Ayat

Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُوٓاْ
beriman
إِنَّ
sesungguhnya
كَثِيرٗا
kebanyakan/sebagian besar
مِّنَ
dari
ٱلۡأَحۡبَارِ
ulama-ulama (Yahudi)
وَٱلرُّهۡبَانِ
dan rahib-rahib
لَيَأۡكُلُونَ
sungguh mereka memakan
أَمۡوَٰلَ
harta
ٱلنَّاسِ
manusia
بِٱلۡبَٰطِلِ
dengan batil
وَيَصُدُّونَ
dan mereka menghalang-halangi
عَن
dari
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِۗ
Allah
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
يَكۡنِزُونَ
(mereka) menyembunyikan
ٱلذَّهَبَ
emas
وَٱلۡفِضَّةَ
dan perak
وَلَا
dan tidak
يُنفِقُونَهَا
mereka menafkahkannya
فِي
di
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
فَبَشِّرۡهُم
maka beritakan kepada mereka
بِعَذَابٍ
dengan siksaan
أَلِيمٖ
yang pedih
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُوٓاْ
beriman
إِنَّ
sesungguhnya
كَثِيرٗا
kebanyakan/sebagian besar
مِّنَ
dari
ٱلۡأَحۡبَارِ
ulama-ulama (Yahudi)
وَٱلرُّهۡبَانِ
dan rahib-rahib
لَيَأۡكُلُونَ
sungguh mereka memakan
أَمۡوَٰلَ
harta
ٱلنَّاسِ
manusia
بِٱلۡبَٰطِلِ
dengan batil
وَيَصُدُّونَ
dan mereka menghalang-halangi
عَن
dari
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِۗ
Allah
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
يَكۡنِزُونَ
(mereka) menyembunyikan
ٱلذَّهَبَ
emas
وَٱلۡفِضَّةَ
dan perak
وَلَا
dan tidak
يُنفِقُونَهَا
mereka menafkahkannya
فِي
di
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
فَبَشِّرۡهُم
maka beritakan kepada mereka
بِعَذَابٍ
dengan siksaan
أَلِيمٖ
yang pedih
Terjemahan

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya banyak dari para rabi dan rahib benar-benar memakan harta manusia dengan batil serta memalingkan (manusia) dari jalan Allah. Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, tetapi tidak menginfakkannya di jalan Allah, berikanlah kabar ‘gembira’ kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih
Tafsir

(Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan) yakni mengambil (harta benda orang lain dengan cara yang batil) seperti menerima suap dalam memutuskan hukum (dan mereka menghalang-halangi) manusia (dari jalan Allah) dari agama-Nya. (Dan orang-orang) lafal ini menjadi mubtada/permulaan kata (yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya) dimaksud ialah menimbunnya (pada jalan Allah) artinya mereka tidak menunaikan hak zakatnya dan tidak membelanjakannya ke jalan kebaikan (maka beritahukanlah kepada mereka) beritakanlah kepada mereka (akan siksa yang pedih) yang amat menyakitkan.
Tafsir Surat At-Taubah: 34-35
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
(Ingatlah) pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi, lambung, dan punggung mereka, (lalu dikatakan kepada mereka) “Inilah harta benda kalian yang kalian simpan untuk diri kalian sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kalian simpan itu.”
Ayat 34
As-Suddi mengatakan bahwa al-ahbar adalah menurut istilah orang Yahudi, sedang ar-ruhban adalah menurut istilah di kalangan orang-orang Nasrani. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: “Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendata mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram?” (Al-Maidah: 63)
Ar-Ruhban adalah ahli ibadah di kalangan orang-orang Nasrani, sedangkan ulama mereka disebut pastur, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: “Yang demikian itu disebabkan di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib.” (Al-Maidah: 82) Makna yang dimaksud ialah perintah untuk waspada terhadap ulama su' (ulama yang jahat) dan ahli ibadah yang sesat, seperti apa yang dikatakan oleh Sufyan ibnu Uyaynah, "Orang yang rusak dari kalangan ulama kami, maka dia lebih mirip dengan orang Yahudi; dan orang yang rusak dari kalangan ahli ibadah kami, maka dia lebih mirip dengan orang Nasrani.”
Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan: “Sesungguhnya kalian benar-benar akan meniru perbuatan orang-orang sebelum kalian, satu langkah demi satu langkah.” Para sahabat bertanya, "Apakah yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani?" Nabi ﷺ menjawab, "Lalu siapa lagi?"
Menurut riwayat lain, mereka mengatakan Persia dan Romawi, maka Nabi ﷺ menjawab, "Lalu siapa lagi kalau bukan mereka?"
Makna yang dimaksud ialah peringatan agar kita jangan meniru mereka dalam ucapan dan keadaan kita.
Allah ﷻ berfirman: “Benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)
Demikian itu karena mereka (para rahib dan orang-orang alim Yahudi) menukar agama mereka dengan materi dunia, dan mereka memakan harta para pengikutnya melalui kedudukan dan kepemimpinan mereka, seperti yang terjadi di kalangan orang-orang alim Yahudi di masa Jahiliah, mereka mempunyai kehormatan tersendiri, dan mereka membebankan kepada para pengikutnya untuk membayar upeti, hadiah, serta pajak untuk kepentingan diri mereka sendiri.
Setelah Allah mengutus Rasul-Nya, mereka tetap menjalankan kesesatan, kekufuran, dan keingkaran mereka karena ketamakan mereka untuk mempertahankan kedudukan tersebut. Tetapi Allah memadamkannya dengan nur (cahaya) kenabian, mencabutnya dari mereka, memberi ganti mereka dengan kehinaan dan dipandang remeh, serta mereka kembali dengan membawa murka dari Allah ﷻ
Firman Allah ﷻ: “Dan mereka menghalang-halangi (manusia dari) jalan Allah.” (At-Taubah: 34)
Yakni di samping mereka memakan barang haram, mereka juga menghalang-halangi manusia supaya tidak mengikuti jalan yang benar; dan mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan, lalu menampakkan di kalangan orang-orang bodohnya bahwa mereka menyeru kepada kebaikan, padahal kenyataannya tidaklah seperti apa yang mereka duga. Bahkan mereka adalah para penyeru kepada neraka, dan kelak di hari kiamat mereka tidak akan mendapat pertolongan.
Firman Allah ﷻ: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah.” (At-Taubah: 34), hingga akhir ayat.
Mereka yang disebutkan oleh ayat ini merupakan golongan yang ketiga dari pemimpin manusia, karena sesungguhnya manusia itu merupakan beban bagi para ulama, semua hamba Allah, dan orang-orang yang memiliki harta.
Apabila keadaan mereka rusak, maka keadaan manusia pun rusak pula, seperti apa yang dikatakan oleh Ibnul Mubarak dalam bait syairnya: “Tiada yang merusak agama kecuali para raja, orang-orang alim dan rahib-rahib yang su' (jahat).”
Pengertian al-kanzu menurut riwayat Malik, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar ialah harta yang tidak ditunaikan zakatnya.
Ats-Tsauri dan lain-lainnya telah meriwayatkan dari Ubaidillah Dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa harta yang zakatnya dibayarkan bukanlah al-kanzu (harta simpanan), sekalipun harta tersebut disimpan di bawah bumi lapis ketujuh. Dan harta benda yang tampak, tetapi tidak dibayarkan zakatnya, maka harta itulah yang disebut al-kanzu.
Hal ini telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Jabir, dan Abu Hurairah secara mauquf dan marfu.
Umar ibnul Khattab dan lain-lainnya mengatakan bahwa harta yang zakatnya ditunaikan bukan dinamakan harta simpanan, sekalipun ditanam di dalam tanah. Sedangkan harta yang tidak ditunaikan zakatnya, maka harta itu adalah harta simpanan; kelak pemiliknya akan disetrika dengannya (di hari kiamat), sekalipun harta itu ada di permukaan bumi.
Imam Bukhari telah meriwayatkan melalui hadits Az-Zuhri, dari Khalid ibnu Aslam yang mengatakan bahwa kami keluar bersama Abdullah ibnu Umar, lalu Abdullah ibnu Umar berkata, "Ini sebelum diturunkan ayat zakat. Setelah ayat zakat diturunkan, maka Allah menjadikan zakat sebagai pencuci harta benda."
Hal yang sama telah dikatakan oleh Umar ibnu Abdul Aziz dan Irak ibnu Malik, bahwa ayat ini di-mansukh oleh firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (At-Taubah: 103), hingga akhir ayat.
Sa'id ibnu Muhammad ibnu Ziyad telah meriwayatkan dari Abu Umamah yang mengatakan, "Perhiasan pedang termasuk barang simpanan, dan aku tidak sekali-kali berbicara kepada kalian melainkan apa yang aku dengar dari Rasulullah ﷺ."
Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Abu Husain, dari Abud Duha, dari Ja'dah ibnu Hubairah, dari Ali yang mengatakan bahwa empat ribu (dirham) ke bawah adalah untuk nafkah, dan jumlah yang lebih besar daripada itu dinamakan harta simpanan. Atsar ini gharib.
Cukup banyak hadits yang menyebutkan tentang pujian kepada mempersedikit emas dan perak, dan celaan terhadap memperbanyak memiliki keduanya.
Berikut ini kami ketengahkan sebagian darinya apa yang cukup untuk membuktikan keseluruhannya.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ats-Tsauri, telah menceritakan kepadaku Abu Husain, dari Abud Duha, dari Ja'dah ibnu Hubairah, dari Ali sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak.” (At-Taubah: 34), hingga, akhir ayat. Bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Celakalah bagi emas. celakalah bagi perak.” Nabi ﷺ mengucapkannya sebanyak tiga kali. Ali melanjutkan kisahnya, bahwa hal tersebut terasa berat oleh para sahabat, dan mereka mengatakan, "Harta apakah yang boleh kami miliki?" Maka Umar berkata, "Aku akan mempertanyakan hal ini buat kalian." Umar bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya sahabat-sahabatmu merasa keberatan. Mereka menanyakan harta apakah yang boleh mereka miliki?" Rasulullah ﷺ bersabda: “Lisan yang selalu berzikir kepada Allah, hati yang selalu bersyukur, dan istri yang membantu seseorang di antara kalian untuk agamanya.”
Hadits lain:
Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Amr ibnu Murrah, dari Abu Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepadaku Salim ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Abul Huzail, telah menceritakan kepada kami seorang temanku, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Celakalah bagi emas dan perak.”
Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa temannya itu berangkat bersama Umar ibnul Khattab menghadap Rasulullah ﷺ, lalu Umar bertanya, "Wahai Rasulullah, sabdamu mengatakan, 'Celakalah bagi emas dan perak.' lalu harta apa yang boleh kami simpan?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Lisan yang berzikir, hati yang bersyukur, dan istri yang membantu urusan akhirat.”
Dalam hadits lainnya Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Amr ibnu Murrah, dari ayahnya, dari Salim ibnu Abul Ja'd, dari Sauban yang mengatakan bahwa setelah diturunkan ayat mengenai emas dan perak pada permulaannya, mereka bertanya, "Harta apakah yang boleh kami ambil?" Umar melanjutkan kisahnya, bahwa dialah yang akan menanyakan masalah itu kepada Rasulullah ﷺ. Kemudian ia memacu untanya hingga berada di belakang unta Nabi ﷺ, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, harta apakah yang boleh kami ambil?” Maksudnya yang boleh mereka miliki.
Maka Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Hati yang bersyukur, lisan yang berzikir, dan istri yang membantu seseorang di antara kalian untuk urusan akhiratnya.”
Imam At-Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Salim ibnu Abul Ja'd. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.
Telah diriwayatkan pula dari Imam Bukhari bahwa Salim mendengar hadits ini dari Sauban. Menurut kami, karena itulah sebagian dari mereka meriwayatkannya secara mursal (yakni hanya sampai kepada tabiin saja).
Dalam hadits lainnya lagi Ibnu Abu Hatim mengatakan: Telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu Malik, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ya'la Al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Gailan ibnu Jami' Al-Muharibi, dari Usman ibnu Abul Yaqzan, dari Ja'far ibnu Iyas, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman Allah ﷻ: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak.” (At-Taubah:34) hingga akhir ayat. Maka hal itu terasa berat oleh kaum muslim, dan mereka mengatakan, "Tiada seorang pun di antara kita yang bakal meninggalkan harta simpanan sepeninggalnya buat anak-anaknya." Maka Umar berkata, "Aku akan memberi jalan kepada kalian." Maka Umar pergi menghadap Nabi ﷺ, dan kepergiannya itu diikuti oleh Sauban, lalu Umar bertanya, "Wahai Nabi Allah, sesungguhnya sahabat-sahabatmu merasa keberatan dengan ayat ini." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memfardukan zakat kecuali hanya untuk membersihkan harta kalian yang masih tersisa (tersimpan), dan sesungguhnya Allah telah memfardukan mawaris (pembagian waris) hanyalah terhadap harta kalian yang masih tersisa sepeninggal kalian.”
Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa setelah mendengar jawaban itu Umar bertakbir. Kemudian Nabi ﷺ bersabda pula kepadanya: “Maukah aku ceritakan kepadamu tentang simpanan yang paling baik buat seseorang? Yaitu wanita (istri) yang saleh, apabila suami memandangnya, maka ia membuat suaminya gembira; dan apabila suami memerintahnya. maka ia menaati suaminya; dan apabila suami tidak ada di tempat, maka ia memelihara kehormatan suaminya.”
Imam Abu Daud dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya serta Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula hadits ini melalui Yahya ibnu Ya'la dengan sanad yang sama. Imam Hakim mengatakan, hadits ini shahih dengan syarat Bukhari dan Muslim; tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Dalam hadits lain Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, dari Hissan ibnu Atiyyah yang mengatakan bahwa Syaddad ibnu Aus pernah melakukan suatu perjalanan, lalu ia turun istirahat di suatu tempat, kemudian berkata kepada pelayannya, "Ambilkanlah bekal makanan kita untuk kita main-mainkan." Maka aku (perawi) memprotes kata-katanya itu. Lalu ia berkata, "Tidak sekali-kali aku berbicara suatu kalimat sejak aku masuk Islam melainkan aku mengungkapkannya dengan kata-kata kiasan, selain dari kalimatku berikut. Maka janganlah kamu menghafal kata-kataku tadi, tetapi hafalkanlah apa yang akan aku kemukakan kepada kalian sekarang ini. Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila seseorang ingin menyimpan emas dan perak, maka simpanlah (hafalkanlah) kalimat-kalimat berikut, 'Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kesabaran dalam mengamalkan agama ini dan keteguhan hati dalam hidayah. Dan aku memohon kepada Engkau (jadikanlah diriku orang yang) bersyukur atas nikmat-Mu. Aku memohon kepada Engkau (jadikanlah diriku orang yang) beribadah kepada-Mu dengan baik. Aku memohon kepada Engkau anugerahilah aku hati yang selamat. Aku memohon kepada Engkau (anugerahilah aku) lisan yang benar. Aku memohon kepada Engkau (anugerahilah aku) kebaikan segala sesuatu yang Engkau ketahui, dan aku berlindung kepada Engkau dari kejahatan semua yang Engkau ketahui. Dan aku memohon ampun kepada Engkau dari segala dosa yang Engkau ketahui, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui semua yang gaib'.
Ayat 35
Firman Allah ﷻ: “Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahanam lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka, (lalu dikatakan kepada mereka) "Inilah harta benda kalian yang kalian simpan untuk diri kalian sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kalian simpan itu.” (At-Taubah: 35)
Ucapan ini dikatakan sebagai kecaman, penghinaan, dan ejekan buat mereka; sama halnya dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat berikut: “Kemudian tuangkanlah di atas kepalanya siksaan (dari) air panas. Rasakanlah, bukankah kamu orang yang perkasa lagi mulia.” (Ad-Dukhan: 48-49) Yakni pembalasan ini karena sikapmu yang dahulu, dan inilah hasil dari apa yang dahulu kalian simpan buat diri kalian. Karena itulah dikatakan, "Barang siapa yang mencintai sesuatu hingga ia memprioritaskannya lebih dahulu daripada taat kepada Allah, maka ia akan diazab dengannya." Mengingat mereka telah menghimpun harta benda itu dan lebih mementingkannya daripada keridaan Allah, maka mereka disiksa dengan harta benda itu.
Seperti apa yang dialami oleh Abu Lahab laknatullah, dia berusaha dengan sekuat tenaga memusuhi Rasulullah ﷺ. Istrinya pun membantunya untuk melampiaskan permusuhannya itu. Maka kelak di hari kiamat si istri akan membantu mengazabnya, yaitu di lehernya ada tali dari sabut untuk mengumpulkan kayu di neraka, lalu kayu itu dilemparkan kepada Abu Lahab, agar menambah pedih siksaan yang sedang dialaminya. Sebagaimana harta benda tersebut sangat disayangi oleh pemiliknya, maka kelak di hari akhirat harta benda itu berubah ujud menjadi sesuatu yang paling membahayakan pemiliknya. Harta benda itu dipanaskan di dalam neraka Jahanam yang panasnya tak terperikan, lalu disetrikakan ke wajah, lambung, dan punggung mereka.
Sufyan telah meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Abdullah ibnu Umar ibnu Murrah, dari Masruq, dari Abdullah Ibnu Mas'ud yang mengatakan, "Demi Tuhan yang tidak ada Tuhan selain Dia, tidaklah seseorang hamba disetrika dengan harta simpanannya, sehingga dinar bersentuhan dengan dinar lainnya, tidak pula dirham bersentuhan dengan dirham lainnya; tetapi kulit hamba yang bersangkutan dilebarkan, lalu setiap dinar dan dirham (yang telah dipanggang itu) diletakkan padanya, masing-masing mempunyai tempatnya sendiri." Atsar ini telah diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih melalui Abu Hurairah secara marfu', tetapi predikat marfu -nya tidak shahih.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya yang mengatakan, "Telah sampai kepadaku suatu riwayat yang mengatakan bahwa harta simpanan itu kelak di hari kiamat akan berubah menjadi ular botak, mengejar pemiliknya yang lari darinya seraya berkata, "Akulah harta simpananmu.” Tiada suatu pun dari anggota tubuh si pemiliknya yang dijangkaunya melainkan ia langsung mencabiknya.
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, dari Salim ibnu Abul Ja'd, dari Ma'dan ibnu Abu Talhah, dari Sauban, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang meninggalkan kanzu (harta simpanan) sesudah ia mati, maka harta simpanan itu akan berubah ujud baginya kelak di hari kiamat berupa ular botak dengan dua taring. Ular botak itu mengejarnya, lalu ia bertanya, "Celakalah kamu, siapakah kamu ini?” Ular botak itu menjawab, "Aku adalah harta simpananmu yang kamu tinggalkan sesudah (mati)mu.” Ular botak itu terus mengejarnya hingga berhasil memakan tangannya, lalu dikunyahnya, kemudian ular botak itu memakan seluruh anggota tubuhnya.
Hadits ini adalah riwayat Ibnu Hibban yang disebutkan di dalam kitab Shahih-nya melalui riwayat Yazid dari Sa'id dengan sanad yang sama. Pada mulanya hadits ini berada di dalam kitab Shahihain melalui riwayat Abuz Zanad, dari Al-A'raj dari Abu Hurairah.
Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan melalui hadits Suhail ibnu Abu Saleh, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak sekali-kali seseorang tidak menunaikan zakat harta bendanya melainkan akan dijadikan baginya kelak di hari kiamat lempengan-lempengan dari api, lalu disetrikakan ke lambung, dahi, dan punggungnya dalam suatu hari yang lamanya sama dengan lima puluh ribu tahun, hingga perkara hisab di antara sesama hamba diselesaikan. Kemudian diperlihatkan jalan yang akan ditempuhnya, ada yang ke surga, dan ada yang ke neraka.”
Sehubungan dengan tafsir ayat ini Imam Bukhari mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Qutaibah ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Husain, dari Zaid ibnu Wahb yang mengatakan bahwa ia berjumpa dengan Abu Dzar di Rabzah, lalu ia bertanya, "Apakah yang mendorongmu sampai datang ke daerah ini?" Abu Dzar menjawab bahwa pada asal mulanya ia tinggal di negeri Syam, lalu ia membacakan firman-Nya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka gembirakanlah mereka dengan siksaan yang pedih.” (At-Taubah: 34) Maka Mu'awiyah berkata, "Ayat ini bukanlah ditujukan kepada kami, tiada lain apa yang dimaksud oleh ayat ini terjadi di kalangan kaum Ahli Kitab." Abu Dzar menjawab, "Sesungguhnya hal itu terjadi di kalangan kita dan kalangan mereka (Ahli Kitab)."
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadits Ubaid ibnul Qasim, dari Husain, dari Zaid ibnu Wahb, dari Abu Dzar. Hanya dalam riwayat ini ditambahkan 'maka perselisihan pun terjadi antara Abu Dzar dan Mu'awiyah mengenai masalah ini'. Lalu Muawiyah berkirim surat kepada Khalifah Usman, mengadukan perihalku. Lalu Khalifah Usman berkirim surat kepadaku, isinya memerintahkan kepadaku untuk menghadap kepadanya. Abu Dzar melanjutkan kisahnya, "Ketika aku tiba di Madinah, maka orang-orang selalu mengerumuniku seakan-akan mereka belum pernah melihatku sebelum hari itu. Lalu aku mengadu kepada Khalifah Usman tentang hal tersebut, maka Khalifah Usman berkata, 'Menjauhlah kamu dari Madinah, tetapi jangan terlalu jauh’." Aku (Abu Dzar) berkata, “Demi Allah, aku tidak akan beranjak dari pendapatku."
Mazhab Abu Dzar mengatakan bahwa haram menyimpan harta lebih dari apa yang diperlukan untuk nafkah orang-orang yang berada di dalam tanggungannya. Dan ia selalu memberi fatwa dengan pendapat ini dan menganjurkan serta memerintahkan orang-orang untuk mengamalkannya, bahkan dia bersikap keras terhadap orang yang melanggarnya. Maka sikapnya itu dicegah oleh Mu'awiyah, tetapi Abu Dzar tidak menurut dan terus melanjutkan fatwanya itu. Mu'awiyah merasa khawatir bila orang-orang tertimpa mudarat dalam masalah itu. Maka ia menulis surat kepada Amirul Muminin Usman ibnu Affan, mengadukan perkara Abu Dzar dan meminta agar Abu Dzar ditarik ke Madinah.
Maka Usman ibnu Affan memanggilnya ke Madinah dan menempatkannya di Rabzah seorang diri. Di Rabzah itu pula Abu Dzar meninggal dunia dalam masa pemerintahan Khalifah Usman. Mu'awiyah pernah mengujinya apakah ucapannya itu sesuai dengan sikapnya di saat Abu Dzar masih berada di dekatnya. Maka Mu'awiyah mengirimkan uang sebanyak seribu dinar kepada Abu Dzar, dan ternyata pada hari itu juga Abu Dzar membagi-bagikannya kepada orang-orang sampai habis. Kemudian Mu'awiyah mengirimkan orang yang disuruhnya tadi untuk mengatakan, "Sesungguhnya Mu'awiyah mengutusku hanya kepada orang lain, bukan kamu; tetapi saya keliru. Karena itu, berikanlah uang emas tadi." Abu Dzar menjawab, "Celakalah kamu, sesungguhnya uang itu telah saya infakkan semuanya. Tetapi jika hartaku datang, maka aku akan mengembalikannya kepadamu."
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini mengandung makna yang umum. Tetapi As-Suddi mengatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada ahli kiblat (kaum muslim).
Al-Ahnaf ibnu Qais mengatakan bahwa ketika ia tiba di Madinah dan berada di sebuah halaqah yang di dalamnya terdapat para pembesar dari kalangan orang-orang Quraisy, tiba-tiba datanglah seorang lelaki berpakaian kasar, tubuhnya tampak berdebu, dan wajahnya kasar.
Lalu lelaki itu berdiri di kalangan mereka dan berkata, "Gembirakanlah orang-orang yang menyimpan harta kanz (simpanan)nya dengan besi tusukan yang dipanaskan di dalam neraka Jahanam. Lalu ditusukkan pada puting susu seseorang dari mereka hingga tembus ke tulang belikatnya, lalu ditusukkan pada tulang belikatnya hingga tembus ke puting susunya dalam keadaan ambrol." Perawi melanjutkan kisahnya, "Semua orang yang ada hanya menundukkan kepalanya, ia tidak melihat seorang pun di antara mereka yang menjawab perkataannya.
Ketika lelaki itu pergi, aku membuntutinya hingga ia duduk di salah satu tiang masjid. Maka aku berkata, 'Menurutku, mereka tidak menyukai apa yang kamu katakan kepada mereka itu.' Lelaki itu berkata, 'Sesungguhnya mereka tidak mengetahui sesuatu pun'."
Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada Abu Dzar: “Tidaklah menggembirakanku bila aku memiliki emas sebanyak Bukit Uhud, lalu lewat masa tiga hari, sedangkan padaku masih tersisa sesuatu darinya, kecuali satu dinar yang aku simpan untuk membayar utang.”
Hal ini -hanya Allah yang lebih mengetahui- merupakan dalil yang mendorong Abu Dzar berpegangan dengan pendapatnya itu.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammam, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Sa'id ibnu Abul Hasan, dari Abdullah ibnus Samit yang menceritakan bahwa ia pernah bersama Abu Dzar. Ia mendapat kiriman 'ata-nya, dan saat itu ia bersama seorang pelayan perempuannya. Lalu pelayan perempuannya itu melayani semua keperluan Abu Dzar dan menyisakan tujuh keping dari ata itu.
Tetapi Abu Dzar memerintahkan kepada pelayan perempuannya itu agar tujuh keping uang emas itu ditukar dengan uang kecil (untuk disedekahkan). Perawi melanjutkan kisahnya, "Lalu aku mengatakan kepada Abu Dzar, 'Sebaiknya engkau simpan saja untuk keperluan rumahmu dan keperluan tamu yang singgah di rumahmu.' Abu Dzar menjawab, 'Sesungguhnya kekasihku (yakni Nabi ﷺ) telah memerintahkan kepadaku bahwa emas atau perak yang aku simpan, maka hal itu merupakan bara api bagi pemiliknya, hingga ia membelanjakannya di jalan Allah ﷻ'."
Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Yazid, dari Hammam dengan sanad yang sama, hanya ditambahkan lafal ifragan (sampai habis).
Al-Hafizh ibnu Asakir telah meriwayatkan berikut sanadnya sampai kepada Abu Bakar Asy-Syibli dalam biografinya, dari Muhammad ibnu Mahdi: Telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abu Salamah, dari Sadaqah ibnu Abdullah. dari Talhah ibnu Zaid, dari Abu Wafrah Ar-Rahawi, dari ‘Atha’, dari Abu Said yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Menghadaplah kepada Allah dalam keadaan miskin, dan janganlah menghadap kepada Allah dalam keadaan kaya.” Abu Sa'id bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah caranya bagiku untuk itu?" Rasulullah ﷺ bersabda: “Apa yang diminta jarimu janganlah kamu mencegahnya, dan apa yang direzekikan kepadamu janganlah kamu simpan.” Abu Sa'id bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah caranya aku dapat melakukan hal itu?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Ya, seperti itu. Jika tidak, maka neraka." Sanad hadits ini dha’if.
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Uyaynah, dari Yazid ibnus Sarm yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ali berkata, "Ada seorang lelaki dari kalangan ahli suffah (orang-orang miskin yang tinggal di emperan masjid), sedangkan dia meninggalkan uang sebanyak dua dinar atau dua dirham. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: 'Dua setrikaan, maka mohonlah ampunan bagi teman kalian ini’.”
Hadits ini telah diriwayatkan pula melalui berbagai jalur yang lain.
Qatadah telah meriwayatkan dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Umamah (yaitu Sada ibnu Ajlan) yang menceritakan bahwa pernah ada seorang lelaki dari kalangan ahli suffah meninggal dunia, lalu pada kain sarungnya ditemukan uang sebanyak satu dinar. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Satu setrikaan," Kemudian ada lagi lelaki lain yang juga dari kalangan ahli suffah meninggal dunia, dan di dalam kain sarungnya ditemukan uang sebanyak dua dinar. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Dua setrikaan."
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr Ishaq ibnu Ibrahim Al-Faradisi, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Yahya Al-Atrablusi, telah menceritakan kepadaku Artah, telah menceritakan kepadaku Abu Amir Al-Hauzani, bahwa ia pernah mendengar Sauban maula Rasulullah ﷺ mengatakan: “Tidak sekali-kali seorang lelaki meninggal dunia, sedangkan dia memiliki merah (emas) dan putih (perak), melainkan Allah menjadikan tiap karatnya sebuah lempengan api yang akan disetrikakan kepadanya mulai dari lelapak kaki hingga janggutnya.”
Al-Hafidzh Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Khaddasy, telah menceritakan kepada kami Saif ibnu Muhammad Ats-Tsauri, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Saleh, dan Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Dinar tidak diletakkan di atas dinar lain, dan dirham tidak pernah diletakkan di atas dirham lainnya. Tetapi kulit orang yang bersangkutan diperlebar, lalu disetrika dengan mata uang tersebut wajah, lambung, dan punggung mereka; (lalu dikatakan kepada mereka), "Inilah balasan dari apa yang kalian simpan untuk diri kalian, maka rasakanlah akibat dari apa yang kalian simpan ini.”
Tetapi Saif yang disebutkan di atas dikenal sebagai pendusta, dan hadisnya tidak terpakai.
Setelah ayat sebelumnya menerangkan tentang ketidaksukaan kaum musyrik dan Ahli Kitab terhadap tersebarnya Islam, maka ayat ini menginformasikan perilaku buruk sebagian pemimpin Ahli Kitab yang menyimpang. Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, baik dengan jalan suapmenyuap, meminta bayaran dalam proses penebusan dosa, riba, berbuat curang, mencuri, termasuk menganjurkan berinfak namun untuk kesejahteraan dirinya sendiri, dan mereka juga menghalang-halangi manusia dari mengikuti jalan Allah, yakni agama Islam, melalui berbagai macam cara seperti menciptakan kebohongan terhadap Islam, menumbuhkan keraguan terhadap Al-Qur'an, dan mencela pribadi Rasulullah yang agung. Padahal, kerusakan akhlak, pemikiran, dan akidah seorang tokoh atau pemimpin agama adalah sangat membahayakan bagi kehidupan umat manusia yang dipimpinnya. Dan di samping itu, mereka juga termasuk orang-orang yang suka menyimpan emas dan perak, yakni menumpuk-numpuk harta, dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, bah-kan cenderung serakah dan kikir. Terhadap mereka itu, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, sebagai bentuk ejekan sekaligus celaan, bahwa mereka akan mendapat azab yang pedih di akhirat kelak. Ayat ini menjelaskan azab yang diancamkan kepada para pemimpin Ahli Kitab dan siapa saja yang kikir sebagaimana mereka. Ingatlah, pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka, yakni orang-orang kaya yang tidak dermawan, seraya dikatakan kepada mereka, Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri. Dengan harta itu, bukan saja kamu tidak menunaikan zakatnya, namun juga tidak kamu manfaatkan untuk membantu mereka yang membutuhkan, maka rasakanlah akibat dari apa yang kamu simpan itu. Ancaman ini berlaku umum, yaitu ditujukan kepada siapa saja yang dikaruniai harta banyak namun kikir. Islam memang membolehkan umatnya untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, tetapi pada saat yang sama ia juga harus bersifat dermawan.
.
Pada ayat ini diterangkan bahwa kebanyakan pemimpin dan pendeta orang Yahudi dan Nasrani telah dipengaruhi oleh cinta harta dan pangkat. Oleh karena itu mereka tidak segan-segan menguasai harta orang lain dengan jalan yang tidak benar dan dengan terang-terangan menghalang-halangi manusia beriman kepada agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ Sebab kalau mereka membiarkan pengikut mereka membenarkan dan menerima dakwah Islam tentulah mereka tidak dapat bersikap sewenang-wenang terhadap mereka dan akan hilanglah pengaruh dan kedudukan yang mereka nikmati. Pemimpin-pemimpin dan pendeta-pendeta Yahudi dan Nasrani itu telah melakukan berbagai cara untuk mengambil harta orang lain, diantaranya:
1. Membangun makam nabi-nabi dan pendeta-pendeta dan mendirikan gereja-gereja yang dinamai dengan namanya. Dengan demikian, mereka dapat hadiah nazar dan wakaf yang dihadiahkan kepada makam dan gereja itu. Kadang-kadang mereka meletakkan gambar-gambar orang suci mereka atau patung-patungnya, lalu gambar, patung itu disembah. Agar permintaan mereka dikabulkan, mereka juga memberikan hadiah uang dan sebagainya. Dengan demikian, terkumpullah uang yang banyak dan uang itu dikuasai sepenuhnya oleh pendeta. Ini adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan agama yang dibawa oleh para rasul karena membawa kepada kemusyrikan dan mengambil harta orang dengan memakai nama nabi dan orang-orang suci.
2. Pendeta Nasrani menerima uang dari jamaahnya sebagai imbalan atas pengampunan dosa yang diperbuatnya. Seseorang yang berdosa dapat diampuni dosanya bila ia datang ke gereja menemui pendeta dan mengakui di hadapannya semua dosa dan maksiat yang dilakukannya. Mereka percaya dengan penuh keyakinan bahwa bila pendeta telah mengampuni dosanya, berarti Tuhan telah mengampuninya karena pendeta adalah wakil Tuhan di bumi. Kepada mereka yang telah memberikan uang tebusan dosa, diberikan kartu pengampunan, seakan-akan kartu itu nanti yang akan diperlihatkan kepada Tuhan di akhirat di hari pembalasan yang menunjukkan bahwa mereka sudah bersih dari segala dosa.
3. Imbalan memberikan fatwa baik menghalalkan yang haram maupun mengharamkan yang halal sesuai dengan keinginan raja, penguasa dan orang-orang kaya. Bila pembesar dan orang kaya itu ingin melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan kebenaran seperti membalas dendam dan bertindak kejam terhadap golongan yang mereka anggap sebagai penghalang bagi terlaksananya keinginan mereka atau mereka anggap sebagai musuh, mereka minta kepada pendeta agar dikeluarkan fatwa yang membolehkan mereka bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang itu, meskipun fatwa itu bertentangan dengan ajaran agama mereka seakan-akan ajaran agama itu dianggap sepi dan seakan-akan kitab Taurat itu hanya lembaran kertas yang boleh diubah-ubah semau mereka. Hal ini sangat dicela oleh Allah dalam firman-Nya:
Katakanlah (Muhammad), "Siapakah yang menurunkan Kitab (Taurat) yang dibawa Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan Kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu memperlihatkan (sebagiannya) dan banyak yang kamu sembunyikan, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang tidak diketahui, baik olehmu maupun oleh nenek moyangmu." (al-An'am/6: 91)
4. Mengambil harta orang lain yang bukan sebangsa atau seagama dengan melaksanakan kecurangan, pengkhianatan, pencurian, dan sebagainya dengan alasan bahwa Allah mengharamkan penipuan dan pengkhianatan hanya terhadap orang-orang Yahudi saja. Adapun terhadap orang-orang yang tidak sebangsa dan seagama dengan mereka dibolehkan. Hal ini dijelaskan Allah dengan firman-Nya:
Dan di antara Ahli Kitab ada yang jika engkau percayakan kepadanya harta yang banyak, niscaya dia mengembalikannya kepadamu. Tetapi ada (pula) di antara mereka yang jika engkau percayakan kepadanya satu dinar, dia tidak mengembalikannya kepadamu, kecuali jika engkau selalu menagihnya. Yang demikian itu disebabkan mereka berkata, "Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang buta huruf." Mereka mengatakan hal yang dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. (Ali 'Imran/3: 75)
5. Mengambil rente (riba). Orang-orang Yahudi sangat terkenal dalam hal ini, karena di antara pendeta-pendeta mereka ada yang menghalalkannya meskipun dalam kitab mereka riba itu diharamkan. Ada pula di antara pendeta-pendeta itu yang memfatwakan bahwa mengambil riba dari orang-orang Yahudi adalah halal. Demikian pula pendeta-pendeta Nasrani ada yang menghalalkan sebagian riba meskipun mengharamkan sebagian yang lain.
Demikian cara-cara yang mereka praktekkan dalam mengambil dan menguasai harta orang lain untuk kepentingan diri mereka sendiri dan untuk memuaskan nafsu dan keinginan mereka. Adapun cara-cara mereka menghalangi manusia dari jalan Allah, ialah dengan merusak akidah dan merusak ajaran agama yang murni. Orang-orang Yahudi pernah menyembah patung anak sapi, pernah mengatakan Uzair adalah anak Allah, dan sering sekali mereka memutarbalikkan ayat-ayat Allah dan mengubahnya, sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu mereka sebagaimana telah dijelaskan pada ayat-ayat yang lalu seperti dalam surah al-Baqarah, Ali 'Imran, an-Nisa' dan al-Ma'idah. Mereka secara terang-terangan mengingkari Nabi Musa a.s sebagai nabi, padahal dialah pembawa akidah yang murni yang kemudian dirusak oleh pendeta-pendeta Yahudi. Demikian pula orang-orang Nasrani telah menyelewengkan akidah yang dibawa oleh Nabi Isa a.s, sehingga mereka menganggapnya sebagai Tuhan. Oleh karena itu mereka baik kaum Yahudi maupun Nasrani selalu menentang ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, bahkan menghinanya dengan berbagai cara serta menentang dan mendustakan Al-Qur'anul Karim. Mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk memadamkan cahaya Allah tetapi Allah sudah menetapkan bahwa Dia akan menyempurnakan cahaya itu. Segala usaha dan daya upaya mereka menemui kegagalan tetapi pastilah hanya kehendak Allah-lah yang berlaku dan terlaksana. Allah berfirman:
Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyem-purnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai. (At-Taubah/9: 32)
Demikianlah perilaku kebanyakan dari pendeta Yahudi dan Nasrani. Mereka karena sifat serakah dan tamak akan harta benda, mengumpulkan sebanyak-banyaknya dan mempergunakan sebagian dari harta itu untuk menghalangi manusia mengikuti jalan Allah. Oleh sebab itu, Allah akan melemparkan mereka kelak di akhirat ke dalam neraka dan akan menyiksa mereka dengan azab yang sangat pedih. Mengenai pengumpulan harta ini dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, walaupun ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, tetapi para mufassirin berpendapat bahwa ayat ini mencakup juga kaum Muslimin. Maka siapa saja yang karena tamak dan serakahnya berusaha mengumpulkan harta kemudian menyimpannya dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka ia diancam Allah akan dimasukkan ke dalam neraka baik dia beragama Yahudi, Nasrani, maupun beragama Islam.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud, dan al-hakim dari Ibnu 'Abbas bahwa setelah turun ayat ini, kaum Muslimin merasa keberatan dan berkata, "Kami tidak sampai hati bila kami tidak meninggalkan untuk anak-anak kami barang sedikit dari harta kami." Umar berkata, "Saya akan melapangkan hartamu," lalu beliau pergi bersama sauban kepada Nabi dan mengatakan kepadanya, "Hai Nabi Allah, ayat ini amat terasa berat bagi sahabat engkau." Rasulullah menjawab, "Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan zakat, melainkan agar harta yang tinggal di tanganmu menjadi bersih. Allah hanya menetapkan hukum warisan terhadap harta yang masih ada sesudah matimu." Umar mengucapkan takbir atas penjelasan Rasulullah itu, kemudian Nabi berkata kepada Umar, "Aku akan memberitahukan kepadamu sesuatu yang paling baik untuk dipelihara, yaitu perempuan saleh yang apabila seorang suami memandangnya dia merasa senang, dan apabila disuruh dia mematuhinya dan apabila dia berada di tempat lain perempuan itu menjaga kehormatannya.".
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
ANAK-ANAK ALLAH
Sebagai lanjutan ayat mengizinkan berperang dengan Ahlul Kitab yang telah lalu di ayat 29 itu, maka datanglah ayat ini selanjutnya menyatakan perbedaan aqidah tauhid dengan pegangan kepercayaan mereka. Perbedaan aqidah inilah yang menyebabkan bahwa me-reka tidak mau membiarkan Islam hidup.
Ayat 30
“Dan telah berkata orang-orang Yahudi, Uzair adalah anak Allah.
Uzair adalah sebutan lidah Yahudi Arab pada masa itu terhadap Nabi yang sangat berjasa kepada mereka. Nama aslinya di dalam bahasa Ibrani ialah Izra dan sampai sekarang nama Izra itu jugalah yang dipakai terhadapnya oleh Yahudi umum dan demikian juga ditulis di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama. Kalimat itu dalam ilmu sharaf Arabi disebut tashghir, yaitu dikecilkan. Sebagai anak Sayyidina Ali yang besar bernama Hasan dan yang kecil bernama Husain. Jadi, dapat diartikan si Hasan Kecil. Dia pun digunakan untuk menyatakan kasih sayang kepada seseorang. Maka oleh sebab sangat kasih sayang dan simpati Yahudi Tanah Arab kepada Izra, mereka sebutlah namanya Uzair. Nama inilah yang masyhur terhadap Izra pada masa itu, dan nama itu pulalah jadinya yang dipakai orang Arab terhadap Izra, karena meniru ucapan orang Yahudi Arab di Tanah Arab.
Di dalam sejarah Yahudi, Izra itu adalah seorang yang besar dan sangat dimuliakan sehingga karena mulianya dan berjasanya, banyak pemuka Yahudi memberinya julukan Anak Allah. Meskipun tidak sampai sebagai kepercayaan orang-orang Nasrani mengang-gap al-Masih Anak Allah.
Tersebutlah di dalam sejarah Ahlul Kitab bahwa Taurat yang ditulis sendiri oleh Nabi Musa yang diletakkan di dalam peti perjanjian Allah atau di dekatnya (lihat Kitab Ulangan Pasal 31, ayat 24 sampai 26) telah hilang sebelum Nabi Sulaiman menjadi raja. Sehingga sebagai tersebut di dalam Kitab Raja-Raja I Pasal 8 ayat 9, ketika Tabut itu dibuka Nabi Sulaiman di hadapan imam-imam Bani Israel, tidak bertemu lagi apa-apa catatan Musa itu di dalamnya, kecuali catatan kedua keping batu yang berisi Hukum Yang Sepuluh saja. Maka Izra inilah yang kemudiannya yang berjasa mengumpulkan kembali catatan-catatan pusaka Nabi Musa itu.
Di dalam Kitab Izra, yaitu yang disebut sebagai buah hasil pekerjaan Izra sendiri, sehingga memakai namanya. Di dalam kitab itu ditegaskannya bahwa sekalian kitab-kitab suci pusaka Musa itu telah terbakar pada zaman Nebukadneshar Raja Babil, tatkala Jerusalem ditaklukkan. Izralah yang berusaha membuat catatannya kembali. Oleh karena itu, baik orang Yahudi maupun orang Nasrani, mengakui bahwa Izralah orang yang telah membangun dan menyusun kembali Taurat Pusaka Musa atau Kitab Suci yang telah terdahulu.
Lantaran jasanya yang besar ini, sangatlah mulia Izra pada pandangan orang-orang Yahudi.
Dalam memegang teguh kepercayaan mereka tidak lagi mempertimbangkan, apakah catatan yang dibuat Izra tepat dan persis sebagai yang dicatatkan Musa, padahal jarak mereka sudah beratus tahun. Ahli-ahli ilmu pengetahuan sebagian besar berpendapat bahwa tidaklah seluruhnya apa yang dikumpulkan kembali oleh Uzair itu persis sebagai catatan yang telah hilang atau terbakar itu. Lantaran memandang jasanya itu maka adalah dalam kalangan Yahudi yang memberikannya gelar julukan Anak Allah.
“Dan berkata orang Nasrani, al-Masih adalah Anak Allah.'"
Pengakuan orang Nasrani bahwa Isa al-Masih anak Allah adalah pokok kepercayaan yang sangat mereka pertahankan, lebih daripada kepercayaan setengah Yahudi kepada Uzair atau Izra itu.
Sebenarnya, baik di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama maupun dalam sabda al-Masih sendiri, memang banyak terdapat gelar Anak Allah.
Di akhir Injil Karangan Lukas, ketika dia menguraikan silsilah keturunan al-Masih, di-sebutnya Anak Enos, anak Set, ajiak Adam, anak Allah. (Lukas Pasal 3, ayat 38). Dengan ayat ini jelaslah, Adam juga disebut Anak Allah.
Pada Kitab Keluaran (Perjanjian Lama), Pasal 4 ayat 22, “Bahwasanya Israel itulah anakku laki-laki, yaitu anakku yang sulung." Disini jelaslah bahwa Nabi Ya'qub juga disebut Anak Allah.
Pada Kitab Yeremia, Pasal 31, ayat 9, “Karena Akulah bagi Israel akan Bapa, dan Efrayim itulah anakku yang sulung." Di sini Efrayim disebut Anak Allah.
Pada Kitab Mazmur, Pasal 89, tentang doa Dawud, “Ia pun akan memanggil akan Daku: Engkau juga Bapaku! Allahku, dan gunung batu selamatku." (ayat 27).
“Maka aku pun akan menjadikan dia akan anak sulung, yang mahatinggi di atas segala raja-raja di bumi." Di sini Dawud pun disebut Anak Allah!
Dengan ketiga ayat ini jelas pertiga sekaligus jadi Anak Sulung Allah, yaitu, Ya'qub, Efrayim, dan Dawud.
Dalam ucapan al-Masih sendiri pun banyak terdapat orang-orang yang dianggap Anak Allah. Orang yang suka menganjurkan perdamaian juga disebut Anak Allah. (Matius, Pasal 5 ayat 9). Orang yang sempurna budinya juga disebut Anak Allah. (Matius, Pasal 5 ayat 48).
Bukan saja Allah itu disebut oleh al-Masih dengan ucapan “Bapaku" seperti disebut di Matius, Pasal 18 ayat 10. Atau Matius, Pasal 18 ayat 19, atau Matius, Pasal 12 ayat 49, atau Matius, Pasal 20 ayat 23. Tetapi juga beliau sebut “Bapa kamu". (Lihat Lukas, Pasal 12, ayat 32).—Lukas, Pasal 12 ayat 30 Matius, Pasal 7 ayat 11. Dan beliau sebut juga “Bapa kita" sebagai tersebut pada Matius, Pasal 6 ayat 9. — Lukas, Pasal 11 ayat 2.
Melihat dan memahamkan maksud asli dari kata Anak Allah atau Bapa pada ayat-ayat itu, teranglah bahwa semuanya itu menunjukkan kasih sayang di antara Allah dengan hamba-Nya, sebagaimana kasih ayah kepada anak atau kasih anak kepada ayah. Bukan ayah benar-benar, bukan anak betul-betul. Bahkan sebaliknya, al-Masih sendiri telah menjelaskan perbedaan di antara dua macam Bapa dan dua'macam Anak. Di daiam Injil Karangan Yohannes (Yahya), Pasal 8 dari ayat 42 sampai ayat 44, beliau nyatakan perbedaan orang yang menjadi Anak Allah, yaitu yang taat kepada Allah dan patuh menuruti teladan Nabi Ibrahim dan menerima akan nasihat al-Masih:
“Jikalau Allah itu Bapamu niscaya kamu mengasihi aku, karena daripada Allah aku datang dan aku ada di sini; karena aku pun bukan datang dengan kehendak sendiri, melainkan Dialah yang menyuruhkan daku." (ayat 42)
“Kamu ini daripada Bapamu Iblis, dan segala hawa nafsumu; bapamu itulah yang kamu turut. Ialah pembunuh manusia dari mulanya, tiada ia berdiri di atas yang benar, maka ia mengatakan menurut sendiri, karena ia pembohong dan bapa pembohong." (ayat 43)
Dari semua ini jelas bahwa segala rasul utama, nabi yang mulia, juru pendamai, manusia yang taat, termasuk al-Masih, termasuk Ya'qub, Efrayim, Dawud, dan lain-lain, adalah Anak Allah. Si keras kepala, menolak kebenaran, pembohong, penipu, adalah Anak Iblis.
Itulah maksud al-Masih menyebut dirinya atau diri orang lain Anak Allah. Sebagaimana juga orang jahat beliau sebut tadi Anak Iblis. Tidak ada di dalam kata-kata beliau sendiri, sebelum dimasuki oleh penafsiran lain yang mengatakan bahwa yang lain-lain itu adalah anak Allah sebagai lambang kasih, sedangkan diri beliau sendiri adalah anak Allah se-benarnya. Dan tidak ada beliau mengatakan bahwa dia adalah Tuhan yang kedua sesudah Allah, atau sebagian daripada tiga Tuhan yang berpadu satu. Tetapi kemudian, setelah beliau meninggal dunia, barulah disusun orang suatu kepercayaan yang bernama: Trinitas atau Trimurti atau diindonesiakan di zaman sekarang menjadi Tritunggal. Untuk sampai kepada kepercayaan ini, adalah melalui beberapa masa, beberapa pertengkaran dan perdebatan, permusyawarahan dan pemungutan suara, yang untuk menguatkannya di-buatlah tafsir-tafsir sendiri yang tidak boleh menyimpang dari ayat-ayat tertentu, baik dari kitab-kitab Perjanjian Lama ataupun sabda al-Masih sendiri. Dikutuk atau dikucilkan dari gereja barangsiapa di antara pendeta-pendeta itu sendiri yang menyalahi apa yang telah ditetapkan. Maka perdebatan tentang ini telah timbul sejak zaman rasul-rasul (murid Isa) sendiri, terutama dengan masuknya Paulus menyatakan diri orang Kristen, padahal pada mulanya dia seorang Yahudi yang amat benci kepada al-Masih dan memburu-buru pengikut al-Masih. Pada abad kedua, barulah Theofilus Uskup Entiochie memakai istilah Tria dari bahasa Yunani, yang berarti tiga. Kemudian Tartalianus baru memakai kata Trinitas, yang berarti Tritunggal. Ajaran ini menjadi perbantahan besar, karena tidak semua suka menerimanya, maka mana yang membantah, dikucilkan. Di antaranya ialah kaum Ebion, yang tetap berkepercayaan bahwa al-Masih adalah manusia. Dikucil pula golongan Sabiliyin yang berkepercayaan bahwa Bapa, Anak, dan Ruhul Qudus, hanyalah semata rupa saat Allah menyatakan dirinya kepada manusia.
Dikucilkan pula golongan Arisiusi yang berkepercayaan bahwa Anak tidaklah kekal sebagai Bapa, atau al-Masih tidaklah kekal sebagai Allah, melainkan makhluk alam se-mata-mata. Dikucil pula golongan Macedoni yang tidak mau menerima kepercayaan bahwa Ruhul Qudus termasuk dalam tiga oknum yang disucikan itu.
Tetapi Konsili di Nicea tahun 325, kemudian Konsili di Konstantinople tahun 381 telah memutuskan bahwa Putra dan Ruhul Qudus, sama dengan Bapa dalam kesatuan ketuhanan, dan Putra dilahirkan sejak semula azali dari Bapa, dan Ruhul Qudus adalah pancaran dari Bapa. Konsili di Toledo tahun 589, memutuskan pula bahwa Rulul Qudus adalah pancaran dari Putra. Gereja Latin menerima keputusan kepercayaan ini sepenuhnya, tetapi akhirnya gereja Yunani membantah keputusan terakhir itu dan menuduh bahwa itulah yang salah.
Sampai sekarang tidaklah terdapat persamaan kepercayaan antara gereja-gereja itu tentang kedudukan tiga tuhan itu, sehingga Orthodoks dengan Katolik tidak bisa bersatu dan Protestan atau Lutherian, Calvin, dan lain-lain menyisihkan diri dan menyusun rumusan kepercayaan sendiri pula. Dan kemudian timbul lagi beberapa gereja, sebagai Unitharian yang sama sekali membuang kepercayaan Trinitas. Gereja Swedenberg tidak mau menerima kekacauan pikiran tentang satu sama dengan tiga itu. Mereka tegas saja, yaitu bahwa Oknum itu adalah tiga, benar-benar tiga, bukan satu dalam tiga!
Maka datanglah lanjutan ayat: “Demikian itulah kata-kata mereka dengan mulut mereka." Artinya, dikatakan dengan mulut saja, dimulai mengatakannya dengan mulut, lalu dipaksakan ke dalam hati menyuruh percaya, namun hati kecil tidak juga bisa percaya, se-bab tidak cocok sama sekali dengan akal. Atau disuruhlah akal tunduk, jangan membantah, lalu iyakan apa yang dikatakan dengan mulut, yaitu bahwa al-Masih Anak Allah: “Mereka menyerupai perkataan orang-orang kafir yang dahulu." Artinya, sebagaimana telah kita uraikan dalam penafsiran surah al-Maa'idah yang telah lalu, segala kepercayaan ini adalah menuruti kepercayaan orang-orang zaman purbakala, sejak dari bangsa Mesir ataupun Hindu ataupun orang Yunani dahulu kala sebelum Kristen masuk ke Eropa. Bahkan karena kepercayaan asli Nabi Isa dapat diputar sedemikian rupa, maka kaisar-kaisar Roma sudi menerima dan melindunginya, sebab sesuai dengan kepercayaan pusaka mereka.
“Diperangi Allah-lah mereka" Ungkapan Arabi tentang sikap yang salah, sebagai ucapan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia: “Celaka mereka". Mengapa mereka sampai begitu? Mereka tersesat demikian jauh.
“Bagaimana mereka dapat dipalingkan?"
Artinya, mengapa mereka sampai begitu? Mengapa sejauh itu mereka membelok sehingga agama tauhid pusaka Ibrahim dan pusaka nabi-nabi yang sebelumnya sudah dibelokkan demikian jauh sehingga sampai pada syirik? Mereka mengakui juga Allah satu, tetapi kesatuan itu dikacaukan dengan menyebut “anak", menyebut Isa Anak Allah, lalu dikatakan pula bahwa Isa itu sendiri Allah yang menjelma jadi anak, dan datang ke dunia untuk menebus dosa manusia?
Karena kalimat ‘Anak Allah" itu telah disalahpahamkan dan telah kemasukan keper-cayaan syirik yang tidak dikehendaki oleh kedatangan para rasul, setelah datang Nabi Muhammad ﷺ perkataan itu tidak dipakai lagi. Baik dengan arti menghormati semata-mata, sebagaimana yang dilakukan oleh setengah orang Yahudi terhadap Uzair atau dengan penafsiran berbelit-belit seperti yang dianut oleh orang Nasrani.
Di ayat ini kita mendapati lagi satu bukti bahwa Al-Qur'an itu memang mukjizat. Di da-lamnya disebutkan bahwa kepercayaan demikian adalah mereka tiru dan ambil saja dari kepercayaan umat purbakala. Di zaman Nabi Muhammad ﷺ belum ada orang yang tabu atau mempelajari betapa kepercayaan Trimurti orang Hindu atau orang Yunani. Bahkan sampai kepada zaman para sahabat Rasulullah saw, sampai ke zaman tabi'in dan ulama-ulama yang dahulu penyelidikan tentang pokok kepercayaan kuno itu belum ada. Oleh sebab itu, di dalam kitab-kitab tafsir yang lama, sebagai Ibnu Jarir sendiri pun belum bertemu perbandingan yang jelas tentang pengambilan kepercayaan itu. Baru dua ratusan tahun di belakang ini para ahli menyelidikinya, dan mendapat kesimpulan bahwa ada pengaruh kepercayaan Hindu dan Mesir Kuno kepada kepercayaan Kristen. Dan, baru tahun-tahhn di belakang ini timbul ilmu tentang perbandingan agama. Pendeknya di zaman kita sekaranglah baru jelas apa maksud kalimat yudhahi-uuna yang kita artikan mereka menyerupai perkataan orang-orang kafir yang dahulu.
MENUHANKAN MANUSIA
Ayat 31
“Telah mereka ambil guru-guru mereka dan pendeta-pendeta mereka menjadi tuhan-tuhan selain Allah dan (Juga) al-Masih Anak Maryam."
Kalimat ahbar, kita artikan guru-guru, jamak dari habr, sebutan bagi pendeta Yahudi. Ruhban kita ambil anti yang biasa, yaitu pendeta, yaitu sebutan terhadap pimpinan agama Nasrani. Ruhban adalah kata jamak dari rahib. Selain dari panggilan hibr bagi pendeta Yahudi ada juga sebutan rabbi. Sebelum timbul golongan Protestan, kata rahib itu bertali juga dengan tidak kawin.
Di dalam ayat ini dikatakan bahwasanya orang Yahudi dan Nasrani telah menganggap pendeta mereka sebagai Tuhan selain dari Allah. Sesudah itu ditambahkan pula khusus bagi orang Kristen bahwasanya al-Masih pun mereka anggap juga sebagai Tuhan.
Arbaab seperti kita ketahui adalah jamak dari kalimat rabbun, yang kita artikan Tuhan, dalam sifat-Nya sebagai pengatur, pemelihara, dan pendidik alam ini. Kalimat rabbun yang berarti Tuhan, adalah timbalan dari kalimat ilah.
Di dalam ayat ini diterangkan bahwa pemeluk kedua agama itu telah menganggap atau memandang guru-guru dan pendeta-pendeta mereka sebagai Tuhan.
Untuk mengetahui arti dan tafsir dari keadaan ini, lebih baik kita dengar tafsiran dari Rasulullah ﷺ sendiri. Menurut riwayat dari Imam Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu jarir, yang diterima dari beberapa jalan riwayat dari Adi bin Hatim. Ringkasan cerita ialah begini. Ketika seruan Rasulullah ﷺ Telah sampai, maka Adi bin Hatim itu melarikan dirinya ke Syam. Sebab dia dan ayahnya telah memeluk agama Nasrani dari zaman jahiliyyah. Ayahnya Hatim terkenal namanya dalam sejarah Arab karena dermawannya. Beliau yang dermawan ini tidak sampai bertemu dengan Rasulullah ﷺ. Tetapi Adi hidup di zaman Rasul. Dalam satu serangan Islam, saudaranya yang perempuan dan satu rombongan dari kaumnya telah tertawan. Setelah beberapa lama dalam tawanan, karena perlakuan yang baik, perempuan itu masuk Islam. Lalu dia dibebaskan Rasulullah ﷺ dan dibiarkan pulang kepada saudaranya Adi bin Hatim itu. Setelah dia menggabungkan diri kepada saudaranya kembali, perempuan ini menerangkan kepadanya betapa kebagusan ajaran Islam dan dianjurkannya supaya Adi datang kepada Rasulullah ﷺ ke Madinah bersama kaumnya, sedang dia adalah pemimpin mereka di negeri Thaif. Ajakan saudara perempuannya itu diturutinya dan datanglah dia satu rombongan ke Madinah. Penduduk Madinah banyak membicarakan kedatangan orang penting ini. Setelah diberi kesempatan menghadap Rasulullah ﷺ, di dadanya masih terjuntai kalung salib dari perak. Ketika dia masuk itu kebetulan Rasulullah ﷺ sedang membaca surah Bara'ah dan tepat mengenai ayat yang kita tafsirkan. (Mereka ambil guru-guru mereka dan pendeta-pendeta mereka menjadi tuhan-tuhan selain Allah). Lalu beliau berkata, “Tidaklah mereka menyembah mereka." Artinya, tidaklah ada orang Nasrani menyembah, yaitu mempertuhan pendeta-pendeta sebagai tersebut dalam ayat itu. Maka Rasulullah ﷺ menjawab, “Bahkan! Karena sesungguhnya pendeta-pendeta itu mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, lalu mereka ikuti saja. Itulah yang dinamai mereka beribadah (memuja) kepada pendeta-pendeta itu."
Sejurus sesudah itu, berkatalah Rasulullah ﷺ kepadanya, “Hai Adi, bagaimana pendapatmu? Apakah ada salahnya untuk diri engkau jika engkau mengucapkan Allahu Akbar? Adakah engkau mengakui ada sesuatu yang lebih besar dari Allah? Apa yang akan menyusahkan engkau? Apakah engkau keberatan mengatakan laa ilaaha Mallah? Adakah engkau mengetahui ada Tuhan selain Allah?" Dengan cara demikian, Rasulullah saw, memulai, lalu beliau teruskan mengajaknya agar masuk Islam saja. Rupanya ajakan Rasulullah ﷺ itu termakan olehnya, karena memang Allah-lah yang besar dalam pendapat pikiran murninya, tidak ada yang lebih besar dari Allah. Dan tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dia pun menyatakan diri masuk Islam, dan di-ucapkannyalah Syahadat Kebenaran. Akhirnya Adi berkata, “Aku lihat wajah beliau berseri-seri."
Dari riwayat Sayyidina Adi masuk Islam ini, yang tersebut dalam beberapa kitab tafsir, dapatlah kita mengerti bahwa Nasrani menuhankan pendeta yang sampai diibadahi sebagai mengibadahi Allah, memang tidak ada. Tetapi mereka telah menerima apa yang telah diatur dan disusun oleh pendeta-pendeta itu sebagai perintah yang luhur dan kudus, sekali-kali tidak boieh dibantah, sehingga samalah perintah itu dengan perintah Tuhan sendiri. Sesuatu yang mereka katakan haram, meskipun halal kata Allah, maka yang dikatakan oleh pendeta itulah yang benar. Demikian juga yang haram kata Allah, kalau pendeta mengatakan halal, menjadi halallah dia.
Inilah yang dijelaskan lagi oleh Imam ar-Razi dalam tafsir beliau Mafatihul Ghaib."Kebanyakan ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Arbab (tuhan-tuhan) terhadap pendeta itu bukanlah bahwa mereka berkepercayaan bahwa pendeta yang menjadikan alam ini, tetapi bahwa mereka patuhi segala perintah dan larangan mereka!" Berkata ar-Rabr, “Aku bertanya kepada Abui Aliyah, ‘Bagaimana artinya Bani Israil mempertuhan pendeta itu?' Dia menjawab, ‘Kadang-kadang mereka bertemu sesuatu dalam Kitab Allah, berbeda daripada yang dikatakan oleh guru-guru dan pendeta-pendeta mereka, maka kata-kata guru-guru dan pendeta-pendeta itulah yang mereka patuhi dan tidak mereka terima hukum Kitab Allah."
Memang, menurut riwayat Matius di dalam Injilnya, Pasal 18 ayat 18, al-Masih pernah berwasiat demikian bunyinya, “Dengan sesungguhnya aku berkata kepadamu, barang apa yang kamu ikat di atas bumi, itu pun terorak kelak di surga."
Kita tentu dapat memahamkan bahwa maksud wasiat al-Masih ini ialah mengikat dan mengorak dengan dasar ikat dan orak dalam garis ketentuan Allah, tidak melebihi dan tidak mengurangi. Serupa juga dengan wasiat Rasulullah ﷺ,
“Ulama-ulama adalah penerima waris daripada nabi-nabi."
Artinya, tidak melebihi dan tidak mengurangi.
Tetapi apa jadinya kemudian? Baik agama Yahudi maupun agama Nasrani, keduanya ki-tab asli dari Allah telah diselimuti atau di-lumuti oleh luluk dan debu peraturan yang diperbuat oleh kaum agama, oleh guru dan pendeta. Kitab Taurat telah hilang dalam bungkusan Kitab Talmud. Peraturan yang diperbuat oleh ahbar-ahbar lebih penting da-ripada Taurat sendiri. Dalam agama Kristen pun seperti demikian. Sehingga sebagai telah kita maklumi kepercayaan Trinitas yang jadi pokok asasi dari agama Kristen adalah hasil Konsili (konferensi pendeta-pendeta), bukan dari ajaran al-Masih sendiri, dan dikucilkan atau diusir dari kalangan agama barangsiapa yang menyatakan pendapat berlawanan de-ngan itu. Walaupun perlawanan itu berdasar kepada kitab suci juga.
Kita pun mengenal Hierarki Gereja Katolik misalnya."Peraturan susunan kependetaan sejak dari yang di bawah, sampai Fater, sampai Uskup, sampai Patrick, sampai Kardinal dan sampai kepada yang di puncak sekali, yaitu Paus yang disebut Santo Bapa (Bapa Suci). Membantah keputusannya berarti keluar dari agama Katolik.
Satu waktu pun mereka memegang juga kekuasaan duniawi yang sangat kuat dan keras, sehingga dapat menaikkan dan menurunkan raja. Dapat memberikan kasih sayang dan dapat juga menurunkan kutuk. Dapat menghukum barangsiapa yang melanggar keputusannya atau mengeluarkan pendapat baru yang berbeda dengan pendapat yang diputuskan gereja. Itulah sebabnya, orang-orang seperti Bruno, atau Galilei dihukum. Bruno dibakar dan Galilei dipenjarakan, karena disuruh mencabut pendapatnya menga-takan bumi bulat. Karena menurut pendapat gereja masa itu, bumi adalah datar. Di zaman kekuasaan mutlak seperti kekuasaan Tuhan itu, sangatlah menyeramkan bulu roma dan amat ngeri dalam perasaan kalau berani membantah gereja. Maka yang berhak menaf-sirkan Injil dan Taurat hanya mereka, orang lain tidak boleh. Peraturan yang wajib ditaati hanyalah peraturan mereka, walaupun dipahamkan bahwa peraturan itu sudah sangat jauh dari garis kitab suci. Sebab yang berhak memegang kitab suci hanya mereka.
Dan dengan berpegang pada wasiat Nabi Isa yang tersebut pada Injil karangan Matius tadi, mereka pun merasa berhak memberi ampun dosa. Betapa pun besarnya dosa, namun Sri Paus ada hak memberinya ampun. Dan ampunan itu bisa diperjualbelikan, bisa tawar-menawar. Di sinilah timbul kebiasaan mengakui dosa di hadapan seorang pendeta, dan kesediaan pendeta itu memberi ampun.
Kemudian, sejak pengusiran kaum Muslimin dari Spanyol, Gereja mendirikan Komisi Penyelidik, Yaitu untuk menyelidiki iman orang. Mulanya semata-mata untuk memaksa sisa kaum Muslimin di Spanyol memeluk Kristen, tetapi lama-kelamaan meluas tugasnya, yaitu untuk menyelidiki pikiran orang, adakah dia sesuai dengan kehendak gereja. Untuk menghukum, disediakanlah berbagai alat, seperti pencungkil mata, pemotong lidah, peregang dan perunyut badan hingga tanggal tangan kaki dari badan, dan berbagai alat yang amat ngeri lagi, yang kemudian atas izin gereja dibawa juga alat-alat itu ke Malaka, dipergunakan Portugis sewaktu memerintah Malaka, seperti yang disebutkan Munsyi Abdullah di dalam hikayatnya yang terkenal. Dan dibongkar juga alat-alat itu oleh Napoleon ketika tentaranya menaklukkan Spanyol.
Itu adalah sikap mereka menganggap guru dan pendeta sebagai Tuhan, di samping orang-orang Nasrani memang menuhankan al-Masih pula. Selain dari itu, didirikan pula berbagai gereja, berbagai tempat berziarah untuk memuja orang-orang yang dianggap suci. Satu waktu Paus dapat memutuskan bahwa seseorang dianggap sebagai orang suci. Setelah keputusan itu keluar, didirikanlah gereja pemujaan buat orang itu dan bershalatlah di sana. Sebagai juga diputuskan bahwa Lourdes menjadi tempat keramat dan suci, sebab se-orang gadis gembala mengatakan bahwa dia pernah melihat Maryam Ibu Isa menjelmakan diri di tempat itu. Anak perempuan itu sendiri akhirnya diputuskan jadi orang suci pula.
Pemujaan dan mempertuhan pendeta ini akhirnya berkembang dan berpindah menjadi penyembahan kepada patung atau berhala. Maka tampillah ahli-ahli seni seperti Rafael Michiel Angelo atau Leonardo de Vinchi dan lain-lain mempertinggi nilai seni patung. Dipa-tungkanlah Nabi Isa, dipatungkanlah Maryam dan dipatungkan sekalian nabi-nabi yang tersebut di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama, lalu dipuja. Penuhlah Gereja Vatikan dengan patung-patung demikian. Oleh sebab itu, seni patung pusaka Yunani dan Romawi disambung-lah kembali oleh Gereja, dengan bentuk yang lain tetapi dengan maksud yang satu, yaitu pemujaan.
Padahal mereka tidaklah disuruh demikian. Ayat selanjutnya berkata, “Padahal tidaklah mereka diperintah, melainkan supaya menyembah kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan melainkan Dia."
Di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang ada sekarang ini pun kita masih dapat melihat dengan terangnya bahwasanya perintah utama yang disampaikan oleh rasul-rasul Allah, ialah menyembah Allah Yang Maha Esa. Pokok utama dari Hukum Sepuluh Taurat ialah tauhid. (Lihat Kitab Keluaran Pasal 20).
Inti ajaran al-Masih pun demikian pula: “Inilah hidup yang kekal, yaitu supaya mereka itu mengenal Engkau, Allah Yang Esa dan Benar, dan Yesus Kristus yang Engkau suruhkan itu." (Injil Yahya, Pasal 17 ayat 3).
Maka ayat yang sedang kita tafsirkan ini menyatakan bahwa pokok asal ajaran agama mereka ialah itu, yaitu tauhid: tidak menyembah melainkan kepada Tuhan Yang Satu. Baik Yahudi maupun Nasrani. Kalau kedapatan yang lain-lain, baik mempertuhan guru dan pendeta, ataupun mempertuhan al-Masih alai-his-salam, semuanya itu adalah tambahan kemudian yang ditambah-tambahkan oleh para pendeta, atau Konsili Pendeta dan wajib ditaati orang, sekali-kali tidak boleh dibantah, karena takut akan pengucilan gereja.
“… Dia dari apa yang mereka persekutukan itu."
Tidaklah Allah bersekutu dengan yang lain. Baik al-Masih maupun pendeta yang mana pun, semuanya adalah makhluk Allah belaka. Dan peraturan hanya datang dari satu sumber, yaitu sumber Allah. Peraturan buatan manusia, kalau tidak cocok dengan hukum Allah, bukanlah dia peraturan yang wajib dipatuhi. Dan manusia tiada berhak menambah-nambah apa yang telah diatur oleh Allah.
Apa yang diperingatkan Allah kepada kita dengan perantaraan Rasulullah ﷺ di dalam ayat ini? Kalau kita perhatikan masa turunnya ayat, dapatlah kita ketahui betapa hebat pertentangan Gereja Barat dan Gereja Timur pada waktu itu, pertentangan dengan Roma dengan Iskandariyah. jauh sebelum Heraklius yang menguasai Suriah telah ada pertentangan-pertentangan hebat karena berebut kuasa dalam gereja, kucil-mengucilkan. Di antara kaum Yacubiyin dan Malikaniyin dan Nasturiyin, terjadi pertentangan tentang tabiat al-Masih, adakah dia gabungan di antara ketuhanan dan keinsanan, sebagai “Anak Allah" dan “Anak Manusia" Heraklius masih ingin hendak mempersatukan tetapi gagal. Masing-masing mengatakan pihaknya yang benar, dan keputusannyalah yang sah dan pendirian lawan salah.
Tetapi semuanya berdasar pada mempersekutukan Allah dengan seorang Rasul-Nya, yaitu al-Masih. Padahal persatuan di antara mereka itu pasti dapat timbul kembali, kalau semuanya sudi kembali saja kepada ajaran pokok, yaitu tauhid. Masing-masing tidak mau, sebab tiap-tiap pimpinan gereja bertahan pada kekuasaannya, yang kekuasaan mengikat dan mengorak ikatan. Sebab ikatan yang mereka ikatkan di dunia, walaupun ikatan yang salah, menurut keyakinan mereka diakui juga di surga dan apa yang mereka orak di dunia, akan terorak juga di surga. Kemudian itu, kian lama kian jauh dari zaman Heraklius, maka yang tadinya pecah tiga, telah pecah menjadi berpuluh dan tiba di zaman kita sekarang ini, telah pecah menjadi beratus. Bahkan Gereja Inggris memisahkan diri dari Gereja Roma, hanya karena Paus tidak mau mengesahkan perkawinan Raja Henri VIII dengan istri-istri-nya yang lain, sesudah istri pertama.
Saat penulis tafsir ini melawat ke Amerika pada 1952, Penulis perlukan untuk menziarahi beberapa gereja di hari Minggu di Washington, hendak menambah pengetahuan tentang berbagai-bagai cara orang-orang Kristen sembahyang. Penulis ziarahi Gereja Methodist, Adventist, Angelikant, Katolik, dan pernah juga menyaksikan sembahyang madzhab Quaker yang tidak pakai pendeta. Satu hari penulis ajak seorang teman bangsa Indonesia yang memeluk Kristen sembahyang di Gereja Angelikant, Dia tidak mau. Kemudian ternyata bahwa meskipun dia Kristen, gerejanya bukan gereja Angelikant, sebab itu dia tidak mau sembahyang di sana.
Sedang bagi kita orang Islam, ke masjid yang mana saja pun kita masuk, sahlah shalat kita di sana. Dan bila tiba musim haji, beratus ribu orang naik haji dari berbagai madzhab, shalat berjamaah di belakang imam yang satu. Sebab perselisihan pendapat madzhab-madzhab dan firqah dalam Islam, tidaklah mengenai pokok aqidah, hanyalah dalam soal furu' (cabang dan ranting) saja.
Ayat ini adalah pengajaran utama dari Tuhan kita, orang Islam terutama. Supaya apa yang terjadi pada pemeluk Yahudi dan Nasrani itu jangan sampai terjadi pula kepada kita. Jangan bertemu sebab-sebab yang membawa kedua umat itu, belahan kita sendiri, sama-sama penyambut agama tauhid, telah menyimpang jauh. Satu sebabnya yang utama ialah karena pengaruh ketua-ketua agama, baik ahbar orang Yahudi maupun ruh-ban orang Nasrani. Jangan sampai sebagai yang diisyaratkan oleh Abui Aliyah kepada muridnya ar-Rabi' itu bahwa tersesatnya Bani Israil ialah karena mereka meninggalkan hukum Kitab Allah karena memandang sabda ulama lebih dari hukum Allah.
MENUHANKAN GURU
Sesudah mencapai puncak kejayaan berpikir dalam segala bidang kehidupan, karena didikan Al-Qur'an dan tuntunan dari Sunnah Rasulullah ﷺ maka mulai abad ketujuh Hijriah, mulailah taqlid menyerang jalan berpikir yang bebas itu. Al-Qur'an sendiri ditinggalkan dan hanya untuk baca-baca mengambil berkat Hadits-hadits Nabi ﷺ sebagai sandaran hukum kurang begitu mendapat perhatian. Melainkan sangatlah dipentingkan pendapat ulama.
Ar-Razi ketika menafsirkan ayat ini di dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib telah membahas penyakit mempertuhan guru dan pendeta yang terdapat dalam Yahudi dan Nasrani itu jadi perbandingan kepada keadaan umat Islam di zaman itu. Ar-Razi berkata bahwa guru beliau pernah mengatakan kepadanya bahwa beliau menyaksikan suatu golongan dari fuqaha yang bertaqlid itu, ketika aku bacakan kepada mereka ayat-ayat yang banyak dari kitab Allah dari beberapa masalah, padahal madzhab mereka berlain dari yang tersebut dalam ayat itu, maka tidaklah mereka mau menerima keterangan dari ayat-ayat itu dan tidak mereka mau memedulikannya, bahkan mereka memandang kepada ayat itu tercengang-cengang. Yaitu, mereka berpikir, bagaimana mungkin beramal menurut mak-sud ayat, padahal riwayat dari ulama-ulama ikutan kita berbeda dengan itu? Maka kalau engkau renungkan dengan sungguh-sungguh, akan engkau ketahuilah bahwa penyakit ini sudah sangat menular dalam kalangan ahli dunia.
Lalu ar-Razi mengatakan lagi, “Pendek kata, maksud mempertuhan guru dan pendeta itu boleh dipahamkan bahwa mereka taat-setia memegang kata mereka, meskipun ber-tentangan dengan hukum Allah. Dan boleh juga dipahamkan bahwa mereka menerima dari pimpinan agama itu berbagai ajaran yang membawa kufur sehingga mereka pun kufurlah kepada Allah. Maka dengan sebab itu jadilah mereka telah tergolong mengambil selain Allah menjadi Tuhan. Dan mungkin juga diartikan bahwa si pengikut itu percaya bahwa Allah telah menjelma kepada diri guru-guru dan pendeta-pendeta itu atau mereka telah bersatu dengan Allah (ittihad). Dan keempat-empat macam ini telah dapat disaksikan dan telah bertemu pada umat ini."
Inilah perkataan ar-Razi, yang mengarang tafsirnya pada abad-abad pertengahan dalam Islam. Beliau menegaskan bahwa penyakit-penyakit kepercayaan Yahudi dan Nasrani itu telah berjumpa pula dalam kalangan Islam. Lebih mementingkan kata ulama daripada kata Allah dan Rasul ﷺ. Taklid dalam soal-soal fiqih sehingga tidak mau lagi meninjau pikiran yang baru sehingga agama menjadi membeku. Sehingga timbullah pertengkaran dan pertentangan dan sampai kepada permusuhan di antara muqallid suatu madzhab dengan muqa-Hid madzhab yang lain. Kadang-kadang sampai memusuhi orang yang berlain madzhab sama dengan memusuhi orang yang berlain agama.
Gejala mendewa-dewakan guru, baik di waktu hidupnya maupun sesudah matinya. Di dalam kalangan Islam, tumbuhlah pemujian yang berlebih-lebihan kepada guru-guru yang dikeramatkan, dan setelah si guru mati, kuburnya pun mulai dikeramatkan pula, yaitu diberhalakan. Mereka tidak akan mau mengaku bahwa mereka telah mempertuhan guru, sebagai juga orang Yahudi dan Nasrani tidak juga akan mengaku bahwa guru-guru dan pendeta yang mereka puja-puja itu tidak juga akui sebagai Tuhan. Adi bin Hatim pun mulanya membantah ayat ini, karena dia sebagai orang Nasrani tahu benar, bahwa kaumnya tidak mempertuhan pendeta. Samalah orang Yahudi, orang Nasrani dan orang Islam yang menuruti jejak mereka dalam satu pengakuan, yaitu bahwa mereka tidak mengaku dengan mulut bahwa pujaan itu adalah Tuhan, melainkan melangsungkan dengan perbuatan, memberikan kepada mereka pemujaan-pemujaan dan ibadah yang seharusnya hanya dihadapkan kepada Allah.
Orang Nasrani mengatakan al-Masih Anak Allah, atau Allah dan al-Masih adalah Satu. Mereka mengatakan bahwa al-Masih itu adalah Kalam Allah dan Kalam itu sendiri adalah Allah. Dalam kalangan Islam menyelusup pula ajaran tentang Nur Muhammad atau al-Haqi-qatul Muhammadiyah yang mengatakan bahwa Muhammad itu pun adalah penjelmaan Allah.
Mengeramatkan guru dan ulama, sampai pun kepada ajaran Nur Muhammad ini, me-nyelusup ke dalam kalangan kaum sufi, pelajaran tasawuf yang sudah sangat ghuluw (berlebih-lebih) sehingga dalam beberapa pelajaran tarekat kita dapati ajaran bahwa hendaklah murid menyerahkan jiwa raganya kepada syekhnya seumpama menyerahkan mayat ketika hendak dimandikan. Tidak bertanya, tidak membantah, dan walaupun keli-hatan nyata dengan mata kepala sendiri bahwa syekh itu telah berbuat maksiat hendaklah diterima saja, dan beliau lebih dekat kepada Allah Ta'aala. Mungkin kepada beliau telah dibuka kasyaf, telah terbuka jalan yang tertinggi, sehingga apa yang kelihatan oleh kita pada zahir bahwa dianya haram, mungkin hal itu halal!!
Dalam hal fiqih pemahaman agama pun demikian pula. Penentuan halal dan haram, hanyalah semata-mata hak mutlak dari Allah dan Rasul ﷺ. Malahan hukum halal dan haram yang dari Rasul ﷺ pun, tidak pernah keluar dari garis yang ditentukan oleh Allah. Sebab itulah maka dikatakan bahwa Sunnah adalah tafsir pertama dari Kitab. Adapun yang tidak ada nashnya yang sharih, termasuklah dia ke dalam masalah ijtihadiyah, masalah fiqih dan pemikiran ulama, yang kadang-kadang tepat mencatat kebenaran atau mendekatinya, dan kadang-kadang terdapat kekhilafan. Maka ulama-ulama besar, pelopor dari ijtihad, baik sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ maupun ta-bi'in, seumpama Ibrahim an-Nakha'i, ataupun ulama mutaqaddimin sebagai Imam Malik, Imam Abu Hanifah, asy-Syaffi, Imam Ahmad bin Hambal, al-Auza'i, dan lain-lain, tidaklah mereka beranf membuat hukum sendiri bah
wa ini halal ini haram, setegas Al-Qur'an. Sebab kalau mereka telah berbuat demikian, mereka telah mengambil hak mutlak Allah Ta'aala. Bila kita lihat keterangan asy-Syaffi di dalam al-Umm atau ar-Risalah, dalam hal yang pada pendapatnya bahwa sesuatu itu tidak baik dikerjakan, setinggi-tingginya beliau berkata, Akrahu-hu (Saya benci akan itu). Bukan saja asy-Syaffi, bahkan umumnya ulama-ulama yang besar-besar itu demikian halnya. Dalam hal yang ijtihadiyah, beliau hanya mengatakan Ia yanbaghi (tidak seyogianya), atau la yashluhu (tidak patut), atau astaqbihuhu (saya anggap hal itu buruk), atau beliau berkata: la araahu (saya tidak menganggapnya baik).
Kehati-hatian para ulama inilah yang menimbulkan hukum makruh; ada makruh tahrim dan ada makruh tanzih. Ini pula yang menyebabkan bahwa di bawah wajib yang bergantung kepada nash, ada pula mandub, mustahaba, dan sebagainya. Adapun menye-but ini wajib dan ini haram secara tegas, dalam masalah ijtihadiyah, tidaklah pernah terjadi pada ulama ikutan yang besar-besar itu.
Oleh sebab itu, kalau datang orang mu-qallid di belakang, yang telah membelokkan pendapat ulama, yang mandub (dianjurkan) telah menjadi wajib dan yang mereka katakan tidak patut, tidak layak, kurang baik, dan sebagainya, lalu telah dibawa ke dalam hukum bahwa beliau mengharamkan, si muqaliid secara sadar atau tidak sadar telah menambah-nambah hukum karena sangat taqlidnya kepada ulama. Apatah lagi orang yang datang di belakang, yang karena telah dipanggilkan orang bahwa dia orang ahli agama, berani-berani raja membuat hukum wajib atau haram, pada perkara yang tidak ada nashnya dari AI-Qur'an atau hadits yang shahih, yang hanya timbul dari pertimbangannya sendiri, yang tidak maksum daripada salah, maka orang itu telah mulai membelokkan kedudukan ulama Islam ke dalam kependetaan cara Nasrani, dan telah menutup pintu bagi orang lain yang diberi Allah kepadanya kesempatan buat turut memikirkan agama sehingga mereka beragama dengan sadar.
Termasuk juga dalam rangka ini, yaitu menganggap ada kekuasaan lain di dalam me-nentukan ibadah selain daripada kekuasaan Allah, ialah menambah-nambah ibadah atau wirid, doa, dan bacaan pada waktu-waktu tertentu yang tidak berasal dari ajaran Allah dan Rasul ﷺ. Ibadah tidak boleh ditambah dari yang diajarkan Rasul ﷺ dan tidak boleh dikurangi. Menambah atau mengurangi, memaksa-maksa dan berlebih-lebihan dalam ibadah adalah ghuluw. Dan, ghuluw adalah tercela dalam syari'at. Sama pendapat (ijma) sekalian ulama mencela perbuatan itu. inilah dia bid'ahl
Terkadang seakan-akan orang bosan dengan ibadah atau doa yang jelas tuntunannya dari Al-Qur'an atau dari atsar Rasulullah ﷺ, lalu orang pergi belajar tarekat atau tasawuf, atau belajar shalawat, mengerjakan wirid, membaca kalimat laa ilaaha illallah sejuta kali menaikkan lidah ke langit-langit. Men-tawajjuh-kan guru dalam ingatan pada permulaan suluk dan sebagainya. Mereka merasa bahwa mereka masih orang Islam, padahal segala wirid yang mereka kerjakan itu telah sangat melebihi dari yang ditentukan agama, apalagi dengan menghadirkan guru seketika mengadakan tawajjuh dan rabithah itu.
Bukanlah kita mencela tasawuf dalam keseluruhannya. Tetapi, kita menuruti akan pendapat Imam Ghazali yang melarang orang belajar thariqat-thariqat ahli tasawuf itu ka-lau persediaan iman, tauhid, dan Sunnah Rasul ﷺ, sebagai dasar, belum diketahui. Kalau dasar itu belum ada, kesesatanlah yang akan timbul. Awak merasa sudah bersung-guh-sungguh mengerjakan ibadah kepada Allah, mendekati Allah(taqqarrub), dan seba-gainya, padahal dengan tidak sadar, awak telah memakai sistem lain yang diajarkan oleh Muhammad Rasulullah ﷺ, padahal awak mengakui orang Islam. Disangka mendekati Allah, padahal membawa jauh dari Allah. Sehingga tepatlah untuk orang yang seperti demikian perkataan Imam Syafi'i:
“Barangsiapa yang bertasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu petang dia sudah gila."
Oleh sebab itu, di dalam merenungkan ayat ini, janganlah kita hanya menyangkanya sebagai celaan kepada Yahudi dan Nasrani, melainkan tiliklah dalam kalangan kita sen-diri, besar kemungkinan bahwa penyakit yang seperti itu telah menimpa diri kita pula.
Kritik yang bertemu di dalam Al-Qur'an kepada pendeta-pendeta Nasrani itu, bertemu terus-menerus sampai ke abad-abad di belakangnya. Satu waktu kekuasan tidak berbatas itu mencapailah kepada puncaknya. Yang mula-mula memberontak menantangnya adalah kalangan pendeta sendiri, dipelopori oleh Martin Luther (1483-1546 M) dan Calvin (1509-1564 M)
Pemberontak sesama kaum agama ini, yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan kaum Protestan adalah tersebab sudah sangat leluasanya Kekuasaan Tertinggi Gereja menghalal dan mengharamkan sesuatu. Memberi ampun dosa-dosa orang asal memberikan bayaran yang tertentu. Melarang menafsirkan atau memahamkan sendiri isi kitab suci di luar dari yang ditentukan oleh gereja. Melarang pendeta kawin dan berbagai-bagai peraturan lain.
Meskipun Luther sebagai orang Kristen sangat benci kepada Islam dan kepada Nabi Muhammad ﷺ karena pusaka dendam sejak Peperangan Salib, namun penyelidik sejarah yang adil, tidak mungkin tidak mengakui bahwa gerakan Luther menentang kekuasaan gereja (Paus) ini terpengaruh juga dari ajaran Islam. Hubungan kebudayaan dan pengaruh cara berpikir tidak dapat dielakkan dengan diperintahnya negeri Spanyol oleh Islam sampai 700 tahun. Demikian juga konfrontasi yang demikian hebatnya selama Perang Salib yang berlaku sampai dua abad lamanya. Sesudah kembali dari Perang Salib, orang Eropa membawa cita-cita baru yang mereka saksikan dalam kebudayaan Islam.
Sesudah pemberontakan kaum gereja, sampai kesatuan gereja menjadi pecah, datang pulalah pemberontakan dari ilmu pengetahuan itu sendiri kaum sarjana dan cendekiawan tidak mau lagi terikat oleh gereja. Dengan terang-terang mereka hendak membebaskan perkembangan ilmu pengetahuan ataupun filsafat dari gereja, karena terbukti bahwa gereja itu hanya menghambat-hambat, menghalangi dan jadi batu penarung dari hasil-hasil penyelidikan dan pendapat modern. Orang-orang di zaman itu tidak berani lagi menge-luarkan hasil penyelidikan baru tentang alam. Sebab pendeta berleluasa saja buat menghu-kum orang yang menyatakan bumi bulat, atau bahwa bumi bukanlah pusat alam, dan lain sebagainya. Orang-orang semacam Galilei, Bruno, dan lain-lain dihukum, dibakar atau di-suruh tobat.
Demikian keras tantangan kepada gereja, sehingga akhirnya ilmu pengetahuan menang, dia bebas dari gereja. Filsafat menang; dia pun bebas dari gereja, dan akhirnya pendeta pun tidak boleh campur lagi dalam urusan duniawi, hingga datanglah pemerintahan sekular.
Tetapi setelah mereka tersisih dari urusan ilmu, filsafat dan duniawi itu, dan setelah kesatuan gereja terpecah-belah, gereja Katolik insaf akan dirinya. Mereka dari masa ke masa, tahun ke tahun menginsafi akan kelemahan mereka selama ini. Pimpinan telah dirampas dari tangan mereka karena kesempitan ilmu mereka. Lalu berusahalah mereka mempelajari soal-soal yang penting itu. Mereka turuti perkembangan filsafat, ilmu pe-ngetahuan alartl (fisika), dan soal-soal lain dalam dunia ini, sehingga mau tidak mau suara mereka pun didengar orang. Mereka berusaha hendak merebut kembali kedudukan mereka yang hilang dari segi ideal dan spiritual.
Maka di abad-abad terkemudian mulailah keadaan terbalik. Ulama-ulama Islam tidak lagi menguasai perkembangan ilmu pengetahuan ataupun filsafat yang di zaman dahulu, merekalah pelopornya. Imam Malik pernah berkata,
“Ulama-ulama adalah pelita dari zamannya
Tentu saja pelita itu menjadi redup karena kurang minyaknya. Kurang ilmu pengetahuan sehingga dia tidak menyiarkan terang pada sekelilingnya, Syukur alhamdulillah, agama Islam tidak memiliki badan kegerejaan sehingga ulama-ulama dalam Islam, bukanlah seperti pendeta dalam gereja Katolik, yang merasa berkuasa menghalal dan mengharamkan sehingga pendapat seorang ulama bisa dibantah oleh orang lain, jika bantahannya itu cukup kuat berdasar dari sumber asli Islam, yaitu Al-Qur'an dan hadits itu sendiri.
Maka ketika pada 1960 seorang ulama di Singapura memberikan fatwa, haram manusia pergi ke bulan, yang lebih dahulu tertawa bukanlah pemeluk agama lain, melainkan kalangan Islam sendiri. Sebab jelas bahwa Tuan Mufti itu telah ketinggalan kereta api. Sembilan tahun sesudah fatwanya itu keluar, manusia sudah sampai ke bulan.
HENDAK MEMADAMKAN NUR ALLAH DENGAN MULUT
Kemudian, datanglah lanjutan firman Allah demikian bunyinya:
Ayat 32
“Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka."
Inilah pula maksud yang terkandung di dalam hati orang Yahudi dan Nasrani itu, terutama dalam kalangan pemuka-pemuka mereka. Mereka ingin, bermaksud, dan bertekad hendak memadamkan cahaya Allah. Menurut as-Suddi, “Cahaya Allah ialah Islam!" Menurut adh-Dhahhak, “Cahaya Allah ialah Muhammad sendiri." Menurut al-Kalbi, “Cahaya Allah ialah Al-Qur'an." Dan menurut sebagian ahli tafsir pula, cahaya Allah ialah cahaya dari dalil-dalil dan bukti-bukti tentang tauhid Allah dan nubuwwat Muhammad. Karena dalil-dalil itu adalah memberikan petunjuk kepada kebenaran menurut akal, sebagaimana cahaya memberikan dalil untuk menunjukkan adanya yang dapat diketahui dengan pancaindra.
Sebab itu, nyatalah bahwa nur atau cahaya mengandung dua arti, yaitu cahaya yang bisa diketahui dengan pancaindra dan cahaya yang dapat dirasakan dalam pikiran. Cahaya pada kedua bidang itu ialah yang nyata pada dirinya sendiri dan memberikan kenyataan akan adanya yang lain. Nur ma'nawi untuk pandangan hati dan nurhaqiqi yang terbentang di mata ini untuk pandangan mata.
Baik kita gabungkan ketiga nur tadi, yaitu Islam, Al-Qur'an, dan Muhammad. Ketiganya menggabung membawa suatu cahaya, sebab dia adalah kebenaran. Dia mencahayai jiwa, bukan meragukan. Dia menerangkan, bukan menggelapkan. Dia sesuai dengan akal, bukan ditolak oleh akal. Cahaya itu tidak dapat dibantah, walaupun oleh hati sanubari orang-orang yang membantah itu sendiri. Karena mereka tidak suka akan cahaya itu, sebab sangat merugikan bagi kedudukan mereka, berkehendaklah mereka hendak me-madamkannya. Dengan apa mereka padamkan? Tentu saja dengan mulut Hanya mulut mereka yang akan payah memadamkan, adapun hati sanubari mereka sendiri, kalau bercakap dengan segala kejujuran, tidaklah mau membantahnya atau memadamkannya. Sebab itu hanya dengan mulutlah mereka sanggup memadamkannya. Dan akan berha-silkah memadamkan cahaya Allah dengan mulut manusia? Sedangkan misalnya berse-pakatmanusia di seluruh muka bumi ini hendak mengembus mulut buat memadamkan cahaya matahari, tidaklah akan berhasil pekerjaan mereka, apalagi kalau memadamkan cahaya Allah!
Perhatikanlah susun kata dalam ayat memakai fi'il mudharri'.
“Yuridu-na anyuth-fi'u!" Fi'il mudhari' mengandung akan zaman sekarang dan zaman selanjutnya. Yang berarti akan terus-menerus. Mereka berkehendak atau berkeinginan atau mau bahwa akan memadamkan cahaya Allah. Di zaman Nabi ﷺ selalu timbul gangguan dari orang Yahudi di Madinah, walaupun pada mula hijrah telah membuat perjanjian akan bertetangga secara baik. Dan pada zaman Rasulullah ﷺ pula telah timbul maksud-maksud hendak memadamkan cahaya Allah yang baru timbul di Madinah itu dari pihak Utara, tempat orang Rum berkuasa dan kabilah-kabilah Arab yang berlindung di bawah kuasa bangsa Rum. Sampai surat Nabi ﷺ dilemparkan ke tanah dan diinjak-injak dan sampai utusan Nabi ﷺ dibunuh.
Janganlah kita sangka bahwa ayat ini berlawan dengan ayat 82 sampai 84 dari surah al-Maa'idah, surah 5, yang di sana mengatakan bahwa orang Nasrani lebih dekat cintanya kepada orang Islam daripada Yahudi dan musyrikin. Ayat yang itu hanyalah semata-mata menunjukkan dengan secara adii dan jujur bahwa dalam kalangan mereka pun ada juga yang jujur, yang tidak mencoba hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut. Yaitu mereka yang tidak diikat kepentingan politik dan mempertahankan golongan, yang semata-mata mencintai kebenaran. Adapun yang selebihnya, seperti Heraklius dan raja-raja Arab Nasrani di utara (Syam) pada waktu itu, tidaklah merasa senang had jika cahaya ini memancar. Mereka terus berusaha hendak memadamkan. Kebangkitan Islam artinya adalah pengikisan kekuasaan Romawi di Tanah Arab atau timbulnya saingan baru yang akan menjatuhkan martabat mereka.
Oleh karena itu, selama Islam masih memancarkan cahayanya ke muka dunia, dengan kebenaran dan dalil-dalilnya yang diterima akal, mereka tetap cemas, sebab kedudukan mereka pasti terancam kemusnahan. Apalagi karena dalam ajaran Islam itu pula, dunia adalah jalan ke akhirat, dan kekuatan serta kekuasaan adalah sendi tegaknya agama yang benar. Sebab itu baik Yahudi maupun Nasrani, sejak zaman Nabi Muhammad ﷺ, sampai sekarang, sampai hari Kiamat, akan selalu berusaha melaksanakan keinginan mereka memadamkan cahaya Allah ini dengan mulut. Itulah sebabnya maka terjadi Perang Salib pada zaman dahulu. Itulah sebabnya maka terjadi Perang Salib zaman modern dengan menjajah negeri-negeri Islam setelah negeri-negeri Islam itu lemah. Itu sebabnya, ada penjajahan kebudayaan, penjajahan pendidikan, pendeknya penjajahan mental.
Itu sebabnya, ada salah satu Instruksi dari kaum Zending dan Misi untuk menghapuskan pengaruh Islam dari jiwa anak-anak Islam, dengan maksud, biarpun mereka tidak mau memeluk Kristen, tidak apa. Asal jiwa mereka tidak Islam lagi! Biar ayah dan datuk nenek mereka masih memegang teguh Islam, asal diusahakan anak-anak mereka tidak mengerti lagi apa itu Islam.
Itu pula sebabnya maka ada orientalis-orientalis yang bertekun mempelajari Islam, lalu mengeluarkan pendapat mereka yang memberikan tafsir lain sehingga orang Islam sendiri jadi ragu akan kebenaran agamanya. Seumpama mereka katakan bahwa Islam itu dimajukan dengan pedang. Bahwa Islam itu merendahkan martabat kaum perempuan, sebab mengizinkan beristri sampai empat. Atau memberi komentar dan penafsiran yang buruk tentang sejarah hidup Nabi Muhammad ﷺ Semuanya ini adalah dalam rangka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut.
Itu pula sebabnya maka kerajaan Kristen yang besar, Inggris dan Amerika memberikan sokongan yang nyata bagi orang Yahudi mendirikan negara Israel di Tanah Arab. Yaitu guna menghambat kebangunan Islam kembali, yang mereka sendiri pun mengetahui bahwa kebangunan kembali ini sudah pasti akan datang.
“Tetapi Allah tidak mau, melainkan hendak menyempurnakan cahaya-Nya jua, walaupun tidak suka orang-orang yang kafir itu."
Ujung ayat ini menegaskan bahwa mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut itu tidaklah akan dibiarkan berhasil oleh Allah, Cahaya Allah ialah kebenaran. Kebenaran tidaklah dapat dihalangi oleh kekuatan manusia. Bagaimanapun menghalanginya dia mesti timbul. Kalau ayat ini kita ambil guna penilik betapa perkembangan di zaman Rasul ﷺ dan para sahabatnya, nyatalah bahwa usaha Yahudi dan Nasrani di zaman itu, hendak menghapuskan cahaya Allah telah menjadi sia-sia. Yahudi terhapus dari seluruh Tanah Arab, dan Islam telah bangun dari Madinah, Islam telah timbul dan pada zaman Khalifah Umar bin Khaththab, Heraklius Raja Rum di Syam, terpaksa lari kembali ke Konstantinopel dan Palestina pusat kekuasaan mereka di waktu itu telah ditaklukkan.
Begitu yang telah kejadian, meskipun mereka tidak suka.
Kemudian timbul Perang Salib. 200 tahun bangsa-bangsa Kristen Eropa memerangi pusat-pusat negeri Islam, sampai mereka dapat mendirikan Kerajaan Kristen di Jerusalem 90 tahun lamanya. Akhirnya, mereka terusir habis dan cahaya Allah yang ada dalam ajaran Islam memancar pula ke Eropa, dibawa oleh bekas-bekas penjarah itu sendiri sehingga se-jak Perang Saliblah Eropa mendapat cahaya baru, karena pengaruh kebudayaan Islam yang mereka saksikan.
Kemudian datang zaman pertentangan-pertentangan hebat yang lain, pengusiran Islam dari Spanyol, masuknya Turki ke Eropa, datangnya penjajahan bangsa-bangsa Kristen ke dunia Islam. Propaganda agama Kristen besar-besaran dengan belanja berjuta-juta pound dan dolar, sampai sekarang. Namun bangsa-bangsa Islam yang tadinya terjajah, sekarang merdeka kembali. Dan usaha untuk menghapuskan Islam tidaklah berhasil dan tidaklah akan berhasil. Mungkin di suatu front dalam perang total keyakinan agama ini ada yang lemah, namun di front yang lain dia tetap kuat. Nanti diambil kepada jumlah seluruh, terang juga bahwa usaha menghapuskan cahaya Allah itu tidak akan berhasil.
Dunia Kristen kagum memikirkan betapa kemajuan pengkristenan di Indonesia di masa 30 tahun ini, tetapi mereka sedih hati sebab di Afrika mereka terdesak. Maka seorang ulama Islam yang besar di Indonesia, dengan jiwa besar pernah mengatakan, “Islam mungkin bisa mereka kalahkan di Indonesia, tetapi dia tidak akan dapat dikalahkan di seluruh dunia." (Kiai H.A. Dahlan).
Dalam saat banyak orang Islam yang tidak mengerti agamanya dapat ditarik ke dalam agama lain di Indonesia, di Eropa sendiri, pusat kebudayaan Kristen, banyak orang yang meninggalkan Kristen karena tidak cocok dengan akal dan ilmunya.
Selain dari janji Allah bahwa cahaya-Nya akan tetap bersinar, maka kita sendiri, sebagai Muslim wajiblah senantiasa menyalakan cahaya itu dalam hati kita. Supaya kita jangan kehilangannya.
Ayat 33
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar."
Artinya, untuk menyempurnakan cahaya-Nya itu, Allah telah mengutus Rasul-Nya, Muhammad ﷺ dengan petunjuk. Petunjuk itu adalah Al-Qur'an, Petunjuk atau panduan atau pedoman. Di dalamnya diberikan petunjuk tentang yang halal dan yang haram, pergaulan sesama manusia, ibadah kepada Allah, pergaulan ayah dan anak, anak dan ayah, suami dan istri, kenegaraan dan siasat, perang, dan damai. Dan, agama yang besar lagi sempurna, yang tegak uratnya dan dapat diselidiki dari mana dan betapa, tahan uji, dan tidak akan digantikan lagi oleh agama yang lain. Dia telah menjelaskan hubungan dengan Allah. Dia adalah berisi tauhid, dan tauhid adalah puncak tertinggi dari kecerdasan ma-nusia.
Disebut di dalam ayat ini sifat agama yang dibawa oleh Muhammad ﷺ itu, yaitu agama yang benar, untuk memberikan penjelasan dari ayat 30 tadi, yang mengatakan bahwa Ahlul Kitab itu tidak lagi berpegang pada agama yang benar. Sebab sudah terang bahwa dokumen asli ajaran nabi-nabi yang dahulu itu sudah banyak yang hilang. Taurat Musa tidak ada yang asli lagi. Injil isa yang asli pun tidak bertemu lagi, melainkan hanya catatan riwayat hidup Isa dan beberapa perkataannya yang disusun oleh orang-orang lain, lalu me-reka menamainya Injil Karangan Matius, Injil Karangan Markus, Injil Karangan Lukas, Injil Karangan Yohannes. Lalu Injil karangan yang lain lebih dari empat malahan sampai 70 naskah, yang menurut keputusan gereja tidak boleh dipakai. Kemudian isi dari surat-surat Paulus, yang perbedaan isinya dengan Injil-Injil itu terdapat pula, harus dimasukkan menjadi peraturan agama pula. Maka masuklah kepercayaan purbakala Trinitas ke dalam Kristen, menurut yang diputuskan oleh beberapa Konsili sehingga agama mereka tidak benar lagi, tidak asli lagi. Maka datanglah Muhammad ﷺ menegakkan kembali agama yang benar dan asli dari Allah, yang tidak dicampuri oleh syirik dan berbagai tambahan pendeta.
Dari segi pemeliharaan administrasi atau dokumentasi pun kebenaran agama Islam itu terjamin. Al-Qur'an telah tercatat sejak zaman Rasulullah ﷺ, dikumpul oleh Abu Bakar belum setahun sesudah Rasul wafat, dalam satu naskah. Disalin dalam beberapa naskah oleh Utsman bin Affan, diurus satu panitia, yang orang-orangnya semuanya telah bertemu dengan Rasulullah ﷺ.
Kemudian datang zaman pengumpulan hadits-hadits dan sabda Rasulullah saw,, catatan perbuatan beliau. Ini pun dikaji mana yang shahih, mana yang hasan, mana yang dhaif, dan mana yang maudhu' (palsu). Disisihkan catatan hadits-hadits ini, meskipun dia ucapan beliau, dengan Al-Qur'an, yang meskipun dia ucapan beliau juga, sebab dia wahyu. Tidak pernah dicampur-aduk. Maka Islam adalah agama yang benar dalam inti ajaran, dan agama yang benar dalam kehati-hatian catatan.
Orang yang membantah kebenaran ini, lain tidak hanyalah karena ta'ashshub.
“Karena Dia akan tinggikan dia di atas segala agama; walaupun enggan orang-orang musyrikin itu."
Dia akan lebih tinggi, dia akan mengatasi segala agama yang ada di dunia ini. Ini janji Allah. Untuk memikirkan betapa hebatnya janji ini, ingatlah lagi ayat yang terkenal pada surah al-Baqarah, bahwa paksaan tidak ada dalam agama. Agama yang lain juga akan ada, tetapi Islam akan tetap mengatasi semua agama-agama itu, sebab dia adalah puncak dari kemurnian akal manusia. Dalam pokok berpikir yang dialektik dia adalah synthese terakhir dari paham mengakui adanya Tuhan, tetapi diperserikatkan dengan yang lain (these) yang bertentangan dengan paham tidak bertuhan sama sekali (on ti-these). Penulis tafsir ini pernah bertukar pikiran dengan seorang dokter Rusia yang merawatnya; dokter Rusia itu—yang berpaham komunis— menyatakan bahwa bertambah kemajuan pikiran manusia kelak, dan bertambah tinggi ilmu pengetahuan, bertambah hapuslah ke-percayaan manusia tentang adanya Tuhan. Lalu penulis jawab bahwa bertambah maju akal dan kecerdasan manusia dan bertambah tinggi ilmu pengetahuan, sudah pasti akan ber-tambah percayalah orang akan adanya Tuhan.
“Mana itu Tuhan dan di mana adanya?" tanya dokter itu kepada saya.
Lalu saya menjawab, “Kalau begitu berpikir tentang Tuhan, tentu benarlah apa yang Tuan sangkakan itu. Memang kepercayaan bahwa Tuhan itu bertubuh atau bertempat, itulah yang akan menghalangi manusia mempercayai adanya Tuhan. Bangsa tuan menjadi komunis, sebab kepercayaan agama yang dahulu dipeluk bangsa tuan ialah bahwa Tuhan itu tiga sama dengan satu, dan satu itu ialah tiga, dan Tuhan itu adalah seorang manusia. Maka jika bertambah kecerdasan manusia dan bertambah ilmunya, kepercayaan-keper-cayaan kepada Tuhan seperti itu, niscaya akan habis terdesak, sebab tidak sesuai dengan akal dan kecerdasan. Tetapi bila kecerdasan telah tinggi dan ilmu pengetahuan alam dan eksakta bertambah tinggi pula, manusia pasti sampai pada kepercayaan bahwa semuanya ini tidaklah terjadi dengan kebetulan. Keteraturannya sehingga dia dapat menjadi ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan, membawa kesimpulan kepada kepercayaan bahwa semua ini telah diatur oleh yang mengatur, Maha Pengatur ..." Inilah jawab saya. Dan beliau pun segera menjawab, “Akan saya pikirkan!"
Syukur dokter itu masih mau berpikir. Tidak memaksa dirinya untuk tidak memikirkan lagi, sebab dilarang oleh disiplin yang keras dari partai.
Islam telah dijanjikan Allah akan mengatasi segala agama, karena ajarannya yang sesuai dengan fitrah akal manusia. Adapun apakah kita yang telah disebut sebagai pemeluk Islam ini, yang telah Islam menurut geografi dan peta bumi, itu adalah soal yang kedua.
Besar kemungkinan bahwa ada pemeluk lain agama atau orang tak beragama mendapat hakikat Islam itu, tetapi mereka tidak tahu. Dan ada kemungkinan ada orang Islam, mengakui memeluk Islam, tetapi dia tidak turut menikmati kebesaran Islam itu, karena dia tidak berilmu.
Zaman sekarang dinamai Zaman Kemajuan Pikiran dan Ilmu. Kepercayaan kepada Allah bertambah teguh karena kemajuan ilmu. Segala kepercayaan yang tidak diterima akal tak dapat tunduk padanya dari masa ke masa kian luntur dan jiwa manusia. Orang yang berakal sebab menginginkan sesuatu kepercayaan yang dapat mendamaikan jiwanya de-ngan akalnya.
Oleh sebab itu maka kepercayaan Hindu yang didasarkan kepada pertentangan kasta, yang menurut prinsip itu ada kasta yang dipandang hina dan bernajis, kian lama akan ditinggalkan oleh manusia. Sehingga orang yang memeluk agama Hindu sendiri pun, dari dalam akan menyanggah dasar kepercayaan itu. Kalau kasta telah dihabiskan, habis pula-lah agama Hindu.
Agama Buddha mengajarkan bahwa hidup di dunia ini adalah Sangsara belaka. Buddha tidak mengajarkan dari hal Tuhan, siapa Tuhan itu, apa sifat-Nya. Buddha hanya mengajarkan bagaimana supaya diri kita bebas dari sengsara hidup karena kebebasan jiwa menempuh Nirwana. Tetapi akhirnya penganut Buddha menganggaplah bahwa Buddha itu sendiri adalah Tuhan. Lalu mereka buatlah berhala Buddha buat mereka puja. Meskipun Buddha sendiri tidak pernah memerintahkan agar dia diberhalakan. Agama seperti itu kian lama akan kian hilang dari hidup orang sehari-hari, sehingga yang dapat mengerjakannya hanyalah para biksu saja.
Agama Yahudi tidak mau berkembang ke luar Israel. Bagi mereka agama Yahudi itu adalah agama kaum. Mereka tidak mempropagandakan agar orang lain masuk Yahudi, bahkan menghambat jangan sampai orang lain masuk. Karena kalau orang lain masuk Yahudi, kotorlah darah Israel. Mereka adalah “kaum yang dipilih Tuhan". Meskipun ada orang lain masuk Yahudi karena perkawinan, namun orang baru itu tetap dipandang asing. Yahudi dengan sendirinya hanya agama terbatas.
Agama Nasrani yang mengajar bahwa Tuhan itu adalah satu ditambah dua sama dengan satu, atau satu sama dengan tiga dan tiga sama dengan satu, yang mengajarkan bahwa dosa adalah diwarisi; orang harus berhenti terlebih dulu memakai akalnya, barulah dia akan beragama. Sebab segala pokok ajaran (dogma) itu tidak masuk di akal. Mereka akan berhenti mempergunakan akal, sekurang-kurangnya pada saat beragama itu saja. Ada orang yang berakal dan taat beragama. Maka mereka pergilah ke gereja pada hari Ahad. Pada hari itu sengaja mereka berhenti mempergunakan akal, untuk mengakali benar tidaknya bahwa Tuhan itu adalah tiga tetapi satu, satu tetapi tiga. Nanti hari Senin sampai Sabtu, mereka giat lagi mempergunakan akal buat urusan lain. Dan, di hari yang enam itu, jangan dicampur-campur dengan agama. Sebab kepercayaan agama tidak dapat disesuai-kan dengan berpikir yang teratur.
Lantaran itu tepatlah apa yang tersebut dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini bahwa agama Islam akan tetap mengatasi agama-agama yang lain. Artinya, kalau manusia mau beragama dengan sepenuh arti kalimat, tidak ada lain jalan, mereka mesti masuk ke dalam suasana Islam. Kian lama ajaran Islam itu akan diterima. Thau'an au karhan, dengan kemauan sendiri atau dipaksa oleh keadaan, disadari atau tidak disadari, meskipun mereka belum memeluk agama Islam dengan resmi.
Beratus tahun lamanya orang Katolik mencela jika pendeta beristri dan menghamburkan segala celaan kepada Islam, sebab ulama Islam beristri. Pada tahun-tahun 1968-1969 dan sampai sekarang, dunia Katolik ribut, karena pendeta-pendeta sendiri minta kawin. Mereka sanggah Paus mereka sendiri karena Paus masih saja mempertahankan bahwa pendeta tidak boleh kawin.
Sebab tidak boleh kawin, adalah satu aturan yang tidak masuk akal, atau satu kebohongan, satu hipokrit (kemunafikan), yang kian lama dirombak oleh perjalanan sejarah sendiri.
Jasa nabi-nabi yang telah terdahulu tidaklah dimungkiri umat manusia yang berakal budi. Ajaran Islam pun menjelaskan bahwa isi ajaran segala nabi dan rasul itu hanya satu, seperti di atas telah diterangkan. Itulah sebabnya maka ketika Allah mengutus Rasul-Nya yang penghabisan, Muhammad ﷺ, dikatakan bahwa ajaran itu akan melebihi dan mengatasi segala agama. Sebab hakikatnya telah dikenal sejak semula.
Sayyid Abui Hasan Ali an-Nadawi, menulis dalam bukunya, Apa Kerugian Dunia karena Mundurnya Kaum Muslimin:
“Menurut keterangan Ustadz Ahmad Amin bahwa dalam kalangan Kristen pernah timbul suatu gerakan karena pengaruh Islam. Pada abad kedelapan Masehi, artinya abad kedua dan ketiga Hijriah, timbul di Septimania, suatu gerakan menentang pengakuan dosa di hadapan pendeta. Pendeta tak berhak mengampuni dosa manusia dan manusia boleh langsung memohon sendiri kepada Allah agar dosanya diampuni. Sedangkan islam tidak mengakui ada orang perantara, seumpama ulama yang akan menyampaikan permohonan ampun itu kepada Allah."
Menurut Islam, kalau kita merasa berdosa, kita diperintahkan tobat langsung kepada Allah. Tidak perlu ada orang lain yang tahu. Dan, kita dianjurkan memohonkan lagi kepada Allah agar Dia menutupi aib kita, hingga yang tahu hanya kita dan Allah. Mengakui dosa dan minta ampun dengan perantaraan pendeta itu dalam kenyataannya adalah suatu kepalsuan. Sebab pendeta itu sendiri, sebagai seorang manusia, adalah orang yartg tidak bersih dari dosa.
Demikian pula disebutkan timbulnya gerakan menghancurkan gambar-gambar dan patung-patung yang dipuja-puja secara keagamaan (Iconoclats).
Pada abad kedelapan dan kesembilan Masehi (abad ketiga dan keempat Hijriah), timbul sebuah sekte Kristen yang menentang pemujaan gambar dan patung, Kaisar Leo III pada tahun 726, sampai mengeluarkan larangan menyembah gambar dan patung. Pada tahun 730, keluar lagi susunan perintah baginda melarang memuja gambar dan patung. Demikian pula Kaisar Konstantin V dan Kaisar Leo IV. Akan tetapi, Paus Georgius II dan Paus Georgius III dan Germanius Uskup Iskandariyah dan Kaiserin Irene, membela pemujaan patung dan berhala serta gambar itu, sehingga timbul pertentangan. Ahli-ahli sejarah mengatakan bahwa segala pertentangan ini, timbul karena masuknya pengaruh ajaran Islam. Dan tersebut pula bahwa Claudius Uskup Torraine yang diangkat menjadi uskup tahun 828 (sekitar tahun 213 Hijriah), telah membakar gambar serta patung-patung dan melarang keras memujanya. Ketika orang menulis sejarah uskup ini, telah diperingatkan bahwa beliau dilahirkan di Andalusia dan di sana beliau mendapat pendidikan.
Sayyid Abui Hasan an-Nadawi menerangkan pula dalam bukunya tersebut bahwa di dalam Kristen pun timbul satu sekte yang tidak mau mengakui trinitas. Mereka tidak mau menganut kepercayaan bahwa Nabi Isa adalah Tuhan atau Anak Tuhan.
Tentu yang beliau maksud ialah Sekte Unitharian.
Bertambah maju orang berpikir, bertambah orang mendekat pada ajaran Islam. Mulanya mereka mencela dengan penuh kebencian. Akhirnya, mereka ikuti dengan diam-diam.
Sekarang dunia modern mengambil pedoman kepada peradaban dan ilmu pengetahuan dari Eropa. Kalau dikaji secara mendalam, kemajuan peradaban Eropa yang sekarang ini bukanlah dari Kristen. Barulah mereka bebas buat maju setelah mereka tidak lagi mengikatkan diri kepada agama mereka. Kemajuan Barat sekarang ini adalah dari tiga unsur.
• Penggalian kembali filsafat Yunani.
• Kemerdekaan pikiran yang menimbulkan pendapat-pendapat baru.
• Pengaruh peradaban dan kebudayaan Islam yang dibawa kembali ke Eropa sesudah Perang Salib.
Bangsa Timur yang dipandang pesat kemajuannya ialah bangsa Jepang. Kemajuan Jepang dalam hal teknik adalah setelah meniru dari Barat, sedang sumber Barat adalah dari yang tiga tadi. Jepang tidaklah maju karena Shintoisme. Agama Shinto semata-mata dipertahankan sebagai pusaka bangsa saja, yang sesudah Perang Dunia ke-2 menghadapi kegoncangan.
Maka sesuatu umat yang peradabannya dan kebudayaannya dibentuk oleh agamanya ialah um