Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَئِن
dan jika
قُتِلۡتُمۡ
kamu dibunuh/gugur
فِي
di
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
أَوۡ
atau
مُتُّمۡ
kamu mati
لَمَغۡفِرَةٞ
sungguh/tentulah ampunan
مِّنَ
dari
ٱللَّهِ
Allah
وَرَحۡمَةٌ
dan rahmat(Nya)
خَيۡرٞ
lebih baik
مِّمَّا
daripada apa
يَجۡمَعُونَ
mereka kumpulkan
وَلَئِن
dan jika
قُتِلۡتُمۡ
kamu dibunuh/gugur
فِي
di
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
أَوۡ
atau
مُتُّمۡ
kamu mati
لَمَغۡفِرَةٞ
sungguh/tentulah ampunan
مِّنَ
dari
ٱللَّهِ
Allah
وَرَحۡمَةٌ
dan rahmat(Nya)
خَيۡرٞ
lebih baik
مِّمَّا
daripada apa
يَجۡمَعُونَ
mereka kumpulkan
Terjemahan
Sungguh, jika kamu gugur di jalan Allah atau mati, pastilah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagimu) daripada apa (harta rampasan) yang mereka kumpulkan.
Tafsir
(Sungguh sekiranya) lam menunjukkan sumpah (kamu dibunuh di jalan Allah) maksudnya dalam berjihad (atau meninggal) dibaca muttum atau mittum berasal dari maata-yamuutu; artinya didatangi oleh kematian di dalam berjihad (maka ampunan) yang kamu peroleh (dari Allah) terhadap dosa-dosamu (dan rahmat) daripada-Nya bagi kamu atas demikian itu. Lam serta kalimat yang dimasukinya menjadi jawab qasam di samping menjadi mubtada yang khabarnya ialah: (benar-benar lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan) dari harta dunia; memakai ya atau ta.
Tafsir Surat Ali-'Imran: 156-158
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka apabila mereka mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang, "Sekiranya mereka tetap bersama-sama kita, tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh." Akibat (dari perkataan dan keyakinan mereka) yang demikian itu Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat dalam di hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat apa yang kalian kerjakan.
Dan sungguh kalau kalian gugur di jalan Allah atau meninggal, tentulah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagi kalian) daripada harta rampasan yang mereka kumpulkan.
Dan sungguh jika kalian meninggal atau terbunuh, tentulah hanya kepada Allah saja kalian dikumpulkan.
Ayat 156
Allah ﷻ melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin meniru orang-orang kafir dalam akidah mereka yang rusak. Hal tersebut diketahui melalui ucapan mereka terhadap saudara-saudara mereka yang mati dalam perjalanan dan yang mati dalam peperangan. Seandainya mereka yang mati itu tidak melakukan hal tersebut, niscaya mereka tidak akan tertimpa apa yang menimpa mereka.
Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian seperti orang-orang kafir itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka.” (Ali Imran: 156)
Yakni perihal saudara-saudara mereka.
“Apabila mereka mengadakan perjalanan di muka bumi.” (Ali Imran: 156)
Maksudnya, mereka melakukan perjalanan untuk niaga atau tujuan lainnya.
“Atau mereka berperang.” (Ali Imran: 156)
Yaitu mereka berada dalam peperangan.
“Sekiranya mereka tetap bersama-sama kita.” (Ali Imran: 156) Yakni tetap tinggal di dalam kota.
“Tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh.” (Ali Imran: 156)
Yakni mereka tidak mati dalam perjalanan dan tidak terbunuh dalam peperangan.
Firman Allah ﷻ: “Sebagai akibat dari hal itu Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat dalam di hati mereka.” (Ali Imran: 156)
Artinya, Allah menimbulkan keyakinan ini dalam hati mereka supaya penyesalan mereka makin bertambah terhadap orang-orang mereka yang mati dan terbunuh.
Kemudian Allah menjawab mereka melalui firman-Nya: “Allah menghidupkan dan mematikan.” (Ali Imran: 156)
Yakni semua makhluk berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, dan hanya kepada Allah-lah urusan itu dikembalikan. Tidak ada seorang pun yang hidup dan tidak ada seorang pun yang mati kecuali berdasarkan kehendak dan takdir-Nya. Tidak ditambahkan pada umur seseorang, tidak pula dikurangi sesuatu dari usianya kecuali dengan keputusan dan takdir Allah.
“Dan Allah melihat apa yang kalian kerjakan.” (Ali Imran: 156) Yaitu pengetahuan dan penglihatan Allah menembus semua makhluk-Nya, tidak ada sesuatu pun yang samar dari perkara mereka bagi Allah.
Ayat 157
Firman Allah ﷻ: “Dan sungguh kalau kalian gugur di jalan Allah atau meninggal, tentulah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagi kalian) daripada harta rampasan yang mereka kumpulkan.” (Ali Imran; 157)
Ayat ini mengandung makna yang menunjukkan bahwa mati terbunuh di jalan Allah merupakan sarana untuk memperoleh rahmat Allah, ampunan, dan rida-Nya. Hal ini jelas lebih baik daripada tetap hidup di dunia dan mengumpulkan semua perbendaharaannya yang fana itu.
Ayat 158
Kemudian Allah ﷻ memberitakan bahwa semua orang yang mati atau terbunuh, tempat kembali dan kepulangannya hanyalah kepada Allah ﷻ. Lalu Allah akan memberikan balasan kepadanya sesuai dengan amal perbuatannya. Jika amal perbuatannya baik, maka balasannya baik pula; dan jika amal perbuatannya buruk, maka balasannya buruk pula. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Dan sungguh jika kalian meninggal atau terbunuh, tentulah hanya kepada Allah saja kalian dikumpulkan." (Ali Imran: 158)
Setelah diberikan tuntunan secara umum, ayat ini memberikan penegasaan kepada orang-orang yang beriman, dan sungguh, sekiranya kamu gugur di jalan Allah atau mati dengan sebab apa pun, sungguh, pastilah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik bagimu daripada apa, yakni harta rampasan, yang mereka, orang-orang kafir kumpulkan. Dan sungguh, sekiranya kamu mati di rumah atau di mana pun, atau gugur dalam peperangan, pastilah kepada Allah kamu dikumpulkan untuk diberi balasan sesuai amal yang kamu kerjakan.
Kemudian ayat itu menerangkan bahwa tidak ada hal yang perlu ditakuti oleh orang yang beriman apabila mereka berjihad di jalan Allah, kerena andaikata mereka gugur atau mati, niscaya mereka akan memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah. Itu adalah jauh lebih baik bagi mereka daripada harta rampasan perang atau kekayaan duniawi yang fana ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
JANGAN MENYESALI AJAL
Ayat 156
“‘Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu jadi sebagai orang-orang yang kafir, yang berkata kepada saudara-saudaranya, apabila mereka bepergian di bumi atau mereka jadi tentara, ‘Kalau mereka tinggal bersama kita, tentu mereka tidak mati atau tidak terbunuh.'"
Telah kita ketahui bahwa arti kufur ialah tidak mau menerima kenyataan kebenaran, walaupun orangnya masih mengakui Muslim. Maka, adalah orang-orang lemah iman mengucapkan kata yang hanya patut keluar dari mulut orang kafir atau munafik. Setelah mereka melihat kenyataan bahwa dalam Peperangan Uhud itu banyak orang yang tewas, ataupun dalam kejadian yang lain, misalnya ada orang yang mati dalam perantauan, dalam bepergian meninggalkan kampung halamannya sendiri— entah pergi berniaga atau pergi berperang— maka si lemah iman itu berkata, “Coba kalau dia tidak pergi meninggalkan kampung halaman, atau coba kalau mereka tidak pergi ke medan perang, tentu mereka tidak akan mati atau tidak akan terbunuh."
Perkataan seperti ini bukanlah kata yang patut keluar dari mulut Mukmin sejati. Orang Mukmin mesti mempunyai pegangan yang teguh tentang ajal. Sebagaimana disebutkan pada ayat 145 di atas, orang tidak akan mati kalau tidak dengan izin Allah dan ketentuan mati sudah tertulis, tidak akan berubah lagi. Kalau mati sudah terjadi, baik di dalam perjalanan maupun di medan perang, ataupun di mana saja, pastilah itu membaca ajal yang telah tertulis. Tidak boleh orang berkata, “Coba dia tidak merantau dan tetap saja di kampung, tentu tidak mati," atau, “Coba dia tidak pergi berperang, tetap saja dengan kita, tentu dia tidak akan terbunuh."
Kata-kata seperti ini adalah kata-kata yang mengandung kufur, tidak matang kepercayaan kepada Allah. Sebab itu, dalam sambungan ayat, Allah berfirman, “Karena Allah hendak menjadikan yang demikian suatu penyesalan di hati mereka." Atau suatu keluhan akibat iman yang kurang itu. Sebab, hal yang demikian akan selalu menjadi keluhan mereka dan menjadi penyakit. Sebab, pertahanan iman tidak ada.
“Padahal Allah-lah yang menghidupkan dan yang mematikan!" Bukan manusia, bukan karena pergi merantau atau berperang, dan bukan karena tinggal di rumah. Datang kehendak Allah supaya manusia hidup, hiduplah dia di dunia ini, mau tidak mau. Datang kehendak Allah mesti mati, matilah dia, entah di medan perang, entah dalam pelayaran, entah di rumahnya sendiri di kasur yang empuk. Menyesali karena ada teman sahabat atau keluarga mati dalam perantauan atau mati dalam peperangan adalah karena melupakan mutlaknya hak Allah atas hamba-Nya. Hal yang sangat terlarang bagi Muslim.
“Dan Allah ada melihat yang kamu kerjakan,"
Sebab Allah selalu melihat apa yang kita kerjakan, hendaklah kita mati dalam hus-nul khatimah, yakni dalam penutupan yang baik. Mati di kampung halaman, mati dalam perantauan, ataupun mati di medan perang; hendaklah diisi dengan perbuatan yang di-ridhai Allah, yang timbul dari niat yang tutus dan ikhlas. Malahan mati terbunuh di medan perang, asal niatnya benar-benar jihad fi sabilillah, menjadilah matinya mati syahid. Bahkan mati dalam perantauan, jauh dari famili, tetapi dalam beriman, pun mendapat mati syahid juga, sebagai juga perempuan mati bungkus (sedang mengandung) Dan kalau mati sudah datang, tidak ada lagi yang patut disesali.
Ayat 157
“Sesungguhnya jika kamu terbunuh pada jalan Allah ataupun mati."
Yaitu Mujahidin yang mati dalam pertempuran di medan perang itu, atau mati bukan dalam pertempuran, melainkan mati dalam perantauan, atau mati bungkus (perempuan), atau mati dalam suatu kecelakaan pesawat terbang misalnya.
“Maka ampunan dan rahmat dari Allah, lebih baik dari yang mereka kumpulkan."
Ayat ini mengandung hasungan kepada Mukmin agar berusaha hingga mati mereka berharga, jangan mati konyol saja. Hendaklah hidup mempunyai tujuan. Dan tujuan itu ialah yang bermanfaat untuk mencapai keridhaan Allah serta berkhidmat kepada sesama manusia. Berjuanglah mencapai tujuan itu dan ridhaiah mati untuk itu.
Dalam ungkapan umum kita namai “membina tujuan hidup" dan dalam kata agama disebut Jihad fi sabilillah, yaitu berjuang bekerja keras dalam jalan Allah. Jalan Allah ialah kebenaran, berperang adalah satu macam saja dari jalan Allah. Seorang guru sekolah dasar mengajar murid-murid di kampung yang jauh, sampai anak-anak itu menjadi orang pandai, sampai jaya dalam gelanggang hidup, sedang guru itu masih tetap tinggal di kampung itu bertahun-tahun meneruskan tugasnya, itu pun salah satu macam sabilillah. Dan jika dia mati dalam pelaksanaan tugas itu, dia pun mendapat ampunan Allah atas kesalahannya, maklum dia hanya manusia. Dan dia pun mendapat rahmat; jasanya dihargai Allah dan dihargai masyarakat.
Periksalah diri sendiri, apa kesanggupan yang ada, gunakanlah kesanggupan itu untuk jihad fi sabilillah, atau untuk “membina tujuan hidup". Nilai hidup ditentukan oleh tujuannya. Maka, hidup yang seperti ini jauh lebih baik daripada yang mereka kumpulkan, yaitu mereka yang tujuan hidupnya hanya semata-mata mengumpulkan harta. Sedangkan mengumpul harta itu mesti mati juga, tetapi payah dia bertanggung jawab di hadapan Ilahi kelak.
Ayat 158
“Dan sesungguhnya jika kamu mati ataupun terbunuh, kepada Allah-lah kamu akan dikumpulkan."
Orang dapat mati di atas kasur seperti biasa atau mati di medan perang, karena berjuang menegakkan cita-cita, atau mati karena sakit, karena kecelakaan, atau beberapa tentara pergi bertempur (kapal yang mengangkut ten-tara itu hancur kena ranjau) Sebab-musabab orang mati bermacam-macam, tetapi putusnya nyawa hanya satu. Baik bangkai yang rusak yang dirobek-robek orang sebagaimana bangkai Sayyidina Hamzah, atau bangkai orang sakit tua, kalau sudah bangkai, ya tetap bangkai. Bangkai akan kembali ke tanah sebab asalnya dari tanah; maka nyawa pun kembali ke tempat yang ditentukan Allah. Dan kelak semua itu, bangkai dan nyawa dipertautkan kembali dan berkumpul ke hadapan mahkamah Allah. Di sanalah diperhitungkan, ke mana kamu tujukan hidup itu. Tujuan hidup itulah yang menentukan nilai hidup, bukan berapa lama hidup yang terpakai.
Umur bukan hitungan tahun, hidup bukan bilangan masa.
Sehari hidup singa di rimba, seribu tahun hitungan domba.
(Syair Iqbal)
Singa di rimba hanya sekali hidup dan sekali mati. Akan tetapi, domba berkali-kali mati di dalam hidup, sebab selalu takut akan mati diterkam singa. Hari sehari bagi kehidupan singa dirasakan oleh domba seperti seribu tahun karena tiap saat tidak merasa aman di dalam hidup. Inilah yang dikatakan dengan mati ketakutan.
Inilah kesan tentang nilai hidup, dikorek dari penafsiran ayat yang pada mulanya terjadi karena banyak yang mati dalam Peperangan Uhud, tetapi akhirnya untuk menjadi pengajaran bagi segenap Muslim-Mukmin pengikut Nabi. Berilah olehmu sendiri harga hidupmu.
Kemudian, datanglah tuntunan Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad ﷺ tentang cara memimpin umat. Sebab, umat itu tidaklah sama matangnya, tidaklah semua seperti Imam Abu Bakar dan Umar. Ada manusia yang lemah, yang makanan hardik ataupun makanan bujuk.
Ayat 159
“Maka dengan rahmat dari Allah, engkau telah berlaku lemah lembut kepada mereka."
Di dalam ayat ini, bertemulah pujian yang tinggi dari Allah terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah lembut, tidak lekas marah kepada umat-Nya yang tengah dituntun dan dididiknya iman mereka lebih sempurna. Sudah demikian kesalahan beberapa orang yang meninggalkan tugasnya, karena loba akan harta itu, tetapi Rasulullah tidaklah terus marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa besar mereka dipimpin. Dalam ayat ini, Allah menegaskan, sebagai pujian kepada Rasul, bahwasanya sikap yang lemah lembut itu, ialah karena ke dalam dirinya telah dimasukkan oleh Allah rahmat-Nya. Rasa rahmat, belas kasihan, cinta kasih itu telah ditanamkan Allah ke dalam diri beliau, sehingga rahmat itu pulalah yang memengaruhi sikap beliau dalam memimpin. Ini sesuai dengan pujian Allah di dalam firman yang lain yang terdapat pada ayat-ayat terakhir di dalam surah at-Taubah ayat 128.
“Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul, dari dirimu sendiri. Berat baginya apa yang kamu susahkan. Sangatlah inginnya akan kebaikan untuk kamu dan terhadap orang-orang yang beriman sangatlah beliau pengasih lagi penyayang." (at-Taubah: 128)
Di ujung ayat ini, Allah memberikan sanjungan tertinggi kepada Rasul-Nya; diberi dua gelar Rauf dan Rahim yang berarti sangat pengasih, penyantun dan penghiba, serta sangat penyayang. Kedua nama Rauf dan Rahim itu adalah sifat-sifat Allah, asma Allah, termasuk di dalam al-Asmaul Husna yang 99 banyaknya. Rahmat Allah yang telah diguligakan kepada dirinya telah beliau laksanakan dengan baik, sehingga telah menjadi sikap hidup dan perangainya sehingga Allah sendiri memberinya gelar dengan asma Allah. Di sinilah bertemu apa yang kerap kali dianjurkan oleh ahli-ahli tasawuf, yaitu supaya manusia berusaha membuat dirinya meniru sifat-sifat Allah yang patut ditiru. Maka, di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini, bertemulah kata-kata Allah memuji Nabi-Nya dengan halus penuh hormat, bahwasanya sikap lemah lembut beliau terhadap umat yang bebal itu, lain tidak ialah karena rahmat Allah yang telah menjelma di dalam dirinya itu. Rahmat Allah yang telah jadi sifat Rahim.
Di pangkal ayat 128 surah at-Taubah itu bertemu pula kalimat min anfusikum yang berarti, bahwa Rasul itu bukanlah orang lain bagi kamu. Dia adalah dirimu, atau laksana dirimu. Bagi bangsa Arab yang didatangi, be-liau bukan orang lain, malahan belahan diri mereka. Bagi orang Quraisy beliau adalah saudara sedarah. Bagi orang Anshar, dia adalah anak (khal), sebab ibu Abdullah (nenek Nabi ﷺ) berasal dari Bani Najjar.
Dan bagi kita umat manusia seluruhnya, dia pun keturunan Adam sama dengan kita, bukan malaikat yang diutus dari langit dan bukan bangsa jin. Sebab, itulah maka beliau mengenal rasa sakit-senang kita dan terdapat al-Musyarakatil Wijdariyah kesamaan rasa dengan kita. Kalau terdapat kelemahan beliau tahu sebab-sebab kelemahan itu, lalu beliau tuntun kepada iman yang lebih kuat. Kalau hari ini bodoh, moga-moga tidak akan bodoh lagi setelah banyak pengalaman dan suka pula berguru.
Dengan sanjungan Allah yang demikian tinggi kepada Rasul-Nya—karena sikap lemah lembutnya itu—berartilah bahwa Allah senang sekali jika sikap itu diteruskan. Dengan ini Allah telah memberi petunjuk tentang ilmu memimpin. Sebab itu, selanjutnya Allah berfirman, “Karena sekiranya engkau bertindak kasar; berkeras-hati, niscaya berserak-seraklah mereka dari kelilingmu."
Pemimpin yang kasar dan berkeras hati atau kaku sikapnya, akan seganlah orang menghampiri. Orang akan menjauh satu demi satu sehingga dia “akan menggantang asap" sendirian. Kalau orang telah lari, janganlah orang itu disalahkan, melainkan selidikilah cacat pada diri sendiri.
Kepada beberapa antara kita umat Muhammad yang diberi pula tugas oleh Allah untuk mewarisi Nabi, melanjutkan pimpinan beliau, dengan ayat ini diberi pulalah tuntunan bahwasanya seorang pemimpin yang selalu hanyabersikapkasardanberkerashati, tidaklah akan jaya dalam memimpin. Memang seorang pemimpin wajib tegas mempertahankan pendirian, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ sehabis menandatangani perdamaian Hudaibiyah. Dengan keras dan tegas beliau memerintahkan Ali menuliskan apa yang beliau diktekan. Dan dengan keras pula beliau memerintahkan umatnya mencukur rambut, memotong dam (denda) dan menanggalkan pakaian ihram, karena tidak jadi naik haji tahun itu. Maka, sikap tegas dalam saat demikian, jauh bedanya dengan lemah lembut terhadap beberapa orang yang bersalah di Perang Uhud.
Sudah nyata, bahwa pada saat sebagaimana terjadi di Perang Uhud itu, beliau mendidik yang bodoh dan belum berpengalaman supaya lebih mengerti dan kejadian demikian jangan sampai berulang lagi. Akan tetapi, sikap tegas beliau di Hudaibiyah adalah sikap memimpin yang seratus persen merasa bertanggung jawab. Dan kepada orang-orang seperti Umar dan Ali yang kelihatan kecewa— sebab dorongan perasaan (sentimen) tidak jadi naik haji pada tahun itu—beliau wajib menunjukkan sikap tegas. Sebab, orang-orang yang meninggalkan tugas di Perang Uhud. Kemudian, belum sampai beberapa bulan, Umar sendiri meminta maaf kepada Rasul, karena telah dilihatnya betapa unggulnya Rasul dan jauh pandangannya. Sebab, orang musyrikinlah yang mula-mula meminta agar satu pasal dari perjanjian itu ditiadakan saja, yaitu memulangkan kembali pemuda Mekah yang menggabungkan diri ke Madinah, dicabut dengan persetujuan bersama. Sebab, yang rugi bukan kaum Muslimin tetapi orang Quraisy sendiri, sebagaimana yang akan kita tafsirkan panjang lebar, in syaa Allah, di dalam surah al-Fath kelak.
Kemudian, pada lanjutan ayat, sesudah Allah memuji sikap lemah lembut beliau dan menerangkan betapa bencana yang akan menimpa kalau beliau kasar dan berkeras hati, maka Allah memberikan tuntunan lagi kepada Rasul-Nya, supaya umat yang di kelilingnya itu selalu diajaknya bermusyawarah di dalam menghadapi soal-soal bersama.
Firman Allah selanjutnya, “Maka maafkanlah mereka dan mohonkan ampun untuk mereka." Mereka itu memang telah bersalah, karena menyia-nyiakan perintah yang diberikan oleh Nabi kepadanya, sebab mereka tetah bersalah kepada Nabi sebagai pemimpinnya, hendaklah Nabi yang berjiwa besar itu memberi maaf. Dalam pada itu mereka dengan pelanggaran itu telah berdosa kepada Allah. Oleh sebab itu engkau sendirilah wahai utusan-Ku yang seharusnya memohonkan ampun Allah untuk mereka, niscaya Allah akan memberi ampun, sebab dosa mereka sangkut-bersangkut dengan dirimu. Selanjutnya, “Ajaklah mereka bermusyawarah dalam urusan itu." Dan inilah dia inti kepemimpinan.
SYURA SEBAGAI SENDI MASYARAKAT ISLAM
Secara de facto, masyarakat Muslimin Madinah telah tumbuh sebagai suatu kenyataan. Dan dengan sendirinya. Rasul utusan Allah telah menjadi kepala masyarakat itu, jadi panglima perang tertinggi. Yang menjadi Undang-Undang Dasar adalah Wahyu I lahi yang tidak boleh diganggu gugat, tetapi pelaksanaannya terserah kepada kebijaksanaan Rasul sebagai kepala dan pemimpin masyarakat.
Urusan telah beliau tegaskan pembagiannya, yaitu urusan agama dan urusan dunia. Mana yang mengenai urusan agama, yaitu ibadah, syari'at, dan hukum dasar adalah dari Allah. Muhammad memimpin dan semua wajib tunduk. Akan tetapi, urusan yang berkenaan dengan dunia, misalnya perang dan damai, menjalankan ekonomi, ternak, bertani, dan hubungan-hubungan biasa antara manusia (human relation), hendaklah dimusyawarahkan. Berdasar kepada pertimbangan maslahat (apa yang lebih baik untuk umum) dan mafsadat (apa yang membahayakan)
Sebelum perintah kepada Nabi supaya melakukan musyawarah ini, sebenarnya Nabi pun telah berkali-kali melaksanakannya sebagai kebijaksanaan sendiri dalam menghadapi soal bersama.
Ketika akan menghadapi Peperangan Badar, beliau ajak bermusyawarah terlebih dahulu orang Muhajirin. Setelah semuanya bulat semufakat, beliau ajak pula orang Anshar. Setelah keduanya bulat pendapat, barulah perang beliau teruskan.
Setelah sampai di medan perang, timbul musyawarah. Sahabat-sahabat beliau telah mengerti bahwa dalam urusan yang mengenai agama semata, hendaklah patuh mutlak. Akan tetapi, dalam hal ini yang mereka ragu, apakah itu termasuk wahyu atau termasuk siasat perang semata-mata, mereka tanyakan kepada Rasul. Demikianlah yang dilakukan oleh al-Habbab bin al-Mundzir bin al-Jumawwah ketika angkatan perang disuruh berhenti oleh Rasul di tempat yang jauh dari air. Lalu dia bertanya, “Ya Rasulullah! Ketika tempat ini engkau pilih, apakah dia sebagai perintah dari Allah, sehingga kami tidak boleh mendahuluinya atau membelakanginya, atau ini hanya semata-mata pendapat sendiri dalam rangka peperangan dan siasat?"
Rasul menjawab, “Cuma pendapat sendiri dalam rangka berperang dan siasat."
Al-Habbab menyambut lagi, “Kalau demikian, ya Rasulullah, tempat ini tidaklah layak. Marilah perintahkan orang semua, kita pindah ke tempat yang berdekatan dengan air, sebelum musuh itu datang sehingga kitalah yang menentukan."
Rasulullah menjawab, “Usulmu itu sangat tepat."
Lalu, beliau perintahkan segera menguasai tempat itu sebelum musuh mendudukinya.
Inilah hasil musyawarah dan hasil iman serta percaya kepada Rasul; bertanya lebih dahulu adakah mereka berhak mencampuri komando beliau dalam saat seperti demikian. Beliau pun menjawab pula dengan tegas dan jujur bahwa hal itu bukan wahyu, melainkan basil pertimbangan buah pikiran beliau sendiri yang kalau ternyata salah, boleh diganti dengan yang lain yang lebih baik.
Setelah habis Perang Badar dan terdapat 70 orang tawanan, beliau adakan pula terlebih dahulu musyawarah dengan yang patut-patut (Abu Bakar dan Umar) tentang sikap yang akan diambil terhadap orang-orang tawanan itu, dibebaskankah semuanya, atau dibunuh semuanya, atau diberi kesempatan menebus diri.
Kemudian, setelah akan menghadapi Perang Uhud, segeralah beliau panggil segenap pejuang berkumpul. Diajak bermusyawarah apakah musuh akan dinanti di dalam kota saja, atau akan dikeluari bersama dan bertempur di luar kota.
Beliau berpendapat dinanti saja dengan mempertahankan kota. Abdullah bin Ubay sependapat dengan beliau. Akan tetapi, suara yang terbanyak ialah supaya keluar dan bertempur di luar kota. Akhirnya suara terbanyak itulah yang ditetapkan dan beliau lekatkanlah pakaian perang beliau. Setelah ada yang ingin meninjau kembali usul mereka dan bertahan di dalam kota saja menuruti pikiran Rasul, beliau marah dan keluarlah perkataan beliau yang terkenal bahwa pantang bagi seorang Nabi menanggalkan pakaian perangnya kembali apabila telah lekat sebelum diberi ketentuan oleh Allah. Atau musuh dapat dihancurkan atau beliau yang tewas. Dan setelah selesai peperangan yang merugikan itu, sekali-kali tidak beliau menyatakan penyesalannya, bahwa jika pendapatnya yang dituruti niscaya tidak akan kalah. Yang beliau sesali ialah yang ditegur Allah dalam ayat-ayat pada surah Aali ‘imraan ini, sedang sebabnya hanyalah karena ada yang tidak patuh kepada disiplin.
Dengan ayat yang tengah kita tafsirkan ini yang didahului pula oleh ayat 38 surah asy-Syuuraa, jelaslah bahwasywraataumusyawarah menjadi pokok dalam pembangunan masyarakat dan negara Islam. Inilah dasar politik pemerintahan dan pimpinan negara, masyarakat dalam perang dan damai, ketika aman atau ketika terancam bahaya.
Pada ayat 38 surah asy-Syura itu terang sekali bahwa musyawarah itu pasti timbul karena adanya jamaah. Tiap Muslim Mukmin selalu menyediakan diri untuk menjunjung tinggi panggilan Allah, lalu mereka mengerjakan shalat bersama-sama. Akan mengerjakan shalat saja sudah mulai ada musyawarah, yaitu memilih siapa yang akan menjadi imam jamaah dalam kalangan mereka. Dengan suburnya jamaah, timbullah usaha mengerjakan atau mengeluarkan harta untuk keperluan umum. Jika ayat perintah mengajak bermusyawarah itu baru turun sesudah Perang Uhud, sesungguhnya dasar musyawarah telah ditanamkan sejak dari mulai zaman Mekah sebab surah asy-Syura diturunkan di Mekah.
Waktu di Mekah, mereka masih golongan kecil, maka tumbuhlah syura secara kelompok kecil. Setelah pindah ke Madinah, telah tumbuh masyarakat Islam dalam jamaah besar, maka tumbuhlah musyawarah secara jamaah besar pula. Masyarakat yang masih terbatas di dalam kota Madinah bermusyawarah bersama di daiam Masjid Rasul. Setelah Islam meluas, Rasulullah mengangkat kepala-kepala perang tentaranya menaklukkan suatu negeri. Hendaklah kepala perang itu bermusyawarah lagi dengan orang-orang yang dianggapnya menjadi pembantu. Bahkan di dalam perjalanan musafir beberapa orang, Rasulullah menganjurkan, supaya rombongan perjalanan itu mengangkat seorang antara mereka menjadi amir atau ketua rombongan, untuk musyawarah juga. Dan setiap kabilah atau setiap desa mempunyai kepala kabilah atau kepala desa; dengan orang-orang yang terkemuka di desa itu, hendaklah yang dituakan itu mengadakan pula musyawarah antara mereka. Kemudian, setelah Rasul ﷺ wafat, khalifah-khalifah yang menggantikan beliau mengangkat amil atau wali di daerah-daerah atau wilayah yang besar sebagaimana Usaid bin Hudhair di Mekah, Mu'awiyah bin Abu Sufyan di Syam, dan Amr bin Ash di Mesir.
Mereka pun diwajibkan selalu menghidupkan sistem aturan musyawarah ini.
Pertumbuhan syura islami itu hampir sama jugalah dengan pertumbuhan demokrasi pada kota-kota Yunani purbakala. Demokrasi sudah ada sejak semula. Tiap kota mempunyai demokrasi sendiri dan semua orang berhak menghadiri pertemuan serta mengeluarkan pendapat. Kemudian, demokrasi itu pun boleh berkembang menurut perkembangan zaman dan tempat, ruang, dan waktu.
Rasulullah ﷺ tidaklah meninggalkan wasiat politik yang teperinci tentang teknik cara bagaimana menyusun syura itu. Karena ilham Ilahi telah turun kepada beliau sewaktu beliau menggali parit pertahanan (khandaq) untuk menangkis serangan sekutu (al-Ahzaab) ke atas kota Madinah, yaitu ketika sekali beliau memukulkan linggisnya ke batu, terpancarlah api, lalu beliau mengucapkan Aflahu Akbar; sahabat-sahabat pun mengucap Allahu Akbar pula, demikian berturut-turut sampai tiga kali. Lalu beliau menceritakan kepada mereka bahwa ketika pukulan linggis pertama, terbayanglah satu istana putih di Yaman. Pada pukulan kedua, terbayang Baitul Maqdis, dan pada pukulan ketiga terbayanglah dinding tembok kota Konstantinopel.
Semuanya tanda bahwa sepeninggal beliau agama dan umat ini akan mengaliri segenap pelosok dunia. Maka, terserahlah bagaimana hendaknya teknik melancarkan syura itu menurut keadaan tempat dan keadaan zaman. Tidaklah Rasulullah mengikat kita dengan satu cara yang sudah nyata tidak akan sesuai lagi dengan zaman yang selalu berkembang. Dalam hal ini dapatlah dipakai ijtihad bagaimana caranya. Bolehlah diadakan musyawarah bagaimana hendaknya bermusyawarah dan memungut suara serta mengambil keputusan yang di dalam bahasa sekarang, dengan prosedur sidang.
Untuk bahan pertimbangan dapatlah kita lihat bahwa Rasulullah ﷺ di dalam mengadakan syura itu memakai “menteri-menteri utama", yaitu Abu Bakar dan Umar dan menteri utama tingkat kedua, yaitu Utsman dan Ali. Kemudian, ada “menteri" yang berenam, yaitu Sa'ad bin Abu Waqqash, Abu Ubaidah, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin Auf, dan Said bin al-Ash, serta terdapat pula orang yang dianggap menteri ahli musyawarah dari kalangan Anshar, seperti Sa'ad bin Ubadah, Sa'ad bin Mu'az, Ka'ab bin Malik, dan sebagainya. .
Apakah zaman sekarang ini kita akan mengadakan pemilihan umum dan Majelis Permusyawaratan Rakyat? Apakah kita akan mengadakan Dewan Perwakilan Rakyat? Apakah kita akan mengadakan Dewan Pertimbangan Agung? Apakah kita akan mengadakan Dewan Senat? Apakah sebagai pelaksana tetap (eksekutif) kita akan mengadakan Dewan Menteri atau Kabinet? Atau apakah semuanya itu akan kita rombak dan dicarikan nama yang baru? Bukankah itu yang jadi soal; dan Al-Qur'an atau Hadits tidaklah mencampuri hal itu secara mendalam dan teperinci. Yang penting ialah adanya pokok pegangan. Yaitu dalam masyarakat mesti selalu ada syura.
Masyarakat Islam, berdasarkan kepada yang tengah kita tafsirkan ini, didahului oleh ayat 38 surah asy-Syura itu telah menanamkan dasar (prinsip) bahwa bermasyarakat dan bernegara wajib bermusyawarah. Demikian hendaknya sejak dari desa kecil, desa besar, kota ataupun negara, bahkan satu jamaah kecil pada satu lorong di tengah kota.
Sebab itu sangatlah jauh dari inti kehendak Islam suatu masyarakat yang hanya dipengaruhi oleh satu orang. Satu lurah yang laksana dewa dalam desanya, atau gubernur yang laksana raksasa dalam daerahnya, atau satu kepala yang memerintah dengan kehendak sendiri, dikelilingi oleh penjilat-penjilat yang hanya mengiya-iyakan apa yang beliau kehendaki. Oleh sebab itu, sebagian besar ahli tarikh Islam sejak zaman dahulu sampai sekarang menyalahkan Mu'awiyah yang membekukan syura Islam untuk kepentingan dirinya sendiri untuk mendirikan dinasti keturunan Umayyah. Tabi'in yang besar, Hasan Bishri mengatakan bahwa susunan masyarakat Islam menjadi kucar-kacir dan hancur sejak Mu'awiyah mengambil alih kekuasaan dengan paksa. Dan ini telah mereka mulai sejak hidupnya Utsman bin Affan dengan rapat-rapat mengelilingi beliau, sehingga jalan pikiran beliau yang telah mulai tua dipengaruhi oleh pemuda-pemuda Bani Umayyah, sehingga sampai pemberontakan dan beliau mati teraniaya.
Sesudah Bani Umayyah jatuh, naiklah Bani Abbas. Oleh sebab pengaruh kebudayaan Iran, mulailah khalifah-khalifah dipandang sebagai lambang negara yang dikeramatkan; dan sejak dan abad ke abad mundurlah pokok syura Islam itu, sehingga ketika Madhat Pasya memperjuangkan agar negara Turki Osmani diberi Undang-Undang Dasar, dibentuk Majelis Syura (Parlemen) yang bertanggung jawab, maka dialah yang dituduh hendak mengubah-ubah agama. Dibuanglah dia ke Thaif dan dikirimlah orang oleh Sultan Abdulhamid pergi membunuhnya ke tempat pembuangannya itu, sebab Abdulhamid memandang bahwa kalau dia masih hidup juga, pengaruhnya hendak mendirikan Parlemen Pilihan rakyat itu akan timbul juga kembali. Akan tetapi, pada tahun 1908 tirani dan absolut despotis Abdulhamid dimakzulkan orang juga dari singgasana sebab orang ingin pemerintahan yang berdasarkan syura.
Dapatlah kita catat sebagai suatu sejarah yang nyata bahwasanya pelopor yang mengajak kaum Muslimin kembali kepada syura itu ialah ulama besar Sayyid Jamaluddin al-Afghani dan muridnya yang terkenal Syekh Muhammad Abduh. Untuk itu, kedua beliau telah banyak memberikan pengorbanan.
Sekarang kita lanjutkan terusan ayat,
“Apabila telah bulat hatimu, maka tawakallah kepada Allah; sesungguhnya Allah amat suka kepada orang-orang yang bertawakal."
Perhatikanlah kembali, di dalam ayat ini Allah memerintahkan Rasul ﷺ supaya mengajak orang-orang itu bermusyawarah. Wa syawirhum fil amri. Di sini jelas bahwa beliau adalah pemimpin, kepadanya datang perintah supaya mengambil prakarsa mengadakan musyawarah itu. Setelah semua pertimbangan beliau dengarkan dan pertukaran pikiran tentang mudharat dan manfaat sudah selesai, niscaya beliau sudah mempunyai pertimbangan dan penilaian. Setelah itu baru beliau mengambil keputusan. Suasana yang demikianlah yang di dalam bahasa Arab dan di dalam ayat ini dinamai azam; yang kita artikan ‘bulat hati' Sebab, “ya" atau “tidak". Sebab, ke-putusan terakhir itulah yang menentukan dan itulah tanggung jawab pemimpin. Pemimpin yang ragu-ragu mengambil keputusan adalah pemimpin yang gagal. Di sinilah Rasulullah diberi pimpinan bahwa kalau hati telah bulat, azam telah padat, hendaklah ambil keputusan dan bertawakallah kepada Allah. Tidak boleh ragu, tidak boleh bimbang, dan hendaklah menanggung segala risiko. Serta untuk lebih menguatkan hati yang telah berazam itu, hendaklah bertawakal kepada Allah. Artinya, bahwa perhitungan kita sebagai manusia sudah cukup dan kita pun percaya, bahwa di atas kekuatan dan ilmu manusia itu ada lagi kekuasaan tertinggi lagi mutlak dari Allah. Dialah yang sebenarnya menentukan.
Pada saat demikian, pemimpin memutuskan dan ahli syura semuanya patuh dan tunduk.
Ayat ini diamalkan oleh Rasul sebelum diturunkan. Di sini bertemu lagi kemuliaan Rasul di sisi Allah.
Beliau bermusyawarah terlebih dahulu, apakah musuh akan dinanti dengan bertahan dalam kota atau dinanti di luar kota. Beliau sendiri berpendapat, bertahan dalam kota atau dinanti. Akan tetapi, beliau kalah suara. Beliau tunduk kepada suara terbanyak sebab beliau yakin bahwa semangat pemuda-pemuda itu—meskipun pendapat mereka tidak sama dengan pendapat Rasul—jauh lebih dapat dipercaya daripada semangat Abdullah bin Ubay, meskipun Abdullah bin Ubay sependapat dengan beliau.
Maka datang rintangan pertama, yaitu pemuda-pemuda tadi banyak yang menyesal karena tidak menuruti pendapat Rasul, sedang beliau telah memakai pakaian perangnya. Di sini beliau menunjukkan kemarahan, karena sikap ragu-ragu pemuda-pemuda itu dalam menjunjung tinggi keputusan.
Kemudian, datang pula rintangan kedua, yaitu Abdullah bin Ubay dengan 300 orang pengikutnya mundur di tengah perjalanan. Namun beliau berjalan terus dengan membawa 700 orang yang setia. Sebab, beliau percaya bahwa yang 700 ini adalah orang-orang yang suka sehidup-semati dengan beliau. Beliau pun mempunyai keyakinan tebal bahwa dalam perang ini akan menang, asal saja strategi yang telah beliau atur dipatuhi.
Dan kemudian datanglah kekecewaan terakhir, yaitu antara pemanah penjaga lereng bukit ternyata melanggar disiplin, mereka tinggalkan pos mereka. Akan tetapi, dengan gagah perkasanya, bersama-sama dengan tentara yang masih setia beliau dapat memperbaiki keadaan, sehingga meskipun mulanya kaum Quraisy hampir saja bangga karena kemenangan, pulang dengan tidak puas hati. Beliau dapat membangunkan kembali disiplin dengan jiwanya yang besar dan sikapnya yang lemah lembut, sehingga sehari setelah sampai di Madinah dari Uhud yang kecewa itu, segenap Angkatan Perang Islam yang turut dalam Perang Uhud beliau kerahkan berangkat mengejar tentara Quraisy yang pulang itu, meskipun jumlah yang dikejar jauh lebih banyak, sedang Angkatan Perang Islam telah berkurang 70 orang. Bahkan yang melanggar disiplin di lereng Bukit Uhud itu pun dibawa serta.
Inti semuanya adalah dalam rangka selalu tawakal kepada Allah, setelah timbul kebulatan hati dan keputusan diambil. Apabila langkah telah diambil, pantangkan bermata ke belakang, pantangkan berbalik surut dan serahkan diri kepada Allah. Semua hal kita perhitungkan, tetapi dengan tawakal kita selalu ingat bahwa ada hal-hal yang terletak di luar perhitungan kita.
Maka orang-orang yang tetap bertawakal itu akan selalu dikasihi Allah. Yaitu tidaklah dia akan merasa kehilangan akal, jika ada sesuatu yang mengecewakan dan sekali-kali tidak pula dia akan bersombong diri ketika apa yang direncanakan itu sesuai dengan taufik Allah. Dan dengan sebab tawakal pula, maka hati akan selalu terbuka untuk memperbaiki mana yang kurang, menyempurnakan mana yang belum sempurna untuk zaman yang akan datang.
Di dalam susunan pengajian Ilmu Tasawuf, tawakal itu selalu mesti diiringi dengan syukur dan sabar. Syukur, jika apa yang dikehendaki tercapai, sabar jika hasil yang didapat masih mengecewakan, dan ikhlas menyerahkan diri kepada Allah, sehingga hidayat-Nya selalu turun dan kita tidak kehilangan akal.
Ini dijelaskan lagi oleh ayat selanjutnya,
Ayat 160
“Jika Allah hendak menolongmu, maka tidak siapa pun dapat mengalahkan kamu."
Kepada kita sudah diajarkan bahwasanya Yang Mahakuasa atas seluruh alam ini adalah Allah. Dia yang menguasai dan sebenar merajai langit dan bumi, laut dan darat, bahkan sampai kepada sungai-sungai yang mengalir. Kadang-kadang medan perang itu sendiri, letak bukit dan sungainya, hutan rimbanya, dan sawah-sawahnya, dengan tidak hasil usaha kita, telah disediakan Allah untuk menolong kita. Itu sebabnya di dalam perang dipentingkan benar menyelidiki medan. Kadang-kadang musim hujan, musim panas, dan seumpamanya pun turut menentukan kalah dan menangnya perang. Oleh sebab itu, komandan wajib— di samping mempelajari medan perang— mempelajari pula keadaan cuaca. Kalau Allah memberikan ilham kepada pimpinan dapat menilai medan dan cuaca itu saja, dialah yang akan lebih tahu, bahwa medan dan cuaca pun— yaitu pemberian Allah semata-mata—dapat jadi alat untuk menang. Dalam saat demikian siapakah yang akan dapat mengalahkan kita? Maka datang lagi lanjutan ayat,
“Dan jika Dia hendak mengalahkan kamu, siapakah lagi yang dapat menolongmu sesudah Dia."
Manusia wajib mempersiapkan segala alat yang ada padanya, baik dalam suasana perang maupun dalam suasana damai. Musuh-musuh pun akan bersedia pula. Akan tetapi, kalau Allah hendak mengalahkan, pasti akan terjadilah hal-hal yang di luar perhitungan manusia; dan tidak ada satu kekuatan yang dapat menyetop hal itu.
Napoleon menyerang Rusia dengan tentara besar, hampir satu juta (800.000) orang. Akan tetapi, dia telah pulang ke Perancis dengan kekalahan yang sangat besar pula, sampai tentaranya hancur lebur, tinggal 25.000 orang saja yang pulang. Apa sebab? Di Rusia dia dihancurkan oleh musim dingin, oleh salju yang tebal. Dan dia kecewa, karena segala rencana gagal belaka. Dia yakin pada mulanya bahwa Moskow akan dapat direbutnya dengan utuh. Akan tetapi, tentara Rusia terus mundur ke pedalaman dengan terlebih dahulu mengadakan bumi hangus. Setelah masuk ke Moskow, ternyata kotanya telah dibakar oleh orang Rusia sendiri dan tidak didapatinya jenderal yang akan menyerah. Sedang dia menunggu-nunggu, musim dingin telah datang. Dengan kecewa pulanglah dia.
Di tengah perjalanan gugurlah tentaranya seribu demi seribu karena kedinginan dan kekurangan makanan. Makanan yang akan diambil di perjalanan tidak ada lagi sebab telah dibakar oleh orang Rusia.
Kekalahan Napoleon di medan Perang Waterlo menghadapi Jenderal Wellington, ialah karena dalam penyerbuannya kepada musuh yang paling hebat—di bawah pimpinan Marsekal Ney—mereka tidak ingat akan adanya sebuah ngarai. Kuda-kuda yang kencang larinya dikerahkan laksana kencangnya angin menyerbu musuh. Rupanya semua tentara itu handam karam bertindih ke dalam jurang yang besar.
Kekalahan Hitler menyerang Rusia pun sama dengan kekalahan Napoleon.
Misal yang terdekat ialah kekalahan dan kehancuran kaum Komunis di Indonesia dalam usaha mereka merebut kuasa (kup) 30 September 1965. Mereka sudah yakin bahwa maksud mereka akan berhasil dan pastilah mereka menang. Sebab, sudah beberapa tahun mereka mempersiapkan dan memperpanas situasi. Dan kita, pihak lawannya pun sudah mulai ragu akan pertolongan Allah. Hanya tinggal saja lagi segolongan kecil orang Mukmin yang tetap beriman dan tawakal kepada Allah, meyakinkan bahwa satu waktu, Allah akan turun tangan, meskipun mereka sendiri tidak tahu lagi dari mana pertolongan Allah itu akan datang.
Akhirnya kaum Komunis bertindak, mereka membunuh enam orang jenderal.
Bujukan setan datang kepada mereka. Jenderal inilah bunuh dahulu, sebab yang lain sudah mudah saja untuk menghadapinya. Akan tetapi, karena mereka tidak mengenal tawakal kepada Allah dan maksud mereka memang semata-mata jahat, hanya sehari saja rencana mereka berjalan. Petang harinya keadaan sudah dapat dikuasai oleh Jenderal Soeharto dengan pertolongan Allah. Bagaimana kalau yang dibunuhnya terlebih dahulu bukan enam orang jenderal, melainkan 10.000 ulama? Bagaimana jadinya negeri ini kalau mereka berkuasa? Agama akan dihancurkan. Masjid dan gereja akan dijadikan kandang kuda.
Maka meluaplah kemarahan rakyat sebab kepala negara yang diharapkan akan mengutuk mereka, malahan membela mereka. Rakyat— terutama rakyat yang beriman kepada Allah— diberi Allah kekuatan menyerbu menyerang kaum tidak bertuhan itu, tidak dengan bedil dan meriam, melainkan dengan pisau dan golok. Lebih 500.000 orang yang mati di seluruh Indonesia. Dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) membiarkan saja kejadian itu sebab mereka yang kena terlebih dahulu. Mereka yang dilukai dengan pembunuhan jenderal-jenderal mereka secara hina dan keji. Akhirnya, komunis kalah total!
Dalam ayat ini, Allah menantang: Siapa yang akan dapat menolong sesudah Allah?
Soekarno dengan segenap wibawa dan kekuasaan dan pengaruh yang ada padanya mencoba menolong komunis. Segala siasat tetap diaturnya. Akan tetapi, hasilnya bukanlah komunis saja yang hancur, bahkan kewi-bawaan Soekarno yang membelanya pun turut dihancurkan oleh Allah.
Bagaimana kita tidakkan percaya, bahwa Allah itu ada?
Beberapa kejadian di dunia ini memberi kita petunjuk bahwa percobaan manusia hendak menghalangi kekuasaan Allah senantiasa gagal.
Kemudian, datanglah penutup ayat,
“Dan kepada Allah-lah hendaknya bertawakal orang-orang yang beriman."
Sesudah pada ayat yang terdahulu Allah laksana mengulurkan tangan menyambut orang-orang yang bertawakal, dengan firman-Nya bahwa Dia amat suka kepada orang yang bertawakal, maka ujung ayat ini adalah anjuran kepada orang-orang yang beriman, agar mereka segera menyambut tangan itu.
Sebagaimana telah kita ketahui, bertawakal artinya ialah berserah diri. Tawakal adalah akibat yang wajar dari iman. Tidak mungkin ada orang yang mengaku beriman yang tidak bertawakal kepada Allah. Berserah diri lain artinya dengan berdiam diri. Tawakal hendaklah disertai ikhtiar.
Apabila Allah telah memberikan janji yang pasti bahwa jika Dia hendak menolongmu, tidak ada kekuatan lain yang dapat mengalahkanmu. Dan jika Dia hendak mengecewakan kamu, tidak ada sesudah Dia orang lain yang dapat membelamu. Orang yang beriman tidak akan bermenung berdiam diri, melainkan lekas-lekas mendekati Allah. Mendekati Ailah dengan aktif dengan mengerjakan ibadah, dengan memperdalam takwa, berarti akan selalu mengharapkan petunjuk-Nya, sehingga tidak mendapat jalan buntu.
Menambah pengetahuan dan menukuk ilmu pun termasuk dalam rangka tawakal. Karena dengan sebab ilmu, Allah akan membukakan rahasia-rahasia yang mulanya tidak kita ketahui. Di dalam menghadapi musuh yang hendak mengganggu kemerdekaan negara dan kelancaran agama kita, dalam rangka tawakal jugalah jika kita adakan persiapan dan kewaspadaan.
Jika kita jalankan perintah Allah yang tersebut dalam surah al-Anfaal ayat 60 yang memerintahkan agar kita mengadakan persiapan perang untuk menghadapi musuh yang hendak menyerang, dengan sepenuh tenaga yang ada pada kita, sampai di dalam ayat itu juga ditegaskan menyuruh membentuk cavalerie (pasukan berkuda) supaya musuh jangan lancang menyerang kita, bahkan mereka merasa takut, itu pun termasuk tawakal. Jika kita mempunyai kandang ayam, lalu kita kuncikan pintu kandang itu baik-baik senja hari supaya dia jangan dicuri musang malam hari, itu pun adalah dalam rangka tawakal. Sebaliknya, jika kita tidak mengadakan persiapan, atau kandang ayam tidak dikunci, sehingga musuh menyerbu atau musang menangkap ayam, tidaklah itu bernama tawakal kepada Allah, melainkan lalai atau alpa melaksanakan perintah Allah.
Sebab itu dapatlah dipahamkan bahwasanya orang yang beriman itu ialah yang berusaha sekuat tenaga melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Menumpahkan kesanggupan yang ada padanya, dan melaksanakan menurut yang dibimbing dan dipimpin Ailah. Lalu dia pun sadar bahwa dia manusia. Bahwa kuasa dan kekuatan yang lebih tinggi adalah pada Allah.
Dengan tawakal kita membuat satu rencana. Misalnya, satu pemerintahan membuka persawahan, memperbaiki penanaman padi, menyediakan pupuk dan memperhitungkan musim hujan dan menjaga erosi tanah, karena mengharap moga-moga hasil padi tahun ini naik daripada tahun-tahun yang lalu. Alangkah indahnya jika segala rencana ini diberi patri dengan tawakal. Karena di atas segala rencana, kita itu ada saja kemungkinan yang di luar batas kekuasaan kita. Misalnya musim panas terlebih lama dari biasa, atau musim hujan.
Jika musim panas terlalu lama, padi yang semula akan tumbuh subur, hangus karena panas. Dan jika hujan terlalu banyak turun, padi muda akan tenggelam dalam banjir. Dalam hal ini kita tawakal dan karena tawakal kita bersedia dengan iman yang kuat menghadapi segala kemungkinan, atau berusaha terus mencari jalan keluar dari aneka warna kesulitan itu.
Sebaliknya kalau tawakal tidak ada, hanya percaya kepada rencana sendiri, bila datang rintangan yang di luar kemampuan kita, kita pun menjadi kalang kabut.
Itulah sebabnya di dalam ayat ini ditegaskan bahwasanya kepada Allah sehendak-nyalah bertawakal orang-orang yang beriman. Ada pun orang yang tidak beriman, tidaklah mengenal tawakal. Orang seperti itu kalau mendapat suatu kegagalan biasanya menimpakan tanggung jawab kepada orang lain.