Ayat
Terjemahan Per Kata
ذَٰلِكَ
itu
ٱلۡكِتَٰبُ
Kitab
لَا
tidak ada
رَيۡبَۛ
keraguan
فِيهِۛ
didalamnya
هُدٗى
petunjuk
لِّلۡمُتَّقِينَ
bagi orang-orang yang takwa
ذَٰلِكَ
itu
ٱلۡكِتَٰبُ
Kitab
لَا
tidak ada
رَيۡبَۛ
keraguan
فِيهِۛ
didalamnya
هُدٗى
petunjuk
لِّلۡمُتَّقِينَ
bagi orang-orang yang takwa
Terjemahan
Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa,
Tafsir
(Kitab ini) yakni yang dibaca oleh Muhammad ﷺ (tidak ada keraguan) atau kebimbangan (padanya) bahwa ia benar-benar dari Allah ﷻ Kalimat negatif menjadi predikat dari subyek 'Kitab ini', sedangkan kata-kata isyarat 'ini' dipakai sebagai penghormatan. (menjadi petunjuk) sebagai predikat kedua, artinya menjadi penuntun (bagi orang-orang yang bertakwa) maksudnya orang-orang yang mengusahakan diri mereka supaya menjadi takwa dengan jalan mengikuti perintah dan menjauhi larangan demi menjaga diri dari api neraka.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 2
Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.
Ibnu Juraij mengatakan, Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna dzalikal kitabu adalah "kitab ini", yakni Al-Qur'an ini. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jabir, As-Suddi, Muqatil ibnu Hayyan, Zaid ibnu Aslam, dan Ibnu Juraij. Mereka mengatakan bahwa memang demikianlah maknanya, yakni dzalika (itu) bermakna hadza (ini). Orang-orang Arab biasa menyilih gantikan isim-isim isyarah (kata tunjuk), mereka menggunakan masing-masing darinya di tempat yang lain; hal ini sudah dikenal di dalam percakapan mereka.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Al-Bukhari, dari Ma'mar ibnul Mutsanna, dari Abu Ubaidah. Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa isyarat tersebut ditunjukkan kepada Alif lam mim, sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya yang lain: “yang tidak tua dan tidak pula muda; pertengahan di antara itu” (Al-Baqarah: 68). “Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kalian” (Al-Mumtahanah: 10). “(Zat) yang demikian itulah Allah” (Yunus: 3). Masih banyak lagi contoh isyarat memakai lafal dzalika dengan pengertian seperti yang telah disebutkan.
Sebagian kalangan ahli tafsir berpegang kepada apa yang diriwayatkan oleh Al-Qurthubi dan lain-lain bahwa isyarat tersebut ditujukan kepada Al-Qur'an yang telah dijanjikan kepada Rasulullah ﷺ akan diturunkan kepadanya, atau isyarat ditujukan kepada kitab Taurat atau Injil atau hal yang semisal; semuanya ada sepuluh pendapat. Akan tetapi, pendapat ini dinilai lemah oleh kebanyakan ulama. Yang dimaksud dengan "Al-Kitab" di dalam ayat ini adalah Al-Qur'an. Orang yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud dengan lafal dzalikal kitabu adalah isyarat kepada kitab Taurat dan Injil, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan lain-lainnya, jauh sekali menyimpang dari kebenaran.
Tenggelam ke dalam perselisihan dan memaksakan pendapat, padahal dia sendiri tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Ar-raib artinya keraguan. As-Suddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas dan dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud dan dari sejumlah orang dari kalangan sahabat Rasulullah ﷺ, bahwa makna "la raiba fihi" adalah "tidak ada keraguan di dalamnya". Hal yang sama dikatakan pula oleh Abud Darda, Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jabir, Abu Malik, Nafi' maula Ibnu Umar, ‘Atha’, Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, As-Suddi, Qatadah, dan Ismail ibnu Khalid. Ibnu Abu Hatim mengatakan, "Aku tidak pernah mengetahui ada perselisihan pendapat mengenai maknanya." Akan tetapi, ada kalanya lafal ar-raib dipakai untuk pengertian "tuduhan", seperti makna yang ada pada perkataan Jamil, seorang penyair:
Busainah mengatakan, "Wahai Jamil, apakah engkau curiga padaku?" Maka kukatakan, "Kita semua, wahai Busainah, mencurigakan."
Adakalanya dipakai untuk pengertian "kebutuhan", seperti pengertian yang terkandung di dalam ucapan seorang dari mereka, yaitu: Kami telah menunaikan semua keperluan dari Tihamah dan Khaibar, setelah itu kami himpun pedang-pedang (senjata kami). Makna ayat ialah bahwa kitab Al-Qur'an ini tidak ada keraguan di dalamnya, ia diturunkan dari sisi Allah.
Pengertiannya sama dengan makna firman Allah ﷻ di dalam surat As-Sajdah yaitu: ”Alif lam mim. Turunnya Al-Qur'an yang tidak ada keraguan padanya dari Tuhan semesta alam” (As-Sajdah: 1-2). Sebagian ulama mengatakan bahwa bentuk kalimat ayat ini merupakan kalimat berita, tetapi makna yang dimaksud adalah kalimat nahi (larangan) yakni: "Janganlah kalian meragukannya!" Di antara ulama ahli qiraat ada yang melakukan waqaf (menghentikan bacaan) pada lafal la raiba fihi kemudian melanjutkan bacaanya dari fihi hudal lil muttaqin. Melakukan waqaf pada firman-Nya, "Ia raiba fihi” lebih utama karena berdasarkan ayat yang telah kami sebut tadi, karena lafal hudan menjadi sifat Al-Qur'an (yakni kitab Al-Qur'an ini tidak diserukan lagi, di dalamnya terkandung petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa).
Makna ini lebih baligh (kuat) daripada fihi hudan (kitab Al-Qur'an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa). Lafal hudan bila ditinjau dari segi bahasa dapat dianggap marfu' karena menjadi na'at (sifat), dapat pula dianggap mansub karena menjadi hal (keterangan keadaan). Hidayah ini dikhususkan bagi mereka yang bertakwa, seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya: “Katakanlah, Al-Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman di telinga mereka ada sumbatan, sedangkan Al-Qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu seperti orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh” (Fushshilat: 44). “Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang zalim selain kerugian” (Al-Isra: 82). Masih banyak ayat lain yang menunjukkan makna bahwa hanya orang-orang mukminlah yang beroleh manfaat dari Al-Qur'an, karena diri orang mukmin itu sendiri sudah merupakan petunjuk.
Akan tetapi, yang beroleh petunjuk itu hanya mereka yang bertakwa. sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (Yunus: 57).
As-Suddi meriwayatkan dari Malik, dari Abu Saleh. dari Ibnu Abbas; As-Suddi juga meriwayatkannya dari Murrah Al-Hamadani, dari Ibnu Mas'ud dan dari sejumlah sahabat Rasulullah ﷺ mengenai makna hudal lil muttaqin. Makna yang dimaksud ialah cahaya bagi orang-orang yang bertakwa.
Abu Rauq meriwayatkan dari Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas mengenai hudal lil muttaqin. Ia mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang mukmin yang menjauhkan diri dari kemusyrikan terhadap Allah, dan mereka selalu beramal dengan taat kepada-Nya. Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad maula Zaid ibnu Sabit, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai makna al-muttaqin.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang takut terhadap siksa Allah bila meninggalkan hidayah yang mereka ketahui, dan mereka mengharapkan rahmat-Nya dengan membenarkan apa yang didatangkan-Nya. Sufyan Ats-Tsauri menceritakan dari seorang lelaki, dari Al -Hasan Al-Basri mengenai firman-Nya, "lil muttaqin." Al-Hasan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang memelihara diri dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan menunaikan hal-hal yang telah difardukan-Nya.
Abu Bakar ibnu Iyasy mengatakan bahwa Al-A'masy pernah bertanya kepadanya mengenai makna al-muttaqin. Maka dijawabnya, "Tanyakanlah masalah ini kepada Al-Kalbi." Dia menanyakan kepada Al-Kalbi, dan Al-Kalbi menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar. Kemudian Abu Bakar ibnu ’Ayyasy berkata lagi, "Ketika aku merujuk kepada Al-A'masy mengenai apa yang dikatakan oleh Al-Kalbi, ternyata Al-Kalbi mempunyai pendapat yang sama denganku dan tidak memprotesnya." Qatadah mengatakan bahwa muttaqin adalah orang-orang yang disebut di dalam firman Allah ﷻ pada ayat berikutnya: “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib dan mendirikan shalat” (Al-Baqarah: 3). Sedangkan Ibnu Jarir berpendapat bahwa makna ayat mencakup semua yang telah dikatakan oleh pendapat-pendapat di atas.
Imam At-Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits melalui riwayat Abu Uqail (yaitu Abdullah ibnu Uqail), dari Abdullah ibnu Yazid, dari Rabi'ah ibnu Yazid dan Atiyyah ibnu Qais, dari Atiyyah As-Suddi yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Seorang hamba masih belum mencapai tingkat golongan orang-orang bertakwa sebelum dia meninggalkan hal-hal yang tidak mengapa untuk menghindari hal-hal yang mengandung apa-apa (dosa). Menurut Imam At-Tirmidzi, hadits ini berpredikat hasan gharib. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Imran, dari Ishaq ibnu Sulaiman yakni Ar-Razi, dari Al-Mughirah ibnu Muslim, dari Maimun Abu Hamzah yang menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat Abu Wa'il, masuklah seorang lelaki yang dikenal dengan julukan Abu Arif, salah seorang murid Mu'az.
Syaqiq ibnu Salamah berkata kepadanya, "Wahai Abu Arif, maukah engkau menceritakan kepada kami apa yang telah dikatakan oleh Mu'az ibnu Jabal?" Ia menjawab, "Tentu saja, aku pernah mendengarnya mengatakan bahwa kelak di hari kiamat umat manusia ditahan dalam suatu tempat, kemudian ada suara yang menyerukan, 'Di manakah orang-orang yang bertakwa?' Lalu mereka (orang-orang yang bertakwa) bangkit berdiri di bawah naungan Tuhan Yang Maha Pemurah; Allah menampakkan diri kepada mereka dan tidak menutup diri-Nya.
Aku bertanya, 'Siapakah orang-orang yang bertakwa itu?' Mu'az menjawab, 'Mereka adalah kaum yang menghindarkan diri dari kemusyrikan dan penyembahan berhala, dan mereka mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah ﷻ semata,' lalu mereka masuk ke dalam surga." Al-huda menunjukkan makna hal yang mantap di dalam kalbu berupa iman. Tiada yang mampu menciptakannya di dalam kalbu hamba-hamba Allah selain Allah ﷻ sendiri, sebagaimana dinyatakan di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya kamu tidak bisa memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi” (Al-Qashash: 56). “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk” (Al-Baqarah: 272). “Barang siapa yang Allah sesatkan, maka baginya tiada orang yang akan memberi petunjuk” (Al-A'raf: 186). “Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah ﷻ, maka dialah yang mendapat petunjuk dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberinya petunjuk” (Al-Isra: 97). Masih banyak ayat lain yang menunjukkan makna yang sama.
Lafal Al-huda adakalanya dimaksudkan sebagai keterangan dan penjelasan mengenai kebenaran, penunjukan dan bimbingan kepadanya, sebagaimana makna yang terkandung di dalam firman-Nya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk ke jalan yang lurus” (Asy-Syura: 52). “Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk” (Ar-Ra'd: 7). “Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk” (Fushshilat: 17). “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (Al-Balad: 10). Sebagian orang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan annajdain adalah jalan kebaikan dan jalan keburukan: penafsiran ini lebih kuat daripada yang lainnya.
At-taqwa makna asalnya ialah mencegah diri dari hal-hal yang tidak disukai, mengingat bentuk asalnya adalah qawa yang berasal dari al-wiqayah (pencegahan). An-Nabighah (salah seorang penyair Jahiliah terkenal) mengatakan: Penutup kepalanya terjatuh, padahal dia tidak bermaksud menjatuhkannya. maka dia memungutnya seraya menutupi wajahnya menghindar dari pandangan kami dengan tangannya. Penyair lain mengatakan: Dia menanggalkan penutup kepala yang melindunginya dari sengatan sinar matahari, kemudian ia menghindarkan (wajahnya dari sinar matahari) dengan dua persendiannya yang tercantik, yaitu telapak tangan dan lengannya.
Menurut suatu riwayat, Umar ibnul Khattab pernah bertanya kepada Ubay ibnu Ka'b tentang makna takwa., maka Ubay ibnu Ka'b balik bertanya, "Pernahkah engkau menempuh jalan yang beronak duri?" Umar menjawab, "Ya, pernah." Ubay ibnu Ka'b bertanya lagi, "Terus apa yang kamu lakukan?" Umar menjawab, "Aku bertahan dan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari dan melampauinya." Ubay ibnu Ka'b berkata, "Itulah yang namanya takwa." Pengertian ini disimpulkan oleh Ibnul Mu'taz melalui bait-bait syairnya, yaitu:
Lepaskanlah semua dosa, baik yang kecil maupun yang besar, itulah namanya takwa. Berlakulah seperti orang yang berjalan di atas jalan yang beronak duri. Selalu waspada menghindari duri-duri yang dilihatnya. Dan jangan sekali-kali kamu meremehkan sesuatu yang kecil (dosa kecil). Sesungguhnya bukit itu terdiri atas batu-batu kerikil yang kecil-kecil.
Abu Darda di suatu hari pernah mengucapkan syair-syair berikut:
"Manusia selalu mengharapkan agar semua yang didambakannya dapat tercapai, tetapi Allah menolak kecuali apa yang Dia kehendaki. Seseorang mengatakan: "keuntungan dan hartaku" padahal takwa kepada Allah merupakan keuntungan yang paling utama."
Di dalam kitab Sunan Ibnu Majah disebutkan dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tiada keuntungan yang paling baik bagi seseorang sesudah takwa kepada Allah selain dari istri yang saleh; jika dia memandangnya, membuat dia bahagia; dan jika dia memerintahnya, ia taat; jika melakukan giliran terhadapnya, maka ia berbakti; dan jika dia tidak ada di tempat, meninggalkannya, maka ia memelihara dirinya dan harta suaminya."
Inilah Kitab yang sempurna dan penuh keagungan, yaitu Al-Qur'an yang Kami turunkan kepada Nabi Muhammad, tidak ada keraguan padanya tentang kebenaran apa-apa yang terkandung di dalamnya, dan orang-orang yang berakal sehat tidak akan dihinggapi keraguan bahwa Al-Qur'an berasal dari Allah karena sangat jelas kebenarannya. AlQur'an juga menjadi petunjuk yang sempurna bagi mereka yang mempersiapkan diri untuk menerima kebenaran dengan bertakwa, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya agar terhindar dari siksa Allah. Meski petunjuk Al-Qur'an diperuntukkan bagi seluruh umat manusia, hanya orang-orang bertakwa saja yang siap dan mampu mengambil manfaat darinya. Orang-orang yang bertakwa itu adalah mereka yang beriman kepada hal-hal yang gaib, yang tidak tampak dan tidak dapat dijangkau oleh akal dan indra mereka, seperti Allah, malaikat, surga, neraka, dan lainnya yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Pada saat yang sama, sebagai bukti keimanan itu, mereka beribadah kepada Allah dengan melaksanakan salat, secara sempurna berdasarkan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, khusyuk serta memperhatikan waktu-waktunya, dan mereka juga menginfakkan di jalan kebaikan sebagian rezeki berupa harta, ilmu, kesehatan, kekuasaan, dan hal-hal lainnya yang bermanfaat yang Kami berikan kepada mereka, semata-mata sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan mencari keridaan-Nya.
Ayat ini menerangkan bahwa Al-Qur?an tidak dapat diragukan, karena ia wahyu Allah ﷻ yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ Nabi yang terakhir dengan perantaraan Jibril a.s. :
Dan sungguh (Al-Qur?an) ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan seluruh alam, yang dibawa oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril) (asy-Syu?ara?/26: 192-193).
Yang dimaksud ?Al-Kitab? (wahyu) di sini ialah Al-Qur?an. Disebut ?Al-Kitab? sebagai isyarat bahwa Al-Qur?an harus ditulis, karena itu Nabi Muhammad ﷺ memerintahkan para sahabat menulis ayat-ayat Al-Qur?an.
Al-Qur?an merupakan bimbingan bagi orang yang bertakwa, sehingga dia berbahagia hidup di dunia dan di akhirat nanti. Orang yang bertakwa ialah orang yang memelihara dan menjaga dirinya dari azab Allah dengan selalu melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Di antara tanda-tanda orang yang bertakwa ialah sebagaimana yang tersebut pada ayat-ayat berikut:.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AL-BAQARAH
(LEMBU BETINA)
SURAH KE-2
286 AYAT, DITURUNKAN DI MADINAH
“Dengan nama Allah Yang Mahamurah, lagi Pengasih."
Surat Al-Baqarah: 1-5
TAKWA DAN IMAN
Ayat 1
Alif—La m—Mim.
Di dalam Al-Qur'an, kita akan berjumpa dengan beberapa surah yang dimulai dengan huruf-huruf seperti ini. Baik penafsir lama maupun penafsir zaman-zaman akhir membicarakan tentang huruf-huruf ini menurut cara mereka sendiri-sendiri, tetapi kalau disimpulkan terdapAllah dua golongan. Pertama, golongan yang memberikan arti sendiri daripada huruf-huruf itu. Yang banyak memberikan arti ialah penafsir sahabat yang terkenal, Abdullah bin Abas. Sebagaimana Alif-lam-mim ini satu tafsir dari Ibnu Abbas menerangkan bahwa ketiga huruf itu adalah isyarat kepada tiga nama: alif untuk nama Allah, lam untuk Jibril, dan mim untuk Nabi Muhammad ﷺ.
Namun, pendapat yang kedua berkata bahwa huruf-huruf di pangkal surah itu adalah rahasia Allah, termasuk ayat mutasyabih yang kita baca dan percayai, tetapi Allah yang lebih tahu akan artinya. Dan, kita baca tiap-tiap huruf itu menurut bunyi ucapannya dalam lidah orang Arab serta dipanjangkan.
Riwayat kata ini diterima dari Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq sendiri, demikian juga dari Ali bin Abi Thalib. Menurut riwayat dari Abul-Laits as-Samarqandi bahwa menurut Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan dan Abdullah bin Masud, semuanya berkata, “Huruf potongan itu tertutup buat ditafsirkan." Dan, Abu Hatim berkata, “Di dalam Al-Qur'an kita tidak mendapat huruf-huruf, melainkan di pangkal beberapa surah, dan tidaklah kita tahu apa yang dikehendaki Allah dengan ia."
Sungguh pun demikian, masih juga ada ahli-ahli tafsir yang tertarik membuat pengertian sendiri tentang rahasia-rahasia huruf-huruf itu. Ada pula segolongan ahli tafsir yang menyatakan bahwasanya huruf-huruf di awal surah itu adalah sebagai pemberitahuan atau panggilan untuk menarik perhatian tentang ayat-ayat yang akan turun mengiringinya. Adapun perkataan yang shahih dari Nabi ﷺ sendiri tentang arti huruf-huruf itu tidaklah ada.
Nyatalah bahwa huruf-huruf itu bukan kalimat bahasa yang bisa diartikan. Kalau ia suatu kalimat yang mengandung arti, niscaya tidak akan ragu-ragu lagi seluruh bangsa Arab akan artinya. Oleh sebab itu, lebih baiklah kita terima saja huruf-huruf itu menurut keadaannya.
Ayat 2
“Inilah Kitab itu; tidak ada … keraguan padanya; satu petunjuk bagi orang-orang yang hendak bertakwa."
Kita baru saja selesai membaca surah al-Faatihah. Di sana, kita telah memohon kepada Allah agar ditunjuki jalan yang lurus, jalan orang yang diberi nikmat, jangan jalan orang yang dimurkai atau orang yang sesat. Baru saja menarik napas selesai membaca surah itu, kita langsung ke surah al-Baqarah dan langsung ke ayat ini. Permohonan kita di surah al-Faatihah sekarang diperkenankan. Kamu bisa mendapat jalan yang lurus, yang diberi nikmat, bukan yang dimurkai dan tidak yang sesat, asal saja kamu suka memakai pedoman kitab ini. Tidak syak lagi, ia adalah petunjuk bagi orang yang suka bertakwa.
Apa arti takwa? Kalimat takwa diambil dari rumpun kata wiqayah artinya memelihara. Memelihara hubungan yang baik dengan Allah. Memelihara diri jangan sampai terperosok pada suatu perbuatan yang tidak diridhai oleh Allah. Memelihara segala perintah-Nya supaya dapat dijalankan. Memelihara kaki agar jangan terperosok ke tempat yang lumpur atau berduri. Sebab, pernah ditanyakan orang kepada sahabat Rasulullah, Abu Hurairah (ridha Allah untuk beliau), apa arti takwa? Beliau berkata, “Pernahkah engkau bertemu jalan yang banyak duri dan bagaimana tindakanmu waktu itu?" Orang itu menjawab, “Apabila aku melihat duri, aku mengelak ke tempat yang tidak ada durinya atau aku langkahi, atau aku mundur Abu Hurairah menjawab, “Itulah ia takwa!" (HR Ibnu Abid Dunya)
Lalu, diterangkan sifat atau tanda-tanda dari orang yang bertakwa itu, yang kita dapat menilik diri kita sendiri supaya memenuhinya dengan sifat-sifat itu:
Ayat 3
“Mereka yang percaya pada yang gaib, dan Mereka yang mendirikan shalat, dan dari apa yang Kami anugerahkan kepada Mereka, Mereka dermakan."
Inilah tiga tanda pada taraf yang pertama. Percaya pada yang gaib. Yang gaib ialah yang tidak dapat disaksikan oleh pancaindra; tidak tampak oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, yaitu dua indra yang utama dari kelima (panca) indra kita. Namun, ia dapat dirasa adanya. Maka, yang pertama sekali ialah percaya kepada Allah, Zat yang menciptakan sekalian alam, kemudian itu percaya akan adanya Hari Kemudian, yaitu kehidupan kekal yang sesudah dibangkitkan dari maut.
Iman yang berarti percaya, yaitu hati yang terbukti dengan perbuatan yang diucapkan oleh lidah menjadi keyakinan hidup. Maka, iman akan yang gaib itulah tanda pertama atau syarat pertama dari takwa tadi.
Itulah tingkat ketiga atau syarat ketiga dari pengakuan iman. Di tingkat pertama, percaya pada yang gaib, sedangkan kepercayaan pada yang gaib dibuktikan dengan shalat sebab hatinya dihadapkannya kepada Allah yang diimaninya. Maka, dengan kesukaan memberi, berderma, bersedekah, membantu, dan menolong, imannya telah dibuktikannya pula kepada masyarakat. Orang Mukmin tidak mungkin hidup nafsi-nafsi dalam dunia. Orang Muk-min tidak mungkin menjadi budak dari benda sehingga dia lebih mencintai benda pemberian Allah itu daripada sesamanya manusia. Orang yang Mukmin apabila dia ada kemampuan karena imannya, sangAllah dia percaya bahwa dia hanya saluran saja dari Allah untuk membantu hamba Allah yang lemah.
Ayat 4
“Dan orang-orang yang percaya pada apa yang dituntutkan kepada engkau."
Niscaya baru sempurna iman itu kalau percaya pada apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai iman dan ikutan. Percaya pada wahyu dan percaya juga pada contoh-contoh yang beliau bawakan dengan sunnahnya, baik kata-katanya maupun perbuatannya ataupun perbuatan orang lain yang tidak dicelanya. Dengan demikian, baru iman yang telah tumbuh tadi terpimpin dengan baik.
“Dan apa yang diturunkan sebelum engkau," yakni percaya pula bahwa sebelum Nabi Muhammad ﷺ tidak berbeda pandangan kita kepada Nuh atau Ibrahim, Musa atau Isa, dan nabi-nabi yang lain. Semua adalah nabi kita! Lantaran itu pula, tidak berbeda pandangan orang Mukmin itu terhadap sesama manusia. Bahkan, manusia itu umat yang satu.
“Dan kepada akhirat mereka yakin."
Inilah kunci penyempurna iman, yaitu keyakinan bahwa hidup tidaklah selesai hingga hari ini, tetapi masih ada sambungannya. Sebab itu, hidup seorang Mukmin terus dipenuhi oleh harapan bukan oleh kemuraman; terus optimis, tidak ada pesimis. Seorang Mukmin yakin ada hari esok!
Ayat 5
“Mereka itulah yang berada atas petunjuk dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beroleh kejayaan."
Berjalan menempuh hidup, di atas jalan Shirathal Mustaqim, dibimbing selalu oleh Allah, karena dia sendiri memohonkan-Nya pula, bertemu taufik dengan hidayah, sesuai kehendak diri dengan ridha Allah. Maka, beroleh kejayaan yang sejati, menempuh suatu jalan yang selalu terang-benderang, sebab pelitanya terpasang dalam hati sendiri; pelita iman yang tidak pernah padam.