Ayat
Terjemahan Per Kata
لَا
janganlah
تَقُمۡ
kamu berdiri
فِيهِ
didalamnya
أَبَدٗاۚ
selama-lamanya
لَّمَسۡجِدٌ
sungguh mesjid
أُسِّسَ
didirikan
عَلَى
atas (dasar)
ٱلتَّقۡوَىٰ
takwa
مِنۡ
dari/sejak
أَوَّلِ
pertama/awal
يَوۡمٍ
hari
أَحَقُّ
lebih hak/patut
أَن
bahwa
تَقُومَ
kamu berdiri/sembahyang
فِيهِۚ
didalamnya
فِيهِ
didalamnya
رِجَالٞ
orang laki-laki
يُحِبُّونَ
mereka senang/ingin
أَن
bahwa
يَتَطَهَّرُواْۚ
mereka membersihkan diri
وَٱللَّهُ
dan Allah
يُحِبُّ
Dia menyukai
ٱلۡمُطَّهِّرِينَ
orang-orang yang bersih
لَا
janganlah
تَقُمۡ
kamu berdiri
فِيهِ
didalamnya
أَبَدٗاۚ
selama-lamanya
لَّمَسۡجِدٌ
sungguh mesjid
أُسِّسَ
didirikan
عَلَى
atas (dasar)
ٱلتَّقۡوَىٰ
takwa
مِنۡ
dari/sejak
أَوَّلِ
pertama/awal
يَوۡمٍ
hari
أَحَقُّ
lebih hak/patut
أَن
bahwa
تَقُومَ
kamu berdiri/sembahyang
فِيهِۚ
didalamnya
فِيهِ
didalamnya
رِجَالٞ
orang laki-laki
يُحِبُّونَ
mereka senang/ingin
أَن
bahwa
يَتَطَهَّرُواْۚ
mereka membersihkan diri
وَٱللَّهُ
dan Allah
يُحِبُّ
Dia menyukai
ٱلۡمُطَّهِّرِينَ
orang-orang yang bersih
Terjemahan
Janganlah engkau melaksanakan salat di dalamnya (masjid itu) selama-lamanya. Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama lebih berhak engkau melaksanakan salat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang gemar membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang yang membersihkan diri.
Tafsir
(Janganlah kamu berdiri) melakukan salat (dalam mesjid itu selama-lamanya) kemudian Nabi ﷺ mengirimkan segolongan para sahabatnya guna merobohkan dan membakarnya. Kemudian mereka menjadikan bekas mesjid itu sebagai tempat pembuangan bangkai. (Sesungguhnya mesjid yang didirikan) dibangun dengan berlandaskan kepada pondasi (takwa, sejak hari pertama) yaitu mesjid yang didirikan oleh Nabi ﷺ sewaktu pertama kali beliau menginjakkan kakinya di tempat hijrahnya itu, yang dimaksud adalah mesjid Quba. Demikianlah menurut penjelasan yang telah dikemukakan oleh Imam Bukhari (adalah lebih berhak) daripada mesjid dhirar itu (kamu salat) untuk melakukan salat (di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang) kaum Ansar (yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih) artinya, Allah akan memberikan pahala kepada mereka. Lafal al-muththahhiriina asalnya ialah al-mutathahhiriina kemudian huruf ta diidgamkan kepada huruf tha yang asal, kemudian jadilah al-muththahhiriina. Ibnu Khuzaimah di dalam kitab sahihnya telah meriwayatkan sebuah hadis melalui Uwaimir bin Saidah, bahwasanya pada suatu hari Nabi ﷺ mendatangi mereka (para sahabat) di mesjid Quba. Kemudian beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah ﷻ telah memuji kalian dengan baik atas pembersihan diri kalian sehubungan dengan kisah mesjid kalian ini (Quba). Maka cara pembersihan apakah yang sedang kalian lakukan sekarang ini?" Mereka menjawab, "Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui apa-apa melainkan kami mempunyai tetangga-tetangga Yahudi; mereka lalu membasuh dubur mereka setelah buang air besar, maka kami pun melakukan pembasuhan seperti apa yang mereka lakukan." Menurut hadis yang lain, yang telah diriwayatkan oleh Imam Bazzar disebutkan bahwa para sahabat mengatakan, "Akan tetapi kami memakai batu terlebih dahulu, kemudian baru kami memakai air." Maka Nabi ﷺ menjawab, "Itulah yang benar, maka peganglah cara ini oleh kalian.".
Tafsir Surat At-Taubah: 107-108
Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudaratan (pada orang-orang mukmin) dan karena kekafiran(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah, "Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).
Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu salat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.
Ayat 107
Penyebab turunnya ayat-ayat ini ialah bahwa sebelum kedatangan Nabi ﷺ di Madinah terdapat seorang lelaki dari kalangan kabilah Khazraj yang dikenal dengan nama Abu Amir Ar-Rahib. Sejak masa Jahiliah dia telah masuk agama Nasrani dan telah membaca ilmu ahli kitab. Ia melakukan ibadahnya di masa Jahiliah, dan ia mempunyai kedudukan yang sangat terhormat di kalangan kabilah Khazraj.
Ketika Rasulullah ﷺ tiba di Madinah untuk berhijrah, lalu orang-orang muslim berkumpul bersamanya, dan kalimat Islam menjadi tinggi serta Allah memenangkannya dalam Perang Badar, maka si terkutuk Abu Amir ini mulai terbakar dan bersikap oposisi serta memusuhi beliau secara terang-terangan. Ia melarikan diri bergabung dengan orang-orang kafir Mekah dari kalangan kaum musyrik Quraisy dan membujuk mereka untuk memerangi Rasulullah ﷺ. Maka bergabunglah bersamanya orang-orang dari kalangan Arab Badui yang setuju dengan pendapatnya, lalu mereka datang pada tahun terjadinya Perang Uhud. Maka terjadilah suatu cobaan yang menimpa kaum muslim dalam perang itu. Namun hasil yang terpuji hanyalah bagi orang-orang yang bertakwa.
Tersebutlah bahwa si laknat Abu Amir ini telah membuat lubang-lubang di antara kedua barisan pasukan, dan secara kebetulan Rasulullah ﷺ terjatuh ke dalam salah satunya. Dalam perang itu Rasulullah ﷺ mengalami luka pada wajahnya, gigi geraham bagian bawah kanannya ada yang rontok, dan kepalanya luka.
Pada permulaan perang, Abu Amir maju menghadapi kaumnya yang tergabung ke dalam barisan orang-orang Ansar, lalu ia berkhotbah kepada mereka, membujuk mereka guna membantunya dan bergabung ke dalam barisannya. Setelah menyelesaikan pidatonya itu, orang-orang mengatakan, "Semoga Allah tidak memberikan ketenangan pada matamu, hai orang fasik, hai musuh Allah." Mereka melempari dan mencacinya. Akhirnya Abu Amir kembali seraya berkata, "Demi Allah, sesungguhnya kaumku telah tertimpa keburukan sepeninggalku."
Pada mulanya Rasulullah ﷺ menyerunya untuk menyembah Allah yaitu sebelum ia melarikan diri dan membacakan Al-Qur'an kepadanya, tetapi ia tetap tidak mau masuk Islam, dan membangkang. Maka Rasulullah ﷺ berdoa untuk kecelakaannya, semoga dia mati dalam keadaan jauh dari tempat tinggalnya dan terusir. Maka doa itu menimpanya.
Kejadian itu terjadi ketika kaum muslim selesai dari Perang Uhud dimana Abu Amir melihat keadaan Rasulullah ﷺ makin bertambah baik dan cemerlang. Maka Abu Amir pergi menemui Heraklius Raja Romawi untuk meminta pertolongan kepadanya dalam menghadapi Nabi ﷺ. Kaisar Romawi memberikan janji dan harapan kepadanya, lalu ia bermukim di kerajaan Romawi.
Sesudah itu Abu Amir menulis surat kepada segolongan kaumnya dari kalangan Ansar yang tergabung dalam golongan orang-orang munafik lagi masih ragu terhadap Islam. Dia menjanjikan dan memberikan harapan kepada mereka, bahwa kelak dia akan datang kepada mereka dengan membawa pasukan Romawi untuk memerangi Rasulullah ﷺ dan mengalahkannya serta menghentikan kegiatannya.
Lalu Abu Amir menganjurkan orang-orangnya untuk membuat suatu benteng yang kelak akan dipakai untuk berlindung bagi orang-orang yang datang kepada mereka dari sisinya guna menunaikan ajaran kitabnya. Tempat itu sekaligus akan menjadi tempat pengintaian baginya kelak di masa depan bila ia datang kepada mereka.
Maka orang-orang Abu Amir mulai membangun sebuah masjid yang letaknya berdekatan dengan Masjid Quba. Mereka membangun dan mengukuhkannya, dan mereka baru selesai dari pembangunan masjidnya di saat Rasulullah ﷺ hendak pergi ke medan Tabuk. Lalu para pembangunnya datang menghadap Rasulullah ﷺ dan memohon kepadanya agar sudi melakukan salat di masjid mereka. Tujuan mereka untuk memperoleh bukti melalui salat Nabi ﷺ di dalamnya, sehingga kedudukan masjid itu diakui dan dikuatkan. Mereka mengemukakan alasannya, bahwa sesungguhnya mereka membangun masjid ini hanyalah untuk orang-orang yang lemah dari kalangan mereka dan orang-orang yang berhalangan di malam yang sangat dingin.
Tetapi Allah ﷻ memelihara Nabi ﷺ dari melakukan shalat di dalam masjid itu. Nabi ﷺ menjawab permintaan mereka melalui sabdanya: “Sesungguhnya kami sedang dalam perjalanan. Tetapi jika kami kembali, insya Allah.” Ketika Nabi ﷺ kembali ke Madinah dari medan Tabuk, dan jarak antara perjalanan untuk sampai ke Madinah hanya tinggal sehari atau setengah hari lagi, Malaikat Jibril a.s. turun dengan membawa berita tentang Masjid Dirar dan niat para pembangunnya yang hendak menyebarkan kekufuran dan memecah belah persatuan umat Islam. Mereka hendak menyaingi masjid kaum muslim yaitu Masjid Quba yang sejak semula dibangun dengan landasan takwa. Maka Rasulullah ﷺ mengutus orang-orang ke Masjid Dirar itu untuk merobohkannya sebelum beliau tiba di Madinah.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, bahwa mereka adalah sejumlah orang dari kalangan orang-orang Ansar yang membangun sebuah masjid baru. Sebelum itu Abu Amir berkata kepada mereka, "Bangunlah sebuah masjid, dan buatlah persiapan semampu kalian untuk menghimpun senjata dan kekuatan, sesungguhnya aku akan berangkat menuju ke Kaisar Romawi untuk meminta bantuan. Aku akan mendatangkan bala tentara dari kerajaan Romawi untuk mengusir Muhammad dan sahabat-sahabatnya dari Madinah."
Setelah mereka selesai membangunnya, maka menghadaplah mereka kepada Nabi ﷺ dan berkata, "Sesungguhnya kami baru selesai membangun sebuah masjid. Maka kami suka bila engkau melakukan shalat di dalamnya dan mendoakan keberkatan buat kami."
Ayat 108
Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Janganlah kamu salat di dalam masjid itu untuk selama-lamanya,” (At-Taubah: 108) sampai dengan firman-Nya: “kepada orang-orang yang zalim.” (At-Taubah: 109)
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Urwah ibnuz Zubair, dan Qatadah serta ulama lainnya yang tidak hanya seorang.
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar telah meriwayatkan dari Az-Zuhri, Yazid ibnu Rauman, Abdullah ibnu Abu Bakar, Asim ibnu Amr ibnu Qatadah, dan lain-lainnya. Mereka mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ kembali dari medan Tabuk, lalu turun istirahat di Zu Awan, nama sebuah kampung yang jaraknya setengah hari dari Madinah. Sebelum itu di tempat yang sama para pembangun Masjid Dirar pernah datang kepada Rasulullah ﷺ yang saat itu sedang bersiap-siap menuju ke medan Tabuk. Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah membangun sebuah masjid untuk orang-orang yang uzur dan orang-orang yang miskin di saat malam yang hujan dan malam yang dingin. Dan sesungguhnya kami sangat menginginkan jika engkau datang kepada kami dan melakukan salat di dalam masjid kami serta mendoakan keberkatan bagi kami." Maka Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Sesungguhnya aku sedang dalam perjalanan dan dalam keadaan sibuk.” Atau dengan perkataan lainnya yang mirip. Selanjutnya Rasulullah ﷺ bersabda pula: “Apabila nanti kami kembali, insya Allah, kami akan datang kepada kalian dan kami akan melakukan salat padanya untuk memenuhi undangan kalian.”
Ketika Rasulullah ﷺ sampai di Zu Awan, datanglah berita (wahyu) yang menceritakan perihal masjid tersebut. Lalu Rasulullah ﷺ memanggil Malik ibnud Dukhsyum (saudara lelaki Bani Salim ibnu Auf) dan Ma'an ibnu Addi atau saudara lelakinya (yaitu Amir ibnu Addi yang juga saudara lelaki Al-Ajian). Lalu beliau ﷺ bersabda: “Berangkatlah kamu berdua ke masjid ini yang pemiliknya zalim, dan robohkanlah serta bakarlah masjidnya.” Maka keduanya berangkat dengan langkah-langkah cepat, hingga datang ke tempat orang-orang Bani Salim ibnu Auf yang merupakan golongan Malik ibnud Dukhsyum.
Lalu Malik berkata kepada Ma'an, "Tunggulah aku, aku akan membuatkan api untukmu dari keluargaku." Lalu Malik masuk menemui keluarganya dan mengambil daun kurma, lalu menyalakan api dengannya. Setelah itu keduanya berangkat dengan cepat hingga datang ke masjid itu dan memasukinya. Di dalam masjid terdapat orang-orangnya, maka keduanya membakar masjid itu dan merobohkannya, sedangkan orang-orang yang tadi ada di dalamnya bubar keluar berpencar-pencar.
Dan diturunkanlah ayat Al-Qur'an yang menceritakan perihal mereka, yaitu firman-Nya: “Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudaratan (kepada orang mukmin) dan untuk kekafiran.” (At-Taubah: 107)
Dan tersebutlah bahwa orang-orang yang membangunnya terdiri atas dua belas orang lelaki, yaitu Khaddam ibnu Khalid dari kalangan Bani Ubaid ibnu Zaid, salah seorang dari Bani Amr ibnu Auf yang dari rumahnya dimulai pembangunan Masjid Syiqaq ini, lalu Sa'labah ibnu Hatib dari Bani Ubaid, Mawali ibnu Umayyah ibnu Yazid, Mut'ib ibnu Qusyair dari kalangan Bani Dabi'ah ibnu Zaid, Abu Habibah ibnu Al-Az'ar dari kalangan Bani Dabi'ah ibnu Zaid, Ibad ibnu Hanif (saudara Sahl ibnu Hanif) dari kalangan Bani Amr ibnu Auf, Harisah ibnu Amir dan kedua anaknya (yaitu Majma' ibnu Harisah dan Zaid ibnu Harisah), juga Nabtal Al-Haris mereka dari kalangan Bani Dabi'ah, Mukharrij dari kalangan Bani Dabi'ah, Yajad ibnu Imran dari kalangan Bani Dabi'ah, dan Wadi'ah ibnu Sabit serta Mawali ibnu Umayyah dari golongan Abu Lubabah ibnu Abdul Munzir.
Firman Allah ﷻ: “Mereka sesungguhnya bersumpah.” (At-Taubah: 107)
Yakni mereka yang membangun masjid itu.
“Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” (At-Taubah: 107) Maksudnya, kami tidak menghendaki membangun masjid ini melainkan hanya untuk kebaikan belaka dan belas kasihan kepada orang-orang. Maka Allah ﷻ menjawab perkataan mereka melalui firman-Nya:
“Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).” (At-Taubah: 107)
Mereka dusta dalam tujuannya dan mengelabui niat yang sebenarnya. Karena sesungguhnya mereka membangunnya hanyalah semata-mata untuk menyaingi Masjid Quba, hendak menimbulkan kemudaratan, serta karena terdorong oleh kekafiran mereka, dan untuk memecah belah persatuan di antara kaum mukmin; juga menunggu kedatangan orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu, yaitu Abu Amir, seorang fasik yang dijuluki 'si Rahib la'natullah'.
Firman Allah ﷻ: “Janganlah kamu melakukan shalat dalam masjid itu selama-lamanya.” (At-Taubah: 108)
Larangan ini ditujukan kepada Nabi ﷺ, sedangkan umatnya mengikut kepada beliau dalam hal tersebut, yakni dilarang melakukan shalat di dalam Masjid Dirar itu untuk selama-lamanya. Kemudian Allah menganjurkan Nabi ﷺ untuk melakukan salat di Masjid Quba, karena Masjid Quba sejak permulaan pembangunannya dilandasi dengan takwa, yaitu taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya; juga untuk mempersatukan kalimat umat mukmin serta menjadi benteng dan tempat berlindung bagi Islam dan para pemeluknya. Karena itulah Allah ﷻ berfirman:
“Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (Masjid Quba) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu salat di dalamnya.” (At-Taubah: 108)
Konteks ayat ini ditujukan kepada Masjid Quba. Karena itulah dalam hadis sahih dari Rasulullah ﷺ disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda; "Melakukan salat di dalam masjid Quba sama pahalanya dengan melakukan umrah.”
Di dalam hadis sahih lainnya disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ sering mengunjungi Masjid Quba, baik dengan berjalan kaki ataupun berkendaraan. Dalam hadis lainnya lagi disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ membangun dan meletakkan batu pertamanya begitu beliau tiba di tempatnya, dan tempat beristirahatnya adalah di rumah Bani Amr ibnu Auf. Malaikat Jibril-lah yang membantunya untuk meluruskan arah kiblat masjid tersebut.
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Ala, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Hisyam, dari Yunus ibnul Hari's, dari Ibrahim ibnu Abu Maimunah, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi ﷺ, bahwa firman-Nya berikut ini: “Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri.” (At-Taubah: 108) berkenaan dengan ahli Quba.
Mereka selalu bersuci dengan air, maka diturunkan-Nya-lah ayat ini mengenai mereka, yakni sebagai pujian kepada mereka. Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Yunus ibnul Haris, tetapi ia daif. Imam Turmuzi mengatakan bahwa bila ditinjau dari jalur ini, hadis ini berpredikat garib.
Imam Tabrani mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ali Al-Umari, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Humaid Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnul Fadl, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Al-A'masy, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman Allah ﷻ: “Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri.” (At-Taubah: 108) Maka Rasulullah ﷺ mengirimkan utusan kepada Uwaim ibnu Sa'idah untuk menanyakan, "Cara bersuci apakah yang membuat Allah memuji kalian?" Maka Uwaim menjawab, "Wahai Rasulullah, tidak sekali-kali seseorang dari kami baik lelaki maupun wanita selesai dari buang airnya, melainkan ia membasuh kemaluannya atau pantatnya." Maka Nabi ﷺ bersabda, "Itulah yang dimaksudkan." .
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan Ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abu Uwais telah menceritakan kepada kami Syurahbil, dari Uwaim ibnu Sa'idah Al-Ansari; ia menceritakan hadis berikut, bahwa Nabi ﷺ datang kepada mereka di Masjid Quba, lalu bersabda: "Sesungguhnya Allah ﷻ telah memuji kalian dengan pujian yang baik dalam bersuci dalam konteks kisah masjid kalian ini. Maka cara bersuci bagaimanakah yang biasa kalian lakukan?” Mereka menjawab, "Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui sesuatu pun melainkan kami mempunyai tetangga dari kalangan orang-orang Yahudi. Mereka biasa membasuh pantat mereka sesudah buang air, maka kami melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan mereka."
Ibnu Khuzaimah telah meriwayatkannya pula di dalam kitab Sahih-nya.
Hasyim telah meriwayatkan dari Abdul Humaid Al-Madani, dari Ibrahim ibnul Ma'la Al-Ansari, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada Uwaim ibnu Sa'idah, "Apakah yang membuat Allah memuji kalian melalui firman-Nya: 'Di dalamnya ada orang-orang yang suka membersihkan diri.' (At-Taubah: 108), hingga akhir ayat. Mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami biasa membasuh dubur kami dengan air (sehabis buang air besar)."
Sa'd dari Ibrahim ibnu Muhammad, dari Syurahbil ibnu Sa'd yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Khuzaimah ibnu Sabit berkata bahwa firman-Nya berikut ini diturunkan: “Di dalamnya ada orang-orang yang suka membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (At-Taubah: 108) Mereka biasa membasuh dubur mereka sehabis buang air besar.
Hadis lain adalah, Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, telah menceritakan kepada kami Malik (yakni Ibnu Migwal), bahwa ia pernah mendengar Sayyar (yakni Abul Hakam) meriwayatkan dari Syahr ibnu Hausyab, dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Salam yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ tiba di Quba, lalu bersabda: “Sesungguhnya Allah ﷻ telah memuji kalian dalam hal bersuci dengan pujian yang baik, maka ceritakanlah kepadaku.” Yang dimaksud Nabi ﷺ adalah firman Allah ﷻ: “Di dalamnya ada orang-orang yang suka membersihkan diri.” (At-Taubah: 108) Maka mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menjumpainya telah tercatat di dalam kitab Taurat sebagai suatu kewajiban, bahwa bersuci sehabis buang air adalah memakai air."
Segolongan ulama Salaf menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah Masjid Quba; demikianlah menurut riawayat Ali bin Abu Talhah dari Ibnu Abbas.
Diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma'rnar, dari Az-Zuhri, dari Urwah ibnuz Zubair. Atiyyah Al-Aufi, Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, Asy-Sya'bi, dan Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan hal yang sama. Al-Bagawi menukil pendapat ini dari Sa'id ibnu Jubair dan Qatadah. Tetapi di dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa masjid Rasul yang ada di dalam kota Madinah adalah masjid yang dibangun dengan landasan takwa. Pendapat ini benar pula, dan tidak ada pertentangan antara ayat dan makna hadis ini.
Karena apabila Masjid Quba telah didirikan dengan landasan takwa sejak permulaannya, maka masjid Rasul pun demikian pula, bahkan lebih utama. Karena itulah Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan di dalam kitab Musnad-nya : Telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Amir Al-Aslami, dari Imran ibnu Abu Anas, dari Sahl ibnu Sa'd, dari Ubay ibnu Ka'b, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Masjid yang didirikan atas dasar takwa ialah masjidku ini.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad: Telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Rabi'ah ibnu Usman At-Taimi, dari Imran ibnu Abu Anas, dari Sahl ibnu Sa'd As-Sa'idi yang mengatakan, "Pada masa Rasulullah ﷺ pernah ada dua orang lelaki bersitegang mengenai masalah masjid yang didirikan atas dasar takwa. Salah seorangnya mengatakan masjid Rasul, sedangkan yang lain mengatakan Masjid Quba. Lalu keduanya menghadap Nabi ﷺ dan menanyakan hal tersebut. Maka beliau ﷺ bersabda: 'Dia adalah masjidku ini.' Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.
Hadis lainnya, Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Lais, dari Imran ibnu Abu Anas, dari Sa'id ibnu Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa pernah ada dua orang lelaki bersitegang mengenai masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak permulaannya. Salah seorang darinya mengatakan Masjid Quba, sedangkan menurut yang lainnya masjid Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Dia adalah masjidku ini.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.
Jalur lain, Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Lais, telah menceritakan kepadaku Imran ibnu Abu Anas, dari Ibnu Abu Sa'id, dari ayahnya yang menceritakan bahwa pernah ada dua orang lelaki bersitegang mengenai masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak permulaannya. Maka yang seorang mengatakan Masjid Quba, sedangkan yang lainnya mengatakan masjid Rasul ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Dia adalah masjidku.”
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Nasai, dari Qutaibah, dari Al-Lais. Hadis ini dinilai sahih oleh Imam Turmuzi. Imam Muslim telah meriwayatkannya pula, seperti yang akan disebutkan kemudian.
Jalur lain, Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Unais ibnu Abu Yahya, telah menceritakan kepadaku ayahku yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Sa'id Al-Khudri berkata, "Pernah ada dua orang lelaki salah seorang dari kalangan Bani Khudrah, dan yang lainnya dari kalangan Bani Amr ibnu Auf berselisih mengenai masjid an didirikan atas dasar takwa. Orang yang dari kalangan Bani Khudrah mengatakan masjid Rasulullah ﷺ ; sedangkan yang dari Bani Amr mengatakan Masjid Quba. Lalu keduanya menghadap kepada Rasulullah ﷺ dan menanyakan tentang hal tersebut. Maka Rasulullah ﷺ menjawab: 'Dia adalah masjid ini.' Ditujukan kepada masjid Rasulullah ﷺ di Madinah." Dalam hal ini perawi mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Masjid Quba.
Jalur lain, Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Unais. Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Humaid Al-Kharrat Al-Madani, bahwa ia pernah bertanya kepada Abu Salamah ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Sa'id. Untuk itu ia berkata, "Apakah yang pernah engkau dengar dari ayahmu sehubungan dengan masjid yang didirikan atas dasar takwa?" Maka Abu Salamah menjawab seraya mengisahkan apa yang telah diceritakan oleh ayahnya, bahwa sesungguhnya ia datang menghadap Rasulullah ﷺ. Ia masuk menemui Rasulullah ﷺ di dalam rumah salah seorang istrinya. Ia bertanya, "Wahai Rasulullah, di manakah masjid yang didirikan atas dasar takwa?" Rasulullah ﷺ mengambil segenggam batu kerikil, lalu menjatuhkannya ke tanah seraya bersabda: “Ia adalah masjid kalian ini.” Humaid Al-Kharrat Al-Madani mengatakan, "Aku pernah mendengar ayahmu menceritakan hal itu."
Imam Muslim meriwayatkannya secara munfarid dengan lafaz yang mirip melalui Muhammad ibnu Hatim, dari Yahya ibnu Sa'id dengan sanad yang sama. Ia telah meriwayatkannya pula dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah dan lain-lainnya, dari Hatim ibnu Ismail, dari Humaid Al-Kharrat dengan sanad yang sama. Sejumlah orang dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf mengatakan bahwa masjid yang dimaksud adalah Masjid Nabawi. Hal ini diriwayatkan dari Umar ibnul Khattab, putranya (yaitu Abdullah Ibnu Umar), Zaid ibnu Sabit, dan Sa'id ibnul Musayyab. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu mendirikan salat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (At-Taubah: 108)
Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa sunat melakukan salat di masjid-masjid kuno yang sejak permulaannya dibangun untuk beribadah kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Disunatkan pula melakukan salat berjamaah dengan jamaah orang-orang saleh dan ahli ibadah yang mengamalkan ilmunya, selalu memelihara dalam menyempurnakan wudu, dan membersihkan dirinya dari segala macam kotoran.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, dari Syu'bah, dari Abdul Malik ibnu Umair, bahwa ia pernah mendengar Syabib (yakni Abu Ruh) menceritakan hadis berikut dari salah seorang sahabat Rasulullah ﷺ, bahwa Rasulullah ﷺ pernah melakukan salat Subuh bersama mereka dan membaca surat Ar-Rum, tetapi beliau mengalami hambatan dalam bacaannya. Setelah selesai, beliau ﷺ bersabda: “Sesungguhnya kami baru saja mengalami hambatan dalam membaca Al-Qur'an. Sesungguhnya banyak kaum dari kalangan kalian yang salat bersama kami tanpa melakukan wudu dengan baik. Maka barang siapa yang ikut salat bersama kami, hendaklah ia melakukan wudunya dengan baik.”
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini melalui dua jalur lain dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Syabib Abu Rauh, dari Zul Kala', bahwa ia salat bersama Nabi ﷺ, lalu ia menceritakan hal yang sama.
Hal ini menunjukkan bahwa menyempurnakan bersuci dapat memudahkan orang yang bersangkutan dalam menjalankan ibadah, membantunya untuk menyelesaikan ibadahnya dengan sempurna, dan membantunya untuk menyelesaikan kewajiban-kewajibannya dalam ibadah.
Abul Aliyah telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (At-Taubah: 108) Sesungguhnya bersuci dengan memakai air adalah baik, tetapi mereka adalah orang-orang yang membersihkan dirinya dari dosa-dosa. Al-A'masy mengatakan bahwa tobat adalah dari dosa-dosa, dan bersuci adalah dari kemusyrikan.
Telah disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur di dalam kitab-kitab Sunnah dan kitab-kitab lainnya, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bertanya kepada penduduk Quba: "Sesungguhnya Allah telah memuji kalian dalam hal bersuci, maka apakah yang telah kalian perbuat?” Mereka menjawab, "Kami bersuci dengan memakai air."
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Syabib, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad ibnu Abdul Aziz yang mengatakan bahwa ia telah menemukan hadis ini dalam kitab ayahnya, dari Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat berikut diturunkan berkenaan dengan ahli Quba, yaitu firman-Nya: “Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (At-Taubah: 108) Maka Rasulullah ﷺ bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab, "Sesungguhnya kami mengiringi batu dengan siraman air (dalam bersuci sehabis buang air)." (Hadis riwayat Al-Bazzar).
Kemudian ia mengatakan bahwa hadis ini diketengahkan oleh Muhammad ibnu Abdul Aziz secara munfarid dari Az-Zuhri. Tiada yang meriwayatkan hadis ini dari Muhammad selain anaknya. Sengaja kami menyebutkan hadis ini dengan lafaz yang telah disebutkan di atas karena memang hal inilah yang termasyhur di kalangan ulama fiqih. Dan hal ini tidak banyak diketahui oleh ulama hadis mutaakhkhirin atau oleh mereka semuanya.
Karena masjid tersebut dibangun dengan niat jahat, maka Allah melarang Nabi Muhammad, janganlah engkau melaksanakan salat dan kegiatan apa pun di dalam masjid yang dibangun oleh orang-orang munafik itu untuk selama-lamanya. Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa, yakni ketulusan semata-mata karena Allah, sejak hari pertama dimulai pembangunannya, adalah lebih pantas, yakni wajar engkau melaksanakan salat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin, yakni senang membersihkan diri, jasmani dengan cara berwudu maupun rohani dengan cara bertobat dari dosa dan maksiat. Allah menyukai, melimpahkan karunia-Nya kepada orang-orang yang bersih di manapun mereka berada. Setelah dijelaskan perbandingan masjid yang di bangun Rasulullah dengan masjid yang dibangun orang-orang munafik, lalu dijelaskan akhir riwayat kedua masjid tersebut dan orang-orang yang membangunnya. Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan-Nya itu yang lebih baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya atas dasar kedurhakaan kepada Allah, sehingga laksana mendirikan bangunan di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunan itu roboh bersama-sama dengan dia, pembangunnya masuk ke dalam neraka Jahanam' Allah tidak memberi petunjuk, tidak memberi bimbingan kepada orang-orang yang zalim, karena mereka tidak mau menerima petunjuk.
Karena adanya maksud-maksud jahat kaum munafik dengan mendirikan bangunan tersebut, maka Allah melarang Rasul-Nya selama-lamanya untuk salat di tempat itu, karena apabila Rasulullah salat di sana bersama mereka berarti beliau merestui mereka mendirikan bangunan itu.
Selanjutnya Allah menegaskan kepada Rasul-Nya, bahwa mesjid yang dibangun sejak semula atas dasar ketakwaan kepada Allah, adalah lebih baik untuk dijadikan tempat ibadah bersama kaumnya untuk mempersatukan kaum Muslimin semuanya dalam segala hal yang diridai-Nya, yaitu saling mengenal dan bersama-sama berbuat kebajikan dan ketakwaan.
Yang dimaksud dengan mesjid yang didirikan pertama kali atas dasar ketakwaan, yang disebutkan dalam ayat ini, adalah "mesjid Quba" atau "mesjid Nabi" yang ada di kota Medinah, sebab kedua mesjid itu yang dibangun oleh Nabi dan kaum Muslimin atas dasar ketakwaan.
Selanjutnya dalam ayat ini Allah menerangkan alasan, mengapa mesjid tersebut lebih utama dari mesjid lainnya yang sengaja didirikan bukan atas dasar ketakwaan, karena di mesjid tersebut terdapat orang-orang yang suka membersihkan dirinya dari segala dosa. Artinya mereka meramaikan mesjid dengan mendirikan salat serta berzikir dan bertasbih kepada Allah. Dengan ibadah-ibadah tersebut, mereka ingin mensucikan diri dari segala dosa yang melekat pada diri mereka, sebagaimana orang-orang yang mangkir dari peperangan kemudian mereka menyadari kesalahan mereka, lalu berusaha mensucikan diri dari dosa tersebut dengan cara bertobat, bersedekah, dan memperbanyak amal saleh lainnya. Melakukan ibadah salat berarti mensucikan diri lahir dan batin karena untuk melakukan salat disyaratkan sucinya badan, pakaian dan tempat, serta hadirnya hati dan pikiran yang dihadapkan kepada Allah semata.
Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah menyukai orang-orang yang sangat menjaga kebersihan jiwa dan jasmaninya, karena mereka menganggap bahwa kesempurnaan manusia terletak pada kesucian lahir batinnya. Oleh sebab itu, mereka sangat membenci kekotoran lahiriyah, seperti kotoran pada badan, pakaian dan tempat, maupun kotoran batin yang timbul karena perbuatan maksiat terus menerus, serta budi pekerti yang buruk, misalnya riya dalam beramal, ataupun kikir dalam menyumbangkan harta untuk memperoleh keridaan Allah. Kecintaan Allah pada orang-orang yang suka mensucikan diri, adalah salah satu dari sifat-sifat kesempurnaan-Nya, Dia suka kepada kebaikan, kesempurnaan, kesucian, dan kebenaran. Sebaliknya, Dia benci kepada sifat-sifat yang berlawanan dengan sifat-sifat tersebut.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MASJID DHIRAR
Diturunkan ayat yang empat ini untuk membuka rahasia perbuatan sekelompok kaum munafik Lagi yang berusaha hendak memecah persatuan kaum Muslimin. Yaitu mereka mendirikan sebuah masjid baru dengan maksud memecah. Beberapa ahli tafsir menyebutkan nama-nama dari 12 orang munafik dari kabilah yang menjadi penganjurnya ialah seorang yang bernama Abu Amir dari kabilah Khazraj. Penafsir Ibnu Katsir menguraikan sejarah pendek orang ini. Pada zaman jahiliyyah dia telah masuk Nasrani dan banyak mengerti seluk-beluk agama itu sehingga dia disebut orang Abu Amir ar-Rahib (Pendeta). Besar harapannya bahwa kaumnya akan sudi menuruti langkahnya, karena dia seorang yang disegani agar agama Nasrani dianut orang di Madinah. Dan hatinya bertambah kecewa setelah kaum Muslimin beroleh kemenangan yang gilang-gemilang pada Peperangan Badar. Melihat keadaan yang demikian, Abu Amir bertambah sakit hati sehingga dia keluar dengan sembunyi-sembunyi dari Madinah dan terus mencampurkan dirinya kepada kaum musyrikin Mekah dan menghasut mereka agar menuntut balas atas kekalahan di Badar itu. Menurut riwayat Ibnu Katsir juga, ketika kaum musyrikin telah datang hendak menyerbu Madinah pada Peperangan Uhud, dia pun ikut dalam pasukan Quraisy itu dan dialah yang menggali lubang-lubang perangkap sehingga Nabi ﷺ terjerembab ke dalam salah satu lubang itu, nyaris menemui kematian diserbu orang Quraisy sehingga sebagaimana kita ketahui beliau luka dalam peperangan itu, sampai patah salah satu gigi beliau.
Dalam berkecamuknya Perang Uhud itu, Abu Amir yang berusaha keras menghasut kaumnya supaya belot dari Nabi ﷺ. Tetapi usaha itu menemui kegagalan, sebab semua Anshar yang dia hubungi mengutukinya, sampai ada yang berkata kepadanya, “Mudah-mudahan matamu akan melihat perkara yang akan menambah sakit hatimu, hai fasik, hai musuh Allah!" Semua memaki dan menghinanya sebagai pengkhianat sehingga dia meng-undurkan walaupun— sebagai kita maklumi— dalam Peperangan Uhud itu kaum Muslimin boleh dikatakan kalah dan 70 orang yang meninggal. Ketika ternyata gagal usahanya, berkatalah Abu Amir, “Demi Allah, kaumku telah sangat berubah sejak aku tinggalkan."
Sebelum dia keluar dari Madinah dengan diam-diam atau lari malam itu, Rasulullah ﷺ sudah pernah juga mengajaknya agar memeluk Islam. Beliau berikan kepadanya beberapa keterangan tentang Islam, beliau bacakan Al-Qur'an, tapi dia tidak mau. Setelah mengetahui bahwa dia telah keluar dari Madinah, keluarlah ucapan dari mulut Rasulullah ﷺ bahwa dia akan mati jauh dari kampung halamannya sebagai orang yang terusir.
Mulanya dia pergi ke kaum Quraisy, turut mematangkan pertempuran Uhud. Meskipun kaum Muslimin ditimpa malapetaka di Uhud, bukanlah Islam menjadi runtuh, melainkan kekalahan Uhud menjadi perangsang Muslimin agar memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah terjadi sehingga perjuangan selanjutnya dapat memperbaiki kekalahan yang sekali itu. Karena usahanya di Mekah telah gagal dan semarak Islam bertambah naik juga, dengan diam-diam dia berangkat ke Damaskus, datang menghadap Heraclius Kaisar Romawi itu, meminta bantuan untuk menghancurkan kekuatan Islam yang telah tumbuh itu. Lama dia berdiam di Syam dan selalu mendekati Heraclius agar usulnya diterima baginda, supaya tentara Rum menyerang Madinah. Heraclius memberikan harapan kepadanya bahwa satu waktu Madinah pasti diserang. Dalam pada itu selalu pula Abu Amir berkirim surat kepada kaumnya dari kalangan Anshar yang memang sudah ada dasar munafik dalam jiwa mereka. Dia menjanjikan, satu waktu tentara Rum yang besar pasti datang membebaskan Madinah dari kekuasaan Muhammad ﷺ. Dan dianjurkannya pula agar mereka segera mendirikan satu tempat berkumpul, yang di sana mereka dapat menerima kurirnya kalau dia mengirimkan berita-berita. Dan tempat itu pun akan menjadi tempat mengintip dan memerhatikan gerak-gerik Muhammad ﷺ kalau kelak dia datang kembali ke Madinah.
Kata Ibnu Katsir lagi, itulah sebabnya mereka mendirikan sebuah masjid tidak berapa jauh jaraknya dari Masjid Quba; masjid yang mula-mula didirikan Rasul ﷺ. Dan, setelah selesai mereka mendirikan masjid perpecahan itu sebelum Rasulullah ﷺ pergi ke Peperangan Tabuk. Dan ketika Rasulullah ﷺ akan berangkat ke Tabuk, mereka kirim utusan kepada beliau, mohon sekiranya beliau shalatke sana agak sekali, dengan maksud akan menjadi bukti bahwa beliau menyukai pendirian masjid itu. Dan mereka kemukakan pula alasan, maksud mendirikan masjid itu ialah untuk orang-orang lemah dan orang-orang sakit atau yang tidak dapat keluar malam-malam di musim dingin. Permohonan mereka itu dijawab Rasulullah ﷺ bahwa sekarang karena beliau hendak segera berangkat ke Tabuk, belum bisa permohonan mereka dikabulkan. In syaa Allah, bila kembali dari Tabuk kelak, akan beliau pertimbangkan permintaan itu. Kemudian setelah beliau kembali dari Tabuk, sehari dua, datanglah Jibril membawa wahyu bahwasanya masjid yang mereka dirikan itu ialah dhirar, artinya dengan maksud membahayakan bagi kaum Muslimin. Pendirinya mendirikan masjid itu ialah dengan maksud jahat, bukan atas dasar iman, melainkan atas dasar kufur, dan hendak memecah belah (tafriq) di antara Muslimin dan untuk tempat mengintip-intip (irshad) gerak-gerik Nabi ﷺ Maksud tafriq memecah belah itu ialah di antara Muslimin yang selama ini bersatu di Masjid Quba, sekarang mereka dirikan jamaah baru. Padahal Masjid Quba itulah yang sejak hari bermulanya didirikan atas dasar takwa. Kata Ibnu Katsir selanjutnya, setelah ayat-ayat ini turun dibawa Jibril, mengertilah Rasulullah ﷺ duduk perkaranya, lalu beliau perintahkan segera beberapa orang pergi ke tempat itu untuk meruntuh masjid itu dan menyamaratakannya dengan bumi.
Demikianlah kita salinkan secara bebas keterangan Ibnu Katsir tentang riwayat masjid Dhirar itu. Imam al-Baghawi pun menuliskan pula tentang riwayat yang sejalan dengan ini dalam tafsir beliau, terutama menerangkan siapa pribadi Abu Amir masih tetap berkumpul dan menghasut kalangan musyrikin bukan saja sampai sehabis Peperangan Uhud, sebagai terbayang pada riwayat Ibnu Katsir di atas, bahkan sampai kepada masa kekalahan paling akhir dari kaum musyrikin, yaitu hancurnya kekuatan Hawazin sesudah Peperangan Hu-nian. Sehabis Peperangan Hunain itu kekuatan musyrikin sudah patah sama sekali, barulah Abu Amir berangkat ke Syam menghubungi Heraclius dan menganjurkan baginda menyerang Madinah.
Menilik kedua riwayat ini, bisalah kita mengambil kesimpulan bahwa gerakan 30.000 tentara Islam di bawah Pimpinan Rasulullah ﷺ sendiri menuju Tabuk hendak meng-hadang tentara Rum, dan berita-berita yang sampai ke Madinah dari orang-orang Nabathi saudagar minyak bahwa Rum telah bersiap-siap dengan tentara besar untuk menyerang Madinah, lalu didahului oleh Nabi ﷺ Kemudian itu orang mendirikan suatu tempat lalu dinamai “masjid". Semuanya itu adalah hu-bung-berhubung di antara satu sama lain, terutama dalam usaha Abu Amir, penduduk Madinah dari Khazraj yang telah lama masuk Nasrani itu. Teranglah bahwa dia adalah spion atau kolone kelima yang telah lama ada hu-bungan dengan kekuasaan bangsa Romawi di Syam. Maka Rasulullah ﷺ dengan tepat dan cepat mendahului, memimpin sendiri tentara Islam menuju ke Tabuk sehingga tentara Rum tidak sampai masuk ke Madinah adalah satu strategi perang yang termasuk hebat. Rupanya melihat kegagahperkasaan Rasulullah ﷺ memimpin sendiri tentaranya dalam siasat mengejutkan itu, menjadikan siasat Heraclius gagal, sebab sudah didahului sehingga tidak jadi mereka menyerbu Madinah, bahkan tidak mereka sambut kedatangan tentara Islam ke Tabuk berhadap-hadapan (secara frontal).
Setelah menilik penafsiran fbnu Katsir dan al-Baghawi di atas, bertambah pentinglah penglihatan kita tentang kedudukan keempat ayat ini di dalam surah al-Bara'ah, khusus membicarakan orang-orang munafik. Bahwa selain dari ada munafik yang hendak mem-bunuh beliau di tempat curang di perjalanan pulang, ada pula yang menjadi kaki tangan asing (subversif) di Madinah sendiri, dengan membuat kamuflase (pura-pura) mendirikan masjid, padahal masjid palsu itu hendak dijadikan markas apabila tentara Rum datang.
Sekarang kita uraikan tafsir ayat-ayat ini,
Ayat 107
“Dan (begitu pula) orang-orang yang telah mengadakan suatu masjid untuk suatu bencana dan kekufuran dan memecah belah di antana orang-orang beriman dan untuk mengintip-intip bagi orang-orang yang memenangi Allah dan Rasul-Nya sebelumnya."
Setelah kita ketahui tadi siapa Abu Arnir ar-Rahib dan kita pertalikan dengan 12 orang munafik yang menjadi kaki tangannya di Madinah itu, mengertilah kita sekarang ba-gaimana duduk soal. Masjid baru ini didirikan ialah dengan empat maksud jahat. Pertama, hendak membuat dhirar. Artinya bencana atau bahaya. Terutama ialah bahaya niat jahat dan pengkhianatan yang dipelopori oleh seorang kafir yang telah mengkhianati kaumnya. Abu Amir bukan saja munafik lagi, tetapi lebih dari itu, musuh besar kaki-tangan Kerajaan lain. Yang munafik ialah 12 orang penyambutnya di Madinah itu. Yang kedua, niscaya teranglah bahwa maksud mendirikan masjid ini bukan dari knan, tetapi dari kufur. Ketiga, dengan mendirikan masjid ini masyarakat yang tadinya satu menjadi pecah. Sebab tempat berjamaah di dalam kota Madinah hanya satu masjid pula, yaitu Masjid Quba, yang mula didirikan beliau ﷺ ketika beliau berhenti di Quba beberapa hari sebelum masuk ke dalam kota Madinah, di waktu beliau hijrah. Maka mendirikan masjid yang ketiga, di luar ketentuan Rasul ﷺ, sudah teranglah membawa perpecahan kaum Muslimin.
Sebab, sebagaimana kita ketahui, dalam membangkitkan tenaga pimpinan Islam, masjidlah yang menjadi pusatnya. Baik urusan ibadah maupun muamalah, bahkan walaupun urusan siasat negara dan peperangan sekalipun. Yang keempat, telah terang lagi puncak kejahatan tertinggi dari maksud itu, yaitu hendak dijadikan tempat pengintip (irshad) gerak-gerik Rasul ﷺ dan orang-orang beriman, yang menjadi anjuran dari Abu Amir tadi. Yaitu orang yang sejak sebelumnya memang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya, sejak Perang Uhud sampai Perang Hawazin dan berharap Madinah diserang Rum, supaya dengan paksa penduduk Madinah dapat dijadikan pemeluk Nasrani. Mungkin ada niat jika mereka menang, masjid itu langsung kelak dijadikan gereja dengan pengakuan Kerajaan Rum, dan Abu Amir diangkat menjadi uskupnya.
Kemudian datanglah sambungan ayat, “Namun mereka akan bersumpah, ‘Tidak ada maksud kami, kecuali kebaikan.'" Sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Katsir tadi, ketika mengundang Nabi ﷺ supaya sudi shalat di sana, mereka menyatakan bahwa maksud mendirikan masjid itu adalah baik, yaitu untuk orang-orang lemah atau orang sakit, atau orang yang tidak tahan dingin keluar malam di musim dingin. Pendeknya ada-ada saja alasan yang mereka kemukakan.
“Dan Allah menyaksikan, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang bendusta."
Segala alasan yang mereka kemukakan itu adalah bohong belaka. Allah lebih mengetahui, walau mereka bersumpah bagaimana jua pun, Allah sendirilah yang jadi saksi atas kebohongan mereka itu.
Ayat 108
“Jangan engkau shalat padanya selama-lamanya."
Inilah larangan tegas dari Allah kepada Rasul ﷺ, supaya sekali-kali jangan shalat ke sana, walaupun sebelum berangkat ke Tabuk sudah dijanjikan akan shalat ke sana, sebab Rasul ﷺ waktu itu belum diberi tahu oleh Allah, dan beliau pun tengah repot. Malahan setelah mendapat wahyu ini, demi mengetahui keempat maksud jahat yang terkandung di dalam mendirikan masjid itu, terus Rasulullah ﷺ memerintahkan beberapa orang sahabat pergi ke tempat itu dan segera meruntuhkan masjid berbahaya (dhirar) itu, sampai rata dengan bumi. Lalu Allah melanjutkan firman-Nya, “Karena sesungguhnya sebuah masjid yang dibangun atas takwa pada permulaan harinya, di sanalah yang lebih benar engkau shalat padanya."
Jangan engkau shalat ke masjid yang didirikan atas maksud jahat itu, tetapi yang lebih benar engkau tetap shalat ialah di masjid yang sejak semula berdirinya, di hari pertama, telah didirikan atas dasar takwa. Menurut setengah riwayat masjid pertama yang dimaksud ialah Masjid Madinah itu sendiri, yang didirikan sejak hari pertama Rasulullah ﷺ sampai ke Madinah, hari Senin beliau sampai, hari Selasa masjid itu telah didirikan, di atas setumpuk tanah yang dihadiahkan oleh dua anak yatim Sahi dan Suhail, sebagai tersebut dalam riwayat sejarah Hijrah. Dan kata riwayat yang lain ialah Masjid Quba karena masjid itulah yang mula didirikan, terlebih dahulu kira-kira sepekan dari Masjid Madinah. Karena sebelum masuk ke Madinah, beberapa hari lamanya beliau berhenti di Quba, menunggu Muhajirin yang belum sampai semua dan supaya masuk ke Madinah dengan upacara yang baik. Maka di dalam tafsir kita yang kecil ini tidakiah hendak kita tarjihkan yang mana yang dimaksud, karena kedua-duanya itu memang berhak disebut masjid pertama yang didirikan sehari beliau sampai.
Setelah dinyatakan Allah bahwa hanya di masjid itulah Rasulullah ﷺ boleh shalat, lalu Allah menerangkan sebab alasannya.
“Karena di sana ada orang-orang laki-laki yang suka sekali membersihkan diri. Sedang Allah sangat suka kepada orang-orang yang menginginkan kebersihan."
Di ayat ini kita bertemu dua pokok mengapa hanya di masjid itu Rasul ﷺ diizinkan Allah mengerjakan shalat. Mengapa dilarang keras pada masjid “berbahaya" tadi, mes-kipun tempat itu oleh yang mendirikan diberi nama masjid juga. Sebab pertama ialah keadaan masjid itu sendiri, yaitu sejak semula dia didirikan, dasar niat mendirikan ialah takwa kepada Allah. Tidak ada terselip niat jahat sedikit jua. Dapatlah kita pahami ba-gaimana niat Muhajirin dan Anshar, baik di waktu mendirikan Masjid Quba atau ketika mendirikan Masjid Madinah. Bukankah sejak hari pertama mendirikan masjid itu mereka telah membebaskan diri dari pengaruh penyembah berhala di Mekah, dan Anshar me-nyambut pendatang baru itu karena hendak bergabung, berbakti dan bertakwa kepada Allah, dan di dalam masjid itu disatupadu-kan seluruh tenaga buat menyembah Allah. Sedang masjid Dhirar, sangat jauh maksud orang mendirikannya dari itu, bahkan hendak menandingi dan menghancurkan ketakwaan di masjid yang asli. Kedua, ialah siapa-siapa yang shalat ke masjid itu sendiri, yaitu orang-orang yang selalu mencintai, menginginkan kebersihan. Yaitu kebersihan zahir dan batin. Kebersihan batin karena mereka akan shalat dengan terlebih dahulu mengambil wudhu, dan tidak boleh masuk ke dalam masjid kalau sedang junub. Dan ada lagi tuntunan-tuntunan lain bila masuk ke dalam masjid hendaklah berhias, artinya memakai pakaian yang bersih. Tidak boleh oleh Rasul ﷺ jika shalat hanya dengan sehelai izar saja. (Lihat kembali tentang berhias ke masjid di surah al-A'raaf ayat 30 juz 8). Maka didikan kesukaan kepada yang bersih yang* dimulai dan wudhu dan istinja'
(membersihkan kemaluan sehabis berak dan kencing), sampai kepada mandi junub itu me-nyebabkan pula masjid itu sendiri pun jadi bersih apalagi jika dipertalikan lagi dengan ayat 18 dari surah ini sendiri, yaitu bahwa orang yang bersedia meramaikan masjid Allah itu lain tidak hanyalah orang-orang beriman kepada Allah, beriman kepada hari Kemudian, mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, dan tidak ada tempat mereka takut melainkan Allah. Di samping kebersihan zahir itu ialah kebersihan batin, kesucian hati, ikhlas, jujur, khusyuk, dan tadharru' kepada Allah. Artinya, tempat suci bersih dan dishalati oleh orang yang suci bersih pula. Di tempat itulah Rasulullah ﷺ lebih benar menjadi Imam. Maka kalau Rasulullah ﷺ menjadi imam di Masjid Dhirar itu kedua syarat ini tidaklah akan bertemu. Mana masjidnya tidak didirikan di atas niat takwa, mana pula jamaahnya tidak dijamin kebersihan zahirnya, sebab mereka munafik, apatah lagi kebersihan batin mereka. Maka orang-orang atau jamaah yang mencintai kebersihan dan kesucian itulah yang sangat disukai Allah, dan orang-orang semacam itulah yang pantas menjadi makmum Nabi ﷺ
Menurut suatu riwayat yang dinukilkan oleh as-Sayuthi di dalam tafsirnya, ad-Darrul Mantsur, Rasulullah ﷺ pernah bertanya kepada penduduk Quba itu, apakah amalan kebersihan yang istimewa yang mereka kerjakan sehingga mereka mendapat pujian se-tinggi itu dari Allah, yaitu “Di dalamnya ada beberapa orang laki-laki yang suka sekali akan kebersihan." Maka menjawablah mereka bahwa mereka kerjakan yang biasa juga, akan shalat berwudhu dan sehabis janabah mereka mandi. Kemudian, Rasulullah ﷺ bertanya, “Tidakkah ada lagi tambahan lain?" Mereka menjawab, “Ada! Yaitu kami kalau membersihkan sesudah buang air besar dan buang air kecil, meskipun telah kami beristinja' dengan batu, selalu kami ikuti membasuhnya dengan air." Maka bersabdalah Rasulullah ﷺ, “Itu bagus sekali, teruskanlah begitu."
Terlepas dari kuat atau tidaknya sanad riwayat ini, tetapi dia dapat dijadikan petunjuk betapa arti kebersihan bagi orang yang hatinya telah terpaut ke masjid. Didikan kebersihan tubuh yang sokong-menyokong dengan kebersihan hati, walaupun telah beristinja' dengan batu, kalau bertemu air, mereka ulang sekali lagi membersihkannya. Dengan demikian, mereka merasa lebih bersih menghadap Allah. Maka datanglah lanjutan ayat,
Ayat 109
“Maka apakah orang yang mendirikan bangunannya atas (dasa'i) takwa dari Allah dan karena ridha-Nya yang lebih baik? Ataukah orang yang mendirikan bangunannya di atas tepi jurang yang dalam, lalu bangunan itu membawanya ke dalam neraka Jahannam.'"
Pangkal ayat ini berbentuk sebagai suatu pertanyaan, yang disuruh Allah Rasul-Nya menanyakan kepada umat, untuk membangkitkan mereka berpikir. Mana yang lebih baik mendirikan bangunan atas dasar takwa dan ridha Allah, dengan mendirikan bangunan di tepi jurang neraka karena niat mendirikannya adalah jahat? Pertanyaan ini mengajak ber-pikir bagi tiap orang yang beriman jika hendak mengadakan suatu bangunan baik masjid atau bangunan yang lain. Sebab bangunan itu sendiri tidaklah salah. Bahkan berdirinya satu masjid tidaklah salah. Yang akan ditinjau ialah niat ketika mendirikan. Oleh sebab itu, maka tiap-tiap bergerak hendak membangun, ditegaskan oleh ayat ini supaya bertanya terlebih dahulu ke dalam hati sanubari sendiri, apa niat yang terkandung di dalamnya? Apakah hendak memecah-belah? Apakah karena jiwa kufur? Maka apabila suatu bangunan didirikan benar-benar atas dasar takwa, iman dan ikhlas, bangunan itulah yang akan berkat dan selamat. Tetapi bangunan yang didirikan atas niat memecah-belah tenaga umat, atau untuk kemegahan diri sendiri, mencari nama, mempertontonkan kekayaan, membela golongan sehingga putus tali silaturahim yang mestinya selalu berhubung, samalah halnya dengan mendirikan bangunan itu, di tepi jurang, di bibir lurah yang curam. Bagaimanapun bagus bentuknya, dia pasti hancur dan runtuh, menghimpit pendiri-pendiri itu sendiri dan membawa mereka ke dalam neraka Jahannam.
Niscaya kita lihat sekarang ini bahwa masjid yang asal pertama, baik Masjid Quba atau Masjid Rasulullah ﷺ, yang oleh kaum munafik hendak ditandingi dengan masjid Dhirar itu, tidaklah dapat disamaratakan pengiasannya dengan masjid-masjid pada zaman kita. Imam Syafi'i sendiri dalam fatwanya yang qadim, tetap bertahan bahwa di dalam satu Madinah (kota besar) cukup satu masjid saja. Tetapi setelah beliau melihat kedudukan kota Baghdad sendiri yang di kala itu mempunyai dua bagian kota seberang-menyeberang sungai Dajlah, beliau pun meninjau fatwanya itu kembali. Sehingga walaupun kedengaran adzan di seberang sungai, karena sukar menempuhnya dengan perahu, bolehlah mendi-rikan masjid pula di seberang satu lagi. Dalam fatwa beliau yang jadid, setelah berpindah ke Mesir, condonglah beliau kepada pendapat bahwa di dalam kota-kota yang besar, bolehlah berbilang masjid, asal diatur oleh imam (kepala negara).
Setelah agama Islam menjadi anutan orang-orang di tanah air kita, maka terdapatlah susunan-susunan masyarakat yang disesuaikan dengan agama. Misalnya, satu Mukim di Aceh, satu Korea (Qaryah) di Mandahiling dan Nagari di Minangkabau. Di jawa pun sejak Kerajaan Demak, dalam ibukota Kabupaten berdiri sebuah Masjid Besar. Dalam pepatah Minangkabau yang disebut sebuah Nagari ialah “Yang berbalairung yang seruang, ber-masjid yang sebuah." Artinya, tidak boleh berbilang masjid atau jum'at, mesti hanya sebuah. Tetapi setelah anak buah bertambah kembang berdasar kepada paham Madzhab Syafi'i itu.
pada 1890 Tuan Syekh Muhammad Yunus (ayah dari almarhum Zainuddin Labay dan almarhumah Ibu Hajjah Rahmah El Yunusiyah) mengeluarkan fatwa bahwa di dalam negeri Pandai Sikat boleh berdiri lagi sebuah masjid, yaitu di kampung Pandai Sikat yang jauh dari Masjid Jami itu. Demikian juga mendirikan Masjid Kubu Sungai Batang, padahal dahulu hanya satu di Jorong Nagari saja, atas fatwa ayah dan guru saya, Dr. Syekh Abdul Karim Amrullah.
Di negeri Negara di Kalimantan Selatan terjadi pembahasan ulama-ulama berpuluh tahun lamanya karena satu golongan hendak mendirikan sebuah masjid lagi di seberang sungai yang membelintang di tengah negeri.
Karena persoalan menambah masjid dari satu menjadi dua di sebuah negeri itu amat hebat pada permulaan abad kedua puluh ini, maka Tuan Syekh Ahmad Khathib di Mekah mengeluarkan sebuah kitab dalam bahasa Arab, bernama Shul-hul Jama'atain (Perda-maian Dua Jamaah), yang ringkasan isinya ialah bahwa boleh menambah bilangan masjid dalam satu negeri, atau korea atau mukim itu, asal saja dengan musyawarah yang baik dan karena sebab-sebab yang masuk akal, bukan karena hendak menimbulkan perpecahan di antara dua golongan.
Di kota-kota besar di Jawa menjadi tradisi bahwa istana kedudukan bupati (kabupaten) berhadap-hadapan dengan sebuah Masjid Jami' Di tengah-tengahnya sebuah tanah lapang (alun-alun). Tetapi setelah zaman penjajahan, tangan penjajah masuk ke dalam masjid itu dan kiai penghulu adalah seorang ambtenar yang biasanya terpilih dari orang yang bertali darah kekeluargaan dengan bupati sehingga masjid-masjid menjadi sumber kebekuan pikiran, maka kalangan kaum muda Islam mendirikan lagi masjid-masjid sendiri, sebab memandang bahwa amalan di Masjid Besar itu sudah banyak dicampuri bid'ah atau pengaruh penjajah.
Tadi kita katakan bahwa keadaan masjid kita sekarang tidak boleh langsung diserupakan dengan Masjid Quba dan Masjid Madinah, yang hendak dipecahkan oleh orang munafik dengan mendirikan Masjid Dhirar itu. Berbilang masjid, terutama di kota-kota besar seperti di Jakarta dan lain-lain kota besar itu, tidaklah salah. Menambah masjid di satu negeri, mukim, korea, dan sebagainya itu tidaklah salah asal jamaah kaum Muslimin ja-ngan terpecah belah. Asal imam-imamnya seia sekata di dalam menghadapi tugas bersama mengadakan dakwah. Yang salah ialah jika mendirikan suatu bangunan timbul daripada niat sebagai niat munafik yang empat perkara tadi.
Di Kota Payakumbuh, berdirilah masjid-masjid kepunyaan satu golongan. Ada masjid orang Banuhampu, masjid orang Sianok, masjid orang Pariaman. Yaitu orang-orang dari daerah Minangkabau sendiri, yang berniaga di Payakumbuh. Pada 1946 Penulis Tafsir ini berulang-ulang datang ke Payakumbuh dan memberi pengertian bahwa memakai nama kampung mereka untuk masjid, tidaklah layak. Lalu semuanya ditukar namanya, menjadi Masjid Mujahidin, Mukarrabin, Muttaqin, dan sebagainya.
Bertalian dengan ini tentu tidak layak juga kalau satu masjid yang didirikan oleh satu perkumpulan Islam, diberi nama dengan nama perserikatan itu. Misalnya Masjid Mu-hammadiyah, Masjid Persis, Masjid Nandla-tul Ulama, dan sebagainya. Takut kalau-kalau timbul niat yang tidak baik, yaitu memisahkan diri dari jamaah kaum Muslimin.
Oleh sebab itu, jadikanlah masjid menjadi sumber iman dan tauhid, sumber untuk me-nyatu-padukan aqidah dan ibadah umat, yang didirikan sejak semulanya atas dasar yang takwa dan ikhlas, jangan hendaknya menjadi sumber dari perpecahan dan dosa, jangan pula seperti orang kaya yang mendirikan sebuah masjid untuk kemegahan diri sendiri. Sebab ujung ayat telah memberi ketegasan.
“Dan Atlah tidaklah akan membelikan petunjuk kepada orang yang zalim."
Orang yang zalim ialah yang keluar dari batas yang ditentukan Allah, lagi zhulm, yaitu gelap tidak terang apa yang mereka tuju. Orang mendirikan masjid untuk menyembah Allah, mereka mendirikan masjid untuk memecah, untuk mengintip bagi memerangi Allah dan Rasul. Maka oleh sebab sejak semula niat sudah tidak baik, sampai kepada akhirnya mereka pun akan tetap dalam gelap, tidak diberi petunjuk oleh Allah.
Ayat 110
“Senantiasalah bangunan mereka yang mereka dirikan itu menimbulkan keraguan dalam hati mereka."
Pangkal ayat ini telah memberi pelajaran kepada kita tentang perasaan yang menimpa hati orang yang munafik. Oleh karena maksud mereka mendirikan bangunan itu tidak jelas karena Allah, tidak karena takwa dan tidak karena mengharapkan ridha Allah, mereka se-lalu akan tertekan batin. Mereka selalu akan digoncangkan perasaan hati sendiri. Sebab pada zahir Allah yang disembah, mereka shalat juga. Padahal batin bukan menghadap kepada Allah, melainkan mengatur maksud-maksud yang jahat."Kecuali apabila telah terpotong-potong hati mereka." Artinya adalah dua tiga macam. Satu, ialah kalau mereka masih ada berhati berjantung, tegasnya masih ada perasaan, keraguan itu akan tetap ada. Itulah yang kita di zaman sekarang menamainya tekanan batin. Baru akan berhenti rasa ragu-ragu itu jika mereka tidak ada hati lagi. Kedua, selama Masjid Dhirar itu masih ada, maka selama itu pula hati pembangun-pembangunnya itu tetap ragu-ragu, dan baru akan berhenti apabila hati jantung mereka telah dirobek-robek oleh siksaan Allah. Yaitu adzab neraka Jahannam. Dan sebagaimana kita ketahui pada hadits, syukurlah Rasulullah ﷺ segera setelah dua tiga hati kembali dari Tabuk menyuruh meruntuhkan masjid palsu itu.
Dan ayat ini menjadi pengajaran bagi kita bahwasanya suatu bangunan yang didirikan tidak atas dasar yang ikhlas, selalu akan menggelisahkan perasaan orang yang mem-bangunnya. Dan ini kerap kali kita lihat pada orang-orang yang demikian. Sehingga selalu mereka membela diri, mengatakan maksudnya adalah baik, bukan maksud memecah, bukan membawa bencana dan bahaya, walaupun tidak ada orang yang bertanya. Sebab hati kecilnya sendiri mengakui bahwa perbuatannya salah, baru dia akan terlepas dari tekanan batin itu kalau dia mengakui satahnya terus terang dan segera bertobat. Kalau tidak, maka hatinya akan terus laksana terpotong-potong!
“Dan Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Bijaksana."
Allah Maha Mengetahui, Allah lebih tahu, walaupun maksud-maksud jahat itu mereka dinding dengan berbagai alasan yang dicari-cari. Akhirnya, kelak apa yang mereka sembunyikan itu akan dibuka juga oleh Allah. Tetapi Allah pun Bijaksana, sehingga penyakit tekanan batin itu bisa juga diobat, yaitu dengan tobat dan kembali ke dalam jalan yang benar.
Tersebut di dalam satu riwayat bahwa setelah Sayyidina Umar bin Khaththab menjadi khalifah, ada seorang bernama Majma bin Haritsah, bacaannya fasih dan dia bisa menjadi imam jamaah. Maka keluarga Bani Amin bin Auf, yaitu penduduk kampung Quba yang meramaikan Masjid Quba meminta izin kepada beliau agar Majma bin Haritsah itu di-izinkan menjadi imam jamaah mereka. Amirul Mu'minin mulanya tidak memberi izin dia dijadikan imam; sebab dia pernah diangkat kaum munafik itu menjadi imam di Masjid Dhirar itu. Mendengar larangan itu datanglah Majma menghadap khalifah, lalu berkata, “Ya
Amirul Mu'minin, janganlah lekas saja menyalahkan aku. Demi Allah, memanglah aku pernah shalat menjadi imam mereka, tetapi Allah tahu bahwa aku sendiri waktu itu tidak tahu niat jahat mereka. Aku waktu itu masih kanak-kanak dan bisa membaca Al-Qur'an, sedang mereka itu adalah orang tua-tua yang tidak seorang pun yang pandai membaca Al-Qur'an!"
Mendengar keterangannya yang demikian, dapatlah khalifah memahami dan percayalah beliau akan keterangannya itu, lalu diizinkanlah dia menjadi imam. Sebab nyata bahwa sebagai seorang anak kecil, dia tidak mengerti duduk soal yang sebenarnya.