Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱعۡبُدُواْ
dan sembahlah
ٱللَّهَ
Allah
وَلَا
dan janganlah
تُشۡرِكُواْ
kamu mempersekutukan
بِهِۦ
denganNya
شَيۡـٔٗاۖ
sesuatu
وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ
dan kepada kedua orang tua
إِحۡسَٰنٗا
(berbuat) baik
وَبِذِي
dan (dengan/terhadap)yang dimiliki
ٱلۡقُرۡبَىٰ
kerabat dekat
وَٱلۡيَتَٰمَىٰ
dan anak-anak yatim
وَٱلۡمَسَٰكِينِ
dan orang-orang miskin
وَٱلۡجَارِ
dan tetangga
ذِي
yang memiliki
ٱلۡقُرۡبَىٰ
dekat
وَٱلۡجَارِ
dan tetangga
ٱلۡجُنُبِ
yang jauh
وَٱلصَّاحِبِ
dan teman
بِٱلۡجَنۢبِ
sejawat
وَٱبۡنِ
dan ibnu (orang)
ٱلسَّبِيلِ
sabil (dalam perjalanan)
وَمَا
dan apa yang
مَلَكَتۡ
kamu miliki
أَيۡمَٰنُكُمۡۗ
budak-budakmu
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يُحِبُّ
menyukai
مَن
orang-orang
كَانَ
adalah
مُخۡتَالٗا
sombong
فَخُورًا
membanggakan diri
وَٱعۡبُدُواْ
dan sembahlah
ٱللَّهَ
Allah
وَلَا
dan janganlah
تُشۡرِكُواْ
kamu mempersekutukan
بِهِۦ
denganNya
شَيۡـٔٗاۖ
sesuatu
وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ
dan kepada kedua orang tua
إِحۡسَٰنٗا
(berbuat) baik
وَبِذِي
dan (dengan/terhadap)yang dimiliki
ٱلۡقُرۡبَىٰ
kerabat dekat
وَٱلۡيَتَٰمَىٰ
dan anak-anak yatim
وَٱلۡمَسَٰكِينِ
dan orang-orang miskin
وَٱلۡجَارِ
dan tetangga
ذِي
yang memiliki
ٱلۡقُرۡبَىٰ
dekat
وَٱلۡجَارِ
dan tetangga
ٱلۡجُنُبِ
yang jauh
وَٱلصَّاحِبِ
dan teman
بِٱلۡجَنۢبِ
sejawat
وَٱبۡنِ
dan ibnu (orang)
ٱلسَّبِيلِ
sabil (dalam perjalanan)
وَمَا
dan apa yang
مَلَكَتۡ
kamu miliki
أَيۡمَٰنُكُمۡۗ
budak-budakmu
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يُحِبُّ
menyukai
مَن
orang-orang
كَانَ
adalah
مُخۡتَالٗا
sombong
فَخُورًا
membanggakan diri
Terjemahan
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak ya tim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnusabil, serta hamba sahaya yang kamu miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.
Tafsir
(Sembahlah olehmu Allah) dengan mengesakan-Nya (dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan suatu pun juga.) (Dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak) dengan berbakti dan bersikap lemah lembut (kepada karib kerabat) atau kaum keluarga (anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang karib) artinya yang dekat kepadamu dalam bertetangga atau dalam pertalian darah (dan kepada tetangga yang jauh) artinya yang jauh daripadamu dalam kehidupan bertetangga atau dalam pertalian darah (dan teman sejawat) teman seperjalanan atau satu profesi bahkan ada pula yang mengatakan istri (ibnu sabil) yaitu yang kehabisan biaya dalam perjalanannya (dan apa-apa yang kamu miliki) di antara hamba sahaya. (Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong) atau takabur (membanggakan diri) terhadap manusia dengan kekayaannya.
Tafsir Surat An-Nisa': 36
Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kalian miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
Allah ﷻ memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar menyembah Dia semata, tiada sekutu bagi Dia. Karena sesungguhnya Dialah Yang Maha Pencipta, Maha Pemberi rezeki, Yang memberi nikmat, Yang memberikan karunia kepada makhluk-Nya dalam semua waktu dan keadaan. Dialah Yang berhak untuk disembah oleh mereka dengan mengesakan-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun dari makhluk-Nya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam sabda Nabi ﷺ kepada Mu'az ibnu Jabal: "Tahukah kamu, apakah hak Allah atas hamba-hamba-Nya?" Mu'az menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Nabi ﷺ bersabda, "Hendaknya mereka menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun." Antara lain Nabi ﷺ bersabda pula: “Tahukah kamu, apakah hak hamba-hamba Allah atas Allah, apabila mereka mengerjakan hal tersebut? Yaitu Dia tidak akan mengazab mereka.” Kemudian Nabi ﷺ mewasiatkan agar kedua orang tua diperlakukan dengan perlakuan yang baik, karena sesungguhnya Allah ﷻ menjadikan keduanya sebagai penyebab bagi keberadaanmu dari alam 'adam sampai ke alam wujud. Sering sekali Allah ﷻ menggandengkan antara perintah beribadah kepada-Nya dengan berbakti kepada kedua orang tua, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu.” (Luqman: 14)
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapak.” (Al-Isra: 23)
Kemudian berbuat baik kepada ibu bapak ini diiringi dengan perintah berbuat baik kepada kaum kerabat dari kalangan kaum laki-laki dan wanita. Sebagaimana yang disebutkan di dalam sebuah hadits: “Bersedekah kepada orang miskin adalah sedekah, tetapi kepada kerabat adalah sedekah dan silaturahmi.”
Selanjutnya Allah ﷻ berfirman: “Dan (berbuat baiklah kepada) anak-anak yatim.” (An-Nisa: 36) Itu karena mereka telah kehilangan orang yang mengurus kemaslahatan mereka dan orang yang memberi mereka nafkah. Maka Allah memerintahkan agar mereka diperlakukan dengan baik dan dengan penuh kasih sayang.
Kemudian disebutkan oleh firman-Nya: “Dan (berbuat baiklah kepada) orang-orang miskin.” (An-Nisa: 36) Mereka adalah orang-orang yang memerlukan uluran tangan karena tidak menemukan apa yang dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka. Maka Allah memerintahkan agar mereka dibantu hingga kebutuhan hidup mereka cukup terpenuhi dan terbebaskan dari keadaan daruratnya. Pembahasan mengenai fakir miskin ini akan disebutkan secara rinci dalam tafsir surat Baraah (surat At-Taubah).
Firman Allah ﷻ: “Dan (berbuat baiklah kepada) tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh.” (An-Nisa: 36)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan jari dzil qurba ialah tetangga yang antara kamu dan dia ada hubungan kerabat, sedangkan jaril junub ialah tetangga yang antara kamu dan dia tidak ada hubungan kerabat.
Hal yang sama diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid, Maimun ibnu Mihran, Adh-Dhahhak, Zaid ibnu Aslam, Muqatil ibnu Hayyan dan Qatadah.
Abu Ishaq meriwayatkan dari Nauf Al-Bakkali sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan (berbuat baiklah kepada) tetangga yang dekat.” (An-Nisa: 36) Yakni tetangga yang muslim.
“Dan (berbuat baiklah kepada) tetangga yang jauh.” (An-Nisa: 36) Yakni yang beragama Yahudi dan Nasrani. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Jabir Al-Ju'fi meriwayatkan dari Asy-Sya'bi, dari Ali dan Ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan (berbuat baiklah kepada) tetangga yang dekat.” (An-Nisa: 36) Yakni istri.
Mujahid mengatakan pula sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan (berbuat baiklah kepada) tetangga yang jauh.” (An-Nisa: 36) Yaitu teman seperjalanan.
Banyak hadits yang menganjurkan berbuat baik kepada tetangga, berikut ini kami ketengahkan sebagian darinya yang mudah; hanya kepada Allah kami memohon pertolongan.
Hadis pertama. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Umar ibnu Muhammad ibnu Zaid, bahwa ia pernah mendengar Muhammad menceritakan hadits berikut dari Abdullah ibnu Umar, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Jibril masih terus berwasiat kepadaku mengenai tetangga, hingga aku menduga bahwa Jibril akan memberinya hak waris.”
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya masing-masing dengan melalui Muhammad ibnu Zaid ibnu Abdullah ibnu Umar dengan lafal yang sama.
Hadis kedua. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Daud ibnu Syabur, dari Mujahid, dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Jibril masih terus berwasiat kepadaku mengenai tetangga sehingga aku menduga bahwa Jibril akan memberinya hak waris.”
Imam Abu Dawud dan Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hal yang serupa melalui hadits Sufyan ibnu Uyaynah, dari Basyir Abu Ismail.
Imam At-Tirmidzi menambahkan Daud ibnu Syabur, keduanya (yakni Abu Ismail dan Daud ibnu Syabur) dari Mujahid dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib bila ditinjau dari sanadnya. Hadis ini diriwayatkan pula dari Mujahid, Aisyah, dan Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ
Hadis ketiga. Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Haiwah, telah menceritakan kepada kami Syurahbil ibnu Syarik, bahwa ia pernah mendengar Abu Abdur Rahman Al-Jaili menceritakan hadits berikut dari Abdullah ibnu Amr ibnul As, dari Nabi ﷺ, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Sebaik-baik teman di sisi Allah ialah orang yang paling baik kepada temannya, dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah ialah orang yang paling baik kepada tetangganya.”
Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnul Mubarak, dari Haiwah ibnu Syuraih dengan lafal yang sama. Ia mengatakan bahwa hadits ini gharib (asing).
Hadis keempat. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari ayahnya, dari Abayah ibnu Rifa'ah, dari Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Seorang lelaki tidak boleh kenyang sedang tetangganya lapar.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid (menyendiri).
Hadis kelima. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Fudail ibnu Gazwan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'd Al-Ansari yang mengatakan bahwa ia mendengar dari Abu Zabyah Al-Kala'i yang telah mendengarnya dari Al-Miqdad ibnul Aswad yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada sahabat-sahabatnya: "Bagaimanakah menurut kalian perbuatan zina itu?" Mereka menjawab, "Perbuatan haram yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, zina tetap diharamkan sampai hari kiamat." Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya bila seseorang lelaki berbuat zina dengan sepuluh orang wanita, hal ini lebih ringan baginya daripada ia berbuat zina dengan istri tetangganya." Rasulullah ﷺ bertanya pula, "Bagaimanakah menurut kalian perbuatan mencuri itu?" Mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkannya, dan ia tetap haram sampai hari kiamat." Rasulullah ﷺ menjawab, "Sesungguhnya bila seseorang lelaki mencuri dari sepuluh rumah, hal ini lebih ringan baginya daripada ia mencuri dari rumah tetangganya."
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid (menyendiri). Tetapi hadits ini mempunyai syahid yang memperkuatnya di dalam kitab Sahihain melalui hadits Ibnu Mas'ud yang mengatakan: Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?" Nabi ﷺ menjawab, "Bila kamu menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dia Yang menciptakan kamu." Aku bertanya, "Kemudian apa lagi?" Nabi ﷺ menjawab, “Bila kamu membunuh anakmu karena khawatir dia akan makan bersamamu." Aku bertanya, "Kemudian apa lagi?" Nabi ﷺ menjawab, "Bila kamu berzina dengan istri tetanggamu."
Hadis keenam. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Hafsah, dari Abul Aliyah, dari seorang lelaki dari kalangan Ansar yang telah menceritakan hadits berikut: Aku keluar dari rumah keluargaku menuju rumah Nabi ﷺ. Tiba-tiba aku jumpai beliau sedang berdiri menghadapi seorang lelaki yang ada bersamanya. Aku menduga bahwa keduanya sedang dalam suatu keperluan. Lelaki Ansar melanjutkan kisahnya, bahwa Rasulullah ﷺ terus berdiri dalam waktu yang cukup lama sehingga aku merasa kasihan kepadanya. Ketika lelaki itu pergi, aku bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya lelaki ini sangat lama berdiri denganmu, sehingga aku merasa kasihan kepadamu karena lama berdiri melayaninya." Rasulullah ﷺ bersabda, "Apakah kamu melihatnya?" Aku menjawab, "Ya." Rasulullah ﷺ bertanya, "Tahukah kamu siapakah dia?" Aku menjawab, "Tidak." Nabi ﷺ bersabda: “Dia adalah Jibril, dia terus-menerus mewasiatkan kepadaku mengenai tetangga, hingga aku menduga bahwa dia akan memberinya hak waris.” Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda pula: “Ingatlah, sesungguhnya seandainya kamu mengucapkan salam kepadanya, niscaya dia menjawab salammu.”
Hadis ketujuh. Abdu ibnu Humaid mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Ya'la ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar (yakni Al-Madani), dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa seorang lelaki dari pegunungan datang ketika Rasulullah ﷺ dan Malaikat Jibril sedang shalat, yaitu pada saat Nabi ﷺ sedang menyalatkan jenazah. Ketika Nabi ﷺ menyelesaikan salatnya, lelaki tersebut bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah lelaki yang kulihat ikut shalat bersamamu itu?" Rasulullah ﷺ balik bertanya, "Apakah kamu melihatnya?" ia menjawab, "Ya." Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya engkau telah melihat kebaikan yang banyak. Orang ini adalah Jibril. Dia terus-menerus berwasiat kepadaku mengenai tetangga, hingga aku menduga bahwa dia akan memberinya hak waris.” Ditinjau dari segi ini hadits diriwayatkan oleh Abdu ibnu Humaid secara munfarid, tetapi hadits ini mengukuhkan hadits sebelumnya.
Hadis kedelapan. Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Muhammad alias Abur Rabi' Al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Abu Fudail, telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnul Fadl, dari ‘Atha’ Al-Khurrasani, dari Al-Hasan, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tetangga itu ada tiga macam, yaitu tetangga yang mempunyai satu hak; dia adalah tetangga yang memiliki hak paling rendah.
Lalu tetangga yang mempunyai dua hak, dan tetangga yang mempunyai tiga hak, dia adalah tetangga yang memiliki hak paling utama. Adapun tetangga yang mempunyai satu hak, maka dia adalah tetangga musyrik yang tidak mempunyai hubungan kerabat baginya; dia mempunyai hak tetangga. Adapun tetangga yang mempunyai dua hak, maka dia adalah tetangga muslim; dia mempunyai hak Islam dan hak tetangga. Adapun tetangga yang mempunyai tiga hak ialah tetangga muslim yang masih mempunyai hubungan kerabat; dia mempunyai hak tetangga, hak Islam, dan hak kerabat”.
Al-Bazzar mengatakan, "Kami tidak mengetahui ada seseorang yang meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnul Fadl kecuali hanya Ibnu Abu Fudail."
Hadis kesembilan. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Imran, dari Talhah ibnu Abdullah, dari Aisyah, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ: "Sesungguhnya aku mempunyai dua orang tetangga.
maka kepada siapakah aku akan mengirimkan hadiah (kiriman) ini?" Nabi ﷺ bersabda, "Kepada tetangga yang pintunya lebih dekat kepadamu." Imam Bukhari meriwayatkannya melalui hadits Syu'bah dengan sanad yang sama.
Hadis kesepuluh. Imam Ath-Thabarani dan Abu Na'im meriwayatkan dari Abdur Rahman yang di dalam riwayatnya ditambahkan bahwa Rasulullah ﷺ melakukan wudhu, lalu orang-orang berebutan mengusapkan bekas air wudhunya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Apakah gerangan yang mendorong kalian berbuat demikian?" Mereka menjawab, "Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya." Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang menginginkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, hendaklah ia berkata benar apabila berbicara, dan hendaklah ia menunaikan amanat bila dipercaya, (dan hendaklah ia berbuat baik dengan tetangga).”
Hadis kesebelas. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya mula-mula dua seteru yang diajukan di hari kiamat nanti adalah dua orang yang bertetangga.”
Firman Allah ﷻ: “Dan (berbuat baiklah kepada) teman-teman sejawat.” (An-Nisa: 36)
As-Sauri meriwayatkan dari Jabir Al-Ju'fi, dari Asy-Sya'bi, dari Ali dan Ibnu Mas'ud, yang dimaksud ialah istri.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hasan, dan Sa'id ibnu Jubair dalam salah satu riwayatnya yang menyatakan hal selain itu.
Ibnu Abbas dan sejumlah ulama mengatakan, yang dimaksud adalah tamu. Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, dan Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud adalah teman seperjalanan.
Adapun Ibnu Sabil, menurut Ibnu Abbas dan sejumlah ulama, yang dimaksud adalah tamu.
Menurut Mujahid, Abu Ja'far, Al-Baqir, Al-Hasan, Adh-Dhahhak, dan Muqatil, yang dimaksud dengan Ibnu Sabil ialah orang yang sedang dalam perjalanan yang mampir kepadamu. Pendapat ini lebih jelas, sekalipun pendapat yang mengatakan "tamu" bermaksud orang yang dalam perjalanan, lalu bertamu; pada garis besarnya kedua pendapat bermaksud sama.
Pembahasan mengenai Ibnu Sabil ini akan diketengahkan secara rinci dalam tafsir surat Al-Baraah (surat At-Taubah). Hanya kepada Allah kami memohon iman dan hanya kepada-Nya kami bertawakal.
Firman Allah ﷻ: “Dan (berbuat baiklah kepada) hamba sahaya yang kalian miliki.” (An-Nisa: 36)
Ayat ini memerintahkan untuk berbuat baik kepada para hamba sahaya, karena hamba sahaya adalah orang yang lemah upayanya, dan dikuasai oleh orang lain. Karena itu, terbukti bahwa Rasulullah ﷺ mewasiatkan kepada umatnya dalam sakit yang membawa kematiannya melalui sabdanya yang mengatakan: “Shalat, shalat, dan budak-budak yang kalian miliki!” Maka beliau ﷺ mengulang-ulang sabdanya hingga lisan beliau kelihatan terus berkomat-kamit mengatakannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abul Abbas, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami Bujair ibnu Sa'd, dari Khalid ibnu Ma'dan, dari Al-Miqdam ibnu Ma'di Kariba yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak sekali-kali kamu beri makan dirimu melainkan hal itu sedekah bagimu, tidak sekali-kali kamu beri makan anakmu melainkan hal itu sedekah bagimu, tidak sekali-kali kamu beri makan istrimu melainkan hal itu sedekah bagimu, dan tidak sekali-kali kamu beri makan pelayanmu melainkan hal itu sedekah bagimu.” Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Baqiyyah, sanad hadits berpredikat sahih.
Dari Abdullah ibnu Amr, disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Qahriman (pegawai)nya, "Apakah engkau telah memberikan makanan pokok kepada budak-budak?" Ia menjawab, "Belum." Abdullah ibnu Amr berkata, "Berangkatlah sekarang dan berikanlah makanan pokok itu kepada mereka, karena sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah bersabda: 'Cukuplah dosa seseorang, bila ia menahan makanan pokok terhadap hamba sahayanya’.’’ Hadis riwayat Imam Muslim.
Disebutkan dari sahabat Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Hamba sahaya berhak mendapatkan makanan dan pakaiannya, dan tidak boleh dibebani dengan pekerjaan melainkan sebatas kemampuannya.” Hadis riwayat Imam Muslim.
Dari Abu Hurairah pula, dari Nabi ﷺ.Disebutkan bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Apabila pelayan seseorang di antara kalian datang menyuguhkan makanan, lalu ia tidak mau mempersilakan pelayan untuk makan bersamanya, maka hendaklah ia memberikan kepadanya sesuap atau dua suap makanan, sepiring atau dua piring makanan, karena sesungguhnya pelayanlah yang memasak dan yang menghidangkannya.” Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Lafal hadits ini berdasarkan apa yang ada pada Sahih Bukhari, sedangkan menurut lafal Imam Muslim adalah seperti berikut: “Hendaklah ia mempersilahkan pelayannya untuk makan bersamanya; dan jika makanan tersebut untuk orang banyak lagi sedikit, maka hendaklah ia memberinya makanan di tangannya barang sesuap atau dua suap makanan.”
Dari Abu Zar, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: “Mereka (para pelayan) adalah saudara-saudara kalian lagi budak-budak kalian, Allah telah menjadikan mereka di bawah kekuasaan kalian. Maka barang siapa yang saudaranya berada di bawah kekuasaannya, hendaklah ia memberinya makan dari apa yang ia makan, dan hendaklah ia memberinya pakaian dari apa yang ia pakai, dan janganlah kalian membebani mereka pekerjaan yang tidak mampu mereka lakukan; dan jika kalian terpaksa membebani mereka (dengan pekerjaan berat), maka bantulah mereka.” Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri.” (An-Nisa: 36)
Yakni congkak, takabur, dan sombong terhadap orang lain; dia menganggap bahwa dirinya lebih baik daripada mereka. Dia merasa dirinya besar, tetapi di sisi Allah dia hina dan di kalangan manusia dia dibenci.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.” (An-Nisa: 36) yang dimaksud dengan mukhtal ialah takabur dan sombong.
Sedangkan yang dimaksud dengan firman-Nya: “Lagi membangga-banggakan diri.” (An-Nisa: 36) tidak pernah bersyukur kepada Allah ﷻ setelah diberi nikmat oleh-Nya, bahkan dia berbangga diri terhadap orang-orang dengan karunia nikmat yang telah diberikan oleh Allah ﷻ kepadanya, dan dia orang yang sedikit bersyukur kepada Allah atas hal tersebut.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Kasir, dari Abdullah ibnu Waqid, dari Abu Raja Al-Harawi yang mengatakan bahwa ia tidak pernah menjumpai orang yang jahat perangainya kecuali ada pada diri orang yang sombong lagi membangga-banggakan dirinya, lalu ia membacakan firman-Nya: “Dan (berbuat baiklah kepada) hamba sahaya yang kalian miliki.” (An-Nisa: 36), hingga akhir ayat. Tidak pernah ia jumpai orang yang menyakiti kedua orang tuanya kecuali ada pada diri orang sombong lagi durhaka, lalu ia membacakan firman-Nya: “Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (Maryam: 32)
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Al-Awwam ibnu Hausyab hal yang serupa sehubungan dengan makna mukhtal (sombong) dan fakhur (membangga-banggakan diri). Untuk itu ia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, dari Al-Aswad ibnu Syaiban, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abdullah ibnusy Syiklikhir yang mengatakan bahwa Mutarrif pernah menceritakan bahwa telah sampai kepadanya sebuah hadits dari Abu Zar yang membuatnya ingin sekali bertemu dengan Abu Zar. Lalu ia menjumpai Abu Zar. Aku (Mutarrif) bertanya, "Wahai Abu Zar, telah sampai kepadaku bahwa dirimu pernah menduga bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda, 'Sesungguhnya Allah menyukai tiga orang dan membenci tiga orang'." Abu Zar menjawab, "Memang benar, kamu tentu percaya bahwa aku tidak akan berdusta kepada kekasihku (Nabi ﷺ)," sebanyak tiga kali. Aku bertanya, "Lalu siapakah tiga macam orang yang dibenci oleh Allah itu?" Abu Zar menjawab, "Orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri. Bukankah kamu pun telah menjumpainya di dalam Kitabullah yang ada pada kalian?" Kemudian Abu Zar membacakan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa: 36) .
Dan telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, dari Khalid, dari Abu Tamimah, dari seorang lelaki dari kalangan Bani Hujaim yang menceritakan: Aku pernah berkata, "Wahai Rasulullah, berwasiatlah untukku." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Jangan sekali-kali kamu memanjangkan kainmu, karena sesungguhnya memanjangkan kain merupakan sikap orang yang sombong, dan sesungguhnya Allah tidak menyukai (orang yang bersikap) sombong.”
Ayat-ayat di atas yang berbicara tentang aturan dan tuntunan kehidupan rumah tangga dan harta waris, memerlukan tingkat kesadaran untuk mematuhinya. Ayat ini menekankan kesadaran tersebut dengan menunjukkan perincian tempat tumpuan kesadaran itu dipraktikkan. Dan sembahlah Allah Tuhan yang menciptakan kamu dan pasangan kamu, dan janganlah kamu sekali-kali mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah dengan sungguh-sungguh kepada kedua orang tua, juga kepada karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh walaupun tetangga itu nonmuslim, teman sejawat, ibnu sabil, yakni orang dalam perjalanan bukan maksiat yang kehabisan bekal, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai dan tidak melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada orang yang sombong dan membanggakan diri di hadapan orang lain.
Ayat yang lalu ditutup dengan ungkapan ketidaksenangan Allah kepada orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Mereka itu adalah orang yang kikir, dan juga menyuruh orang lain agar berbuat kikir dengan cara menghalangi orang lain berinfak dengan ucapan, dan memberi contoh berinfak dengan jumlah yang sangat ke-cil, dan juga secara terus menerus menyembunyikan karunia yang telah diberikan Allah kepadanya dengan tidak mau menginfakkannya. Untuk itu, Kami telah menyediakan hukuman untuk orang-orang kafir dalam bentuk azab yang menghinakan atas kesombongan mereka itu.
Mengabdi dan menyembah kepada Allah dinamakan ibadah. Beribadah dengan penuh keikhlasan hati, mengakui keesaan-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, itulah kewajiban seseorang kepada Allah. Dalam kata lain, ibadah dan mengesakan Allah merupakan hak-hak Allah yang menjadi kewajiban manusia untuk menunaikannya. Melakukan ibadah kepada Allah tampak dalam amal perbuatan setiap hari, seperti mengerjakan apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah dan telah dicontohkannya, seperti salat, puasa, zakat, haji dan lain-lainnya, dinamakan ibadah khusus. Kemudian ibadah umum, yaitu semua pekerjaan yang baik yang dikerjakan dalam rangka patuh dan taat kepada Allah saja, bukan karena yang lainnya, seperti membantu fakir miskin, menolong dan memelihara anak yatim, mengajar orang, menunjukkan jalan kepada orang yang sesat dalam perjalanan, menyingkirkan hal-hal yang dapat mengganggu orang di tengah jalan dan sebagainya. Ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas, memurnikan ketaatan kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain.
Ada bermacam-macam pekerjaan manusia yang menyebabkan dia bisa menjadi musyrik, di antaranya menyembah berhala sebagai perantara agar permohonannya disampaikan kepada Allah. Mereka bersembah sujud di hadapan berhala untuk menyampaikan hajat dan maksud mereka. Perbuatan manusia yang seperti itu banyak disebutkan Allah dalam Al-Qur'an. Allah berfirman:
Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan bencana kepada mereka dan tidak (pula) memberi manfaat, dan mereka berkata, "Mereka itu adalah pemberi syafaat kami di hadapan Allah." Katakanlah, "Apakah kamu akan memberitahu kepada Allah sesuatu yang tidak diketahui-Nya apa yang di langit dan tidak (pula) yang di bumi?" Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan itu. (Yunus/10:18).
Ada pula golongan lain yang termasuk musyrik, sebagaimana yang disebutkan Allah dalam Al-Qur'an, yaitu orang Nasrani yang menuhankan Nabi Isa, putra Maryam. Di samping mereka menyembah Allah, juga mereka mengakui Isa a.s. sebagai Tuhan mereka. Allah berfirman:
Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah dan (juga) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan. (at-Taubah/9:31).
Orang musyrik semacam ini banyak terdapat pada masa sekarang, yaitu orang yang memohon dan meminta syafaat dengan perantaraan orang-orang yang dianggapnya suci dan keramat, baik orang-orang yang dianggapnya suci itu masih hidup maupun sudah mati. Mereka mendatangi kuburannya, di sanalah mereka menyampaikan hajat dan doa, bahkan mereka sampai bermalam di sana. Mereka berwasilah kepadanya dan dengan berwasilah itu, maksudnya akan berhasil dan doanya akan makbul. Tidak jarang terjadi manusia berdoa meminta kepada batu, pohon kayu, roh nenek moyang, jin, hantu dan sebagainya. Semua ini digolongkan perbuatan syirik.
Kewajiban seseorang kepada Allah ialah menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Dari Mu'az bin Jabal, Rasulullah ﷺ bersabda, "Ya Muaz, tahukah engkau apakah hak Allah atas hamba-Nya, dan apa pula hak hamba atas Allah?" Saya menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Rasulullah berkata, "Hak Allah atas hamba-Nya ialah agar hamba-Nya menyembah-Nya dan jangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu. Hak hamba atas Allah ialah bahwa Allah tidak akan mengazab hamba-Nya yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Dalam ayat ini Allah mengatur kewajiban terhadap sesama manusia. Sesudah Allah memerintahkan agar menyembah dan beribadah kepada-Nya dengan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain, selanjutnya Allah memerintahkan agar berbuat baik kepada ibu-bapak. Berbuat baik kepada ibu-bapak adalah suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Perintah mengabdi kepada Allah diiringi perintah berbuat baik kepada ibu-bapak adalah suatu peringatan bahwa jasa ibu bapak itu sungguh besar dan tidak dapat dinilai harganya dengan apa pun. Selain ayat ini ada lagi beberapa ayat dalam Al-Qur'an yang memerintahkan agar berbuat baik kepada ibu-bapak seperti firman Allah:
Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu. (Luqman/31:14).
Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. (al-Isra'/17:23).
Berbuat baik kepada ibu-bapak mencakup segala-galanya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan yang dapat menyenangkan hati mereka keduanya. Berlaku lemah lembut dan sopan santun kepada keduanya termasuk berbuat baik kepadanya. Mengikuti nasihatnya, selama tidak bertentangan dengan ajaran Allah juga termasuk berbuat baik. Andaikata keduanya memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Allah, perintahnya boleh tidak dipatuhi, tetapi terhadap keduanya tetap dijaga hubungan yang baik. Allah berfirman:
"Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (Luqman/31:15).
Termasuk pula berbuat baik mendoakan keduanya agar Allah mengampuni dosanya, sebab keduanya telah berjasa banyak, mendidik, memelihara dan mengasuh semenjak kecil.
Perintah agar selalu berbuat baik kepada ibu bapak selama hayat masih dikandung badan, karena ibu bapak adalah manusia yang paling berjasa, diperintahkan pula agar berbuat baik kepada karib kerabat. Karib kerabat adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan seseorang sesudah ibu bapak, baik karena ada hubungan darah maupun karena yang lainnya.
Kalau seseorang telah dapat menunaikan kewajibannya kepada Allah dengan sebaik-baiknya, maka dengan sendirinya akidah orang itu akan bertambah kuat dan amal perbuatannya akan bertambah baik. Kemudian bila dia telah menunaikan kewajibannya kepada kedua ibu bapaknya dengan ikhlas dan setia, akan terwujudlah rumah tangga yang aman dan damai dan akan berbahagialah seluruh rumah tangga itu.
Rumah tangga yang aman dan damai akan mempunyai kekuatan untuk berbuat baik kepada karib kerabat dan sanak famili. Maka akan terhimpunlah suatu kekuatan besar dalam masyarakat. Dari masyarakat yang seperti ini akan mudah terwujud sifat tolong-menolong dan bantu-membantu, berbuat baik kepada anak-anak yatim dan orang miskin.
Berbuat baik kepada anak yatim dan orang miskin, bukan hanya didorong oleh hubungan darah dan famili, tetapi semata-mata karena dorongan perikemanusiaan yang ditumbuhkan oleh rasa iman kepada Allah. Iman kepada Allah yang menumbuhkan kasih sayang untuk menyantuni anak-anak yatim dan orang-orang miskin, sebab banyak terdapat perintah Allah di dalam Al-Qur'an yang menyuruh berbuat baik kepada anak yatim dan orang miskin itu. Tangan siapa lagi yang dapat diharapkan oleh mereka itu untuk menolongnya, selain dari orang yang dadanya penuh dengan sifat kasih sayang, yaitu orang yang beriman yang mempunyai rasa perikemanusiaan.
Anak yatim itu tidak mempunyai bapak yang mengurus dan membelanjainya dan orang miskin itu tidak mempunyai daya untuk membiayai hidupnya sehari-hari. Mungkin karena lemah badannya atau oleh karena tidak cukup pendapatannya dari sehari ke sehari. Agar mereka tetap menjadi anggota masyarakat yang baik jangan sampai terjerumus ke lembah kehinaan dan nista, setiap manusia yang mempunyai rasa perikemanusiaan dan mempunyai rasa kasih sayang, haruslah bersedia turun tangan membantu dan menolong mereka, sehingga lambat laun derajat hidup mereka dapat ditingkatkan.
Allah juga menyuruh berbuat baik kepada tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, kepada teman sejawat, ibnussabil dan hamba sahaya. Tetangga dekat dan yang jauh ialah orang-orang yang berdekatan rumahnya, sering berjumpa setiap hari, bergaul setiap hari, dan tampak setiap hari keluar-masuk rumahnya. Tetapi ada pula yang mengartikan dengan hubungan kekeluargaan, dan ada pula yang mengartikan antara yang muslim dan yang bukan muslim.
Berbuat baik kepada tetangga adalah penting. karena pada hakikatnya tetangga itulah yang menjadi saudara dan famili. Kalau terjadi sesuatu, tetanggalah yang paling dahulu datang memberikan pertolongan, baik siang maupun malam.
Saudara dan sanak famili yang berjauhan tempat tinggalnya, belum tentu dapat diharapkan dengan cepat memberikan pertolongan pada waktu diperlukan, seperti halnya tetangga. Oleh karena itu, hubungan yang baik dengan tetangga harus dijaga, jangan sampai terjadi perselisihan dan pertengkaran, walaupun tetangga itu beragama lain. Nabi Muhammad ﷺ pernah melayat anak tetangganya yang beragama Yahudi.
Ibnu Umar pernah menyembelih seekor kambing, lalu dia berkata kepada pembantunya, "Sudahkah engkau berikan hadiah kepada tetangga kita orang Yahudi itu?" Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
"Malaikat Jibril tidak henti-henti menasihati aku, (agar berbuat baik) kepada tetangga,sehingga aku menyangka bahwa Jibril akan memberikan hak waris kepada tetangga." (Riwayat al-Bukhari dari Ibnu Umar).
Banyak hadis yang menerangkan kewajiban bertetangga secara baik di antaranya:
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berbuat baik kepada tetanggannya" (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Dari Jabir bin Abdullah dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, "Tetangga itu ada tiga macam, tetangga yang mempunyai satu hak saja, dan ia merupakan tetangga yang haknya paling ringan. Ada tetangga yang mempunyai dua hak dan ada tetangga yang mempunyai tiga hak, inilah tetangga yang paling utama haknya. Adapun tetangga yang hanya mempunyai satu hak saja, ialah tetangga musyrik, tidak ada hubungan darah dengan dia, dia mempunyai hak bertetangga. Adapun tetangga yang mempunyai dua hak, ialah tetangga Muslim, baginya ada hak sebagai Muslim dan hak sebagai tetangga. Tetangga yang mempunyai tiga hak ialah tetangga Muslim yang ada hubungan darahnya. Baginya ada hak sebagai tetangga, hak sebagai Muslim dan hak sebagai famili." (Riwayat Abu Bakar al-Bazzar).
"Demi Allah, tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah, tidak beriman." Rasulullah ditanya orang, "siapa ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Ialah orang yang kejahatannya tidak membuat aman tetangganya." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Ya Abu Zar, kalau engkau membuat maraq (sop) banyakkanlah kuahnya, kemudian berilah tetanggamu." (Riwayat Muslim dari Abu dzarr).
Yang dimaksud berbuat baik kepada teman sejawat, ialah teman dalam perjalanan, atau dalam belajar, atau dalam pekerjaan yang dapat diharapkan pertolongannya dan memerlukan pertolongan, sehingga hubungan berkawan dan berteman tetap terpelihara. Setia-kawan adalah lambang ukhuwah Islamiyah, lambang persaudaraan dalam Islam.
Berbuat baik kepada ibnu sabil, ialah menolong orang yang sedang dalam perjalanan bukan untuk tujuan maksiat, atau dalam perantauan yang jauh dari sanak famili dan memerlukan pertolongan, pada saat dia ingin kembali ke negerinya. Termasuk ibnu sabil ialah anak yang diketemukan yang tidak diketahui ibu bapaknya. Orang yang beriman wajib menolong anak tersebut, memeliharanya atau menemukan orang tuanya atau familinya, agar anak itu jangan terlunta-lunta hidupnya yang akibatnya akan menjadi anak yang rusak rohani dan jasmaninya.
Berbuat baik kepada hamba sahaya, ialah dengan jalan memerdekakan budak. Apakah tuannya sendiri yang memerdekakannya atau orang lain dengan membelinya dari tuannya, kemudian dimerdekakannya. Pada zaman sekarang ini tidak terdapat lagi hamba sahaya, sebab perbudakan bertentangan dengan hak asasi manusia. Agama Islam pun tidak menginginkan adanya perbudakan. Karena itu semua hamba sahaya yang ditemui sebelum Islam datang, berangsur-angsur dimerdekakan dari tuannya, sehingga akhirnya habislah perbudakan itu.
Yang dimaksud dengan orang yang sombong dan membanggakan diri dalam ayat ini, ialah orang yang takabur yang dalam gerak-geriknya memperlihatkan kebesaran dirinya, begitu juga dalam pembicaraannya tampak kesombongannya melebihi orang lain, dialah yang tinggi dan mulia, orang lain rendah dan hina. Orang yang sombong dan membanggakan diri tidak disukai Allah. Sebab orang-orang yang seperti itu termasuk manusia yang tak tahu diri, lupa daratan dan akhirnya akan menyesal. Sifat takabur itu adalah hak Allah, bukan hak manusia. Siapa yang mempunyai sifat sombong dan takabur berarti menantang Allah. Biasanya orang yang sombong dan takabur itu kasar budi pekertinya dan busuk hatinya. Dia tidak dapat menunaikan kewajiban dengan baik dan ikhlas, baik kewajiban kepada Allah maupun kewajiban terhadap sesama manusia.
Banyak hadis yang mencela orang-orang yang sombong dan takabur, di antaranya, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat takabur walaupun sedikit." Berkata seorang sabahat, "Seseorang itu ingin memakai pakaian yang bagus dan sandal yang bagus." Berkata Rasulullah saw, "Sesungguhnya Allah itu indah dan senang kepada keindahan. Sifat takabur itu ialah menolak yang benar dan memandang rendah kepada orang lain." (Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi dari Ibnu Mas'ud).
Apakah yang akan disombongkan manusia, padahal semua yang ada padanya adalah kepunyaan Allah yang dititipkan kepadanya buat sementara. Lambat laun semuanya akan diambil Allah kembali, berikut nyawa dan tubuhnya yang kasar dan semuanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah nantinya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat-ayat yang telah lalu tadi mengandung peraturan-peraturan yang wajib dipelihara dan dijalankan di dalam menegakkan rumah tangga, bersuami beristri, termasuk juga peraturan pembagian harta waris jika seseorang meninggal dunia. Sampai juga kepada peraturan tanggung jawab suami dan ketaatan istri dan sikap keluarga luar jika terjadi perselisihan. Semuanya itu peraturan. Islam telah memberikan peraturan yang demikian baik supaya terbentuk suatu masyarakat yang baik atau yang di dalam agama dinamai umat.
Peraturan-peraturan itulah yang kemudian membuka pikiran ulama-ulama Islam buat menentukan hukum mana yang wajib dan mana yang sunnah, mana yang haram dan mana yang makruh, dan mana yang mubah.
Peraturan-peraturan itu pula yang telah menimbulkan ilmu fiqih yang telah demikian luas di dalam Islam sehingga timbullah berbagai madzhab yang terkenal. Tetapi ayat-ayat tentang peraturan ini tidak jugalah membawa selamat bagi membangunkan suatu umat jika dasarnya yang sejati tidak berdiri, yaitu rasa taat ibadah kepada Allah dan rasa ihsan kepada ibu bapak dan kepada sesama manusia, sebab kalau manusia hanya hidup memegang peraturan saja, sedang di dalam hatinya tidak ada dasar dan alas iman, dengan mudah dia akan mencari jalan melepaskan diri dari peraturan-peraturan itu sehingga di dalam agama timbul semacam pokrol-pokrolan, atau yang dinamai orang hilah. Cobalah perhatikan misalnya riwayat tentang dua suami istri yang datang kepada Sayyidina Ali diiringkan oleh serombongan keluarga mereka, sebagaimana yang telah tersebut dahulu itu. Sayyidina Ali hendak menyelesaikan perkara mereka menurut ayat syiqaq (ayat 35 di atas tadi)
Si perempuan tunduk dan berjanji akan mengikuti segala keputusan yang menurut ketentuan Allah, sedang si laki-laki berkata, “Kalau keputusan hakam itu bercerai, saya tidak mau!" Di sini nyata betapa lebih dalamnya rasa takwa dan iman perempuan itu daripada iman suaminya, sehingga Sayyidina Ali terpaksa marah dan mengatakan bahwa dia itu adalah seorang yang mendustakan peraturan Allah, sebelum mau menuruti keputusan itu, dia tidak akan dilepaskan.
Lantaran itu nyatalah bahwa sesudah menerangkan ayat-ayat yang mengandung peraturan, Allah mendatangkan lagi perintah yang lebih mendalam sehingga manusia Muslim menerima segala ketentuan Allah dengan ridha. Kalau hai ini telah dijalankan, tidaklah akan timbul soal-soal yang melanggar peraturan atau hukum yang kaku dari pelanggaran itu.
Ayat 36
“Dan sembahlah olehmu akan Allah."
Hendaklah tegakkan ibadah, hendaklah engkau sadar selalu bahwa engkau ini adalah ‘abdun, yaitu hamba dari Allah dan Dia adalah ma'bud-mu, yaitu tempat menghadapkan sembah. Kalau hal ini telah disadari, kelak dengan sendirinya segala gerak-gerik kehidupan kita telah jelas tujuannya, yaitu mencapai ridha Allah ﷻ Sepintas lalu kita hanya mengenal bahwa yang dikatakan ibadah hanya shaiat, puasa, zakat, dan naik haji. Tetapi kalau kita telah menyadari bahwa kita ini adalah hamba dan Allah yang jadi ma'bud, akan terasalah kelak bahwa ibadah yang tersebut hanyalah sebagian dari ibadah. Dan segala perbuatan yang baik, seumpama berdagarg, bersawah, dan berladang, membelanjai istri dan mendidik anak, sampai pun menjaga kesehatan sendiri, menjadi ibadah semua, Dan ibadah akan kita kerjakan dengan penuh kesadaran karena selaku kita dzikir, yaitu ingat kepada Allah. Dan dzikir itu menimbulkan thuma'ninah yaitu ketenteraman hati, sebagaimana tersebut di dalam surah ar-Ra'd, ayat 38, bahwasanya ingat akan Allah membawa tenteram bagi hati.
Maka kalau orang telah beribadah kepada Allah, dengan sendirinya tidaklah lagi dia akan memakan harta anak yatim, atau memakan harta kamu di antara kamu dengan batil, atau membagikan harta waris dengan curang, atau berlaku zalim kepada istri, atau berlaku nusyuz kepada suami, atau syiqaq yang membawa pecah rumah tangga.
Maka beribadah kepada Allah, hendaklah semata-mata kepada Allah, Esa tujuan. Satu yangdicitakansehinggadijelaskanpada terusan ayat, “Dan jangan kamu persekutukan dengan Dia sesuatu jua pun." Artinya jangan musyrik. Jangan memandang ada sesuatu yang lain dari Allah mempunyai pula sifat-sifat ketuhanan, menolong melepaskan dari kesulitan dan membawa kemanfaatan, lalu yang lain itu disembah dan dibesarkan pula. Padahal tidak sesuatu pun yang selain Allah yang memberi manfaat atau mendatangkan mudharat. Syirik sudahlah pasti mendatangkan mudharat bagi diri dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Syirik memecah belah tujuan jiwa. Zaman ja-hiliyyah orang Arab menyembah berhala, tetapi setelah memeluk agama Islam, ada yang tidak disadari telah mempersekutukan yang lain pula dengan Allah.
Mereka mengadakan tawassul, meminta supaya Tuan Guru menjadi orang perantara buat menyampaikan permohonan mereka kepada Allah, Lebih syirik lagi setelah Tuan Guru itu mati, meminta berkat pula kepada kuburan mereka. Kadang-kadang sebagai di negeri kita ini, Islam telah diterima sebagai agama, tetapi pusaka kepercayaan animisme nenek moyang masih dipegang teguh. Sehingga ada orang yang mengasapi keris pusaka dengan kemenyan dan setanggi tiap-tiap malam Jum'at dan dimandikan keris itu ke sungai pada tiap-tiap hari Arba'a akhir dari bulan Shafar. Karena kata mereka itu, keris itu mengandung tuah atau angker bisa membawa laba keuntungan dan bisa pula membawa marabahaya.
Malahan ada pula syirik yang lebih celaka lagi, yaitu menganggap ada di antara anak kandung sendiri yang membawa untung; sejak dia lahir ke dunia mendapat banyak laba dan kekayaan. Dan ada pula anak yang membawa sial; sejak dia lahir berturut-turut saja kesusahan yang menimpa sehingga perlulah nama anak itu ditukar!
Banyaklah macam syirik yang garis besarnya sudah dapat kita rumuskan, yaitu apabila ada sedikit saja kepercayaan kita bahwa ada sesuatu selain Allah yang mempunyai pula kekuasaan membawa mudharat dan manfaat, memberi keuntungan dan kerugian, mendatangkan rezeki dan kemiskinan sehingga kita puja, sembah, dan hormati dia dengan cara yang tidak masuk akal, syirik itu namanya. (In syaa Allah pada ayat-ayat yang lain akan ada kesempatan lagi untuk kita mengetahui hal syirik itu)
Kadang-kadang mulut sendiri tidaklah mengatakan bahwa dia metnpertuhan yang lain, tetapi dalam kenyataan, yang lain itu memang dipertuhankan. Ketika Adi bin Hatim, seorang pemuka Nasrani masuk Islam, Rasulullah ﷺ menerangkan isi ayat bahwa orang yang keturunan Kitab (Yahudi dan Nasrani) mengambil pendeta mereka jadi tuhan selain Allah. Adi bin Hatim mengatakan bahwa menurut pengalamannya sebagai bekas pemeluk Nasrani, orang Nasrani tidaklah ada yang menuhankan pendetanya. Tetapi Rasulullah bertanya bukankah mereka telah menganggap segala keputusan yang dikeluarkan oleh pendeta, sama kuatnya dengan keputusan Allah sendiri? Salah atau benar wajib ditaati? Adi bin Hatim mengaku, memanglah demikian kenyataannya. “Itu pun syirik!" kata Nabi ﷺ.
Maka untuk dasar kehidupan, menjadi umat Islam yang hidup dan bersemangat, teguhkanlah ibadah kepada Allah yang Satu, dan jangan sekali-kali diperserikatkan yang lain dengan Dia.
Ibadah atau Tauhid menyingkirkan segala sesuatu kemusyrikan atau yang membawa kepada syirik adalah hubungan langsung dengan Allah. Kalau hubungan ini telah disadari, akan ringanlah terasa segala peraturan yang diturunkan Allah, tidak akan ada lagi pokrol-pokrolan atau helah, mencari jalan keluar, yang selalu terjadi dalam masyarakat Islam yang kesadaran hubungannya dengan Allah telah mulai hilang atau samar. Setelah demikian teguh pertalian “ke atas" (ke Allah), lanjutkanlah pertalian yang murni “ke bawah" yaitu kepada sesama manusia, dimulai dari yang paling dekat.
Tibalah lanjutan ayat, “Dan dengan kedua ibu bapak hendaklah berlaku baik." Berlaku hormat dan khidmat, cinta dan kasih. Inilah yang kedua sesudah taat kepada Allah. Sebab dengan perantaraan kedua beliaulah Allah telah memberimu nikmat yang besar, yaitu sempat hidup di dalam dunia ini. Dengan adanya ibu bapak, engkau merasakan bahwa engkau mempunyai urat tunggang dalam kehidupan ini. Allah pun telah menakdirkan dan telah meniupkan rasa kasih sayang di dalam hati kedua ibu bapak, kepada dirimu, sejak matamu terbuka melihat dunia. Apabila engkau telah dianugerahi pula anak oleh Allah, barulah akan engkau ketahui benar betapa kasih ibu bapak kepadamu, jasa mereka tidaklah akan dapat dibayar dengan uang, walaupun berapa banyaknya. Budi tidak dapat diganti dengan harta. Ganti budi hanyalah budi pula. Di kala engkau kecil tenaga mereka telah habis buat memelihara engkau dan mengasuh. Lalat seekor pun diusirnya jika mendekat hendak menggigit kulitmu. Betapa pun nyenyak tidur ibumu tengah malam, terdengar saja engkau menangis hendak menyusu, di saat itu juga dia terbangun. Ayahmu pun pagi-pagi benar sudah bersiap keluar rumah mencari makan. Ada orang makan gaji berpuluh tahun, menahankan derita kepayahan kerja, menahankan hamun maki sang majikan, takut akan berhenti sebab makan minummu amat bergantung kepada usaha dan pekerjaan itu.
Maka betapalah akan terebut hati mereka di hari tua, yang mengasuh anak tidak menerima upah kalau mereka merasakan betapa khidmat anak-anak mereka kepada mereka. Mereka akan merasa bangga dengan adanya engkau, bahkan kadang-kadang memuji nama engkau dan menjunjung engkau apabila mereka duduk bersama teman-temannya adalah kesukaan terakhir di hari tua. Mohonkanlah usia ibu bapakmu panjang supaya mereka merasai khidmatmu kepada mereka. Jika mereka meninggal lebih dahulu, jangan lupa mendoakan moga-moga Allah mengasihi mereka seperti mereka mengasihi-mu di kalamu masih kecil dan agar mereka diampuni dari segala dosa. Kononnya—menurut sabda Nabi ﷺ—doa anak yang saleh adalah laksana “pensiun" yang diterima terus oleh ibu bapak di alam barzakh. (Di dalam surah al-lsraa' diterangkan lagi panjang lebar hubungan anak dengan kedua orang tua)
Kemudian lanjutan ayat lagi,"Dan keluarga karib." Yaitu saudara-saudara seibu sebapak, atau sebapak saja atau seibu saja, saudara dari bapak laki-laki dan perempuan, saudara dari ibu laki-laki dan perempuan dan lain-lain; berbuat baiklah selalu dengan mereka. Mereka itulah yang disebut juga Ulul Arham, berarti kasih bertali sayang. Dengan adanya mereka kita merasa rimbun-rampak hidup di dunia ini. Kasih sayang menimbulkan kode-kode, kehormatan, kekeluargaan, tradisi yang tidak tertulis, kebiasaan yang istimewa kepunyaan satu keluarga besar. Sebab tabiat pindah-memindah, perangai tiru-meniru sehingga masyarakat luar dapat mengetahui budi baik isti-mewa kepunyaan satu keluarga.
Memang, diakui bahwa percobaan dalam hubungan keluarga dekat itu banyak pula, ada saja soal yang akan mengganggu, kadang-kadang soal-soal tetek bengek. Tetapi ajaib sekali! Bila datang suatu bahaya, semuanya turut merasakan. Robek keluarga adalah laksana robek-robek bulu ayam, robek buat bertaut lagi. Sebab itu, terutama di zaman sekarang, zaman urbanisasi orang kampung ber-doyong hidup ke kota, hendaklah orang tua mengenalkan kepada anak-anaknya yang lahir di rantau siapa keluarganya, siapa mamaknya, pamannya, andungnya, dan uncunya, sehingga sampai turun-temurun silaturahim tidak putus. Jangan sampai terlepas kehidupan itu dari ikatan Islam, yaitu pertautan keluarga. Jangan dipengaruhi oleh hidup zaman modern yang nafsi-nafsi sehingga ada yang merasa takut didatangi keluarga.
“Dan anak-anak yatim dan orang-orang miskin." Di ayat-ayat yang telah lalu sudah banyak dibicarakan yang khusus anak yatim, jangan sampai harta bendanya termakan. Sekarang diperingatkan lagi bahwa anak-anak yatim itu adalah beban bagi keluarganya yang dekat. Terutama jika ibu si yatim itu bersuami lagi, hendaklah suami ibunya itu memandangnya sebagai anak sendiri. Bukankah di dalam ayat-ayat menentukan mahram sudah dikatakan bahwa anak tiri atau anak tepatan itu haram pula dinikahi jika dia perempuan sebab dia sudah laksana anak sendiri? Keluarga dari si mati, saudaranya, atau yang lain, berkewajiban membela anak itu sampai dia dewasa. Terutama pendidikannya. Jangan sampai dia menjadi anak luntang-lantung karena tak ada lagi ayahnya yang menjaga. Terutama kalau dia miskin, harta pusaka ayahnya tidak banyak. Pendeknya, jika dia telah dewasa kelak jangan sampai dia merasa jiwa kecil sebab tidak ada ayah. Bahkan banyak kali terjadi anak-anak yatim menjadi orang berjiwa besar menghadapi hidup karena kebangkitan semangatnya. Pelopor anak yatim yang paling besar selama dunia ini terkembang ialah Nabi Muhammad ﷺ.
Orang miskin pun demikian pula. Tunjukkanlah kasih sayang kepada mereka, ingatlah bahwa dalam harta benda kita ada pula hak mereka. Lebih-lebih orang-orang miskin yang tahu harga diri, yang tidak mau mem-perlihatkan kemiskinannya kepada orang lain. Ini harus mendapat perhatian istimewa dari Muslim yang mampu.
“Dan tetangga dekat dan tetangga jauh." Hubungan yang baik dengan tetangga atau jiran adalah hal yang mempertinggi budi dan memperluas pergaulan. Inilah yang kadang-kadang kita namai rukun tetangga. Malahan di dalam hadits yang shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Syuraih Khuzaa'i bahwa Nabi ﷺ bersabda,
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat, maka hendaklah dia memuliakan tetangganya." (HR Bukhari dan Muslim)
Di ayat ini disebut tetangga dekat dan tetangga jauh, namun keduanya tetangga dan keduanya hendaklah sama-sama dihormati. Tetangga dekat kata setengah ahli tafsir ialah tetangga yang seagama, tetangga jauh ialah tetangga yang berlainan agama. Disebut sekali keduanya, supaya sama dihormati menurut taraf kelayakannya. Ziarah-menziarahi dalam suasana kegembiraan, lawat-melawat ketika ada yang sakit, jenguk-menjenguk ketika ada kematian.
Apabila seorang Muslim Mukmin bertetangga dengan orang yang berlainan agama, si Muslim wajib terlebih dahulu memperlihatkan ketentuan agama ini di dalam hidupnya. Bukan hanya satu siasat mengambil muka, tetapi didorong oleh perintah agama, menentukan hukum dosa dan pahala, haram dan wajib.
Rasulullah ﷺ bertetangga dengan orang Yahudi di Madinah. Apa saja hal-hal yang terjadi dalam suasana bertetangga, Rasulullah menunjukkan kemuliaan budi beliau. Di dalam sebuah hadits shahih riwayat Bukhari dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah pernah menyembelih seekor kambing. Baru saja selesai menguliti, dia sudah menyuruh khadam beliau menghantar dagingnya ke rumah tetangga Yahudinya itu. Kemudian beliau tanyakan sampai dua tiga kali, “Sudahkah engkau antarkan daging itu ke rumah tetangga kita Yahudi itu?"
“Dan sahabat di samping." Ada ahli tafsir mengartikannya istri sendiri, sebab dialah sahabat di samping kita siang dan malam, tetapi ahli tafsir lain mengatakan ini bukan buat istri meskipun memang dia hidup di samping kita. Sebab ayat terkhusus tentang pergaulan dengan istri sudah ada. Ash-Shaahib (sahabat) Bil janbi (di samping, di dekat diri) Sebab itu kita condong kepada arti dari penafsir yang lain, yaitu teman sejawat atau sahabat karib. Bukankah di samping anak dan istri kita, kaum keluarga kita yang jauh ataupun dekat, kita pun mempunyai sahabat atau teman karib, yang kadang-kadang dapat tempat menumpahkan rahasia hati kita. Teman seperjuangan, sahabat sehaluan, kawan yang sama mata kehidupan, atau yang di zaman sekarang kita namai relasi (re/ot/on)? Bukankah teman sahabat di samping kita ini amat penting kedudukannya dalam pergaulan hidup kita sehari-hari? Maka ayat ini mengkhususkan perhatian kita kepada sahabat di samping itu supaya persahabatan jangan diperkendur. Sehingga ada pula hadits shahih dari Nabi Muhammad ﷺ bahwa beliau sangat memujikan jika seorang anak menyambung kembali persahabatan ayahnya yang telah wafat dengan anak-anak sahabat ayah itu. Artinya anak sama anak. Di dalam kitab-kitab tasawuf banyak dibicarakan tentang syarat-syarat memelihara persaudaraan dan persahabatan. Khusus oleh Imam Ghazali di dalam Ihya.
“Dan anak jalan." Disebut Ibnu Sabii. Umum ahli tafsir memberinya tafsir orang yang sedang musafir untuk maksud-maksud yang baik, menambah pengalaman dan ilmu, atau mahasiswa yang meninggalkan kampung halaman, menuntut ilmu ke kota dan negeri lain.
Kita sudah mengetahui amat banyak ayat dalam Al-Qur'an menganjurkan supaya seorang Muslim keluar dari kampung halamannya, mengembara di atas bumi, menambah pemandangan dan penglihatan, melihat kemajuan negeri orang yang patut ditiru, dan yang buruk yang akan dijauhi, dan perbandingan dalam sejarah. Maka ayat ini memberi perhatian yang khusus kepada mereka, bahkan mereka pun berhak menerima bagian dari zakat. Dalam anak perjalanan ini dimasukkan juga tamu yang datang dengan tiba-tiba. Sehingga menjadi sambungan daripada hadits shahih Bukhari dan Muslim tadi yaitu, sabda Nabi ﷺ,
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah dia memuliakan tamunya." (HR Bukhari dan Muslim)
Lantaran itu, dengan berpedoman kepada ayat ini, tidaklah akan telantar—in syaa Allah— seorang musafir menuntut ilmu, menambah pengalaman, memperbanyak sahabat, jika mereka memulai perjalanan misalnya dari Irian Barat, melalui Flores, Sumbawa, Lombok, Bali,
Madura, Jawa, Sumatera sampai ke Malaysia sampai ke Siam, dan terus berlarat-larat melalui India, Pakistan, Bashrah, Mekah dan Madinah sampai ke Mesir, Tunisia, Maroko, dan Aljazair. Dengan hanya memakai satu bekal, yaitu “Assalamu'alaikum" belanja dalam perjalanan, makan dan minum, pakaian ala kadarnya, niscaya akan diterimanya pada tiap negeri yang disinggahinya, asal ditunjukkannya bahwa dia orang Islam. Di dalam tiap-tiap saku baju yang Mukmin ada sedia semua perbekalan untuk melanjutkan perjalanannya.
Di dalam tafsir-tafsir lama tidaklah orang sampai menafsirkan kata Ibnu Sabil itu kepada anak-anak bergelandangan di tepi jalan, yang disebut oleh orang Belanda Kwayongen anak-anak yang terpelanting diempaskan gelombang masyarakat, tidak tentu siapa bapaknya ataupun siapa ibunya. Anak zina, korban dari hidup modern.
Memang tidak ada Ibnu Sabil diartikan demikian di dalam tafsir-tafsir lama, yang berpuluh-puluh banyaknya, tetapi mulai diper-katakan oleh penafsir-penafsir zaman terakhir karena kehidupan yang demikian pun meskipun belum merata di negeri-negeri Islam, tetapi sudah mulai ada.
Saya lihat Sayyid Rasyid Ridha di dalam Tafsir al-Manar telah mulai menyinggung hal itu. Menprut beliau anak-anak yang malang itu pun termasuk di dalam Ibnu Sabil. Rupanya beliau mengartikan ibnu (anak) dan sabil (jalan) jauh lebih mendekati maksud kedua kalimat itu daripada jika diartikan musafir atau anak dalam perjalanan maka beliau pujikanlah bagaimana kegiatan negeri-negeri besar di Eropa dan Amerika mendirikan rumah-rumah pemeliharaan anak-anak yang demikian sehingga jangan sampai mereka menjadi manusia malang yang terlunta-lunta selama hidup. Beliau pujikan pula betapa orang-orang Barat pemeluk Kristen telah berusaha menjalankan perintah agama mereka. Dan kita orang islam jangan mencap saja bahwa seluruh orang Barat tidak menjalankan agama mereka.
Kita sebagai orang Islam, jika kembali kepada pokok asli ajaran agama, sudah mengetahui bahwa anak-anak itu tidaklah berdosa. Yang berdosa ialah orang tua mereka. Patutlah kita meniru badan-badan sosial agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan yang mengadakan usaha memelihara dan mendidik mereka dan kadang-kadang juga menyerahkan mereka kepada suami istri yang mandul atau beranak banyak, tetapi berhati rahim, lalu me-melihara pula anak itu.
“Dan orang-orang yang dimiliki oleh tangan kanan kamu." Yaitu budak, hamba sahaya. Cita-cita yang tertinggi ialah agar mereka dimerdekakan. Dan diberi dia kesempatan menebus kemerdekaannya sehingga ada bagian zakat untuk penebusan itu yang dinamai Wafir Riqabi. Kalau belum sanggup memerdekakan mereka, berlakulah pada mereka dengan baik, jangan sampai jiwa mereka tertekan. Dira-wikan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi dari hadits Abu Dzar bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
“Mereka adalah tolanmu dan saudaramu, yang telah ditakdirkan Allah mereka di bawah tanganmu. Maka barangsiapa saudara-saudaranya di bawah tangannya, beri makanlah mereka dengan apa yang biasa kamu makan, dan beri pakaian dengan apa yang biasa kamu pakai, dan jangan diberati mereka dengan pekerjaan yang berat bagi mereka, kalau kamu memberati mereka dengan sesuatu pekerjaan, maka tolonglah mereka." (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi)
Bahkan sampai telah dekat ajalnya, budak-budak ini juga yang jadi wasiat beliau yang penghabisan. Menurut riwayat Imam Ahmad dan al-Baihaqi,
“Adalah wasiat umum dan Rasulullah ﷺ ketika dekat wafat ialah, ‘Shalat dan hamba sahaya kamu!'" (HR Imam Ahmad dan al-Baihaqi)
Syukurlah hamba sahaya tidak ada lagi sekarang. Tetapi dalam susunan masyarakat zaman kini, kita pun mempunyai pembantu-pembantu rumah tangga, bujang, kacung, koki, babu, khadam, pelayan. Dalam hal ini pun Rasulullah ﷺ memesankannya pula. Sahabat beliau Anas bin Malik delapan tahun bekerja menjadi khadam beliau. Sahabat Anas berkata, “Delapan tahun aku melayani beliau, tidak pernah beliau bercakap yang menyinggung perasaan. Beliau tidak pernah mengatakan, ‘Hai khadamku, hai babuku!' Beliau hanya berkata, ‘Wahai orang muda, wahai gadis (Fataa-ya dan Fataa-ti)'“
Di dalam penutup ayat, Allah berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidaklah suka kepada orang yang keadaannya sombong sikap, dan sombong kata."
Sombong sikap, sombong lagak, laksana cerita Rancak di Labuah. “Bumi serasa dilangkahi, langit serasa dipersunting, awak berasa tinggi benar, hina dan mulia tak dikenal, tua dan muda tak disapa." Itulah gambaran orang yang sedang sombong sikap hidup. Lalu diiringi lagi oleh cakap yang sombong, perkataan yang selalu meninggi, memandang rendah orang lain, seakan-akan diri tidak ada tandingan. Kesombongan karena jiwa yang “tidak tahu diri".
Menurut satu riwayat yang dirawikan oleh ath-Thabrani dan Ibnu Mardawaihi, dari sahabat Rasulullah ﷺ lalu beliau baca ayat ini, kemudian beliau terangkan tentang kejahatan takabur dan bagaimana besar dosanya. Mendengar itu aku pun menangis. Bertanyalah Rasulullah kepadaku, “Mengapa engkau menangis?" Tsabit menjawab, “Ya Rasulullah! Aku ini suka sekali keelokan sehingga aku senang sekali kalau ikatan terompaku pun indah." Berkata Rasulullah ﷺ, “Kalau demikian, engkau menjadi penghuni surga. Sebab takabur itu bukan karena indah kendaraanmu atau langkah kakimu, tetapi takabur ialah membantah kebenaran dan memandang rendah orang lain."
Ada dua tiga hadits yang sama arti dan maksudnya dengan itu. Mukhtaai. melagak, menyombong, merasa seakan-akan dunia ini dia yang punya. Itulah takabur pada sikap. Ulama-ulama mengecualikan sikap langkah yang tegap dan gagah itu hanya ketika mengadakan latihan perang ataupun setelah berhadapan dengan musuh di medan perang. Sebab itu jika tentara berbaris tegap janganlah dikatakan sombong.
Ada pula sebuah hadits, Nabi ﷺ memberi izin berlagak sebagai orang takabur jika berhadapan dengan orang yang memang sikapnya takabur dan sombong. Beliau katakan,
“Takabur kepada orang yang takabur itu adalah sebagai sedekah. “
Artinya ialah jika orang takabur menghadapi engkau, janganlah engkau merendah merunduk kepadanya. Sayyid Abdulqadir Jailani yang masyhur itu, ketika Wazir Besar atau Khalifah datang menziarahinya dengan sikap angkuh karena jabatan, mungkin segera beliau keluar dan ketika menghidangi orang itu makan, beliau sendiri yang melayaninya, bahkan beliau duduk bersila di hadapannya.
Fakhur. Bercakap tinggi, membanggakan diri, menyebut bahwa dia paling pintar atau gagah berani, atau si anu telah pernah dibantunya. Atau membanggakan keturunan, nenek moyang, kabilah, dan suku. Orang jahiliyyah selalu membanggakan karena dia adalah ujung dari kebesaran orang dahulu, tetapi tidak sanggup membanggakan bahwa pangkal dari kebesaran yang akan disambut oleh anak cucu.
Ayat 37
“(Yaitu) orang-orang yang bakhil dan menyuruh manusia agar bakhil pula."
Ini adalah manusia-manusia yang telah mulai keluar dari garis Allah. Penyakitnya yang pertama ialah bakhil. Ini pun sudah mulai suatu bayangan dari syirik. Dia telah mencintai harta lebih daripada mencintai Allah yang mengaruniakan harta. Orang yang begini hendak mengambil sebanyak-banyaknya dari masyarakat, tetapi memberi sangat sedikit. Kebakhi-lannya itu dianjurkan pula kepada orang lain. Dia memujikan kesalahan dirinya, bahwa begitulah yang benar. “Dan menyembunyikan apa yang telah diberikan Allah kepada mereka dari kurnia-Nya."
Apa yang telah masuk ke pundi-pundinya jangan diharap keluar lagi. Nanti barang itu akan keluar juga setelah dia mati untuk dibagi centang perenang oleh orang lain. Mereka menjadi bakhil karena cinta mereka telah tertumpah kepada harta itu saja. Kepada Allah yang mengaruniakan harta, mereka tidak cinta lagi. Kepada ibu bapak, keluarga, tetangga dekat dan jauh, anak yatim dan orang miskin, mereka pun tidak cinta lagi. Kalau mereka bersahabat di samping seperti yang dikatakan di ayat tadi, hanyalah kalau sahabat itu akan mendatangkan keuntungan dan harta kepada mereka. Bakhil mereka ini telah mendekati kepada pintu gerbang kufur, amat berbahaya.
Menyembunyikan apa yang telah diberikan Allah daripada kurnia-Nya, bukan saja bakhil tidak mau mengeluarkan harta, malahan lebih luas dari: Misalnya seorang yang telah mempunyai pengetahuan yang luas dan dalam hal agama, tinggal di dalam satu desa atau negeri yang penduduknya tidak mengerti agama, tetapi si Alim tidak mau memberi ajaran kepada mereka itu. Ini pun bakhil namanya!
Atau seorang dokter yang telah mendapat telepon tengah malam bahwa ada orang sakit payah sangat mengharapkan pertolongannya, padahal halangannya hanyalah karena dia mengantuk sehingga dia tidak mau datang, lalu orang itu meninggal. Ini pun bakhil!
Atau perumpamaan-perumpamaan yang lain tentang keahlian, kurnia Allah kepada seseorang, lalu didiamkan saja, padahal keahliannya itu amat diperlukan oleh masyarakat. Itu pun bakhil!
Apabila iman telah mendalam, didorong-lah orang yang hati sanubarinya sendiri buat mendarmabaktikan kurnia Allah yang ada padanya bagi kepentingan ummat. Kalau tidak, kemurkaan Allah-lah yang akan diterimanya. Sebab itu sambungan ayat pun tegas,
“Dan telah Kami sediakan untuk orang-orang yang kafir itu adzab yang menghina. “
Setelah ahli tafsir mengatakan bahwa yang dituju dalam mencela kebakhilan ini ialah orang Yahudi, Syekh Mohammad Abduh jadi heran, mengapa setengah ahli tafsir membawanya kepada orang Yahudi saja, padahal dia adalah sambungan dari ayat sebelumnya, menyuruh orang Islam beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada ibu bapak dan segala yang patut dibuat baik kepadanya, sampai pun dikuatkan oleh hadits berbuat baik kepada tetangga jauh meskipun berlainan agama, dan mencela orang yang angkuh dan sombong, tiba-tiba ujungnya menjadi kepada orang Yahudi saja? Mengapa seruan yang baik-baik dikatakan buat kita dan yang buruk di-lemparkan ke Yahudi?
Lantaran itu beliau—Mohammad Abduh— tidak mau pemisahan ayat ini dengan yang sebelumnya sebab dia bertali. Sebagai lawan dari ibadah dan ihsan ialah sombong dan angkuh. Sombong dan angkuh mengandung juga perangai busuk yang lain, yaitu bakhil. Bakhil dengan harta atau bakhil dengan ilmu. Orang sombong memang bakhil dan orang bakhil memang sombong. Mereka membentengi dirinya dengan dirinya sendiri. Mereka puji keburukan perangai mereka di hadapan orang lain dan dianjurkan mereka pula agar orang lain meniru mereka. Ini jangan hendaknya bertemu pada orang yang mengaku dirinya Muslim. Pendeknya bakhil adalah perangai kufur dan untuk orang yang kufur adalah adzab yang menghina. Kadang-kadang di kala matinya, yang akan datang menguruskan jenazahnya hanyalah orang-orang yang terpaksa karena menjaga jangan bangkainya busuk saja sebab tidak ada yang akan diingat orang dari dirinya dalam masyarakat. Itu sudah penghinaan yang pertama dan penghinaan yang lebih besar adalah adzab akhirat.
Selain dari kejahatan bakhil, baik bakhil harta, bakhil budi, maupun bakhil pada ilmu, menyembunyikan nikmat Allah, ialah beramal karena riya!
Ayat 38
“Dan orang-otang yang membelanjakan harta benda mereka karena ingin dilihat orang,"
Inilah yang dinamai riya. Ini pun sudah musyrik lagi. Kalau bakhil ialah mempersekutukan Allah dengan harta itu sendiri, riya ialah mempersatukan manusia dengan Allah. Dia mengeluarkan harta bukan karena ingat bahwa harta itu pinjaman Allah kepadanya, nikmat yang wajib disyukurinya, melainkan karena ingin akan dipuji-puji orang supaya dikatakan dia dermawan. Kalau puji tidak datang, dia tidak akan mengeluarkan harta. Termasuk juga dalam riya yang hangat yaitu memberikan harta hendak di atas atau hendak mengatur agar orang lain tunduk kepadanya, agar namanya terpampang di atas sekali. Kalau kehendaknya tidak diturutkan, dia pun surut laksana labi-labi tempo buat mengangkat-angkat dia dan menanainya laksana menanai minyak penuh, pantang terlenggang, pantang tersinggung.
“Dan tidak mereka percaya kepada Allah dan tidak kepada hari yang akhir."
Meskipun mungkin hal itu tidak mereka katakan dengan mulut, tetapi tampak dalam perbuatan dan sikap. Mereka tidak percaya bahwa walaupun harta yang diberikannya tidak dipuji oleh manusia atau puji manusia itu tidak memuaskannya, namun dia tercatat di sisi Allah, dan di akhirat akan mendapat ganjaran dan pahala. Yang itu mereka tidak percaya. Sebab itu kalau mengeluarkan harta itu akan disanjung-sanjung orang dan akan disiarkan dalam surat-surat kabar, dia tidak berkeberatan mengeluarkan walau berjuta-juta. Kalau hanya karena Allah atau karena ikhlas dan pahala di akhirat, mereka tidak mau mengeluarkan dan kalau akan mereka keluarkan juga hanya sedikit sekali, menyakitkan hati. Setanlah yang selalu membisik-kannya sehingga sikap hidupnya demikian. Sebab itu, ujung ayat berkata,
“Dan barangsiapa yang setan menjadi temannya, maka itulah yang sejahat-jahat teman."
Mungkin setan yang menjadi temannya itu setan halus, mungkin juga setan kasar sehingga dia menjadi orang yang “balik belahan" hatinya jauh dari Allah, tidak peduli hidup atau mati, yang dicarinya hanya fulus dan puji sebanyak-banyaknya.
Sebab itu seharusnyalah orang laki-laki mencari teman, terutama kalau harta sudah mulai banyak. Sebab harta itu pun membawa cobaan yang banyak. Inilah suatu peringatan yang penting dalam kegunaan shalat jamaah tiap waktu. Kalau sudah kaya biasanya orang sudah lalai berjamaah ke langgar, atau surau, atau masjid sebab di sana memang banyak orang yang miskin. Lalu mencari teman yang sama-sama mau menghabiskan harta kepad nya yang tidak berfaedah. Teman-teman yang demikian itu pun setan yang nyata. Sebab teman amat besar pengaruhnya di dalam menentukan arah hidup.
Ayat 39
“Dan akan bagaimanalah atas mereka, jika mereka percaya kepada Allah dan hari yang akhir dan mereka belanjakan dari apa-apa yang telah diberi nezeki oleh Allah kepada mereka? Dan Allah adalah Mahatahu akan mereka."
Suatu pertanyaan dari Allah yang mengandung penjelasan. Dapat diartikan, apalah salahnya, apalah ruginya jika mereka beriman betul-betul, beribadah dan berihsan, tidaklah mereka akan rugi, bahkan beruntunglah mereka dunia dan akhirat. Orang yang riya kerap kali mengejar keuntungan cari nama dengan terburu-buru. Tetapi kalau umat telah tahu harga diri, tidak akan lama mereka itu dihargai orang.
Apa salahnya jika mereka insaf dan mengeluarkan harta dengan hati yang ikhlas dan iman, mengharapkan ridha Allah dan pahala akhirat. Dadanya sendiri kian lama kian merasa lapang dan dia pun akan merasai kasih cinta manusia, yang tidak didapatnya selama ini, baik dari harta itu atau dan manusia yang lain. Kalau dia riya, lama-lama dia akan merasakan sendiri bahwa dia hanya didatangi orang ketika sangat perlu saja, sambil memuji-muji dan mengangkat-angkat. Di belakang dia diperbisikkan orang, “Angkat-angkat dia, uangnya keluar!"
Alangkah baiknya demikian ini tanya se-salan Allah di ayat ini jika orang-orang yang riya mengubah pendirian dan mengoreksi kesalahannya. Lalu dia beriman betul-betul kepada Allah dan berbuat ihsan kepada sesama manusia. Dia telah mendapat rezeki yang besar, yaitu harta dan kemegahan. Alangkah baiknya jika keduanya itu dijadikan jembatan buat mendekatkan diri kepada Allah dan berkhidmat dalam masyarakat. Karena mujur dan malang tidak akan cerai dari badan. Akan datang suatu masa yang harta itu tidak akan dapat menolong. Yang dapat menolong di waktu itu hanya iman dan kasih cinta sesama manusia.
Saya teringat seorang yang kaya raya, terkenal nama dan kekayaannya dan megahlah hidupnya. Tiba-tiba dia ditimpa sakit yang berat. Dia terpaksa terbenam di rumah sakit berbulan-bulan untuk berobat. Mobilnya yang mahal tidak dapat dipakainya, rumahnya yang indah tidak dapat didiami, bertemu dengan istri dan keluarga hanya waktu dokter mengizinkan melawat (besuk) Makanan diatur, padahal selama ini bebas. Penyakit belum tentu akan sembuh, pulang ke rumah tidak boleh. Siapakah yang dapat menolongnya di waktu itu dan apakah obat hati yang murung karena terpencil, selain dari iman dan cinta kasih? Dia pernah mengatakan, “Kekayaanku sekarang hanya iman!"
Apatah lagi kalau kekayaan tiba-tiba punah, laksana Paul Kruger, jutawan korek api yang terkenal di Sweden. Sedang di puncak tiba-tiba hancur kekayaan itu, datang kerugian dan bangkrut. Apatah lagi pertahanan batin, kalau selama ini pertahanan hanya harta itu saja? Kepada Allah tidak percaya atau tidak berkenalan? Jalan ke akhirat tidak pernah diterangi? Dalam saat inilah orang kerap kali silap, lalu membunuh diri. Paul Kruger yang kaya raya menembak dirinya sendiri.
Padahal kalau orang ada beriman, dan telah pernah menanamkan cinta kasih dan ihsan dengan sesama manusia, sisa hidupnya tidaklah akan kecewa, sebab modalnya yang asli tidak habis.
Teringat pula saya seorang jutawan terkenal di Jakarta, pernah namanya membubung naik, dikenal di dunia dagarg. Tetapi karena kegedangan bergelar, nama perusahaannya terpaksa dijalankan orang lain dan dia jatuh. Sebab namanya sendiri telah menjadi nama perusahaan setelah perusahaan dipegang orang lain. Yang dirinya sendiri biasanya sudah turut hilang. Tetapi dia tidak hilang. Dia susuk kembali mulai dari bawah, dibukanya sebuah lepau nasi: Restoran!
Sejak dia membuka restoran, dia kelihatan tenang, mukanya berseri. Diaturnya restoran itu sehingga di waktu Maghrib selesai. Malam hari dia pergi beribadah, shalat, mengaji, tahajud. Pernah dia mengatakan bahwa nikmat rasa kehidupan lebih dirasainya sekarang karena dia merasa lebih dekat kepada Allah. Dia mengatakan bahwa baik dahulu ketika kekayaannya membubung naik atau sekarang ketika dia memulai kembali dari bawah, sekali-kali dia tidak merasa canggung sebab dia berpegang kepada ajaran agama. Yaitu sesudah beriman kepada Allah hendaklah beramal artinya bekerja. Pekerjaan itu hendaklah yang saleh dan baik. Jatuh pekerjaan yang lama, mulai lagi pekerjaan yang baru. Islam melarang keras pengangguran. Dia senang dengan pendiriannya dan dia tidak merasa jiwa-kecil karena perubahan.
Orang-orang yang saya ceritakan ini sudah sama-sama meninggal dunia. Mereka telah meninggalkan pengajaran yang baik buat orang yang hidup. Mereka meninggal dengan baik tidak karena membunuh diri.
Demikianlah isi pertanyaan Allah yang terkandung di dalam ayat ini. Apalah salahnya jika orang-orang yang diberi Allah nikmat dan kurnia serta rezeki yang berlimpah-limpah, jika mereka tetap memupuk iman kepada Allah dan hari Akhirat, jangan berteman dengan setan-setan, padahal mereka sendiri jugalah yang akan merasai ketenteraman di dalam jiwa mereka sendiri, sebab harta benda dunia tidak mengikatkan mereka ke dunia dan insaf bahwa yang akan dibawa menghadap Allah, lain tidak hanyalah iman dan amal saleh juga.
Sebab itu kembalilah ke ayat 36 tadi, beribadahlah kepada Allah, janganlah yang lain dipersekutukan dengan Dia, berbuat ihsanlah kepada ibu bapak, keluarga, anak yatim, fakir miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, musafir dan tetamu, dan ketahuilah ada kekayaan yang lebih dari segala kekayaan, yaitu rasa diri yang dekat kepada Allah dan cinta kasih sesama manusia. Itulah yang tidak lekang di panas dan tidak lapuk di hujan. Keten-teraman jiwa yang timbul lantaran dipupuk oleh tauhid dan ihsan menyebabkan tidak ada rasa keberatan dan tidak ada pokrol-pokrolan terhadap sekalian hukum agama.