Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُوٓاْ
beriman
إِذَا
apabila
لَقِيتُمُ
kamu bertemu
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
زَحۡفٗا
maju menyerang
فَلَا
maka jangan
تُوَلُّوهُمُ
kamu berpaling dari mereka
ٱلۡأَدۡبَارَ
punggung/ke belakang
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُوٓاْ
beriman
إِذَا
apabila
لَقِيتُمُ
kamu bertemu
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
زَحۡفٗا
maju menyerang
فَلَا
maka jangan
تُوَلُّوهُمُ
kamu berpaling dari mereka
ٱلۡأَدۡبَارَ
punggung/ke belakang
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu bertemu orang-orang kafir yang akan menyerangmu, janganlah kamu berbalik membelakangi mereka (mundur).
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu) mereka menghimpun kekuatan dalam jumlah yang banyak sehingga mereka kelihatan seakan-akan merayap maju (maka janganlah kamu membelakangi mereka) dalam keadaan lari karena kalah.
Tafsir Surat Al-Anfal: 15-16
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerang kalian, maka janganlah kalian membelakangi mereka (mundur).
Dan barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbalik untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sungguh orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya adalah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.
Ayat 15
Allah ﷻ berfirman mengutarakan ancaman-Nya kepada orang yang melarikan diri dari medan perang karena diserang musuh, bahwa Dia akan memasukan orang (muslim) yang berbuat demikian ke dalam neraka.
Hal ini diungkapkan-Nya melalui firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerang kalian.” (Al-Anfal: 15)
Yakni apabila kalian telah berdekatan dan saling berhadapan dengan mereka dalam medan perang.
“Maka janganlah kalian membelakangi mereka.” (Al-Anfal: 15) Maksudnya, janganlah kalian lari dan meninggalkan teman-teman kalian yang tetap bertahan.
Ayat 16
“Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbalik untuk (siasat) perang.” (Al-Anfal: 16)
Yaitu lari dari teman-temannya sebagai siasat perang, untuk memperlihatkan kepada musuh bahwa dia takut kepada musuh, hingga musuh mengejarnya. Kemudian secara mendadak ia berbalik menyerang dan membunuh musuhnya, maka cara seperti ini tidak dilarang.
Demikianlah menurut apa yang telah dinaskan oleh Sa'id ibnu Jubair dan As-Suddi. Adh-Dhahhak mengatakan, misalnya seseorang maju di hadapan teman-temannya karena dia melihat adanya kelalaian pada pihak musuh, sehingga ia berhasil memanfaatkan situasi ini dan dapat membunuh musuhnya.
“Atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain.” (Al-Anfal: 16)
Artinya, lari dari suatu kelompok ke kelompok lain di dalam pasukan kaum muslim untuk membantu mereka atau untuk meminta bantuan mereka; hal ini diperbolehkan. Hingga seandainya ia berada di dalam suatu sariyyah (pasukan khusus), lalu ia lari ke arah amirnya atau kepada imam besarnya, maka hal ini termasuk ke dalam pengertian kemurahan yang disebutkan dalam ayat ini.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Zuhair, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan, "Saya termasuk di dalam suatu pasukan yang dikirimkan oleh Rasulullah ﷺ. Kemudian orang-orang terpukul mundur dan lari, sedangkan saya termasuk orang-orang yang mundur.
Lalu kami berkata, 'Apakah yang harus kita perbuat, sedangkan kita telah lari dari serangan musuh dan kita kembali dalam keadaan beroleh murka Allah?' Akhirnya kami mengatakan, 'Sebaiknya kita kembali ke Madinah dan menginap.' Dan kami berkata lagi, "Bagaimana kalau kita tanyakan perihal diri kita ini kepada Rasulullah ﷺ. Jika masih ada pintu tobat buat kita, kita akan bertobat; dan jika tidak ada, maka kita akan berangkat kembali.' Kemudian kami menghadap kepadanya sebelum shalat Subuh.
Beliau ﷺ keluar (dari rumahnya) seraya bertanya, 'Siapakah kaum ini?' Maka kami menjawab, 'Kami adalah orang-orang yang lari dari medan perang? Nabi ﷺ bersabda: 'Bukan, bahkan kalian adalah orang-orang yang sedang melakukan siasat perang, saya sendiri termasuk golongan pasukan kaum muslim.’ Ibnu Umar melanjutkan kisahnya, "Lalu kami (para sahabat yang bertugas dalam sariyyah itu) mendekati beliau dan mencium tangan beliau."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi. dan Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Yazid ibnu Abu Ziyad. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan, kami tidak mengenalnya melainkan melalui hadits Ibnu Abi Ziyad.
Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya melalui hadits Yazid ibnu Abu Ziyad dengan sanad yang sama, yang pada penghujungnya disebutkan bahwa lalu Rasulullah ﷺ membacakan firman-Nya: “Atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain.” (Al-Anfal: 16)
Menurut ahlul 'ilmi, makna al-'akkaruna yang ada dalam hadits ini ialah orang-orang yang menggunakan siasat perang. Hal yang sama telah dikatakan oleh Umar ibnul Khattab sehubungan dengan gugurnya Abu Ubaidah di atas sebuah jembatan di negeri Persia ketika berperang melawan musuh. Ia gugur karena banyaknya pasukan pihak Majusi yang menyerangnya. Lalu Umar berkata, "Sekiranya dia bergabung kepadaku (yakni mundur untuk mencari bantuan), niscaya aku akan menjadi pasukan pembantunya." Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Sirin, dari Umar.
Menurut riwayat Abu Usman An-Nahdi melalui Umar, ketika Abu Ubaidah gugur, Umar berkata, "Wahai manusia, aku adalah pasukan kalian juga." Mujahid mengatakan bahwa Umar telah mengatakan, "Saya adalah pasukan semua orang muslim.” Abdul Malik ibnu Umair telah meriwayatkan dari Umar, "Wahai manusia, jangan sekali-kali kalian salah pengertian terhadap ayat ini, sesungguhnya kisah dalam ayat ini hanya terjadi dalam Perang Badar, aku adalah pasukan setiap orang muslim."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hissan ibnu Abdullah Al-Masri, telah menceritakan kepada kami Khallad ibnu Sulaiman Al-Hadrami, telah menceritakan kepada kami Nafi', bahwa Nafi' pernah bertanya kepada ibnu Umar, "Sesungguhnya kami adalah suatu kaum yang tidak kokoh dalam peperangan melawan musuh, sedangkan kami tidak mengerti apakah yang dimaksud dengan lafal al-fi-ah, apakah ia imam kami atau basis pasukan kami?" Ibnu Umar menjawab, "Sesungguhnya yang dimaksud dengan al-fiah ialah Rasulullah ﷺ sendiri." Saya (Nafi') mengatakan, sesungguhnya Allah ﷻ telah berfirman: “Apabila kalian bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerang kalian.” (Al-Anfal: 15), hingga akhir ayat. Ibnu Umar menjawab, "Sesungguhnya ayat ini hanyalah diturunkan di waktu Perang Badar, bukan sebelumnya, bukan pula sesudahnya."
Adh-Dhahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain.” (Al-Anfal: 16) Yakni lari untuk menggabungkan diri dengan Nabi dan para sahabatnya. Hal yang sama dikatakan terhadap orang yang lari dari medan perang pada hari itu (di masa pemerintahan Khalifah Umar) untuk bergabung dengan amir dan teman-temannya.
Adapun jika lari bukan karena suatu penyebab dari sebab-sebab yang telah disebutkan di atas, maka hukumnya haram dan merupakan suatu dosa besar. Di dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan sebuah hadits melalui Abu Hurairah yang telah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan. Ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah apa sajakah ketujuh dosa besar itu?" Rasulullah ﷺ bersabda, “Mempersekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang saat diserang, dan menuduh berzina wanita-wanita mukmin yang terpelihara kehormatannya yang sedang dalam keadaan lalai.
Hadits ini mempunyai syawahid (bukti-bukti) yang menguatkannya, diriwayatkan melalui jalur-jalur lain. Karena itulah dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya:
“Maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah dan tempat kembalinya.” (Al-Anfal: 16) Artinya, orang yang berbuat demikian kembali dari medan perangnya dengan membawa murka Allah yang menimpa dirinya, dan kelak tempat kembalinya di hari kemudian disebutkan oleh firman selanjutnya, yaitu:
“Ialah neraka jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (Al-Anfal: 16)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Umar Ar-Riqqi, dari Zaid ibnu Abu Anisah, telah menceritakan kepada kami Jabalah ibnu Suhaim, dari Abul Musanna Al-Abdi, bahwa ia pernah mendengar As-Sadusi (yakni Ibnul Khassiyah, yaitu Basyir ibnu Ma'bad) mengatakan bahwa ia datang kepada Nabi ﷺ untuk berbai'at kepadanya. Maka Nabi ﷺ mempersyaratkan kepadanya untuk membaca syahadat, yaitu: Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan Allah; mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan ibadah haji, yaitu haji Islam (bukan haji jahiliyah); puasa dalam bulan Ramadan, dan terakhir berjihad di jalan Allah.
Basyir ibnu Ma'bad melanjutkan kisahnya, "Lalu ia berkata 'Wahai Rasulullah, dua perkara tersebut tidak mampu saya kerjakan, yaitu jihad. Karena sesungguhnya mereka menduga bahwa barang siapa yang melarikan diri dari medan perang, maka sesungguhnya dia kembali dengan membawa murka dari Allah. Maka saya khawatir bila menghadapi peperangan, lalu hati saya menjadi kecut dan takut mati. Kedua ialah zakat, demi Allah, saya tidak memiliki ternak kecuali hanya beberapa ekor kambing dan sepuluh ekor unta untuk keperluan keluarga saya dan sebagai kendaraan angkutan mereka'."
Maka Rasulullah ﷺ memegang tangannya dan menggerak-gerakkan tangannya, lalu bersabda, "Tidak ada jihad dan tidak ada zakat, lalu dengan apakah kamu dapat masuk surga?" Ia (Basyir ibnu Ma'bad) akhirnya mengatakan, "Wahai Rasulullah, sekarang saya mau berbai'at kepadamu, dan saya berbai'at (berjanji setia) kepadanya atas kesemuanya itu."
Hadits ini gharib (aneh) bila ditinjau dari jalur ini, karena mereka tidak mengetengahkannya dalam kitab-kitab mereka yang sittah (enam).
Al-Hafidzh Abul Qasim At-Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad ibnu Yahya ibnu Hamzah, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Rabi'ah, telah menceritakan kepada kami Abul Asy'as, dari Tasuban secara marfu', dari Nabi ﷺ, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Ada tiga perkara, tiada suatu amal pun yang bermanfaat bersamanya, yaitu mempersekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, dan lari dari medan perang ketika musuh menyerang.”
Hadits ini pun dinilai gharib (aneh) sekali.
Imam Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnu Muqatil Al-Isfati, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Umar As-Sinni, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Murrah. Ia pernah mendengar Bilal ibnu Yasar ibnu Zaid maula Rasulullah ﷺ menceritakan hadits berikut: Ia pernah mendengar ayahnya menceritakan hadits ini dari kakeknya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa mengucapkan, ‘Saya memohon ampun kepada Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, dan saya bertobat kepada-Nya,’ diberikan ampunan baginya, sekalipun dia telah lari dari medan perang.”
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, dari Musa Ibnu Ismail, dengan sanad yang sama. Imam At-Tirmidzi mengetengahkannya dari Imam Bukhari, dari Musa ibnu Ismail dengan sanad yang sama. Lalu Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini gharib, kami tidak mengenalnya melainkan hanya dari jalur ini.
Menurut kami, Zaid maula Rasulullah ﷺ belum pernah menceritakan hadits dari Rasulullah ﷺ selain hadits ini. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa lari dari medan perang hukumnya haram bagi para sahabat, tiada lain karena jihad adalah fardu 'ain bagi mereka.
Menurut pendapat lain, hal ini hanya khusus bagi kalangan Anshar, karena mereka telah berbai'at untuk tunduk patuh, baik dalam keadaan suka maupun dalam keadaan duka. Menurut pendapat lainnya lagi, makna yang dimaksud oleh ayat ini khusus bagi ahli Badar (kaum muslim yang ikut dalam Perang Badar). Hal yang menyatakan demikian telah diriwayatkan melalui Umar, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa'id, Abu Nadrah, Nafi' maufa Ibnu Umar, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan Al-Basri, Ikrimah, Qatadah, Adh-Dhahhak, dan lain-lainnya.
Alasan mereka mengatakan demikian karena pada zaman itu tidak ada suatu golongan yang mempunyai kekuatan bersenjata untuk dapat dijadikan sebagai pelindung dan dimintai bantuannya selain golongan mereka sendiri, seperti yang disebutkan oleh Nabi ﷺ dalam doanya: “Ya Allah, jika golongan ini binasa, niscaya Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi ini.” Karena itulah Abdullah ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Mubarak ibnu Fudalah dari Al-Hasan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu.” (Al-Anfal: 16) Yang dimaksud adalah dalam Perang Badar.
Adapun di masa sekarang ini, jika suatu pasukan kaum muslim bergabung dengan pasukan kaum muslim lainnya, atau masuk ke dalam kota muslim, menurut saya hukumnya tidak mengapa. Ibnul Mubarak mengatakan pula dari Ibnu Luhai'ah (Lahi'ah), telah menceritakan kepadaku Yazid ibnu Abu Habib yang mengatakan bahwa Allah memastikan masuk neraka bagi orang yang lari dari Perang Badar, karena Allah ﷻ telah berfirman: “Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbalik untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah.” (Al-Anfal: 16)
Ketika terjadi Perang Uhud pada tahun berikutnya. Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kalian pada hari bertemu dua pasukan itu.” (Ali-lmrah: 155) sampai dengan firman-Nya: “Dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka.” (Ali-Imran: 155)
Kemudian pada waktu Perang Hunain tujuh tahun kemudian Allah ﷻ berfirman: “Kemudian kalian lari ke belakang dengan bercerai-berai.” (At-Taubah: 25) sampai dengan firman-Nya: “Sesudah itu Allah menerima tobat dari orang-orang yang dikehendaki-Nya.” (At-Taubah: 27)
Di dalam kitab Sunan Abu Daud, Sunan An-Nasai, Mustadrak Imam Hakim, serta kitab Tafsir Ibnu Jarir dan Ibnu Murdawaih disebutkan melalui hadits Daud ibnu Abu Hindun, dari AbuNadrah, dari Abu Sa'id, ia telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu.” (Al-Anfal: 16) Sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang muslim yang terlibat dalam Perang Badar.
Tetapi hal ini bukan berarti menafikan (meniadakan) pengertian haram bagi selain mereka yang lari dari medan perangnya, sekalipun penyebab turunnya ayat ini berkenaan dengan mereka (ahli Badar). Seperti apa yang ditunjukkan oleh makna hadits Abu Hurairah di atas yang menyatakan bahwa lari dari medan perang merupakan salah satu dosa besar yang membinasakan. Demikianlah menurut pendapat jumhur ulama.
Setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan dukungan Allah terhadap kaum muslim dan kemenangan yang dianugerahkan kepada mereka, pada ayat ini Allah menjelaskan hakikat kemenangan dan tugas mereka ketika menghadapi musuh. Wahai orang yang beriman! Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang menentang Allah dan Rasul-Nya dalam barisan yang akan menyerangmu dan mengancam keberada-anmu, maka janganlah kamu berbalik mundur membelakangi mereka, sehingga kalah. Tetaplah tegar menghadapi mereka, sebab Allah bersama kamu untuk memenangkanmu Dan barang siapa yang tidak mempunyai keberanian menghadapi musuh lalu mundur pada waktu itu karena takut, melarikan diri, dan meninggalkan medan laga, kecuali berbelok untuk menerapkan siasat perang dengan berpura-pura seakan dia mundur, atau tujuannya membelakangi karena hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain sebagai tambahan kekuatan, maka sungguh, orang itu kembali dengan membawa kemurkaan besar dari Allah, dan tempatnya kelak setelah kematiannya jika tidak bertobat ialah neraka Jahanam, itulah seburuk-buruk tempat kembali.
Allah menyeru orang-orang beriman bahwa apabila berhadapan dengan orang-orang kafir yang sedang datang menyerang, kaum Muslimin dilarang lari dari pertempuran.
Orang-orang kafir itu bergerak dari Mekah dengan membawa jumlah pasukan yang banyak. Mereka sengaja menemui kaum Muslimin yang sudah ada di Badar. Mereka sudah mengetahui rencana kaum Muslimin yang akan menghadang kafilah yang dipimpin Abu Sufyan dengan alasan melindungi perdagangan mereka. Mereka bergerak dari Mekah, padahal sebenarnya mereka berniat untuk memusnahkan kaum Muslimin. Itulah sebabnya, Allah ﷻ melarang kaum Muslimin membelakangi mereka. Lebih-lebih melarikan diri dari pertempuran melawan mereka, meskipun mereka membawa bala tentara yang cukup banyak dan peralatan perang yang lengkap.
Yang dilarang adalah melarikan diri dari pertempuran, tanpa alasan yang dibenarkan karena takut menghadapi musuh. Sedangkan mundur untuk mengatur siasat, bukan termasuk dalam larangan yang dikandung ayat ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 15
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir itu dalam suatu penyerbuan, janganlah kamu memalingkan punggung dari mereka."
Artinya, apabila musuh telah menyerbu kepada kamu, sekali-kali kamu tidak boleh berpaling meninggalkan barisan, melainkan serbulah pula mereka sebagaimana mereka menyerbu kamu. Dalam Peperangan Badar ini memang musuhlah yang telah datang menyerang mereka dengan seribu lebih tentara, padahal kaum yang beriman hanya 300 orang. Dilarang keras berpaling atau lari. Berpaling atau lari meninggalkan barisan dalam sedang hebatnya pertempuran itu, yang oieh orang Barat dinamai deserter, sedang menurut ajaran Nabi Muhammad ﷺ adalah termasuk satu di antara tujuh dosa yang besar:
Ayat 16
“Dan, barangsiapa yang memalingkan punggung."
Yaitu, lari meninggalkan barisan, “dari antara mereka," yang turut dalam peperangan itu, “di hari itu kecuali karena hendak mengatur siasat perang." Misalnya pura-pura lari, sehingga musuh terkecoh lalu musuh itu menyerbu kepada sesuatu tempat yang sampai di sana mereka bisa dikepung. “Atau karena hendak menggabungkan diri dengan suatu rombongan." Misalnya setelah melihat bilangan musuh terlalu besar lalu satu rombongan kecil yang telah terlanjur sangat maju ke muka, mundur kembali dengan teratur dan segera mencari dan menggabungkan diri de-ngan induk pasukan. Dalam hal yang seperti ini tidaklah terlarang. Akan tetapi, barangsiapa yang lari saja karena pengecut atau melepaskan diri dari komando. “Maka, sesungguhnya dia telah kembaii dengan kemurkaan dari Allah." Dia kembali pulang dari medan perang dengan kehinaan sebagai seorang pengecut yang dimurkai Allah.
“Dan tempat mereka adalah dalam nenaka Jahannam; dan itulah seburuk-bmuk tempat kembali."
Dalam ayat ini diberikan penjelasan bahwa lari dalam siasat atau lari pura-pura hingga musuh terjebak, bukanlah lari, tetapi termasuk dalam rangkaian peperangan juga. Atau lari kepada induk pasukan karena sudah sangat terdesak, yang kalau diteruskan juga berarti hancur, tidak pula terlarang. Menurut riwayat Abdullah bin Umar r.a. bahwa dia pernah mengikuti Rasulullah ﷺ di dalam satu patroli. Rupanya Abdullah bin Umar dan beberapa orang temannya terpisah jauh dari barisan.
Lalu, dia musyawarah dengan teman-temannya, sebab mereka merasa telah lari dari medan pertempuran dan kita telah kena murka. Mereka bertanya-tanya sama sendiri. Ada yang mengusulkan, “Bagaimana kalau kita kembali saja pulang ke Madinah?" Segolongan lagi mengusulkan, “Lebih baik kita segera mencari di mana Rasulullah ﷺ sekarang, kita mengaku terus-terang. Moga-moga kita diberi tobat. Lalu, mereka sepakat mencari Rasulullah ﷺ sehingga akhirnya sampailah mereka ke tempat perhentian Rasulullah ﷺ sebelum waktu Zhuhur. Lalu, Rasulullah keluar dari kemahnya dan bertanya, “Siapa kalian semuanya?"
“Kami akui terus terang bahwa kami lari dari menghadapi musuh!" Lalu beliau berkata, “Kalian bukan lari, tetapi segera menggabung. Aku adalah induk pasukan kalian dan induk pasukan seluruh Muslimin!" Gembira hati kami menerima sambutan itu maka segeralah kami tampil ke hadapan beliau dan kami cium tangannya. (HR at-Tirmidzi)
Tersebut di dalam Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari, bahwa satu pasukan di bawah komando Abu Ubaid menyerbu negeri Parsi. Pada sebuah jembatan terkepung pasukan itu dan Abu Ubaid sendiri tewas karena bilangan tentara Parsi besar. Mendengar berita kematian karena kekuatan yang tidak seimbang itu, Sayyidina Umar yang mengirim tentara berkata, “Sedianya dia pulang saja kepadaku."
Sebab itu, tersebutlah di dalam kitab al-Muhadzdzab bahwa kalau bilangan musuh jauh lebih besar maka tidaklah terlarang mundur buat mengatur siasat. Karena apabila menyerbu juga, berarti hanya kehancuran. Akan tetapi, kalau menurut perhitungan tidak akan binasa, hendaklah serbu terus.
Dengan ayat 15 dan 16 ini jelaslah betapa besar ancaman bagi si pengecut yang lari dari medan pertempuran. Di pangkal ayat kita telah bertemu kunci peringatan yang keras ini, yaitu seruan Allah kepada orang yang beriman. Sebab, orang yang benar-benar berimanlah yang tidak merasa takut menghadapi maut dan musuh yang berganda lipat pun banyaknya. Karena mereka berjuang adalah dengan satu cita-cita, yaitu ketinggian kalimat Allah, dan berdirinya jalan Allah. Kalau mati adalah syahid dan kalau menang akan mendapat harta rampasan. Sedang hidup atau mati adalah ketentuan dari Allah sendiri. Tidak di medan perang pun orang akan mati juga. Sebab itu, suatu pelarian dari medan jihad, adalah pulang dari kemurkaan Allah dan di akhirat dinanti oleh neraka. Tepat benar kata-kata yang selalu diucapkan orang yang marah kepada si pengecut, “Go to hell!" Pergilah ke neraka!
Sehubungan dengan ayat ini teringatlah penulis Tafsir al-Azhar ini suatu hal yang pernah kejadian pada 17 hari bulan Januari 1949, seketika tentara Kolonial Belanda melancarkan serangan dan serbuan besar kepada Republik Indonesia yang berjuang mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
Belanda telah mendapat tahu dari spion-spionnya bahwa di Situjuh (Payakumbuh) sedang bermusyawarah beberapa pemimpin gerilya Republik. Tempat itu segera mereka kepung, pada malam hari dan mereka tunggu sampai hari siang supaya mudah menangkap hidup atau membunuh pemimpin-pemimpin itu.
Setelah pahlawan-pahlawan yang terkepung itu bangun pagi-pagi hendak mengambil air wudhu untuk shalat Shubuh, seorang di antaranya melihat musuh telah mengepung tempat persembunyian mereka itu dan moncong senapan telah dihadapkan kepada mereka. Musuh bersorak menyerukan agar mereka menyerah. Akan tetapi, tidak seorang jua pun rupanya yang berniat hendak menyerah, bahkan hendak melawan. Melawan sambil lari meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, karena ketatnya kepungan, baru saja mereka bergerak keluar, mereka telah dihujani dengan tembakan dari segala penjuru, sehingga hanya beberapa orang saja yang bisa berlepas diri, lari dengan sembunyi-sembunyi dari satu selokan air. Maka, tewaslah 9 orang di antara mereka. Di antaranya ialah Bupati Harisun, Pimpinan Pertahanan Rakyat Khatib Sulaiman, Letnan Munir Latif, dan Sersan Tantawi Mustafa.
Sersan Tantawi Mustafa adalah putra dari salah seorang ulama besar kecintaan umat di Minangkabau, yaitu Tuan Syekh Mustafa Abduliah yang berdua dengan saudara kandungnya Syekh Abbas Abduliah telah berpuluh tahun membuka pengajian di suraunya di Padang Panjang dan Payakumbuh.
Berita ini segera disiarkan oleh kurir yang datang menemui Gubernur Militer di Koto Tinggi dan segera pula disampaikan kepada beliau, Tuan Syekh Mustafa.
Di dalam orang-orang perempuan menangis tersedu-sedu menerima kabar atau gugurnya Sersan Tantawi itu, Tuan Syekh sendiri bertanya dengan sungguh-sungguh kepada pembawa berita, di mana agaknya luka putranya, di bagian mana dari tubuhnya yang ditembus oleh peluru. Setelah diterangkan bahwa yang remuk kena peluru ialah dada Sersan Tantawi dari jurusan hadapan, barulah wajah Tuan Syekh Mustafa Abdullah kelihatan berseri-seri. Dan, muka yang jernih berseri-seri kelihatan dengan nyata pada wajah beliau, rasa bahagia karena putranya mati syahid mempertahankan agama Allah yang hendak ditindas kembali oleh Belanda kafir laknatullah. Dan, beliau bujuklah tangis dari ibunya dan saudara-saudara perempuan almarhum syahid fi sabililah itu, karena Tantawi benar-benar mati syahid, bukan mati dalam lari karena pengecut.
Ini bukanlah karangan cerita tarikh zaman lampau, bahkan terjadi di zaman kita ini; bukan hikayat Khansa yang empat putra laki-lakinya tewas di medan perang dan diterimanya dengan muka berseri, tetapi riwayat seorang Syekh di zaman kita yang merasa bahagia, sebab putranya pun turut menjadi syahid fi sabilillah.
Siasat perang mundur teratur dengan rencana ini telah dilakukan pula oleh Khalid bin al-Walid dalam Perang Mu'tah. Karena utusan Rasulullah ﷺ mengantar surat kepada Amir Bushra yang beragama Nasrani, telah dibunuh orang. Ini sangat melanggar adat istiadat negeri-negeri yang beradab. Negeri Bushra patut dihukum. Lalu, beliau kirimlah ke sana suatu tentara di bawah Panglima Zaid bin Haritsah, 3.000 orang banyaknya.
Kalau Zaid bin Haritsah tewas, penggantinya ialah Ja'far bin Abi Thalib. Dan, kalau dia tewas pula, penggantinya ialah Abdullah bin Rawahah.
Setelah tentara itu menuju Syam 3.000 orang banyaknya, seorang panglima dengan dua pengganti panglima, yang orangnya gagah berani semuanya, mereka telah disambut oleh tentara Romawi yang rupanya telah tahu terlebih dahulu bahwa mereka akan diserang oleh tentara Islam. Tentara Romawi yang menguasai seluruh Syam ketika itu telah menyambut tentara yang 3.000 orang itu dengan 100.000 orang tentara Romawi sendiri, dan 100.000 orang pula banyaknya tentara Kristen Arab. Dengan arti tiga orang akan menghadapi 200 orang.
Setelah Panglima Perang Zaid bin Haritsah mendengar sekian banyak musuh, dia pun bermusyawarahlah dengan anggota stafnya. Abdullah bin Rawahah mengatakan bahwa bagi kita kaum Muslimin, berapa bilangan musuh tidaklah diperkirakan, sebab kita berperang, esa menang, kedua syahid. Semua bangkit semangat mendengar kata-kata itu, lalu diadakan penyerangan. Berturut-turut ketiga panglima itu tewas dalam pertempuran yang tidak mengenal mundur, tetapi sangat tidak seimbang. Ketiga-tiga panglima perang berturut-turut tewas; Zaid bin Haritsah, Ja'far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawwahah. Dan, dalam pertempuran itulah tangan Ja'far bin Abi Thalib putus kedua-duanya sedang membawa bendera. Putus tangan kanan, dikepitnya bendera dengan tangan kiri. Putus tangan kiri, dikepitnya juga bendera dengan sisa tangannya. Akan tetapi, akhirnya dia pun tewas juga. Sehingga akhirnya kepemimpinan kepanglimaan diserahkan kepada Tsabit bin Arqam. Akan tetapi, sesampai bendera di tangannya, dia berkata terus-terang, “Tetapkanlah siapa yang akan jadi panglima kita!" Ada yang menjawab, “Engkau saja terus!" Dia menjawab, “Jangan aku! Pilih yang lain yang lebih cakap daripada aku!" Lalu jatuh pilihan kepada Khalid bin Walid. Pilihan itu diterimanya, dan hari mulai malam. Pada malam itu disusunnyalah tentara dengan susunan baru, yang sayap kanan diletakkannya ke kiri dan sayap kiri dipindahkannya ke kanan dan diperintahkannya mengubah-ubah letak pakaian mereka, sehingga setelah hari siang pihak musuh melihat ada perubahan, menyangka bahwa pihak Islam telah mendapat bantuan baru. Khalid menceritakan kemudian bahwa dalam peperangan itu telah patah dalam tangannya sembilan pedang!
Khalid menukar taktik, tidak lagi menyerbu, tetapi memukul dengan cara gerilya, menyerbu dan sembunyi. Akhirnya suatu keajaiban terjadi! Yaitu pihak musuh menjadi kesal lalu beberapa pasukan mengundurkan diri.
Maka, Khalid tidak lagi meneruskan penyerangan kepada musuh yang mundur itu, takut terbuka rahasia, bahwa kekuatan tidak seimbang. Lekas-lekas berangkat kembali ke Madinah, dengan sisa tentara yang nyaris hancur. Banyak penduduk Madinah yang muda-muda yang tidak mengerti taktik Khalid, melempari tentara itu dengan pasir sebagai penghinaan. Akan tetapi, setelah Khalid melaporkan hal itu kepada Rasulullah, di waktu itulah dia diberi Rasul gelar “Saif Allah", Pedang Allah!
Karena dia mundur bukan karena lari, melainkan termasuk ilmu siasat perang yang tinggi. Gelar yang diberikan Rasul ﷺ itu, setelah Rasul wafat, bertemu dengan tepatnya pada diri Khalid bin Walid.
Ayat 17
“Maka, bukanlah kamu yang membunuh mereka, tetapi Allah lah yang membunuh mereka."
Artinya, khusus pada Peperangan Badar, 300 Mujahidin dapat mengalahkan 1.000 musyrikin, membunuh 70 orang musuh, menawan 70 orang pula, pada hakikatnya bukanlah kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah. Sebab, Allah yang memberikan kekuatan semangat kepada kamu, Allah yang membantumu dengan 1.000 malaikat, dan Allah yang menurunkan hujan yang memberikan kesegaran kepada kamu. Dan, Allah pula yang menimbulkan rasa ketakutan dalam jiwa musuh itu. Ayat ini adalah peringatan kepada kaum yang beriman apabila mereka beroleh suatu kemenangan di dalarn perang supaya jangan sombong. Apatah lagi kalau kita mempertalikan kepada permulaan surah ayat 1 tadi, setelah habis perang ada yang bertanya pasal harta rampasan, lalu dijawab bahwa yang menguasai harta rampasan ialah Allah dan Rasul-Nya. Sebab, yang menang itu ialah Allah, bukan mereka.
“Dan, bukanlah engkau yang melempar tatkala engkau melempar, melainkan Allah-lah yang melempar." Tersebutlah bahwa dalam Peperangan Badar itu Rasulullah ﷺ mengambil segenggam pasir, lalu dilemparkannya ke jurusan musuh, seraya berkata, “Biarlah segala muka itu tertutup!" Maka, dibawa anginlah pasir-pasir itu ke muka musuh sehingga ada yang kena, sehingga masuklah pasir ke dalam mata mereka, sehingga gugup mereka ketika menyerbu, maka mudahlah bagi Mujahidin menyerbu orang yang matanya telah kena pasir itu. Di sini Allah mem-peringatkan kepada Rasul-Nya, bahwa tangan beliau hanyalah jadi alat saja buat melempar. Yang sebenar melempar tetaplah Allah. Karena memang! Kalau hanya atas kehendak Nabi sendiri, tidaklah muka-muka itu akan kena, sebab tempatnya jauh. Supaya di saat sulit yang seperti itu, baik Muslimin apatah lagi Rasul sendiri, selalu sadar bahwa Allah tidak pernah pisah dari mereka. “Karena Dia hendak memberi kepada orang-orang yang beriman suatu pemberian yang baik."
Pemberian yang baik ialah kemenangan yang gilang-gemilang yang akan menentukan nasib agama mereka di belakang hari, sebab Perang Badar adalah perang yang menentukan. Betapa pun beribu-ribu orang tentara yang berperang sesudah itu, di medan perang yang mana pun di muka dunia ini, tetapi kemenangan di Badar adalah membuka pintu jaya di zaman sesudahnya. “Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar." Allah mendengar betapa percakapan kamu sesama kamu yang membangga karena kemenangan itu. Sebab itu, diperingatkan kepada kamu sekarang, supaya kamu tetap waspada pada zaman-zaman selanjutnya.
“Lagi Mengetahui."
Artinya, Allah lebih mengetahui betapa banyaknya lagi kesulitan yang akan kamu hadapi dan atasi, sehingga kemenangan yang sekarang janganlah menyebabkan kamu lupa akan pertolongan Allah kepadamu.
Apa yang diperingatkan Allah ini, telah bertemu kemudian dalam Peperangan Uhud, yaitu nyaris kalah, karena ada yang tidak teguh setia mengikuti komando Rasulullah ﷺ
Ayat 18
“Begitulah! Dan sesungguhnya Allah melemahkan tipu daya orang-orang yang kafir."
Maka, di dalam Peperangan Badar itu khususnya, Allah telah mematahkan segala tipu daya dan siasat orang-orang yang kafir itu. Mereka telah menjadi lemah. Walaupun berkali-kali sesudah itu mereka telah menyusun kekuatan hendak mematahkan Islam, tetapi segala tipu daya itu telah dilemahkan oleh Allah, apatah lagi pahlawan-pahlawan musyrikin yang penting telah banyak yang tewas dalam Peperangan Badar itu.
Kemudian ayat yang seterusnya dihadapkan Allah-lah untuk orang-orangyang kafir itu,
Ayat 19
“Jika kamu meminta kemenangan maka sesungguhnya telah datang kepada kamu kemenangan itu."
Menurut riwayat Ibnul lshaq, Abu Jahal sebagai pimpinan tertinggi kaum Quraisy di Perang Badar itu telah berdoa, “Ya Allah! Aku tidak tahu, siapa yang sebenarnya di antara kami yang telah memutuskan silaturahim. Berikanlah keputusan Engkau besok!"
Menurut as-Suddi, pemuka-pemuka Quraisy sebelum pergi ke Badar telah berlutut di hadapan Ka'bah dan menyeru Allah, “Ya Allah, tolonglah mana yang lebih mulia di antara kedua tentara ini, mana yang lebih baik di antara dua golongan, dan mana yang lebih tinggi di antara dua kabilah."
Rupanya terjadilah Perang Badar itu, merekalah yang kalah, Islamlah yang menang. Inilah yang disambut oleh pangkal ayat 19 ini, yaitu jika kamu meminta kemenangan wahai kaum Quraisy, maka permintaanmu itu telah dikabulkan. Telah menang yang lebih mulia, yang lebih tinggi cita-citanya dan yang lebih suci pendiriannya. “Namun, jika kamu mau berhenti maka itulah yang lebih baik bagi kamu."
Artinya, sekarang telah kamu lihat sendiri, Muhammadlah yang menang dan kamu telah kalah. Maka, kalau kamu berhenti saja melawan, lalu tunduk dan masuk Islam, itulah yang lebih baik bagi kamu. Turut menjadi tentaranya tnenyebarkan Islam ke seluruh Tanah Arab ini dan kamu mendapat kemegahan lantaran kemegahannya. “Tetapi kalau kamu kembali lagi, Kami pun akan kembali." Kalau kamu mencoba lagi melawan. Kami pun akan kembali menghadapi kamu, sampai kamu tidak bisa bangkit lagi. “Dan sekali-kali tidaklah akan berfaedah bagi kamu golongan kamu itu sedikit pun, walaupun dia banyak." Bagaimana pun kamu menyusun kekuatan hendak melawan Allah dan Rasul-Nya dan walaupun berlipat ganda banyak kamu, kalau kamu mencoba melawan lagi, kamu jugalah yang akan binasa dan hancur. Padahal, kalau kamu tunduk, habislah segala permusuhan dan kamu menjadi tentara kami.
“Dan bahwasanya Allah adalah beserta orang-orang yang beriman."
Kamu akan kalah, sebab pendirian kamu adalah syirik dan kufur, walaupun kamu banyak. Dan, Rasul bersama seluruh pengikutnya akan tetap menang, sebab Allah adalah beserta orang yang beriman.
Dan, ini pun bukan saja peringatan kepada Quraisy yang telah kalah. Dia adalah mengenai juga kepada pejuang Islam sendiri bahwa mereka akan tetap menang menghadapi musuhnya, berapa pun banyaknya, asal mereka tetap beriman. Dan, Allah akan meninggalkan mereka, jika mereka berjuang tidak karena iman.
Ayat ini telah menarik pemuda-pemuda dari kalangan Quraisy buat berpikir lebih dalam dan jauh, sehingga sesudah perdamaian Hudaibiyah, pahlawan-pahlawan muda kaum Quraisy seperti Khalid bin Walid dan Amr bin al-Ash meninggalkan Mekah secara diam-diam dan menggabungkan diri kepada Rasulullah ﷺ di Madinah, buat menghadapi hari depan mereka yang gemilang.
Oleh karena tersebut bahwa Allah mengirimkan bantuan 1.000 malaikat kepada mujahidin di Perang Badar itu, maka bertemu pulalah di dalam kitab-kitab tafsir bahwa malaikat yang seribu itu turut pula berperang. Penafsir Ibnu Katsir menukilkan riwayat dari Rabi' bin Anas bahwa di antara kaum Musyrikin yang mati terbunuh, ada yang terputus lehernya dan ada yang terpotong jarinya dan tangannya. Yang itu adalah ditewaskan oleh pahlawan-pahlawan Islam itu. Akan tetapi, ada pula yang hangus seluruh badannya sebagai dibakar. Itulah yang ditewaskan oleh malaikat-malaikat itu. Maka, riwayat yang disalinkan oleh Ibnu Katsir ini tidaklah jelas dari mana sanadnya, yang amat berlawan dengan catatan sejarah yang lain.
Di zaman dahulu seorang yang sangat bebas pikiran, golongan Mu'tazilah yang sudah terlalu kiri sikapnya, bernama ar-Rawandi pernah mencemoohkan riwayat itu. Kalau betul seribu malaikat turut berperang di Badar, mengapa hanya tujuh puluh orang saja yang tewas, padahal kekuatan dari satu malaikat bisa memusnahkan satu negeri.
Penafsir dekat ke zaman kita, yaitu al-Alusi ada juga mengutip satu riwayat yang katanya diterima dari Ibnu Abbas, bahwa malaikat memang ikut berperang di waktu itu. Akan tetapi, dengan rasa hormat yang dalam kepada Ibnu Abbas, ahli-ahli penyelidik yang saksama tidaklah segera menerimanya saja. Sebab, Ibnu Abbas sendiri di waktu Peperangan Badar, masih anak kecil dan belum ikut serta. Dan, al-Alusi pun tidak menyebut sanad riwayat yang dikatakan berasal dari Ibnu Abbas itu.
Namun, apabila kita tinjau kepada tafsir yang tertua, tafsir dari Ibnu Jarir ath-Thabari, tidaklah kita berjumpa riwayat bahwa malaikat yang seribu itu turut berperang bahu-membahu, pakai serban hijau dan lain-lain, sebagaimana banyak diriwayatkan itu. Mungkin cerita-cerita yang demikian dimasukkan lagi oleh tukang-tukang pungut kabar ganjil, untuk dijadikan pelengkap tafsir. Padahal, tidak mereka sadari bahwa cerita demikian berlawan dengan bunyi Al-Qur'an sendiri. Di dalam ayat 10 di atas tadi, Allah sendiri menjelaskan bahwa kedatangan malaikat yang beribu itu adalah malaikat untuk sebagai berita gembira dan peneguhkan hati kamu, jadi kedatangan seribu malaikat bukanlah untuk berperang. Kalau mereka turut berperang, mana lagi artinya tenaga dari 300 orang kaum yang beriman itu? Dan apa artinya penghargaan yang demikian tinggi yang diberikan kepada mereka, sampai Allah menjanjikan bahwa sekalian yang hadir di dalam Peperangan Badar mendapat penghargaan yang istimewa di sisi Allah, diampuni dosa mereka?
Musuh yang tewas 70 orang. Maka, di dalam kitab-kitab sirah yang panjang-panjang diterangkan siapa-siapa pahlawan yang menewaskan mereka. Dan, tidak ada dalam kitab sirah itu yang menyatakan bahwa di antara yang 70 itu ada yang hangus sebagai terbakar. Semuanya mati kena senjata tombak, pedang dan panah, dari tentara Rasulullah ﷺ yang tiga ratus.
Kerap kali keterangan yang jelas dari Al-Qur'an sendiri dikaburkan oleh tafsir yang datang di belakang.
Nilai Peperangan Badar dalam sejarah terletak dalam 300 orang lebih sedikit yang gagah berani karena iman yang teguh kepada Allah, bersedia mati karena keyakinan, dengan persenjataan yang tidak begitu lengkap, menghadapi musuh yang lebih seribu orang, dengan persenjataan yang lebih lengkap. Bila dinilai kepada keadaan zaman di waktu itu, kemegahan kaum Quraisy, keyakinan mereka pada mulanya bahwa mereka pasti memang, dan pihak Islam hanya 300 orang lebih, yang mulanya menyangka hanya akan berhadapan dengan rombongan peniaga Quraisy yang pulang dari Syam, rupanya menghadapi penyerbuan dari suatu tentara besar yang tidak diduga-duga.
Oleh sebab itu, walaupun telah terjadi sesudah itu beratus kali peperangan-pepe-rangan yang besar, melemparkan beratus ribu tentara ke medan perang, tetapi Perang Badar adalah perang yang paling besar dan pintu dari kemenangan Islam buat selanjutnya.