Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذَا
dan jika
قُرِئَ
dibacakan
ٱلۡقُرۡءَانُ
Al Quran
فَٱسۡتَمِعُواْ
maka dengarkanlah
لَهُۥ
kepadanya
وَأَنصِتُواْ
dan perhatikanlah
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تُرۡحَمُونَ
kamu diberi rahmat
وَإِذَا
dan jika
قُرِئَ
dibacakan
ٱلۡقُرۡءَانُ
Al Quran
فَٱسۡتَمِعُواْ
maka dengarkanlah
لَهُۥ
kepadanya
وَأَنصِتُواْ
dan perhatikanlah
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تُرۡحَمُونَ
kamu diberi rahmat
Terjemahan
Jika dibacakan Al-Qur’an, dengarkanlah (dengan saksama) dan diamlah agar kamu dirahmati.
Tafsir
(Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah) jangan berbicara (agar kamu mendapat rahmat) ayat ini diturunkan sehubungan dengan perintah tidak boleh berbicara sewaktu khutbah Jumat yang diungkapkan oleh ayat ini dengan istilah Al-Qur'an, mengingat khutbah itu mengandung ayat-ayat Al-Qur'an. Menurut pendapat lain berkaitan dengan pembacaan Al-Qur'an secara mutlak.
Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian mendapat rahmat. Setelah Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa Al-Qur'an adalah bukti-bukti yang nyata bagi manusia dan petunjuk serta rahmat bagi mereka, lalu Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan agar mereka mendengarkannya baik-baik serta penuh perhatian dan tenang di saat Al-Qur'an dibacakan, untuk mengagungkan dan menghormatinya; janganlah seperti yang sengaja dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy saat mendengarnya, seperti yang disitir oleh Al-Qur'an, bahwa mereka berkata: Janganlah kalian mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur'an ini dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya. (Fushshilat: 26), hingga akhir ayat.
Keharusan ini bertambah kukuh dalam shalat fardu bila imam membacanya dengan suara keras, seperti yang disebutkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya melalui hadits Abu Musa Al-Asy'ari yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Sesungguhnya imam itu dijadikan hanyalah untuk diikuti. Maka apabila imam bertakbir, bertakbirlah kalian; dan apabila imam membaca (Al-Qur'an), dengarkanlah (bacaannya) dengan penuh perhatian dan tenang. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh para pemilik kitab Sunnah melalui hadits Abu Hurairah. Hadits ini dinilai shahih oleh Muslim ibnul Hajjaj, tetapi ia sendiri tidak mengetengahkan riwayat ini dalam kitabnya. Ibrahim ibnu Muslim Al-Hajri telah meriwayatkan dari Abu Iyad, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa pada awal mulanya mereka sering berbicara dalam shalat, tetapi ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik (Al-A'raf: 204) dan ayat berikutnya, maka mereka diperintahkan untuk tenang.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari ‘Ashim, dari Al-Musayyab ibnu Rafi' yang mengatakan bahwa Ibnu Mas'ud pernah menceritakan, "Dahulu para sahabat biasa mengucapkan salam di antara sesamanya dalam shalat, "maka turunlah ayat yang mengatakan: Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian mendapat rahmat. (Al-A'raf: 204) Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Al-Muharibi, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Basyir ibnu Jabir yang mengatakan bahwa Ibnu Mas'ud ketika sedang shalat mendengar sejumlah orang ikut membaca Al-Qur'an bersama imam.
Setelah Ibnu Mas'ud selesai dari salatnya, ia mengatakan, "Ingatlah, sekarang sudah saatnya bagi kalian untuk mengerti dan sudah saatnya untuk menggunakan pikiran. 'Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang.' (Al-A'raf: 204) Seperti yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian." Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abus Saib, telah menceritakan kepada kami Hafs, dari Asy'as, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang pemuda dari kalangan Anshar.
Disebutkan bahwa setiap kali Rasulullah ﷺ membaca Al-Qur'an dalam salatnya, maka pemuda itu ikut membacanya pula, lalu turunlah ayat ini: Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang. (Al-A'raf: 204) Imam Ahmad dan para pemilik kitabSunnah telah meriwayatkan melalui hadits Az-Zuhri, dari Abu Aktamah Al-Laisi, dari Abu Hurairah, bahwa setelah Rasulullah ﷺ selesai dari shalat yang keras bacaannya, beliau bersabda: "Apakah ada seseorang di antara kalian yang ikut membaca bersamaku?" Seorang lelaki menjawab, "Ya saya wahai Rasulullah Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya aku akan mengatakan, 'Saya tidak akan bersaing dalam Al-Qur'an'. Maka sejak saat itu orang-orang berhenti dari kebiasaan membaca bersama Rasulullah ﷺ dalam shalat yang keras bacaannya, yaitu sejak mereka mendengar hal tersebut dari Rasulullah ﷺ Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan, dan dinilai shahih oleh Abu Hatim Ar-Razi. Abdullah ibnul Mubarak telah meriwayatkan dan Yunus, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa orang yang berada di belakang imam tidak boleh ikut membaca dalam shalat yang bacaannya dikeraskan oleh imam.
Bacaannya sudah cukup ditanggung oleh bacaan imam, sekalipun imam tidak memperdengarkan bacaannya kepada mereka. Tetapi mereka harus membaca dalam shalat yang imam tidak mengeraskan bacaannya padanya, yaitu dengan suara yang perlahan dan hanya dapat didengar oleh mereka sendiri. Seseorang yang berada di belakang imam tidak layak pula ikut membaca bersama imam dalam shalat jahriyah-nya, baik dengan bacaan perlahan maupun keras, karena sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian mendapat rahmat. (Al-A'raf: 204) Menurut kami, pendapat di atas merupakan pendapat segolongan ulama.
Mereka mengatakan bahwa makmum tidak wajib membaca dalam shalat yang bacaannya dikeraskan oleh imam, baik Fatihahnya maupun surat lainnya. Demikianlah menurut salah satu di antara dua pendapat di kalangan mazhab Syafi'i. Pendapat ini merupakan qaul qadim dari Imam Syafi'i, sama dengan mazhab Imam Malik dan suatu riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal, karena berdasarkan dalil yang telah disebutkan di atas.
Imam Syafi'i dalam qaul jadid-nya mengatakan.Makmum hanya diperbolehkan membaca Al-Fatihah saja. yaitu di saat imam sedang diam.Pendapat ini dikatakan oleh sejumlah sahabat dan tabi'in serta orang-orang sesudah mereka. Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad mengatakan bahwa makmum sama sekali tidak wajib melakukan bacaan, baik dalam shalat sirriyyah maupun dalam shalat jahriyyah (shalat yang pelan bacaannya dan shalat yang keras bacaannya), karena berdasarkan sebuah hadits yang mengatakan: Barang siapa yang mempunyai imam, maka bacaan yang dilakukan oleh imam merupakan bacaannya pula.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya melalui Jabir secara marfu'. Di dalam kitab Muwatta' Imam Malik hadits ini diriwayatkan melalui Wahb ibnu Kaisan, dari Jabir secara mauquf, dan apa yang disebutkan di dalam kitab Muwatta' ini lebih shahih. Masalah ini diketengahkan dengan penjabaran yang lebih rinci pada bagian lain dari kitab ini.
Imam Abu Abdullah Al-Bukhari telah menulis suatu tulisan tersendiri yang membahas masalah ini secara rinci, tetapi pada akhirnya ia memilih pendapat yang mewajibkan membaca bagi makmum dalam shalat jahriyyah maupun shalat sirriyyah. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan makna firman-Nya: Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang. (Al-A'raf: 204) Yakni dalam shalat fardu.
Hal yang sama diriwayatkan dari Abdullah ibnu Mugaffal. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu Mas'adah, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnul Mufaddal, telah menceritakan kepada kami Al-Jariri, dari Talhah ibnu Ubaidillah ibnu Kuraiz yang menceritakan bahwa ia pernah melihat Ubaid ibnu Umair dan ‘Atha’ ibnu Abu Rabah sedang berbincang-bincang, sedangkan di dekat keduanya ada seseorang sedang membaca Al-Qur'an.
Maka ia berkata, "Mengapa kamu berdua tidak mendengarkan Al-Qur'an yang akibatnya kamu berdua akan terkena ancaman?" Tetapi keduanya hanya memandang ke arahku, kemudian melanjutkan obrolan lagi. Lalu ia mengulangi tegurannya, tetapi mereka hanya memandang ke arahku, lalu melanjutkan obrolan mereka. Ketika ia mengulangi teguran untuk ketiga kalinya, maka keduanya memandang ke arahku, lalu mengatakan bahwa sesungguhnya hal yang disebutkan oleh ayat berikut hanyalah jika dalam shalat, yaitu firman-Nya: Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang. (Al-A'raf: 204) Hal yang sama diriwayatkan oleh Sufyan Ats-Tsauri, dari Abu Hasyim Ismail ibnu Kasir, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang. (Al-A'raf: 204) Yakni di dalam shalat.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh sejumlah orang, dari Mujahid. Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ats-Tsauri, dari Al-Al-Laits, dari Mujahid yang mengatakan bahwa tidak apa-apa berbicara bila seseorang membaca Al-Qur'annya di luar shalat. Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair, Adh-Dhahhak, Ibrahim An-Nakhai, Qatadah, Asy-Sya'bi, As-Suddi, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa yang dimaksud dengan perintah mendengarkan bacaan Al-Qur'an adalah dalam shalat.
Syu'bah telah meriwayatkan dari Mansur yang pernah mendengar Ibrahim ibnu Abu Hamzah bercerita bahwa ia pernah mendengar Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang (Al-A'raf: 204) Yakni dalam shalat dan khotbah Jumat. Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, dari ‘Atha’. Hasyim telah mengatakan dari Ar-Rabi' ibnu Sabih, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa hal tersebut bila berada di dalam shalat dan di saat sedang berzikir.
Ibnul Mubarak telah mengatakan dari Baqiyyah yang pernah mendengar Sabit ibnu Ajlan mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik dan perbaikanlah dengan tenang. (Al-Araf: 204) Bahwa kewajiban mendengarkan ini ialah dalam shalat Hari Raya Kurban, Hari Raya Fitri, hari Jumat, dan shalat-shalat yang imam mengeraskan bacaan Al-Qur'an padanya.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, bahwa yang dimaksud dengan hal tersebut ialah mendengarkan bacaan Al-Qur'an dalam shalat dan khotbah, seperti yang disebutkan oleh banyak hadits yang memerintahkan mendengarkan bacaan Al-Qur'an dengan tenang di belakang imam dan di saat sedang khotbah. Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ats-Tsauri, dari Al-Laits, dari Mujahid, bahwa ia menganggap makruh bila imam sedang membaca ayat khauf atau ayat rahmat, lalu ada seseorang di belakang imam mengucapkan sesuatu.
Mujahid mengatakan bahwa semuanya harus tetap diam. Mubarak ibnu Fudalah telah meriwayatkan dari Al-Hasan, "Apabila engkau duduk mendengarkan Al-Qur'an, maka perhatikanlah bacaannya dengan tenang." Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Maisarah, dari Al-Hasan, dari Abu Hurairah , bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Barang siapa mendengarkan suatu ayat dari Kitabullah, maka dicatatkan baginya kebaikan yang berlipat ganda. Dan barang siapa yang membacanya, maka ia mendapat nur (cahaya) di hari kiamat. Hadits diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Ahmad."
Dan sampaikan juga bahwa apabila dibacakan ayat-ayat Al-Qur'an oleh siapa pun, maka dengarkanlah dengan penuh perhatian, dan diamlah sambil memperhatikan tuntunan-tuntunannya dengan tenang agar kamu mendapat rahmat dari Allah. Jika dibacakan Al-Qur'an, kita diperintahkan mendengar dan memperhatikan sambil berdiam diri, baik di dalam salat maupun di luar salat. Dan ingatlah Tuhanmu dengan sungguh-sungguh hingga keagungan dan kebesaran-Nya hadir dalam hatimu ketika membaca dan mendengar Al-Qur'an atau berzikir, dengan rendah hati dan rasa takut. Kamu akan merasakan kehadiran, kedekatan dan rasa takut pada-Nya. Lakukan itu dengan tidak mengeraskan suara. Tidak perlu kamu bersuara keras atau terlalu lemah. Lakukanlah zikir itu pada waktu pagi dan petang, agar kamu memulai dan mengakhiri harimu dengan mengingat Allah. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah, tidak mengingat Allah di setiap saat.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ayat ini diturunkan karena sahabat salat di belakang Rasulullah sambil berbicara. Allah dalam ayat ini memerintahkan orang-orang yang beriman agar mereka memberikan perhatian yang sungguh-sungguh kepada Al-Qur'an. Hendaklah mereka mendengarkan sebaik-baiknya ataupun isinya untuk dipahami, mengambil pelajaran-pelajaran dari padanya dan mengamalkannya dengan ikhlas.
Sabda Rasulullah saw:
Barangsiapa mendengarkan (dengan sungguh-sungguh) ayat dari Al-Qur'an, dituliskan baginya kebaikan yang berlipat ganda dan barang siapa membacanya, adalah baginya cahaya pada hari Kiamat." (Riwayat al-Bukhari dan Imam Ahmad dari Abu Hurairah)
Hendaklah orang-orang mukmin itu bersikap tenang sewaktu Al-Qur'an dibacakan, sebab di dalam ketenangan itulah mereka dapat merenungkan isinya. Janganlah pikiran mereka melayang-layang sewaktu Al-Qur'an diperdengarkan, sehingga tidak dapat memahami ayat-ayat itu dengan baik. Allah akan menganugerahkan rahmat-Nya kepada kaum Muslimin bilamana mereka memenuhi perintah Allah tersebut dan menghayati isi Al-Qur'an.
Ada beberapa pendapat seputar perintah untuk mendengarkan dan bersikap tenang sewaktu Al-Qur'an dibacakan:
1. Wajib mendengarkan dan bersikap tenang ketika Al-Qur'an dibacakan berdasarkan perintah tersebut, baik di dalam salat ataupun diluar salat. Demikianlah pendapat Hasan al-Bashri dan Abu Muslim al-Ashfahani.
2. Wajib mendengarkan dan bersikap tenang, tetapi khusus pada bacaan-bacaan Rasul ﷺ di zaman beliau dan bacaan iman dalam salat, serta bacaan khatib dalam khutbah Jumat.
3. Mendengarkan bacaan Al-Qur'an di luar salat dan khutbah seperti resepsi dipandang sangat dianjurkan agar kita mendapat rahmat Allah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 200
“Dan, jika mengenai kepada engkau suatu gangguan dari setan maka berlindunglah kepada Allah! Sesungguhnya Dia adalah Mendengar lagi Mengetahui."
Gangguan bukan saja akan datang dari luar, tetapi akan masuk ke dalam diri sendiri dengan secara halus, yaitu gangguan setan iblis. Allah peringatkan ini kepada Rasul-Nya Muhammad ﷺ setelah dekat kepada penutup surah, sebagai simpulan daripada permulaan surah dahulu, yang menerangkan bahwa iblis di dalam surga telah mengganggu nenek moyang kita Adam dan Hawa dengan perdayaannya, sehingga termakan buah yang terlarang. Maka, beliau, Nabi Muhammad ﷺ, apatah lagi umatnya ini, tidak pulalah akan terlepas daripada gangguan setan itu. Bukankah ketika akan disuruh keluar dari surga, iblis telah meminta kepada Allah agar dia diberi kesempatan mengganggu keturunan Adam dan Allah pun membiarkan. Allah berkata bahwa gangguan mereka itu tidak akan mempan kepada hamba-hamba-Ku. Kekuasaan dan pe-ngaruh mereka tidak akan masuk kepada orang yang selalu berlindung kepada Allah, Oleh sebab itu akhir penutup surah, Allah memperingatkanlah hal itu kembali. Agar jika dia datang mengganggu, lekas-lekas melin-dungkan diri kepada Allah.
Dia datang memperdayakan Nabi Yusuf dengan perantaraan Zulekha. Akan tetapi, Yusuf sadar dan selamat. Kalau Yusuf mau, tentu masuk perdayaan setan, sebab dia jauh dari orangtua dan saudaranya, dia waktu itu hanya seorang hamba sahaya, sedang yang merayunya ialah seorang perempuan cantik, induk semangnya yang berkuasa atas dirinya dan kaya raya pula. Kalau Yusuf yang bersih dicobanya juga memperdayakan, apatah lagi kita. Perdayaan perempuan hanya satu macam saja dari 700 macam perdayaan iblis.
Kita bisa marah sehingga tidak dapat mengendalikan diri. Seorang mahasiswa yang jatuh dalam ujian semester, bisa diperdaya-kannya, sehingga membunuh diri.
Penulis tafsir ini ketika mendapat tuduhan dari fitnah yang hebat dan didesak-desak untuk mengakui perbuatan yang tidak pernah dipikirkannya, yaitu dituduh mengkhianati negara dan tanah cairnya, telah bersumpah-sumpah mengatakan tidak pernah jangankan berbuat, sedangkan teringat pun tidak. Akan tetapi, polisi yang memeriksa masih saja belum percaya. Di saat yang sangat sulit, di saat awak merasa tidak bersalah; di saat itulah datang setan merajai; lebih baik bunuh saja diri, ambil pisau silet, potong saja urat nadi, sebentar engkau sudah mati. Dengan itu engkau akan terlepas dari tekanan jiwa ini. Padahal, sebagai salah seorang yang dididik dari kecil dalam suasana beragama, si penulis tafsir ini sudah tahu bahwa membunuh diri adalah haram dan kekal dalam neraka. Alhamdulillah, setelah dia teringat akan amal usahanya selama ini, sebagai khidmat kepada kaum Muslimin dan ibadah kepada Allah, dia membaca, “Na'udzubillahi minasyaithanir rajim", dan ingat bahwa kehilangan seorang yang membunuh diri, belumlah berarti sebagai kepecahan telur sebuah dari golongan umat Muhammad ﷺ, segera dia ingat kepada Allah dan segeralah matanya terbuka, melihat kebenaran sejati, bahwasanya cobaan yang dideritanya belum sekuku jika dibandingkan
Ucapkanlah dengan lidah yang datang dari hati sanubari, bahwa tempat berlindung dari bahaya setan itu ialah Allah, dan bacalah:
“Aku berlindung kepada Allah dari (usaha) setan terkutuk."
Perlindungan diri kita yang tulus ikhlas serta menyerah kepada Allah itu didengar oleh Allah dan diketahui-Nya.
Ayat 201
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila menyentuh akan mereka suatu gangguan dari setan, mereka pun (segera) Ingat lalu mereka pun melihat."
Orang yang beriman selalu membentengi diri mereka dengan takwa. Yaitu selalu me-melihara hubungan baiknya dengan Allah dan selalu pula awas. Akan tetapi, sekali-sekali tentu ada terlalai, sebab mereka adalah manusia. Di saat terlalai sedikit itu, setan pun mencoba mengganggu, walaupun mereka orang yang telah bertakwa. Tiap-tiap kita merasai perjuangan dengan setan itu setiap hari, setiap saat. Seumpama seorang supir mobil mengendalikan mobilnya dengan amat awas, tetapi sekali-sekali dia mengantuk. Kalau dia tidak lekas sadar, dia bisa terjerumus masuk jurang. Sebab, soal-soal yang dihadapi manusia di dalam hidup itu terlalu aneka warna.
Cobalah perhatikan ayat 27 yang dahulu, di sana dikatakan bahwa dia dan golongannya melihat kamu, sedang kamu tidak melihat mereka. Akan tetapi, meskipun dia tidak kelihatan oleh mata, tetapi pengaruhnya itu terasa kalau dia telah masuk. Sedang di dalam shalat, dicobanya juga mengganggu kita. Jerat yang dipasang setan siang dan malam, menurut ibnu Abbas, tidak kurang dari 700 macam. Kita mempunyai nafsu dan mempunyai syahwat.
Kita mempunyai keinginan-keinginan yang hanya akal dan iman yang dapat membatasinya.
…dengan cobaan yang diderita oleh ulama-ulama yang besar, dan belum tujuh tahun menderita di penjara sebagai yang diderita oleh Nabi Yusuf a.s. karena tuduhan palsu.
Di sinilah si penulis tafsir ini mengerti apa sebab polisi menjaga keras supaya orang-orang yang tengah diperiksa, dijauhkan sangat dari senjata tajam. Perebutan pengaruh dengan setan ini berlaku kira-kira satu jam. Setelah itu penulis tafsir menang dan tenang: “Alhamdulillah!"
Ayat 202
“Dan, kawan-kawan mereka menolong mereka di dalam kesesalan, kemudian mereka tidak berhenti."
Di sinilah perbedaan di antara orang Mukmin dan bertakwa dengan orang yang musyrik, Kalau orang yang bertakwa segera ingat dan sadar, tetapi orang yang musyrik akan bertambah disesatkan oleh setan-setan, sebab setan-setan itu telah menjadi kawan-kawan mereka. Sebab, dasar iman kepada Allah tidak ada, atau diri tidak dilatih sejak semula dengan takwa. Oleh sebab itu mereka bertambah hanyut, bertambah sangsi, bertambah sesat. Sebab, kawan-kawan yang mengelilingi tidak lain daripada setan-setan maka tidaklah sanggup lagi mereka mencabut diri dari dalam lumpur kehinaan itu, dan mereka tidak bisa berhenti lagi, mesti jalan terus, sampai bersama-sama dengan setan-setan itu masuk neraka, sebagai yang telah dinyatakan dengan tegas kepada setan itu ketika menjawab permohonannya memperdayakan manusia pada ayat 18 per-mulaan surah ini.
Sekarang disebutkan lagi ketakutan kaum musyrikin yang telah dipengaruhi setan itu terhadap Rasul ﷺ:
“Dan, apabila tidak engkau bawakan kepada mereka suatu ayat, mereka berkata,
Ayat 203
“Mengapa tidak engkau pilihkan dia."
Artinya, ayat-ayat Allah datang sebagai wahyu kepada Nabi Muhammad kadang-kadang berturut-turut, tetapi kadang-kadang ada renggang agak lama, sehingga belum ada ayat baru yang akan dibacakan oleh Rasulullah ﷺ Maka, pada saat ayat yang baru belum juga datang, mulailah kaum musyrikin itu berkata, mengapa sekarang tidak ada lagi engkau membaca ayat baru, mengapa tidak engkau pilihkan buat kami ayat yang lain lagi? Apakah engkau sudah berhenti jadi nabi? Apakah malaikat tidak sudi lagi mendatangi engkau? Yang sudah nyata pertanyaan begini timbul dari kekufuran juga. Sebab, jika ada ayat datang, dibacakan kepada mereka, tetapi mereka tidak mau juga mendengarkan, sebagai tersebut di ayat 198 tadi. Sekarang agak lama baru wahyu datang, mereka ada pula yang bertanya; mengapa tidak datang lagi. “Katakanlah, Yang aku turuti hanyalah apa yang diwahyukan kepadaku daripada Tuhanku.'"
Di ayat ini disuruh menjelaskan bahwa wahyu bukanlah soal yang dapat aku buat sendiri, sehingga dapat aku pilihkan wahyu yang kamu rasa baik buat kamu. Aku tidak akan bercakap dengan kamu berdasarkan wahyu sebelum wahyu itu sendiri diantarkan Jibril kepadaku. “Ini adalah beberapa pandangan dan Tuhan kamu." Yang dengan akal pikiran yang ada pada kamu dapatlah kamu pikirkan dan renungkan, bagi keselamatan kamu sendiri dunia dan akhirat.
“Dan petunjuk dan rahmat bagi kamu yang beriman."
Isi wahyu adalah petunjuk jalan mana yang sepatutnya ditempuh dalam hidup ini. Apabila petunjuk itu dipegang teguh, dituruti dengan setia dan patuh, pastilah hidup itu akan selamat. Dan, itulah rahmat. Karen kebodohan adalah gelap-gelita, sedang petunjuk adalah sinar yang terang. Sinar terang adalah rahmat, sebab dia memberi kesegaran kepada akal. Perihal waktu datangnya, bukanlah Rasul yang menentukan, melainkan Allah sendiri.
DENGARKAN AL-QUR'AN DENGAN PENUH PERHATIAN
Kemudian datanglah peringatan kepada kaum yang telah beriman itu, kaum yang menginginkan petunjuk dan rahmat dari Allah, agar apabila Al-Qur'an dibaca hendaklah didengarkan baik-baik.
Ayat 204
“Dan, apabila dibacakan orang Al-Qur'an maka dengarkanlah dia dan berdiam dirilah; moga-moga kamu mendapat rahmat."
Al-Qu'ran adalah wahyu Ilahi. Dia telah disampaikan kepada umat manusia dengan perantaraan utusan Allah, Muhammad ﷺ Kalam Allah itu telah sampai kepada kita. Sedangkan ketika orang yang berjabatan tinggi lagi menyampaikan briefingnya, atau perintah harian, sangatlah tidak sopan kalau para hadirin melengah juga kepada yang lain. Apatah lagi wahyu Ilahi. Dan, hormatilah Al-Qur'an.
Menurut Imam Hasan al-Bishri dan Abu Muslim al-Ashfahani dan imam-imam ahli Zhahir, berdasarkan ini wajiblah kita mendengarkan dan berdiam diri kalau Al-Qur'an terdengar sedang dibaca orang. Perintah ini berlaku terus, yaitu perintah wajib, baik sedang di dalam shalat ataupan di luar shalat. Asal saja Al-Qur'an terdengar dibaca orang, dalam radio, TV atau disuarakan dalam mikrofon, wajib kita dengarkan berdasarkan perintah dalam ayat ini.
Namun, golongan yang lebih besar dari ulama-ulama ikutan, sama berpendapat bahwa yang keras diperintahkan mendengarkan dan berdiam diri ketika Al-Qur'an dibaca orang, ialah terhadap makmum sekitar imam shalat membaca dengan jahar (suara keras). Tersebut sabda Rasulullah ﷺ;
“Di dalam shalat memakai imam, lain tidak ialah agar dia diimamkan. Maka, bila dia takbir, barulah kamu takbir dan kalau dia sedang membaca hendaklah kamu diam." (HR Muslim)
Seperti itu juga arti dari sebuah hadits lagi yang diwarikan oleh Ashhabus Sunan dari Abu Hurairah:
“Dirawikan oleh Imam Ahmad dan Ahlus Sunnah dari Abu Hurairah, bahwa Rasuluilah ﷺ setelah selesai shalat yang beliau menjahar padanya, berkata, ‘Adakah salah seorang di antara kamu membaca pula bersama aku tadi.' Menjawab seorang laki-laki, ‘Benar ya Rasulullah.' Maka beliau pun berkata, ‘Mengapa saya disaingi dalam membaca AbQur'anl' Ber-kata Abu Hurairah, ‘Sejak itu berhentilah orang membaca bersama Rasulullah ﷺ kalau beliau menjaharkan bacaannya dalam shalat, tatkala telah mereka dengar yang demikian dari Rasulullah.'" (HR Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan)
At-Tirmidzi mengatakan bahwa Hadits ini hasan (baik). Abu Hatim ar-Razi memastikan bahwa hadits ini shahih.
Dengan demikian teranglah bahwa kalau imam membaca dengan jahar (suara keras), hendaklah sekalian makmum berdiam diri mendengarkan. Cuma ada dalam suatu hal, sunnah mengecualikannya, yaitu membaca al-Faatihah.
“Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit, berkata dia, ‘Pernah Rasulullah saus bershalat Subuh dengan kami. Tiba-tiba terganggu-ganggu beliau membaca. Setelah selesai shalat berkata beliau, ‘Saya perhatikan kalian membaca di belakang imam kalian.' Berkata (Ubadah), Kami jawab, ‘Ya Rasulullah, memang sebenarnya demikian, wadahi.' Lalu beliau bersabda, ‘Jangan kalian berbuat begitu (membaca), kecuali dengan Ummul Qur'an (al-Faatihah). Karena sesungguhnya tidaklah (sah) shalat bagi barangsiapa yang tidak membacanya.'"
Dan, terdapat pula dengan lafazh yang lain:
“Maka janganlah kamu baca sesuatu pun dari Al-Qur'an itu. Jika aku menjaharkannya, kecuali Ummul Qur'an." (HR Abu Dawud, an-Nasa'i, dan ad-Daruquthni, beliau berkata bahwa perawi-perawi Hadits ini tsiqat boleh dipercaya semuanya).
“Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dari Anas bin Malik, berkata Rasulullah ﷺ, ‘Apakah kamu membaca di dalam shalat kamu di belakang imam.; Padahal imam sedang membaca? Jangan
kamu berbuat begitu, tetapi hendaklah kamu membaca fatihatul-kitab dalam dirinya (dengan berbisik)."‘ (HR Ibnu Hibban)
Berkata Jalaluddin al-Qasimi, “Adapun hadits dari Abu Hurairah yang mula-mula kita nukilkan di atas tadi, tidaklah dapat dijadikan dalil untuk menetapkan bahwa makmum tidak membaca sama sekali. Yang dilarang ialah makmum turut menjahar. Karena terjadi yang namanya menyaingi imam, apabila makmum menjaharkan bacaannya pula. Akan tetapi, kalau ia membaca dengan berbisik tidaklah terjadi menyaingi. Karena kalau diterima bahwa membaca dengan sirr (berbisik), termasuk juga dalam menyaingi imam, niscaya istifham inkari (pertanyaan yang berarti larangan) dari Rasulullah ﷺ itu, menjadi umum bagi seluruh Al-Qur'an, atau mutlak untuk sekaliannya. Maka, hadits Ubadah tadi adalah khas (khusus al-Faatihah boleh dibaca), atau muqayyad. Oleh sebab itu tidaklah ada pertentangan di antara yang ‘am dengan yang khas, atau di antara yang mutlak dengan yang muqayyad. Karena yang pertama ditegaskan atas yang kedua. Dan, demikian jugalah kata orang tentang maksud yang umum dari ayat ini. Dengan begitu dapatlah kita mengumpulkan jadi satu di antara dalil dari Al-Qur'an, dengan sunnah yang shahih. Sebab, sunnah itupun kita perdapat dari orang yang membaca Al-Qur'an itu sendiri." Demikian mufassir al-Qasimi menulis dalam tafsirnya Mahasinutta'wil, Aid 7, halaman 2953.
Setengah ulama Salaf menambahkan lagi bahwa bukan di waktu imam membaca dengan jahar itu saja kita yang jadi makmum wajib mendengar; seperti itu pula wajibnya kita berdiam diri mendengarkan ketika khatib membaca khutbah Jum'at atau khutbah kedua hari raya; hendaklah kita diam. Itulah sebabnya maka di setengah negeri, sebelum imam naik mimbar, ada muadzin memperingatkan agar orang berdiam diri seketika khatib telah naik ke atas mimbar. Meskipun cara yang demikian tidak boleh selalu dilakukan, takut akan disangka rukun khutbah pula, sehingga menjadi bid'ah.
Bahkan dalam sebuah hadits yang shahih, Nabi Muhammad ﷺ memperingatkan, sampai orang yang menyuruh kawannya berdiam diri (anshit) shalatnya pun sudah tidak ada artinya iagi (Iagha). Akan tetapi, kalau ada orang yang terlambat datang lalu masuk ke dalam masjid, padahal khatib telah naik mimbar, dia masih disuruh Rasulullah saw, mengerjakan tahiyatul masjid. Rasulullah saw, yang sedang di atas mimbar pernah memerintahkan orang yang baru masuk itu supaya mengerjakan tahiyatul masjid terlebih dahulu sebelum duduk mendengarkan imam. Maka, menurut pendapat penyusun Tafsir al-Azhar ini, sama jugalah keadaannya dengan wajibnya mendengarkan dengan saksama seketika imam menjaharkan bacaan Al-Qur'annya, kecuali membaca al-Faatihah dengan berbisik. Sedangkan tahiyatul-masjid bagi orang yang terlambat masuk masjid, lagi diperintahkan oleh Nabi, padahal dia diwajibkan pula mendengarkan khatib; dan tahiyatul-masjid bukanlah wajib, hanyalah sunnah atau mustahab, apatah lagi membaca al-Faatihah dengan (berbisik) di belakang imam.
Ibnu Katsir menuliskan dalam tafsirnya ketika menguraikan tafsir ayat ini, bahwasanya Imam asy-Syafi'i dalam Qaul-nya yang Qadim berpendapat bahwa diwajibkan berdiam diri dan mendengarkan saja, dilarang membaca apa jua pun walaupun membaca al-Faatihah di belakang imam yang menjahar. Akan tetapi, di dalam Qaul-nya yang jadid, beliau menyatakan pendapat bahwa yang boleh dibaca di belakang imam yang menjahar hanya al-Faatihah saja.
Keterangan membaca al-Faatihah dengan sirr di belakang imam yang menjahar ini pun telah kita uraikan pula ketika menafsirkan surah al-Faatihah, di dalam Tafsir al-Azhar juz I cetakan ke-2.
Selain dari sekalian yang telah tersebut itu hendaklah kita perhatikan sebuah sabda Rasulullah ﷺ yang dirawikan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dari Abu Hurairah. Berkata dia:
“Bersabda Rasulullah ﷺ, ‘Barangsiapa yang meridengarkan barang suatu ayat daripada Kitab Allah, akan dicatatkan untuknya kebaikan yang berlipat ganda. Dan, barangsiapa yang membacanya, akan adalah untuk nur (cahaya) di Hari Kiamat." (HR Inaarn Ahmad)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa hadits yang amat penting ini hanya Imam Ahmad saja yang merawikan, (Imam Ahmad bin Hanbal).
Sebagaimana kita ketahui di dalam beberapa hadits, Rasulullah ﷺ senang sekali mendengarkan orang lain yang merdu suaranya membaca al-Qur'an di dekat beliau. Sampai dia menangis tersedu-sedu mendengar Al-Qur'an dibaca oleh Abu Musa al-Asy'ari; sampai beliau misalkan suara yang merdu itu dengan kecapi Nabi Dawud.
Supaya pembacaan itu menarik hati dan telinga, diajarkanlah pelajaran ilmu tajwid, artinya ilmu memperbaiki lidah khusus untuk membaca Al-Qur'an, sehingga enak didengar. Maka, orang yang suaranya laksana betung pecah, dan bacaannya tidak teratur atau lidahnya lahan tidak usahlah membaca A!-Qur'an dengan suara keras, supaya orang jangan bosan mendengarkan. Bukan Al-Qur'an yang salah, cuma yang membacanya tidak menarik. Akan tetapi, sebagai yang tersebut di dalam surah Luqmaan; bahwasanya suara yang paling buruk ialah suara keledai (Luqmaan ayat 19).
MENGINGAT ALLAH DI DALAM HATI
Ayat 205
“Dan, sebutlah Tuhan engkau di dalam hatimu dengan merendah diri dan takut, dan tidak dengan kata-kata yang keras pada pagi hari dan petang."
Tujuan kata kepada Nabi Muhammad ﷺ Akan tetapi, tujuan adalah untuk umum. Ingatlah Tuhanmu wahai insan!
Sudah tersebut di dalam beberapa surah di dalam Al-Qur'an bahwasanya dzikir, adalah ingat di dalam hati, atau disebut dengan mulut yang bertalian dengan ingatan hati adalah syarat mutlak bagi penyuburan iman. Ingat kepada Allah adalah pokok utama kepada pikir. (Aali ‘Imraan: 191)
Harta benda dan anak-anak sekalipun jangan jadi penghalang dengan dzikir kepada Allah. (al-Munafiqun: 9) Terlengah sedikit saja daripada dzikir kepada Allah, setan bisa saja memengaruhi. (al-Mujadilah:19 dan lain-lain) Maka, di dalam ayat ini Allah memberikan tuntunan bagaimana dzikir atau mengingat Allah itu.
Pertama: hendaklah Allah itu diingat di dalam hati atau direnungkan. Sebab, renungan yang mendalam itu adalah memperkuat rasa ikhlas.
Kedua: hendaklah dengan merendah diri, yang disebut tadharru'. Menekur mengingat hina dan papa kita makhluk ini di hadapan Allah. Kita ini tidak lebih daripada yaitu hamba. Di hadapan Allah Yang Mahamulia, Mahakaya dan Mahakuasa. Kita serahkan diri bulat-bulat kepada-Nya.
Ketiga: hendaklah dengan perasaan takut. Takut akan keagungan rububiyah dan kebesaran uluhiyah. Jika dicabut-Nya pertolongan-Nya dari kita, tidak ada yang lain yang akan kuasa menggantikan-Nya.
Keempat: Tidak usah disorak-sorakkan, dihimbau-himbaukan.
Berkata Ibnu Katsir, “Lantaran itu sebaiknya janganlah berdzikir itu dengan bersorak-sorai atau suara keras."
Diriwayatkan daripada Abu Musa al-Asy'ari r.a. berkata dia, “Diangkat orang suaranya tinggi-tinggi karena berdoa suatu perjalanan. Maka, bersabda ‘Nabi Muhammad ﷺ terhadap mereka, ‘Hai sekalian manusia! Tahanlah diri kalian, karena kalian tidak menyeru orang tuh dan tidak pula Dia g aib. Yang kamu seru ini adalah Maha Mendengar lagi sangat dekat. Lebih dekat kepadamu daripada duduk kendaraanmu sendiri!'"
Tegasnya, janganlah bersuara keras-keras sehingga berubah sifatnya daripada khusyu kepada hiruk-pikuk.
Kelima: bersamaan sebutan pada lidah dengan ingatan dalam hati. Sebab, dengan kalimat duunal jahri yang berarti “jangan keras-keras", dapatlah dipahamkan bahwa nama Allah itu disebut juga dengan lidah, ditekan oleh tadharru merendah diri, disertai dengan Italimatfiinafsika, dalam dirimu.
Keenam: ingatlah Dia pagi hari dan petang hari. Petang hari kita pun telah tenang kembali dari usaha dan pekerjaan.
Kemudian datanglah penutup ayat,
“Dan janganlah engkau termasuk orang-orang yang lalai."
Pertalikanlah kembali ayat ini dengan lima ayat sebelumnya, yaitu ayat 200, bahwasanya orang yang telah teguh takwanya kepada Allah, apabila dia disentuh oleh setan dengan satu gangguan, mereka pun ingat kembali kepada Allah maka terbukalah mata mereka kepada jalan yang benar.
Di sinilah terletak kepentingan dzikir: ingat selalu.
Lantaran itu maka jelaslah dzikir yang dilakukan oleh kebanyakan penganut ajaran tasawuf, sebagai ratib-tahli) beramal-ramai, bersama-sama dengan suara keras, sampai saking asyik dan lupa diri, terjadi yang mereka namai jadzab sampai pingsan, bukanlah dzikir ajaran Nabi Muhammad saw, melainkan yang dibuat-buat kemudian (bid'ah) yang tidak berasal dari ajaran agama.
Dzikir yang telah diajarkan oleh Rasulullah ﷺ ialah tasbih: Subhaanallah, tahmid: Alhamdulillah, tahlil: La Ilaha Illallah, takbir: Allahu Akbar, Hauqalah: La Haula wala Quwwata lila Billahi, dan istighfar: Astaghfirullah.
Maka, datanglah ahli-ahli tasawuf membuat berbagai dzikir ciptaan sendiri, yang tidak berasal dari ajaran Allah dan Rasul. Ada dzikir yang hanya membaca Allah saja berkali-kali dengan suara keras-keras, bersorak-sorak sampai payah dan sampai pingsan. Ada dzikir yang huw saja. Karena kata mereka huwa yang berarti Dia, ialah Dia Allah itu sendiri.
Kadang-kadang mereka adakan semacam demonstrasi sebagai menentang terhadap orang yang teguh berpegang kepada sunnah.
Maka, dzikir-dzikir semacam itu adalah berasal dari luar Islam atau telah menyeleweng sangat jauh dari pangkalan Islam.
Ayat 206
“Sesungguhnya mereka yang berada di sisi Tuhan engkau."
Yang dimaksud dengan mereka yang berada di sisi Allah ialah malaikat-malaikat. Mereka adalah pelaksana-pelaksana dari perintah Allah yang taat dan setia. Banyaklah disebutkan di dalam Al-Qur'an tentang malaikat itu. Diantaranya ialah malaikat yang ditugaskan memikul Arsy (al-Mu'min: 7) atau berkeliling di sekeliling Arsy Allah itu (az-Zumar: 75) Mereka itu terhitung dekat di sisi Allah. Mereka juga yang terbang Mi'raj di antara langit dengan bumi dalam sehari yang menurut perhitungan kita sudah 50,000 tahun (al-Ma'aarij: 4) dan beberapa ayat yang lain. “Tidaklah mereka menyombong daripada ibadah kepada-Nya." Begitu dekatnya malaikat-malaikat itu kepada Allah, tetapi mereka tidak menyombong membesarkan diri. Siap sedia selalu beribadah kepada Allah, baik di langit yang tinggi ataupun di bumi dan di mana saja, “Dan mereka pun mengucapkan kesucian atas-Nya." Kesucian ialah yang diungkapkan di dalam tasbih, yang termasuk di dalam dzikir juga.
Oleh Sebab itu, ujung surah sampai menerangkan bahwa malaikat pun taat kepada Allah dan selalu ingat kepada-Nya. Maka, ambil perbandinganlah oleh manusia.
“Dan kepada-Nyalah mereka bersujud."
Yaitu sujud menurut malaikat itu pula. Beberapa ayat di dalam Al-Qur'an menjelaskan bahwa seluruh isi bumi dan langit ini sujud kepada Allah. Malahan di dalam surah al-Hajj ayat 19 diterangkan bahwa segala yang di langit, yang di bumi, sampai matahari dan bulan, bintang-bintang, bukit-bukit dan segala tumbuh-tumbuhan dan kayu-kayuan, binatang pun semuanya sujud kepada Allah. Bagaimana cara sujud masing-masing tentu berbeda-beda, karena arti sujud yang sejati ialah ketundukan dan kepatuhan. Maka, kita manusia pun patutlah insaf akan yang demikian. Kalau segala makhluk sujud kepada Allah, kita pun sujud. Kita perlambangkan dengan anggota tentara yang berdisiplin, menjunjung perintah.
Apapun yang tengah dikerjakan maka bila kita mendengar orang lain membaca surah ini, sampai kepada akhir surah, terdengar kalimat walahuu yasjuduuna, yang berarti kepada Allah-lah malaikat-malaikat itu bersujud, kita pun bersujud. Dari perbuatan yang kecil kita menunjukkan kepatuhan di dalam melaksanakan perintah-perintah yang besar, dan menunjukkan pula betapa corak kita. Kita umat yang menentang segala persujudan dan ketundukan kepada yang lain, tetapi segera tunduk mencetahkan kening ke tanah, insaf akan kerendahan diri di hadapan Allah, apabila mendengar malaikat di langit pun bersujud kepada-Nya. Sebab, hanya Dia Tuhan kita. Dan, akan bertemulah kelak ayat-ayat seperti demikian pada surah-surah yang lain. Yang tersebut soal sujud kepada Allah, kita pun segera sujud. Baik seketika sendiri yang membacanya ataupun kita mendengar bacaan orang lain. Dan, bacaan yang diajarkan Nabi seketika sujud tilawah itu ialah:
“… wajahku kepada Tuhan yang telah menjadikannya dan memberinya rupa dan telah menganugerahkan pendengarannya dan penglihatannya, dengan kehendak-Nya sendiri dan kekuatan-Nya. Mahasucilah Allah yang sebaik-baik Pencipta."
Marilah kita ingat dan menyebut-Nya dengan segala kerendahan hati, insaf akan kelemahan kita dan kekuatan-Nya, kemampuan kita dan kekayaan-Nya, fana kita, baqa-Nya, kehinaan kita dan kemuliaan-Nya,
Dan, penulis tafsir berharap moga-moga senantiasa diberi-Nya hidayah untuk meneruskan Tafsir al-Azhar ini. Amin.
Selesai Tafsir surah al-A'raaf.
Pada Jum'at, 12 Jumadii Akhir 1385 H
8 Oktober 1965 M