Ayat
Terjemahan Per Kata
وَقَٰتِلُواْ
dan perangilah
فِي
di
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يُقَٰتِلُونَكُمۡ
(mereka) memerangi kamu
وَلَا
dan jangan
تَعۡتَدُوٓاْۚ
kamu melampaui batas
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يُحِبُّ
Dia menyukai
ٱلۡمُعۡتَدِينَ
orang-orang yang melampaui batas
وَقَٰتِلُواْ
dan perangilah
فِي
di
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يُقَٰتِلُونَكُمۡ
(mereka) memerangi kamu
وَلَا
dan jangan
تَعۡتَدُوٓاْۚ
kamu melampaui batas
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يُحِبُّ
Dia menyukai
ٱلۡمُعۡتَدِينَ
orang-orang yang melampaui batas
Terjemahan
Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu dan jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Tafsir
Tatkala Nabi ﷺ dihalangi kaum Quraisy untuk mengunjungi Baitullah pada perjanjian Hudaibiah dan berdamai dengan orang-orang kafir itu untuk kembali di tahun depan, di mana ia diberi kesempatan untuk memasuki Mekah selama tiga hari, kemudian tatkala ia telah bersiap-siap untuk umrah kada, sedangkan kaum muslimin merasa khawatir kalau-kalau Quraisy tidak menepati janjinya lalu memerangi mereka, padahal kaum muslimin tak mau melayani mereka jika di saat ihram, di tanah haram dan di bulan haram; maka turunlah ayat, (Dan perangilah di jalan Allah), maksudnya untuk menjunjung tinggi agama-Nya (orang-orang yang memerangi kamu) di antara orang-orang kafir (tetapi janganlah kamu melampaui batas) misalnya dengan memulai peperangan terhadap mereka (karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas), artinya yang melanggar apa-apa yang telah digariskan bagi mereka. Dan ini dinasakh dengan ayat Bara-ah atau dengan firman-Nya:.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 190-193
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kalian jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan, dan janganlah kalian memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kalian di tempat itu.
Jika mereka memerangi kalian (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka tidak ada permusuhan (lagi) kecuali terhadap orang-orang yang zalim. Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian. (Al-Baqarah: 190) Ayat ini merupakan ayat perang pertama yang diturunkan di Madinah.
Setelah ayat ini diturunkan, maka Rasulullah ﷺ memerangi orang-orang yang memerangi dirinya dan membiarkan orang-orang yang tidak memeranginya, hingga turunlah surat Baraah (surat At-Taubah). Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan hal yang sama, hingga dia mengatakan bahwa ayat ini di-mansukh oleh firman-Nya: Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka. (At-Taubah: 5) Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, mengingat firman-Nya: orang-orang yang memerangi kalian. (Al-Baqarah: 190) Sesungguhnya makna ayat ini merupakan penggerak dan pengobar semangat untuk memerangi musuh-musuh yang berniat memerangi Islam dan para pemeluknya.
Dengan kata lain, sebagaimana mereka memerangi kalian, maka perangilah mereka oleh kalian. Seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya: Dan perangilah kaum musyrik itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kalian semuanya. (At-Taubah: 36) Karena itulah maka dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan bunuhlah mereka di mana saja kalian jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian (Mekah). (Al-Baqarah: 191) Dengan kata lain, agar semangat kalian berkobar untuk memerangi orang-orang musyrik itu, sebagaimana semangat mereka menggebu-gebu untuk memerangi kalian; dan agar kalian terdorong untuk mengusir mereka dari negeri yang mereka telah mengusir kalian darinya sebagai pembalasan yang setimpal.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: (tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-Baqarah: 190) Yakni perangilah mereka di jalan Allah, tetapi janganlah kalian bersikap melampaui batas dalam hal ini. Termasuk ke dalam pengertian bertindak melampaui batas ialah melakukan hal-hal yang dilarang (dalam perang). Menurut Al-Hasan Al-Basri antara lain ialah mencincang musuh, curang, membunuh wanita-wanita, anak-anak serta orang-orang lanjut usia yang tidak ikut berperang serta tidak mempunyai kemampuan berperang, para rahib dan pendeta-pendeta yang ada di dalam gereja-gerejanya, membakar pohon, dan membunuh hewan bukan karena maslahat.
Hal ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Umar ibnu Abdul Aziz, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya. Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan sebuah hadits: dari Buraidah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Pergilah di jalan Allah dan perangilah orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah kalian, tetapi janganlah kalian curang, jangan khianat, jangan mencincang, dan jangan membunuh anak-anak serta jangan membunuh orang-orang yang ada di dalam gereja-gerejanya. (Riwayat Imam Ahmad) Disebutkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah ﷺ bila memberangkatkan pasukannya, terlebih dahulu berpesan kepada mereka: Berangkatlah kalian dengan menyebut asma Allah, perangilah di jalan Allah orang-orang yang kafir kepada Allah, janganlah kalian melampaui batas, janganlah kalian curang, jangan mencincang (menyiksa), jangan membunuh anak-anak, dan jangan pula orang-orang yang berada dalam gereja-gerejanya.
Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud meriwayatkan pula hadits yang semisal secara marfu' dari sahabat Anas ibnu Malik Di dalam kitab Shahihain disebutkan: dari sahabat Ibnu Umar yang menceritakan: Pernah dijumpai seorang wanita yang terbunuh dalam suatu peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ Maka sejak itu beliau membenci membunuh wanita-wanita dan anak-anak. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mus'ab ibnu Salam, telah menceritakan kepada kami Al-Ajlah, dari Qais ibnu Abu Muslim, dari Rub'i ibnu Hirasy yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Huzaifah bercerita, "Rasulullah ﷺ pernah membuat banyak perumpamaan kepada kami, satu, tiga, lima, tujuh, sembilan, dan sebelas (perumpamaan). Maka Rasulullah ﷺ membuat suatu perumpamaan dari semuanya itu kepada kami dan meninggalkan perumpamaan yang lainnya. Beliau ﷺ bersabda: 'Sesungguhnya ada suatu kaum yang lemah lagi miskin, mereka diperangi oleh orang-orang yang kuat lagi memendam permusuhan, tetapi Allah memenangkan orang-orang yang lemah atas mereka, lalu orang-orang yang lemah itu menghukum mereka dengan cara mempekerjakan dan menguasai mereka, maka Allah murka terhadap orang-orang yang berbuat demikian hingga hari kiamat'." Hadits ini ditinjau dari segi sanadnya berpredikat hasan.
Makna hadits, bahwa ketika kaum yang lemah itu dapat mengalahkan kaum yang kuat, maka kaum yang lemah berbuat kelewat batas terhadap mereka dan mempekerjakan mereka secara paksa dengan pekerjaan-pekerjaan yang tidak layak bagi mereka. Maka Allah menjadi murka terhadap mereka yang menang itu disebabkan sikap mereka yang melebihi batas. Hadits dan atsar yang membahas hal ini cukup banyak.
Mengingat jihad itu mengandung risiko melayangnya banyak jiwa, terbunuhnya banyak kaum laki-laki, maka Allah mengingatkan bahwa perbuatan yang telah dilakukan oleh mereka yaitu kafir kepada Allah, mempersekutukan-Nya, dan menghalang-halangi jalan Allah adalah perbuatan yang lebih parah dan lebih fatal, lebih besar akibatnya daripada pembunuhan. Karena itulah maka dalam ayat selanjutnya disebutkan: Dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan. (Al-Baqarah 191) Menurut Abu Malik, makna ayat ini ialah bahwa apa yang sedang kalian hadapi itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan.
Abul Aliyah, Mujahid, Qatadah, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Al-Hasan, Adh-Dhahhak, dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan. (Al-Baqarah: 191) Artinya, musyrik itu bahayanya lebih besar daripada pembunuhan. Firman-Nya: dan janganlah kalian memerangi mereka di Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 191) Di dalam kitab Shahihain disebutkan: Sesungguhnya kota ini telah disucikan Allah sejak Dia menciptakan langit dan bumi, maka dia tetap suci karena disucikan Allah sampai hari kiamat dan tidak pernah dihalalkan kecuali sesaat untukku di waktu siang hari, dia tetap suci karena disucikan Allah sampai hari kiamat; pepohonannya tidak boleh ditebang, rerumputannya tidak boleh dicabut.
Jika ada seseorang membolehkan karena alasan Rasulullah ﷺ pernah melakukan perang padanya, maka katakanlah oleh kalian bahwa sesungguhnya Allah hanya mengizinkan bagi Rasul-Nya dan Dia tidak mengizinkan bagi kalian. Yang dimaksud ialah peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ terhadap penduduknya ketika hari kemenangan atas kota Mekah, karena sesungguhnya beliau ﷺ membukanya dengan paksa, dan sebagian dari kaum lelaki di antara mereka ada yang terbunuh di Khandamah. Tetapi menurut pendapat yang lain, Nabi ﷺ membuka kota Mekah secara damai, karena berdasarkan kepada sabda Nabi ﷺ yang mengatakan: Barang siapa yang menutup pintunya, maka dia aman; dan barang siapa yang masuk ke dalam Masjidil Haram, maka dia aman; dan barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, maka dia aman. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: kecuali jika mereka memerangi kalian di tempat itu. Jika mereka memerangi kalian (di tempat itu), maka bunuhlah mereka.
Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 191) Dengan kata lain, janganlah kalian memerangi mereka di Masjidil Haram (Mekah) kecuali bila mereka memulai memerangi kalian padanya, maka saat itu kalian boleh memerangi mereka untuk membela diri. Sebagaimana. yang dilakukan oleh para sahabat ketika mengucapkan baiat (janji setia) kepada Nabi ﷺ pada hari Hudaibiyyah di bawah sebuah pohon. Mereka berjanji setia untuk membela Nabi ﷺ, yaitu di saat semua suku Quraisy dan para pendukungnya dari kalangan suku Saqif dan orang-orang Habsyah pada tahun itu bersekutu untuk memerangi Nabi ﷺ Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala mencegah pcperangan di antara mereka. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan Dialah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kalian dan (menahan) tangan kalian dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekah sesudah Allah memenangkan kalian atas mereka. (Al-Fath: 24) Allah subhanahu wa ta’ala berfirman pula: Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mukmin dan perempuan-perempuan yang mukmin yang tiada kalian ketahui, bahwa kalian akan membunuh mereka yang menyebabkan kalian ditimpa kesusahan tanpa pengetahuan kalian (tentulah Allah tidak akan menahan tangan kalian dari membinasakan mereka).
Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur-baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang yang kafir di antara mereka dengan azob yang pedih. (Al-Fath: 25) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka sesesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 192) Dengan kata lain, apabila mereka tidak melakukan peperangan di tanah haram (suci), mereka menyerah mau masuk Islam dan bertobat, sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka, sekalipun mereka telah memerangi kaum muslim di Tanah Suci Allah.
Karena sesungguhnya tiada suatu dosa besar pun dianggap berat oleh Allah bila Dia mengampuni orang yang bertobat darinya dan kembali ke jalan-Nya. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir dengan tujuan seperti yang diungkapkan oleh firman-Nya: sehingga tidak ada fitnah lagi. (Al-Baqarah: 193) Yang dimaksud dengan fitnah ialah syirik (mempersekutukan Allah). Demikianlah menurut apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi', Muqatil ibnu Hayyan, As-Suddi, dan Zaid ibnu Aslam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. (Al-Baqarah: 193) Yakni hanya agama Allah-lah menang lagi tinggi berada di atas agama lainnya, seperti pengertian yang terkandung di dalam hadits Shahihain: melalui Abu Musa Al-Asy'ari yang menceritakan: Nabi ﷺ pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang berperang karena keberaniannya, seorang lelaki yang berperang karena fanatiknya, dan seorang lelaki yang berperang karena riya (pamer), manakah di antaranya yang termasuk ke dalam perang di jalan Allah? Nabi ﷺ menjawab, "Barang siapa yang berperang demi meninggikan kalimah Allah, maka dia adalah orang yang berperang di jalan Allah." Di dalam kitab Shahihain disebutkan pula hadits berikut: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan tidak ada Tuhan selain Allah; apabila mereka mau mengucapkannya, berarti mereka memelihara darah dan harta bendanya dariku, kecuali karena alasan yang hak, sedangkan perhitungan mereka (yang ada di dalam hati mereka) diserahkan kepada Allah.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka tidak ada permusuhan (lagi) kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 193) Yakni jika mereka tidak melakukan lagi kebiasaan syiriknya dan tidak lagi memerangi orang-orang mukmin, maka cegahlah diri kalian dari mereka, karena sesungguhnya orang-orang yang memerangi mereka sesudah itu adalah orang yang zalim, dan tidak ada lagi permusuhan kecuali terhadap orang-orang yang zalim. Demikianlah menurut takwil yang dikemukakan oleh Mujahid, yakni tidak ada perang lagi kecuali terhadap orang yang memulainya.
Atau makna yang dimaksud ialah, apabila mereka berhenti memusuhi kalian, berarti kalian telah bebas dari gangguan perbuatan aniaya mereka, yaitu kemusyrikan mereka, maka tidak ada permusuhan lagi terhadap mereka sesudah itu. Yang dimaksud dengan istilah 'udwan dalam ayat ini ialah membalas dan memerangi, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya: Oleh karena itu, barang siapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadap kalian. (Al-Baqarah: 194) Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. (Asy-Syura: 40) Dan jika kalian memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kalian. (An-Nahl: 126) Karena itulah maka Ikrimah dan Qatadah mengatakan bahwa orang yang zalim ialah orang yang menolak, tidak mau mengucapkan kalimah 'Tidak ada Tuhan selain Allah'.
Imam Al-Bukhari mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi. (Al-Baqarah: 193), hingga akhir ayat. Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa ia pernah kedatangan dua orang lelaki pada zaman fitnah Ibnuz Zubair (kemelut yang terjadi di masa Abdullah ibnuz Zubair), lalu kedua lelaki itu berkata, "Sesungguhnya orang-orang telah melibatkan dirinya dalam kemelut ini, sedangkan engkau wahai Ibnu Umar sebagai sahabat Nabi ﷺ mengapa tidak ikut berangkat berperang?" Ibnu Umar menjawab, "Diriku tercegah oleh hukum Allah yang melarang darah saudaraku." Keduanya mengatakan lagi, "Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: 'Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi' (Al-Baqarah: 193)?" Ibnu Umar menjawab, "Kami telah berperang sehingga tiada ada fitnah lagi, dan agama hanyalah untuk Allah.
Sedangkan kalian menghendaki agar perang kalian lakukan sehingga fitnah timbul lagi dan agar agama untuk selain Allah." Usman ibnu Saleh meriwayatkan dari Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Fulan dan Haiwah ibnu Syuraih, dari Bakr ibnu Umar Al-Magafiri, bahwa Bukair ibnu Abdullah pernah menceritakan kepadanya dari Nafi', bahwa ada seorang lelaki datang kepada sahabat Ibnu Umar dan mengatakan, "Wahai Abu Abdur Rahman, apakah yang mendorongmu melakukan ibadah haji satu tahun dan bermukim satu tahun, sedangkan engkau meninggalkan jihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, padahal engkau mengetahui anjuran Allah mengenai berjihad itu?" Ibnu Umar menjawab, "Wahai anak saudaraku, Islam dibangun di atas lima pilar, yaitu iman kepada Allah dan Rasul-Nya, shalat lima waktu, puasa Ramadan, menunaikan zakat, dan haji ke Baitullah." Mereka mengatakan, "Bukankah engkau telah mendengar apa yang telah dikatakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam firman-Nya, wahai Abu Abdur Rahman, (yaitu): 'Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.
Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah' (Al-Hujurat: 9). Juga firman Allah subhanahu wa ta’ala yang mengatakan: 'Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi' (Al-Baqarah: 193)." Ibnu Umar berkata, "Kami telah melakukannya di zaman Rasulullah ﷺ yang pada saat itu Islam masih minoritas, dan seorang lelaki muslim diuji dalam agamanya, adakalanya dibunuh oleh mereka atau disiksa. Ketika Islam menjadi mayoritas, maka tidak ada fitnah lagi." Lelaki itu berkata, "Bagaimanakah menurutmu tentang Ali dan Us'man?" Ibnu Umar menjawab, "Adapun mengenai Usman, maka Allah telah memaafkannya, dan kalian ternyata tidak suka memaafkannya.
Sedangkan Ali, dia adalah anak paman Rasulullah ﷺ dan juga sebagai menantunya," lalu Ibnu Umar mengisyaratkan dengan tangannya dan berkata, "Itulah rumah Ali seperti yang kalian lihat sendiri (yakni tinggal di rumah Rasulullah ﷺ).""
Dan perangilah di jalan Allah, untuk membela diri dan kehormatan agamamu, orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas dengan tidak membunuh wanita, anak-anak, orang lanjut usia, tuna netra, lumpuh, dan orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan perang. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas dengan melanggar etika perang tersebut.
Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka dalam keadaan perang. Kaum muslim tidak boleh lengah terhadap musuh, sebab mereka, dalam perang, akan membinasakan kamu. Dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusir kamu. Sebanding dengan kejahatan mereka mengusir kamu dari kota Mekah, mereka pun harus diusir dari kota yang sama. Dan fitnah, yakni tindakan mereka menghalangi orang yang akan masuk Islam, mempertahankan kemusyrikan, mengisolasi sesama warga kota hanya karena meyakini tidak ada tuhan selain Allah, dan mengintimidasi orang yang berbeda keyakinan, itu lebih kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidilharam demi menghormati tempat suci, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Sebab, dalam Islam, menghormati tempat suci tidak boleh mengalahkan keselamatan jiwa yang terancam dan membiarkan agama Allah diinjak-injak oleh orang yang tidak mencintai perdamaian. Jika mereka memerangi kamu terlebih dahulu di tempat suci seperti Masjidilharam, maka perangilah mereka di tempat tersebut untuk membela diri dan kehormatan agama. Demikianlah balasan bagi orang kafir yang telah bertindak zalim.
Ayat ini adalah ayat Madaniyah yang termasuk ayat-ayat pertama yang memerintahkan kaum Muslimin untuk memerangi orang-orang musyrik, apabila kaum Muslimin mendapat serangan yang mendadak, meskipun serangan itu terjadi pada bulan-bulan haram, yaitu pada bulan Rajab, Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam, seperti dijelaskan pada ayat yang lalu.
Pada zaman jahiliah, bulan-bulan tersebut dianggap bulan larangan berperang. Larangan itu oleh Islam diakui, tetapi karena orang-orang musyrik melanggarnya terlebih dahulu, maka Allah ﷻ mengizinkan kaum Muslimin membalas serangan mereka.
Sebelum hijrah, tidak ada ayat yang membolehkan kaum Muslimin melakukan peperangan. Di kalangan mufasir pun tidak ada perselisihan pendapat, bahwa peperangan itu dilarang dalam agama Islam pada masa itu.
Ayat ini sampai dengan ayat 194, diturunkan pada waktu diadakan perdamaian Hudaibiah, yaitu perjanjian damai antara kaum musyrikin Mekah dan umat Islam dari Medinah. Perjanjian itu diadakan di salah satu tempat di jalan antara Jeddah dengan Mekah. Dahulu yang dinamakan Hudaibiah, ialah sumur/mata air yang terdapat di tempat itu. Peristiwa itu terjadi pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijri. Rasulullah ﷺ dengan para sahabatnya meninggalkan Medinah menuju Mekah untuk mengerjakan umrah. Setelah rombongan itu sampai di Hudaibiah, mereka dihalangi oleh orang-orang musyrik dan tidak boleh masuk ke Mekah, sehingga rombongan Rasulullah ﷺ terpaksa berada di Hudaibiah sampai satu bulan lamanya. Akhirnya diadakan perjanjian damai yang isinya antara lain sebagai berikut:
a. Rombongan Rasulullah ﷺ harus pulang kembali ke Medinah pada tahun itu.
b. Pada tahun berikutnya, yaitu tahun ketujuh Hijri, Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya diperkenankan memasuki kota Mekah, untuk mengerjakan umrah.
c. Di antara kaum musyrikin dan Muslimin tidak akan ada peperangan selama sepuluh tahun.
Pada tahun berikutnya, Rasulullah berangkat kembali ke Mekah dengan rombongannya untuk mengerjakan umrah, yang lazim disebut umrah qadha, karena pada tahun sebelumnya mereka tidak berhasil melakukannya. Pada waktu itu kaum Muslimin khawatir kalau-kalau kaum musyrikin melanggar janji perdamaian tersebut, sedang kaum Muslimin tidak senang berperang di tanah Haram (Mekah) apalagi di bulan Syawal, Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam, yang biasa disebut "bulan-bulan haram". Karena keadaan dan peristiwa yang demikian itulah maka ayat-ayat tersebut diturunkan.
Dalam ayat 190 ini Allah memerintahkan agar kaum Muslimin memerangi kaum musyrik yang memerangi mereka. Peperangan itu hendaklah bertujuan fi sabilillah (untuk meninggikan kalimah Allah dan menegakkan agama-Nya).
Perang yang disebut " fi sabilillah" adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim:
"Dari Abu Musa al-Asy'ary, bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berperang karena keberaniannya dan yang berperang karena sakit hati, atau yang berperang karena ingin mendapat pujian saja, manakah di antara mereka itu yang berperang di jalan Allah? Rasulullah menjawab, "Orang yang berperang untuk meninggikan kalimah Allah maka berperangnya itu fi sabilillah." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Dalam perang suci ini orang mukmin dilarang melanggar berbagai ketentuan, seperti membunuh anak-anak, orang lemah yang tidak berdaya, orang yang telah sangat tua, wanita-wanita yang tidak ikut berperang, orang yang telah menyerah kalah dan para pendeta, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
KEIZINAN BERPERANG MEMPERTAHANKAN DIRI
Ayat 190
“Dan perangilah pada jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas."
Dengan firman Allah yang demikian nyatalah bahwa mengerjakan ibadah umrah itu wajib diteruskan. Kepada mereka yang hendak mengerjakan ibadah itu diperintah siap sedia selalu. Diizinkan berperang kalau mereka diperangi. Artinya, kalau pihak lawan yang memulai. Datang ke Mekah hanya semata-mata buat beribadah. Akan tetapi, kalau disambut orang dengan senjata terhunus atau diam saja, tentu kita akan mati konyol. Seluruh hidup Muslim adalah dengan niat menegakkan jalan
“Sesungguhnya, Allah tidaklah suka kepada orang-orang yang melampaui batas."
Menurut riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu jarir, dan Ibnu Abi Hatim bahwa Ibnu Abbas menafsirkan bahwa janganlah kamu melanggar batas, yaitu jangan kamu membunuh perempuan-perempuan dan ka-nak-kanak dan orang-orang yang telah tua, dan jangan membunuh orang yang telah mengucapkan salam kepada kamu seketika mulai berjumpa, dan mereka tidak menentang kamu dengan senjata. Jikalau kamu berbuat begitu, niscaya kamu telah melanggar.
Ayat 191
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, dan keluarkanlah mereka sebagaimana mereka telah mengeluarkan kamu."
Tegaslah kalau perang yang mesti terjadi janganlah bersikap tanggung-tanggung; hantam terus! Bunuh, tikam, amuk, pendeknya segala apa yang dilakukan di dalam perang, hendaklah lakukan, jangan mengenal kasihan. Dan, karena kamu memegang keyakinan agama kamu, sekarang boleh balas, usir pula mereka; seret jadikan tawanan; “Dan fitnah adalah lebih ngeri daripada pembunuhan." Fitnah, hasutan, gangguan, dan siksaan yang sejak kamu memeluk Islam mereka timpakan ke atas dirimu sampai kamu terpaksa hijrah meninggalkan kampung halaman dan berbagai ancaman mereka fitnahi, sampai terjadi Perang Uhud, bahkan sampai mereka hambat naik umrah di Hudaibiyah, dan banyak lagi yang lain, semuanya itu jauh lebih ngeri dari pembunuhan. Lebih ngeri karena meninggalkan dendam yang berlarut-larut. Maka, kalau kamu bunuh mereka dalam perang itu, masihlah belum seberapa perbuatanmu itu dibandingkan dengan fitnah yang mereka sebarkan selama ini."Dan jangan kamu perangi mereka di Masjidil Haram, sehingga mereka perangi kamu padanya" Sejak dari zaman Nabi Ibrahim telah menjadi ikatan janji dari seluruh bangsa Arab bahwa kesucian Masjidil Haram harus dipertahankan bersama. Tidak boleh ada perkelahian dan peperangan di dalamnya pada khususnya dan Tanah Haram pada umumnya. Ini wajib dipegang teguh oleh kaum Muslimin. Akan tetapi, kalau mereka perangi kamu di situ, kamu pun boleh mempertahankan diri; tangkis serangan mereka dan bunuh mereka,
“Maka, jika Mereka perangi kamu maka bunuhlah Mereka. Demikianlah balasan untuk orang-orang yang kafir."
Dengan bunyi ayat di ujung itu bolehlah kita simpulkan bahwa jika kaum Muslimin mereka perangi juga dalam Masjidil Haram, hendaklah balaskan pula dan bunuh pula mereka. Sebab, merekalah yang melanggar peraturan, bukan kamu.
Ayat 192
“Tetapi jika Mereka berhenti maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, lagi Penyayang."
Artinya, kalau perbuatan yang sangat keji itu, yakni memerangi orang yang sedang dalam Masjidil Haram telah dibalas dan di hukum, lalu mereka hentikan perbuatan itu karena sudah merasai bagaimana kerasnya pukulan kaum Muslimin dan kaum Muslimin tidak boleh dipermain-mainkan, hendaklah penghukuman kepada mereka itu dihentikan. Sebab, balasan kaum Muslimin terhadap mereka atas perintah Tuhan hanyalah semata-mata untuk menghajar mereka. Kalau mereka telah jera, secara kesatnya kaum Muslimin tidak boleh menghajar mereka lagi. Tegakkanlah oleh kaum Muslimin sifat Allah Yang Pengampun dan Penyayang itu.
Namun, kalau mereka tidak mau juga berhenti, sedang yang memulai tadinya mereka maka kaum Muslimin wajib meneruskan menghajar mereka, sampai tunduk,
Ayat 193
“Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi, dan jadilah agama untuk Allah."
Sampai mereka tunduk betul-betul dan mengaku kalah, dan tidak berani lagi mengadakan fitnah sebab kekuatan mereka sudah habis. Pada waktu itu, agama pun tegak untuk Allah. Sebab itu, ditegaskan di terusan ayat, “Tetapi jika mereka telah berhenti," karena daya mereka telah habis, “Maka, tidak ada lagi permusuhan." Orang Islam tidak boleh lagi menghancurkan orang yang tidak berdaya,
“Kecuali atas orang-orang yang aniaya."
Yaitu, orang-orang yang masih saja melawan hendaklah hantam terus, sampai tidak berkutik lagi.