Ayat
Terjemahan Per Kata
ٱلتَّٰٓئِبُونَ
orang-orang yang bertaubat
ٱلۡعَٰبِدُونَ
orang-orang yang beribadat
ٱلۡحَٰمِدُونَ
orang-orang yang memuji
ٱلسَّٰٓئِحُونَ
orang-orang yang mengembara
ٱلرَّـٰكِعُونَ
orang-orang yang ruku'
ٱلسَّـٰجِدُونَ
orang-orang yang sujud
ٱلۡأٓمِرُونَ
orang-orang yang menyuruh
بِٱلۡمَعۡرُوفِ
dengan kebaikan
وَٱلنَّاهُونَ
dan orang-orang yang mencegah
عَنِ
dari
ٱلۡمُنكَرِ
kemungkaran
وَٱلۡحَٰفِظُونَ
dan orang-orang yang memelihara
لِحُدُودِ
bagi hukum-hukum
ٱللَّهِۗ
Allah
وَبَشِّرِ
dan gembirakanlah
ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
orang-orang mukmin
ٱلتَّٰٓئِبُونَ
orang-orang yang bertaubat
ٱلۡعَٰبِدُونَ
orang-orang yang beribadat
ٱلۡحَٰمِدُونَ
orang-orang yang memuji
ٱلسَّٰٓئِحُونَ
orang-orang yang mengembara
ٱلرَّـٰكِعُونَ
orang-orang yang ruku'
ٱلسَّـٰجِدُونَ
orang-orang yang sujud
ٱلۡأٓمِرُونَ
orang-orang yang menyuruh
بِٱلۡمَعۡرُوفِ
dengan kebaikan
وَٱلنَّاهُونَ
dan orang-orang yang mencegah
عَنِ
dari
ٱلۡمُنكَرِ
kemungkaran
وَٱلۡحَٰفِظُونَ
dan orang-orang yang memelihara
لِحُدُودِ
bagi hukum-hukum
ٱللَّهِۗ
Allah
وَبَشِّرِ
dan gembirakanlah
ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
orang-orang mukmin
Terjemahan
(Mereka itulah) orang-orang yang bertobat, beribadah, memuji (Allah), mengembara (demi ilmu dan agama), rukuk dan sujud, menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat mungkar, serta memelihara hukum-hukum Allah. Sampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang beriman.
Tafsir
(Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat) lafal at-taa'ibuuna dirafa'kan untuk tujuan memuji, yaitu dengan memperkirakan adanya mubtada sebelumnya; artinya mereka itu adalah orang-orang yang bertobat dari kemusyrikan dan kemunafikan (yang beribadah) orang-orang yang ikhlas karena Allah dalam beribadah (yang memuji) kepada Allah dalam semua kondisi (yang melawat) makna yang dimaksud adalah mereka selalu mengerjakan shaum/puasa (yang rukuk, yang sujud) artinya mereka adalah orang-orang yang salat (yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara batasan-batasan Allah) yakni hukum-hukum-Nya dengan cara mengamalkannya. (Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu) dengan surga.
Tafsir Surat At-Taubah: 112
Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, yang beribadah, yang memuji (Allah), yang berpuasa, yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.
Ayat ini menyebutkan sifat orang-orang mukmin yang pengorbanan jiwa dan harta benda mereka diterima Allah ﷻ. Mereka mempunyai sifat-sifat yang baik dan pekerti yang agung, yaitu:
“Orang-orang yang bertobat.” (At-Taubah: 112)
Yakni bertobat dari semua dosa dan meninggalkan semua perbuatan yang keji.
“Orang-orang yang ahli ibadah.” (At-Taubah: 112)
Yaitu mereka menegakkan ibadahnya kepada Tuhan mereka dan memeliharanya dengan baik, baik ibadah yang berkaitan dengan ucapan maupun pekerjaan. Secara khusus ibadah lisan ialah membaca hamdalah (pujian) kepada Allah. Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan: “Orang-orang yang memuji (Allah).” (At-Taubah: 112)
Di antara amal yang paling utama ialah berpuasa, yaitu meninggalkan kelezatan makan dan minum serta bersetubuh. Pengertian inilah yang dimaksud dengan istilah siyahah dalam ayat ini, yaitu firman-Nya: “Orang-orang yang berpuasa.” (At-Taubah: 112)
Sama halnya dengan sifat yang dimiliki oleh istri-istri Nabi ﷺ yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Yakni wanita-wanita yang berpuasa.” (At Tahrim: 5)
Mengenai rukuk dan sujud, keduanya merupakan bagian dari salat; dan makna yang dimaksud adalah shalat itu sendiri, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: “Yang rukuk dan yang sujud.” (At-Taubah: 112)
Sekalipun demikian, mereka memberikan manfaat kepada makhluk Allah, membimbing mereka untuk taat kepada Allah, dan memerintahkan mereka untuk mengerjakan hal yang ma'ruf dan melarang mereka dari perbuatan yang mungkar.
Mereka juga mengetahui semua hal yang harus mereka kerjakan dan semua hal yang wajib mereka tinggalkan, yakni mereka selalu memelihara hukum-hukum Allah dalam pengharaman dan penghalalan-Nya secara teori dan pengamalannya. Dengan demikian, berarti mereka telah menegakkan ibadah kepada Yang Maha Benar dan memberikan nasihat kepada makhluk-Nya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
“Dan gembirakanlah orang-orang yang mukmin itu.” (At-Taubah: 112)
Dikatakan demikian karena iman mencakup semua sifat tersebut, dan kebahagiaan yang paling puncak ialah bagi orang yang memiliki sifat-sifat itu.
Keterangan mengenai makna Siyahah dalam ayat ini adalah puasa. Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Asim, dari Zar, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan sehubungan dengan makna lafaz as-saihuna, bahwa makna yang dimaksud adalah orang-orang yang berpuasa. Hal yang sama telah dikatakan oleh riwayat Sa'id ibnu Jubair dan Al-Aufi, dari Ibnu Abbas. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa semua lafaz siyahah yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam Al Al-Qur'an artinya puasa. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ad-Dahhak rahimahullah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Yazid, dari Al-Walid ibnu Abdullah, dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa siyahah (pesiar)nya umat ini adalah puasa. Hal yang sama telah dikatakan ojeh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Abdur Rahman As-Sulami, Ad-Dahhak ibnu Muzahim, Sufyan ibnu Uyaynah, dan lain-lainnya. Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan as-saihun ialah orang-orang yang berpuasa.
Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: orang-orang yang berpuasa. (At-Taubah: 112) Menurutnya, mereka adalah orang-orang yang mengerjakan puasa di bulan Ramadan.
Abu Amr Al-Abdi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah ﷻ: “Orang-orang yang berpuasa.” (At-Taubah: 112) Mereka adalah orang-orang mukmin yang menjalankan puasanya secara terus-menerus. Di dalam sebuah hadis marfu' telah disebutkan hal yang serupa.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdullah ibnu Bazi', telah menceritakan kepada kami Hakim ibnu Hizam, telah menceritakan kepada kami Sulaiman, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Orang-orang yang ber-siyahah adalah orang-orang yang berpuasa.” Tetapi predikat mauquf hadis ini lebih sahih.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepadaku Yunus, dari Ibnu Wahb, dari Umar ibnul Hari s, dari Amr ibnu Dinar, dari Ubaid ibnu Umair yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ pernah ditanya mengenai makna as-saihun. Maka beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang berpuasa.” Hadis ini berpredikat mursal lagi jayyid.
Pendapat ini adalah pendapat yang paling sahih dan paling terkenal. Akan tetapi, ada pendapat yang menunjukkan bahwa makna siyahah adalah jihad, seperti apa yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab Sunan-nya melalui hadis Abu Umamah, bahwa ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, izinkanlah saya untuk ber-siyahah." Maka Nabi ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Siyahah umatku adalah berjihad di jalan Allah.”
Ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Ibnu Lahi'ah, bahwa telah menceritakan kepadaku Imarah ibnu Gazyah; pernah disebutkan masalah siyahah di hadapan Rasulullah ﷺ, maka Rasulullah ﷺ bersabda: "Allah telah menggantikannya buat kita dengan berjihad di jalan Allah dan bertakbir di atas setiap tanjakan (tempat yang tinggi).”
Dari Ikrimah, disebutkan bahwa orang-orang yang ber-siyahah adalah nara penuntut ilmu. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang berhijrah. Kedua riwayat di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Tetapi bukanlah yang dimaksud dengan siyahah apa yang dipahami oleh sebagian orang, bahwa mereka adalah orang-orang yang melakukan ibadah seraya ber-siyahah di muka bumi dengan menyendiri di puncak-puncak bukit, atau di gua-gua, atau di tempat-tempat yang sepi. Karena sesungguhnya hal ini tidaklah disyariatkan kecuali hanya dalam masa fitnah sedang melanda umat dan terjadi keguncangan dalam agama.
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan sebuah hadis melalui Abu Sa'id Al-Khudri r.a., bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: "Hampir tiba masanya di mana sebaik-baik harta seseorang berupa ternak kambing yang ia ikuti sampai ke lereng-lereng bukit dan tempat-tempat yang berhujan, seraya melarikan diri menyelamatkan agamanya dari fitnah-fitnah (yang sedang melanda).”
Al-Aufi dan Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Dan orang-orang yang memelihara hukum-hukum Allah.” (At-Taubah: 112)
Maksudnya adalah orang-orang yang menjalankan ketaatan kepada Allah.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Al-Hasan Al-Basri. Dan dari Al-Hasan Al-Basri dalam riwayat yang lain sehubungan dengan makna firman-Nya: “orang-orang yang memelihara hukum-hukum Allah.” (At-Taubah: 112) Dalam riwayat itu disebutkan bahwa yang dimaksud adalah memelihara hal-hal yang difardukan oleh Allah ﷻ. Dan dalam riwayat lainnya lagi disebutkan orang-orang yang menegakkan perintah Allah.
Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat baik karena melakukan dosa maupun tidak melakukan dosa, beribadah secara berkesinambungan, memuji Allah sebagai rasa syukur, mengembara untuk tujuan kebaikan, rukuk, sujud, yakni salat sebagai wujud tunduk dan patuh kepada Allah, menyuruh berbuat makruf dan mencegah dari yang mungkar dan yang memelihara, yakni melaksanakan hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang yang beriman yang mempunyai sifat-sifat yang sudah disebutkan. Usai menjelaskan sifat-sifat orang yang bertobat, Allah lalu menjelaskan manusia yang tidak layak dimohonkan ampunan Allah. Tidak pantas, yakni tidak pernah dan tidak mungkin terjadi bagi nabi dan orang-orang yang beriman untuk memohonkan ampunan kepada Allah bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang musyrik itu kaum kerabat-nya, setelah jelas bagi mereka dengan kematian mereka dalam kemusyrikan, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka Jahanam.
Dalam ayat ini disebutkan beberapa sifat dari orang-orang mukmin yang telah mencapai puncak kesempurnaan iman, yang telah mengorbankan harta benda dan jiwa raga mereka dalam berjihad untuk menjunjung tinggi dan menegakkan agama Allah.
Sifat-sifat tersebut ialah:
1. Mereka adalah orang-orang yang bertobat, kembali kepada Allah dengan cara meninggalkan setiap perbuatan yang akan menjauhkan diri dari keridaan-Nya. Maka tobat orang yang pernah menjadi kafir adalah kembalinya mereka kepada jalan Allah, serta melaksanakan perintah syariat-Nya.
Dalam hal ini Allah telah berfirman:
Jika mereka bertobat, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. (at-Taubah/9: 11)
Sedang tobat orang yang pernah menjadi munafik ialah dengan cara meninggalkan kemunafikannya itu. Tobat orang-orang yang durhaka ialah dengan cara meninggalkan kedurhakaannya dengan menyesali apa yang telah diperbuatnya, serta bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi, sebagaimana tobat yang telah dilakukan oleh beberapa orang mukmin (Abu Lubabah dengan kawan-kawannya) yang telah mangkir dari Perang Tabuk. Adapun tobat orang yang telah lalai dari melakukan kebajikan, ialah dengan cara berbuat kebajikan lain yang lebih banyak, sedang tobat orang yang lalai dari mengingat Allah ialah dengan cara berzikir dan bersyukur lebih banyak lagi setelah menyadari kelalaiannya.
2. Orang-orang mukmin yang mencapai puncak kesempurnaan iman mempunyai sifat sebagai orang-orang yang beribadat kepada Allah semata-mata dengan ikhlas, tanpa riya maupun syirik. Semua ibadah doa dan harapannya hanya ditujukan kepada Allah semata. Mereka menjauhi segala perbuatan yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada selain Allah atau mengharapkan pertolongan dari selain Allah, baik untuk kepentingan duniawi maupun ukhrawi.
3. Orang-orang mukmin disifati sebagai orang-orang yang senantiasa menyampaikan pujian kepada Allah, baik dalam waktu suka maupun pada saat duka.
Dalam hal ini 'Aisyah r.a. menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw, apabila menemukan suatu hal yang menggembirakan maka beliau mengucapkan kata-kata pujian yang berbunyi:
Segala pujian hanyalah untuk Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan dapat disempurnakan. (Riwayat Ibnu Majah dan al-hakim)
Dan apabila beliau menghadapi suatu hal yang tidak diinginkannya, maka beliau mengucapkan kata pujian yang berbunyi:
Segala puji hanyalah untuk Allah semata-mata, dalam segala hal. (Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan lain-lain)
4. Orang-orang mukmin yang mencapai puncak kesempurnan juga memiliki sifat sebagai orang-orang yang suka mengembara untuk tujuan-tujuan yang baik dan benar, misalnya pengembaraan yang dilakukan untuk menuntut ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan agama, maupun ilmu pengetahuan untuk kemajuan duniawi, atau untuk sesuatu yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan tanah air. Atau melakukan pengembaraan untuk melihat dan memperhatikan keadaan bangsa-bangsa dan negeri-negeri lain, agar dari semuanya itu dapat diambil pelajaran yang berguna, serta meningkatkan keimanan dan ibadah kita kepada Allah, Pencipta alam semesta. Di dalam Al-Qur'an, terdapat banyak firman Allah yang mendorong manusia agar mengadakan perjalanan di muka bumi ini, untuk mendapatkan pengalaman dan pelajaran, yang akan menambah kuatnya keimanan mereka. Antara lain firman Allah:
Katakanlah (Muhammad), "Jelajahilah bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu." (al-An'am/6: 11)
Dan firman-Nya dalam ayat yang lain:
Tidakkah mereka memperhatikan berapa banyak generasi sebelum mereka yang telah Kami binasakan, padahal (generasi itu), telah kami teguhkan kedudukannya di bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu. (al-An'am/6: 6)
Masih banyak ayat lainnya yang sejiwa dengan ayat-ayat di atas yang menyuruh manusia untuk memperhatikan lebih banyak makhluk Tuhan di dunia ini. Semakin jauh berjalan, semakin banyak yang dilihat, dan memberikan banyak pengetahuan, pengalaman, dan pelajaran, yang akhirnya menambah keimanan dan ketakwaan kepada Allah.
5. Sifat lainnya yang dimiliki orang-orang mukmin sejati ialah senantiasa melakukan ruku dan sujud kepada Allah, yakni mendirikan salat. Sengaja Allah menyebutkan masalah ruku dan sujud dalam ayat ini, karena kedua hal tersebut adalah menunjukkan sifat tunduk tawadu serta penghambaan diri kepada Allah, dan juga untuk menggambarkan bahwa pekerjaan salat itu tidak pernah lepas dari ruku' dan sujud.
6. Dua sifat lainnya dari orang-orang mukmin sejati ialah suka mengajak orang lain untuk berbuat kebajikan, dan mencegahnya dari perbuatan yang mungkar, dengan jalan mengajaknya kepada keimanan dan melakukan perbuatan-perbuatan yang merupakan buah dari keimanan itu, yaitu hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan pribadi dan kehidupan bersama dalam masyarakat.
7. Sifat lainnya yang disebutkan terakhir dalam ayat ini, ialah sebagai orang-orang yang senantiasa menjaga diri untuk tidak melampaui batas dan ketentuan yang telah ditetapkan Allah, seperti syariat dan hukum-hukum-Nya, yang harus diikuti oleh kaum mukmin untuk kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat, dan apa-apa yang harus mereka jauhi, karena bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkannya. Demikian pula, dalam hukum dan syariat tersebut telah dijelaskan pula apa-apa yang harus dilakukan oleh umat Islam dan para pemimpin mereka, baik untuk kepentingan pribadi muslim, maupun untuk kejayaan masyarakat Islam umumnya.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 111
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman itu, jiwa mereka dan harta benda mereka, dengan (bayaran) bahwa untuk mereka adalah sunga."
Ada pertalian yang teguh di antara ayat-ayat ini dengan ayat-ayat yang sebelumnya. Orang yang beriman, oleh karena cintanya kepada kesucian dan kebersihan, zahir serta batin, maka Allah pun telah suka dan cinta pula kepada mereka. Tidak ada lagi satu ruang kecil pun yang tinggal di dalam hatinya untuk menempatkan di dalamnya selain dari Allah. Berbeda dengan munafik yang jiwanya pecah belah itu. Orang munafik bersedia membela dirinya kepada setan, hawa nafsu ataupun sesama manusia. Tetapi orang beriman tidaklah dapat ditawar oleh setan yang mana jua pun. Sebab dirinya telah terjual habis kepada Allah. Orang beriman akan tetap mengangkat mukanya menghadapi siapa saja, dengan tidak merasa gentar dan takut. Tetapi mereka akan sujud tersipu-sipu ke bumi, sampai keningnya tercecah ke tanah bila menghadap Allah. Dirinya telah terjual habis, tidak ada sisanya lagi. Pembelinya ialah Allah sendiri. Dirinya atau jiwanya dan juga harta bendanya telah diborong belaka oleh Allah, dan pembayarnya kelak ialah surga."Mereka berperang pada jalan Allah, maka mereka pun membunuh dan mereka pun terbunuh." Oleh karena diri dan harta telah terjual kepada Allah, menjadi budak dan hamba Allah, ke mana saja pun Allah mengerahkan mereka, mereka pun ridha menerima. Oleh karena iman yang telah mendalam, mereka pun tahu benar bahwa baik diri dan jiwanya, ataupun harta dan bendanya, pada hakikatnya Allah semua yang empunya. Sebenarnya kalau diri dan harta itu diserahkan dengan seikhlas-ikhlasnya kepada Allah, tidak lain dari menyerahkan sesuatu barang kepada yang empunya. Tetapi oleh karena di antara Mukmin dengan Allahnya itu telah terpaut tali kasih dan sayang Hubbu dan Ridha, maka pengembalian diri itu dihargai juga oleh Allah. Meskipun diri dan harta benda kepunyaan Allah dan dikembalikan kepada Allah, lalu bersedia berperang menegakkan jalan Allah, entah membunuh atau terbunuh, bukanlah karena benci, melainkan karena musuh yang dibunuh itu menghambat jalan Allah, Jika Mukmin itu terbunuh, mereka pun ridha menerima kematian, sebab matinya adalah bukti dari cintanya kepada Allah. Niat suci seperti inilah yang mendapat sambutan Allah dengan surga. Di dalam beberapa ayat dikatakan bahwa mereka tidak mati, melainkan tetap hidup.
Menjual diri kepada Allah inilah yang pernah disebutkan oleh Shufi yang masyhur, Maulana Jalaluddin ar-Rumi: “Diri ini telah terjual habis kepada Allah, tidak bisa ditawar lagi. Barang yang sudah terjual tidak boleh dijual dua kali."
Maka kesusahan dan penderitaan hidup, kesulitan dan kesengsaraan yang dihadapi di dunia ini, menjadi kecil belaka, tidak ada artinya, karena hidup sudah mempunyai pe-gangan, yaitu."Aku ini hamba Allah," dan hari depan pun mempunyai pegangan, yaitu."Surga yang dijanjikan Allah." Maka harga yang dibayarkan Allah itu, kalau kita timbang-timbang dengan umur dan pengorbanan kita, apatah lagi diri dan harta benda itu pada hakikatnya Allah juga yang empunya, adalah terlalu mahal. Yang akan kita terima tidak sepadan, terlalu besar, jika dibandingkan dengan kecilnya yang kita berikan.
“Sebagai suatu perjanjian yang benar atasnya, (tersebut) di dalam Taurat dan Injil dan Al-Qur'an." Yaitu bahwa diri dan harta benda yang telah dijual habis kepada Allah itu akan dibayar oleh Allah dengan harga yang sangat tinggi, yaitu surga, sehingga lantaran itu berani berperang, berani membunuh dan berani terbunuh adalah janji pasti oleh Allah. Janji yang telah lama sekali, sejak nabi-nabi yang dahulu, sejak Musa dan Isa menjadi isi dari Taurat dan Injil, dan sekarang ditegaskan lagi oleh Al-Qur'an. Meskipun entah masih ada ucapan janji demikian di dalam Taurat naskah yang sekarang atau Injil, atau tidak tersebut lagi dengan tegas, sebab naskah asli Taurat telah hilang dan Injil yang ada sekarang adalah catatan orang-orang sesudah al-Masih wafat, namun bukti tentang adanya janji itu masih dapat kita baca dalam riwayat perjuangan umat yang menerima Taurat dan Injil itu. Mengapa Bani Israil bersedia membunuh dan terbunuh ketika dibawa Musa dan Harun dan Yusya' menduduki negeri yang dijanjikan? Bukankah Bani Israil dihukum 40 tahun berhenti di Padang Tih karena mereka tidak yakin akan janji itu? Mengapa beribu-ribu orang Nasrani bersedia dibakar, dimasukkan ke dalam kandang singa ketika kekuasaan Kaisar Nero? Lain tidak ialah karena harta benda dan jiwa telah terjual habis kepada Allah. Dan akan dibayar oleh Allah dengan surga. “Dan siapakah lagi yang memenuhi janjinya lain dari Allah?" Janji orang lain bisa saja mungkir, namun janji Allah tidak akan dimungkiri-Nya, sebab Dia kaya, Dia mampu memenuhi janji itu. “Maka bergembiralah kamu dengan baiat yang telah kamu baiatkan dengan Dia." Bergembiralah dengan baiat atau janji yang telah kamu ikat dengan Rasul itu, sebab Rasul mengikat janji dengan kamu adalah karena suruhan Allah. Tidak usah kamu ragu lagi, besarkanlah hatimu, sebab pengorbananmu tidak akan sia-sia. Kesusahanmu sekarang akan berganti dengan nikmat karunia Allah. Air matamu yang titik karena derita, akan ber-ganti dengan sejuk dan tawarnya air Salsabil dalam surga. Dan jika kamu luka dan darah-mu mengalir lalu ‘kamu mati, darah itu akan jadi saksimu, sehingga orang yang mati syahid dalam perang tidak boleh dimandikan, bahkan hendaklah dikuburkan dengan darah-darahnya. Sebagai budak hitam pengembala yang turut dalam Perang Khaibar, demikianlah keadaan kamu setelah mati. Rasulullah ﷺ melihat dua orang anak bidadari menyambut dan memangku kepalanya pada haribaan budak hitam pengembala itu. Dan jika kamu hidup, tidak mati di medan perang, sebagai kematian Khalid bin Walid, meskipun seluruh tubuhnya telah penuh dengan parut-parut bekas luka bertempur, tapi dia mati seperti biasa. Sampai dia berkata, “Seluruh medan perang telah aku jelajah dan tubuhku telah penuh dengan bekas luka bertempur, namun aku akan mati di rumah sebagai seekor keledai tua mati di kandang." Tidak usah menyesali itu, bahkan bergembiralah, sebab harga dirimu akan tetap dibayar oleh Allah dengan surga Jannatun Na'im,
“Demikian itulah dia kejayaan yang besar."
Tidak ada lagi kejayaan itu kebahagiaan yang lebih atas dari itu.
Segala kepenatan hidup, segala fitnah dan percobaan dunia menjadi hilanglah apabila di hadapan kita telah terbayang pengharapan kejayaan yang besar ini. Alangkah bahagianya jika kita mempunyai kepercayaan dengan pegangan.
Tersebutlah di dalam satu riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaihi, yang diterima daripada sahabat Rasulullah ﷺ jabir bin Abdullah, bahwa-sanya ayat ini turun kepada Rasulullah ﷺ di suatu hari, ketika beliau berada di dalam masjid dikelilingi oleh banyak orang. Setelah beliau baca ayat ini, sampai pada ayat “Maka bergembiralah kamu dengan baiat," dan seterusnya itu bertakbirlah manusia yang banyak itu menunjukkan gembira. Kemudian, tampillah seorang Anshar, diangkatnya ujung bajunya lalu dia berdiri mendekati Rasulullah ﷺ dan bertanya, “Apakah ayat ini turun pada kami, ya Rasulullah ﷺ?1' Beliau menjawab, “Benar!" Mendengar jawab Rasul yang demikian, berkatalah dia, “Penjualan yang sangat beruntung, ya Rasulullah ﷺ! Kami tidak akan menawar-nawar lagi!"
Lalu datanglah lanjutan ayat menerangkan lagi sifat-sifat hamba Allah yang telah menjual habis diri dan harta bendanya kepada Allah itu:
Ayat 112
• “Orang-orang yang bertobat"
Inilah bawaan yang pertama dari orang yang telah menyediakan diri untuk jadi hamba Allah itu, yaitu tobat. Arti asal dari tobat ialah kembali. Kembali kepada Allah dan selalu kembali. Karena memang, sadar ataupun tidak sadar, kita mesti kembali kepada-Nya. Kalau dahulu kufur, tidak percaya kepada Allah, maka tobatlah dan kembalilah kepada Allah dengan mengakui bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia. Kalau telah telanjur selama ini menjadi munafik, lain di mulut lain di hati, maka tobatlah, kembalilah kepada kejujuran, sama yang di mulut dengan yang di hati. Dan kalau telah terlalai dari jalan yang benar, lekaslah insaf, Lalu hentikan dan kejarlah kelalaian itu dengan amal saleh. Bahkan kalaupun telah cukup rasanya terkerjakan segala perintah, dihentikan segala larangan, telah terkerjakan shalat lima waktu, telah diiringi dengan nawafil sekalipun, namun sehabis shalat itu tobat jugalah, karena pada hakikatnya, walaupun telah sangat banyak kebaikan yang kita kerjakan, belum jugalah sepadan dengan ganjaran yang akan kita terima. Terlalu sangat besar harga yang akan dibayarkan Allah terhadap amal yang sejemput kecil pada umur terbatas ini.
Janganlah menyangka bahwa diri telah suci bersih, tidak pernah bersalah dan tidak pernah berdosa. Di dalam surah an-Najm ayat 32, Allah memberi ingat, janganlah kamu membersihkan diri, artinya mengatakan suci dari bersalah, sebab Allah sendiri lebih tahu keadaan kamu dari tanah bumi kamu ditimbulkan, lalu digeligakan di dalam perut ibu. Sebab itu selalulah bertobat dan selalulah kembali sedang Allah adalah amat, luas ampunan yang dibuka-Nya buat hamba-Nya. Perhatikanlah lagi surah al-Baqarah ayat 187, seketika Allah menyesali orang yang pada malam bulan puasa masih saja hendak berpuasa dari mencampuni istri. Padahal perintah Allah puasa hanya siang hari, ditambahnya pula dengan puasa menjauhi istri pada malam hari. Itu pun satu kesalahan, karena memberati diri berlebih dari mesti; dan kesalahan pula, karena menghambat nafkah batin buat istri, dan membendung hubungan suami istri yang telah dihalalkan Allah. Di dalam ayat itu Allah tegur kesalahan itu dan Allah berfirman bahwa Allah memberi tobat atas kesalahan itu.
Lantaran itu dapatlah kita pahamkan apa arti yang sangat mendalam dari kata-kata tobat itu. Dalam berbuat baik pun kita bertobat. Sehabis shalat lima waktu pun Rasulullah ﷺ menyuruh kita bertobat:
“Aku memohon ampun kepada Allah Yang Mahaagung. Yang tidak ada Allah melainkan Dia, yang Hidup dan yang terus tegak, dan aku pun memohon tobat kepada-Nya, “
Sunnah kita baca tiga kali sehabis shalat rawatib.
Sesudah berwuquf di Arafah dan berhenti di Masy'aril Haram (Muzdalifah), dalam per-jalanan berbondong kembali ke Mekah buat mengerjakan Thawaf Ifadhah, pun kita disu-ruh memohonkan ampun kepada Allah, yang berpahala bila dikerjakan dan berdosa bila dikecewakan, namun begitu kita masih dianjurkan memohon ampun dan tobat.
Maka hamba Allah yang telah menjual diri kepada Allah itu, adalah orang yang selalu bertobat kepada-Nya (ilaihi). Dan Allah pun berjanji memberi tobat ke atasnya sehingga dengan jalan tobat itu selalu bertali di antara makhluk dengan Khaliqnya, di antara ‘abid dengan ma'bud-Nya, ditalikan dan dihubungkan oleh ilaa dan ‘ala.
• “Orang-orangyang beribadah"
Setelah tobat mengikutlah ibadah, menghambakan diri dengan ikhlas dalam segala gerak-gerik, baik ibadah dalam waktu tertentu sebagai shalat, atau menyerahkan seluruh ke-baktian dalam hidup kepada Allah, dan tidak dicampuri dengan yang lain. Tidak memakai perantaraan dan tidak menuhankan yang lain.
- “Orang-orangyang memuji"
Memuji Allah selalu, baik pujian “alham-dulillah" yang menjadi isi dari segala shalat, baik yang wajib ataupun yang sunnah. Bagaimana Dia tidak akan dipuji, padahal di waktu kita dalam susah pun nikmat-Nya masih tetap ada. Bahkan apabila kita hitung-hitung perjalanan hidup kita, jumlah dari suatu kesusahan yang pernah menimpa diri, setelah dilalui, ternyata adalah nikmat juga.
Oleh sebab itu, hamba Allah menjadi tetap memuji Allah, baik di waktu senang maupun di waktu susah.
• “Orang-orang yang mengembara"
Berjalan di atas bumi Allah, musafir meninggalkan rumah tangga atau kampung halaman. Sebab hidup itu mesti berusaha, mesti membuka mata untuk mencari ilmu ataupun rejeki. Berjalan musafir pergi naik haji. Berjalan mengembara ke luar negeri menambah ilmu pengetahuan. Berjalan mengembara menambah pengalaman: “Lama hidup banyak dirasai, jauh merantau banyak dilihat."
Karena dengan banyak pengembaraan banyaklah pengalaman dan luaslah paham, tidak lagi sebagai katak di bawah tempurung.
Dalam sejarah Islam, terkenallah seorang pengembara yang besar dari Andalusia, bernama Ibnu Jubair, lalu menuliskan hasil pe-ngembarannya itu dalam abad-abad keenam Hijriah, dari tanah kelahirannya Andalusia ke negeri-negeri islam sebelah Timur. Kemudian itu terkenal pula pengembaraan Ibnu Bathuthah, yang sampai-sampai ke India dan Tiongkok dan singgah dalam penjalanannya pulang pergi ke Pasai Pulau Sumatera. Bila kita baca buah tangannya, kita dapat membaca keluasan hatinya di negeri-negeri yang disinggahinya. Ibnu Bathuthah adalah orang Tunisia. Tetapi dia diminta jadi qadhi atau mufti pada beberapa negeri yang dia singgahi.
Ada juga suatu riwayat penafsiran dari Abdullah bin Mas'ud bahwa yang dimaksud dengan mengembara di sini ialah mengerjakan puasa.
Dan sudah tentu bahwa petugas-petugas negara yang diperintah keluar negeri untuk kepentingan negara termasuk juga dalam ini, asal dia memasangkan niatnya disesuaikan dengan ayat ini. Atau mahasiswa yang dikirim belajar berbagai ilmu untuk kepentingan agama ataupun bangsa dan umat, termasuk juga di dalam lingkungan ini. Ahli-ahli hadits sebagai Imam Bukhari dan lain-lain, kadang-kadang mengembara dari Bukhara ke Mesir, dari Mesir ke Hejaz, kadang-kadang ke Samarkand dan Adzerbijan, ke Afrika. Sedangkan orang Islam Andalusia, pergi ke Timur. Pada zaman perhubungan belum selancar sekarang, mengikuti kafilah unta berhari-hari, hanya karena mendengar berita bahwa di negeri yang akan didatangi itu ada seorang ulama menyimpan sebuah hadits dalam kepalanya. Selesai mendapat sebuah hadits itu, dia pun meneruskan pengembaraan lagi atau kembali pulang.
• “Orang-orangyang ruku' dan orang-orang yang sujud"
Kedua-duanya itu adalah perbuatan-perbuatan di dalam shalat. Artinya bahwasanya tobatnya dan ibadahnya yang lain, ditambah dengan pengembaraannya ke mana-mana se-lalu mesti diberinya patri dengan shalat lima waktu dan tambahan nawafil yang lain.
• “Orang-orang yang menyuruh berbuat yang makruf, dan orang-orang yang mencegah dari yang mungkar"
Yang keenam ini adalah bawaan hidup dari orang yang beriman itu. Ketaatan kepada Allah, ditambahi dengan hidup yang senantiasa berkecimpung dalam masyarakat, menyebabkan dia mengingini yang baik dan makruf dan membenci yang buruk dan mung-kar. Dengan pokok keenam ini dapatlah kita memahamkan bahwa orang yang beriman itu bukan hanya semata-mata mementingkan kebaikan diri sendiri dan membiarkan yang di luar dirinya dengan sikap masa bodoh. Dengan ini pula bisa dipahamkan bahwa tidak boleh mencampuri urusan orang lain, yang timbul dari ajaran individualisme dari Barat, di dalam islam ada batasnya. Orang seorang memang dibiarkan sesuka hati, tetapi kalau perbuatannya telah mulai salah, akan membawa kerusakan bagi dirinya, wajib bagi Mukmin yang lain menegurnya. Dengan adanya amar ma'ruf, seorang beriman disuruh mempunyai inisiatif, mempunyai anjuran-anjuran buat memajukan kesehatan pendapat umum. Inilah yang disebut makruf. Sebab arti makruf ialah yang dikenal. Dan dengan adanya nahi mungkar, seorang beriman disuruh menanamkan rasa kebebasan menyatakan pikiran buat menegur yang salah dan tidak disenangi oleh umum. Sebab arti munkar ialah yang dibenci. Dan ini hanya akan ada kalau tauhid orang sudah matang dan tempatnya takut hanya Allah, yang selalu diperdalamnya dalam dirinya sendiri dengan memperkuat ibadah, shalat, ruku', dan sujud.
• “Dan orang-orang yang menjaga batas-batas Allah"
Yang keenam, niscaya dilengkapkan dengan yang ketujuh ini. Barulah orang tahu mana yang makruf dan mana yang mungkar kalau dia mengetahui mana-mana batas-batas yang ditentukan oleh Allah. Mana larangan, mana suruhan, mana yang boleh, dan mana yang tidak boleh. Sehingga tidaklah dia secara serampangan saja menganjurkan yang dirasa makruf dan mencegah yang mungkar. Oleh sebab itu pula menjadi jelaslah bahwasanya orang yang beriman itu tidak dalam urusan ilmu, terutama ilmu agama. Melainkan menambah terus pengetahuannya dan memperbaiki mutu imannya. Datanglah penutup ayat,
“Dan gembirakanlah orang-orang yang beriman."
Rasulullah ﷺ diperintahkan oleh Allah menyuruh menyampaikan berita gembira ke-pada orang yang beriman. Bahwasanya apabila pada diri mereka telah ada isi ketujuh perkara itu, tidaklah akan sia-sia hidup mereka, bahkan menjadilah mereka insan yang berguna dan berfaedah dan tidaklah umur terbuang percuma. Gembirakanlah mereka, sebab dengan terisinya ketujuh pokok itu dapatlah dia mencapai derajat Mukmin yang kamilul iman. Bermanfaat bagi dirinya dan memberi manfaat bagi orang lain. Dan gembirakanlah mereka, sebab tempat yang mulia sudah tersedia bagi mereka di dalam surga. Dan gembirakanlah mereka, sebab hidup mereka berbeda laksana perbedaan siang dan malam, dengan kehidupan orang yang munafik.
Maka hendaklah tiap-tiap kita berusaha mengisi hidup dengan ketujuh pokok itu, supaya tercapai tujuan yang sebenarnya bagi selamat dunia dan akhirat.