Ayat
Terjemahan Per Kata
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يُؤۡمِنُونَ
beriman
بِٱلۡغَيۡبِ
dengan yang gaib
وَيُقِيمُونَ
dan mereka mendirikan
ٱلصَّلَوٰةَ
sholat
وَمِمَّا
dan sebagian dari apa
رَزَقۡنَٰهُمۡ
telah Kami beri rezki kepada mereka
يُنفِقُونَ
mereka menafkahkan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يُؤۡمِنُونَ
beriman
بِٱلۡغَيۡبِ
dengan yang gaib
وَيُقِيمُونَ
dan mereka mendirikan
ٱلصَّلَوٰةَ
sholat
وَمِمَّا
dan sebagian dari apa
رَزَقۡنَٰهُمۡ
telah Kami beri rezki kepada mereka
يُنفِقُونَ
mereka menafkahkan
Terjemahan
(yaitu) orang-orang yang beriman pada yang gaib, menegakkan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka,
Tafsir
(Orang-orang yang beriman) yang membenarkan (kepada yang gaib) yaitu yang tidak kelihatan oleh mereka, seperti kebangkitan, surga dan neraka (dan mendirikan salat) artinya melakukannya sebagaimana mestinya (dan sebagian dari yang Kami berikan kepada mereka) yang Kami anugerahkan kepada mereka sebagai rezeki (mereka nafkahkan) mereka belanjakan untuk jalan menaati Allah.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 3
(yaitu) orang-orang yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Al-Ala ibnu Musayyab ibnu Rafi, dari Abu Ishaq, dari Abu Ahwas, dari Abdullah (Ibnu Mas'ud) yang mengatakan bahwa iman adalah percaya. Ali Ibnu Abu Talhah dan lain-lain meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang percaya (membenarkan). Ma'mar mengatakan dari Az-Zuhri bahwa iman adalah amal. Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, bahwa orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang takut (kepada Allah ﷻ). Ibnu Jarir mengatakan, "Yang lebih utama adalah bila mereka menggambarkan keimanan terhadap masalah yang gaib secara ucapan, keyakinan, dan perbuatan; dan adakalanya takut kepada Allah termasuk ke dalam pengertian iman yang intinya adalah membenarkan ucapan dengan perbuatan. Iman adalah suatu istilah yang mencakup pengertian iman kepada Allah, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. Dan pembenaran pengakuan dibuktikan dengan perbuatan.
Menurut pendapat kami, iman secara makna lughawi (bahasa) berarti percaya secara tulus. Akan tetapi, adakalanya di dalam Al-Qur'an digunakan untuk pengertian tersebut, sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya: “Ia beriman kepada Allah dan mempercayai orang-orang mukmin” (At-Taubah: 61). Demikian pula yang dikatakan oleh saudara-saudara Nabi Yusuf kepada ayah mereka, sebagaimana disitir oleh firman-Nya: “Dan kamu tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar” (Yusuf: 17).
Demikian pula maknanya bila dibarengi dengan amal perbuatan, sebagaimana firman-Nya: “kecuali orang-orang yang percaya dan mengerjakan amal saleh” (At-Tin: 6). Jika digunakan secara mutlak, maka iman yang dikehendaki oleh syara' adalah yang mencakup tiga unsur, yaitu keyakinan, ucapan, dan perbuatan. Demikian menurut sebagian besar imam. Bahkan menurut riwayat Imam Syafii, Imam Ahmad ibnu Hanbal, dan Abu Ubaidah serta ulama lain ijma' dengan pengertian seperti berikut: Iman adalah ucapan dan perbuatan serta dapat bertambah dan berkurang. Banyak hadits dan atsar yang menerangkan pengertian ini, yang secara tersendiri telah dikemukakan di dalam permulaan Syarah Al-Bukhari. Di antara mereka ada yang menafsirkannya dengan makna "takut kepada Allah", sebagaimana makna yang terkandung di dalam firman-Nya: “(yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedangkan mereka tidak melihat-Nya” (Al-Anbiya: 49). “(Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, sedangkan Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertobat” (Qaf: 33). Al-khasyyah atau takut kepada Allah merupakan kesimpulan dari iman dan ilmu, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama” (Fathir: 28).
Sebagian ulama mengatakan bahwa mereka beriman kepada yang gaib (tidak kelihatan) sebagaimana mereka beriman kepada yang kelihatan, dan keadaan mereka tidaklah seperti yang disebut di dalam firman Allah ﷻ tentang keadaan orang-orang munafik, yaitu: “Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang beriman, mereka berkata, "Kami telah beriman. Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian, kami hanya berolok-olok’.” (Al-Baqarah: 14) “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, ‘Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah’. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya, dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta” (Al-Munafiqun: 1). Berdasarkan pengertian ini berarti lafal bil ghaibi berkedudukan sebagai hal (keterangan keadaan), yaitu sekalipun keadaan mereka tidak kelihatan oleh orang banyak (yakni sendirian). Mengenai yang dimaksud dengan al-ghaib dalam ayat ini, ungkapan ulama Salaf mengenainya berbeda-beda, tetapi semuanya benar; mengingat bila disimpulkan dari semuanya, maka yang tersimpul adalah makna yang dimaksud.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abu Aliyah sehubungan dengan firman-Nya: “Orang-orang yang beriman kepada yang gaib” (Al-Baqarah: 3). Menurut Abul Aliyah, makna yang dimaksud adalah "mereka beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kemudian, surga dan neraka-Nya, pertemuan dengan-Nya; juga beriman kepada kehidupan sesudah mati dan hari berbangkit; semua itu merupakan hal yang gaib (tidak kelihatan). Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah ibnu Di'amah.
As-Suddi meriwayatkan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, keduanya menerimanya dari Ibnu Abbas. As-Suddi juga meriwayatkannya dari Murrah Al-Hamadani, dari Ibnu Mas'ud, dan dari sejumlah sahabat Nabi ﷺ bahwa gaib ialah hal-hal yang tidak kelihatan oleh hamba-hamba Allah, seperti masalah surga, neraka, dan semua hal yang disebutkan di dalam Al-Qur'an. Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa makna gaib adalah hal-hal yang didatangkan oleh Allah. Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari ‘Ashim, dari Zurr yang mengatakan bahwa al-Gaib artinya Al-Qur'an. ‘Atha’ ibnu Abu Rabah mengatakan bahwa orang yang beriman kepada Allah berarti beriman kepada yang gaib (tidak kelihatan). Ismail ibnu Abu Khalid mengatakan bahwa mereka yang beriman kepada yang gaib ialah mereka yang beriman sesudah masa Islam (masa Nabi dan para sahabat). Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa orang-orang yang beriman kepada yang gaib adalah yang beriman kepada takdir. Semua saling berdekatan dalam hal pengertian, mengingat pada garis besarnya semua itu kembali kepada makna gaib yang harus diimani.
Sa'id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Imarah ibnu Umair, dari Abdur Rahman ibnu Yazid yang mengatakan, "Ketika kami berada di hadapan sahabat Abdullah ibnu Mas'ud duduk bersamanya kami menceritakan perihal sahabat-sahabat Nabi ﷺ dan semua amal perbuatan mereka yang mendahului kami. Maka Abdullah ibnu Mas'ud berkata, 'Sesungguhnya perkara Muhammad ﷺ adalah jelas bagi orang yang melihatnya. Demi Tuhan yang tidak ada Tuhan selain Dia, tidak ada seorang pun yang memiliki iman lebih afdal dari pada iman tanpa melihat', kemudian dia membacakan firman-Nya: “Alif lam mim. Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib sampai dengan firman-Nya orang-orang yang beruntung” (Al-Baqarah: 1-5).
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, Ibnu Mardawaih, dan Imam Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak-nya melalui berbagai jalur dari Al-A'masy dengan lafal yang sama. Imam Hakim mengatakan, atsar ini berpredikat sahih dengan syarat Syaikhain, sedangkan keduanya (Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya. Hadits serupa diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dia berkata : ”Telah menceritakan kepada kami Abul Mughirah, telah menceritakan kepadaku Al-Auza'i, telah menceritakan kepadaku Asad ibnu Abdur Rahman, dari Khalid ibnu Duraik, dari Ibnu Muhairiz yang mengatakan bahwa dia berkata kepada Abu Jum'ah : "Ceritakanlah kepada kami sebuah hadits yang engkau dengar dari Rasulullah ﷺ." Abu Jum'ah menjawab, "Ya, aku akan menceritakan kepadamu suatu hadits yang baik," yaitu: Kami makan siang bersama Rasulullah ﷺ. Di antara kami terdapat Abu Ubaidah ibnul Jarrah. Dia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ada seseorang yang lebih baik daripada kami? Kami masuk Islam di tanganmu dan kami berjihad bersamamu." Rasulullah ﷺ menjawab, "Ya, suatu kaum dari kalangan orang-orang sesudah kalian; mereka beriman kepadaku, padahal mereka tidak melihatku."
Menurut jalur yang lain, diketengahkan oleh Abu Bakar ibnu Mardawaih di dalam kitab Tafsirnya, yaitu: Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ismail, dari Abdullah ibnu Mas'ud; telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Saleh ibnu Jubair yang menceritakan bahwa datang kepada kami Abu Jum'ah Al-Ansari seorang sahabat Rasulullah ﷺ di Baitul Maqdis untuk melakukan shalat. Ketika itu bersama kami terdapat Raja ibnu Haywah. Setelah dia selesai shalat, kami keluar mengantarkannya. Tetapi ketika dia hendak pergi, dia berkata, "Sesungguhnya kalian berhak mendapat balasan dan hak, aku akan menceritakan sebuah hadits kepada kalian yang aku dengar langsung dari Rasulullah ﷺ." Kami menjawab, "Ceritakanlah, semoga Allah merahmatimu." Abu Jum'ah bercerita: Ketika kami bersama Rasulullah ﷺ, diantara kami terdapat Mu'az ibnu Jabal yang merupakan orang kesepuluh dari kami semua yang berjumlah sepuluh orang. Kemudian kami bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ada suatu kaum yang beroleh pahala lebih besar daripada kami? Kami beriman kepada Allah dan mengikutimu." Nabi ﷺ menjawab, "Tiada yang menghalangi kalian dari hal tersebut, karena Rasulullah berada di antara kalian menyampaikan wahyu yang turun dari langit kepada kalian. Namun kaum sesudah kalian lebih besar pahalanya daripada kalian. Datang kepada mereka kitab (Al-Qur'an) yang telah terhimpun di antara kedua sampulnya, lalu mereka beriman kepadanya dan mengamalkan apa yang dikandungnya." Ucapan ini diulanginya sebanyak dua kali.
Kemudian Abu Bakar ibnu Mardawaih meriwayatkannya pula melalui hadits Damrah ibnu Rabi'ah, dari Marzuq ibnu Nafi', dari Saleh ibnu Jubair, dari Abu Jum'ah hal yang serupa dengan hadits ini. Hadits ini mengandung dalil yang menunjukkan amal yang berdasarkan rasa cinta, di mana para ahli hadits berselisih pendapat tentangnya, sebagaimana yang telah ditetapkan pada permulaan Syarah Al-Bukhari, karena Nabi ﷺ ternyata memuji mereka yang datang sesudahnya, mengingat mereka beriman tanpa melihat. Beliau ﷺ menyebutkan bahwa mereka memiliki pahala yang lebih besar bila ditinjau dari segi itu saja tetapi tidak mutlak. Hal yang sama disebutkan pula di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Hasan ibnu Arafah Al-Abdi : Telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu ‘Ayyasy Al-Himsi, dari Al-Mugirah ibnu Qais At-Tamimi, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Makhluk apakah yang paling kalian kagumi imannya?" Mereka (para sahabat) menjawab, "Para malaikat." Nabi ﷺ bersabda, "Mana mungkin mereka tidak beriman, sedangkan mereka berada di dekat Tuhannya?" Mereka berkata, "Para nabi.” Rasulullah ﷺ bersabda, "Mana mungkin mereka tidak beriman, sedangkan wahyu diturunkan kepada mereka?" Mereka berkata, "Kalau begitu kami." Nabi ﷺ bersabda, "Mana mungkin kalian tidak beriman, sedangkan aku berada di antara kalian?''' Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Ingatlah, sesungguhnya makhluk yang paling kukagumi keimanannya adalah suatu kaum yang datang sesudah kalian, mereka menjumpai lembaran-lembaran yang di dalamnya tertuliskan Al-Kitab (Al-Qur'an), lalu mereka beriman kepada semua yang terkandung di dalamnya."
Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa hadits Al-Mughirah ibnu Qais Al-Basri berpredikat munkar. Menurut pendapat kami diriwayatkan pula oleh Abu Yala di dalam kitab Musnadnya dan Ibnu Mardawaih di dalam kitab Tafsirnya serta Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Muhammad ibnu Humaid, namun di sini ada kedaifan dari Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Umar, dari Nabi ﷺ hadits yang serupa atau semakna dengannya. Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini sahih sanadnya, tetapi keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Hadits yang serupa telah diriwayatkan melalui Anas ibnu Malik secara marfu'. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad Al-Musnadi, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Idris, telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Ja'far ibnu Mahmud ibnu Salamah Al-Ansari, telah menceritakan kepadaku Ja'far ibnu Mahmud, dari kakeknya Badilah bin Aslam yang menceritakan, "Aku shalat Zuhur atau Asar di masjid Bani Harisah, ketika itu kami menghadap ke arah masjid Eliya (Yerussalem). Ketika kami baru shalat dua rakaat, tiba-tiba datang seseorang yang menyampaikan berita kepada kami bahwa Rasulullah ﷺ telah menghadap ke arah Baitul Haram. Maka berubahlah posisi kami, kaum wanita menjadi berada di depan kaum laki-laki, sedangkan kaum laki-laki berada di belakang kaum wanita, kemudian kami melanjutkan shalat dua rakaat yang tersisa dalam keadaan menghadap ke arah Baitul Haram (kiblat)." Ibrahim mengatakan bahwa ia mendapat berita dari kaum laki-laki dari kalangan Bani Harisah bahwa ketika sampai berita tersebut kepada Rasulullah ﷺ, beliau bersabda: “Mereka adalah kaum yang beriman kepada yang gaib.” Hadits ini berpredikat garib bila ditinjau dari segi ini.
“Dan mereka mendirikan shalat serta menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka” (Al-Baqarah: 3). Ibnu Abbas mengatakan, makna "mereka mendirikan shalat" adalah "mereka mendirikan fardu-fardu shalat (yakni rukun-rukunnya). Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan mendirikan shalat adalah menyempurnakan rukuk, sujud, bacaan Al-Qur'an, khusyuk, dan menghadap sepenuh jiwa dan raganya dalam shalat. Qatadah mengatakan bahwa mendirikan shalat artinya memelihara waktu-waktunya, wudu, rukuk, dan sujud. Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa mendirikan shalat artinya memelihara waktu-waktunya, menyempurnakan wudu, sujud, bacaan Al-Qur'an, bacaan tasyahud, dan salawat buat Nabi ﷺ di dalam shalat.
Ali ibnu Abu Talhah dan lain-lain meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud dengan "menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka" adalah "mereka tunaikan zakat harta benda dengan benar As-Sadi mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbis. juga dari Murrah (Al-Hamadani), dari Ibnu Mas'ud , dari sejumlah sahabat Rasulullah ﷺ , bahwa makna "menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka" adalah "nafkah seorang lelaki kepada keluarganya. Hal ini dipahami sebelum diturunkannya ayat mengenai zakat. Juwaibir mengatakan dari Dahhak, "Pada mulanya nafkah merupakan kurban yang mereka jadikan sebagai amal taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ﷻ sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing, yakni kaya dan miskin, hingga turunlah ayat-ayat yang memfardukan zakat. Ayat-ayat tersebut berjumlah tujuh ayat dalam surat Baraah (At-Taubah), di dalamnya disebut masalah zakat. Ayat-ayat tersebut berkedudukan menasakh (mengganti) secara pasti pengertian lain."
Qatadah mengatakan bahwa "menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka" artinya nafkahkanlah sebagian dari apa yang telah Allah berikan kepada kalian, karena harta benda itu merupakan titipan dan pinjaman di tanganmu, wahai manusia; dalam waktu yang dekat kamu pasti meninggalkannya. Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini bermakna umum, mencakup zakat dan nafkah. Dia mengatakan bahwa takwil yang paling utama dan paling berhak dikemukakan sesuai dengan sifat dari kaum yang dimaksud adalah "hendaklah mereka menunaikan semua kewajiban yang berada pada harta benda mereka, baik berupa zakat ataupun memberi nafkah orang-orang yang harus dia jamin dari kalangan keluarga, anak-anak, dan lain-lainnya dari kalangan orang-orang yang wajib dia nafkahi karena hubungan kekerabatan atau pemilikan atau faktor lainnya. Karena Allah ﷻ mensifati dan memuji mereka dengan sebutan tersebut, setiap nafkah dan zakat adalah perbuatan yang terpuji dan para pelakunya mendapat pujian.
Menurut kami, Allah ﷻ sering kali menggandengkan antara shalat dengan memberi nafkah, karena shalat adalah hak Allah dan sebagai penyembahan kepada-Nya. Di dalam shalat terkandung makna mentauhidkan (mengesakan) Allah, memuji, mengagungkan, menyanjung-Nya, dan berdoa serta bertawakal kepada-Nya. Sedangkan di dalam infak (membelanjakan harta) terkandung pengertian perbuatan kebajikan kepada sesama makhluk, yaitu dengan mengulurkan bantuan kepada mereka. Orang-orang yang harus diprioritaskan dalam masalah nafkah ini adalah kaum kerabat dan keluarga serta budak-budak yang dimiliki, setelah itu barulah orang lain.
Setiap nafkah wajib dan zakat fardu termasuk ke dalam pengertian firman Allah ﷻ : “Dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka” (Al-Baqarah: 3). Karena itu, di dalam kitab Shahihain telah disebutkan sebuah hadits melalui Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadan, dan berhaji ke Baitullah.” Hadits-hadits yang menerangkan hal ini cukup banyak.
Makna asal lafal "shalat" menurut istilah bahasa adalah doa, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-A'sya dalam salah satu syairnya: “Si wanita itu mempunyai penjaga yang selamanya tidak pernah meninggalkan rumahnya; dan jika dia menyembelih kurban, maka si penjaga itu berdoa untuknya dengan suara yang kurang dipahami.” Al-A'sya pernah mengatakan pula: “Angin menerpanya, sedangkan dia berada di dalam kemahnya, lalu ia berdoa di dalam kemahnya dan pergi.” Kedua bait tersebut diketengahkan oleh Ibnu Jarir sebagai bukti yang menunjukkan makna tersebut (berdoa), dan Al-A'sya mengatakan pula dalam syairnya yang lain, yaitu: “Anak perempuanku berkata di saat keberangkatannya telah dekat, "Wahai Tuhanku, jauhkanlah segala musibah dan penyakit dari ayahku." (Ayahnya menjawab), "Semoga engkau mendapatkan pula hal yang sama dengan apa yang kamu doakan. Maka tidurlah dengan nyenyak, karena sesungguhnya setiap orang memerlukan istirahat." Penyair bermaksud "semoga engkau pun memperoleh seperti apa yang kamu doakan buatku." Makna ini sudah jelas. Kemudian lafal "shalat" menurut istilah syara' dipakai untuk makna "perbuatan yang mengandung rukuk, sujud, pekerjaan-pekerjaan tertentu, dan dilakukan dalam waktu-waktu yang khusus berikut persyaratan, sifat-sifatnya, serta jenis-jenisnya yang telah terkenal."
Menurut Ibnu Jarir, shalat dinamakan dengan sebutan demikian karena pelakunya berupaya memperoleh pahala Allah melalui amalnya bersamaan dengan permintaan terhadap hal-hal yang diperlukannya kepada Tuhannya. Menurut pendapat lain, lafal "shalat" berasal dari nama kedua urat yang digerakkan dalam shalat di saat rukuk dan sujud; urat ini memanjang dari punggung sampai kepada tulang punggung yang paling bawah. Termasuk ke dalam pengertian lafal ini musalli dinamakan pula terhadap juara kedua dalam perlombaan balap kuda, tetapi pendapat ini masih bisa dipertanyakan kebenarannya.
Menurut pendapat lain, lafal "shalat" berasal dari ash-shala yang artinya menetapi sesuatu (memasukinya), seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya: “Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka” (Al-Lail: 15). Makna yang dimaksud ialah "tiada yang menetapi dan sampai kekal di dalamnya kecuali orang yang paling celaka." Menurut pendapat lain ia berasal dari tasliyah, yakni memanggang kayu di atas api dengan maksud untuk meluruskannya, sebagaimana orang yang shalat menegakkan kebengkokannya dengan shalatnya, seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadah lainnya)” (Al-'Ankabut: 45). Menganggap isytiqaq (bentuk asal) shalat dari doa adalah pendapat yang paling sahih, sedangkan pembahasan mengenai zakat akan dikemukakan nanti pada bagian tersendiri."
Orang-orang yang bertakwa itu adalah mereka yang beriman kepada hal-hal yang gaib, yang tidak tampak dan tidak dapat dijangkau oleh akal dan indra mereka, seperti Allah, malaikat, surga, neraka, dan lainnya yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Pada saat yang sama, sebagai bukti keimanan itu, mereka beribadah kepada Allah dengan melaksanakan salat, secara sempurna berdasarkan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, khusyuk serta memperhatikan waktu-waktunya, dan mereka juga menginfakkan di jalan kebaikan sebagian rezeki berupa harta, ilmu, kesehatan, kekuasaan, dan hal-hal lainnya yang bermanfaat yang Kami berikan kepada mereka, semata-mata sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan mencari keridaan-Nya. Dan ciri-ciri lainnya dari orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang beriman kepada apa-apa yang diturunkan dari Allah kepadamu, wahai Nabi Muhammad, berupa Al-Qur'an dan adz-dzikr (hadis), dan kitabkitab yang telah diturunkan sebelum engkau, seperti Taurat, Zabur, Injil, dan Suhuf-suhuf (lembaran-lembaran) yang tidak seperti Kitab, dengan tidak membeda-bedakannya, sebab risalah Allah pada mulanya satu, dan mereka yakin akan adanya kehidupan di akhirat setelah kehidupan di dunia ini, dengan penuh keyakinan di dalam hati yang dibuktikan secara lisan dan perbuatan.
Pertama: Beriman kepada yang gaib. Termasuk di dalamnya beriman kepada Allah dengan sesungguhnya, menundukkan diri serta menyerahkannya sesuai dengan yang diharuskan oleh iman itu. Tanda keimanan seseorang ialah melaksanakan semua yang diperintahkan oleh imannya itu.
Gaib ialah sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh pancaindra. Pengetahuan tentang yang gaib itu semata-mata berdasar kepada petunjuk-petunjuk Allah ﷻ Karena kita telah beriman kepada Allah, maka kita beriman pula kepada firman-firman dan petunjuk-petunjuk-Nya. Termasuk yang gaib ialah: Allah, para malaikat, hari kiamat, surga, neraka, mahsyar dan sebagainya. Pangkal iman kepada yang gaib ialah iman kepada Allah ﷻ Iman kepada Allah adalah dasar dari pembentukan watak dan sifat-sifat seseorang manusia agar dia menjadi manusia yang sebenarnya, sesuai dengan maksud Allah menciptakan manusia.
"sibgah Allah." Siapa yang lebih baik sibgah-nya daripada Allah? Dan kepada-Nya kami menyembah. (al-Baqarah/2: 138)
Iman membentuk manusia menjadi makhluk individu dan makhluk yang menjadi anggota masyarakatnya, suka memberi, menolong, berkorban, berjihad dan sebagainya:
Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (al-hujurat/49: 15)
Dalam mencari arti iman hendaklah kita mengikuti petunjuk Rasul. Untuk itu kita perlu mempelajari sejarah hidup Nabi Muhammad saw, merenungkan ciptaan Allah, menggunakan akal pikiran dan mempelajari ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ Iman dapat bertambah dan dapat pula berkurang. Iman akan rusak bila amal seseorang rusak dan akan bertambah bila nilai dan jumlah amal ditingkatkan pula.
Kedua: Melaksanakan salat, yaitu mengerjakan dan menunaikan salat dengan menyempurnakan rukun-rukun dan syarat-syaratnya, terus-menerus mengerjakannya setiap hari sesuai dengan yang diperintahkan Allah, baik lahir maupun batin. Yang dimaksud dengan "lahir" ialah mengerjakan salat sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan sunah Rasul, dan yang dimaksud dengan "batin" ialah mengerjakan salat dengan hati yang khusyuk, dengan segala ketundukan dan kepatuhan kepada Allah, dan merasakan keagungan dan kekuasaan Allah yang menguasai dan menciptakan seluruh alam ini sebagai yang dikehendaki oleh agama.
Iqamah as-salah ialah mengerjakan salat dengan sempurna; sempurna segala rukun, syarat dan ketentuan yang lain yang ditentukan oleh agama. Arti asal dari perkataan salat ialah "doa", kemudian dipakai sebagai istilah ibadah yang dikenal di dalam agama Islam karena salat itu banyak mengandung doa.
Ketiga: Menginfakkan sebagian rezeki yang telah dianugerahkan Allah. Rezeki ialah segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya. "Menginfakkan sebagian rezeki" ialah memberikan sebagian rezeki atau harta yang telah dianugerahkan Allah kepada orang-orang yang telah ditentukan oleh agama.
Pengertian menginfakkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penelitian ilmiah dan lain-lain. Juga berinfak untuk semua kepentingan umum dengan niat melaksanakan perintah Allah termasuk fi sabilillah.
Harta yang akan diinfakkan itu ialah sebagiannya, tidak seluruh harta. Dalam ayat ini tidak dijelaskan berapa banyak yang dimaksud dengan sebagian itu, apakah seperdua, sepertiga, seperempat dan sebagainya. Dalam pada itu Allah melarang berlaku kikir dan melarang berlaku boros:
Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah), nanti kamu menjadi tercela dan menyesal. (al-Isra'/17: 29)
Allah melarang berlebih-lebihan atau kikir dalam membelanjakan harta:
Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) mereka yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, tetapi berada di antara keduanya secara wajar (al-Furqan/25: 67)
Pada firman Allah yang lain dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan sebagian harta itu ialah sebagaimana jawaban atas pertanyaan para sahabat:
".... mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, 'Kelebihan (dari apa yang diperlukan)." (al-Baqarah/2: 219)
Yang dimaksud dengan "kelebihan" ialah setelah mereka cukup makan dan memiliki pakaian yang dipakai. Jadi tidak harus kaya, tetapi selain yang mereka makan dan pakai pada hari itu, adalah termasuk lebih. Allah telah menjelaskan cara-cara membelanjakan harta itu dan cara-cara menggunakannya. Dijelaskan lagi oleh hadis Rasulullah saw:
Dari Nabi ﷺ ia berkata, "Sebaik-baik sedekah adalah kelebihan dari kebutuhan pokok." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AL-BAQARAH
(LEMBU BETINA)
SURAH KE-2
286 AYAT, DITURUNKAN DI MADINAH
“Dengan nama Allah Yang Mahamurah, lagi Pengasih."
Surat Al-Baqarah: 1-5
TAKWA DAN IMAN
Ayat 1
Alif—La m—Mim.
Di dalam Al-Qur'an, kita akan berjumpa dengan beberapa surah yang dimulai dengan huruf-huruf seperti ini. Baik penafsir lama maupun penafsir zaman-zaman akhir membicarakan tentang huruf-huruf ini menurut cara mereka sendiri-sendiri, tetapi kalau disimpulkan terdapAllah dua golongan. Pertama, golongan yang memberikan arti sendiri daripada huruf-huruf itu. Yang banyak memberikan arti ialah penafsir sahabat yang terkenal, Abdullah bin Abas. Sebagaimana Alif-lam-mim ini satu tafsir dari Ibnu Abbas menerangkan bahwa ketiga huruf itu adalah isyarat kepada tiga nama: alif untuk nama Allah, lam untuk Jibril, dan mim untuk Nabi Muhammad ﷺ.
Namun, pendapat yang kedua berkata bahwa huruf-huruf di pangkal surah itu adalah rahasia Allah, termasuk ayat mutasyabih yang kita baca dan percayai, tetapi Allah yang lebih tahu akan artinya. Dan, kita baca tiap-tiap huruf itu menurut bunyi ucapannya dalam lidah orang Arab serta dipanjangkan.
Riwayat kata ini diterima dari Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq sendiri, demikian juga dari Ali bin Abi Thalib. Menurut riwayat dari Abul-Laits as-Samarqandi bahwa menurut Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan dan Abdullah bin Masud, semuanya berkata, “Huruf potongan itu tertutup buat ditafsirkan." Dan, Abu Hatim berkata, “Di dalam Al-Qur'an kita tidak mendapat huruf-huruf, melainkan di pangkal beberapa surah, dan tidaklah kita tahu apa yang dikehendaki Allah dengan ia."
Sungguh pun demikian, masih juga ada ahli-ahli tafsir yang tertarik membuat pengertian sendiri tentang rahasia-rahasia huruf-huruf itu. Ada pula segolongan ahli tafsir yang menyatakan bahwasanya huruf-huruf di awal surah itu adalah sebagai pemberitahuan atau panggilan untuk menarik perhatian tentang ayat-ayat yang akan turun mengiringinya. Adapun perkataan yang shahih dari Nabi ﷺ sendiri tentang arti huruf-huruf itu tidaklah ada.
Nyatalah bahwa huruf-huruf itu bukan kalimat bahasa yang bisa diartikan. Kalau ia suatu kalimat yang mengandung arti, niscaya tidak akan ragu-ragu lagi seluruh bangsa Arab akan artinya. Oleh sebab itu, lebih baiklah kita terima saja huruf-huruf itu menurut keadaannya.
Ayat 2
“Inilah Kitab itu; tidak ada … keraguan padanya; satu petunjuk bagi orang-orang yang hendak bertakwa."
Kita baru saja selesai membaca surah al-Faatihah. Di sana, kita telah memohon kepada Allah agar ditunjuki jalan yang lurus, jalan orang yang diberi nikmat, jangan jalan orang yang dimurkai atau orang yang sesat. Baru saja menarik napas selesai membaca surah itu, kita langsung ke surah al-Baqarah dan langsung ke ayat ini. Permohonan kita di surah al-Faatihah sekarang diperkenankan. Kamu bisa mendapat jalan yang lurus, yang diberi nikmat, bukan yang dimurkai dan tidak yang sesat, asal saja kamu suka memakai pedoman kitab ini. Tidak syak lagi, ia adalah petunjuk bagi orang yang suka bertakwa.
Apa arti takwa? Kalimat takwa diambil dari rumpun kata wiqayah artinya memelihara. Memelihara hubungan yang baik dengan Allah. Memelihara diri jangan sampai terperosok pada suatu perbuatan yang tidak diridhai oleh Allah. Memelihara segala perintah-Nya supaya dapat dijalankan. Memelihara kaki agar jangan terperosok ke tempat yang lumpur atau berduri. Sebab, pernah ditanyakan orang kepada sahabat Rasulullah, Abu Hurairah (ridha Allah untuk beliau), apa arti takwa? Beliau berkata, “Pernahkah engkau bertemu jalan yang banyak duri dan bagaimana tindakanmu waktu itu?" Orang itu menjawab, “Apabila aku melihat duri, aku mengelak ke tempat yang tidak ada durinya atau aku langkahi, atau aku mundur Abu Hurairah menjawab, “Itulah ia takwa!" (HR Ibnu Abid Dunya)
Lalu, diterangkan sifat atau tanda-tanda dari orang yang bertakwa itu, yang kita dapat menilik diri kita sendiri supaya memenuhinya dengan sifat-sifat itu:
Ayat 3
“Mereka yang percaya pada yang gaib, dan Mereka yang mendirikan shalat, dan dari apa yang Kami anugerahkan kepada Mereka, Mereka dermakan."
Inilah tiga tanda pada taraf yang pertama. Percaya pada yang gaib. Yang gaib ialah yang tidak dapat disaksikan oleh pancaindra; tidak tampak oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, yaitu dua indra yang utama dari kelima (panca) indra kita. Namun, ia dapat dirasa adanya. Maka, yang pertama sekali ialah percaya kepada Allah, Zat yang menciptakan sekalian alam, kemudian itu percaya akan adanya Hari Kemudian, yaitu kehidupan kekal yang sesudah dibangkitkan dari maut.
Iman yang berarti percaya, yaitu hati yang terbukti dengan perbuatan yang diucapkan oleh lidah menjadi keyakinan hidup. Maka, iman akan yang gaib itulah tanda pertama atau syarat pertama dari takwa tadi.
Itulah tingkat ketiga atau syarat ketiga dari pengakuan iman. Di tingkat pertama, percaya pada yang gaib, sedangkan kepercayaan pada yang gaib dibuktikan dengan shalat sebab hatinya dihadapkannya kepada Allah yang diimaninya. Maka, dengan kesukaan memberi, berderma, bersedekah, membantu, dan menolong, imannya telah dibuktikannya pula kepada masyarakat. Orang Mukmin tidak mungkin hidup nafsi-nafsi dalam dunia. Orang Muk-min tidak mungkin menjadi budak dari benda sehingga dia lebih mencintai benda pemberian Allah itu daripada sesamanya manusia. Orang yang Mukmin apabila dia ada kemampuan karena imannya, sangAllah dia percaya bahwa dia hanya saluran saja dari Allah untuk membantu hamba Allah yang lemah.
Ayat 4
“Dan orang-orang yang percaya pada apa yang dituntutkan kepada engkau."
Niscaya baru sempurna iman itu kalau percaya pada apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai iman dan ikutan. Percaya pada wahyu dan percaya juga pada contoh-contoh yang beliau bawakan dengan sunnahnya, baik kata-katanya maupun perbuatannya ataupun perbuatan orang lain yang tidak dicelanya. Dengan demikian, baru iman yang telah tumbuh tadi terpimpin dengan baik.
“Dan apa yang diturunkan sebelum engkau," yakni percaya pula bahwa sebelum Nabi Muhammad ﷺ tidak berbeda pandangan kita kepada Nuh atau Ibrahim, Musa atau Isa, dan nabi-nabi yang lain. Semua adalah nabi kita! Lantaran itu pula, tidak berbeda pandangan orang Mukmin itu terhadap sesama manusia. Bahkan, manusia itu umat yang satu.
“Dan kepada akhirat mereka yakin."
Inilah kunci penyempurna iman, yaitu keyakinan bahwa hidup tidaklah selesai hingga hari ini, tetapi masih ada sambungannya. Sebab itu, hidup seorang Mukmin terus dipenuhi oleh harapan bukan oleh kemuraman; terus optimis, tidak ada pesimis. Seorang Mukmin yakin ada hari esok!
Ayat 5
“Mereka itulah yang berada atas petunjuk dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beroleh kejayaan."
Berjalan menempuh hidup, di atas jalan Shirathal Mustaqim, dibimbing selalu oleh Allah, karena dia sendiri memohonkan-Nya pula, bertemu taufik dengan hidayah, sesuai kehendak diri dengan ridha Allah. Maka, beroleh kejayaan yang sejati, menempuh suatu jalan yang selalu terang-benderang, sebab pelitanya terpasang dalam hati sendiri; pelita iman yang tidak pernah padam.