Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَن
dan tidak
تَسۡتَطِيعُوٓاْ
kamu dapat
أَن
akan
تَعۡدِلُواْ
kamu berbuat adil
بَيۡنَ
diantara
ٱلنِّسَآءِ
isteri-isteri
وَلَوۡ
walaupun
حَرَصۡتُمۡۖ
kamu ingin sekali
فَلَا
maka janganlah
تَمِيلُواْ
kamu cenderung
كُلَّ
seluruh
ٱلۡمَيۡلِ
kecenderungan
فَتَذَرُوهَا
maka/sehingga kamu membiarkannya
كَٱلۡمُعَلَّقَةِۚ
seperti tergantung/terkatung-katung
وَإِن
dan jika
تُصۡلِحُواْ
kamu mengadakan perbaikan
وَتَتَّقُواْ
dan kamu memelihara diri
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
غَفُورٗا
Maha Pengampun
رَّحِيمٗا
Maha Penyayang
وَلَن
dan tidak
تَسۡتَطِيعُوٓاْ
kamu dapat
أَن
akan
تَعۡدِلُواْ
kamu berbuat adil
بَيۡنَ
diantara
ٱلنِّسَآءِ
isteri-isteri
وَلَوۡ
walaupun
حَرَصۡتُمۡۖ
kamu ingin sekali
فَلَا
maka janganlah
تَمِيلُواْ
kamu cenderung
كُلَّ
seluruh
ٱلۡمَيۡلِ
kecenderungan
فَتَذَرُوهَا
maka/sehingga kamu membiarkannya
كَٱلۡمُعَلَّقَةِۚ
seperti tergantung/terkatung-katung
وَإِن
dan jika
تُصۡلِحُواْ
kamu mengadakan perbaikan
وَتَتَّقُواْ
dan kamu memelihara diri
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
غَفُورٗا
Maha Pengampun
رَّحِيمٗا
Maha Penyayang
Terjemahan
Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(-mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Oleh karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Jika kamu mengadakan islah (perbaikan) dan memelihara diri (dari kecurangan), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tafsir
(Dan kamu sekali-kali takkan dapat berlaku adil) artinya bersikap sama tanpa berat sebelah (di antara istri-istrimu) dalam kasih sayang (walaupun kamu amat menginginkan) demikian. (Sebab itu janganlah kamu terlalu cenderung) kepada wanita yang kamu kasihi itu baik dalam soal giliran maupun dalam soal pembagian nafkah (hingga kamu tinggalkan) wanita yang tidak kamu cintai (seperti bergantung) janda tidak bersuami pun bukan. (Dan jika kamu mengadakan perjanjian) yakni dengan berlaku adil dalam mengatur giliran (dan menjaga diri) dari berbuat kecurangan (maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun) terhadap kecenderungan yang terdapat dalam hatimu (lagi Maha Penyayang) kepadamu dalam masalah tersebut.
Tafsir Surat An-Nisa': 128-130
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya pelit. Dan jika kalian menggauli istri kalian dengan baik dan memelihara diri kalian (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.
Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (kalian), walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kalian terlalu cenderung (kepada yang kalian cintai), sehingga kalian biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kalian mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.
Ayat 128
Allah ﷻ memberitahukan serta mensyariatkan ketetapan hukum-hukum-Nya menyangkut berbagai kondisi yang dialami oleh sepasang suami istri. Adakalanya pihak suami bersikap tidak senang kepada istrinya, adakalanya pihak suami serasi dengan istrinya, dan adakalanya pihak suami ingin bercerai dengan istrinya.
Keadaan pertama terjadi bilamana pihak istri merasa khawatir terhadap suaminya, bila si suami merasa tidak senang kepadanya dan bersikap tidak acuh kepada dirinya. Maka dalam keadaan seperti ini pihak istri boleh menggugurkan dari kewajiban suaminya seluruh hak atau sebagian haknya yang menjadi tanggungan suami, seperti sandang, pangan, dan tempat tinggal serta lain-lainnya yang termasuk hak istri atas suaminya.
Pihak suami boleh menerima hal tersebut dari pihak istrinya, tiada dosa bagi pihak istri memberikan hal itu kepada suaminya, tidak (pula) penerimaan pihak suami dari pihak istrinya akan hal itu. Untuk itulah disebutkan di dalam firman-Nya: “Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarnya.” (An-Nisa: 128)
Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan: “Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (An-Nisa: 128) Yakni daripada perceraian.
Firman Allah ﷻ: “Walaupun manusia itu menurut tabiatnya pelit.” (An-Nisa: 128)
Maksudnya, perdamaian di saat saling bertolak belakang adalah lebih baik daripada perceraian. Karena itulah ketika usia Saudah binti Zam'ah sudah lanjut, Rasulullah ﷺ berniat akan menceraikannya, tetapi Saudah berdamai dengan Rasulullah ﷺ dengan syarat ia tetap menjadi istrinya dan dengan suka rela ia memberikan hari gilirannya kepada Siti Aisyah. Maka Nabi ﷺ menerima persyaratan tersebut yang diajukan oleh Saudah, dengan imbalan Saudah tetap berstatus sebagai istri Nabi ﷺ.
Riwayat mengenai hal tersebut dikemukakan oleh Abu Dawud At-Tayalisi: Telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Mu'az, dari Sammak ibnu Harb, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Saudah merasa khawatir bila dirinya diceraikan oleh Rasulullah ﷺ. Maka ia berkata, "Wahai Rasulullah, janganlah engkau ceraikan aku, aku berikan hari giliranku kepada Aisyah," maka Rasulullah ﷺ menyetujui apa yang dimintanya. Dan turunlah firman-Nya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya.” (An-Nisa: 128) hingga akhir ayat.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa segala persyaratan yang disetujui oleh kedua belah pihak diperbolehkan.
Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya dari Muhammad ibnul Musanna, dari Abu Dawud At-Tayalisi dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berpredikat gharib.
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepadanya Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ﷺ wafat dalam keadaan meninggalkan sembilan orang istri; sebelum itu beliau ﷺ memberikan hari gilirannya kepada delapan orang istrinya. Di dalam kitab Sahihain disebut melalui hadits Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah yang menceritakan, "Ketika usia Saudah binti Zam'ah sudah lanjut, ia menghadiahkan hari gilirannya kepada Aisyah. Sejak saat itu Nabi ﷺ menggilir Siti Aisyah selama dua hari; satu hari milik Siti Aisyah, sedangkan hari yang lain hadiah dari Saudah."
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan melalui hadits Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah dengan lafal yang serupa.
Sa'id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari Hisyam, dari ayahnya (yaitu Urwah) yang menceritakan bahwa Allah ﷻ telah menurunkan firman berikut berkenaan dengan Saudah dan wanita-wanita lainnya yang serupa, yaitu: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya.” (An-Nisa: 128) Salah seorang istri Rasulullah ﷺ (yaitu Saudah) telah berusia lanjut; ia merasa khawatir bila diceraikan oleh Rasulullah ﷺ, sedangkan dalam waktu yang sama ia tidak mau dilepaskan dari statusnya sebagai istri Rasulullah ﷺ. Tetapi ia mengetahui benar kecintaan Rasulullah ﷺ kepada Siti Aisyah dan kedudukan Siti Aisyah di sisi Rasulullah ﷺ. Maka ia menghadiahkan hari gilirannya dari Rasulullah ﷺ untuk Siti Aisyah dan Rasulullah ﷺ menerima hal tersebut.
Imam Baihaqi mengatakan bahwa Imam Ahmad ibnu Yunus telah meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnu Abuz Zanad secara mausul. Jalur ini diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ishaq Al-Faqih (seorang ahli fiqih), telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ali ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, bahwa ia pernah mengatakan kepadanya, "Wahai anak saudara perempuanku, Rasulullah ﷺ dahulu tidak pernah memprioritaskan salah seorang di antara kami atas yang lainnya dalam hal gilirannya kepada kami. Jarang sekali Rasulullah ﷺ dalam setiap harinya tidak berkeliling mengunjungi kami semua. Setiap hari beliau selalu mendekati setiap istrinya tanpa menggaulinya, kecuali bila telah sampai pada giliran istri yang harus ia gilir pada saatnya, barulah beliau menginap padanya. Sesungguhnya Saudah binti Zam'ah, ketika usianya telah lanjut dan merasa khawatir akan diceraikan oleh Rasulullah ﷺ, ia mengatakan, 'Wahai Rasulullah, giliranku aku hadiahkan kepada Siti Aisyah.' Maka Rasulullah ﷺ menerima hal tersebut." Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa berkenaan dengan peristiwa inilah Allah ﷻ menurunkan firman-Nya, yaitu: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh suaminya.” (An-Nisa: 128) hingga akhir ayat.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Ahmad ibnu Yunus dengan lafal yang sama; juga Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya, selanjutnya Imam Hakim mengatakan bahwa sanad hadits sahih, tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
Ibnu Mardawaih meriwayatkannya melalui jalur Abu Hilal Al-Asy'ari, dari Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad dengan lafal yang serupa. Juga melalui riwayat Abdul Aziz, dari Muhammad Ad-Darawardi, dari Hisyam ibnu Urwah dengan lafal yang serupa secara singkat. Abul Abbas (yaitu Muhammad ibnu Abdur Rahman Ad-Da'uli) dalam permulaan kitab Mu'jam-nya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hisyam Ad-Dustuwai', telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Abu Barrah yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ mengirimkan utusannya kepada Saudah binti Zam'ah dengan tujuan untuk menceraikannya. Ketika Rasul ﷺ datang, maka Saudah duduk untuk menyambutnya sebagaimana Siti Aisyah. Ketika Saudah melihat beliau, maka ia berkata kepadanya, "Demi Tuhan yang menurunkan Kalam-Nya kepadamu dan yang telah memilihmu dari semua makhluk-Nya. Aku memohon kepadamu, sudilah engkau merujuk diriku. Karena sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang kini telah berusia lanjut, dan memang aku tidak memerlukan lelaki lagi; tetapi aku ingin agar kelak di hari kiamat dibangkitkan bersama istri-istrimu." Maka Nabi ﷺ merujuknya. Siti Saudah berkata, "Aku berikan siang hari dan malam hari giliranku buat kekasih Rasulullah ﷺ (yakni Siti Aisyah)."
Hadis ini berpredikat gharib lagi mursal.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muqatil, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya.” (An-Nisa: 128) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki yang mempunyai istri yang telah lanjut usia, sedangkan dia tidak begitu memerlukannya lagi, lalu ia bermaksud menceraikannya. Tetapi si istri mengatakan kepadanya, "Aku halalkan kamu sehubungan dengan perkara diriku." Maka turunlah ayat ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah mengenai firman-Nya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (An-Nisa: 128) Siti Aisyah mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan seorang wanita yang menjadi istri seorang lelaki, sedangkan pihak suaminya tidak memerlukannya lagi dan si istri tidak mempunyai anak, tetapi si istri masih tetap ingin berstatus sebagai istrinya; lalu ia mengatakan kepada suaminya, "Janganlah engkau ceraikan aku, dan aku halalkan engkau dari urusanku (sehingga engkau terbebas dari kewajibkanmu terhadapku)."
Telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Hajaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Hisyam, dari Urwah, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya.” (An-Nisa: 128) Ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang mempunyai dua orang istri; salah satu di antaranya berusia tua, sedangkan yang lain tidak cantik rupanya dan dia tidak mengingininya lagi, lalu si istri mengatakan, "Janganlah engkau menceraikan diriku, dan sebagai imbalannya engkau bebas dari urusanku."
Hadits ini disebutkan di dalam kitab shahihain melalui berbagai jalur, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah dengan lafal yang serupa dengan hadits di atas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid dan Ibnu Waki'; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Asy'as, dari Ibnu Sirin yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada Khalifah Umar ibnul Khattab, lalu bertanya kepadanya mengenai makna suatu ayat, dan Umar tidak suka dengan pertanyaan tersebut, kemudian Umar memukul lelaki itu dengan cemeti. Lalu ada lelaki lain datang menanyakan tentang makna ayat ini, yaitu firman-Nya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya.” (An-Nisa: 128) Kemudian Umar berbuat hal yang sama dengan orang yang pertama tadi. Akhirnya mereka yang ada menanyakannya, kemudian barulah Umar menjawab bahwa wanita yang dimaksud adalah istri seseorang yang telah dilupakannya, lalu suaminya kawin lagi dengan wanita muda dengan maksud ingin mempunyai anak. Maka sesuatu yang disepakati oleh kedua belah pihak melalui perdamaian merupakan hal yang diperbolehkan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain Al-Hasanjani, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Sammak ibnu Harb, dari Khalid ibnu Ur'urah yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ali ibnu Abu Thalib, lalu bertanya kepadanya mengenai makna firman-Nya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya.” (An-Nisa: 128) hingga akhir ayat. Maka Ali ibnu Abu Thalib menjawab bahwa hal ini berkenaan dengan seorang lelaki yang mempunyai seorang istri, lalu ia tidak menyukainya lagi karena rupanya yang tidak cantik, usianya telah tua, akhlaknya jahat, atau ada cacatnya, tetapi si istri tidak suka diceraikan oleh suaminya. Maka jika si istri menghapuskan sebagian dari mas kawinnya (dengan syarat tidak diceraikan) maka hal itu halal bagi suaminya. Jika si istri merelakan hari-hari gilirannya, tidak mengapa hal itu dilakukan.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Abu Dawud At-Tayalisi, dari Syu'bah, dari Hammad ibnu Salamah dan Abul Ahwas. Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui jalur Israil, semuanya bersumber dari Sammak. Hal yang sama ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, Ubaidah As-Salmani, Mujahid ibnu Jubair, Asy-Sya'bi, Sa'id ibnu Jubair, ‘Atha’, Atiy-yah Al-Aufi, Makhul, Al-Hasan, Al-Hakam ibnu Atabah, dan Qatadah serta lain-lainnya yang tidak hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan para imam. Menurutku, aku belum mengetahui ada seseorang yang berpendapat berbeda dengan penafsiran ayat ini.
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah dari Az-Zuhri, dari Ibnul Musayyab, bahwa anak perempuan Muhammad ibnu Muslim menjadi istri Rafi' ibnu Khadij. Maka Rafi' ibnu Khadij tidak menyukainya lagi karena usianya telah lanjut atau faktor yang lain, lalu Rafi' bermaksud menceraikannya. Kemudian si istri berkata, "Janganlah engkau ceraikan aku, dan gilirlah aku menurut kemauanmu." Maka Allah ﷻ menurunkan ayat ini, yaitu firman-Nya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya.” (An-Nisa: 128) hingga akhir ayat.
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya melalui jalur Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab dan Sulaiman ibnu Yasar dengan konteks yang lebih panjang dari ini.
Al Hafiz Abu Bakar Al-Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Amr, telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Ahmad ibnu Abdullah Al-Muzani, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepadaku Syu'aib ibnu Abu Hamzah, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnul Musayyab dan Sulaiman ibnu Yasar, menurut ketentuan sunnah sehubungan dengan kedua ayat yang di dalamnya menceritakan perihal seorang lelaki dan sikap tidak acuh terhadap istrinya, yaitu firman-Nya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya.” (An-Nisa: 128) hingga akhir ayat berikutnya. Berkenaan dengan seorang lelaki bila nusyuz (tidak suka lagi) terhadap istrinya dan tidak lagi memperhatikannya. Maka sebagai jalan keluarnya si suami bisa menceraikannya atau tetap memegangnya sebagai istri dengan memperoleh hak sepenuhnya berupa hak giliran, juga sebagian dari harta; hal ini boleh dilakukan oleh pihak suami. Begitu pula sebaliknya jika pihak istri mengadakan perdamaian kepada pihak suami dengan merelakan hak-hak tersebut, pihak istri boleh melakukannya.
Menurut Sa'id ibnul Musayyab dan Sulaiman, perdamaian inilah yang dimaksud oleh firman-Nya: “Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (An-Nisa: 128)
Diriwayatkan kepadaku bahwa Rafi' ibnu Khadij Al-Ansari (salah seorang sahabat Nabi ﷺ) mempunyai seorang istri; ketika istrinya telah tua, lalu ia kawin lagi dengan gadis yang masih muda hingga hatinya lebih cenderung kepada istri mudanya. Maka istri tuanya minta diceraikan, lalu Rafi' menceraikannya dengan satu talak dan menangguhkannya. Namun ketika masa idah-nya akan habis, maka Rafi' merujuknya kembali. Kemudian Rafi' tetap bersikap lebih memperhatikan istri mudanya. Maka istri tuanya meminta cerai lagi, dan Rafi' berkata kepadanya, "Saya hanya menuruti kemauanmu, sesungguhnya talakmu padaku hanya tinggal sekali lagi. Jika kamu mau tetap menjadi istriku dengan perlakuan seperti yang kamu alami sekarang, kamu boleh tetap menjadi istriku; atau jika kamu lebih suka kuceraikan, maka kamu aku ceraikan." Maka istri tua Rafi' berkata, "Tidak, bahkan aku ingin tetap menjadi istrimu, sekalipun harus berkorban." Maka Rafi' tetap memegangnya sebagai istri dengan persyaratan tersebut; demikianlah perdamaian yang dilakukan oleh keduanya, dan Rafi' tidak memandang hal ini sebagai perbuatan yang berdosa karena pihak istri rela tetap berstatus sebagai istrinya, sekalipun hari gilirannya diberikan kepada istri mudanya.
Hal yang sama secara lengkap diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari ayahnya, dari Abul Yaman, dari Syu'aib, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab dan Sulaiman ibnu Yasar, lalu Ibnu Abu Hatim mengetengahkannya dengan panjang lebar.
Firman Allah ﷻ: “Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (An-Nisa: 128)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah takhyir, yaitu pihak suami memberikan hak pilih kepada istrinya antara tetap menjadi istri atau diceraikan.
Hal ini lebih baik daripada ia merelakan haknya kepada madunya dan membiarkan suaminya berkepanjangan memberlakukannya demikian. Menurut makna lahiriah ayat, perdamaian yang dilakukan keduanya ialah pihak istri memberikan sebagian dari haknya kepada suaminya dan pihak suami menerima syarat tersebut; hal ini lebih baik bagi pihak istri daripada diceraikan sama sekali. Sebagaimana Nabi ﷺ tetap memegang Siti Saudah binti Zam'ah sebagai istrinya dengan merelakan hari gilirannya kepada Siti Aisyah dan Nabi ﷺ tidak menceraikannya, melainkan membiarkannya termasuk salah seorang dari istri-istrinya. Nabi ﷺ sengaja melakukan demikian agar umatnya mengikuti jejaknya dalam masalah ini, bahwa hal tersebut disyariatkan dan diperbolehkan. Hal ini lebih baik bagi Nabi ﷺ, mengingat keserasian itu lebih disukai oleh Allah ﷻ daripada perceraian. Demikianlah makna firman-Nya: “Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (An-Nisa: 128)
Bahkan talak itu dimurkai oleh Allah ﷻ. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah, keduanya dari Kasir ibnu Ubaid, dari Muhammad ibnu Khalid, dari Maruf ibnu Wasil, dari Muharib ibnu Disar, dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Perkara halal yang paling dimurkai oleh Allah ialah talak.”
Kemudian Imam Abu Dawud meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Yunus, dari Ma'ruf, dari Muharib yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda, lalu ia mengetengahkan hadits tersebut dengan lafal yang semakna dengan hadits di atas secara mursal.
Firman Allah ﷻ: “Dan jika kalian menggauli istri kalian dengan baik dan memelihara diri kalian (dari nusyuz dan sikap tak acuh terhadap istri), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (An-Nisa: 128)
Jika kalian sabar menahan apa yang tidak kalian sukai dari mereka dan kalian tetap membagi giliran kepada mereka sama dengan istri kalian yang lainnya, maka sesungguhnya Allah Mengetahui hal tersebut, dan kelak Dia akan memberikan kepada kalian balasan pahala yang berlimpah atas sikap kalian yang bijak itu.
Ayat 129
Firman Allah ﷻ: “Dan kalian sekali-kali tidak akan sanggup berlaku adil di antara istri-istri (kalian), walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian.” (An-Nisa: 129)
Kalian tidak akan mampu, wahai manusia, untuk berlaku adil kepada semua istri kalian dengan perlakuan yang sama di antara sesama mereka dari segala segi. Karena sesungguhnya jika memang terjadi keadilan dalam pembagian giliran secara lahiriah, yaitu misalnya masing-masing istri mendapat giliran satu malam, maka tidak luput dari perbedaan dalam segi cinta dan berahinya serta persetubuhan yang dilakukan. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ubaidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Basri, dan Adh-Dhahhak ibnu Muzahim.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Husain Al-Ju'fi, dari Zaidah, dari Abdul Aziz ibnu Rafi', dari Ibnu Abu Mulaikah yang mengatakan bahwa firman-Nya: “Dan kalian sekali-kali tidak akan sanggup berlaku adil di antara istri-istri (kalian), walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian.” (An-Nisa: 129) diturunkan berkenaan dengan Siti Aisyah. Demikian itu karena Nabi ﷺ mencintainya dengan kecintaan yang lebih besar daripada istri-istri beliau yang lainnya.
Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para pemilik kitab sunan melalui hadits Hammad ibnu Salamah, dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abdullah ibnu Yazid, dari Aisyah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ membagi-bagi gilirannya di antara istri-istrinya dengan cara yang adil. Kemudian Nabi ﷺ bersabda: “Ya Allah, inilah pembagianku terhadap apa yang aku miliki, tetapi janganlah Engkau mencelaku terhadap apa yang Engkau miliki, sedangkan aku tidak memilikinya.”
Yang beliau maksud ialah kecenderungan hati. Demikianlah menurut lafal hadits yang diketengahkan oleh Imam Abu Dawud, dan hadits ini sanadnya sahih. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan pula oleh Hammad ibnu Zaid dan lainnya yang tidak hanya seorang dari Ayyub, dari Abu Qilabah, secara mursal. Menurut Imam At-Tirmidzi, sanad ini lebih sahih.
Firman Allah ﷻ: “Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai).” (An-Nisa: 129)
Dengan kata lain, apabila kamu cenderung lebih mencintai salah seorang dari istri-istrimu, maka janganlah kamu berlebihan dalam kecenderungan itu secara habis-habisan.
“Sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” (An-Nisa: 129) Yakni istri yang lainnya ditelantarkan.
Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Adh-Dhahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Suddi, dan Muqatil ibnu Hayyan, makna yang dimaksud ialah istri yang lain dibiarkan terkatung-katung, bukan seperti wanita yang bersuami, bukan pula seperti wanita yang diceraikan.
Abu Dawud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammam dari Qatadah, dari An-Nadr ibnu Anas, dari Basyir ibnu Nahik, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang mempunyai dua orang istri, lalu ia cenderung (lebih mencintai kepada) salah seorangnya, kelak di hari kiamat ia akan datang dalam keadaan salah satu dari pundaknya miring.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para pemilik kitab sunan melalui hadits Hammam ibnu Yahya, dari Qatadah, dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan, sesungguhnya yang mengisnadkan hadits ini adalah Hammam, dan Hisyam Ad-Dustuwai' meriwayatkannya dari Qatadah. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa menurut suatu pendapat, hadits ini tidak dikenal berpredikat marfu' kecuali yang melalui hadits Hammam.
Firman Allah ﷻ: “Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa: 129)
Maksudnya, apabila kalian memperbaiki perkara kalian dan melakukan giliran dengan adil terhadap semua istri kalian, serta kalian bertakwa kepada Allah dalam segala keadaan, niscaya Allah memberikan ampunan bagi kalian atas apa yang kalian lakukan, yaitu kecenderungan kalian kepada salah seorang di antara istri-istri kalian, sedangkan yang lainnya tidak kalian cenderungi.
Ayat 130
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana. (An-Nisa: 130)
Apa yang disebut oleh ayat ini merupakan keadaan yang ketiga, yaitu keadaan perceraian. Allah memberitahukan bahwa apabila keduanya bercerai, sesungguhnya Allah akan memberikan kecukupan kepada pihak laki-laki hingga tidak memerlukan lagi bekas istrinya, dan akan memberikan kecukupan pula kepada pihak perempuan hingga tidak memerlukan lagi bekas suaminya. Misalnya Allah memberikan ganti kepada pihak laki-laki seorang istri yang lebih baik daripada bekas istrinya. Allah memberikan ganti pula kepada pihak perempuan seorang suami yang lebih baik daripada bekas suaminya yang lalu.
“Dan adalah Allah Maha LuasMaha Luas (karunia-Nya) lagi Maha BijaksanaMaha Bijaksana.” (An-Nisa: 130)
Artinya, Allah Maha LuasMaha Luas karunia-Nya lagi Maha BesarMaha Besar anugerah-Nya, lagi Maha BijaksanaMaha Bijaksana dalam semua perbuatan dan takdir serta syariat-Nya.
Pada ayat ini Allah mengingatkan kepada mereka yang ingin berpoligami. Dan kamu, wahai para suami, tidak akan dapat berlaku adil yang mutlak dan sempurna dengan menyamakan cinta, kasih sayang, dan pemberian nafkah batin di antara istri-istri-mu, karena keadilan itu merupakan suatu hal yang sulit diwujudkan dan bahkan di luar batas kemampuan kamu, walaupun kamu dengan sungguhsungguh sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung kepada perempuan-perempuan yang kamu cintai dan kamu ingin nikahi, sehingga kamu membiarkan istri yang lain terkatung-katung, seakan-akan mereka bukan istrimu, dan bukan istri yang sudah kamu ceraikan. Dan jika kamu mengadakan perbaikan atas kesalahan dan perbuatan dosa yang telah kamu lakukan sebelumnya dan selalu memelihara diri dari kecurangan, maka sungguh, Allah Maha Pengampun atas dosa-dosa yang kamu lakukan, Maha Penyayang dengan memberikan rahmat kepadamu. Dan jika upaya-upaya perdamaian dan kesepakatan yang telah dilakukan di antara mereka gagal dicapai dan keduanya tidak dapat disatukan kembali, dan keadaan demikian akan menyebabkan keduanya harus bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan dalam rezekinya kepada masing-masing, suami dan istri itu, dari karunia-Nya, berupa pasangan yang lebih baik dari pasangan sebelumnya dan kehidupan yang lebih tenang daripada kehidupan sebelumnya. Dan Allah Mahaluas dalam memberikan karunia-Nya, Mahabijaksana dalam memberikan keputusan-keputusan kepada hamba-hamba-Nya.
Aisyah r.a. berkata:
Adalah Rasulullah ﷺ membagi giliran antara istri-istrinya, ia berlaku adil, dan berdoa, 'Ya Allah, inilah penggiliranku sesuai dengan kemampuaku, maka janganlah Engkau mencelaku terhadap apa yang Engkau kuasai, tetapi aku tidak menguasai. (Riwayat Ahmad dan penyusun Kitab-kitab Sunan).
Berdasarkan sebab turun ayat ini, maka yang dimaksud dengan berlaku adil dalam ayat ini ialah berlaku adil dalam hal membagi waktu untuk masing-masing istrinya, Rasulullah ﷺ telah berusaha sekuat tenaga agar beliau dapat berlaku adil di antara mereka. Maka ditetapkanlah giliran hari, pemberian nafkah dan perlakuan yang sama di antara istri-istrinya. Sekalipun demikian, beliau merasa bahwa beliau tidak dapat membagi waktu dan kecintaannya dengan adil di antara istri-istrinya. Beliau lebih mencintai 'Aisyah r.a. daripada istri-istrinya yang lain. Tetapi 'Aisyah memang punya kelebihan dari istri-istri Nabi yang lain, antara lain ialah kecerdasannya, sehingga ia dipercayai oleh Nabi untuk mengajarkan hukum agama kepada kaum perempuan. Hal ini dilakukan sampai Rasulullah wafat dan banyak sahabat, terutama kalangan perempuan sering bertanya kepada 'Aisyah mengenai hukum atau hadis. Sungguhpun begitu, beliau merasa berdosa dan mohon ampun kepada Allah Yang Maha Pengampun. Dengan turunnya ayat ini hati Rasulullah ﷺ menjadi tenteram, karena tidak dibebani dengan kewajiban yang tidak sanggup beliau mengerjakannya.
Dari keterangan di atas dipahami bahwa manusia tidak dapat menguasai hatinya sendiri, hanyalah Allah yang menguasainya. Karena itu sekalipun manusia telah bertekad akan berlaku adil terhadap istri-istrinya, namun ia tidak dapat membagi waktu dan cintanya antara istri-istrinya secara adil. Keadilan yang dituntut dari seorang suami terhadap istri-istrinya ialah keadilan yang dapat dilakukannya, seperti adil dalam menetapkan hari dan giliran antara istri-istrinya, adil dalam memberi nafkah, adil dalam bergaul dan sebagainya.
Allah memperingatkan, kepada para suami karena tidak dapat membagi cintanya di antara istri-istrinya dengan adil, janganlah terlalu cenderung kepada salah seorang istri, sehingga istri yang lain hidup terkatung-katung, hidup merana, hidup dalam keadaan antara terikat dalam perkawinan dengan tidak terikat lagi, dan sebagainya.
Jika para suami selalu berusaha mendamaikan dan menenteramkan para istri dan memelihara hak-hak istrinya, Allah mengampuni dan memaafkan dosanya yang disebabkan oleh terlalu cenderung hatinya kepada salah seorang istrinya, Allah Maha Pengasih kepada hamba-Nya. Ayat ini merupakan pelajaran bagi orang yang melakukan perkawinan semata-mata untuk melampiaskan hawa nafsunya saja dan orang yang punya istri lebih dari satu orang.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
BEBERAPA FATWA
Di pangkal surah telah dimulai menerangkan kewajiban-kewajiban memelihara perempuan. Sebab sebagaimana disebut pada ayat pertama, kita manusia ini adalah dan satu diri. Diri yang satu itulah yang kemudian dibagi Allah menjadi laki-laki dan menjadi perempuan dan tersebar di muka bumi makhluk laki-laki dan makhluk perempuan. Sebab itu ditariklah perhatian kita kepada urusan perempuan, terutama pula anak yatim perempuan, jangan sampai harta mereka teraniaya. Sampai keizinan beristri sampai empat, asal untuk menjaga perlakuan adil kepada anak yatim, tetapi dianjurkan lebih baik satu saja kalau takut tidak adil. Sampai disebut soal harta waris. Orang perempuan pun mempunyai hak menerima harta waris, bukan laki-laki saja, dan sampai kepada urusan nikah dan bercerai. Sampai kalau dia bersalah, berbuat yang keji, karena dia telah mendapat hak, dia pun mendapat pula kewajiban buat menerima hukum. Sehingga seluruh surah ini dinamai surah an-Nisaa', surah dari hal perempuan-perempuan.
Setelah beres urusan perempuan, berdirilah rumah tangga. Setelah berdiri rumah tangga, berdirilah masyarakat dan berdirilah umat. Setelah umat terbentuk, tegaklah dia sebagai satu masyarakat yang teratur, mem-punyai kekuasaan di bawah pimpinan Rasul. Dalam menegakkan kekuasaan bertemulah dia dengan kawan dan lawan; maka disusunlah persaudaraan yang kukuh dan musuh pun dihadapi. Selalulah diperingatkan dasar hidup, atau pandangan hidup sebagai Muslim, yaitu tauhid. Dijelaskan perbedaannya dengan syirik. Dengan demikian teraturlah dalam jiwa orang seorang teratur pula dalam masyarakat, teratur pula di dalam menghadapi musuh se-hingga sampai diajarkan bagaimana caranya shalat jiwa sedang berperang.
Tetapi di dalam menjalankan itu semuanya, ada lagi beberapa kemusyrikan mengenai
perempuan. Sahabat-sahabat ingin menanyakan lagi kesempurnaannya berkenaan dengan urusan kaum perempuan. Mereka minta fatwa. Ini pun mesti dijelaskan,
Ayat 127
“Dan mereka meminta fatwa kepada engkau darihal perempuan-perempuan."
Yang dahulu pada umumnya sudah jelas, tetapi sekarang setelah peraturan yang lama dijalankan, ada lagi timbul beberapa kemusykilan. Mereka meminta fatwa. Fatwa ialah keterangan yang lebih memperinci dalam suatu soal.
“Katakanlah; Allah akan memberi keterangan kepada kamu darihal mereka." Artinya, kehendak mereka itu agar diberi fatwa yang teperinci tentang urusan yang berkenaan dengan perempuan, akan dikabulkan oleh Allah, sebagaimana dahulu juga telah diberikan. Permohonan itu secara berangsur-angsur telah diberikan Allah, sebagaimana tercatat dengan jelas dalam beberapa surah. Telah ada dalam al-Baqarah, diikuti lagi dalam Ali ‘Imraan, sekarang di dalam surah an-Nisaa', nanti akan berjumpa lagi di dalam surah an-Nuur, di dalam surah al-Ahzaab, dalam surah al-Mujaadalah, dalam surah al-Mumtahanah, dalam surah ath-Thalaaq, dalam surah at-Tahriim dan tersebar pula dalam surah-surah yang lain, yang umumnya diturunkan di Madinah. Maka selain dari meminta fatwa umum tentang urusan perempuan, Allah pun mengabulkan permintaan kamu, memberi fatwa dalam masalah yang khusus, “Dan (juga) apa-apa yang dibacakan kepada kamu di dalam Kitab ini darihal anak-anak yatim perempuan yang tidak kamu serahkan kepada mereka apa-apa yang diwajibkan untuk mereka, padahal kamu ingin menikahi mereka “ Artinya sudah tersebut di dalam kitab Al-Qur'an, telah turun sebagai wahyu suatu fatwa mencela adat jahiliyyah kamu terhadap anak yatim perempuan. Tidak kamu serahkan harta waris kepunyaan mereka yang sudah berhak menerimanya karena kamu yang mengasuhnya setelah ayahnya mati. Kamu tahan harta itu karena kamu ingin mengawininya sebab dia cantik. Dicela kamu karena maksud yang tidak baik itu, mengawininya karena kecantikannya dengan maksud jahat yang lain, yaitu supaya hartanya jangan lepas dari tanganmu. Atau perbuatanmu di zaman jahiliyyah yang lain lagi, harta anak yatim perempuan itu tidak kamu serahkan kepadanya pada waktunya, tetapi karena dia tidak cantik, dia kamu tahan saja dalam wilayahmu. Kamu pun tidak mau menerima pinangan orang lain atau mengawinkannya dengan orang lain. Untuk itu perhatikanlah kembali apa yang telah dibacakan kepada kamu di dalam Al-Qur'an.
Adapunbeberapahaditsyangdiriwayatkan oleh ibu orang yang beriman, Aisyah r.a. telah kita salinkan pada permulaan surah, ketika menafsirkan ayat kebolehan beristri sampai empat, asal jangan menganiaya harta anak yatim perempuan.
“Dan (juga) darihal anak-anak yang lemah." Telah dijelaskan juga kepada kamu darihal anak-anak yang lemah itu. Sebab di zaman jahiliyyah anak kecil, sama juga dengan perempuan, sama-sama tidak menerima waris, hanya orang-orang yang telah besar saja mengambil harta itu. Maka telah diberikan fatwa kepada kamu bahwa anak-anak yang lemah itu pun mempunyai hak buat menerima waris. “Dan bahwa kamu urus anak-anak yatim itu dengan adil"
Pun telah difatwakan kepada kamu, agar harta mereka diserahkan kepada mereka kalau mereka telah dewasa dan dapat mengurusnya sendiri, dan sebelum itu boleh kamu memutarkan hartanya dengan baik, kalau kamu miskin. Tetapi jangan kamu habis musnahkan harta anak yatim, sehingga yang diterimanya kelak hanya hitungan barang yang telah habis saja. Pendeknya, yang berkenaan dengan anak yatim itu sudah dijelaskan kepada kamu, maka perhatikanlah dengan baik dan jalankanlah.
“Maka apa saja pun yang kamu perbuat darihal kebaikan, sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui-Nya."
SUAMI NUSYUZ
Sekarang datanglah satu fatwa yang khusus mengenai pergaulan di rumah tangga di antara suami dan istri. Dahulu telah disebut tentang nusyuz yang berarti si istri durhaka atau tidak senang kepada suaminya. Maka si suami disuruh mengajari atau berpisah tidur, dan kalau keadaan sudah sangat memaksa boleh dipukul. Fatwa tentang ini sudah ada dahulu dari ini. Sekarang ada lagi nusyuz sebaliknya. Yaitu si suami yang tidak senang atau telah benci atau telah bosan kepada istrinya. Hal ini biasa kejadian pada orang yang beristri lebih dari satu, atau telah jatuh hati kepada perempuan lain.
Ayat 128
“Dan jika seorang perempuan takut (akan timbul) dari suaminya kebencian atau perpalingan, maka tidaklah mengapa atasnya bahwa berdamai di antara keduanya dengan suatu perdamaian."
Arti nya,jika seorang istri telah merasatakut atau cemas melihat sikap suaminya terhadap dirinya. Sudah benci atau tidak cinta lagi, atau sudah berpaling hatinya kepada yang lain sehingga menurut pertimbangan perempuan itu suasana ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, sebab kian lama mungkin membawa muram-suramnya rumah tangga, bolehlah dia mengambil sikap dan tidaklah terlarang jika dia memulai (mengambil inisiatif) terlebih dahulu mencari penyelesaian dengan menghubungi suaminya dengan sebaik-baiknya. Supaya da-pat jalan yang damai. Bolehlah atas usul si istri diadakan pertemuan berdua ataupun disaksikan oleh keluarga, guna mencari sebab-sebab perubahan sikap itu, apa ini tersebab si istri supaya diperbaikinya atau keadaan itu sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Misalnya si perempuan sudah tua atau banyak anak atau sakit-sakitan. Bolehlah diambil perdamaian, misalnya asal jangan bercerai, biarlah giliran s: istri tua itu diberikan kepada yang muda, atau si laki-laki mengakui terus terang, memang dia tidak kuat beristri dua dan memang a ia berniat hendak menceraikannya. Tetapi kalau si istri dapat membebaskannya dari memberi nafkah, nafkah zahir atau nafkah batin, si suami tidak keberatan melanjutkan pergaulan. Atau sebagaimana yang telah dibukakan pintunya di surah al-Baqarah ayat 229; ada persesuaian bercerai juga jadinya, tetapi si perempuan menebus talak (khulu') untuk mengganti kerugian si suami, yang di zaman kita sekarang ini kadang-kadang dimasukkan orang dalam ta'liq talak. Pendeknya, tidaklah disalahkan oleh peraturan Allah jika si perempuan yang mengemukakan ini kepada suaminya dengan jalan damai. Lalu datang lanjutan ayat memujikan hal itu, “Dan perdamaian adalah jalan yang baik."
Dengan sambungan ayat ini berarti bukan saja tidak berhalangan jika si istri yang mulai mengambil langkah, bahkan dipujikan. Dalam kalimat itu terkandung lagi rahasia yang lain. Yaitu bahwa sebelum langkah ini dilangsungkan hendaklah ditimbang masak-masak terlebih dahulu oleh perempuan itu. jangan hanya menurutkan perasaan. Karena kalau bermusyawarah karena pengaruh perasaan saja, bukanlah perdamaian yang akan timbul melainkan perselisihan. Karena ada setengah laki-laki karena sangat repot dan sangat sibuk mengurus pekerjaannya di luar, kadang-kadang terbawa-bawa ke dalam rumah tangga sehingga seakan-akan istrinya tidak dipedulikannya, atau terkurang nafkah harta karena dia di dalam susah, atau terkurang syahwat kelamin karena kerap kali nafsu setubuh menjadi kendur karena pikiran yang kacau, sedang setengah perempuan lekas cemburu, lekas merasa dirinya tidak dipedulikan. Tetapi hendaklah perempuan ini mengambil langkah yang cocok buat menjalankan tuntunan Allah di ayat ini, bukanlah perasaan yang tersinggung yang dike-mukakannya, melainkan mencari jalan yang baik buat mereka berdua. Apatah lagi kalau anak sudah berdua bertiga. Dia sebagai ibu tentu akan menenggang juga perasaan anak-anaknya. Lantaran menilik keadaan dirinya sendiri, dan pihak suaminya dan pihak anak-anak, bahkan pihak keluarga, jalan yang sebaik-baiknya ialah berdamai.
Tetapi di dalam menempuh perdamaian itu Allah pun memperingatkan salah satu kelemahan manusia. Lanjutan firman Allah, “Padahal jiwa-jiwa itu diberi perasaan …"
Dengan ini Allah memberi peringatan bahwa mencari jalan damai itu kadang-kadang ada pula kesulitannya, yaitu bahwa jiwa-jiwa kita ini ada rasa degil. Yaitu tidak mau memberi, tidak mau mengalah, dan selalu hendak mencoba menimpakan kesalahan kepada orang lain. Bagaimanapun berkasih sayangnya dua orang suami istri, bila mereka telah berhadap-hadapan karena mempertahankan hak, yang dipertahankan ialah hakdiri.Si suami menuduh bahwa istrilah yang salah. Si istri menuduh si suamilah yang salah dan tidak melaksanakan kewajiban. Si istri menuduh suami tidak cukup memberi nafkah. Si suami menuduh bahwa istrinyalah yang tidak taat, sebab itu dia tidak wajib memberi nafkah kepada istri yang durhaka (nusyuz) Kesudahannya berpusing-pusing sebagai mehasta kain sarung. Atau bertengkar mana yang dahulu, telur ayam atau ayam; ayam atau telur.
Bagaimana mengobatnya supaya rasa degil yang telah jadi naluri jiwa itu dapat diatasi? Obatnya telah ditunjukkan oleh lanjutan ayat,
“Dan bahwa jika kamu berbuat baik dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah adalah Amat Tahu akan apa yang kamu perbuat."
Ujung ayat ini menyuruh melawan dan mengatasi kedegilan jiwa dengan berbuat baik kepada sesama manusia, terutama si suami berbuat baiklah kepada istrinya. Si istri mengalahlah dan jangan terlalu banyak tun-tutan. Lawanlah kedegilan yang bersarang dalam jiwa. Ingatlah bahwasanya selarut-se-lama ini suatu rumah tangga dapat tegak dengan bahagianya ialah karena di kedua belah pihak sama-sama suka mengalah dan suka berkorban. Cinta di antara satu sama lain menyebabkan sudi memberi dan menerima sehingga kedegilan itu dapat dikalahkan. Apatah lagi setelah berbuat baik dijadikan adat kebiasaan dan perangai, lalu dipatrikan dengan takwa kepada Allah. Apabila kehidupan telah diberi saripati dengan takwa kepada Allah, Allah akan memberikan bimbingan dan perlindungan-Nya, sebab Dia mengetahui segala perbuatan dan tindak-tanduk kita. De-xngan demikian selain dari mempertahankan hak masing-masing, ada lagi yang lebih tinggi, yaitu tawakal kepada Allah.
Perdamaian karena perempuan takut nusyuz suami, hampir serupalah dengan syiqaq yang telah tersebut di ayat 34 dahulu itu. Cuma syiqaq telah dicampuri oleh orang lain.
Merekalah yang memutuskan sendiri dengan dasar maksud-maksud baik dan takwa, apakah mereka akan bersuami istri terus, tetapi si suami diringankan daripada beban nafkah dan giliran hari, atau si perempuan akan membayar tebus-talak (khuluj supaya dia terlepas dari ikatan suaminya.
Menurut riwayat Bukhari, orang bertanya kepada Aisyah r.a. tentang maksud ayat 128 ini. Kata beliau, “Seorang laki-laki mempunyai seorang istri yang sudah tua, sehingga tidak ada lagi yang diharapkannya dari perempuan itu menurut adat suafni istri sehingga kadang-kadang telah berniat dia menceraikannya. Perempuan itu mengerti perasaan suaminya. Lalu dia berkata, “Engkau saya bebaskan dalam hal yang berkenaan dengan diriku."
Ali bin Abi Thalib ditanyai orang pula tentang tafsir ayat ini. Ali berkata, “Seorang laki-laki mempunyai seorang istri. Tetapi hatinya mulai bosan dengan perempuan itu, baik karena rupanya tidak menarik, atau karena telah tua, atau karena buruk perangainya, atau karena membosankan. Sedang perempuan itu sendiri merasa sedih akan diceraikannya. Maka jika perempuan itu meringankan pembayaran maharnya sekadarnya, halallah itu bagi si suami. ?Jika si suami dibebaskan dari giliran hari, tidaklah suami itu dipandang bersalah lagi." (Riwayat Abu Dawud dan ad-Daruquthni)
Ketika ditanya orang Abdullah bin Umar tentang ayat ini, dia menjawab pula, “Yang tersebut dalam ayat ini ialah perempuan yang usianya telah amat lanjut dan tidak beranak, Lalu suaminya kawin dengan seorang perempuan yang lebih muda karena mengharap akan dapat anak. Maka jika mereka berdua berdamai dibolehkanlah itu oleh syara." (Artinya tidaklah salah laki-laki itu jika dia tidak memulangi istrinya yang telah dua itu lagi, dengan tidak menceraikannya, asal dengan berdamai terlebih dahulu)
Contoh-contoh dalam hal ini telah diperbuat sendiri oleh istri beliau yang kedua, sesudah Khadijah. Yaitu ibu orang beriman, Siti Saudah, Dirawikan oleh al-Hakim, diterimanya dari ‘Urwah, dari Aisyah, bahwa dia berkata, “Wahai anak saudara perempuanku! Rasulullah tidaklah melebih mengurangkan di antara kami semuanya dalam giliran. Hampir tiap hari beliau mendatangi semua kami, dia singgah ke rumah tiap-tiap kami dengan tidak menyentuh sehingga sampai ke rumah siapa yang datang gilirannya, di sanalah beliau bermalam. Tetapi Saudah binti Zam'ah, sebab sudah tua, diha-diahkannyalah hari gilirannya kepadaku. Katanya kepada Rasulullah, “Hariku ini biarlah untuk Aisyah!" Anjurannya itu beliau terima."
Tersebut pula dalam hadits lain yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, Aisyah berkata, “Setelah Saudah binti Zam'ah merasa dirinya tua, dihibahkannyalah hari gilirannya kepadaku." Sejak itu Aisyah mendapat dua hari.
Inilah contoh dari rumah tangga Rasulullah ﷺ sendiri.
Banyaklah perempuan yang sama keadaannya dengan Saudah, istri Rasulullah ﷺ yang pertama sesudah Khadijah wafat Dia telah tua dan berjasa kepada suaminya, dia orang patut dihormati, tetapi diatidak sanggup lagi memenuhi kewajiban istri dalam urusan kelamin, sedang suaminya masih bertenaga. Perempuan seperti ini dengan jiwa besar memberi kelapangan suaminya berkawin lagi dengan yang lebih muda, dan perempuan itu dengan secara jiwa besar memberi tahu kepada suaminya, dia boleh kawin, tetapi aku jangan diceraikan. Sebab baginya yang teramat penting ialah menjadi istri terhormat, bukan ribut-ribut bertengkar tidak tahu malu dengan istri muda suaminya. Apatah lagi kalau perempuan itu telah beranak bermenantu dan bercucu-cucu pula. Perempuan demikian telah benar-benar menjadi teman hidup dari suaminya, bukan lagi teman tidur! Perempuan demikian dihormati oleh suaminya dan anak-anaknya!
Dalam ayat ini kita melihat betapa Allah membuka pintu kepada kebesaran jiwa bagi seorang perempuan yang tidak diladeni lagi oleh suaminya, dalam soal kelamin. Dan menganjurkan pula kepada laki-laki supaya tetap memegang teguh perempuan itu dan jangan melepaskannya dari ikatan nikah kawin sampai keduanya diceraikan oleh pintu kubur.
PAYAH MENJAGA KEADILAN BERISTRI BANYAK
Ayat 129
“Dan sekali-kali tidaklah kamu akan sanggup berlaku adil di antara perempuan-perempuan, bagaimana pun kamu menjaga
Yang tidak sanggup mengadilkannya ialah hati. Belanja rumah tangga bisa diadilkan bagi yang kaya. Pergiliran hari dan malam pun bisa diadilkan. Tetapi cinta tidaklah bisa diadilkan, apatah lagi syahwat dan nafsu setubuh. Tafsir begini pun telah dinyatakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lain. Kecenderungan kepada yang seorang dan kurang cenderung kepada yang lain adalah urusan hati belaka. Siapakah yang dapat memaksa hati manusia? Dan Allah yang telah menakdirkan demikian pun tidaklah memaksa hati manusia pada perkara pembagian hari dan waktu, sangatlah adil Nabi kita.
Semua istrinya didatanginya dengan bergilir, baik yang telah amat tua sebagaimana Saudah yang di Madinah sudah berusia lebih dari 70 tahun atau Aisyah yang baru berusia belasan tahun. Meskipun pada malam harinya giliran Saudah dengan ridha Saudah sendiri telah diberikannya kepada Aisyah. Dalam hal tidak dapat mengadilkan hati itu, Rasulullah ﷺ bermohon kepada Allah dalam doanya yang terkenal,
“Ya, Allahku, inilah pembagian yang dapat aku berikan pada perkara yang dapat aku kuasai. Maka janganlah Engkau sesali aku dalam perkara yang hanya Engkau menguasai, dan aku tidaklah berkuasa." (HR Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan)
Lantaran itu datanglah lanjutan firman Allah, “Sebab itu janganlah condong terlalu condong, sehingga kamu biarkan dia laksana barang tergantung." Artinya sebagai seorang yang beriman, yang sadar bahwa laki-laki dapat mengekang kecenderungan kamu itu. Meskipun hati tidak dapat dipaksa, namun laki-laki yang bijaksana akan dapat mengendalikan diri. Apatah lagi bilamana dari istri-istri yang berbilang itu telah dianugerahi Allah anak-anak. Tidak pun hatimu condong kepada seorang istri, ingatlah bahwa dia adalah ibu anak-anakmu. Perlakuan tidak adil dari ayah kepada ibunya akan meninggalkan kesan yang tidak baik pada anak-anakmu terhadap kamu sebagai ayahnya. Sebab itu sekali-kali jangan dijadikan istri yang kurang dicintai itu laksana barang tergantung. Tergantung tidak bertali, terkatung-katung. Jangan sampai ada aniaya terhadap jiwanya.
“Dan jika kamu berbuat damai dan memelihana takwa, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang,"
Pada ayat 128 di atas, ketika menunjukkan jalan keluar bagi perempuan yang telah merasakan bahwa hati suaminya telah kurang terhadap dirinya, Allah menganjurkan agar dialah yang mengambil prakarsa mencari jalan damai. Kepadanya diberi ingat supaya sudi berbuat baik dan damai dan mendasarkan hidup kepada takwa. Sekarang kepada si laki-laki diberi ingat pula, bahwa Allah tahu kelemahannya. Dia tidak akan sanggup meng-adilkan cinta. Sebab itu janganlah terlalu kentara keluar dari kecenderungan hati itu sehingga sampai hati menggantung istri tidak bertali. Untuk mengendalikan hati yang lemah itu, Allah memberikan resep yang sama di antara laki-laki dan perempuan. Yaitu tegakkanlah dalam dirimu sendiri keinginan damai dan tenteram, mengurangi krisis dalam rumah tangga dan membuat patri yang paling kukuh, yaitu takwa.
Sekali lagi dengan ayat ini kita diberi peringatan yang halus dan bimbingan ruhani yang murni apabila kita hendak berkawin dua, tiga, sampai empat. Supaya jangan ada tekanan jiwa karena syahwat melihat perempuan yang disenangi, diberilah izin beristri lebih dari satu (poligami) Menahan syahwat adalah hal yang sebaik-baiknya, hal yang ideal di dalam hidup. Tetapi agama tidaklah membutakan mata terhadap keadaan jiwa manusia. Kalau syahwat tidak tertahankan lagi, lebih baik kawin lagi daripada berzina, atau memelihara perempuan di luar nikah. Dengan berkawin lagi, syahwat dapat dikendalikan, tetapi kesukarannya tidaklah kurang. Karena tiap-tiap perempuan yang telah dikawini wajib diberi belanja dan nafkah. Sampai disebut nafkah lahir, yaitu makanan, pakaian, dan kediaman. Disebut juga kewajiban memberikan nafkah batin, yaitu persetubuhan. Apabila beristri lebih dari satu, keadilan inilah soal yang besar. Istri adalah manusia berjiwa dan berakal juga, yang mempunyai perasaan halus, sedang dia pun lemah. Seorang laki-laki yang beristri lebih dari satu, yang bertambah kuat imannya dan takwanya kepada Allah dan bertambah halus perasaannya senantiasa akan merasakan beban berat keadilan itu merekan pundaknya. Suatu hal tidaklah dapat diatasinya, yaitu keadilan hati. Apatah lagi keadilan syahwat setubuh. Tetapi bagaimana pun beratnya soal ini, jauhlah lebih berat apabila seorang laki-laki pergi berzina karena tidak dapat mengendalikan nafsu. Apabila seorang laki-laki karena tidak dapat mengendalikan syahwat, lalu kawin lagi, namun dia masih dapat berjuang dalam batinnya untuk melawan hawa nafsu, menegakkan jalan damai dan takwa. Tetapi seorang yang telah telanjur berzina, hancurlah jiwanya. Dia akan mendapat tekanan batin lebih berat daripada seorang yang beristri lebih dari satu tadi. Maka apabila seseorang laki-laki telah sadar kelemahan dirinya lalu berusaha supaya jangan condong terlalu condong sehingga membiarkan seorang istri “tergantung tidak bertali" dan selalu memupuk rasa perbaikan dan damai dalam jiwanya, selalu takwa kepada Allah, kekurangan-kekurangan serta sedikit akan dapat diampuni Allah. Allah menunjukkan pula kasih sayang-Nya yang dilihat-Nya selalu berusaha menegakkan damai dan takwa dalam rumah tangganya. Allah akan memberinya bimbingan dan pimpinan.
Kedua ayat ini, ayat 128 dan 129 telah memberikan bayangan kepada kita bahwa seorang beriman laki-laki dan perempuan bila bertemu satu kesulitan rumah tangga, tidaklah akan memilih jalan pendek, yaitu bercerai (talak) Di ayat 128 dianjurkan mencari perdamaian, sampai dikatakan, “Damai itulah yang lebih baik." Dan di ayat 129, jika laki-laki merasa bahwa dia tidak sanggup mengadilkan cinta dan nafsu setubuh, tidaklah pula jalan talak yang ditunjukkan, melainkan disuruh merekan perasaan dan “jangan terlalu". Asal ditegakkan rasa damai dan takwa, baik oleh yang perempuan (ayat 128) atau oleh yang laki-laki (ayat 129) Allah akan memberi ampun jika terdapat kesalahan berkecil-kecil dan Allah akan tetap menyayangi hamba-Nya yang insaf akan kelemahan dirinya.
Tersebut di dalam hadits yang dirawikan oleh Ibnu Majah dan Abu Dawud,
“Berkata Rasulullah ﷺ, ‘Perkara yang halal tetapi paling dibenci oleh Allah ialah talak.'" (HR Ibnu Majah dan Abu Dawud)
Dalam ayat 128 perempuan yang dianjurkan, carilah jalan damai. Jangan memperturutkan perasaan (sentimen) Bersuami jauh lebih baik daripada menjadi janda tegang, apatah lagi kalau sudah berumur. Di ayat 129 kepada laki-laki pula dianjurkan, pandai-pandailah mengendalikan diri.
Jangan setelah hati bosan, terus saja membuat istri yang kurang dicintai laksana tergantung tidak bertali, apatah lagi akan menyebut cerai. Kalau setelah engkau bosan, lalu engkau menghambur cerai, nyatalah bahwa engkau laki-laki yang kurang pikir. Atau seorang laki-laki yang tidak patut dihargai. Hadits yang tegas pula dari Rasulullah ﷺ,
“Allah mengutuk laki-laki tukang cicip dan perempuan tukang “cicip."
***
KALAU TERPAKSA BERCERAI JUGA
Ayat 130
“Dan jika mereka berdua bercerai, Allah akan mencukupkan untuk tiap-tiap seseorang dari karunia-Nya."
Ayat ini menunjukkan bahwa cerai adalah langkah terakhir kalau jalan damai sudah buntu. Memang kadang-kadang ada rahasia suami istri yang orang lain tidak dapat mencampurinya. Bagaimana akan dipaksa mene-ruskan pergaulan di antara dua jiwa yang memang sudah tak dapat dipertemukan lagi? Memang ada kalanya jalan damai tak bisa ditempuh lagi. Sedang mereka adalah dua manusia. Yaitu manusia-manusia yang mempunyai pribadi dan nilai pandangan hidup masing-masing. Kalau pergaulan kedua orang itu diteruskan juga, kemunafikanlah yang akan timbul. Di saat demikian apa boleh buat, dioraklah buhul dan diungkailah kebat. Sama-sama bertawakallah kepada Allah dan mulailah membina hidup masing-masing.
Oleh sebab itu, teranglah dalam urutan ayat sejak ayat 128, 129, dan sampai ayat 130, kedua suami istri terlebih dahulu diperintahkan mencari jalan damai. Kalau hendak bercerai, bercerailah dengan baik, yang telah termaktub dalam surah al-Baqarah,
“Dipegang dengan jalan yang ma'ruf, atau dilepaskan dengan jalan yang sebaik-baiknya." (al-Baqarah: 229)
Sehingga diadakan Allah perintah mut'ah, yaitu si laki-laki memberikan uang belanja yang sepatut dan selayaknya bagi perempuan yang diceraikannya itu ketika menjatuhkan talak.
Kalau demikian halnya, tidaklah Allah memaksa supaya diteruskan juga pergaulan itu. Bila terpaksa bercerai juga, bercerailah dengan baik. Asalkan bercerai dengan baik, di dalam ayat ini Allah telah menyatakan bahwa
Allah akan tetap mencukupkan kurnia-Nya bagi masing-masing mereka.
Ayat ini adalah untuk orang yang beriman, yang di dalam menegakkan rumah tangga tetap hendak bergantung kepada peraturan dan tuntunan Allah. Niscaya seorang Mukmin atau Mukminah, menghadapi hidup di zaman depan bukanlah dengan suram (pesimis) melainkan tetap gembira dan percaya (optimis) Itu sebabnya di penutup ayat, Allah berfirman,
“Dan Allah adalah Mahaluas, lagi Mahabijaksana."
Ketika membicarakan talak di surah yang bernama ath-Thaiaaq dijelaskan pula oleh Allah bahwasanya takwa kepada Allah akan membuka pintu yang tertutup, dan rezeki akan datang di luar perkiraan. Siapa yang ber-tawakal kepada Allah, Allah-lah jaminannya.
Renungkanlah ayat-ayat ini baik-baik, sesudah itu bertanyalah kepada diri sendiri, di atas apa hendaknya rumah tangga didirikan? Apakah di atas semata-mata harta benda? Apakah seorang perempuan menyerahkan jiwa ragarya menjadi istri dari seorang laki-laki karena mengharapkan uangnya? Atau seorang laki-laki mengawini seorang perempuan karena semata-mata kecantikannya? Ataukah harta benda menjadi jaminan Allah apabila rumah tangga itu terlebih dahulu diasaskan atas takwa sehingga rezeki datang kemudian karena hati telah sama-sama terbuka?
Apakah tidak ada padamu keinginan, hendaknya pergaulan ini berpanjang-panjang sampai diceraikan oleh maut?
Oleh sebab itu, kalau terdapat seorang laki-laki kawin semau-mau, beristri lebih dari satu semau-mau, dan kelak bercerai talak pula dengan semau-mau, janganlah itu dibangsakan kepada Islam. Tetapi mereka telah memperkuda keindahan peraturan agama untuk kepentingan hawa nafsunya sendiri. Rumah tangga yang didirikan di atas kekacau-balauan masyarakat. Itu bukanlah dari kesalahan agama, melainkan dari kesalahan orang yang keluar dari garis yang ditentukan agama.
Sungguh terharulah penulis tafsir ini membaca ayat-ayat ini. Dia menunjukkan bahwa ada juga perceraian timbul bukan karena benci, melainkan karena memikirkan hari depan tidak dapat lagi diteruskan berdua. Teringat penulis fatwa setengah ulama, di antaranya Imam Ahman bin Hambal, bahwa cerai yang dijatuhkan sedang sangat marah, gelap mata, tidaklah jatuh, dan cerai yang dijatuhkan sekaligus, atau sekali jatuh talak tiga, ketiganya hanya satu yang jatuh. Ayat 130 memberi tuntunan bahwa ada cerai jatuh karena hasil perdamaian. Penulis tafsir ini per-nah menyaksikan dua suami istri telah bergaul 15 tahun, terpaksa bercerai, sama-sama menitikkan air mata. Berat, tetapi apa boleh buat. Sebabnya ialah karena keduanya ingin beranak, tetapi penyelidikan dokter menunjukkan bahwa pergaulan mereka berdua tidak memungkinkan dapat anak. Mereka bercerai. Yang laki-laki beristri lain, yang perempuan bersuami lain. Kira-kira lima tahun kemudian mereka bertemu lagi. Alhamdulillah keduanya sudah mendapat anak. Si lelaki dengan istrinya yang baru telah dapat anak tiga, si perempuan dengan suaminya yang baru sudah mendapat anak dua. Kurnia Allah diberikan bagi mereka keduanya. Kadang-kadang ziarah-menziarahi-lah kedua keluarga itu, tetap menghubungkan silaturahim. Sampai saya pernah mengatakan kepada mereka, “Moga-moga anak kedua belah pihak berkawin-kawinan, guna menyambung, cinta kasih ayah bunda masing-masing."
Alangkah bahagia hidup kita sebagai Muslim, kalau tuntunan Allah dalam AI-Qur'an-Nya kita ikuti.