Ayat
Terjemahan Per Kata
فِي
di/pada
ٱلدُّنۡيَا
dunia
وَٱلۡأٓخِرَةِۗ
dan akhirat
وَيَسۡـَٔلُونَكَ
dan mereka bertanya kepadamu
عَنِ
dari/tentang
ٱلۡيَتَٰمَىٰۖ
anak yatim
قُلۡ
katakanlah
إِصۡلَاحٞ
mengurus secara patut
لَّهُمۡ
bagi mereka
خَيۡرٞۖ
baik
وَإِن
dan jika
تُخَالِطُوهُمۡ
kamu menggauli mereka
فَإِخۡوَٰنُكُمۡۚ
maka mereka itu saudaramu
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَعۡلَمُ
dia mengetahui
ٱلۡمُفۡسِدَ
pembuat kerusakan
مِنَ
dari
ٱلۡمُصۡلِحِۚ
mengadakan perbaikan
وَلَوۡ
dan jikalau
شَآءَ
menghendaki
ٱللَّهُ
Allah
لَأَعۡنَتَكُمۡۚ
niscaya Dia mempersulit kamu
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
عَزِيزٌ
Maha Perkasa
حَكِيمٞ
Maha Bijaksana
فِي
di/pada
ٱلدُّنۡيَا
dunia
وَٱلۡأٓخِرَةِۗ
dan akhirat
وَيَسۡـَٔلُونَكَ
dan mereka bertanya kepadamu
عَنِ
dari/tentang
ٱلۡيَتَٰمَىٰۖ
anak yatim
قُلۡ
katakanlah
إِصۡلَاحٞ
mengurus secara patut
لَّهُمۡ
bagi mereka
خَيۡرٞۖ
baik
وَإِن
dan jika
تُخَالِطُوهُمۡ
kamu menggauli mereka
فَإِخۡوَٰنُكُمۡۚ
maka mereka itu saudaramu
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَعۡلَمُ
dia mengetahui
ٱلۡمُفۡسِدَ
pembuat kerusakan
مِنَ
dari
ٱلۡمُصۡلِحِۚ
mengadakan perbaikan
وَلَوۡ
dan jikalau
شَآءَ
menghendaki
ٱللَّهُ
Allah
لَأَعۡنَتَكُمۡۚ
niscaya Dia mempersulit kamu
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
عَزِيزٌ
Maha Perkasa
حَكِيمٞ
Maha Bijaksana
Terjemahan
tentang dunia dan akhirat. Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang anak-anak yatim. Katakanlah, “Memperbaiki keadaan mereka adalah baik.” Jika kamu mempergauli mereka, mereka adalah saudara-saudaramu. Allah mengetahui orang yang berbuat kerusakan dan yang berbuat kebaikan. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Tafsir
(Yaitu tentang) urusan (dunia dan akhirat) hingga kamu dapat memungut mana-mana yang lebih baik untukmu pada keduanya. (Dan mereka menanyakan kepadamu tentang anak-anak yatim) serta kesulitan-kesulitan yang mereka temui dalam urusan mereka. Jika mereka menyatukan harta mereka dengan harta anak-anak yatim, mereka merasa berdosa dan jika mereka pisahkan harta mereka dan dibuatkan makanan bagi mereka secara terpisah, maka mengalami kerepotan. (Katakanlah, "Mengurus urusan mereka secara patut) misalnya mengenai campur-tangan dalam upaya mengembangkan harta mereka (adalah lebih baik) daripada membiarkannya. (Dan jika kamu mencampuri urusan mereka), maksudnya kamu campurkan pengeluaran kamu dengan pengeluaran mereka, (maka mereka adalah saudaramu) maksudnya mereka itu adalah saudara-saudara seagama dan telah menjadi kelaziman bagi seorang saudara untuk mencampurkan hartanya pada harta saudaranya. Tegasnya silakan melakukannya karena tak ada salahnya (Dan Allah mengetahui orang yang membuat kerusakan) terhadap harta anak-anak yatim itu ketika mencampurkan hartanya kepada harta mereka (dari orang yang berbuat kebaikan) dengannya, hingga masing-masing akan mendapat balasan yang setimpal (sekiranya Allah menghendaki, tentulah Dia akan mempersulitmu) dengan melarang mencampurkan harta, (sesungguhnya Allah Maha Kuasa) atas segala persoalan (lagi Maha Bijaksana) dalam segala tindakan dan perbuatan.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 219-220
mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya." Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan" Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian supaya kalian berpikir, tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim.
Katakanlah, "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kalian bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudara kalian; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepada kalian. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Abu Maisarah, dari Umar yang menceritakan hadits berikut: Bahwa ketika ayat pengharaman khamr diturunkan, Umar berkata, "Ya Allah, berilah kami penjelasan mengenai khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan." Maka turunlah firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi.
Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat dosa besar." (Al-Baqarah: 219). Lalu Umar dipanggil dan dibacakan kepadanya ayat ini. Maka ia mengatakan, "Ya Allah, berilah kami penjelasan tentang khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan." Kemudian turunlah ayat yang ada di dalam surat An-Nisa, yaitu: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati shalat, sedangkan kalian dalam keadaan mabuk. (An-Nisa: 43). Tersebutlah bahwa juru azan Rasulullah ﷺ apabila mendirikan shalat selalu menyerukan, "Orang yang mabuk tidak boleh mendekati shalat!" Kemudian Umar dipanggil lagi dan dibacakan kepadanya ayat tersebut.
Maka Umar berkata, "Ya Allah, berilah kami penjelasan tentang khamr ini dengan penjelasan yang lebih memuaskan lagi." Lalu turunlah ayat yang ada di dalam surat Al-Maidah. Ketika bacaan ayat sampai pada firman-Nya: maka berhentilah kalian (dari mengerjakan perbuatan itu). (Al-Maidah: 91) maka Umar berkata, "Kami telah berhenti, kami telah berhenti." Demikianlah menurut riwayat Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasai melalui berbagai jalur dari Israil, dari Abu Ishaq.
Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Mardawaih melalui jalur Ats-Tsauri, dari Abu Ishaq, dari Abu Maisarah yang nama aslinya ialah Amr ibnu Syurahbil AI-Hamdani Al-Kufi, dari Umar. Amr ibnu Syurahbil tidak mempunyai hadits lain yang dari Umar selain hadits ini. Akan tetapi, menurut pendapat Abu Dzar'ah disebutkan bahwa Amr ibnu Syurahbil belum pernah mendengar dari Umar.
Ali ibnul Madini mengatakan bahwa sanad hadits ini baik lagi shahih, dinilai shahih oleh Imam At-Tirmidzi, sedangkan dalam riwayat Ibnu Abu Hatim disebutkan sesudah perkataan Umar, "Kami telah berhenti," yaitu "Sesungguhnya khamr itu melenyapkan harta dan menghilangkan akal." Hadits ini diketengahkan lagi beserta hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui jalur Abu Hurairah pada tafsir firman-Nya dalam surat Al-Maidah, yaitu: Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. (Al-Maidah: 90) Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. (Al-Baqarah: 219) Definisi khamr ialah seperti apa yang dikatakan oleh Amirul Muminin Umar ibnul Khattab, yaitu segala sesuatu yang menutupi akal (memabukkan), sebagaimana yang akan dijelaskan nanti dalam tafsir surat Al-Maidah. Demikian pula maisir, yakni judi. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia'" (Al-Baqarah: 219) Adapun mengenai dosa kedua perbuatan tersebut berdasarkan peraturan agama, sedangkan manfaat keduniawiannya jika dipandang sebagai suatu manfaat.
Maka manfaatnya terhadap tubuh ialah mencernakan makanan, mengeluarkan angin, dan mengumpulkan sebagian lemak serta rasa mabuk yang memusingkan, seperti apa yang dikatakan oleh Hassan ibnu Sabit dalam masa Jahiliah: Kami meminumnya (khamr) dan khamr membuat kami bagaikan raja-raja dan juga bagaikan harimau yang tidak kuat perang (yakni menjadi pemberani). Termasuk manfaatnya pula memperjual-belikannya dan memanfaatkan hasilnya. Sedangkan manfaat judi ialah kemenangan yang dihasilkan oleh sebagian orang yang terlibat di dalamnya, maka dari hasil itu ia dapat membelanjakannya buat dirinya sendiri dan keluarganya.
Akan tetapi, manfaat dan maslahat tersebut tidaklah sebanding dengan mudarat dan kerusakannya yang jauh lebih besar daripada manfaatnya, karena kerusakannya berkaitan dengan akal dan agama, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya. (Al-Baqarah: 219) Karena itu, ayat ini merupakan pendahuluan dari pengharaman khamr yang pasti. Di dalam ayat ini pengharaman tidak disebutkan dengan tegas, melainkan dengan cara sindiran.
Karena itulah maka Umar ibnul Khattab ketika dibacakan ayat ini kepadanya mengatakan: Ya Allah, berikanlah kami penjelasan tentang khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan. Setelah itu barulah turun ayat yang mengharamkannya di dalam surat Al-Maidah, yaitu firman-Nya: Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari mengingati Allah dan shalat; maka berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjaan itu). (Al-Maidah: 90-91) Dalam tafsir surat Al-Maidah nanti, masalah ini akan diterangkan dengan keterangan yang rinci.
Ibnu Umar, Asy-Sya'bi, Mujahid, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, sesungguhnya ayat ini merupakan permulaan ayat yang menerangkan pengharaman khamr, yaitu firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat dosa besar." (Al-Baqarah: 219) Kemudian turun pula ayat yang ada di dalam surat An-Nisa, sesudah itu turun ayat yang terdapat di dalam surat Al-Maidah yang mengharamkan khamr secara tegas.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan." (Al-Baqarah: 219) Lafal al-'afwa dapat pula dibaca al-'afwu, keduanya baik dan berdekatan pengertiannya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Aban, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah sampai suatu hadits kepadanya bahwa sahabat Mu'az ibnu Jabal dan Sa'labah datang menghadap Rasulullah ﷺ, lalu keduanya bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami mempunyai banyak budak dan keluarganya yang semuanya itu termasuk harta kami." Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. (Al-Baqarah: 219) Al-Hakam mengatakan dari Miqsam, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan. (Al-Baqarah: 219) Yakni lebihan dari nafkah yang diperlukan. Hal yang sama diriwayatkan pula dari. Ibnu Umar, Mujahid, ‘Atha’, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Muhammad ibnu Ka'b, Al-Hasan, Qata-dah, Al-Qasim, Salim, ‘Atha’ Al-Khurrasani, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta lain-lainnya. Disebutkan bahwa mereka mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan." (Al-Baqarah: 219) Lafal al-'afwa di sini artinya al-fadla atau lebihan (sisa dari yang diperlukan). Telah diriwayatkan dari Tawus bahwa makna yang dimaksud ialah segala sesuatu yang mudah.
Dari Ar-Rabi' disebutkan pula bahwa makna yang dimaksud ialah hartamu yang paling utama dan paling baik. Akan tetapi, semua pendapat merujuk kepada pengertian lebihan dari apa yang diperlukan. Abdu ibnu Humaid mengatakan dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Hauzah ibnu Khalifah, dari Auf, dari Al-Hasan sehubungan dengan ayat berikut: Mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan." (Al-Baqarah: 219) Disebutkan bahwa yang dimaksud dengan istilah al-'afwa ialah jangan sampai nafkah itu memberatkan hartamu yang akhirnya kamu tidak punya apa-apa lagi dan meminta-minta kepada orang lain. Pengertian ini ditunjukkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir: telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim, dari Ibnu Ajlan, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang menceritakan: Seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai uang dinar.'" Nabi ﷺ menjawab, "Belanjakanlah buat dirimu sendiri." Lelaki itu berkata, "Aku masih memiliki yang lainnya." Nabi ﷺ bersabda, "Nafkahkanlah buat keluargamu." Lelaki itu berkata, "Aku masih mempunyai yang lainnya." Nabi ﷺ bersabda, "Nafkahkanlah buat anakmu." Lelaki itu berkata, "Aku masih mempunyai yang lainnya." Nabi ﷺ menjawab, "Kamu lebih mengetahui." Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim di dalam kitab shahih-nya.
Dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui Jabir , bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepada seorang lelaki: Mulailah dengan dirimu sendiri, bersedekahlah untuknya; jika ada lebihannya, maka buat keluarga (istri)mu. Dan jika masih ada lebihannya lagi setelah istrimu, maka berikanlah kepada kaum kerabatmu; dan jika masih ada lebihan lagi setelah kaum kerabatmu, maka berikanlah kepada ini dan itu. Menurut Imam Muslim pula, disebutkan dari Abu Hurairah , bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Sebaik-baik sedekah ialah yang diberikan setelah berkecukupan; tangan di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan di bawah (penerima). Dan mulailah dengan orang yang berada dalam tanggunganmu. Di dalam sebuah hadits lain disebutkan pula: Wahai anakAdam, sesungguhnya jikalau kamu memberikan lebihan dari yang diperlukan adalah lebih baik bagimu dan jika kamu memegangnya, maka hal itu buruk bagimu, dan kamu tidak akan dicela karena tidak mempunyai sesuatu yang bersisa.
Akan tetapi, menurut pendapat yang lain ayat ini di-mansukh oleh ayat zakat, seperti yang diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, Al-Aufi, dan Ibnu Abbas; juga yang dikatakan oleh ‘Atha’ Al-Khurrasani. Menurut pendapat yang lainnya lagi, ayat ini diperjelas pengertiannya oleh ayat zakat, menurut Mujahid dan lain-lainnya. Pendapat yang terakhir ini lebih terarah (kuat). Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian supaya kalian berpikir tentang dunia dan akhirat. (Al-Baqarah: 219-220) Yakni sebagaimana Allah menguraikan hukum-hukum ini kepada kalian.
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat lainnya kepada kalian, baik mengenai hukum-hukum, janji, maupun ancaman-Nya, supaya kalian berpikir tentang dunia dan akhirat. Dari Ibnu Abbas, Ali ibnu Abu Talhah mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dunia dengan kefanaannya dan menyongsong akhirat dengan kekebalannya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad At-Tanafisi, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Assa'q At-Tamimi yang telah mengatakan, aku telah menyaksikan Al-Hasan dan ia membaca ayat berikut: Supaya kalian berpikir tentang dunia dan akhirat. (Al-Baqarah: 219-220) Demi Allah, ayat ini bagi orang-orang yang merenungi makna yang terkandung di dalamnya, niscaya ia akan mengetahui bahwa dunia ini adalah negeri cobaan, kemudian fana; dan agar ia mengetahui bahwa akhirat itu negeri pembalasan dan negeri yang kekal abadi.
Qatadah dan Ibnu Juraij serta selain keduanya mengatakan demikian. Abdurrazaq dari Ma'mar, dari Qatadah mengatakan, "Agar kalian mengutamakan negeri akhirat daripada dunia." Dan menurut suatu riwayat dari Qatadah dikatakan, "Maka utamakanlah negeri akhirat daripada dunia Firman Allah Swt: Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah, "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kalian bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudara kalian; dan Allah mengetahui siapa yang berbuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan.
Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepada kalian." (Al-Baqarah: 220), hingga akhir ayat. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Jarir, dari ‘Atha’ ibnus Saib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kalian dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat. (Al-An'am: 152, Al Isra: 34) Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (An-Nisa: 10) Maka orang-orang yang memelihara anak yatim memisahkan makanannya dengan makanan anak yatim.
Begitu pula minumannya, ia pisahkan antara milik sendiri dan milik anak yatim. Akhirnya banyak lebihan makanan yang tak sempat dimakan, maka sisa tersebut ia simpan untuk dimakan di lain waktu atau makanan itu menjadi basi. Hal tersebut terasa amat berat atas diri mereka yang mempunyai anak-anak yatim, lalu mereka menceritakan perihalnya kepada Rasulullah ﷺ Maka turunlah firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah, "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kalian bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudara kalian." (Al-Baqarah: 220) Akhirnya mereka berani mencampurkan makanan mereka dengan makanan anak-anak yatim mereka, begitu pula minumannya.
Demikianlah menurut riwayat Abu Dawud, An-Nasai, Ibnu Abu Hatim, Ibnu Mardawaih, dan Al-Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui berbagai jalur dari ‘Atha’ ibnus Saib dengan lafal yang sama. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ali ibnu Abu Talhah dari Ibnu Abbas Hal yang sama diriwayatkan pula oleh As-Suddi, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas; juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud dengan lafal yang semisal. Hal yang sama diriwayatkan pula bukan hanya oleh seorang perawi saja mengenai asbabun nuzul ayat ini, antara lain seperti Mujahid, ‘Atha’, Asy-Sya'bi, Ibnu Abu Laila, dan Qatadah; bukan pula hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan ulama Khalaf.
Waki' ibnul Jarrah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam (murid Ad-Dustiwa-i), dari Hammad, dari Ibrahim yang telah mengatakan bahwa Siti Aisyah pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku tidak suka bila harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaanku dipisahkan secara menyendiri, melainkan aku mencampurkan makanannya dengan makananku dan minumannya dengan minumanku." Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Katakanlah, "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik. (Al-Baqarah: 220) Makna yang dimaksud ialah memisahkannya secara menyendiri. Dan jika kalian bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudara kalian. (Al-Baqarah: 220) Artinya, bila kamu mencampurkan makananmu dengan makanan mereka, begitu pula minumanmu dengan minuman mereka, tidaklah mengapa kamu melakukannya, sebab mereka adalah saudara-saudara seagama kalian.
Karena itulah dalam firman berikutnya disebutkan: Dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. (Al-Baqarah: 220) Yakni Allah mengetahui tujuan dan niat yang sebenarnya, apakah hendak membuat kerusakan atau perbaikan. Firman-Nya: Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepada kalian. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Al-Baqarah: 220) Yaitu seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia akan mempersulit kalian dan mempersempit kalian. Tetapi ternyata Dia meluaskan kalian dan meringankan beban kalian, serta memperbolehkan kalian bergaul dan bercampur dengan mereka (anak-anak yatim) dengan cara yang lebih baik.
Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Dan janganlah kalian dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat. (Al-An'am: 152) Bahkan Allah memperbolehkan bagi orang yang miskin memakan sebagian dari harta anak yatim dengan cara yang makruf, yaitu adakalanya dengan jaminan akan menggantinya bagi orang yang mudah untuk menggantinya atau secara gratis. Seperti yang akan dijelaskan keterangannya dalam tafsir surat An-Nisa nanti."
Yakni memikirkan tentang dunia dan akhirat. Dunia adalah tempat beramal dan akhirat adalah tempat memanen hasil dari amalan itu. Dunia adalah negeri yang fana dan akhirat kekal abadi. Karena itu, berbuatlah kebajikan selagi kamu di dunia agar di akhirat kamu mendapat kebahagiaan selama-lamanya. Demikianlah Allah memberi petunjuk dengan ayat-ayatnya untuk kebahagiaan manusia, tidak saja kebahagiaan di dunia tetapi juga di akhirat. Selanjutnya Allah memberi tuntunan dalam memelihara anak yatim. Mereka menanyakan kepadamu, wahai Nabi Muhammad, tentang anak-anak yatim. Katakanlah, Memperbaiki keadaan mereka, yakni mengurus anak yatim untuk memperbaiki keadaan mereka, adalah baik! Dan jika kamu mempergauli dan menyatukan mereka dengan keluargamu dalam urusan makanan, tempat tinggal, dan keperluan lainnya, maka yang demikian itu baik sebab mereka adalah saudara-saudaramu. Karena itu, sepantasnya eng Yakni memikirkan tentang dunia dan akhirat. Dunia adalah tempat beramal dan akhirat adalah tempat memanen hasil dari amalan itu. Dunia adalah negeri yang fana dan akhirat kekal abadi. Karena itu, berbuatlah kebajikan selagi kamu di dunia agar di akhirat kamu mendapat kebahagiaan selama-lamanya. Demikianlah Allah memberi petunjuk dengan ayat-ayatnya untuk kebahagiaan manusia, tidak saja kebahagiaan di dunia tetapi juga di akhirat. Selanjutnya Allah memberi tuntunan dalam memelihara anak yatim. Mereka menanyakan kepadamu, wahai Nabi Muhammad, tentang anak-anak yatim. Katakanlah, Memperbaiki keadaan mereka, yakni mengurus anak yatim untuk memperbaiki keadaan mereka, adalah baik! Dan jika kamu mempergauli dan menyatukan mereka dengan keluargamu dalam urusan makanan, tempat tinggal, dan keperluan lainnya, maka yang demikian itu baik sebab mereka adalah saudara-saudaramu. Karena itu, sepantasnya eng. Pada ayat ini Allah memberi tuntunan dalam memilih pasangan. Dan janganlah kamu, wahai pria-pria muslim, menikahi atau menjalin ikatan perkawinan dengan perempuan musyrik penyembah berhala sebelum mereka benar-benar beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman yang berstatus sosial rendah menurut pandangan masyarakat lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu karena kecantikan, nasab, kekayaannya, atau semisalnya. Dan janganlah kamu, wahai para wali, nikahkan orang laki-laki musyrik penyembah berhala dengan perempuan yang beriman kepada Allah dan Rasulullah sebelum mereka beriman dengan sebenar-benarnya. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu, karena kegagahan, kedudukan, atau kekayaannya. Ketahuilah, mereka akan selalu berusaha mengajak ke dalam kemusyrikan yang menjerumuskanmu ke neraka, sedangkan Allah mengajak dengan memberikan bimbingan dan tuntunan menuju jalan ke surga dan ampunan dengan rida dan izin-Nya. Allah menerangkan ayat-ayat-Nya, yakni tanda-tanda kekuasaan-Nya berupa aturan-aturan kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran sehingga mampu membedakan mana yang baik dan membawa kemaslahatan, dan mana yang buruk dan menimbulkan kemudaratan. Pernikahan yang dilandasi keimanan, ketakwaan, dan kasih sayang akan mewujudkan kebahagiaan, ketenteraman, dan keharmonisan
Kemudian dalam ayat ini, Allah ﷻ sekaligus menjawab pertanya-an tentang masalah anak-anak yatim. Anak-anak yatim yaitu anak-anak yang tidak berbapak lagi, karena sudah meninggal.
Timbulnya pertanyaan mengenai anak-anak yatim ini pada masa Rasulullah ﷺ dari orang-orang yang selama ini hidup bersama anak yatim, bercampur hartanya dengan harta mereka, serta sama-sama makan dan minum dalam satu rumah. Dengan jalan begitu, terpeliharalah anak-anak yatim, baik makan maupun kesejahteraannya, tetapi kemudian turunlah ayat ini:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (an-Nisa'/4: 10)
Dengan turunnya ayat itu, maka mereka ragu-ragu, kalau perbuatannya terhadap anak-anak yatim selama ini zalim, termasuk memakan harta anak yatim itu. Ayat 220 ini menjelaskan bahwa yang pokok dalam hal ini adalah pemeliharaan yang baik terhadap anak-anak yatim, jangan sampai tersia-sia hidupnya. Jangan sampai mereka terlantar serta tak terjamin ketenteraman dan kesejahteraannya. Semua macam pemeliharaan dan penjagaan anak-anak yatim adalah merupakan kebaikan. Andaikata mereka dibawa tinggal serumah itu pun juga baik, sebab dengan tinggal bersama-sama sudah merupakan hidup bersaudara. Seolah-olah anak yatim itu merupakan saudara kecil, dipelihara kesehatannya seperti memelihara saudara, atau anak kandung sendiri. Jadi boleh mencampur harta anak-anak yatim dengan harta orang yang memeliharanya, asal ada niat untuk keselamatan mereka dan tidak untuk merugikan mereka. Perkara niat seseorang dan apa yang disimpan di dalam hatinya, hanya Allah-lah yang tahu, sebab Allah Maha Mengetahui siapa yang baik dan siapa yang jahat. Banyak terjadi, orang mengatakan berniat baik memelihara anak yatim, tetapi kenyataannya dia menganiaya dan menyiksanya.
Dalam memelihara anak yatim, tergantung kepada kemampuan yang memelihara, namun yang pokok adalah terjaminnya keselamatan anak-anak yatim tersebut, dan jangan sampai mereka itu tersia-sia, baik mengenai keperluan makan minumnya, pakaian dan tempat tinggalnya, serta pendidikan dan kesehatannya, lebih-lebih mengenai harta bendanya, bila ada. Itu harus dipelihara sebaik mungkin. Apabila anak-anak yatim itu sampai tersia-sia, niscaya hal itu akan menimbulkan kemurkaan Allah ﷻ Sesungguhnya Dia Mahaperkasa lagi Mahabijaksana dalam mengatur kemaslahatan hamba-Nya.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MINUMAN KERAS DAN PERJUDIAN
Ayat 219
"Mereka bertanya kepada engkau dari hal minuman keras dan perjudian."
Rasulullah telah disuruh memberikan jawaban yang mendidik dengan mengajak mereka berpikir.
Ayat 219
“Katakanlah, ‘pada keduanya itu ada dosa besar dan ada (pula) beberapa manfaat bagi manusia. Akan tetapi, dosa keduanya lebih besar dari manfaat keduanya.'"
Adapun dosa besarnya tentu sudah sama dirasakan pada waktu itu. Orang yang minum sampai mabuk tidak akan dapat lagi mengendalikan diri dan akal budinya. Nafsu-nafsu buruk yang selama ini dapat ditekan dengan kesopanan, apabila telah mabuk tidak dapat lagi dikendalikan, sehingga jatuhlah kemanusiaan orang itu: bercarut-carut, memaki-maki. Datang panggilan shalat, karena mabuknya itu dia tak peduli lagi. Orang yang mabuk, dengan tidak sadar bisa memukul orang lain ataupun sampai membunuh. Kelak kalau sudah sadar, dia merasa menyesal. Pendeknya, amat besarlah dosa yang timbul dari mabuk itu sebab menjatuhkan martabat sebagai manusia. Malahan merusak pencernaan makanan karena panas bekasnya meskipun manfaatnya ada. Orang yang tadinya kurang berani, kalau sudah minum, menjadi berani dan gagah, tidak takut menghadapi musuh.
Berjudi pun demikian pula. Sepayah-payahnya mengumpul harta benda, dibawa ke tempat judi, timbullah kekalahan. Harta benda yang dikumpul dengan susah payah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, bisa licin tandas di meja judi sehingga keperluan-keperluan hidup, belanja anak istri, menjadi telantar. Seorang kaya raya dalam beberapa jam bisa menjadi seorang yang sangat melarat. Karena keadaan yang demikian kacaulah hidup lantaran judi. Merusakkan rumah tangga, mengacaukan pikiran. Dan, kalau menang, menyakiti kepada yang kalah. Kadang-kadang timbul sakit hati, dendam, bahkan permusuhan lantaran si kalah sakit hati kepada si pemenang. Sebab itu, berjudi pun besar dosanya. Meskipun diakui ada juga orang menang itu mendapat manfaat. Misalnya kalau dapat kemenangan, dapatlah memberi derma kepada orang yang tengah susah.
Setelah diterangkan terlebih dahulu bahwa dosanya besar, tetapi manfaatnya pun tidak dimungkiri, wahyu meneruskan, “Namun, dosa keduanya lebih besar daripada manfaat keduanya"
Di sini, Rasulullah telah diperintahkan Tuhan untuk menyampaikan ajaran berpikir kepada umat dengan dua jalan. Pertama, pertimbangkanlah terlebih dahulu manakah yang besar dosanya daripada manfaatnya? Dosa lebih besar dan manfaat hanya sedikit. Berkali-kali orang mabuk dan akalnya hilang, diri tidak terkendalikan, agama jadi kacau, shalat berceceran, kadang-kadang membuat malu di hadapan orang banyak. Orang peminum rusak jasmani dan ruhaninya, rusak jantungnya. Hanya sekali dalam ratusan kali ada orang yang dapat manfaat, kuat badannya dan berani berperang. Itu pun berbahaya juga; kalau keberanian perang hanya lantaran minum terlebih dahulu maka bila habis pengaruh minuman itu dalam diri, keberanian hilang kembali.
Berjudi pun demikian, memang ada juga manfaatnya, tetapi sedikit, yaitu kalau-kalau dapat membantu orang melarat dengan kemenangan judi. Akan tetapi, beratus kali terbukti bahwa kekalahan lebih banyak daripada kemenangan. Menang satu kali untuk kalah dua puluh kali. Bukan berderma yang dapat, tetapi melicintandaskan yang ada.
Akan tetapi, tidaklah segala yang tidak disukai itu ada bahayanya bagi kamu. Dan, tidak pula barang yang disukai itu semuanya bermanfaat. Maka, mempertimbangkan suatu hal adalah mengkaji mana yang lebih besar manfaat daripada mudharat. Dengan demikian, orang diajak berpikir jauh dan cerdas dan dapatlah taat mengerjakan perintah agama serta menghentikan yang dilarang sesudah berpikir. Sebab, segala yang dilarang pastilah karena lebih besar mudharatnya dan segala yang diperintahkan pastilah lebih besar manfaatnya.
Dengan penjawaban pertanyaan itu, meratalah dalam kalangan orang-orang yang berpikiran bahwasanya Allah dan Rasul-Nya tidaklah menyukai orang-orang yang beriman atau sekalian umat-Nya meminum minuman keras dan berjudi. Akan tetapi, belum berhenti sama sekali sebab kecerdasan pikiran manusia tidak sama. Masih ada yang minum, tetapi memang telah banyak yang berhenti. Tiba-tiba pada suatu hari ada seorang Muhajirin disuruh kawan-kawannya menjadi imam pada shalat jamaah Maghrib di satu tempat karena tidak terburu ke masjid. Sedang shalat, ber-kacau balaulah bacaannya, tidak tentu ujung pangkalnya lagi, sehingga marahlah kawan-kawannya. Ternyata dia shalat sedang mabuk, sehabis minum. Maka, datanglah ayat yang kedua, yang lebih keras lagi dari yang pertama, yaitu yang tersebut di dalam surah an-Nisaa': 43 yang melarang mendekati shalat kalau sedang mabuk.
Kalau tuah mereka telah dipanggil, yaitu “orang-orang yang beriman", itu namanya sudah keras, sedangkan shalat adalah puncak ibadah orang yang beriman. Shalat tiang dari agama, sedangkan mereka mengaku beriman. Datang waktu shalat, mereka segera ber-wudhu, segera ke masjid, segera berjamaah. Akan tetapi, lantaran mabuk, mereka dilarang shalat. Jangankan shalat, mendekati saja tidak boleh. Maka, dengan larangan keras ini, bertambah besar jumlah yang tidak mabuk lagi.
Dan, beberapa waktu kemudian terjadilah suatu ribut-ribut, bertengkar, dan nyaris berkelahi. Apa sebabnya? Sebab masih ada yang mabuk. Sedang pendapat umum sejak ayat pertama dan ayat kedua boleh dikatakan sudah terbentuk. Orang sudah mulai benci kepada minuman keras dan judi.
Maka, tibalah ayat terakhir, lebih keras dari ayat pertama dan kedua, yang isinya menutup mati dan mengancam keras minum-minuman keras dan judi selamanya (surah al-Maa'idah: 90).
Mendengar ayatyang keras itu, terlepaslah segala cangkir yang ada dalam tangan, di-ruahkanlah ke tanah minuman yang masih disimpan, dan sejak waktu itu menjadilah minuman keras dan judi dua hal yang amat pantang, jijik, dibenci oleh Islam, sama dengan bila menyebut daging babi.
Cara menurunkan hukum secara berangsur ini, yang kedua lebih keras dari yang pertama dan yang ketiga lebih keras dan tutup mati dari yang kedua, di dalam penurunan hukum dalam Islam dinamai,
“Menurunkan syari'at dengan berangsur “
Secara orang sekarang dengan sistematis!
Orang-orang yang insaf di negara-negara Barat mengakui, bahkan ahli sejarah yang besar bangsa Inggris, Arnold Toynbee, bahwasanya larangan minuman dan berjudi dari Nabi Muhammad ﷺ itu berhasil dengan sangat baik dan berbekas sampai sekarang telah empat belas abad dalam kalangan Islam.
Seorang pengarang Belandayangbeberapa lama berdiam di Indonesia, Jef Last namanya, mengakui juga terus terang rasa kagumnya, betapa pun meriah kaum Muslimin Indonesia di waktu Lebaran, tetapi yang mabuk karena minum tidak ada, padahal katanya minuman keras itulah yang menjadi cacat besar bangsa Barat ketika terjadi perayaan Christmas.
Akan tetapi, kita pun insaf bagaimana pula pemerintah penjajah berusaha merusak jiwa kaum Muslimin dalam jajahan mereka, agar mereka mabuk dengan minuman dan sengsara karena berjudi. Sehingga menjadi rahasia umumlah di beberapa negeri di Indonesia di zaman jajahan bahwa pegawai-pegawai yang dinamai B.B. Amtenar, sebagaimana demang-demang di Sumatra Barat, sultan-sultan di Sumatra Timur, bupati-bupati di Jawa banyak yang melarat karena mabuk, terutama karena judi. Bahkan beberapa raja diajar mengonsumsi candu, yang dibawakan oleh kontelir ke istana sebagai hadiah. Dan, pabrik-pabrik bir di Surabaya dan di tempat lain di Indonesia, sesudah zaman merdeka ini lebih repot pekerjaannya karena telah banyak yang suka minum. Namun, demikian, jika penyelidik dari luar negeri datang, belum juga mereka melihat bahwa penyakit ini telah menjadi penyakit umum sebab kekuatan beragama masih ada pada umat yang banyak.
Sambungan ayat, “Dan mereka bertanya kepada engkau dari hal apa yang akan mereka belanjakan" Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dan Ikrimah atau Said bin Jubair dari Ibnu Abbas, sahabat-sahabat Rasulullah setelah menerima perintah supaya mengeluarkan belanja atau pengorbanan harta bagi jalan Allah, ada yang bertanya, “Kami tidak tahu harta yang mana yang dimaksudkan wajib dinafkahkan itu." Konon, pertanyaan ini timbul setelah sahabat-sahabat Rasulullah tidak begitu miskin lagi, sebagaimana waktu mula pindah, sebab dari perniagaan ataupun peperangan sudah banyak yang mampu. Maka, disuruhlah Rasulullah menjawab, “Katakanlah, ‘Kelebihan dari yang perlu!" Dengan demikian, dijelaskanlah bahwasanya buat keperluan diri sendiri dalam rumah tangga tidak ada lagi. Maka, kalau persediaan telah banyak, beri kanlah lebih dari yang perlu itu. Misalnya, seorang berbelanja membawa uang kira-kira Rp 1.000,00 belanja untuk sehari itu (menurut pasaran ketika tafsir ini dibuat). Rupanya setelah selesai berbelanja masih ada sisanya. Maka, datang orang minta tolong; berikanlah kelebihan dari yang perlu itu.
“Demikianlah Allah telah menjelaskan kepada kamu ayat-ayat, supaya kamu berpikir."
Dengan ujung ayat menyuruh berpikir, termasuklah memikirkan mudharat dan manfaat tadi, pertimbangan mudharat dan manfaat minuman keras dan judi atau mudharat dan manfaat dalam mengorbankan harta benda pada jalan Allah, membantu yang patut dibantu. Disuruhlah orang yang beriman memakai pikirannya di dalam menafkahkan hartanya. Misalnya, ada seseorangyang kekayaannya hanya ada Rp1.000,00 lalu dinafkahkannya Rp100,00 pada jalan Allah. Seorang yang lain pula kekayaannya ada Rpl.000.000,00 lalu dia pun mengeluarkan nafkah pada jalan Allah Rp10.000,00. Timbanglah dan pikirkanlah mana yang lebih besar pengorbanan orang ini? Ayat yang berikutnya bersambung terus,
Ayat 220
“Di dunia dan di akhirat,"
Yaitu, berpikir itu jangan hanya memikirkan dunianya saja, berapa keluar berapa tinggal, agak-agak yang akan keluar, agak-agak yang akan tinggal, tetapi pikirkan pula berapa pahala yang akan diterima di akhirat kelak.
“Dan mereka pun bertanya kepada engkau dari hal anak-anak yatim" Menurut riwayat Abu Dawud, an-Nasa'i, dan al-Hakim dari Ibnu Abbas, karena telah banyak datang ayat-ayat peringatan tentang harta anak yatim, sampai dikatakan bahwa siapa yang memakan harta anak yatim dengan aniaya, sama dengan memakan api dalam perutnya, sebagaimana tersebut dalam surah an-Nisaa': 10, dan dalam surah-surah yang lain, sehingga anak yatim tidak boleh dikerasi dan digagahi (surah adh-Dhuha), dan terhitung mendustakan agama siapa yang tidak mempertahankan kepentingan anak yatim (surah al-Ma'un), dan berbagai ayat yang lain. Timbullah cemas beberapa sahabat Rasulullah yang memelihara anak yatim, sampai ada yang memisahkan makan mereka dengan makan anak yatim itu karena takut tercampur. Karena dari sangat hati-hati itu, memelihara anak yatim menjadi tidak menyenangkan, bahkan menakutkan. Maka, ada di antara sahabat yang bertanya kepada Rasulullah, bagaimana sebaiknya memelihara mereka, sebab memelihara itu telah diperintahkan, sedang hartanya jangan sampai termakan dengan jalan aniaya. Maka, pertanyaan ini disuruh jawab oleh Allah, “Katakanlah, ‘Mengatur baik-baik keadaan mereka adalah lebih baik!" Oleh sebab itu, atur sajalah pemeliharaan terhadap mereka dengan sebaik-baiknya sebab dia itu bukan orang lain bagi kamu.
“Dan jika kamu bercampur gaul dengan mereka maka mereka itu adalah saudara-saudara kamu" yaitu saudara dalam iman kepada Tuhan. Bukankah orang yang beriman itu bersaudara? Kalau kamu telah meniatkan dan memandang mereka sebagai saudara sendiri, tentu pun kamu telah tahu bagaimana berlaku terhadap mereka dan harta mereka. Asal perasaan begini telah tertanam dalam hatimu ketika memelihara anak yatim, niscaya penganiayaan tidak akan terjadi. Jangan sampai makan mereka dipisahkan. Itu adalah merendahkan, bukan menggauli. Kalau ada anakmu sendiri dalam rumah, pandanglah mereka sebagai anakmu, jangan ada perbedaan sikap; sebab malang nasibnya, ayah mati menyebabkan dia tinggal bersama kamu. Kalau ajalmu datang tiba-tiba, tentu nasib anakmu sama dengan nasib mereka. Kalau dia miskin dan kamu mampu, peliharalah dia cara kemampuanmu. Kalau mereka miskin, kamu pun miskin, moga-moga adanya dia dalam rumahmu akan membawa rezeki. Kalau kamu miskin dan anak yatim itu membawa kekayaan pusaka ayahnya, asal engkau pelihara dengan iman tidaklah akan ada kecurangan."Dan Allah mengetahui siapa yang merusak dan siapa yang memperbaiki, sekiranya Allah menghendaki niscaya diberati-Nya kamu" sehingga tidak boleh singgung-menyinggung harta. Wajib dia dipelihara di rumah, diberi makan dan minum, tetapi hartanya tidak boleh disinggung. Akan tetapi, Allah tidak menghendaki begitu. Kamu orang beriman, kamu berpikiran, kamu tahu sendiri mana jalan yang curang dan mana jalan yang jujur. Termakan hartanya karena bercampur tiap hari, padahal bukan dengan sengaja curang, apalah salahnya. Asal hati cinta dan iman yang engkau hadapkan kepada-Nya, jika dia telah dewasa kelak dia lepas dari tanggunganmu, dia pun akan tahu ketulusan hatimu dan kebaikan budimu."Sesungguhnya, Allah adalah Mahagagah lagi Mahabijaksana." Artinya, kalau engkau curang, akan dihukum-Nya kamu, akan disengsarakan-Nya kamu, sehingga harta anak yatim itu jadi api yang membakar perutmu, meiicin-tandaskan sampai kepada harta bendamu sendiri. Akan tetapi, kalau hatimu jujur, Allah adalah Bijaksana. Dia tahu akan kesulitanmu.