Setelah datang Islam, di kalangan merekalah timbul Nabi akhir zaman Muhammad ﷺ dan dengan bahasa mereka, Al-Qur'an diturunkan. Hal ini bolehlah dibanggakan karena telah dihiaskan Allah kepada mereka. Namun, kalau Nabi Muhammad ﷺ dibanggakan oleh orang Arab sebab dia bangsa Arab, padahal amalan yang beliau ajarkan tidak diamalkan. Atau orang Arab berbangga sebab Al-Qur'an berbahasa Arab, tetapi tuntunan Al-Qur'an tidak dituruti, sama sajalah keadaannya dengan perhiasan yang dibanggakan orang pada zaman jahiliyyah.
Pada ayat ini kita bertemu bahwa amal itu dihiaskan Allah kepada suatu umat. Namun, di ayat yang lain kelak kita akan bertemu pula bahwa setan pun turut menghiaskan amalan yang jahat kepada orang yang diperdayakan nya, sebagai yang tersebut dalam surah al-An'aam ini sendiri ayat 40 dan 137; al-Anfaal: 49, an-Nahl: 63; an-Naml: 24, al-'Ankabut: 38; Hamim-Sajadah; 25, dan lain-lain.
“Kemudian itu, kepada Tuhan merekalah tempat pengembalian mereka maka Dia akan menerangkan kepada mereka apa-apa yang telah mereka kerjakan itu."
Maka bolehlah mereka bangga menerima apa yang dihiaskan oleh Allah dan jangan merasa bangga menerima apa yang dihiaskan oleh setan. Selama masih hidup di dunia berlom-balah berbuat yang baik dan bertambah banyak berbuat kebajikan yang timbul dari hati yang ikhlas, bertambah banyak pulalah pahala yang akan diterima di sisi Allah kelak, setelah semua makhluk atau umat dikembalikan ke hadirat Allah. Pada waktu itulah kelak akan dijelaskan oleh Allah apa macamnya amalan kita itu, baik dibalas baik, buruk pun dibalas buruk. Dibalas dengan seadil-adilnya.
Ayat 109
“Dan bersumpahlah mereka dengan nama Allah, sebenar-benar penumpahan jika datang kepada mereka suatu ayat, sungguh-sungguh mereka akan beriman."
Demikianlah, beberapa orang pemuka kaum musyrikin di Mekah itu telah datang kepada Rasullulah ﷺ menerangkan bahwa mereka sungguh-sungguh mau percaya pada apa yang beliau serukan itu, asal saja beliau membawakan suatu mukjizat. Kata mereka, “Isa al-Masih sudah menghidupkan orang mati! Nabi Saleh telah mengeluarkan seekor unta dari dalam batu! Maka, sekarang engkau sendiri pun, sebab mengaku menjadi rasul, cobalah tunjukkan kepada kami suatu ayat (mukjizat), yaitu cobalah jadikan Bukit Shafa ini menjadi emas. Sebaik Bukit Shafa menjadi emas maka pada waktu itu juga kami semuanya ini akan percaya kepada engkau, kami bersumpah!" (HR Abusy Syekh dari Ibnu Jarir).
Menurut lanjutan riwayat, Nabi ﷺ telah menadahkan tangannya ke langit sebab percaya akan sumpah mereka. Segeralah turun Jibril memberitahukan bahwa seketika juga permohonan itu bisa dikabulkan Allah, tetapi Nabi ﷺ disuruh memilih satu di antara dua. Yaitu kalau permohonan itu dikabulkan oleh Allah, padahal di antara mereka masih ada yang kafir maka semua mereka akan dimusnahkan. Atau permohonan ini tidak dikabulkan, melainkan dibiarkan dan diharapkan ada di antara mereka yang tobat maka tobat mereka akan diterima, dengan tidak perlu mengadakan mukjizat. Mendengar keterangan itu, Rasulullah ﷺ memilih yang kedua. Setelah beliau pilih yang kedua, turunlah ayat ini.
Rasulullah ﷺ telah mengerti apa akibatnya kalau mereka mungkir. Sebab hal yang seperti ini telah kejadian kepada umat Nabi Saleh. Setelah unta mukjizat itu keluar, mereka bunuh! Maka, hancur lumatlah kaum Tsamud itu disapu bersih oleh adzab Allah. Hal seperti ini pun bisa kejadian pula kepada kaum Quraisy itu. Akan ada saja kelak yang mengatakan bahwa bukit menjadi emas itu hanyalah sihir saja.
Nabi akhir zaman tidak mau umatnya hanya percaya karena suatu keganjilan. Beliau lebih suka umatnya memeluk agama dengan pengertian karena keingkaran dan kekufuran itu bukan dari lubuk jiwa, melainkan hanya hawa nafsu. Muhammad ﷺ memohonkan kemenangan agama yang abadi, bukan kemusnahan suatu umat. Oleh karena itu, dipilihnya yang kedua. Dan Bukit Shafa tidak jadi menjadi emas sehingga jika dimisalkan Bukit Shafa menjadi emas, padahal bukit itu masih ada sampai sekarang, apakah yang akan kejadian dalam keadaan manusia sebagai sekarang ini? Niscaya salah satu dari dua. Pertama, bukit itu menjadi berhala dan disembah. Kedua, Bukit Shafa menjadi tambang emas dan Mekah tidak lagi menjadi pusat peribadatan, tetapi tempat mencari kekayaan dan kemewahan!
“Katakanlah, ‘Ayat-ayat itu tidak ada, hanyalah pada sisi Allah.'" Katakanlah wahai utus-an-Ku, bahwasanya Yang Mahakuasa menentukan mukjizat itu bukanlah aku dan bukan siapa-siapa, melainkan Allah. Kata-kata ini penuh didikan adab sopan yang tinggi, mengajak orang menuju sepenuh perhatian kepada Allah, bukan menuntut untuk mengadakan yang ganjil-ganjil sebagai menentang kepada Rasul.
Mula-mula orang-orang yang sudah beriman sendiri pun telah mengharapkan terjadi Bukit Shafa menjadi emas, sebab mereka percaya kepada sumpah orang yang musyrikin itu. Kemudian, di ujung ayat Allah berfirman,
yang dihadapkan kepada orang-orang yang beriman.
“Dan tidakkah menyadarkan kepada kamu bahwasanya ayat-ayat itu apabila datang, mereka tidak juga akan beriman?"
Dengan ujung ayat ini, diberi pengertianlah umat yang beriman bahwa persangkaan mereka Musyrikin itu akan meneguhi sumpah mereka lalu masuk Islam setelah melihat bukit menjadi emas adalah persangkaan yang hampa belaka. Niat mereka meminta mukjizat bukanlah karena ingin beriman, melainkan karena hendak menguji atau menentang Nabi Muhammad ﷺ saja. Tantangan mereka itu adalah dari sikap jiwa, bukan daripada kejujuran.
Ayat 110
“Dan akan Kami perpaling-palingkan hati mereka dan pandangan-pandangan mereka, sebagaimana mereka tidak beriman sejak pertama."
Lanjutan penjelasan kepada orang-orang beriman tadi bahwa Musyrikin itu tidak juga akan mau percaya, walaupun gunung batu menjadi emas. Kalau misalnya itu kejadian, akan berpaling-palinglah hati mereka dan pemandangan mereka lalu mereka berbantah-bantahan lagi dan mencari dalih lagi. Misalnya mereka akan berkata, ‘Apakah ini satu sambungan sihir lagi dari Muhammad?" Apakah ini bukan satu penipuan bagi kita? Apakah ini satu permainan sulap saja? Pendeknya, mereka sejak bermula telah mengatur siasat buat menolak lagi mukjizat gunung emas itu kalau kejadian sehingga mereka akan tetap saja dalam kekufuran, sebagaimana pertama kali, sebelum mukjizat diadakan.
“Dan Kami biarkan mereka di dalam kesesalan itu, pada kebingungan."
(ujung ayat 110)