Ayat
Terjemahan Per Kata
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يُنفِقُونَ
(mereka) menafkahkan
فِي
di
ٱلسَّرَّآءِ
waktu senang
وَٱلضَّرَّآءِ
dan diwaktu susah
وَٱلۡكَٰظِمِينَ
dan orang-orang yang menahan
ٱلۡغَيۡظَ
kemarahan
وَٱلۡعَافِينَ
dan orang-orang yang memaafkan
عَنِ
dari
ٱلنَّاسِۗ
manusia/orang lain
وَٱللَّهُ
dan Allah
يُحِبُّ
Dia menyukai
ٱلۡمُحۡسِنِينَ
orang-orang yang berbuat kebaikan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يُنفِقُونَ
(mereka) menafkahkan
فِي
di
ٱلسَّرَّآءِ
waktu senang
وَٱلضَّرَّآءِ
dan diwaktu susah
وَٱلۡكَٰظِمِينَ
dan orang-orang yang menahan
ٱلۡغَيۡظَ
kemarahan
وَٱلۡعَافِينَ
dan orang-orang yang memaafkan
عَنِ
dari
ٱلنَّاسِۗ
manusia/orang lain
وَٱللَّهُ
dan Allah
يُحِبُّ
Dia menyukai
ٱلۡمُحۡسِنِينَ
orang-orang yang berbuat kebaikan
Terjemahan
(yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.
Tafsir
(Yaitu orang yang mengeluarkan nafkah) dalam menaati Allah (baik di waktu lapang maupun di waktu sempit dan yang dapat menahan amarahnya) hingga tidak melampiaskannya walaupun sebenarnya ia sanggup (dan yang memaafkan kesalahan manusia) yang melakukan keaniayaan kepadanya tanpa membalasnya (dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan) seperti pekerjaan-pekerjaan yang disebutkan itu dan akan memberi mereka balasan.
Tafsir Surat Ali-'Imran: 130-136
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.
Dan peliharalah diri kalian dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang kafir.
Dan taatilah Allah dan Rasul, agar kalian diberi rahmat.
Dan bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian dan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,
(Yaitu) orang-orang yang menginfakkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui.
Mereka itu balasannya adalah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya, dan itulah sebaik-baik pahala untuk orang-orang yang beramal.
Ayat 130
Allah ﷻ berfirman, melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin memberlakukan riba dan memakan riba yang berlipat ganda, seperti yang dahulu biasa mereka lakukan bila telah tiba masa pelunasan utang; maka penyelesaiannya adalah adakalanya si pengutang melunasi utangnya atau membayar bunga ribanya. Jika ia membayar, maka tidak ada masalah; tetapi jika ia tidak dapat membayar utangnya pada saat jatuh tempo, maka dia harus menambah bayarannya sebagai ganti dari penangguhan masa pelunasannya. Demikianlah seterusnya sepanjang tahun, adakalanya utang yang pada mulanya sedikit menjadi bertambah banyak dan berlipat-lipat dari utang yang sebenarnya.
Allah ﷻ juga memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk bertakwa, supaya mereka menjadi orang-orang yang beruntung dalam kehidupan di dunia ini dan di akhirat nanti.
Ayat 132
Selanjutnya Allah memperingatkan mereka agar mereka waspada terhadap siksa neraka. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Dan peliharalah diri kalian dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan taatilah Allah dan Rasul, agar kalian diberi rahmat.” (Ali Imran: 131-132)
Ayat 133
Selanjutnya Allah ﷻ menganjurkan mereka agar bersegera mengerjakan kebajikan dan berlomba untuk memperoleh derajat taqarrub (dekat dengan Allah). Untuk itu Allah ﷻ berfirman:
“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Tuhan kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imran: 133)
Seperti halnya neraka, disediakan untuk orang-orang yang kafir. Menurut satu pendapat, makna firman-Nya "Yang luasnya seluas langit dan bumi" untuk mengingatkan luas panjangnya seperti yang disebutkan dalam ayat lain yang menggambarkan tentang hamparan surga (permadaninya), yaitu melalui firman-Nya: “Di atas permadani yang bagian dalamnya dari sutra.” (Ar-Rahman: 54) Dengan kata lain, dapat Anda bayangkan bagaimana keindahan bagian luarnya?
Menurut pendapat lain, lebar surga itu sama dengan panjangnya, mengingat bentuk surga seperti kubah yang terletak di bawah Arasy. Sedangkan sesuatu yang berbentuk seperti kubah, yakni bulat, ukuran panjang dan lebarnya sama. Pendapat ini diperkuat oleh sebuah hadits shahih yang mengatakan: “Apabila kalian memohon kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya surga Firdaus, karena sesungguhnya Firdaus adalah bagian yang paling tinggi dari surga dan sekaligus pertengahannya. Darinya mengalir sungai-sungai surga, dan atap surga adalah Arasy Tuhan Yang Maha Pemurah.”
Makna yang dikandung ayat ini sama dengan ayat lain yang ada di dalam surat Al-Hadid, yaitu firman-Nya: “Berlomba-lombalah kalian kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi.” (Al-Hadid: 21), hingga akhir ayat.
Telah diriwayatkan kepada kami di dalam kitab Musnad Imam Ahmad, bahwa Heraklius pernah menulis surat kepada Nabi ﷺ yang isinya menyatakan, "Sesungguhnya engkau telah mengajakku untuk memperoleh surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Kalau demikian, di mana neraka?" Maka Nabi ﷺ menjawab dengan balik bertanya: “Subhanallah (Maha Suci Allah), di manakah malam bila siang hari tiba?”
Ibnu Jarir meriwayatkan juga, ia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Muslim ibnu Khalid, dari Abu Khaisamah, dari Sa'id ibnu Abu Rasyid, dari Ya'la ibnu Murrah yang menceritakan bahwa ia pernah bertemu dengan At-Tanukhi yang pernah menjadi utusan Heraklius kepada Rasulullah ﷺ di Himsa; dia telah berusia lanjut dan lemah sekali.
Ia berkata bahwa ia datang menghadap kepada Rasulullah ﷺ dengan membawa surat Heraklius. Lalu surat itu diterima oleh seorang lelaki yang ada di sebelah kiri beliau. At-Tanukhi melanjutkan kisahnya, lalu ia berkata, "Siapakah teman kalian yang akan membaca surat ini?" Mereka (para sahabat) menjawab, "Mu'awiyah." Ternyata isi surat Heraklius mengatakan, "Sesungguhnya engkau telah berkirim surat kepadaku, yang isinya engkau menyeruku untuk memperoleh surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Kalau begitu, di manakah nerakanya?" At-Tanukhi melanjutkan kisahnya, bahwa Rasulullah ﷺ menjawab dengan balik bertanya: Maha Suci Allah, di manakah malam hari bila siang hari datang?
Al-A'masy, Sufyan Ats-Tsauri, dan Syu'bah meriwayatkan dari Qais ibnu Muslim, dari Tariq ibnu Syihab yang menceritakan bahwa segolongan orang-orang Yahudi pernah bertanya kepada Khalifah Umar ibnul Khattab tentang surga yang luasnya seluas langit dan bumi, lalu di manakah neraka? Maka Umar menjawab mereka, "Bagaimanakah pendapat kalian bila siang hari datang, di manakah malam hari? Bilamana malam hari datang, di manakah siang hari?" Mereka menjawab, "Sesungguhnya engkau telah mengutip hal yang serupa dari kitab Taurat." Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui tiga jalur.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Jafar ibnu Barqan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnul Asam, bahwa seorang lelaki dari kalangan Ahli Kitab mengatakan, "Mereka mengatakan bahwa surga itu luasnya seluas langit dan bumi, maka di manakah neraka?" Maka Ibnu Abbas menjawab, "Di manakah malam hari bila siang hari tiba? Di manakah siang hari bila malam hari tiba?" Hal ini diriwayatkan pula secara marfu.
Untuk itu Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ma'mar, telah menceritakan kepada kami Al-Mugirah ibnu Salamah Abu Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid ibnu Ziyad, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnul Asam, dari pamannya (yaitu Yazid ibnul Asam), dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu mengatakan, "Bagaimanakah pendapatmu mengenai firman-Nya: 'Dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi’ (Ali imran: 133) Maka di manakah neraka?" Nabi ﷺ menjawab: "Bagaimanakah menurutmu apabila malam tiba menyelimuti segala sesuatu, di manakah siang harinya?" Lelaki itu menjawab, "Di suatu tempat yang dikehendaki oleh Allah." Maka Nabi ﷺ bersabda, "Demikian pula neraka, ia berada di suatu tempat yang dikehendaki oleh Allah ﷻ"
Hadits ini mempunyai dua makna, yaitu: Pertama, yang dimaksud ialah bahwa ketidakmampuan kita menyaksikan malam hari bila siang hari tiba bukan berarti malam itu tidak ada di suatu tempat, sekalipun kita tidak mengetahuinya. Demikian pula neraka, ia berada di suatu tempat yang dikehendaki oleh Allah ﷻ. Pengertian ini lebih jelas, seperti yang dikemukakan oleh hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar tadi.
Kedua, berarti bahwa siang hari apabila menyinari alam dari suatu belahan, maka malam hari berada di belahan lainnya. Demikian pula halnya surga, ia berada di tempat yang paling atas di atas langit di bawah Arasy, yang luasnya adalah seperti yang diungkapkan di dalam firman-Nya: “Seluas langit dan bumi.” (Al-Hadid: 21) Sedangkan neraka berada di tempat yang paling bawah. Dengan demikian, berarti tidaklah bertentangan antara pengertian luasnya surga yang seluas langit dan bumi dengan keberadaan neraka.
Ayat 134
Kemudian Allah ﷻ menyebutkan sifat ahli surga melalui firman-Nya:
“Yaitu) orang-orang yang menginfakkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit.” (Ali Imran: 134)
Yakni dalam keadaan susah dan dalam keadaan makmur, dalam keadaan suka dan dalam keadaan duka, dalam keadaan sehat dan juga dalam keadaan sakit. Dengan kata lain, mereka rajin berinfak dalam semua keadaan. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara sembunyi dan terang-terangan.” (Al-Baqarah: 274) Makna yang dimaksud ialah bahwa mereka tidak kendur dan lupa oleh suatu urusan pun dalam menjalankan ketaatan kepada Allah ﷻ. Mereka membelanjakan harta untuk keridaan-Nya serta berbuat baik kepada sesamanya dari kalangan kaum kerabatnya dan orang-orang lain dengan berbagai macam kebajikan.
Firman Allah ﷻ: “Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.” (Ali Imran: 134)
Dengan kata lain, apabila mereka emosi, maka mereka menahannya (yakni memendamnya dan tidak mengeluarkannya); selain itu mereka memaafkan orang-orang yang berbuat jahat kepada mereka. Disebutkan dalam sebagian atsar yang mengatakan: “Allah ﷻ berfirman, ‘Wahai anak Adam, ingatlah kepada-Ku jika kamu marah, niscaya Aku mengingatmu bila Aku sedang murka kepadamu. Karena itu, Aku tidak akan membinasakanmu bersama orang-orang yang Aku binasakan’.” Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Abu Ya'la mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Abu Musa Az-Zamin, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Syu'aib Ad-Darir (yaitu Abul Fadl), telah menceritakan kepadaku Ar-Rabi' ibnu Sulaiman, An-Numairi, dari Abu Amr ibnu Anas ibnu Malik, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang mengekang amarahnya, maka Allah menahan siksa-Nya terhadapnya. Dan barang siapa yang mengekang lisannya, maka Allah menutupi auratnya. Dan barang siapa yang meminta maaf kepada Allah, maka Allah menerima permintaan maafnya.” Hadits ini garib, dan di dalam sanadnya terdapat hal yang masih perlu dipertanyakan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Malik, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Orang yang kuat itu bukanlah karena ia jago gulat, tetapi orang kuat ialah orang yang dapat menahan dirinya di kala sedang marah.” Syaikhain meriwayatkan hadits ini melalui hadits Malik.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Ibrahim At-Taimi, dari Al-Haris ibnu Suwaid, dari Abdullah (yakni Ibnu Mas'ud ) yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: "Siapakah di antara kalian yang harta warisnya lebih disukai olehnya daripada hartanya sendiri?" Mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, tiada seorang pun di antara kami melainkan hartanya sendiri lebih disukainya daripada harta warisnya." Rasulullah ﷺ bersabda, "Ketahuilah oleh kalian, bahwa tiada seorang pun di antara kalian melainkan harta warisnya lebih disukai olehnya daripada hartanya sendiri. Tiada bagianmu dari hartamu kecuali apa yang kamu infakkan, dan tiada bagimu harta warismu kecuali apa yang kamu tangguhkan (tidak kamu infakkan)."
Rasulullah ﷺ pernah pula bersabda: "Bagaimanakah menurut penilaian kalian orang yang kuat di antara kalian?" Kami menjawab, "Orang yang tidak terkalahkan oleh banyak lelaki." Nabi ﷺ bersabda, "Bukan, tetapi orang yang kuat itu ialah orang yang dapat menahan dirinya di kala sedang marah." "Tahukah kalian apakah yang dimaksud dengan ar-raqub (orang yang mandul) ?" Kami menjawab, "Orang yang tidak mempunyai anak." Nabi ﷺ bersabda, "Bukan, tetapi ar-raqub ialah orang yang tidak mendapatkan manfaat apa pun dari anaknya." Imam Al-Bukhari mengetengahkan hadits tersebut pada bagian pertamanya, sedangkan Imam Muslim mengetengahkannya melalui riwayat Al-A'masy.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, aku mendengar Urwah ibnu Abdullah Al-Ju'fi menceritakan dari Abu Hasbah atau ibnu Abu Husain, dari seorang laki-laki yang menyaksikan Nabi ﷺ berkhotbah. Maka beliau bersabda: "Tahukah kalian apakah yang dimaksud dengan ar-raqub?" Kami menjawab, "Orang yang tidak mempunyai anak." Nabi ﷺ bersabda, "Ar-raqub yang sesungguhnya ialah orang yang mempunyai anak, lalu ia mati, sedangkan dia belum mendapatkan manfaat sedikit pun dari anaknya. Tahukah kalian, siapakah sa'luk itu?" Mereka menjawab, "Orang yang tidak berharta." Nabi ﷺ bersabda, "Sa'luk yang sesungguhnya ialah orang yang berharta, lalu ia mati, sedangkan dia belum memanfaatkan barang sedikit pun dari hartanya itu." Kemudian dalam kesempatan lain Nabi ﷺ bersabda: "Apakah arti jagoan itu?" Mereka menjawab, "Seseorang yang tidak terkalahkan oleh banyak lelaki." Maka Nabi ﷺ bersabda, "Orang yang benar-benar jagoan adalah orang yang sedang marah, lalu marahnya itu memuncak hingga wajahnya memerah dan semua rambutnya berdiri, lalu ia dapat mengalahkan kemarahannya."
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, telah menceritakan kepada kami Hisyam (yaitu Ibnu Urwah), dari ayahnya, dari Al-Ahnaf ibnu Qais, dari salah seorang pamannya yang dikenal dengan nama Harisah ibnu Qudamah As-Sa'di yang menceritakan hadits berikut: Bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku suatu nasihat yang bermanfaat bagi diriku, tetapi jangan banyak-banyak agar aku selalu mengingatnya." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Kamu jangan marah." Ia mengulangi pertanyaannya kepada Nabi ﷺ berkali-kali, tetapi semuanya itu dijawab oleh Nabi ﷺ dengan kalimat, "Kamu jangan marah."
Hal yang sama diriwayatkan dari Abu Mu'awiyah, dari Hisyam dengan lafal yang sama. Ia meriwayatkan pula dari Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan, dari Hisyam dengan lafal yang sama yang isinya adalah seperti berikut: Bahwa seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, berilah aku suatu nasihat, tetapi jangan terlalu banyak, barangkali saja aku selalu mengingatnya." Nabi ﷺ bersabda, "Kamu jangan marah." Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri.
Hadits lain diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, dari seorang lelaki dari kalangan sahabat Nabi ﷺ yang menceritakan: Seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, berwasiatlah untukku." Nabi ﷺ menjawab, "Kamu jangan marah." Lelaki itu melanjutkan kisahnya, "Maka setelah kurenungkan apa yang telah disabdakan oleh Nabi ﷺ tadi, aku berkesimpulan bahwa marah itu menghimpun semua perbuatan jahat." Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Abu Hindun, dari Abu Harb ibnu Abul Aswad, dari Abul Aswad, dari Abu Dzar yang menceritakan bahwa ketika ia hendak mengambil air dari sumurnya, tiba-tiba datanglah suatu kaum, lalu mereka berkata, "Siapakah di antara kalian yang mau mengambilkan air buat (minum ternak) Abu Dzar dan menghitung beberapa helai rambut dari kepalanya?" Kemudian ada seorang lelaki berkata, "Saya," lalu lelaki itu menggiring ternak kambing milik Abu Dzar ke sumur tersebut (untuk diberi minum).
Pada mulanya Abu Dzar berdiri, lalu duduk, kemudian berbaring. Ketika ditanyakan kepadanya, "Wahai Abu Dzar, mengapa engkau duduk, lalu berbaring?" Maka Abu Dzar menjawab, "Sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepada kami (para sahabat): 'Apabila seseorang di antara kalian marah, sedangkan ia dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk hingga marahnya hilang. Apabila marahnya masih belum hilang, hendaklah ia berbaring." Imam Abu Dawud meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Hambal berikut sanadnya. Hanya di dalam riwayatnya disebutkan dari Abu Harb, dari Abu Dzar, padahal yang benar adalah Ibnu Abu Harb, dari ayahnya, dari Abu Dzar, seperti yang disebutkan di dalam riwayat Abdullah ibnu Ahmad dari ayahnya.
Hadits lain. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Wail As-San'ani yang mengatakan, "Ketika kami sedang berada di dalam majelis Urwah ibnu Muhammad, tiba-tiba masuk menemuinya seorang lelaki dan lelaki itu berbicara kepadanya tentang suatu pembicaraan yang membuat Urwah marah. Ketika Urwah marah, maka ia pergi, lalu kembali lagi menemui kami dalam keadaan telah berwudu.
Kemudian ia mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku ayahku di hadapan kakekku (yaitu Atiyyah ibnu Sa'd As-Sa'di) yang berpredikat sebagai sahabat, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: 'Sesungguhnya marah itu perbuatan setan, dan setan itu diciptakan dari api, dan sesungguhnya api itu hanya dapat dipadamkan dengan air. Karena itu, apabila seseorang di antara kalian marah, hendaklah ia berwudu'." Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud melalui hadits Ibrahim ibnu Khalid As-San'ani, dari Abu Wail Al-Oas Al-Muradi As-San'ani. Imam Abu Dawud mengatakan bahwa Abu Wail ini adalah Abdullah ibnu Buhair.
Hadits lain. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Nuh ibnu Mu'awiyah As-Sulami, dari Muqatil ibnu Hayyan, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang yang sedang kesulitan atau memaafkan (utang)nya, niscaya Allah memelihara dirinya dari panasnya neraka Jahannam. Ingatlah, sesungguhnya amal surga itu bagaikan tanah licin yang ada di bukit, berat penuh rintangan (ucapan ini diulang sebanyak tiga kali). Ingatlah, sesungguhnya amal neraka itu bagaikan tanah yang mudah dilalui yang berada di tanah datar. Orang yang berbahagia ialah orang yang dipelihara dari segala fitnah. Dan tiada suatu regukan pun yang lebih disukai oleh Allah selain dari regukan amarah yang ditelan oleh seseorang hamba; tidak sekali-kali seorang hamba Allah mereguk amarahnya karena Allah, melainkan Allah memenuhi rongganya dengan iman.” Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri, sanadnya hasan; tiada seorang perawi pun yang mempunyai kelemahan di dalamnya, dan matannya hasan pula.
Hadits lain yang semakna dengannya. Imam Abu Dawud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Uqbah ibnu Makram, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman (yakni Ibnu Mahdi), dari Bisyr (yakni Ibnu Mansur), dari Muhammad ibnu Ajlan, dari Suwaid ibnu Wahb, dari seorang lelaki anak seorang sahabat Rasulullah ﷺ, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang menahan amarah, sedangkan dia mampu mengeluarkannya, maka Allah memenuhi rongganya dengan keamanan dan iman. Dan barang siapa yang meninggalkan pakaian keindahan, sedangkan dia mampu mengadakannya” - Bisyr menduga bahwa Muhammad ibnu Ajlan mengatakan karena tawadu (rendah hati) - “maka Allah memakaikan kepadanya pakaian kehormatan. Dan barang siapa memakai mahkota karena Allah, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya mahkota seorang raja.”
Hadits lain. Imam Ahma'd mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa'id, telah menceritakan kepadaku Abu Marhum, dari Sahl ibnu Mu'az ibnu Anas, dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa menahan amarah, sedangkan dia mampu untuk melaksanakannya, maka Allah kelak akan memanggilnya di mata semua makhluk, hingga Allah menyuruhnya memilih bidadari manakah yang disukainya.”
Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadits Sa'id ibnu Abu Ayyub dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa predikat hadits ini hasan garib.
Hadits lain, diriwayatkan oleh Abdur Razzaq. telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Qais, dari Yazid ibnu Aslam, dari seorang lelaki dari kalangan ulama Syam yang dikenal dengan nama Abdul Jalil, dari seorang pamannya, dari Abu Hurairah sehubungan dengan firman-Nya: “Dan orang-orang yang menahan amarahnya.” (Ali Imran: 134) Bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa menahan amarahnya, sedangkan dia mampu melaksanakannya, niscaya Allah memenuhi rongga dadanya dengan keamanan dan keimanan.”
Hadits lain. Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan bahwa Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ziyad telah menceritakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Thalib, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu ‘Ashim, telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Ubaid, dari Al-Hasan, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tiada suatu regukan pun yang ditelan oleh seorang hamba dengan pahala yang lebih utama selain dari regukan amarah yang ditelan olehnya karena mengharapkan rida Allah.”
Hadits diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Bisyr ibnu Umar, dari Hammad ibnu Salamah, dari Yunus ibnu Ubaid dengan lafal yang sama.
Firman Allah ﷻ: “Dan orang-orang yang menahan amarahnya.” (Ali Imran: 134)
Yakni mereka tidak melampiaskan kemarahannya kepada orang lain, melainkan mencegah dirinya agar tidak menyakiti orang lain, dan ia lakukan hal tersebut demi mengharapkan pahala Allah ﷻ.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Dan memaafkan (kesalahan) orang lain.” (Ali Imran: 134)
Yaitu selain menahan diri, tidak melampiaskan kemarahannya, mereka juga memaafkan orang yang telah berbuat zalim terhadap dirinya, sehingga tiada suatu uneg-uneg pun yang ada dalam hati mereka terhadap seseorang. Hal ini merupakan akhlak yang paling sempurna. Karena itulah dalam akhir ayat ini disebutkan:
“Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran: 134)
Hal yang disebutkan di atas merupakan salah satu dari kebajikan.
Di dalam sebuah hadits disebutkan seperti berikut: “Ada tiga perkara yang aku berani bersumpah untuknya; tiada harta yang berkurang karena sedekah, dan tidak sekali-kali Allah menambahkan kepada seorang hamba yang pemaaf melainkan hanya keagungan; serta barang siapa yang merendahkan dirinya karena Allah, niscaya Allah mengangkat (kedudukan)nya.”
Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya meriwayatkan melalui hadits Musa ibnu Uqbah, dari Ishaq ibnu Yahya ibnu Abu Talhah Al-Qurasyi, dari Ubadah ibnus Samit, dari Ubay ibnu Ka'b, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang menginginkan (dibuatkan) bangunan untuknya di surga; dimuliakan, dan derajat (pahala)nya ditinggikan, hendaklah ia memaafkan orang yang berbuat zalim kepadanya, memberi kepada orang yang kikir terhadap dirinya, dan bersilaturahmi kepada orang yang memutuskannya.” Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan hadits yang semakna melalui hadits Ali, Ka'b ibnu Ujrah, dan Abu Hurairah serta Ummu Salamah.
Telah diriwayatkan melalui Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Apabila hari kiamat terjadi, maka ada seruan yang memanggil, ‘Di manakah orang-orang yang suka memaafkan orang lain? Kemarilah kalian kepada Tuhan kalian dan ambillah pahala kalian!’ Dan sudah seharusnya bagi setiap orang muslim masuk surga bila ia suka memaafkan (orang lain).”
Ayat 135
Firman Allah ﷻ: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.” (Ali Imran: 135)
Yakni apabila mereka melakukan suatu dosa, maka mereka mengiringinya dengan tobat dan istigfar (memohon ampun kepada Allah).
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Hammam ibnu Yahya, dari Ishaq ibnu Abdullah ibnu Abu Talhah, dari Abdur Rahman ibnu Abu Amrah, dari Abu Hurairah , dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Sesungguhnya ada seorang lelaki melakukan suatu dosa, lalu ia berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah melakukan suatu dosa, maka berikanlah ampunan bagiku atas dosa itu’." Maka Allah ﷻ berfirman, "Hamba-Ku telah melakukan suatu dosa, lalu ia mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa dan yang menghukumnya, sekarang Aku memberikan ampunan kepada hamba-Ku." Kemudian si hamba melakukan dosa yang lain, dan mengatakan, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah melakukan dosa lain, maka ampunilah dosa(ku) itu." Allah ﷻ berfirman, "Hamba-Ku mengetahui bahwa dirinya mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa dan yang menghukumnya. Sekarang Aku mengampuni hamba-Ku." Kemudian si hamba melakukan dosa lagi dan berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah melakukan suatu dosa, maka ampunilah dosaku." Allah ﷻ berfirman, "Hamba-Ku mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa dan yang menghukumnya, sekarang Aku memberikan ampunan kepada hamba-Ku." Kemudian si hamba melakukan dosa yang lain, dan mengatakan, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah melakukan dosa lain, maka ampunilah dosa(ku) itu." Allah ﷻ berfirman, "Hamba-Ku mengetahui bahwa dirinya mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa dan yang menghukumnya. Persaksikanlah oleh kalian (wahai para malaikat) bahwa Aku telah mengampuni hamba-Ku, maka ia boleh berbuat semua apa yang dikehendakinya." Di dalam kitab Shahihain hadits ini diketengahkan melalui jalur Ishaq ibnu Abu Talhah dengan lafal yang serupa.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abun Nadr dan Abu Amir; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zuhair, telah menceritakan kepada kami Sa'd At-Ta-i, telah menceritakan kepada kami Abul Mudallah maula Ummul Mukminin yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah menceritakan hadits berikut, bahwa kami (para sahabat) pernah berkata, "Wahai Rasulullah, apabila kami melihatmu, maka hati kami terasa sejuk dan kami menjadi orang-orang yang ahli akhirat. Tetapi apabila kami berpisah dengan engkau, maka kami mengagumi duniawi dan mencium istri-istri dan anak-anak kami." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: "Seandainya kalian dalam semua keadaan seperti keadaan kalian bila berada di hadapanku, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian dengan telapak tangan mereka dan niscaya mereka mengunjungi kalian di rumah-rumah kalian. Dan seandainya kalian tidak melakukan dosa, niscaya Allah akan mendatangkan suatu kaum yang berdosa agar Dia mengampuni mereka." Kami berkata lagi, "Wahai Rasulullah, ceritakanlah kepada kami tentang surga, terbuat dari apakah bangunannya?" Nabi ﷺ menjawab: “Bata emas dan bata perak, sedangkan plesterannya dari minyak kesturi azfar, batu kerikilnya dari mutiara dan yaqut, dan pasir-nya adalah minyak za'faran. Barang siapa yang memasukinya selalu dalam kenikmatan dan tidak akan susah; dan kekal, tidak akan mati. Pakaiannya tidak akan rusak dan kemudaannya tidak akan pudar. Ada tiga orang yang doanya tidak ditolak, yaitu imam yang adil, orang yang puasa hingga berbuka, dan doa orang yang teraniaya dibawa ke atas dan dibukakan baginya semua pintu langit, lalu Tuhan berfirman kepadanya, ‘Demi Keagungan-Ku, Aku benar-benar akan menolongmu, sekalipun nanti sesudah beberapa waktu’."
Imam At-Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur lain dari hadits Sa'd dengan lafal yang sama.
Ditekankan berwudu dan shalat dua rakaat di kala hendak bertobat berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal: Telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Mis'ar dan Sufyan Ats-Tsauri, dari Usman ibnul Mugirah As-Saqafi, dari Ali ibnu Rabi'ah, dari Asma ibnul Hakam Al-Fazzari, dari Ali yang mengatakan bahwa apabila ia mendengar sebuah hadits dari Rasulullah ﷺ, maka Allah memberikan manfaat kepadanya melalui hadits ini menurut apa yang dikehendaki oleh Allah. Apabila ada orang lain yang menceritakan sebuah hadits kepadanya, maka terlebih dahulu ia menyuruh orang itu bersumpah atas kebenaran hadisnya. Apabila orang yang bersangkutan mau bersumpah kepadanya, barulah ia percaya. Sesungguhnya sahabat Abu Bakar pernah menceritakan hadits kepadanya, tetapi Abu Bakar adalah orang yang siddiq (yakni tidak perlu diminta bersumpah lagi). Ia menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak sekali-kali seorang lelaki berbuat suatu dosa, lalu ia berwudu dan melakukan wudunya dengan baik - menurut Mis'ar disebutkan lalu ia shalat; sedangkan menurut Sufyan disebutkan lalu ia shalat sebanyak dua rakaat - dan meminta ampun kepada Allah ﷻ, melainkan Allah pasti memberikan ampun baginya.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ali ibnul Madini, Al-Humaidi, Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, ahlus sunan dan ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya, Al-Bazzar dan Ad-Daruqutni melalui berbagai jalur dari Usman ibnul Mugirah dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Kami menyebutkan jalur-jalurnya dan keterangan mengenainya secara rinci di dalam Musnad Abu Bakar As-Siddiq. Secara garis besar hadits ini berpredikat hasan. Hadits ini merupakan salah satu di antara hadits riwayat Amirul Mukminin Ali ibnu Abu Thalib, dari Khalifah Abu Bakar.
Termasuk di antara bukti yang membenarkan hadits ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya melalui Amirul Mukminin Umar ibnul Khattab r.a dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Tidak sekali-kali seseorang di antara kalian melakukan wudu, lalu ia membaguskan atau merapikan wudunya dengan baik, kemudian mengucapkan, ‘Asyhadu alla ilaha illallahu wahdahu la syarika lahu wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh’ (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya), melainkan dibukakan untuknya semua pintu surga yang delapan buah, ia boleh memasukinya dari pintu mana pun yang dikehendakinya.”
Di dalam kitab Shahihain disebutkan dari Amirul Mukminin Usman ibnu Affan , bahwa ia melakukan wudu untuk mereka seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi ﷺ. Kemudian ia mengatakan bahwa dirinya pernah mendengar Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa melakukan wudhu seperti wudhuku ini, lalu shalat dua rakaat, yang di dalamnya ia tidak berbicara kepada dirinya sendiri, niscaya Allah memberikan ampunan baginya atas semua dosanya yang terdahulu.” Hadits ini terbukti melalui riwayat empat orang Imam dan Khulafaur Rasyidin, dari Rasulullah ﷺ, seperti yang telah ditunjukkan oleh Al-Qur'an yang mengatakan bahwa memohon ampun kepada Allah dari perbuatan dosa bermanfaat bagi orang-orang yang berdosa.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Sabit, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan, telah sampai kepadanya bahwa iblis menangis ketika ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.” (Ali Imran: 135), hingga akhir ayat.
Al-Hafidzh Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muharriz ibnu Aun, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Matar, telah menceritakan kepada kami Abdul Gafur, dari Abu Nadrah, dari Abu Raja, dari Abu Bakar , dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Berpeganglah kalian kepada kalimat La Ilaha Illallah dan istigfar, perbanyaklah oleh kalian dalam membaca keduanya. Karena sesungguhnya iblis mengatakan, ‘Aku binasakan manusia dengan dosa-dosa, dan mereka membinasakan diriku dengan La Ilaha Illallah dan istigfar. Setelah aku melihat hal tersebut, maka aku binasakan mereka dengan hawa nafsu, sedangkan mereka menduga bahwa diri mereka diberi petunjuk’." Usman ibnu Matar dan gurunya, kedua-duanya dha’if (haditsnya lemah).
Imam Ahmad meriwayatkan di dalam kitab musnadnya melalui jalur Amr ibnu Abu Amr dan Abul Haisam Al-Atwari, dari Abu Sa'id, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, demi keagungan-Mu, aku akan terus-menerus menyesatkan anak Adam selagi roh berada di dalam tubuh mereka’." Maka Allah ﷻ ber-firman, "Demi Keagungan dan Kebesaran-Ku, Aku terus-menerus memberikan ampunan bagi mereka selagi mereka memohon ampun kepada-Ku."
Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Khalifah; ia pernah mendengar Abu Badar menceritakan hadits berikut dari Sabit, dari Anas, bahwa ada seorang lelaki datang, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah melakukan suatu dosa." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: "Apabila kamu berbuat dosa, maka memohon ampunlah kepada Tuhanmu." Lelaki itu berkata, "Sesungguhnya aku telah memohon ampun, kemudian sesudah itu aku kembali melakukan dosa." Nabi ﷺ bersabda, "Apabila kamu berbuat dosa lagi, maka ulangilah istigfarmu kepada Tuhanmu." Lelaki itu mengulangi lagi pertanyaannya untuk keempat kalinya, dan Nabi ﷺ bersabda, "Minta ampunlah kepada Tuhanmu, hingga setan kecewa." Hadits ini bila ditinjau dari jalur ini berpredikat garib (aneh).
Firman Allah ﷻ: “Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari Allah?” (Ali Imran: 135)
Artinya, tiada seorang pun yang dapat memberikan ampun atas perbuatan dosa selain Allah ﷻ. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Mus'ab, telah menceritakan kepada kami Salam ibnu Miskin dan Al-Mubarak, dari Al-Aswad ibnu Sari': Bahwa pernah dihadapkan kepada Nabi ﷺ seorang tawanan, lalu tawanan itu berkata, "Ya Allah, sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu dan tidak akan bertobat kepada Muhammad." Maka Nabi ﷺ bersabda, "Berikanlah hak itu kepada pemiliknya (yakni Allah)."
Firman Allah ﷻ: “Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui.” (Ali Imran: 135)
Yakni mereka bertobat kepada Allah dari perbuatan dosa mereka dalam waktu yang dekat, dan tidak melanjutkan perbuatan maksiat, tidak menetapinya, tidak pula menjadikannya sebagai langganan (kebiasaan). Seandainya mereka mengulangi perbuatan dosanya, maka dengan segera mereka bertobat dari perbuatannya itu kepada Allah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Hafidzh Abu Ya'la Al-Mausuli di dalam kitab musnadnya. Dia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Israil dan lain-lainnya yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Yahya Abdul Hamid Al-Hamani, dari Usman ibnu Waqid, dari Abu Nadrah, dari maula Abu Bakar, dari Abu Bakar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Bukan dinamakan orang yang menetapi dosa seseorang yang memohon ampun (kepada Allah), sekalipun ia mengulangi dosanya dalam sehari sebanyak tujuh puluh kali.”
Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan Al-Bazzar di dalam kitab musnadnya telah meriwayatkannya melalui hadits Usman ibnu Waqid. Usman ibnu Waqid dinilai tsiqah (bisa dipercaya) oleh Yahya ibnu Mu'in dengan lafal yang sama. Guru Usman ibnu Waqid adalah Abu Nasr Al-Muqasiti yang nama aslinya adalah Salim ibnu Ubaid; ia dinilai tsiqah oleh Imam Ahmad dan Ibnu Hibban.
Ali ibnul Madini dan Imam At-Tirmidzi berpendapat bahwa predikat sanad hadits ini tidaklah seperti yang dikatakan mereka. Pendapat ini muncul karena tidak dikenalnya maula Abu Bakar. Tetapi ketidakjelasan orang seperti dia tidak menjadikan hambatan, mengingat dia adalah seorang tabi'in yang besar. Sudah dinilai cukup hanya dengan menisbatkan (mengaitkan)nya kepada Abu Bakar. Dengan demikian, berarti hadits ini adalah hasan.
Firman Allah ﷻ: “Sedangkan mereka mengetahui.” (Ali lmran: 135)
Mujahid dan Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sedangkan mereka mengetahui.” (Ali lmran: 135) Yakni barang siapa yang bertobat, maka Allah menerima tobatnya. Ayat ini semakna dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:
“Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya?” (At-Taubah: 104)
“Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menzalimi dirinya sendiri, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(An-Nisa: 110)
Ayat-ayat lain yang semakna cukup banyak jumlahnya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Jarir, telah menceritakan kepada kami Hibban (yaitu Ibnu Zaid Asy-Syar'i), dari Abdullah ibnu Amr, dari Nabi ﷺ yang pernah bersabda ketika berada di atas mimbarnya: “Berbelas kasihanlah kalian, niscaya kalian dibelas kasihani; dan jadilah kalian orang-orang yang pemaaf, niscaya kalian dimaafkan. Celakalah orang-orang yang suka berkata kasar; dan celakalah orang-orang yang menetapi perbuatan dosa mereka, sedangkan mereka mengetahui.” Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri.
Ayat 136
Kemudian Allah ﷻ berfirman sesudah menggambarkan perihal mereka yang telah disebutkan sifat-sifatnya, yaitu:
“Mereka itu balasannya adalah ampunan dari Tuhan mereka.” (Ali Imran: 136) Yaitu balasan mereka karena menyandang sifat-sifat tersebut adalah ampunan dari Tuhan mereka.
“Dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai.” (Ali Imran: 136)
Yakni berbagai macam minuman.
“Sedangkan mereka kekal di dalamnya.” (Ali Imran: 136)
Maksudnya, menetap di dalam surga untuk selama-lamanya.
“Dan itulah sebaik-baik pahala untuk orang-orang yang beramal.” (Ali Imran: 136)
Allah ﷻ memuji keindahan surga dan semua kenikmatan yang ada di dalamnya.
Mereka adalah orang yang terus-menerus berinfak di jalan Allah, baik di waktu lapang, mempunyai kelebihan harta setelah kebutuhannya terpenuhi, maupun sempit, yaitu tidak memiliki kelebihan, dan orangorang yang menahan amarahnya akibat faktor apa pun yang memancing kemarahan dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan akan sangat terpuji orang yang mampu berbuat baik terhadap orang yang pernah berbuat salah atau jahat kepadanya, karena Allah mencintai, melimpahkan rahmat-Nya tiada henti kepada orang yang berbuat kebaikan. Pesan-pesan yang mirip dengan kandungan ayat ini disampaikan pula melalui Surah an-Nahl/16: 126; asy-Syura'/42: 40 dan 43Setelah Allah menjelaskan sikap penghuni surga ketika menghadapi orang lain, maka Dia menjelaskan sikap mereka terhadap diri sendiri. Mereka adalah orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji, yaitu dosa besar yang akibatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, pembunuhan, dan riba, atau menzalimi diri sendiri dalam bentuk pelanggaran apa pun yang akibatnya hanya pada pelaku saja, baik dosa tersebut dilakukan dengan sengaja atau tidak, maka segera mengingat Allah dan bertobat, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya. Sungguh Allah Maha Pengampun, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah' Dan setelah bertobat mereka tidak meneruskan atau mengulangi perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui dan menyadari akibat buruk dari perbuatan dosa dan menyadarkan mereka untuk segera bertobat.
Ayat ini langsung menjelaskan sifat-sifat orang yang bertakwa, yaitu: Pertama: Orang yang selalu menafkahkan hartanya baik dalam keadaan berkecukupan maupun dalam keadaan kesempitan (miskin), sesuai dengan kesanggupannya. Menafkahkan harta itu tidak diharuskan dalam jumlah yang ditentukan sehingga ada kesempatan bagi si miskin untuk memberi nafkah. Bersedekah boleh saja dengan barang atau uang yang sedikit nilainya, karena itulah apa yang dapat diberikan tetap akan memperoleh pahala dari Allah ﷻ
Diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mukminin bahwa dia bersedekah dengan sebiji anggur, dan di antara sahabat-sahabat Nabi ada yang bersedekah dengan sebiji bawang. Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"Peliharalah dirimu dari api neraka meskipun dengan menyedekahkan sepotong kurma, dan perkenankalah permintaan seorang peminta walaupun dengan memberikan sepotong kuku hewan yang dibakar." (Riwayat Ahmad dalam Musnad-nya). )
Bagi orang kaya dan berkelapangan tentulah sedekah dan dermanya harus disesuaikan dengan kesanggupan. Sungguh amat janggal bahkan memalukan bila seorang yang berlimpah-limpah kekayaannya hanya memberikan derma dan sedekah sama banyaknya dengan pemberian orang miskin. Ini menunjukkan bahwa kesadaran bernafkah belum tertanam di dalam hatinya. Allah berfirman:
Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan. (ath-thalaq/65:7).
Sifat kikir yang tertanam dalam hati manusia hendaklah diberantas dengan segala macam cara dan usaha, karena sifat ini adalah musuh masyarakat nomor satu. Tak ada satu umat pun yang dapat maju dan hidup berbahagia kalau sifat kikir ini merajalela pada umat itu. Sifat kikir bertentangan dengan perikemanusiaan.
Oleh sebab itu Allah memerintahkan untuk menafkahkan dan menjelaskan bahwa harta yang ditunaikan zakatnya dan didermakan sebagiannya, tidak akan berkurang bahkan akan bertambah. Firman Allah:
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah (al-Baqarah/2:276).
Imam Gazali menjelaskan bahwa memerangi suatu sifat yang buruk haruslah dengan membiasakan diri melawan sifat itu. Jadi kalau orang akan memberantas sifat kikir dalam dirinya hendaklah dia membiasakan berderma dan memberi pertolongan kepada orang lain. Dengan membiasakan diri akan hilanglah sifat kikirnya dengan berangsur-angsur.
Kedua: Orang yang menahan amarahnya. Biasanya orang yang memperturutkan rasa amarahnya tidak dapat mengendalikan akal pikirannya dan ia akan melakukan tindakan-tindakan kejam dan jahat sehingga apabila dia sadar pasti menyesali tindakan yang dilakukannya itu dan dia akan merasa heran mengapa ia bertindak sejauh itu. Oleh karenanya bila seseorang dalam keadaan marah hendaklah ia berusaha sekuat tenaga menahan rasa amarahnya lebih dahulu. Apabila ia telah menguasai dirinya kembali dan amarahnya sudah mulai reda, barulah ia melakukan tindakan yang adil sebagai balasan atas perlakuan orang terhadap dirinya.
Apabila seseorang telah melatih diri seperti itu maka dia tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang melampaui batas, bahkan dia akan menganggap bahwa perlakuan yang tidak adil terhadap dirinya itu mungkin karena khilaf dan tidak disengaja dan ia akan memaafkannya. Allah menjelaskan bahwa menahan amarah itu suatu jalan ke arah takwa. Orang yang benar-benar bertakwa pasti akan dapat menguasai dirinya pada waktu sedang marah.
Siti Aisyah pernah menjadi marah karena tindakan pembantunya, tetapi beliau dapat menguasai diri, karena sifat takwa yang ada padanya. Beliau berkata, "Alangkah baiknya sifat takwa itu, ia bisa menjadi obat bagi segala kemarahan." Nabi Muhammad ﷺ bersabda, "Orang yang kuat itu bukanlah yang dapat membanting lawannya tetapi orang yang benar-benar kuat ialah orang yang dapat menahan amarahnya." Allah berfirman:
.. Dan apabila mereka marah segera memberi maaf. (asy-Syura/42:37).
Ketiga: Orang yang memaafkan kesalahan orang lain. Memaafkan kesalahan orang lain sedang kita sanggup membalasnya dengan balasan yang setimpal, adalah suatu sifat yang baik yang harus dimiliki oleh setiap Muslim. Mungkin hal ini sulit dipraktekkan karena sudah menjadi kebiasaan bagi manusia membalas kejahatan dengan kejahatan tetapi bagi manusia yang sudah tinggi akhlak dan kuat imannya serta telah dipenuhi jiwanya dengan ketakwaan, maka memaafkan kesalahan itu mudah saja baginya.
Mungkin membalas kejahatan dengan kejahatan masih dalam rangka keadilan tetapi harus disadari bahwa membalas kejahatan dengan kejahatan pula tidak dapat membasmi atau melenyapkan kejahatan itu. Mungkin dengan adanya balas membalas itu kejahatan akan meluas dan berkembang.
Bila kejahatan dibalas dengan maaf dan sesudah itu diiringi dengan perbuatan yang baik, maka yang melakukan kejahatan itu akan sadar bahwa dia telah melakukan perbuatan yang sangat buruk dan tidak adil terhadap orang yang bersih hatinya dan suka berbuat baik. Dengan demikian dia tidak akan melakukannya lagi dan tertutuplah pintu kejahatan.
Keempat: Orang yang berbuat baik. Berbuat baik termasuk sifat orang yang bertakwa maka di samping memaafkan kesalahan orang lain hendaklah memaafkan itu diiringi dengan berbuat baik kepada orang yang melakukan kesalahan.
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, ada seorang jariah (budak perempuan) milik Ali bin Husain menolong tuannya menuangkan air dari kendi untuk mengambil wudu. Kemudian kendi itu jatuh dari tangannya dan pecah berserakan. Lalu Ali bin Husain menatap mukanya seakan-akan dia marah. Budak itu berkata, "Allah berfirman:
.. Dan orang-orang yang menahan amarahnya ... (Ali 'Imran/3:134)."
Ali bin Husain menjawab, "Aku telah menahan amarah itu." Kemudian budak itu berkata pula, "Allah berfirman:
Dan memaafkan (kesalahan) orang lain ... (Ali 'Imran/3:134)."
Dijawab oleh Ali bin Husain, "Aku telah memaafkanmu." Akhirnya budak, itu berkata lagi, "Allah berfirman:
Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. (Ali 'Imran/3:134)."
Ali bin Husain menjawab, "Pergilah kamu aku telah memerdekakanmu," demi mencapai keridaan Allah.
Demikianlah tindakan salah seorang cucu Nabi Muhammad ﷺ terhadap kesalahan seorang budak karena memang dia orang yang mukmin yang bertakwa, tidak saja dia memaafkan kesalahan budaknya bahkan pemberian maaf itu diiringinya dengan berbuat baik kepadanya dengan memerdekakannya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Pada zaman itu mata pencaharian hartawan-hartawan musyrikin yang terbesar ialah dari menernakkan uang, makan riba. Orang Yahudi pun demikian pula. Ribalah mata penghidupan yang utama bagi hartawan-hartawan mereka. Sedang kaum Muslimin di Madinah setiap hari ada hubungan jual beli, pinjam-meminjam dengan mereka. Maka, di samping peperangan yang kerap kali terjadi dengan musyrikin dan perang dingin dengan Yahudi yang ada di Madinah, kaum Muslimin pun hendaklah menghindarkan mata-mata pencaharian penghisapan darah dengan me-nernakkan uang itu, supaya kehidupan Muslimin dan sumber-sumber pencaharian mereka jangan sekali-kali menyerupai sumber hidup riba yang hina itu.
Ayat 130 ini berkisar sekitar membicarakan urusan riba. Kalau kita baca sepintas lalu seakan-akan bunga rampai saja; sesudah membicarakan hal mengambil teman karib, sahabat rapat, hendaklah hati-hati, kemudian di-bicarakan hal Perang Uhud, tiba-tiba sekarang dibicarakan pelarangan riba lagi. Orang yang tidak mendalam perasaan halusnya tentang Al-Qur'an akan menyangka bahwa susunan Al-Qur'an itu berkacau-balau saja, atau yang agak halus perasaannya merasa sebagai bunga rampai tentang berbagai soal saja. Akan tetapi, apabila dirasakan lebih dalam lagi, niscaya bertemulah peraturan antara serangkum ayat dengan rangkuman yang lain.
Tadi diberi peringatan, jangan terlalu rapat berkawan dengan orang yang bukan golongan kamu, dan hendaklah kamu bersabar dan bertakwa di dalam menghadapi musuh. Siapa yang dimaksud dengan yang bukan golongan kamu itu? Dan siapa yang dimaksud dengan musuh-musuh yang memerangi Islam? ialah orang Yahudi di Madinah, ataupun orang musyrikin Mekah. Dengan apa kedua golongan itu memerangi Islam? Ialah dengan harta benda, dengan kekayaan. Dan terkenallah pada zaman itu bahwa mata pencaharian hartawan-hartawan musyrikin yang terbesar ialah dari makan riba. Sedang kaum Muslimin di Madinah setiap hari ada hubungan jual-beli, pinjam-meminjam dengan mereka. Maka kaum Muslimin hendaklah menghindarkan mata pencaharian penghisapan darah dengan menternakkan uang itu.
Ayat 130
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba berlipat ganda. Dan takwalah kepada Allah, supaya kamu beroleh kemenangan."
Menurut keterangan ahli-ahli tafsir, inilah ayat yangg mengharamkan riba yang mula-mula turun. Adapun ayat yang ada dalam surah al-Baqarah yang telah terlebih dahulu kita tafsirkan itu adalah termasuk ayat yang terakhir turunnya kepada Nabi.
Menurut keterangan Sayyidina Umar bin Khaththab sebelum Rasulullah ﷺ menerangkan riba yang berbahaya itu secara teperinci, beliau pun wafat. Akan tetapi, pokoknya sudah nyata dan jelas dalam ayat yang mula-mula turun tentang riba, yang sedang kita perkatakan ini. Riba adalah suatu pemerasan hebat dari orang yang berpiutang kepada yang berutang, yaitu Adh'afan Mudha'afatan. Adh'afan artinya berlipat-lipat. Mudha'afatan artinya berlipat lagi; berlipat-lipat, berganda-ganda.
Dinamai juga riba nasiy'ah. Sebagai dahulu kita menafsirkan hal riba pada ayat 275—276 sampai dengan 279 surah al-Baqarah kita terangkan, si berutang boleh terlambat (nasiy'ah) membayarnya, bahkan yang berpiutang memang menghendaki supaya utang itu dilambat-lambatkan membayar, karena bila bertambah lambat membayar bertambah berlipat utang itu. Seorang berutang misalnya Rp100, bolehlah dibayarnya tahun depan saja tetapi menjadi Rp200. Kalau terlambat lagi setahun, sudah menjadi Rp400. Demikian seterusnya. Boleh pula diangsur membayar, tetapi yang akan terangsur hanya bunga saja. Pokok utang sudah tertimbun oleh lipatan bunga. Sehingga akhirnya dengan diri-diri orang itu sendiri pun tidaklah utang itu akan dapat dibayarnya lagi.
Inilah yang bernama riba nasiy'ah, secara jahiliyyah yang berlipat-lipat, berganda-ganda itu. Dengan beginilah kaum Yahudi hidup dan beginilah hartawan-hartawan Mekah memperkaya diri dan menindas orangyang melarat. Di ujung ayat disuruh orang beriman supaya takwa, yaitu memelihara baik-baik dan takut kepada Allah. Kalau itu tidak ada, takut kaum Muslimin akan terjerumus kepada main riba.
Maksud ajaran Islam bukanlah semata-mata memperbaiki hubungan dengan Allah, melainkan juga mengukuhkan hubungan sesama manusia. Sebagai ayat 112 di atas tadi, yaitu supaya jangan putus tali dengan Allah dan tali dengan manusia. Kedua sayap kehidupan inilah yang akan diperbaiki oleh Islam. Oleh sebab itu, jika riba cara jahiliyyah itu masih ada, boleh dikatakan percuma menegakkan agama. Sekiranya orang diperintahkan shalat berjamaah menghadap Allah, apalah arti jamaah kalau antara yang menjadi makmum itu ada seorang penindas atau lintah darat yang memeras darah kawannya, sedang makmum yang lain ialah orang yang dihisap darahnya itu?
Pendeknya, riba adalah kehidupan yang paling jahat dan meruntuhkan segala bangunan persaudaraan. Itulah sebabnya di dalam ayat disuruh supaya seorang Mukmin takwa kepada Allah. Karena orang yang telah takwa tidak mungkin akan mencari penghidupan dengan memeras keringat dan mengisap darah orang lain. Dan di ujung ayat diterangkan pula bahwa janganlah memakan riba dan hendaklah bertakwa, supaya kamu beroleh kemenangan. Barulah kejayaan di dalam menegakkan masyarakat yang adil dan makmur, tidak ada penghisapan manusia atas manusia, berdasar kepada ridha Allah dan ukhuwah yang sejati.
Ayat 131
“Dan hendaklah kamu takut akan api neraka yang telah disediakan untuk orang-orang yang kafir."
Sebagaimana ketika melarang riba pada surah al-Baqarah dahulu, ayat 275 dan 276, orang yang memakan riba disangkutkan dengan kafir atau kuffar, maka di ayat ini pun bertemu. Yang hidup dengan riba selama ini ialah orang kafir, Yahudi, dan musyrikin. Allah memberi peringatan kepada hamba-Nya yang telah beriman jangan memakan riba pula, seperti orang kafir itu sebab besar bahayanya, yaitu meruntuhkan masyarakat. Kalau orang yang beriman berbuat itu pula, apa arti imannya lagi? Kesalahan besar kaum musyrikin kepada Allah ialah karena mereka menghisap darah dengan riba. Kalau sebagai orang beriman berbuat keduanya itu atau salah satu dari keduanya, apakah arti pengakuan beriman? Meskipun mengucapkan syahadat, tetapi kelakuan adalah kelakuan kafir. Mulut tidak kafir, tetapi perbuatan kafir, sama juga dengan kafir, neraka juga tempatnya.
Ayat 132
‘Taatlah kepada Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat."
Taat kepada Allah dan Rasul; dilarang makan riba, hendaklah berhenti dari pekerjaan itu. Dan ada lagi yang diperintahkan, yaitu memperbanyak sedekah, baik sedekah wajib atau sedekah sunnah (tathawwuf) Allah menjanjikan barangsiapa yang meninggalkan makan riba dan membangun takwa, pastilah akan diberi kemenangan. Dan karena ketaatan, diberi janji lagi, yaitu akan diberi rahmat. Cobalah kita renungkan rahmat yang dijanjikan ini. Di sini Allah memakai kalimat la'alla, artinya supaya atau mudah-mudahan. Kalau Allah telah memberi janji dengan la'alla, menurut ahli-ahli agama yang telah mendalami Al-Qur'an, janji itu memberikan pengharapan yang besar, sehingga sudah boleh dipastikan.
Mari kita ambil suatu misal dalam masyarakat kita tiap hari. Pada suatu hari datanglah seorang kawan ke rumah saudara, Dia sangat terdesak dan memerlukan uang untuk modal hidup. Saudara tahu benar dia susah. Lantaran amat susahnya, maka dia datang meminjam dan berjanji akan membayarnya, bahkan kalau perlu akan diberinya bunga. Dia tahu benar bahwa saudara seorang yang mampu dan pemurah. Kalau tidak telah mengetahui yang demikian, tidaklah dia mau menjatuhkan air mata di hadapan saudara, menghamparkan peranannya. Tiba-tiba saudara keluarkan uang sebanyak yang dia kehendaki dan saudara katakan bahwa ini bukan menjadi utang baginya. Ini adalah zakat! Misalnya, atau ini adalah hadiah.
Coba saudara pikirkan, bagaimana penerimaan orang itu kepada saudara. Dan coba pikirkan lagi, bagaimana rupanya dan bentuknya masyarakat yang mempunyai jiwa yang demikian. Inilah yang dikatakan kemenangan, sebab telah mencapai suatu masyarakat yang penuh rahmat, yaitu kasih sayang,cinta, santun, dan pemurah. Dan inilah kemakmuran. Inilah yang disebut dalam surah al-Balad ayat 17, disebut suatu masyarakat marhamah. Tidak ada rasa benci dan dendam dari yang miskin kepada yang kaya dan tidak ada rasa benci dan menghina dari yang kaya kepada yang miskin. Malahan si miskin akan turut memelihara dan menjaga kekayaan si kaya karena dia yakin bahwa dia mesti mendapat rahmat juga dari harta itu.
Ayat 133
Maka berfirman Allah selanjutnya, “Berlomba-lombalah kamu sekalian kepada ampunan Tuhan kamu."
Tidak pandang kaya, tidak pandang miskin. Tidak pandang kedudukan tinggi ataupun derajat rendah, semuanya insaf akan kekurangan diri. Perintah Allah belum terlaksana semuanya, lalu semuanya berlomba memohon ampun, dengan mulut dan dengan perbuatan, semuanya mencari rezeki yang halal.
“Dan surga yang (luasnya) seluas langit dan bumi; yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa."
Berlomba-lomba memohon ampunan Allah, kaya dan miskin. Berlomba pula mengejar surga dengan berbuat amal, tolong-menolong, bantu-membantu sesama manusia dan taat menuruti perintah Allah dan Rasul. Maka, bahagialah hidup di dunia, diliputi rahmat dan tersedialah kelak surga yang luasnya seluas langit dan bumi untuk orang yang bertakwa. Lantaran itu, pelarangan riba dan penganjuran perlombaan berbuat baik, berderma, bersedekah, berwakaf, dan ber-nadzar adalah mengandung makna yang lebih besar dan jauh, yaitu keselamatan pergaulan hidup di dunia yang didasarkan kepada takwa, bagi keselamatan terus ke akhirat.
Ayat selanjutnya menjelaskan lagi,
Ayat 134
“(Yaitu) orang-orang yang menderma dalam waktu senang dan susah dan orang-orang yang menahan marah dan memberi maaf manusia. Dan Allah adalah sangat kasih kepada orang-orang yang berbuat baik."
Di ayat ini diberikan tuntunan teperinci dan lebih jelas yang diperlombakan itu ialah kesukaan memberi, kesukaan menderma, untuk mengejar surga yang seluas langit dan bumi, sehingga semua bisa masuk dan tidak akan ada perebutan tempat. Disebut dengan terang, yaitu dalam waktu senang dan dalam waktu susah; orang senang berderma dan orang susah pun berderma. Orang kaya berderma, orang miskin pun berderma. Tidak ada yang bersemangat meminta, tetapi semua bersemangat memberi sehingga si miskin pun tidaklah berjiwa kecil, yang hanya mengharap-harap belas kasihan orang. Meskipun dia tidak mempunyai uang, tetapi dia ada mempunyai ilmu untuk diajarkan atau tenaga untuk diberikan. Seumpama mendirikan sebuah masjid di suatu desa. Yang kaya mempunyai uang membeli apa yang patut dibeli. Yang mempunyai hutan bersedia kayunya ditebang untuk dijadikan tiang tonggak dan papan dan yang ahli pertukangan bersedia bekerja dengan tidak mengharapkan upah. Yang lain bergotong royong mengangkut pasir dan batu dari sungai, kaum ibu memasak nasi dan lauk pauk serta mengantarkan makanan kepada orang yang bekerja. Semuanya berlomba-lomba mengejar surga yang luas lapang dan selapang langit dan bumi, tidak bersempit-sempit. Maka, kalau ada yang mengecewakan atau membuat yang patut menimbulkan marah, karena ada yang calih.
Seumpama pepatah “Ketika menggarap tanah, cangkul banyak berlebih, tetapi ketika membagi makanan, piring sangat berkurang." Hal ini bisa menimbulkan marah karena ada yang thufaily, yaitu orang yang bekerja malas, tetapi makan mau.
Maka Mukmin yang berjiwa besar tidak mengambil pusing hal yang demikian. Dia asik bekerja, mana dia peduli kalau ada yang malas? Bukan saja menahan marah, bahkan juga memberi maaf karena ada yang absen, ada yang mangkir. Ditahannya marah! Diberinya maaf. Sebab, di dalam pekerjaan membangun masyarakat ada orang yang datang tidak tepat pada waktunya. Orang-orang sudah marah. Yang tidak dapat mengendalikan diri sudah telanjur mulutnya mengucapkan yang tidak-tidak, entah memaki entah menyumpah orang yang tidak mengenal kewajiban itu. Akan tetapi, Mukmin yang sejati, berjiwa takwa dapat menahan marah dan dapat memaafkan.
Benar sekali! Sebab kemudian ternyata, dia tidak datang pada waktunya karena ada saudaranya yang meninggal dunia, ada banjir menghambat atau secara sekarang pecah ban mobilnya di jalan, rusak kendaraannya, atau berlanggar atau mendapat kecelakaan. Maka, bagaimana orang yang telah telanjur mulut memaki? Di akhir ayat, Allah membukakan belas kasihan-Nya lagi, jika menahan marah dan memberi maaf serta diiringi pula dengan berbuat baik, Allah amat suka kepada orang yang berbuat baik.
Di sini kita lihat tingkat-tingkat kenaikan takwa seorang Mukmin. Pertama, mereka pemurah; baik dalam waktu senang maupun dalam waktu susah. Artinya, kaya ataupun miskin berjiwa dermawan. Naik setingkat lagi, yaitu pandai menahan marah. Akan tetapi, bukan tidak ada marah. Karena orang yang tidak ada rasa marahnya melihat yang salah, adalah orang yang tidak berperasaan. Yang dikehendaki di sini ialah kesanggupan mengendalikan diri ketika marah. Ini adalah tingkat dasar. Kemudian, naik setingkat lagi, yaitu memberi maaf. Kemudian, naik ke tingkat yang di atas sekali; menahan marah, memberi maaf yang diiringi dengan berbuat baik, khususnya kepada orang yang nyaris dimarahi dan dimaafkan itu.
Ini benar-benar menunjukkan jiwa yang terlatih dengan takwa.
Maka tersebutlah perkataan bahwa pada suatu hari. Imam Musa al-Kazhim hendak berwudhu akan shalat Shubuh. Disuruhnya hambanya mencucurkan air wudhu dari cerek yang telah disediakan air di dalamnya. Rupanya si hamba masih mengantuk. Lalu disiramkannya air wudhu itu; seharusnya ke telapak tangan beliau, tetapi karena mengantuknya telah tersiram badan beliau dan basah baju beliau. Beliau kelihatan sudah hendak marah. Akan tetapi, hamba itu pun sadar akan dirinya dan hilang kantuknya melihat wajah beliau membayangkan marah itu.
Segera budak itu membaca, “Wal kazhi-minal ghaizha," (dan mereka yang menahan marah)
Beliau serta merta sadar mendengar ayat itu, lalu beliau berkata, “Telah aku tahan marahku kepadamu!"
Lalu, kata budak itu pula, “Wal ‘afina ‘anin nas," (dan memberi maaf kepada manusia) Serentak pula beliau jawab, “Aku beri maaf kesalahanmu, Buyung!"
Lalu, budak itu melanjutkan membaca ayat sampai ke ujungnya, “Wallahu yuhibbul muhsinina," (dan Allah amat cinta kepada orang-orang yang berbuat baik)
Terkejut ternganga budak itu, demi mendengar sambutan beliau yang sekali-kali tidak disangka-sangkanya. Beliau menyambut, “Anta hurrun liwajhillah!" (mulai hari ini engkau kumerdekakan dan perbudakan, semata -mata karena Allah) Demikianlah besarnya pengaruh ayat kepada orang yang beriman.
Khabarnya konon itulah sebabnya Sayyi-dina Musa, cucu Rasulullah ﷺ keturunan Fatimah dan Ali bin Abi Thalib itu diberi gelar kehormatan Musa al-Kazhim—Musa yang sanggup menahan marah.
Di dalam menuju hidup yang demikian itu tentu kita mafhum bahwa kita sebagai manusia tidak juga akan khali dari lalai dan alpa. Namun Allah tidaklah menutup rahmat-Nya bagi orang yang lalai dan alpa itu. Sebab itu, selanjutnya firman Allah,
Ayat 135
“Dan orang-orang yang apabila panah berbuat kekejian atau menganiaya diri mereka sendiri."
Entah telanjur berbuat dosa, entah ter-tempuh jalan yang salah yang berarti mencelakakan dan menganiaya diri sendiri, “lalu mereka ingat akan Allah dan mereka pun memohon ampun dosa-dosa mereka."
Mungkin di hadapan manusia bisa membela diri dan mengatakan bahwa yang salah itu bukan salah, tetapi di hadapan Allah tidaklah dapat berdusta. Maka, oleh sebab itu, jiwa telah dipenuhi oleh iman dan takwa, segeralah dia sadar akan kebesaran Allah, lalu dia memohon agar diberi ampun. Itulah jiwa Mukmin sejati, tidak mau mengelak dari tanggung jawab dan membasuh tangan sambil berkata, “Bukan aku!" Bahkan dengan tekun dia menyesali kesalahan, kelalaian, dan kealpaan, entah kekejian telah terperbuat dan langkah telah terdorong. Maka, terhadap hamba-Nya yang seperti ini, Allah pun membuka tangan-Nya; terbayang firman-Nya seterusnya, “Padahal siapakah lagi yang akan mengampuni dosa-dosa kalau bukan Allah?"
Cobalah rasakan pertalian ayat ini, niscaya akan timbul pertanyaan dalam hati kita, “Sampai begitukah kasih Allah kepada hamba-Nya?"
Memang! Sebab si hamba telah menyesali kesalahannya dengan sungguh-sungguh, maka Allah pun menyambut permohonan ampun itu dengan penuh kasih mesra. Akan tetapi, ada “tetapi"nya dilanjutkan ayat, yaitu,
“Dan tidak mereka ber... atas apa yang pennah mereka kerjakan itu, padahal mereka mengetahui."
Orang Mukmin yang memohon ampun sungguh-sungguh dari ketelanjurannya, itulah yang tadi disambut Allah dengan firman-Nya. Siapakah lagi yang akan memberi ampun selain Allah? Marilah ke mari, dosamu Aku ampuni, jalanmu Aku pimpin. Akan tetapi, jangan berulang lagi berbuat demikian.
Itulah sebabnya, panjang lebar pembicaraan ahli-ahli pikir Islam, antara golongan Asy'ari dengan Mu'tazilah, demikian juga kaum Khawarij memperkatakan bagaimana Islamnya orang yang berterus-terusan saja berbuat dosa.
Orang Khawarij cepat saja memutuskan, “Kafir." Habis perkara!
Orang Mu'tazilah mengatakan bukan kafir dan bukan pula Islam, tetapi Betina wa baina—di antara ke antara. Islam benar tidak pula, kafir benar belum pula. Dan ahli sunnah memberi cap fasik.
Maka berkatalah setengah ulama, bagaimana pun besar dosa diperbuat, asal benar-benar tobat, niscaya akan diampuni. Akan tetapi, bagaimana pun kecilnya dosa, kalau terus-menerus diperbuat, menjadi besarlah dia.
Demikianlah Allah menggariskan kehidupan orang yang beriman yang mestinya mereka tempuh; iman, amal, takwa, usaha. Membentuk ciri, kasih sayang dan rahmat. Pemurah dan dermawan, walaupun miskin. Selalu berusaha memperbaiki diri. Maka, berfirmanlah Allah memberi penghargaan-Nya atas mereka,
Ayat 136
“Balasan bagi mereka itu adalah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya. “
Oleh sebab itu, bertambah tinggi derajat iman seseorang, bertambah banyaklah dia memohonkan ampun dari Allah, insaflah dia akan kelemahan dirinya, dan berusahalah dia selalu memperbanyak amal yang baik, dan mengurangi sampai habis segala perbuatan salah yang disengaja. Moga-moga Allah memberi ampun dan surga pun tersedia pula,
“Alangkah enaknya balasan bagi orang-orang yang beramal."
Balasan Allah itulah yang senantiasa diharapkan oleh tiap-tiap orang yang beriman. Sebab, iman tentulah menimbulkan amal. Dan amal itu mempertinggi mutunya sehingga di dalam hidup yang pendek ini tidak pernah terjadi pengangguran.