Ayat
Terjemahan Per Kata
لَّيۡسَ
tidak ada
عَلَى
atas
ٱلۡأَعۡمَىٰ
orang buta
حَرَجٞ
keberatan/larangan
وَلَا
dan tidak
عَلَى
atas
ٱلۡأَعۡرَجِ
orang pincang
حَرَجٞ
keberatan/larangan
وَلَا
dan tidak
عَلَى
atas
ٱلۡمَرِيضِ
orang sakit
حَرَجٞ
keberatan/larangan
وَلَا
dan tidak
عَلَىٰٓ
atas
أَنفُسِكُمۡ
diri kalian sendiri
أَن
bahwa
تَأۡكُلُواْ
kamu makan
مِنۢ
dari/di
بُيُوتِكُمۡ
rumah-rumah kamu
أَوۡ
atau
بُيُوتِ
rumah-rumah
ءَابَآئِكُمۡ
bapak-bapak kamu
أَوۡ
atau
بُيُوتِ
rumah-rumah
أُمَّهَٰتِكُمۡ
ibu-ibu kamu
أَوۡ
atau
بُيُوتِ
rumah-rumah
إِخۡوَٰنِكُمۡ
saudara laki-laki kamu
أَوۡ
atau
بُيُوتِ
rumah-rumah
أَخَوَٰتِكُمۡ
saudara perempuan kamu
أَوۡ
atau
بُيُوتِ
rumah-rumah
أَعۡمَٰمِكُمۡ
saudara bapak kamu laki-laki
أَوۡ
atau
بُيُوتِ
rumah-rumah
عَمَّـٰتِكُمۡ
saudara bapak kamu perempuan
أَوۡ
atau
بُيُوتِ
rumah-rumah
أَخۡوَٰلِكُمۡ
saudara laki-laki ibu kamu
أَوۡ
atau
بُيُوتِ
rumah-rumah
خَٰلَٰتِكُمۡ
saudara perempuan ibu kamu
أَوۡ
atau
مَا
apa (rumah)
مَلَكۡتُم
kamu miliki
مَّفَاتِحَهُۥٓ
kunci-kuncinya
أَوۡ
atau
صَدِيقِكُمۡۚ
teman-teman kamu
لَيۡسَ
tidak
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
جُنَاحٌ
berdosa/larangan
أَن
bahwa
تَأۡكُلُواْ
kamu makan
جَمِيعًا
semua/bersama-sama
أَوۡ
atau
أَشۡتَاتٗاۚ
sendirian
فَإِذَا
maka apabila
دَخَلۡتُم
kamu masuk
بُيُوتٗا
rumah-rumah
فَسَلِّمُواْ
maka beri salamlah
عَلَىٰٓ
atas
أَنفُسِكُمۡ
diri kalian sendiri
تَحِيَّةٗ
penghormatan
مِّنۡ
dari
عِندِ
sisi
ٱللَّهِ
Allah
مُبَٰرَكَةٗ
diberi berkat
طَيِّبَةٗۚ
suci/baik
كَذَٰلِكَ
demikianlah
يُبَيِّنُ
menjelaskan
ٱللَّهُ
Allah
لَكُمُ
bagi kalian
ٱلۡأٓيَٰتِ
ayat-ayat
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تَعۡقِلُونَ
kalian menggunakan akal
لَّيۡسَ
tidak ada
عَلَى
atas
ٱلۡأَعۡمَىٰ
orang buta
حَرَجٞ
keberatan/larangan
وَلَا
dan tidak
عَلَى
atas
ٱلۡأَعۡرَجِ
orang pincang
حَرَجٞ
keberatan/larangan
وَلَا
dan tidak
عَلَى
atas
ٱلۡمَرِيضِ
orang sakit
حَرَجٞ
keberatan/larangan
وَلَا
dan tidak
عَلَىٰٓ
atas
أَنفُسِكُمۡ
diri kalian sendiri
أَن
bahwa
تَأۡكُلُواْ
kamu makan
مِنۢ
dari/di
بُيُوتِكُمۡ
rumah-rumah kamu
أَوۡ
atau
بُيُوتِ
rumah-rumah
ءَابَآئِكُمۡ
bapak-bapak kamu
أَوۡ
atau
بُيُوتِ
rumah-rumah
أُمَّهَٰتِكُمۡ
ibu-ibu kamu
أَوۡ
atau
بُيُوتِ
rumah-rumah
إِخۡوَٰنِكُمۡ
saudara laki-laki kamu
أَوۡ
atau
بُيُوتِ
rumah-rumah
أَخَوَٰتِكُمۡ
saudara perempuan kamu
أَوۡ
atau
بُيُوتِ
rumah-rumah
أَعۡمَٰمِكُمۡ
saudara bapak kamu laki-laki
أَوۡ
atau
بُيُوتِ
rumah-rumah
عَمَّـٰتِكُمۡ
saudara bapak kamu perempuan
أَوۡ
atau
بُيُوتِ
rumah-rumah
أَخۡوَٰلِكُمۡ
saudara laki-laki ibu kamu
أَوۡ
atau
بُيُوتِ
rumah-rumah
خَٰلَٰتِكُمۡ
saudara perempuan ibu kamu
أَوۡ
atau
مَا
apa (rumah)
مَلَكۡتُم
kamu miliki
مَّفَاتِحَهُۥٓ
kunci-kuncinya
أَوۡ
atau
صَدِيقِكُمۡۚ
teman-teman kamu
لَيۡسَ
tidak
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
جُنَاحٌ
berdosa/larangan
أَن
bahwa
تَأۡكُلُواْ
kamu makan
جَمِيعًا
semua/bersama-sama
أَوۡ
atau
أَشۡتَاتٗاۚ
sendirian
فَإِذَا
maka apabila
دَخَلۡتُم
kamu masuk
بُيُوتٗا
rumah-rumah
فَسَلِّمُواْ
maka beri salamlah
عَلَىٰٓ
atas
أَنفُسِكُمۡ
diri kalian sendiri
تَحِيَّةٗ
penghormatan
مِّنۡ
dari
عِندِ
sisi
ٱللَّهِ
Allah
مُبَٰرَكَةٗ
diberi berkat
طَيِّبَةٗۚ
suci/baik
كَذَٰلِكَ
demikianlah
يُبَيِّنُ
menjelaskan
ٱللَّهُ
Allah
لَكُمُ
bagi kalian
ٱلۡأٓيَٰتِ
ayat-ayat
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تَعۡقِلُونَ
kalian menggunakan akal
Terjemahan
Tidak ada halangan bagi orang buta, orang pincang, orang sakit, dan dirimu untuk makan (bersama-sama mereka) di rumahmu, di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, (di rumah) yang kamu miliki kuncinya, atau (di rumah) kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagimu untuk makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri. Apabila kamu memasuki rumah-rumah itu, hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya, yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya) kepadamu agar kamu mengerti.
Tafsir
(Tidak ada dosa bagi orang buta, tidak pula bagi orang pincang, dan tidak pula bagi orang sakit) untuk makan bersama dengan orang-orang selain mereka (dan tidak pula) dosa (bagi diri kalian sendiri untuk makan bersama mereka di rumah kalian sendiri) yaitu di rumah anak-anak kalian (atau rumah bapak-bapak kalian, di rumah ibu-ibu kalian, di rumah saudara-saudara kalian yang laki-laki, di rumah saudara-saudara kalian yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapak kalian yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapak kalian yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibu kalian yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibu kalian yang perempuan, di rumah yang kalian miliki kuncinya) yang khusus kalian sediakan buat orang lain (atau - di rumah - kawan-kawan kalian) yang dimaksud dengan kawan adalah orang-orang yang benar-benar setia kepada kalian. Makna ayat ini ialah, bahwa kalian diperbolehkan makan dari rumah-rumah orang-orang yang telah disebutkan tadi, sekalipun para pemiliknya tidak hadir atau sedang tidak ada di rumah, jika memang kalian telah yakin akan kerelaan mereka terhadap sikap kalian itu (Tidak ada dosa bagi kalian makan bersama-sama mereka) yakni berbarengan dengan mereka (atau sendirian) tidak bersama-sama. Lafal Asytaatan ini adalah bentuk jamak dari kata Syatta, artinya sendiri-sendiri atau berpisah-pisah. Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seseorang yang merasa berdosa jika ia makan sendirian. Jika ia tidak menemukan seseorang yang mau makan bersamanya, maka ia tidak mau memakan makanannya (maka apabila kalian memasuki rumah-rumah) milik kalian sendiri yang tidak ada penghuninya (hendaklah kalian memberi salam kepada diri kalian sendiri) katakanlah! "Assalaamu 'Alainaa Wa Alaa `Ibaadillaahish Shaalihiin" yang artinya, "Keselamatan semoga dilimpahkan kepada diri kami dan hamba-hamba Allah yang saleh". Karena sesungguhnya para Malaikatlah yang akan menjawab salam kalian itu. Jika ternyata di dalam rumah-rumah itu terdapat penghuninya, maka berilah salam kepada mereka (sebagai salam) lafal Tahiyyatan menjadi Mashdar artinya sebagai penghormatan (yang ditetapkan di sisi Allah, yang diberkati lagi baik) yakni diberi pahala bagi orang yang mengucapkannya. (Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya bagi kalian) Dia merincikan tanda-tanda agama kalian (agar kalian memahaminya) supaya kalian mengerti hal tersebut.
Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kalian sendiri, atau di rumah bapak-bapak kalian, di rumah ibu-ibu kalian, di rumah saudara-saudara kalian yang laki-laki, di rumah saudara-saudara kalian yang perempuan, di rumah saudara bapak kalian yang laki-laki, di rumah saudara bapak kalian yang perempuan, di rumah saudara ibu kalian yang laki-laki, di rumah saudara ibu kalian yang perempuan, di rumah yang kalian miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawan kalian.
Tidak ada halangan bagi kalian makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini), hendaklah kalian memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada diri kalian sendiri, sebenar-benarnya salam yang dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kalian agar kalian memahaminya. Ulama tafsir berbeda pendapat tentang makna yang menjadi penyebab bagi terhapusnya dosa dari orang yang buta, orang yang pincang, dan orang yang sakit dalam ayat ini.
Ata Al-Khurrasani dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah jihad. Mereka mengkategorikan ayat ini sama dengan apa yang terdapat di dalam surat Al-Fath yang menerangkan dengan jelas masalah jihad. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa tiada dosa atas mereka dalam meninggalkan kewajiban berjihad karena kondisi mereka yang lemah dan tidak mampu.
Semakna pula dengan apa yang disebutkan di dalam surat At-Taubah melalui firman-Nya: Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tiada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawa kalian!" (At-Taubah: 91-92) sampai dengan firman-Nya: lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (At-Taubah: 92) Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud dalam ayat ini ialah pada mulanya mereka merasa keberatan bila makan bersama orang yang buta. Karena orang buta tidak dapat melihat makanan dan lauk-pauk yang ada dalam hidangan, dan barangkali orang lain (yang tidak buta) mendahuluinya dalam menyantap hidangan yang disuguhkan.
Tidak pula bersama orang yang pincang, sebab orang yang pincang tidak dapat duduk dengan baik sehingga teman-teman sekedudukannya menjauh darinya. Tidak pula orang yang sedang sakit, sebab orang yang sedang sakit tidak dapat menyantap hidangan dengan sempurna sebagaimana yang lainnya. Maka dari itu mereka tidak mau makan bersama orang-orang tersebut, agar mereka tidak berbuat aniaya terhadap orang-orang itu.
Kemudian Allah ﷻ menurunkan ayat ini sebagai kemurahan dari-Nya dalam masalah ini. Demikianlah menurut pendapat yang dikemukakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan Miqsam. Ad-Dahhak mengatakan bahwa dahulu sebelum Nabi ﷺ diutus, mereka merasa keberatan bila makan bersama-sama orang-orang itu karena merasa jijik dan enggan serta menghindari agar orang-orang itu tidak tersinggung. Lalu Allah menurunkan ayat ini (sesudah Islam datang). Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Tiada halangan bagi orang buta. (An-Nur: 61), hingga akhir ayat. Dahulu seseorang pergi membawa seorang yang tuna netra, atau seorang yang pincang atau seorang yang sakit, ke rumah ayahnya atau rumah saudara laki-lakinya atau rumah saudara perempuannya atau rumah saudara perempuan ayahnya atau rumah saudara perempuan ibunya.
Sedangkan orang-orang yang sakit merasa keberatan dengan hal tersebut. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya orang-orang mengajak mereka ke rumah keluarga mereka sendiri (yakni mau mengajak hanya ke rumah keluarganya sendiri), lalu turunlah ayat ini sebagai rukhsah buat mereka. As-Saddi mengatakan bahwa seseorang masuk ke dalam rumah ayahnya atau saudara lelakinya atau anak lelakinya, lalu istri pemilik rumah menyuguhkan makanan kepadanya, tetapi ia tidak mau makan karena pemilik rumah tidak ada di tempat.
Maka Allah ﷻ berfirman: Tidak ada halangan bagi orang buta. (An-Nur: 61), hingga akhir ayat. Firman Allah ﷻ: dan tidak pula bagi diri kalian sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kalian sendiri. (An-Nur: 61) Sesungguhnya makan di rumah sendiri disebutkan dalam ayat ini tiada lain agar di- 'ataf-kan kepadanya lafaz lain yang disebutkan sesudahnya supaya mempunyai hukum yang sama dengannya. Termasuk pula ke dalam pengertian rumah sendiri ialah rumah anak, sekalipun tidak disebutkan dalam nas ayat ini (tetapi pengertiannya tersirat di dalamnya). Karena itu, ada sebagian ulama yang menjadikan ayat ini sebagai dalil yang menunjukkan bahwa harta milik anak sama dengan harta milik ayahnya.
Di dalam kitab musnad dan kitab sunan telah disebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Rasulullah ﷺ, bahwa beliau ﷺ pernah bersabda: Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu. Firman Allah ﷻ: atau rumah bapak-bapak kalian, atau rumah ibu-ibu kalian. (An-Nur: 61) sampai dengan firman-Nya: atau di rumah yang kalian miliki kuncinya. (An-Nur: 61) Makna ayat ini sudah jelas, dan ada sebagian ulama yang mewajibkan memberi nafkah kepada kaum kerabat, sebagian dari mereka kepada sebagian yang lain. Seperti yang ada pada mazhab Imam Abu Hanifah dan mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal menurut pendapat yang terkenal dari keduanya.
Mengenai makna firman-Nya: atau di rumah yang kalian miliki kuncinya. (An-Nur: 61) Menurut Sa'id ibnu Jubair dan As-Saddi, yang dimaksud adalah pelayan seseorang. Diperbolehkan baginya memakan sebagian dari makanan yang disimpan oleh tuannya dengan cara yang makruf. Az-Zuhri telah meriwayatkan dari Urwah, dari Aisyah r.a. yang telah mengatakan bahwa dahulu kaum muslim berangkat berjihad bersama Rasulullah ﷺ Maka mereka menyerahkan kunci-kunci rumah mereka kepada orang-orang kepercayaannya masing-masing. Dan mereka mengatakan, "Kami halalkan bagi kalian memakan apa yang kalian perlukan." Sedangkan orang-orang kepercayaan mereka mengatakan, "Sesungguhnya tidak halal bagi kami memakan makanan mereka, karena sesungguhnya mereka memberikan izinnya kepada kami tidak berdasarkan keikhlasan hati, dan sesungguhnya kami ini adalah orang-orang yang dipercaya untuk memegang amanat." Maka Allah menurunkan firman-Nya: atau di rumah-rumah yang kalian miliki kuncinya. (An-Nur.
61) Adapun firman Allah ﷻ: atau di rumah kawan-kawan kalian. (An-Nur: 61) Yakni rumah teman-teman kalian dan rumah sahabat-sahabat kalian, maka tiada dosa bagi kalian bila makan dari apa yang ada padanya, jika kalian mengetahui bahwa hal tersebut tidak memberatkan pemilik rumah dan para pemilik rumah merelakannya. Qatadah mengatakan, "Apabila kamu memasuki rumah temanmu, maka tidak ada halangan bagimu bila makan di dalamnya tanpa seizin temanmu." Firman Allah ﷻ: Tidak ada halangan bagi kalian makan bersama-sama mereka atau sendirian. (An-Nur: 61) Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa ketika Allah menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil. (An-Nisa: 29) Maka kaum muslim berkata, "Sesungguhnya Allah telah melarang kita saling memakan harta sesama kita dengan cara yang batil, sedangkan makanan adalah harta yang paling utama.
Karena itu, tidak halal bagi seseorang di antara kita makan di rumah orang lain." Maka orang-orang menahan dirinya dari hal tersebut, lalu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Tidak ada halangan bagi orang buta. (An-Nur: 61) sampai dengan firman-Nya: atau di rumah kawan-kawan kalian.(An-Nur: 61) Dahulu mereka merasa enggan dan berdosa bila makan sendirian, melainkan bila ditemani oleh orang lain, kemudian Allah memberikan kemurahan (dispensasi) bagi mereka dalam hal tersebut melalui firman-Nya: Tidak ada halangan bagi kalian makan bersama-sama atau sendirian. (An-Nur: 61) Qatadah mengatakan bahwa sebagian orang dari Bani Kinanah sejak masa Jahiliah menganggap sebagai suatu perbuatan yang hina bila seseorang dari mereka makan sendirian, sehingga seseorang dari mereka terpaksa masih terus menggiring unta gembalaannya dalam keadaan lapar hingga bersua dengan seseorang yang mau makan dan minum bersamanya.
Lalu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya (sesudah masa Islam), yaitu: Tidak ada halangan bagi kalian makan bersama-sama mereka atau sendirian. (An-Nur: 61) Ini merupakan suatu kemurahan dari Allah ﷻ yang mengizinkan seseorang makan sendirian atau secara berjamaah, sekalipun makan dengan berjamaah lebih berkah dan lebih utama. Seperti yang telah disebutkan di dalam riwayat Imam Ahmad: ". telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abdu Rabbih, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Wahsyi ibnu Harb, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa pernah ada seorang lelaki berkata kepada Nabi ﷺ, "Sesungguhnya kami makan, tetapi tidak pernah merasa kenyang." Maka Nabi ﷺ bersabda: Barangkali kalian makan sendiri-sendiri, makanlah dengan berjamaah dan sebutlah nama Allah (sebelumnya), niscaya kalian akan diberkati dalam makanan kalian.
Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Al-Walid ibnu Muslim dengan sanad yang sama. Ibnu Majah telah meriwayatkan pula melalui hadis Amr ibnu Dinar-Al-Qahramani, dari Salim, dari ayahnya, dari Umar, dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: ". Makanlah bersama-sama, janganlah kalian makan sendiri-sendiri, karena sesungguhnya keberkatan itu ada bersama jamaah. Firman Allah ﷻ: Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini), hendaklah kalian memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada diri kalian sendiri. (An-Nur: 61) Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, dan Az-Zuhri telah mengatakan, hendaklah sebagian dari kalian memberi salam kepada sebagian yang lain.
Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abuz Zubair yang pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah berkata, "Apabila kamu masuk ke dalam rumah keluargamu, ucapkanlah salam kepada mereka dengan ucapan salam penghormatan yang diberkati lagi baik di sisi Allah." Abuz Zubair mengatakan, "Menurut hemat saya, maksud Jabir tiada lain mewajibkan hal tersebut." Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadanya Ziyad, dari Ibnu Tawus yang mengatakan, "Apabila seseorang diantar", kalian memasuki rumahnya, hendaklah ia mengucapkan salam." Ibnu Juraij mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ata, "Apakah wajib bagiku bila keluar dari rumah, lalu memasukinya lagi, mengucapkan salam kepada mereka?" Ata menjawab, "Saya tidak mengharuskannya kepada seseorang, tetapi hal itu lebih aku sukai dan saya tidak pernah mengabaikannya terkecuali bila saya lupa." Mujahid mengatakan, "Apabila kamu memasuki masjid, ucapkanlah salam kepada Rasulullah; dan apabila kamu masuk ke rumah keluargamu, ucapkanlah salam kepada mereka; dan apabila kamu masuk ke dalam suatu rumah yang tidak ada penghuninya, ucapkanlah salam berikut, 'Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kita dan juga kepada hamba-hamba Allah yang saleh'." As-Sauri telah meriwayatkan dari Abdul Karim Al-Jazari, dari Mujahid, "Apabila kamu masuk ke dalam suatu rumah yang tidak ada orang di dalamnya, maka ucapkanlah salam berikut, 'Dengan menyebut nama Allah, dan segala puji bagi Allah.
Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kita dari Tuhan kita, semoga kesejahteraan terlimpah-kan kepada kita dan juga kepada hamba-hamba Allah yang saleh'.'" Qatadah mengatakan,"Apabila kamu masuk ke dalam rumah keluargamu, maka ucapkanlah salam kepada mereka. Dan apabila kamu memasuki suatu rumah yang tidak ada orang di dalamnya, maka ucapkanlah, 'Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kita dan juga kepada hamba-hamba Allah yang saleh,' karena sesungguhnya dia diperintahkan untuk mengucapkan salam tersebut." Dan telah menceritakan kepada kami Qatadah, bahwa para malaikat menjawab salamnya itu.
-: ". Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Uwaid ibnu Abu Imran Al-Juni, dari ayahnya, dari Anas yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ pernah berwasiat kepadanya (yakni memerintahkan kepadanya untuk mengamalkan) lima pekerti. Beliau bersabda: Hai Anas, kerjakanlah wudu dengan sempurna, niscaya umurmu akan bertambah; dan ucapkanlah salam kepada orang yang engkau jumpai dari kalangan umatku, niscaya bertambah banyaklah kebaikan-kebaikanmu; dan apabila engkau memasuki rumahmu, ucapkanlah salam kepada keluargamu, niscaya menjadi banyaklah kebaikan rumahmu; dan kerjakanlah salat duha, karena sesungguhnya salat duha adalah salatnya orang-orang yang suka bertobat di masa sebelummu.
Hai Anas, kasihanilah anak kecil dan hormatilah orang dewasa, niscaya engkau termasuk teman-temanku kelak di hari kiamat. Firman Allah ﷻ: sebenar-benarnya salam yang dari sisi Allah yang diberkati lagi baik. (An-Nur: 61) Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah mengatakan, "Tiada lain tasyahhud itu diambil dari Kitabullah. Saya telah mendengar Allah berfirman: Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini), hendaklah kalian memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada diri kalian sendiri, sebenar-benarnya salam yang dari sisi Allah yang diberi berkat lagi baik' (An-Nur: 61)." Bacaan tasyahhud dalam salat ialah; .
"Semua salam penghormatan dan semua salawat adalah milik Allah. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga salam terlimpahkan kepadamu, wahai Nabi; begitu pula rahmat Allah dan semua berkah-Nya. Semoga salam terlimpahkan kepada kita dan juga kepada hamba-hamba Allah yang saleh," kemudian hendaklah ia berdoa untuk dirinya sendiri, selanjutnya salam.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadis Ibnu Ishaq. Tetapi menurut apa yang terdapat di dalam kitab Sahih Muslim dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah ﷺ berbeda dengan riwayat ini, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Firman Allah ﷻ: Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kalian, agar kalian memahaminya. (An-Nur: 61) Setelah menyebutkan semua yang terkandung di dalam surat ini berupa hukum-hukum yang muhkam dan syariat-syariat yang kokoh dan pasti, lalu Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya, bahwa Dia menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya ayat-ayat yang terang lagi gamblang agar mereka merenungkan dan memikirkannya, mudah-mudahan mereka dapat memahaminya."
Usai memberi kemudahan kepada perempuan tua dalam hal berpakaian, pada ayat ini Allah menjalankan prinsip kemudahan kepada orang yang memiliki halangan tertentu. Tidak ada halangan, yakni tidak ada dosa dan tidak pula menjadi kemaksiatan bagi orang buta, tidak pula bagi orang pincang, tidak pula bagi orang sakit, dan tidak pula bagi dirimu untuk makan bersama mereka di rumah kamu atau di rumah bapak-bapak kamu, di rumah ibu-ibu kamu, di rumah saudara-saudara kamu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara kamu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapak kamu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapak kamu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibu kamu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibu kamu yang perempuan, demikian juga di rumah yang kamu miliki atau dititipi kuncinya, atau di rumah kawan-kawan kamu, karena seorang kawan tentu tidak berkeberatan menjamu kawannya. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri. Apabila kamu memasuki rumah-rumah hendak-lah kamu memberi salam kepada penghuninya, yang itu berarti kamu memberi salam kepada dirimu sendiri, dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah, bukan seperti salam pada masa jahiliah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya bagimu agar kamu mengerti, menghayati, dan mengamalkannya dengan baik. 62. Setelah menjelaskan izin dan etika pertemuan, kini Allah meng-uraikan etika perpisahan. Orang mukmin sejati adalah orang yang ber-iman kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad, dan apabila mereka berada bersama-sama dengan beliau dalam suatu urusan bersama, mereka tidak meninggalkan beliau sebelum meminta izin kepadanya lalu diizinkan olehnya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu, wahai Nabi Muhammad, dalam urusan penting, mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena suatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang engkau kehendaki di antara mereka dan tidak mengapa jika engkau tidak memberi izin sesuai maslahat yang engkau perhitungkan, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah atas kepergian mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun kepada orang-orang yang engkau mintakan ampunan untuknya, Maha Penyayang kepada mereka yang engkau mintakan rahmat untuknya. Demikian mulia kedudukan Nabi sehingga para sahabat harus meminta izin apabila hendak meninggalkan majelis beliau.
Menurut kebiasaan orang Arab semenjak masa Jahiliah mereka tidak merasa keberatan apa-apa meskipun tanpa diundang di rumah kaum kerabat dan kadang-kadang mereka membawa serta famili yang cacat makan bersama-sama. Pada ayat ini telah disusun urutan kaum kerabat itu dimulai dari yang paling dekat, kemudian yang dekat bahkan termasuk pula pemegang kuasa atau harta dan teman-teman akrab, karena tidak jarang seorang teman dibiarkan di rumah kita tanpa diundang atau meminta izin lebih dahulu. Urutan susunan kaum kerabat itu adalah sebagai berikut:
1. Yang paling dekat kepada seseorang ialah anak dan istrinya, tetapi dalam ayat ini tidak ada disebutkan anak dan istri karena cukuplah dengan menyebut "di rumah kamu" karena biasa seorang tinggal bersama anak dan istrinya. Maka di rumah anak istri tidak perlu ada izin atau ajakan untuk makan lebih dahulu, baru boleh makan. Demikian pula kalau anak itu telah mendirikan rumah tangga sendiri maka bapaknya boleh saja datang ke rumah anaknya untuk makan tanpa undangan atau ajakan, karena rumah anak itu sebenarnya rumah bapaknya juga karena Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda: "Engkau sendiri dan harta kekayaanmu adalah milik bapakmu." (Riwayat Ahmad dan Ashabus-Sunan)
2. Ayah. Anak tidaklah perlu meminta izin lebih dahulu kepada bapak untuk makan, karena memang sudah menjadi kewajiban bagi bapak untuk menafkahi anaknya. Bila anak sudah berkeluarga dan berpisah rumah dengan bapaknya tidak juga perlu meminta izin untuk makan meskipun tidak tinggal lagi di rumah bapaknya.
3. Ibu. Kita sudah mengetahui bagaimana kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Walaupun anaknya sudah besar dan sudah beranak cucu sekalipun, namun kasih ibu tetap seperti sediakala. Benarlah pepatah yang mengatakan, "kasih anak sepanjang penggalah dan kasih ibu sepanjang jalan." Tidaklah menjadi soal baginya bila anaknya makan di rumahnya tanpa ajakan, bahkan dia akan sangat bahagia melihat anaknya bertingkah laku seperti dahulu di kala masih belum dewasa.
4. Saudara laki-laki. Hubungan antara seorang dengan saudaranya adalah hubungan darah yang tidak bisa diputuskan, meskipun terjadi perselisihan dan pertengkaran. Maka sebagai memupuk rasa persaudaraan di dalam hati masing-masing maka janganlah hendaknya hubungan itu dibatasi dengan formalitas etika dan protokol yang berlaku bagi orang lain. Alangkah akrabnya hubungan sesama saudara bila sewaktu-waktu seseorang datang ke rumah saudaranya dan makan bersama di sana.
5. Saudara perempuan hal ini sama dengan makan di rumah saudara laki-laki.
6. Saudara laki-laki ayah (paman).
7. Saudara perempuan ayah (bibi).
8. Saudara laki-laki dari ibu.
9. Saudara perempuan dari ibu.
10. Orang yang diberi kuasa memelihara harta benda seseorang.
11. Teman akrab.
Demikianlah Allah menyatakan janganlah seseorang baik yang memiliki maupun tidak memiliki cacat tubuh merasa keberatan untuk makan di rumah kaum kerabatnya selama kaum kerabatnya itu benar-benar tidak merasa keberatan atas hal itu, karena hubungan kerabat harus dipupuk dan disuburkan. Sedang hubungan dengan orang lain seperti dengan tetangga baik yang dekat maupun yang jauh harus dijaga sebaik-baiknya, apalagi hubungan dengan kaum kerabat.
Meskipun demikian seseorang janganlah berbuat semaunya terhadap kaum kerabatnya apalagi bila kaum kerabatnya itu sedang kesulitan dalam rumah tangganya dan hidup serba kekurangan kemudian karena kita ada hubungan kerabat beramai-ramai makan di rumahnya. Rasa tenggang menenggang dan rasa bantu membantu haruslah dibina sebaik-baiknya. Bila kita melihat salah seorang kerabat dalam kekurangan hendaklah kaum kerabatnya bergotong royong menolong dan membantunya. Lalu Allah menerangkan lagi tidak mengapa seorang makan bersama-sama atau sendiri-sendiri.
Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, adh-ahhaq dan Qatadah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Bani Lais bin Amr bin Kinanah, mereka merasa keberatan sekali makan sendiri-sendiri. Pernah terjadi seseorang di antara mereka tidak makan sepanjang hari karena tidak ada tamu yang akan makan bersama dia. Selama belum ada orang yang akan menemaninya makan dia tidak mau makan. Kadang-kadang ada pula di antara mereka yang sudah tersedia makanan di hadapannya tetapi dia tidak mau menyentuh makanan itu sampai sore hari. Ada pula di antara mereka yang tidak mau meminum susu untanya padahal untanya sedang banyak air susunya karena tidak ada tamu yang akan minum bersama dia. Barulah apabila hari sudah malam dan tidak juga ada tamu dia mau makan sendirian.
Hatim Ath-th?i seorang yang paling terkenal sangat pemurah mengucapkan satu bait syair kepada istrinya:
Apabila engkau memasak makanan, maka carilah orang yang akan memakannya bersamaku, karena aku tidak akan memakan makanan itu sendirian.
Maka untuk menghilangkan kebiasaan yang mungkin tampaknya baik karena menunjukkan sifat pemurah pada seseorang, tetapi kadang-kadang tidak sesuai dengan keadaan semua orang, Allah menerangkan bahwa seseorang boleh makan bersama dan boleh makan sendirian.
Janganlah seseorang memberatkan dirinya dengan kebiasaan makan bersama tamu, lalu karena tidak ada tamu dia tidak mau makan. Kemudian Allah menyerukan kepada setiap orang mukmin agar apabila dia masuk ke rumah salah seorang dari kaum kerabatnya, hendaklah dia mengucapkan salam lebih dahulu kepada seisi rumah itu, yaitu salam yang ditetapkan oleh Allah, salam yang penuh berkat dan kebaikan yaitu, "Assalamu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Dengan demikian karib kerabat yang ada di rumah itu akan senang dan gembira dan menerimanya dengan hati terbuka.
Al-Hafiz, Abu Bakar al-Bazzar meriwayatkan bahwa Anas berkata: Rasulullah mengajarkan kepadaku lima hal. Rasulullah bersabda, "Hai Anas! Berwudulah dengan sempurna tentu umurmu akan bertambah, beri salamlah kepada siapa yang kamu temui di antara umatku, tentu kebaikanmu akan bertambah banyak, apabila engkau memasuki rumahmu, ucapkanlah salam kepada keluargamu; tentu rumahmu itu akan penuh dengan berkah, kerjakanlah salat duha karena salat duha itu adalah salat orang-orang saleh di masa dahulu. Hai Anas sayangilah anak-anak dan hormatilah orang tua, niscaya engkau akan termasuk teman-temanku pada hari Kiamat nanti."
Demikianlah Allah menerangkan ayat-Nya sebagai petunjuk bagi hamba-Nya, bukan saja petunjuk mengenai hal-hal yang besar, melainkan juga petunjuk mengenai hal-hal yang kecil. Semoga dengan mengamalkan petunjuk itu kita dapat memikirkan bagaimana baik dan berharganya petunjuk itu.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Peraturan Dalam Rumah (Etiket Islam)
Telah selesai kita dibawa kepada cita-cita tinggi menegakkan iman dan amal shalih, memberituk masyarakat Islam dan menegakkan hukum, sehingga seorang Mu'min dengan sendirinya mempunyai cita-cita besar.
Ingin menjadi Khatifah di atas bumi, menegakkan keadilan dan ke-makmuran, aman dan damai dan hukum berdiri. Masyarakat yang mendirikan sembahyang, mengeluarkan zakat dan tunduk kepada peraturan Rasul.
dengan berzakat perhubungan dengan masyarakat seialu diperkuat, sehingga rasa dendam tidak tumbuh di antara si kaya dengan si miakin. Dengan demikian seorang Mu'min adalah seorang yang mempunyai ideologi, yang kian lama bukan kian samar, melainkan kian terang-bencierang. Dan di antara yang satu dengan yang lain, di antara sembahyang, iman dan amal shalih dengan zakat dan dengan menegakkan hukum tidaklah dapat terpIsah.
Hal itu sudah dijelaskan panjang lebar pada ayat-ayat yang sebelumnya. Tetapi ayat-ayat yang seterusnya ini memberi penjelasan lagi bahwasanya orang-orang yang beriman itu bukanlah orang yang berjalan menengadah puncak gunung padahal butir-butir batu kerikil yang kecil-kecil yang dapat menarung kakinya tidak diperdulikannya.
Ayat 58 ini memanggil lagi orang-orang yang mengakui percaya kepada Allah, ALLAZI NA AAMANU supaya menoleh lagi kepada sopan-santun dalam rumahtangganya sendiri. Rumahtangga seorang Mu'min adalah tempat dia iatirahal, bahkan tempat dia menggembleng kehidupan beragama, kehidupan yang beriman. Sebab itu dia mesti teratur menurut aturan Nabi Muhammad.
Rumahtangga adalah beriteng tempat mempertahankan budi dan harga diri. Rumahtangganya orang yang beriman bukanlah rumahtangga yang kucar-kacir.
Sekali lintas orang sudah dapat melihat cahaya iman memancar dari dalam rumah itu. Di sana dapat dilihat kedaulatan ayah sebagai nahkoda dan ibu sebagai juru batu dan anak-anak sebagai anggota atau awak kapal yang setia. Di dalam ayat ini diakui dan dijaga kehormatan kepala-kepala rumahtangga itu. Dahulu diterangkan sopan-santun orang lain akan masuk rumah. Sekarang diterangkan lagi sopan-santun isi rumah di dalam rumahnya.
Adalah tiga waktu, yaitu sebelum sembahyang Subuh, dan siang sehabis tergelincir matahari waktu Zuhur dan selesai sembahyang Iaya', tiga waktu yang wajib dIsaktikan, demi kehormatan ibu-bapak atau anggota rumahtangga yang lain. Pada waktu sedemikian itu maka setiap hamba sahaya (masa negeri ber-budak) atau khartam, bujang-bujang, orang-orang gajian atau pesuruh rumahtangga dan anak-anak yang belum dewasa dalam rumah itu sendiri, baik anak tuan rumah atau cucunya atau anak-anak lain yang dipelihara di dalam rumah itu meminta izin terlebih dahulu jika hendak menemui tuan dan nyonya rumah.
Apa sebab? Sebab ketiga waktu itu adalah aurat, artinya pada waktu itu peribadi orang-orang yang dihormati itu sedang bebas daripada ikatan berpakaian yang dimestikan di dalam pergaulan hidup yang sopan.
Bertambah teratur hidup manusia bertambah banyaklah peraturan sopan-santun yang harus dihargainya. Ada pakaian buat keluar dari rumah dan ada pakaian yang harus dipakainya secara terhormat jika tetamu datang dan ada pakaian yang harus dilekatkannya jika ia keliling pekarangan. Pakaian-pakaian demikian kadang memberati, kadang-kadang panas jika dilekatkannya juga. Adalah tiga waktu mereka ingin beriatirahal membebaskan dirinya daripada pakaian-pakaian itu, sehingga kadang-kadang hanya tinggal celana dalam dan
singlet saja bagi si ayah, atau kutang sehelai bagi sl ibu. Waktu yang begitu Ialah tiga kali, yaitu sebelum sembahyang Subuh bangun tidur, tengah hari ketika pulang dari pekerjaan iatirahal melepaskan lelah dan sehabis sembahyang Iaya'.
Pada waktu demikian pemharitu-pemharitu rumahtangga haruslah diberi ingat dan diatur agar jangan berhubungan langsung dengan tuan rumah sebelum meminta Izin. Anak-anak yang masih kecil pun harus diatur dan diriidik agar mereka menghargai waktu iatirahal ayah-bunda atau pengaruhnya Itu.
Niscaya orang yang mampu mempunyai rumahtangga berblltk-blllk dan kamar, bilik ibu dan bilik ayah, maka bujang-bujang dan pemharitu rumahtangga, bahkan anak kandung sendiri yang masih kecil,1 tidaklah boleh dekat ke bilik itu kalau tidak meminta izin terlebih dahulu.
Dengan adanya peraturan agama meminta izin, jelaslah kesaktian tempat khas tuan dan nyonya rumah pada saat-saat demikian. Dengan itu pula nampak bahwa lebih baik di saat itu mereka jangan diganggu. Barangkali ada pertanyaan, bukankah anak-anak itu belum mukallaf? Mengapa kepada mereka diwajibkan minta izin masuk kamar ayahnya?
Jawabnya tentu jelas. Yaitu orang tuanya diwajibkan mendiriik anaknya menjunjung tinggi kehormatan orang tuanya.
Dan dapat diambil lagi kesimpulan, sedangkan anak kandungnya sendiri wajib diriidik menghargai waktu yang aurat itu, konon lagi bagi orang-orang lain, kurang layak bertetamu ke rumah orang di waktu-waktu begitu.
Menjadi kagumlah kita dengan ayat ini, demi kita mempelajari per-kembangan penyelidikan ilmu jiwa moden, anak-anak kecil yang belum dewasa haruslah dijaga penglihatan dan pengalamannya di waktu kecil itu. Penyelidikan ilmu jiwa moden terhadap perkembangan jiwa anak-anak me-ngatakan sesuatu yang bernama “buhul jiwa", yaitu sesuatu yang ganjil yang dilihatnya di waktu masih kecil belum dewasa itu berkesan pada jiwanya itu dan berbekas selama hidupnya, sehingga menjadi tekanan yang payah buat menghilangkannya yang kadang-kadang menjadi pangkal penyakit yang mengganggu rohani dan jasmani, sampai pun dia dewasa; yang ahli-ahli spesialia ilmu jiwa harus mencari penyakit itu bertahun-tahun, baru dapat. Oleh sebab itu sesuai benarlah penyelidikan ini dengan apa yang dikehendaki oleh ayat itu.
Dan menurut ilmu jiwa sebagai pendiriikan juga, bagi kanak-kanak di bawah umur itu ayahnya adalah seorang yang dijunjung tinggi, puncak penghormatan dan cita, dan yang tidak pernah bersalah, yang dicintai dan dikagumi. Padahal ada saat-saat yang demikian ayah itu tidak tahu diikat oleh kemestian yang menjadi kekaguman anak-anaknya itu.
Jangan sampai karena hal yang kecil itu pengharapan anak kepada ayah atau bundanya akan berkurang.
Bahkan tersebut juga di dalam ilmu pergaulan rumahtangga suami-isteri bahwa seketika seorang isteri berIbliss, sebaiknya suaminya jangan melihat tubuh isterinya, sampai d>» melesai berpakaian.
Terhadap bujang-bujang atau pemharitu rumahtangga dan hambasahaya, seketika dunia masih mengakui adanya perbudakan, kehormatan saat yang aurat itu pun harus diperhatikan. Seorang tuan atau nyonya rumah harus menjaga kehormatan diri peribadiriya," dan menentukan saat-saat mereka tidak boleh langsung leluasa saja berhubungan dengan majikannya.
Dan terhadap tamu-tamu yang datang dan luar, dapatlah ayat ini dikiaskan. Sedangkan anak kandungnya lagi wajib permisi lebih dahulu akan berhubungan dengan ayah kandungnya sendiri di saat yang tiga itu, apatah lagi bagi orang lain yang hendak bertetamu. Kuranglah layak menamu di saat-saat aurat itu, karena kita sebagai tetamu dapaLmerepotkan-tuan atau nyonya rumah. Kalau siang, nantikanlah petang hari setelah selesai mereka mengenakan pakaiannya yang layak buat menerima tetamu kembali.
Adapuh di luar ketiga saat itu (sesaat sebelum Subuh, waktu “qailulah", yaitu iatirahal siang dan sehabis waktu Iaya'), maka kanak-kanak di bawah umur dan pemharitu rumahtangga tidaklah dimestikan meminta izin tetapi dalam ayat 59 dijelaskan, bahwa anak-anak yang telah dewasa, meskipun anak-anak kita sendiri mIsalnya yang telah kawin dan berumahtangga sendiri pula, hendak Jugalah dia meminta izin sebagaimana meminta izinya orang-orang yang lain, apabila dia akan menemui pengemudi-pengemudi rumahtangga itu. Berlakulah kepada mereka sebagai yang tersebut pada ayat 22 yang telah terdahulu. Meminta izin itu telah ditunjukkan pula caranya pada ayat 22, yaitu mengucapkan salam dan bermuka jemih.
Di Aceh, Mandahiling dan Minangkabau ayat ini telah menjadi kebudayaan dan masuk ke dalam adat-iatiadat umat Islam. Anak-anak muda tidak tidur di rumah ibu-bapaknya. Mereka pergi ke Meunasah atau surau dan langgar. Pulangnya pagi-pagi untuk menolong ibu-bapaknya ke sawah dan ke ladang. Pemuda yang masih duduk-duduk di rumah pada waktu yang tidak patut (terutama tergelek Lohor, ketika iatirahal) amat tercela dalam pandangan masya-' rakat kampungnya. Seorang saudara laki-laki atau mamak yang akan datang ke rumah saudara perempuan atau kemenakan, dari jauh-jauh sudah bersorak memanggil anak-anak kecil yang ada bermain-main di halaman rumah itu, supaya seisi rumah tahu dia datang, dan yang sedang tidak memakai bajunya segera dia berpakaian yang pantas. Sedangkan kepada saudara dan mamak atau paman lagi begitu, apatah lagi terhadap orang luar.
Kemudian itu pada ayat 60 dijelaskan lagi tentang perempuan yang tidak diharap nikah lagi, yang disebut Qawa'id, perempuan yang telah duduk, tidak baidh lagi, artinya tidak ada lagi tarikan kelamin (sex) karena telah padam nyalanya. Tidak tergiur lagi nafsu syahwat laki-laki memandangnya dan dia sendiri pun tidak ingat lagi akan hal itu, maka mereka tidaklah mengapa jika tidak berpakaian lengkap, artinya tidak mengapa jika ditanggali pakaian luanya untuk menutupi tarikan tubuhnya.
Setengah ulama mengatakan bahwa seluruh tubuh itu aurat, artinya seluruhnya membawa daya tarik. Sebab itu hendaklah dia berpakaian yang dapat menutupi nafsu syahwat orang yang memandangnya, artinya yang
sopan. Ada pakaian (uar dan ada pakaian dalam untuk dipakai di rumah. Umumnya wanita Islam di Indanesia jika keluar memakai selendang penutup kepala. Jangan sebagai pakaian pengaruh Barat sekarang ini, yang setiap segi dari guntingan itu memang sengaja buat menimbulkan syahwat, maka bagi wanita yang telah mulai tua, tidak haidh lagi, tidak dipakainya pakaian luanya di sekeliling rumahnya itu tidaklah mengapa, asal kemulIsannya sebagai orang tua yang dihormati tetap dijaganya. Karena amatlah buruk rupa, dan salah canda kalau seorang perempuan yang telah dituakan dan dihormati masih saja berlagak sebagai orang muda, yang berjalan berIbliss-Ibliss dan bersolek sehingga buruk dipandang orang. Dan diperingatkan pula bahwa sikap yang sopan dan tahu akan harga diri adalah suatu yang sebaik-baiknya bagi perempuan yang telah dituakan itu.
Peringatan ini amat penting bagi wanita yang telah menuju gerbang tua itu.
Ada suatu saat yang kaum wanita mendapat tekanan ganjil di dalam batin, yang bIsa menjadi penyakit yaitu saat orang perempuan masih sayang kepada mudanya, padahal tua telah datang dengan beransur. Dia hendak melawan keriput kening dengan pupur tebal, menentang uhari yarig telah berserak dengan cat rambut, bersikap genit menonjolkan diri, padahal telah menjadi tertawaan. Dia belum mau mengakui bahwa dia telah mulai tua, sebab itu dia hendak bertahan terus. Kadang-kadang beriombalah dia dengan anaknya yang-masih muda mempersolek diri. Kadang-kadang tingkah laku perangainya membosankan orang yang melihat. Hanyalah pendiriikan iman kepada Tuhan yang diterima sejak muda yang akan menolong perempuan itu dalam saat yang demikian, yaitu saat “pancaroba" yang kedua. Sebab itu Tuhan menutup baik ayat 59 ataupun ayat 60 dengan: “Dan Tuhan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui akan tingkah lakumu, gerak-gerikmu."
Maka di dalam ayat ini dijelaskan bahwa soal pakaian teratur sebagai keluar rumah, atau mantel (baju luar) sebagai yang terpakai di Eropa, atau Tanah Arab, selendang penutup kepala atau baju-baju lain tidak perlu lagi memberati kepada wanita apabila dia telah memasuki gerbang tua, tidak ada harapan beranak lagi ataupun berhaidh, yang penting baginya untuk masa demikian ialah menjaga sikap hidup, kewibawaan dan menjaga sikap diri dan jiwa supaya tetap terhormat, menjadi contoh teladan yang diaegani oleh anak cucunya dalam rumahtangga apatah lagi bagi orang lain.
Kemudian pada ayat 61 dijelaskan pula hubungan kekeluargaan orang yang beriman dan soal makan dan minum di rumah keluarga itu.
Sudah menjadi adat manusia di seluruh dunia ini, urusan jamuan makan dan minum adalah urusan sopan-santun dan pergaulan yang mulia. Sudah menjadi adat-iatiadat orang Timur, terutama dalam negeri-negeri yang agraria (pertanian) tidak merasa senang kalau tetamu, baik karib ataupun jauh, datang ke rumah kita tidakdiberi makan. Sekurangnya air agak seteguk. Bertambah budi masyarakat, terutama budi Islam, bertambah diperhatikan perkara memberi makan dan minum ini.
Sehingga mIsalnya seorang musafir yang memulai perjalanannya dari Pulau Lombok melalui Bali, Jawa, Sumatra sampai Sabang, tidaklah dia akan lapar dalam perjalanan, tidaklah akan membeli nasi selama dia pandai membawakan dirinya sebagai Muslim di negeri-negeri yang disinggahinya.
. Tetapi sungguhpun makan dan minum menjadi puncak perbasaan, tidak boleh kita lancang saja masuk rumah orang lalu makan. Islam menyuruh seseorang menghormati tetamunya, tetapi si tetamu wajib pula menghormati dirinya. Tetamu yang tidak menghormati diri dan tidak menghormati ahli rumah yang ditamuinya, bukanlah orang yang patut dihormati. Bukan perkara kecil menyelenggarakan orang lain yang bukan keluarga.