Ayat
Terjemahan Per Kata
ثُمَّ
kemudian
أَفِيضُواْ
bertolaklah kamu
مِنۡ
dari
حَيۡثُ
tempat
أَفَاضَ
telah bertolak
ٱلنَّاسُ
manusia/orang-orang
وَٱسۡتَغۡفِرُواْ
dan mohonlah ampun
ٱللَّهَۚ
Allah
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
ثُمَّ
kemudian
أَفِيضُواْ
bertolaklah kamu
مِنۡ
dari
حَيۡثُ
tempat
أَفَاضَ
telah bertolak
ٱلنَّاسُ
manusia/orang-orang
وَٱسۡتَغۡفِرُواْ
dan mohonlah ampun
ٱللَّهَۚ
Allah
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
Terjemahan
Kemudian, bertolaklah kamu dari tempat orang-orang bertolak (Arafah) dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tafsir
(Kemudian bertolaklah kamu) hai orang-orang Quraisy (dari tempat bertolaknya manusia) maksudnya dari Arafah dengan jalan wukuf bersama mereka. Sebelum itu biasanya mereka wukuf di Muzdalifah karena merasa enggan wukuf bersama-sama dengan orang lain. 'Tsumma' atau 'kemudian' menunjukkan urutan (dan mohonlah ampun kepada Allah) terhadap dosa-dosamu. (Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) terhadap orang-orang beriman.
Kemudian bertolaklah kalian dari tempat berlolaknya orang-orang banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Lafal summa dalam ayat ini untuk meng-ataf-kan suatu khabar kepada khabar yang lain dan menunjukkan pengertian urutannya. Seakan-akan Allah memerintahkan kepada orang yang wakaf di Arafah agar bertolak menuju Muzdalifah untuk berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala di Masy'aril Haram. Allah memerintahkan kepadanya agar wuquf bersama orang-orang banyak di Arafah, seperti yang telah dilakukan oleh mayoritas orang-orang di masa silam, kecuali orang-orang Quraisy; orang-orang Quraisy tidak mau keluar dari batasan Tanah Suci.
Mereka melakukan wuqufnya di perbatasan Kota Suci yang berdekatan dengan Tanah Halal, lalu mereka mengatakan, "Kami adalah orang-orang kepercayaan Allah di negeri-Nya dan pengurus aimah-Nya." Imam Al-Bukhari meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa dahulu orang-orang Quraisy dan orang-orang yang mengikuti mereka berwuquf di Muzdalifah, lalu mereka menamakannya Al-Hams, sedangkan orang-orang Arab lainnya berwuquf di Arafah.
Ketika Islam datang, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya agar datang ke Arafah, kemudian melakukan wuquf padanya, lalu bertolak darinya. Yang demikian itu disebutkan di dalam firman-Nya: dari bertolaknya orang-orang. (Al-Baqarah: 199) Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, ‘Atha’, Qatadah, As-Suddi, dan lain-lainnya, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir dan mengatakannya sebagai suatu kesepakatan. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Mujahid, dari Muhammad ibnu Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya yang menceritakan, "Aku pernah kehilangan seekor unta milikku di Arafah, maka aku berangkat mencarinya.
Tiba-tiba aku menjumpai Nabi ﷺ sedang wuquf. Maka aku berkata (kepada diriku sendiri), 'Sesungguhnya hal ini termasuk Hams, apakah gerangan yang sedang dilakukannya di sini?'." Riwayat ini diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya masing-masing. Kemudian Imam Al-Bukhari meriwayatkannya pula dari hadits Musa Ibnu Uqbah, dari Kuraib, dari Ibnu Abbas yang kesimpulannya menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan istilah ifadah (bertolak) dalam ayat ini ialah bertolak dari Muzdalifah menuju Mina untuk melempar jumrah. Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Adh-Dhahhak ibnu Muzahim saja, yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang dalam ayat ini adalah Nabi Ibrahim a.s., juga menurut salah satu riwayat lainnya yang ada pada Imam (Ibnu Jarir).
Ibnu Jarir mengatakan, "Seandainya tidak ada kesepakatan hujah yang memberikan pengertian sebaliknya, niscaya riwayat ini lebih kuat." Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 199) Allah subhanahu wa ta’ala sering memerintahkan berzikir sesudah menunaikan ibadah. Karena itulah maka di dalam sebuah hadits shahih dalam kitab Shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ apabila selesai dari shalat selalu membaca istigfar sebanyak tiga kali. Di dalam kitab Shahihain disebutkan bahwa Nabi ﷺ menganjurkan membaca tasbih, tahmid, dan takbir sebanyak tiga puluh tiga kali (masing-masing). Dalam bab ini Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadits Ibnu Abbas ibnu Mirdas As-Sulami tentang pemiohonan ampun Nabi ﷺ buat umatnya pada sore hari Arafah. Kami telah menghimpunnya di dalam sebuah kitab mengenai keutamaan hari Arafah. Ibnu Mardawaih dalam bab ini meriwayatkan sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari, dari Syaddad ibnu Aus yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Penghulu istigfar ialah bacaan seorang hamba akan doa berikut: "Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau, Engkaulah yang menciptakan diriku, dan aku adalah hamba-Mu, dan aku berada di bawah perintah-Mu dan janji-Mu menurut kemampuanku.
Aku berlindung kepada-Mu dari kejahalan apa yang telah kuperbuat, aku kembali kepada-Mu dengan semua nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku, dan aku kembali kepada-Mu dengan semua dosaku. Maka ampunilah daku, karena sesungguhnya tiada seorang pun yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali hanya Engkau." Barang siapa yang membacanya di suatu malam, lalu di malam itu juga ia meninggal dunia, niscaya ia masuk surga.
Dan barang siapa yang membacanya di siang hari, lalu ia meninggal dunia. niscaya masuk surga. Di dalam kitab Shahihain disebutkan sebuah hadits dari Abdullah ibnu Umar, bahwa Abu Bakar pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku suatu doa yang akan kubacakan dalam salatku." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ": Katakanlah, "Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dengan perbuatan aniaya yang banyak sekali, sedangkan tiada seorang pun yang dapat memberikan ampunan kecuali Engkau; maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu dan belas kasihanilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." Hadits-hadits mengenai istigfar cukup banyak, dan yang disebutkan di sini hanya sebagian kecil saja."
Kemudian bertolaklah kamu dari tempat orang banyak bertolak, yakni dari Arafah setelah wukuf menuju Masyarilharam, Muzdalifah, Mina, dan Mekah, dan mohonlah ampunan kepada Allah di tempat-tempat tersebut dari semua dosa yang pernah dilakukan. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang kepada orang yang tobat dan memohon ampun. Orang Arab Jahiliah ketika menunaikan ibadah haji merasa tidak perlu mengikuti cara-cara orang banyak berwukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah, dan melempar jamrah, padahal semuanya berasal dari manasik haji yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim. Mereka meyakini bahwa tidak keluar dari Mekah merupakan penghormatan terhadap Kakbah dan tanah haram. Al-Qur'an meluruskan hal ini, menegaskan bahwa tidak ada perbedaan dalam tata cara ibadah antara satu golongan dengan golongan yang lain. Prinsip ibadah adalah menaati perintah Allah dan mengikuti aturan-Nya dengan ikhlas. Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji seperti tawaf, sai, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah, melempar jamrah, tahalul, dan tawaf wada', maka berzikirlah kepada Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyang kamu dalam tradisi Jahiliah dengan khidmat, khusyuk, dan takzim; bahkan berzikirlah kepada Allah dengan lebih takzim dari itu. Maka di antara manusia ada yang berdoa, Ya Tuhan kami! Berilah kami kebaikan di dunia, seperti hidup yang sehat, harta yang banyak, dan keturunan yang cerdas sehingga terhormat dan bermartabat, tetapi di akhirat dia tidak memperoleh bagian apa pun karena tidak beriman dan beramal saleh.
Orang-orang Quraisy pada masa jahiliah, kalau mereka mengerja-kan haji, mereka mengerjakan wukuf di Muzdalifah, sedang orang-orang Arab lainnya wuquf di Arafah. Sebabnya ialah karena orang-orang Quraisy itu merasa dirinya lebih tinggi dan mulia dari yang lain, tidak pantas berwuquf bersama sama dengan orang-orang biasa di Arafah, maka turunlah ayat ini. Ayat ini memerintahkan agar bersama-sama wuquf di Arafah dan kemudian sama-sama bertolak dari Arafah ke Muzdalifah. Tegasnya, dalam masa mengerjakan haji itu tidak ada perbedaan, semuanya sama-sama makhluk Allah, harus sama-sama mengerjakan wuquf di Arafah. Semua sama-sama meminta ampun kepada Allah, meninggalkan bermegah-megah dan bersifat sombong. Siapa yang meminta ampun kepada Allah, tentu Allah akan mengampuni dosanya, karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada hamba-Nya. Diriwayatkan dari Ibnu Jarir dari Ibnu 'Abbas.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 198
“Tidaklah mengapa bahwa kamu mencari anugenah dari Tuhan kamu."
Artinya, meskipun bekal kamu yang sebenarnya takwa semata-mata, jika kebetulan kamu berusaha atau berniaga, berjual beli atau segala pekerjaan mencari rezeki, menerima upah dan sebagainya di waktu haji itu, tidaklah mengapa, tidaklah terlarang. Yang terlarang ialah jika tujuan kamu ke Mekah yang pertama ialah berniaga dan naik haji hanyalah akan jadi sebab buat berniaga. Sebagaimana beberapa saudagar yang cerdik di negeri kita, menye-lingkit dengan segala usaha mencari “kuotum" haji karena ada beberapa barang yang sangat besar untungnya jika diperniagakan di Mekah dan berlipat ganda untungnya sampai di negeri sendiri. Apatah lagi bulan suasana haji amat panjang, yaitu tiga bulan.
Imam Ahmad bin Hanbal terkenal sebagai seorang ulama besar yang amat menjaga hidupnya jangan terlalu bergantung kepada pertolongan orang lain. Tersebutlah di dalam riwayat hidup beliau yang sangat sederhana itu bahwa beliau menolak hadiah-hadiah orang buat belanja perjalanan ke Mekah. Apabila naik haji, beliau tidak keberatan menolong memikul beban orang dan menerima upah mengangkat barang itu. Kasarnya jadi kuli. Beliau mengamalkan ayat ini bahwa tidak ada salahnya mencari rezeki, baik menjadi kuli maupun berniaga selama naik haji itu, asal jangan itu yang dijadikan tujuan pertama. Sehabis wukuf di Arafah dan mabit di Muzdalifah, kita pun menurun kembali ke Mina buat melempar jamrah. Sehabis melempar jamrah, kita pun berhenti di Mina sampai tiga hari, waktu kita laksanakan berhari raya sampai tiga hari tiga malam atau empat hari empat malam. Kita sudah bebas dari memakai pakaian ihram, kita sudah bergembira mensyukuri ibadah haji yang telah selesai dan kita akan kembali pulang. Tidak ada salahnya jika di waktu senggang yang luas itu kita berniaga, berkuli, menerima upah, dokter mengobati orang sakit. Saudagar-saudagar yang besar bertemu sesamanya memperkatakan urusan dagang yang luas, urusan impor dan ekspor.
Dan, bertali dengan ini juga, tidak ada salahnya jika selama di Mina itu ahli-ahli cerdik pandai dunia Islam bermusyawarah memperkatakan soal-soal nasib negeri masing-masing, soal ekonomi, politik dan kemasyarakatan, dan soal dakwah Islam. Semuanya ini termasuk di dalam fadhilah, anugerah Allah, atau rezeki yang dikaruniakan Allah. Maka, amat luaslah maksud yang terkandung di dalam pangkal ayat ini.
“Maka, apabila telah berduyun-duyun kamu dari Arafah." Dalam ayat ini disebut afidhu, kita artikan berduyun-duyun karena kata aslinya itu berasal dari arti membanjir. Sebab, orang haji wukuf di Arafah itu serentak di hari kesembilan, beratus ribu banyaknya, tersebar di seluruh Padang Arafah itu. Malahan saat akhir-akhir ini telah mencapai jutaan. Sehabis wukuf di petang hari, membanjirlah mereka meninggalkan Arafah atau berduyun-duyun."Maka, hendaklah kamu menyebut nama Allah di'Masy'ari! Haram" yaitu di tempat yang bernama Muzdalifah. Berhentilah orang haji di sana yang dinamai mabit, berhenti sampai lepas tengah malam, sambil membaca talbiyah, membaca tahlil dan tahmid serta takbir. Dan, pada waktu itu pula mencari batu-batu kecil buat melempar jamrah di Mina kelak."Dan sebutlah akan Dia sebagaimana Dia telah memberimu petunjuk!' Bersyukur nyatakan syukur itu sebab kamu telah dikeluarkannya dari gelap gulita dan jahiliyyah kepada petunjuk tauhid. Kamu telah menjadi orang Islam yang insaf akan diri. Kamu telah membina takwa kepada Allah. Dengan susah payah kamu telah datang ke sana dibawa oleh rasa iman.
“Dan meskipun pada sebelumnya adalah kamu dari orang-orang yang sesat."
Meskipun penyebab turun ayat ialah Muhajirin dan Anshar yang akan ikut berhaji dengan Rasulullah ﷺ, tetaplah ayat ini menjadi pegangan selanjutnya bagi kita umat Muhammad ﷺ Bagi kita umat Muhammad yang telah jauh dari masa hidup beliau ini dan jauh pula negeri kita sehingga disebut orang Timur Jauh, ketika kita berhenti di Muzdalifah itu marilah kita kenangkan diri. Karena ketika itu hari adalah malam, beratus ribu kawan seagama duduk bersama-sama berlepas lelah sebentar. Dan, malam itu adalah malam sepuluh Dzulhijjah, bulan mulai terang. Kita syukuri Allah, kita puja asma-Nya yang kudus, sebab kita pun telah menjadi bangsa yang besar dalam tauhid, dan kita sendiri pribadi moga-moga kembali dari haji ini akan mendapat perubahan yang besar dan kemajuan dalam tingkat iman, padahal selama ini banyak perbuatan sesat yang telah kita kerjakan karena hawa nafsu se"bagai manusia. Ampunan Allah jualah yang kita harapkan.
Ayat 199
“Kemudian, berduyunlah kamu di tempat yang orang-orang lain telah berduyun."
Artinya, berbuatlah seperti orang lain berbuat. Sebab, orang Quraisy di zaman jahiliyyah suka menyisihkan diri, mengambil tempat istimewa, tidak mau campur dengan orang Arab suku-suku lain yang datang dari pelosok lain karena merasa diri golongan terutama. (Demikian menurut riwayat Bukhari Muslim dari hadits Aisyah r.a.) Dan lantaran pengaruh ayat ini, dapatlah hal itu kita rasai, baik waktu wukuf sehari di Arafah maupun ketika mabit sampai lepas tengah malam di Muzdalifah itu.
Dengan peringatan pada ayat ini, supaya berduyun ke mana orang lain berduyun, berkumpul di mana tempat orang lain berkumpul, hilanglah bekas ajaran kaum jahiliyyah Quraisy yang merasa diri istimewa itu, jangan sampai menular pula kepada kita umat Muhammad yang datang di belakang, membuat kelompok sendiri-sendiri, Arab lain, Iran lain, Indonesia lain, Pakistan lain. Yang satu tiada kenal yang lain sehingga agama membentuk suatu umat yang besar tidak tercapai, melainkan tetap di dalam kebangsaan yang sempit, padahal ibadah haji inilah salah satu sendi asas yang utama bagi membentuk ummatan wahidatan, yang sama pandangan hidupnya, sama suka dukanya di dalam alam ini, sehingga dia telah bersifat sebagai suatu Kongres Keagamaan Internasional yang mahabesar dan dahsyat. Apatah lagi hal ini kelihatan nyata pada persamaan corak dan bentuk pakaian ketika mengerjakan haji itu. Segala pakaian kebangsaan sendiri, yang dibentuk oleh iklim, ruang, dan waktu, sehingga berbeda pakaian orang Mesir dengan Saudi Arabia, orang Indonesia dengan Muslim Tiongkok, pada hari wukuf di Arafah dan mabit di Muzdalifah sampai tahallul di Mina, habis hilang pakaian itu, berganti dengan kain ihram berwarna putih, selendang dan penutup aurat, tidak berjahit dengan bahu sebelah kanan terbuka. Meski demikian pakaiannya, walaupun dia seorang amir dari Nejed, syahin syah dari Iran, raja dari Afghanistan, presiden dari Indonesia, fallah dari Mesir, atau pengembala ternak dari Mongolia.
“Dan memohon ampunlah kamu kepada Allah." Sebagaimana sehabis selesai mengerjakan shalat lima waktu sebagai tiang agama, dianjurkan juga kita mengucapkan istighfar sampai tiga kali memohon ampun, demikian jugalah sehabis kita selesai wukuf di Arafah dan mabit di Muzdalifah, dan sekarang dalam perjalanan kembali menuju Mina, yang kelak dari sana akan menuju Mekah lagi.
“Sesungguhnya, Allah adalah Pemberi ampun dan Penyayang."
Kata-kata (firman) Allah dalam rangkaian ini dapatlah menghindarkan rasa takabur karena telah berlepas dari mengerjakan haji sebagai suatu ibadah yang berat. Meskipun telah selesai, kita masih memohon ampun karena kita insaf bahwa kita ini manusia adanya. Kita tidak mempunyai kesempurnaan. Yang sempurna adalah Allah. Betapa lengkapnya yang kita kerjakan, tetapi kekurangan masih akan terdapat di sana-sini. Yang kita ketahui ataupun tidak kita ketahui.