Ayat
Terjemahan Per Kata
ٱلنَّبِيُّ
Nabi itu
أَوۡلَىٰ
lebih utama
بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ
dengan orang-orang mukmin
مِنۡ
dari
أَنفُسِهِمۡۖ
diri mereka sendiri
وَأَزۡوَٰجُهُۥٓ
dan isteri-isterinya
أُمَّهَٰتُهُمۡۗ
ibu-ibu mereka
وَأُوْلُواْ
dan yang mempunyai
ٱلۡأَرۡحَامِ
hubungan darah
بَعۡضُهُمۡ
sebagian mereka
أَوۡلَىٰ
lebih utama
بِبَعۡضٖ
dengan sebagian
فِي
dalam
كِتَٰبِ
kitab
ٱللَّهِ
Allah
مِنَ
dari
ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
orang-orang mukmin
وَٱلۡمُهَٰجِرِينَ
dan orang-orang muhajirin
إِلَّآ
kecuali
أَن
bahwa
تَفۡعَلُوٓاْ
kalian kerjakan
إِلَىٰٓ
kepada
أَوۡلِيَآئِكُم
saudara-saudara kamu
مَّعۡرُوفٗاۚ
kebaikan
كَانَ
adalah
ذَٰلِكَ
demikian itu
فِي
dalam
ٱلۡكِتَٰبِ
kitab
مَسۡطُورٗا
yang tertulis
ٱلنَّبِيُّ
Nabi itu
أَوۡلَىٰ
lebih utama
بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ
dengan orang-orang mukmin
مِنۡ
dari
أَنفُسِهِمۡۖ
diri mereka sendiri
وَأَزۡوَٰجُهُۥٓ
dan isteri-isterinya
أُمَّهَٰتُهُمۡۗ
ibu-ibu mereka
وَأُوْلُواْ
dan yang mempunyai
ٱلۡأَرۡحَامِ
hubungan darah
بَعۡضُهُمۡ
sebagian mereka
أَوۡلَىٰ
lebih utama
بِبَعۡضٖ
dengan sebagian
فِي
dalam
كِتَٰبِ
kitab
ٱللَّهِ
Allah
مِنَ
dari
ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
orang-orang mukmin
وَٱلۡمُهَٰجِرِينَ
dan orang-orang muhajirin
إِلَّآ
kecuali
أَن
bahwa
تَفۡعَلُوٓاْ
kalian kerjakan
إِلَىٰٓ
kepada
أَوۡلِيَآئِكُم
saudara-saudara kamu
مَّعۡرُوفٗاۚ
kebaikan
كَانَ
adalah
ذَٰلِكَ
demikian itu
فِي
dalam
ٱلۡكِتَٰبِ
kitab
مَسۡطُورٗا
yang tertulis
Terjemahan
Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (saling mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu hendak berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Demikian itu telah tertulis dalam Kitab (Allah).
Tafsir
(Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukminin dari diri mereka sendiri) maksudnya apa yang diserukan oleh Nabi ﷺ agar mereka melakukannya, dan apa yang diserukan oleh hawa nafsu mereka agar mereka melanggarnya, maka seruan Nabilah yang harus lebih diutamakan daripada kehendak diri mereka sendiri (dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka) haram untuk dinikahi oleh mereka. (Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah) yakni kaum kerabat (satu sama lain lebih berhak) waris-mewarisi (di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin) daripada waris-mewarisi berdasarkan saudara seiman dan berhijrah yang berlangsung pada permulaan Islam, kemudian dimansukh oleh ayat ini (kecuali) tetapi (kalau kalian mau berbuat baik kepada saudara-saudara kalian seagama) melalui wasiat, masih tetap diperbolehkan. (Adalah yang demikian itu) yaitu dihapusnya hukum waris-mewarisi karena seiman dan hijrah dengan hubungan kekerabatan (telah tertulis di dalam Alkitab) Alkitab yang dimaksud di dalam dua tempat pada ayat ini adalah Lohmahfuz.
Tafsir Surat Al-Ahzab: 6
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewaris) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). (Al-Ahzab: 6)
Ayat 6
Allah subhaanahu wa ta’aalaa mengetahui kasih sayang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya dan keikhlasan beliau kepada mereka, karena itulah maka Allah menjadikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri. Dan keputusan Allah terhadap mereka mendahului pilihan mereka untuk diri mereka sendiri, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An-Nisa: 65) Di dalam hadis sahih disebutkan: Demi Tuhan Yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, tidaklah seseorang dari kalian beriman sebelum diriku ini lebih dicintai olehnya daripada dirinya sendiri, harta bendanya, anak-anaknya, dan semua orang.
Di dalam kitab sahih disebutkan pula bahwa Umar radhiyallaahu ‘anhu pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, demi Allah, engkau benar-benar lebih aku cintai daripada segala sesuatu, terkecuali diriku sendiri." Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab: Tidak, hai Umar, sebelum diriku lebih dicintai olehmu daripada dirimu sendiri. Maka Umar radhiyallaahu ‘anhu berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah, sesungguhnya sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri." Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Hai Umar, begitulah seharusnya."
Karena itulah disebutkan dalam ayat ini melalui firman-Nya: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri. (Al-Ahzab: 6) Imam Al-Bukhari mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Munzir, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Falih, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Hilal ibnu Ali, dari Abdur Rahman ibnu Abu Amrah, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang telah bersabda: Tidak ada seorang mukmin pun melainkan aku adalah orang yang paling utama baginya di dunia dan di akhirat.
Bacalah oleh kalian bila kalian suka akan firman-Nya, "Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri. (Al-Ahzab: 6). Maka siapa pun orang mukmin yang meninggalkan harta, maka diwariskan kepada para 'asabah (ahli waris)nya yang ada. Dan jika ia meninggalkan utang atau anak-anak yatim, maka datanglah kepadaku, akulah yang menjadi maulanya. Hadis diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari secara tunggal. Dia meriwayatkannya pula di dalam Bab "Istiqrad", demikian juga Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim melalui berbagai jalur dari Falih dengan sanad dan lafal yang semisal.
Imam Ahmad meriwayatkannya melalui hadis Abu Husain, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan lafal yang semisal. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri sehubungan dengan makna firman-Nya: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri. (Al-Ahzab: 6) Az-Zuhri menerima hadis ini dari Abu Salamah, dari Jabir ibnu Abdullah radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang pernah bersabda: Aku lebih utama bagi tiap orang mukmin daripada dirinya sendiri. Maka barang siapa yang mati meninggalkan utang, akulah yang akan membayarkannya; dan barang siapa yang meninggalkan harta, maka hartanya itu untuk ahli warisnya.
Imam Abu Dawud meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Hambal dengan sanad dan lafal yang semisal. Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. (Al-Ahzab: 6) Yakni dalam hal kemahraman dan kehormatan; mereka harus dimuliakan, dihormati, dan diagungkan, tetapi tidak boleh berkhalwat dengan mereka. Dan kemahraman ini tidak menjalar sampai kepada anak-anak perempuan dan saudara-saudara perempuan mereka, menurut kesepakatan semua ulama. Sekalipun ada sebagian ulama yang menyebutkan bahwa anak-anak perempuan mereka dan saudara-saudara perempuan mereka adalah saudara-saudara perempuan semua kaum mukmin, seperti yang telah di-nas-kan oleh Imam Asy-Syafii radhiyallaahu ‘anhu di dalam kitab Al-Mukhtasar-nya.
Pendapat ini termasuk ke dalam Bab "Memutlakkan Ibarat Bukan Menetapkan Hukum". Dan apakah dapat dikatakan kepada Mu'awiyah dan lain-lainnya yang semisal dengan sebutan paman orang-orang mukmin? Ada dua pendapat di kalangan ulama mengenai masalah ini. Tetapi menurut apa yang di-nas-kan oleh Imam Syafii, tidak. Dan apakah istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam itu dapat disebut ibu-ibu kaum mukmin perempuan dengan pengertian dimasukkan ke dalam jamak muzakkar secara taglib. Ada dua pendapat mengenainya. Menurut riwayat yang sahih dari Siti Aisyah radhiyallaahu ‘anhu, Siti Aisyah pernah mengatakan tidak boleh disebut Ummahatul Mu-minat.
Pendapat ini merupakan yang tersahih di antara dua pendapat yang ada di kalangan mazhab Imam Syafii radhiyallaahu ‘anhu Telah diriwayatkan dari Ubay ibnu Ka'b dan Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu bahwa keduanya membaca ayat ini dengan bacaan berikut: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada mereka sendiri, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka dan Nabi adalah bapak mereka. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Mu'awiyah, Mujahid, Ikrimah, dan Al-Hasan. Pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang ada di kalangan mazhab Syafii radhiyallaahu ‘anhu Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Al-Bagawi dan lain-lainnya. Mereka mengatakan demikian dengan berlandaskan kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud rahimahullah.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad An-Nufaili, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Muhammad ibnu Ajian, dari Al-Qa'qa' ibnu Hakim, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: Sesungguhnya aku ini bagi kalian sama kedudukannya dengan seorang ayah yang mendidik kalian. Maka apabila seseorang di antara kalian mendatangi tempat buang air besarnya, janganlah menghadap ke arah kiblat, jangan pula membelakanginya, dan janganlah ia bercebok dengan memakai tangan kanannya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan istijmar dengan memakai tiga buah batu, dan melarang memakai kotoran hewan (yang telah kering) dan tulang. Imam An-Nasai dan Imam Ibnu Majah mengetengahkan hadis ini melalui riwayat Ibnu Ajlan.
Sedangkan menurut pendapat yang kedua di kalangan mazhab Imam Syafii, tidak boleh menyebut Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai ayah mereka. Mereka yang berpendapat demikian beralasan dengan firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa yang menyebutkan: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu. (Al-Ahzab: 40) Adapun firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah. (Al-Ahzab: 6) Maksudnya, menurut hukum Allah. daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin. (Al-Ahzab: 6) Yakni kaum kerabat seseorang itu lebih utama saling mewarisi satu sama lainnya daripada kaum Muhajirin dan kaum Ansar. Ayat ini me-mansukh (merevisi) hukum yang sebelumnya berlaku dalam hal waris-mewaris, yang dapat dilakukan dengan halaf (sumpah pertahanan bersama) dan saudara angkat yang diadakan di antara sesama mereka.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Disebutkan bahwa dahulu kaum Muhajirin dapat mewarisi kaum Ansar bukan kaum kerabat dan saudara-saudara orang yang bersangkutan karena adanya persaudaraan angkat yang diadakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam di antara kedua golongan tersebut. Hal yang sama telah dikatakan oleh Said ibnu Jubair dan lain-lainnya, baik dari kalangan ulama Salaf maupun ulama Khalaf. Sehubungan dengan hal ini Ibnu Abi Hatim mengetengahkan sebuah hadis melalui Az-Zubair ibnul Awwam.
Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abu Bakar Al-Mi'sabi (salah seorang ulama yang tinggal di Bagdad), dari Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Az-Zubair ibnul Awwam radhiyallaahu ‘anhu yang menceritakan bahwa Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah menurunkan firman berikut berkenaan dengan kami golongan orang-orang Quraisy dan kaum Ansar secara khusus, yaitu: Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah. (Al-Ahzab: 6) Demikian itu pada mulanya kami orang-orang Quraisy ketika pertama kali tiba di Madinah, kami datang tanpa membawa harta, dan kami jumpai orang-orang Ansar adalah sebaik-baik saudara; maka kami mempersaudarakan diri dengan mereka dan saling mewarisi antara kami dan mereka.
Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu mempersaudarakan dirinya dengan Kharijah ibnu Zaid, Umar dengan si Fulan, dan Usman dengan seorang lelaki dari Bani Zuraiq anak Sa'd Az-Zurqi, yang menurut pendapat lain mengatakan bukan dari kalangan Bani Zuraiq. Az-Zubair radhiyallaahu ‘anhu melanjutkan kisahnya, bahwa ia mempersaudarakan dirinya dengan Ka'b ibnu Malik. Ketika ia mendatanginya, ternyata ia menjumpainya sebagai seseorang yang banyak memiliki senjata, yang menurut tradisi lebih dari apa yang biasanya dimiliki oleh seseorang. Az-Zubair melanjutkan, "Demi Allah, hai Anakku, seandainya Ka'b ibnu Malik meninggal dunia pada hari itu, tiada seorang pun yang akan mewarisinya selain aku sendiri, hingga Allah menurunkan ayat ini berkenaan dengan kami golongan orang-orang Quraisy dan kaum Ansar secara khusus, setelah itu barulah kami mengembalikan hak mewarisi kepada kaum kerabat masing-masing." Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). (Al-Ahzab: 6) Yaitu hak mewaris antara saudara angkat telah dihapus, dan yang ada hanyalah saling tolong-menolong, saling berbuat bajik, silaturahmi, saling berbuat baik, dan saling wasiat-mewasiatkan kebaikan.
Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). (Al-Ahzab: 6) Hukum ini yang menyatakan bahwa orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lainnya lebih berhak waris-mewarisi merupakan hukum dari Allah yang telah ditetapkan dan telah tertulis di dalam Kitab Allah yang pertama, yang tidak dapat diganti dan tidak dapat pula diubah. Demikianlah menurut Mujahid dan lain-lainnya, sekalipun di suatu masa Allah subhaanahu wa ta’aalaa pernah mensyariatkan hukum yang berbeda dengan hukum yang terakhirnya ini. Karena di dalam hukum yang pertama itu terkandung hikmah yang tak terperikan, dan Dia mengetahui bahwa hukum tersebut kelak akan di-mansukh dan akan dikembalikan kepada ketetapan-Nya yang telah digariskan-Nya sejak zaman azali.
Usai membatalkan hukum anak angkat yang terkait dengan Nabi pada ayat sebelumnya, pada ayat ini Allah menegaskan bahwa kedudukan Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada sekadar bapak dari seseorang. Bahkan, beliau lebih utama dibandingkan diri mereka sendiri sebab beliau selalu menginginkan kebaikan bagi umatnya dan berkat beliau pula mereka selamat dari kebinasaan. Dan adapun istri-istrinya secara hukum adalah seperti ibu-ibu mereka sendiri yang harus dimuliakan dan haram mereka nikahi jandanya. Begitupun, hanya orang-orang yang mempunyai hubungan darah yang satu sama lain lebih berhak untuk saling mewarisi sebagaimana tercantum di dalam Kitab Allah, daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin yang hanya diikat oleh hubungan keagamaan, bukan kekerabatan, kecuali kalau kamu hendak berbuat baik dengan berwasiat yang tidak lebih dari sepertiga hartamu kepada saudara-saudaramu seagama. Demikianlah telah tertulis dalam Kitab Allah. 7-8. Demikianlah kedudukan Nabi dan istri-istrinya di kalangan kaum mukmin. Nabi juga mempunyai kedudukan luhur sebagai pembawa risalah dan penyeru kepada agama yang benar, sebagaimana para rasul sebelumnya. Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi dan dari engkau sendiri, khususnya para rasul Ulul 'Azmi, seperti dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh untuk menyampaikan risalah Allah kepada kaum masing-masing agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar dari para rasul tentang kebenaran mereka di hari kiamat'apakah mereka melaksanakan ajaran Allah itu, dan Dia menyediakan azab yang pedih bagi orang-orang kafir.
Ayat ini menerangkan kedudukan Nabi Muhammad di antara umatnya. Diterangkan bahwa sekalipun orang-orang yang beriman itu mengutamakan diri mereka, tetapi Nabi Muhammad lebih banyak memperhatikan, mementingkan, dan mengutamakan mereka. Nabi selalu menolong dan membantu mereka, dan selalu berkeinginan agar mereka menempuh jalan yang lurus yang dapat menyampaikan mereka kepada kebahagiaan yang abadi. Oleh karena itu, sebenarnya Nabi lebih berhak atas diri mereka sendiri. Cinta Nabi kepada kaum Muslimin melebihi cinta beliau terhadap makhluk Allah manapun. Dengan demikian, hendaklah kaum Muslimin mengikuti segala perintahnya.
Nabi adalah pemimpin kaum Muslimin dalam kehidupan duniawi dan penuntun mereka ke jalan Allah. Apabila beliau mengajak kaum Muslimin berperang di jalan Allah, hendaklah mereka segera mengikutinya, tidak perlu menunggu izin dari ibu bapak. Mereka juga hendaknya selalu bersedia menjadi tebusan, perisai, dan pemelihara Nabi.
Pada hadis yang lain diterangkan tentang kepemimpinan Nabi terhadap kaum Muslimin:
Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda, "Tidak seorangpun dari orang-orang yang beriman, kecuali akulah yang paling dekat kepadanya di dunia dan di akhirat. Bacalah firman Allah, jika kamu sekalian menghendaki, "Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri." Maka barang siapa di antara orang-orang yang beriman (mati) dan meninggalkan harta, maka harta itu hendaknya diwarisi 'ashabah (ahli waris)nya. Dan barang siapa yang meninggalkan hutang atau keluarga, maka hendaklah datang kepadaku, maka akulah orang yang akan mengurus keadaannya." (Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah)
Berdasarkan ayat dan hadis di atas, para ulama sependapat bahwa setelah Rasulullah meninggal dunia, maka imamlah yang menggantikan kedudukan beliau. Oleh karena itu, imam wajib membayar hutang orang-orang fakir yang meninggal dunia, sebagaimana Rasulullah telah melakukannya. Imam membayar hutang itu dengan mengambil dananya dari Baitul Mal atau Kas Negara.
Karena Rasulullah adalah bapak dari kaum Muslimin, maka istri-istri beliau pun adalah ibu-ibu mereka. Maksudnya ialah menempati kedudukan ibu, dalam kewajiban memuliakan dan menghormatinya, dan haram menikahinya. Adapun dalam hal yang lain, seperti hubungan waris-mewarisi, hukum melihat auratnya atau berkhalwat dengannya, sama hukumnya dengan perempuan lain yang tidak memiliki hubungan mahram.
Prinsip ini tidaklah bertentangan dengan firman Allah:
Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. (al-Ahzab/33: 40)
Karena yang dimaksud ialah bahwa Nabi Muhammad itu adalah bapak dari seluruh orang-orang yang beriman, bukan bapak angkat dari seseorang.
Kemudian ayat ini menerangkan bahwa hubungan kerabat lebih berhak untuk menjadi sebab mendapatkan warisan daripada hubungan persaudaraan, keagamaan, atau karena berhijrah. Sebagaimana diketahui bahwa kaum Muslimin pada permulaan Islam di Medinah saling mewarisi dengan jalan persaudaraan yang dijalin oleh Nabi, bukan dengan dasar hubungan kerabat. Oleh karena itu, seorang dari Muhajirin memperoleh warisan dari seorang Anshar, sekalipun mereka tidak ada hubungan kerabat. Mereka itu waris-mewarisi semata-mata karena hubungan persaudaraan yang telah dijalin oleh Nabi.
Hubungan semacam itu dilakukan Nabi karena orang-orang Muhajirin yang baru pindah dari Mekah ke Medinah dalam keadaan miskin, karena mereka tidak sempat membawa harta benda mereka dari Mekah. Sedangkan orang-orang Anshar, sebagai penduduk asli Medinah, tentu sewajarnya menjadi penolong kaum Muhajirin yang miskin ini. Waktu itu tugas utama kaum Muslimin ialah memperkuat persatuan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar untuk menghadapi musuh yang selalu mencari kesempatan untuk menghancurkan mereka. Memperkuat hubungan antara Muhajirin dan Anshar adalah salah satu jalan untuk memperkuat persatuan itu. Maka Nabi ﷺ memperkuat hubungan itu dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Persaudaraan itu dijadikannya sama dengan persaudaraan yang berdasar atas pertalian kerabat, sehingga antara Muhajirin dan Anshar dapat waris-mewarisi. Oleh karena itu, Nabi mempersaudarakan Abu Bakar ash-siddiq, seorang Muhajirin, dengan Kharijah bin Zaid, seorang Anshar. Demikian pula Zubair dipersaudarakan dengan Ka'ab bin Malik dan Umar bin Khaththab dengan 'Utbah bin Malik al-Anshari, Abu 'Ubaidah dengan Sa'ad bin Mu'az, dan lain-lain.
Diriwayatkan oleh Hisyam bin 'Urwah dari bapaknya, dari Zubair bahwa ia berkata, "Sesungguhnya kami seluruh orang Quraisy yang datang ke Medinah tanpa harta, dan mendapati golongan Anshar sebagai teman yang paling baik, maka kami mengadakan ikatan persaudaraan dengan mereka, dan saling berhak waris mewarisi. Maka Rasulullah ﷺ mempersaudarakan Abu Bakar dengan Kharijah bin Zaid, aku dengan Ka'ab bin Malik."
Setelah kaum Muslimin menjadi kuat dan orang Muhajirin serta orang-orang Anshar mempunyai kehidupan yang baik, maka turunlah ayat yang menghapus hukum persaudaraan seagama dan hijrah sebagai dasar waris-mewarisi. Allah menetapkan hubungan kerabat sebagai dasar hukum warisan, sedangkan hubungan antara kaum Muslimin dikembalikan kepada kedudukan semula, yaitu hubungan seagama, sekeyakinan, tolong menolong yang tidak membawa kepada waris-mewarisi, sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya:
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. (al-hujurat/49: 10)
Hadis Nabi saw:
Tidak beriman salah seorang kamu hingga ia menginginkan pada saudaranya apa yang diinginkannya pada dirinya sendiri. (Riwayat al-Bukhari, Muslim, Ahmad, dan an-Nasa'i dari Anas)
Selanjutnya Allah menerangkan bahwa tidaklah berdosa seorang mukmin berbuat suatu kebaikan kepada orang mukmin yang lain, yang telah terjalin antara mereka hubungan kasih sayang, hubungan seagama dan sebagainya. Kebaikan itu ialah berupa wasiat untuk mereka, karena tidak lagi berhak waris-mewarisi dengan turunnya ayat ini. Kadar wasiat ini telah ditetapkan oleh hadis, yaitu tidak lebih dari sepertiga dari seluruh harta peninggalan.
Menetapkan "ulu al-arham" (kerabat) sebagai dasar hukum waris-mewarisi adalah keputusan Allah yang ditetapkan di dalam Al-Qur'an. Oleh karena itu, hukum tersebut tidak boleh ditukar atau diganti oleh siapa pun.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 6
“Nabi itu adalah lebih utama bagi orang yang beriman dan diri mereka sendiri."
Inilah pokok hidup orang Islam. Yaitu mencintai Nabi ﷺ lebih daripada mencintai diri sendiri. Semata-mata cinta saja dengan tidak memenuhi syarat cinta, mengerjakan suruh menghentikan tegah, tidaklah ada artinya. Tidak ada orang di dunia ini yang lebih cinta kepada Nabi Muhammad ﷺ daripada pamannya yang membesarkannya dari kecil, yaitu Abu Thalib. Dipertahankannya kemenakannya itu dari segala caci makian musuhnya. Dia turut ke dalam tawanan bersama kemenakannya seketika Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib diboikot oleh Quraisy dua tahun lamanya. Tetapi sayang sekali ketika diajak masuk Islam dengan mengucapkan pengakuan, “Tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah", beliau enggan, maka matilah beliau sebelum menyatakan diri jadi Islam,
Begitu jugalah cara-cara menyatakan cinta yang lain kepada Nabi ﷺ, Membaca shalawat yang berbagai ragam nama shalawat itu, sehingga ada dikarang kitab khusus yang isinya semata-mata berisi shalawat Nabi, tidaklah berarti semuanya itu kalau mencintai Nabi ﷺ tidak diikuti dengan melaksanakan sunnahnya, melaksanakan perintahnya, dan menghentikan larangannya.
“Dan istri-istri beliau adalah ibu-ibu mereka." Ya itu untuk dihormati dan dimuliakan, sehingga sesudah Rasulullah wafat, tidaklah boleh ibu-ibu orang yang beriman itu dirikahi oleh umat Nabi Muhammad ﷺ. Istri-istri Nabi itu diberi sebutan atau gelar Ummul Mu'minin ibu dari orang-orang beriman.
Sama pendapat ahli-ahli fiqih bahwa anak-anak perempuan dari istri-istri Nabi itu atau saudara-saudara perempuannya, tidaklah turut. Semata-mata untuk menghormati saja, menurut suatu riwayat, Imam Syafi'i menyebutkan anak-anak perempuan mereka Akhawatul Mu'mmin: saudara-saudara perempuan dari orang-orang yang beriman.
Lantaran itu niscaya Rasulullah ﷺ sendiri pun dianggap sebagai Bapak meski tidak dipanggilkan beliau ‘Bapak'. Tersebut dalam sebuah hadits
“Aku ini bagi kamu adalah laksana seorang ayah yang mengajarkan kamu; maka ada seorang di antara kamu pergi ke kakus, janganlah menghadap ke kiblat dan jangan membelakanginya dan jangan mencuci dengan tangan kanan." (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah)
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah yang setengah dengan yang setengah lebih utama di dalam Kitab Allah, daripada orang-orang Mukmin dan orang-orang yang berhijrah, kecuali kalau kamu hendak berbuat baik kepada saudara-saudara kamu."
Maksud bagian ayat ini ialah mendudukkan soal harta benda menurut hukum hak milik yang asal dalam kitab Allah. Yaitu bahwa di antara anak dengan bapak, bapak dengan anak atau saudara yang bertali darah, menurut hukum asal di dalam Kitab Allah merekalah yang pusaka-mempusakai. Tetapi seketika kaum Muslimin Mekah jadi Muhajirin ke Madinah dan mereka diterima oleh saudara mereka seiman yang bernama Anshar di Madinah, sangatlah akrab hubungan mereka, bahkan sampai mereka itu dipersaudarakan oleh Nabi ﷺ sehingga sebagai saudara kandung layaknya. Misalnya Zubair bin Awwam (ridha Allah atas beliau) sebagai seorang terkemuka Muhajirin, sampai di Madinah telah dipersaudarakan oleh Nabi ﷺ dengan Ka'ab bin Malik. Kedatangan Zubair waktu itu adalah dalam keadaan sangat melarat, tidak ada harta benda sama sekali. Dia disambut sebagai me-nyambut saudara kandung sendiri oleh Ka'ab. Di waktu Ka'ab jatuh sakit keras nyaris mati, Ka'ab mewasiatkan seluruh hartanya yang tinggal untuk Zubair. Demikianlah akrabnya Muhajirin dan Anshar itu sehingga waris-mewarisi. Dan hal itu pun dapat dimaklumi karena masing-masing telah putus hubungan dengan kerabat sedarah. Ada Muhajirin yang putus dengan ayah, atau putus dengan anak, atau putus sekali keduanya. Seumpama Abu Bakar sendiri. Dia hijrah, sedang ayahnya sendiri dan putranya, Abdurrahman, masih tinggal dalam keadan musyrik di Mekah. Yang lain pun begitu pula. Maka dalam ayat ini diperingatkan bahwa hukum yang asal dalam Kitab Allah ialah pertalian yang erat yang sedarah, sehingga peraturan tirkah harta waris (faraidh) diatur dalam surah an-Nisaa' Adapun kasih sayang karena iman dan hijrah tetap berlaku sebelum saudara-saudara atau anak bapak itu turut pula memeluk agama Islam. Itulah yang dimaksud dengan bunyi ayat, “Kecuali kalau kamu hendak berbuat baik kepada saudara-saudara kamu."
“Adalah yang demikian itu, di dalam Kitab Allah telah tertulis."
Dengan keterangan di ujung ayat ditetapkanlah hukum yang asli dan diakui pula hukum sementara ketika ada perubahan yang tidak disangka-sangka pada mulanya. Lantaran itu maka ayat ini memberi kita perbandingan dalam meletakkan hukum, bahwasanya di masa yang sangat darurat, sehingga hukum yang asli tidak dapat berjalan, orang boleh melalui cara yang lain, asal dapat dipertanggungjawabkan menurut suara iman.
Ayat 7
“Dan (ingatlah) seketika Kami telah mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari engkau dan dari Nuh dan Ibrahim dan Musa dan Isa anak Mariyam."
Dalam ayat ini Allah ﷻ menyatakan bahwa sebelum seorang Nabi akan memikul tugasnya terlebih dahulu mereka membuat perjanjian dengan Allah SWT, bahwa mereka akan menyampaikan kepada umat masing-masing apa yang telah mereka terima dari Allah SWT, tidak boleh ada yang disembunyikan, dan mesti tahan menderita, mesti sabar dan teguh hati. Terutama ialah lima orang nabi atau rasul. Yaitu Nabi Muhammad ﷺ sendiri yang dalam ayat ini disebut “dan dari engkau." Sebelum itu ialah dengan Nabi Nuh, nabi yang dahulu sekali menerima syari'at di antara nabi-nabi. Sesudah itu ialah Nabi Ibrahim, kemudian itu Nabi Musa dan Nabi Isa anak Maryam. Kelima Nabi ini disebut Ulul Azmi Minar Rusuli, yang dianggap sebagai mempunyai tugas lebih berat di antara nabi-nabi.
“Dan telah Kami ambil dari mereka penjanjian yang berat."
Ujung ayat ini menjelaskan lagi keterangan di pangkal ayat tentang perjanjian itu. Bahwa perjanjian yang diambil itu bukanlah ringan, melainkan amat berat. Dengan demikian agar kita dapat mengambil i'tibar dan pengajaran bahwasanya pekerjaan segala nabi-nabi itu bukanlah pekerjaan yang ringan. Menyampaikan dakwah bukanlah pekerjaan yang dapat disambilkan. Bahkan dapat kita lihat pada pengalaman Nabi Yunus; yang merasa kecil hati menghadapi kekerasan kepala kaumnya lalu merajuk dan meninggalkan tugas, menimpalah kepadanya percobaan yang berat, yaitu dilemparkan ke laut untuk meringankan isi kapal yang dia tumpang, lalu ditelan ikan. Nabi Musa sendiri seketika mengatakan, bahwa dirinyalah yang paling pintar dan pandai di zamannya; dia disuruh pergi belajar kepada Nabi Khidhir, Nabi Zakaria seketika kepalanya mulai digergaji oleh kaum yang zalim dia hendak memekik merintih kesakitan, telah ditegur oleh Malaikat Jibril, agar penderitaan itu ditanggungkannya dengan tidak mengeluh dan merintih.
Ayat 8
“Agar, Dia menanyakan kepada orang-orang yang jujur akan kejujuran mereka."
Artinya bahwa kelak Allah ﷻ akan bertanya kepada orang-orang jujur, yang mau menjawab dengan betul, adakah nabi-nabi menyampaikan risalah masing-masing dengan jujur? Umat tiap-tiap Nabi itu akan ditanyai, adakah nabi-nabi itu melakukan tugas mereka dengan baik? Adakah risalah yang tidak mereka sampaikan? Semuanya tentu akan menjawab dengan sejujurnya pula bahwa kewajiban itu telah beliau-beliau lakukan dengan sebaik-baiknya, tidak ada yang ketinggalan lagi. Itu sebabnya bahwa setengah dari isi seruan yang warid, bila kita ziarah kepada maqam (kubur) beliau ialah,
“Sesungguhnya engkau telah menyampaikan risalah dan telah engkau tunaikan amanah."
Sesudah orang-orang yang jujur itu menjawab dengan sejujurnya pula bahwa nabi-nabi itu telah melancarkan tugas mereka dengan sempurna, barulah Allah ﷻ akan mengambil tindakan.
“Dan telah Kami sediakan untuk orang-orang yang tidak mau percaya siksaan yang pedih."
Dengan menanyakan terlebih aahulu kepada orang-orang yang jujur adakah nabi-nabi menunaikan risalah mereka dengan baik ialah agar Allah ﷻ tidak menjatuhkan adzab siksaan secara aniaya. Orang yang benar-benar bersalahlah yang akan dihukum.
***