Ayat
Terjemahan Per Kata
هُنَالِكَ
disitulah
ٱبۡتُلِيَ
di uji
ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
orang-orang mukmin
وَزُلۡزِلُواْ
dan mereka digoncangkan
زِلۡزَالٗا
goncangan
شَدِيدٗا
keras
هُنَالِكَ
disitulah
ٱبۡتُلِيَ
di uji
ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
orang-orang mukmin
وَزُلۡزِلُواْ
dan mereka digoncangkan
زِلۡزَالٗا
goncangan
شَدِيدٗا
keras
Terjemahan
di situlah orang-orang mukmin diuji dan diguncangkan (hatinya) dengan guncangan yang dahsyat.
Tafsir
(Di situlah diuji orang-orang Mukmin) mereka mendapat cobaan supaya menjadi jelas, siapakah orang Mukmin yang benar-benar dan siapakah yang gadungan (dan hati mereka diguncang) berdegup-degup (dengan guncangan yang sangat) disebabkan ketakutan yang sangat mencekam mereka.
Tafsir Surat Al-Ahzab: 11
Ayat 11
Keadaan tersebut membuat posisi kaum muslim makin gawat dan sangat terjepit, seperti yang disebutkan Allah subhaanahu wa ta’aalaa melalui firman-Nya: Di situlah diuji orang-orang mukmin dan diguncangkan (hatinya) dengan guncangan yang sangat. (Al-Ahzab: 11)
Golongan yang bersekutu itu mengepung Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya selama kurang lebih satu bulan, hanya saja mereka masih belum dapat menembus benteng parit kaum muslim, dan di antara kedua belah pihak belum terjadi kontak senjata. Terkecuali Amr ibnu Abdu Wadd Al-Amiri, dia adalah seorang pendekar penunggang kuda yang terkenal sejak zaman Jahiliah.
Dia bersama sejumlah pasukan berkuda meloncati parit itu hingga sampai di bagian posisi pasukan kaum muslim. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menyerukan kepada pasukan berkuda kaum muslim untuk menghadapinya. Tetapi dilaporkan kepada beliau bahwa tiada seorang pun dari pasukan kaum muslim yang berani menandinginya. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada sahabat Ali radhiyallaahu ‘anhu untuk menghadapinya. Lalu Ali radhiyallaahu ‘anhu keluar menandinginya, keduanya terlibat dalam pertempuran selama sesaat, dan pada akhirnya sahabat Ali radhiyallaahu ‘anhu berhasil membunuhnya. Peristiwa ini merupakan pertanda akan datangnya pertolongan dari Allah dan kemenangan.
Kemudian Allah subhaanahu wa ta’aalaa mengirimkan kepada pasukan bersekutu angin yang kencang, kuat, lagi dingin, sehingga tiada suatu kemah pun dan tiada sesuatu pun dari peralatan mereka yang tersisa. Mereka tidak dapat menyalakan api dan tiada tempat lagi bagi mereka, sehingga pada akhirnya mereka pulang dalam keadaan kecewa dan merugi. Hal ini diceritakan oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa melalui firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu lihat. (Al-Ahzab: 9) Mujahid mengatakan bahwa angin topan tersebut adalah angin saba (angin yang sangat dingin lagi keras tiupannya).
Pengertian ini diperkuat oleh hadis Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan: Aku diberi pertolongan melalui angin saba, dan kaum 'Ad dibinasakan melalui angin dabur (puyuh). Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnul Mus'anna, telah menceritakan kepada kami Abdul A' la, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa angin selatan berkata kepada angin utara di malam pasukan bersekutu menyerang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, "Marilah kita pergi untuk menolong Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam" Maka angin utara yang berhawa panas menjawab, "Sesungguhnya hawa panas tidak dapat mengalir di malam hari." Ikrimah melanjutkan kisahnya bahwa pada akhirnya angin selatan atau angin saba-lah yang dikirimkan kepada mereka.
Imam Abu Hatim telah meriwayatkan hal yang semisal melalui Abu Sa'id Al-Asyaj, dari Hafs ibnu Gayyas, dari Daud, dari Ikrimah dari Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ubaidillah ibnu Umar, dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhu yang menceritakan bahwa Usman ibnu Mazun radhiyallaahu ‘anhu paman dari pihak ibunya pernah menyuruhnya pergi ke Madinah di malam Perang Khandaq saat cuaca malam sangat dingin dan anginnya yang sangat kencang, seraya berpesan, "Datangkanlah makanan dan kain selimut buat kami (yang ada di perbatasan parit)." Perawi (Abdullah ibnu Umar) melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia meminta izin untuk menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan ia diberi izin untuk menemuinya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Siapa pun yang kamu jumpai dari kalangan sahabatku, perintahkanlah kepada mereka untuk kembali ke Madinah." Maka aku (Abdullah ibnu Umar) pergi, sedangkan angin saat itu menyapu segala sesuatu; dan tiada seorang pun yang aku jumpai, melainkan aku perintahkan agar dia kembali kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam Maka tiada seorang pun dari mereka yang disampaikan kepadanya perintah itu, melainkan ia langsung kembali tanpa menolehkan wajahnya. Saat itu aku membawa sebuah tameng milikku, dan angin kencang menerpainya sehingga membuatnya memukuli diriku. Sedangkan pada tameng itu terdapat bagian dari besinya; ketika angin menerpanya dengan kuat, besi itu mengenai telapak tanganku dan tameng itu jatuh dari tanganku ke tempat yang cukup jauh.
Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: dan tentara yang kamu tidak dapat melihatnya. (Al-Ahzab: 9) Mereka adalah para malaikat yang turun mengguncangkan hati mereka dan melemparkan ke dalam hati mereka rasa takut dan ngeri, sehingga tiap-tiap pemimpin kabilah dari pasukan bersekutu berkata, "Hai Bani Fulan, berkumpullah dekatku," lalu mereka berkumpul dan ia mengatakan, "Tolong, tolong," karena Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah melemparkan rasa takut ke dalam hati mereka. Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Yazid ibnu Ziad, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi yang menceritakan bahwa seorang pemuda dari Kufah pernah bertanya kepada Huzaifah ibnul Yaman radhiyallaahu ‘anhu, "Hai Abu Abdullah, engkau telah melihat dan menemui Rasulullah." Huzaifah menjawab, "Ya benar, hai anak saudaraku." Pemuda itu bertanya, "Lalu apakah yang kamu lakukan?" Huzaifah menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya kami benar-benar telah mengerahkan segala kemampuan kami." Pemuda itu berkata, "Demi Allah, seandainya kami masih sempat menjumpai beliau, tentulah kami tidak akan membiarkan beliau berjalan di atas tanah, dan tentulah kami memanggulnya di atas pundak kami." Huzaifah ibnul Yaman radhiyallaahu ‘anhu berkata, "Hai anak saudaraku, demi Allah, seandainya engkau menyaksikan keadaan kami bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Khandaq (niscaya engkau akan menyaksikan betapa pengorbanan kami), yaitu pada saat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengerjakan salat di sebagian malam itu, kemudian beliau berpaling dan bersabda: "Siapakah lelaki yang mau pergi untuk melihat apa yang dilakukan oleh musuh, sebagai mata-mata kami dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mensyaratkan hendaknya orang tersebut dapat kembali dengan selamat maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga.”
Huzaifah radhiyallaahu ‘anhu melanjutkan kisahnya, bahwa tiada seorang lelaki pun yang berdiri, kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam salat lagi di sebagian malam itu. Setelah selesai, beliau berpaling ke arah kami dan mengucapkan sabda yang semisal, dan ternyata tiada seorang lelaki pun yang menyambut seruannya. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam salat lagi di sebagian malam itu, dan setelah salat beliau berpaling ke arah kami seraya bersabda: Siapakah lelaki yang sanggup pergi untuk kepentingan kita guna melihat apa yang dilakukan oleh musuh kita, lalu ia kembali lagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mensyaratkan hendaknya orang tersebut kembali dengan selamat kepadanya maka aku akan memohonkan kepada Allah semoga dia menjadi temanku di dalam surga? Ternyata tiada seorang lelaki pun yang berdiri menyambut imbauannya, karena kami semua dicekam oleh rasa takut yang sangat, perut kami sangat lapar, dan cuaca sangat dingin.
Setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melihat bahwa tiada seorang pun yang menyambut seruannya, maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam memanggilku, sehingga tiada jalan lain bagiku kecuali bangkit menuju kepadanya saat ia memanggilku. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Hai Huzaifah, pergilah dan masuklah ke dalam markas musuh, lalu lihatlah apa yang dilakukan oleh mereka, tetapi jangan sekali-kali engkau melakukan suatu tindakan apa pun hingga engkau kembali kepada kami. Huzaifah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia pergi dan memasuki markas musuh, sedangkan angin dan tentara Allah subhaanahu wa ta’aalaa sedang mengerjai mereka dengan sebenarnya, sehingga membuat mereka tidak mempunyai suatu tempat berteduh pun dan tiada api serta tiada perlindungan apa pun. Lalu Abu Sufyan bangkit dan berkata, "Hai golongan kaum Quraisy, hendaklah tiap orang memeriksa teman sekedudukannya" (karena malam gelap sekali). Huzaifah melanjutkan kisahnya, bahwa ia memegang tangan seseorang yang ada di sisinya, lalu bertanya, "Siapakah engkau?" Orang yang dipegangnya menjawab, "Aku adalah si Fulan bin Fulan." Selanjutnya Abu Sufyan berkata lagi, "Hai golongan orang-orang Quraisy, demi Allah, sesungguhnya kalian sekarang tidak mempunyai lagi tempat untuk berlindung.
Sesungguhnya semua kaki dan sepatu telah rusak, dan Bani Quraisah telah berkhianat terhadap kita, kami mendapat berita yang tidak kita sukai tentang mereka. Dan kita ditimpa oleh petaka angin ini seperti yang kalian alami sendiri. Demi Allah, tiada suatu panci pun bagi kita yang tersisa, dan tiada api pun yang dapat dinyalakan, serta tiada bangunan apa pun bagi kita yang masih bertahan.
Karena itu, berangkatlah kalian, karena sesungguhnya aku sendiri akan pulang." Lalu Abu Sufyan bangkit menuju tempat penambatan unta kendaraannya yang terikat. Abu Sufyan menaiki unta kendaraannya dan memukulnya, lalu unta itu bangkit menjebol pasak tambatannya dan langsung berlari. Seandainya saja aku belum berjanji kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang memerintahkan diriku agar jangan melakukan suatu tindakan apa pun sebelum kembali kepada beliau, tentu aku dapat membunuh Abu Sufyan dengan anak panahku seandainya aku mau.
Huzaifah radhiyallaahu ‘anhu melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia kembali kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang saat itu sedang dalam keadaan berdiri mengerjakan salat beralaskan kain sari salah seorang istri beliau. Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melihatku, maka beliau langsung memasukkan diriku di antara kedua kakinya dan melemparkan ujung kain sari itu menutupi diriku. Lalu beliau sujud, sedangkan saya tertutupi oleh kain itu. Setelah beliau salam dan menyelesaikan salatnya, maka kuceritakan kepadanya apa yang telah kulihat. Kabilah Gatafan mendengar apa yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy, maka mereka pun bersiap-siap untuk pulang ke kampung halaman mereka. Imam Muslim meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya melalui hadis Al-A'masy, dari Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ketika kami berada di rumah Huzaifah ibnul Yaman radhiyallaahu ‘anhu ada seorang lelaki berkata, "Seandainya aku menjumpai masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, tentu aku akan berperang bersamanya dan aku akan beroleh kemenangan." Huzaifah berkata kepada lelaki itu, bahwa apakah engkau akan melakukan hal tersebut? Sesungguhnya kami bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam di malam Perang Ahzab yang cuacanya saat itu dingin dan angin yang sangat keras.
Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Adakah seorang lelaki yang mau mendatangkan berita musuh, kelak ia akan bersamaku di hari kiamat? Tiada seorang pun dari kami yang menjawab, lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengulangi lagi sabdanya untuk kedua kalinya, dan sampai yang ketiga kalinya, kemudian beliau bersabda: Hai Huzaifah, berangkatlah kamu dan datangkanlah kepada kami berita tentang musuh kita. Maka tiada jalan lain bagiku, melainkan harus berangkat karena beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menyebut namaku. Aku bangkit menuju ke arah beliau dan beliau berpesan: Datangkanlah kepadaku berita tentang musuh, dan janganlah kamu membuat mereka terkejut dengan kehadiranku. Maka aku berangkat dengan jalan kaki seakan-akan aku sedang berjalan di pemandian air panas, hingga sampailah aku ke tempat mereka, dan ternyata kujumpai Abu Sufyan sedang mendiangkan punggungnya ke api.
Lalu aku letakkan anak panah pada busurku dengan maksud akan menembaknya, tetapi aku teringat pesan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan, "Janganlah engkau kejutkan mereka karena aku," seandainya kulempar dia dengan anak panahku, pasti mengenainya. Setelah itu aku kembali seakan-akan aku sedang berjalan di pemandian air panas, dan aku langsung menghadap kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam Setelah sampai di tempat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, tubuhku kedinginan. Maka kuceritakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam segala sesuatunya dan beliau menyelimuti diriku dengan kain 'abayah yang biasa beliau pakai untuk hamparan salat. Aku langsung istirahat tidur hingga pagi hari. Ketika hari sudah pagi, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Bangunlah, hai orang yang banyak tidur!" Yunus ibnu Bukair meriwayatkannya melalui Hisyam Ibnu Sa'd, dari Zaid ibnu Aslam yang menceritakan bahwa seorang lelaki berkata kepada Huzaifah radhiyallaahu ‘anhu, "Kami mengadu kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa tentang kalian yang sempat menjadi sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam Sesungguhnya kalian menjumpainya, sedangkan kami tidak menjumpainya. Dan kalian melihatnya, sedangkan kami tidak melihatnya." Huzaifah radhiyallaahu ‘anhu menjawab, bahwa kami pun mengadu kepada Allah tentang keimanan kalian kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, padahal kalian belum pernah melihatnya.
Demi Allah, hai anak saudaraku, sekiranya engkau menjumpai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kami tidak mengetahui apa yang bakal kalian lakukan. Sesungguhnya kami bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam di malam Perang Khandaq dalam cuaca yang sangat dingin lagi hujan deras. Kisah selanjutnya sama dengan hadis yang sebelumnya. Bilal ibnu Yahya Al-Absi telah meriwayatkan dari Huzaifah radhiyallaahu ‘anhu hal yang semisal dengan hadis di atas. Imam Hakim dan Imam Al-Baihaqi di dalam kitab Dalail-nya telah mengetengahkan melalui hadis Ikrimah ibnu Ammar, dari Muhammad ibnu Abdullah Ad-Du'ali, dari Abdul Aziz (anak lelaki saudara Huzaifah radhiyallaahu ‘anhu) yang menceritakan kisah peperangan mereka para sahabat bersama dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam Kemudian orang-orang yang ada di majelisnya berkata, "Demi Allah, seandainya kami ikut dalam peristiwa tersebut, tentulah kami akan berjuang dan terus berjuang." Maka Huzaifah radhiyallaahu ‘anhu berkata, "Janganlah kalian mengharapkan hal tersebut, sesungguhnya kami pernah mengalami malam hari Perang Ahzab, saat itu kami dalam keadaan siaga berbaris dengan duduk.
Abu Sufyan berikut dengan golongan yang bersekutu; posisi mereka berada di atas kami, sedangkan Bani Quraizah berada di bagian bawah kami mengancam keselamatan kaum wanita dan anak-anak kami. Kami belum pernah mengalami malam yang lebih gelap daripada malam itu, dan belum pernah ada angin yang bertiup sekeras malam itu yang suaranya seperti suara guntur. Cuaca saat itu gelap gulita, tiada seorang pun di antara kami yang dapat melihat ujung jarinya karena pekatnya malam yang sangat gelap.
Maka orang-orang munafik yang ada dalam barisan kaum muslim meminta izin kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam seraya mengatakan, "Sesungguhnya rumah-rumah kami adalah aurat (tidak ada pertahanannya)," Padahal rumah-rumah mereka bukanlah aurat. Pada waktu itu tiada seorang pun yang meminta izin kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, melainkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memberinya izin (untuk meninggalkan posisi mereka). Dan ada sebagian dari mereka yang tidak meminta izin dahulu, melainkan pergi dengan diam-diam meninggalkan medan perang. Tinggallah kami yang ada di medan perang, jumlah kami kurang lebih ada tiga ratus orang. Tiba-tiba Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memeriksa barisan kami seorang demi seorang, hingga sampailah pada giliranku. Saat itu aku tidak mempunyai tameng untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, tidak pula mempunyai kain pelindung dari dinginnya cuaca dan angin yang keras selain dari kain sari milik istriku yang panjangnya tidak mencapai kedua lututku.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mendatangiku yang saat itu aku sedang duduk bersideku di atas kedua lututku karena kedinginan. Beliau bertanya, "Siapa kamu?" Aku menjawab, "Huzaifah." Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memanggil, "Hai Huzaifah!" Saat itu bumi terasa sempit bagiku, dan aku menjawab dengan jawaban yang enggan karena tidak mau berdiri, "Ya, wahai Rasulullah," dan aku terpaksa berdiri. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya di kalangan musuh telah terjadi sesuatu, maka cari tahulah kamu tentang berita mereka dan ceritakanlah kepadaku." Aku adalah orang yang paling gentar dan paling kedinginan saat itu. Akhirnya karena diperintah, terpaksa aku berangkat. Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berdoa untukku: Ya Allah, peliharalah dia dari arah depannya, dari arah belakangnya, dari arah kanannya, dari arah kirinya, dari arah atasnya, dan dari arah bawahnya.
Demi Allah, sesudah itu tiada rasa gentar dan tiada rasa dingin yang tadinya mengendap di dalam diriku melainkan semuanya hilang saat itu juga, dan aku tidak merasakan apa-apa lagi. Setelah aku berpaling, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berpesan: Hai Huzaifah, jangan sekali-kali kamu melakukan suatu tindakan apa pun di kalangan musuh hingga kamu kembali kepadaku! Aku berangkat hingga ketika telah berada di dekat markas musuh aku melihat ada cahaya api yang sedang dinyalakan oleh mereka.
Tiba-tiba aku melihat seorang lelaki yang hitam lagi tinggi besar sedang memanaskan tangannya di atas nyala api, lalu mengusap-usapkannya ke pinggangnya. Ia mengatakan, "Mari kita pulang, mari kita pulang." Ketika itu aku belum mengenal Abu Sufyan, dan aku mencabut anak panahku yang berbulu putih dari wadahnya, lalu kuletakkan di tengah busurku untuk kutembakkan kepada lelaki tersebut yang kelihatan melalui cahaya api.
Namun aku teringat akan pesan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan, "Jangan sekali-kali kamu melakukan tindakan apa pun di kalangan mereka hingga kamu kembali kepadaku." Maka aku menahan diriku dan mengembalikan anak panah ke wadahnya, kemudian kuberanikan diriku untuk masuk ke markas musuh. Tiba-tiba orang-orang yang paling dekat denganku dari kalangan Bani Amir berkata, "Hai Bani Amir, mari kita pulang, mari kita pulang, tidak ada lagi tempat tinggal bagi kita!" Tiba-tiba angin besar hanya menerpa markas mereka tidak lebih dari itu barang sejengkal pun.
Demi Allah, aku benar-benar mendengar suara batu-batuan yang tertiup angin besar itu menghantami kemah dan barang-barang mereka. Kemudian aku kembali menuju tempat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam setelah perjalananku sampai di pertengahan. Tiba-tiba aku bersua dengan sekelompok penunggang kuda yang jumlah mereka kurang lebih dua puluh orang, wajah mereka semuanya tertutup, lalu mereka berkata, "Beritahukanlah kepada temanmu (yakni Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam) bahwa Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah menghindarkan bahaya musuh darinya." Aku kembali kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang saat itu sedang salat memakai kain selimut. Demi Allah, begitu aku sampai di tempat, rasa dingin kembali menyerang diriku sehingga aku menggigil. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berisyarat kepadaku dengan tangannya, sedangkan beliau tetap dalam salatnya. Lalu aku mendekat kepadanya, dan beliau berbagi selimut dengannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila mengalami suatu perkara yang berat, maka beliau selalu salat. Lalu aku ceritakan kepadanya tentang berita musuh dan kukatakan kepadanya bahwa aku meninggalkan mereka, sedangkan mereka dalam keadaan bersiap-siap untuk pulang ke negeri mereka.
Dan Allah menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan. (Al-Ahzab: 9) Imam Abu Dawud di dalam kitab sunannya telah mengetengahkan sebagian dari hadis ini, yaitu: Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bila mengalami kesulitan yang berat, maka beliau salat. Ia riwayatkan hadis ini melalui jalur Ikrimah ibnu Ammar dengan sanad yang sama.
Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: (Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu. (Al-Ahzab: 10) Yang dimaksud dengan mereka adalah golongan yang bersekutu. Dalam keterangan di atas telah disebutkan melalui riwayat Huzaifah bahwa mereka adalah Bani Quraizah. dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan. (Al-Ahzab: 10) karena rasa takut yang berat dan gentar. dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. (Al-Ahzab: 10) Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian orang yang bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ada yang menduga bahwa kekalahan akan dialami oleh kaum mukmin dan Allah akan melakukan hal tersebut.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: dan ketika tidak tetap lagi penglihatanmu, dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. (Al-Ahzab: 10) Kaum mukmin mempunyai berbagai prasangka, sedangkan kaum munafik meramal, sehingga Mu'tib ibnu Qusyair saudara Bani Amr ibnu Auf (salah seorang munafikin) mengatakan, "Muhammad pernah menjanjikan kepada kita bahwa kita kelak akan memakan perbendaharaan Kisra dan Kaisar, padahal sekarang seseorang di antara kita tidak mampu lagi untuk pergi ke tempat buang air besarnya." Al-Hasan telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. (Al-Ahzab: 10) Purbasangka yang bermacam-macam; orang-orang munafik menyangka bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya pasti akan disikat habis.
Sedangkan orang-orang mukmin meyakini bahwa apa yang telah dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya adalah benar, dan bahwa Allah akan memenangkan Islam di atas semua agama lainnya, sekalipun orang-orang musyrik tidak menyukainya.
Ibnu Abi Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Asim Al-Ansari, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, dan telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Al-Aqdi, telah menceritakan kepada kami Az-Zubair ibnu Abdullah maula Usman ibnu Affan radhiyallaahu ‘anhu, dari Rabi' ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Sa'id, dari ayahnya, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa kami pada hari Perang Khandaq bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ada sesuatu doa yang harus kami ucapkan, karena hati kami naik menyesak sampai ke tenggorokan?" Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, "Ya ucapkanlah: Ya Allah, tutupilah kelemahan kami dan tenangkanlah rasa takut kami.
Abu Sa'id radhiyallaahu ‘anhu melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Allah memukul musuh-musuhnya dengan angin yang keras dan mengalahkan mereka dengan angin itu. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal melalui Abu Amir Al-Aqdi.
Orang-orang mukmin terpana melihat besarnya jumlah pasukan kafir. Di situlah orang-orang mukmin diuji dan sengaja digoncangkan hatinya dengan goncangan yang dahsyat agar terlihat jelas siapa di antara mereka yang benar-benar beriman dan siapa yang munafik. 12. Dan ingatlah ketika orang-orang munafik yang sengaja menyembu-nyikan kekafirannya dan orang-orang yang hatinya berpenyakit serta lemah imannya berkata, 'Apa yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kami hanya tipu daya belaka. Dia pasti tidak akan mampu menolong pasukan mukmin. ' Mereka berkata demikian karena mereka melihat jumlah pasukan kafir jauh lebih besar daripada pasukan mukmin.
Dalam keadaan yang demikian mencekam, Allah menguji kekuatan iman orang-orang yang beriman, sehingga nyata mana yang benar-benar beriman, yang memurnikan ketaatan hanya kepada Allah saja, percaya bahwa Muhammad ﷺ adalah rasul Allah, dan percaya pula akan kemenangan Islam dan kaum Muslimin, serta mana yang goyah dan rapuh imannya, yang mengikuti Rasulullah hanya semata-mata hendak mencari keuntungan diri mereka saja. Seakan-akan Perang Ahzab ini merupakan suatu seleksi bagi kaum Muslimin, tentang siapa yang benar-benar kawan dan siapa yang sungguh-sungguh lawan.
(12) Menurut riwayat, thu'mah bin Ubairiq dan tujuh puluh orang yang lain mengatakan, "Bagaimana pula yang dijanjikan kepada kita penaklukan kerajaan Persia dan Romawi, padahal pada saat ini untuk buang air besar saja tidak seorang pun di antara kita yang sanggup." Ucapan ini sengaja mereka lontarkan tatkala mereka mendengar berita tentang peristiwa yang terjadi di waktu Rasulullah menggali parit dan mencangkuli batu yang memancarkan cahaya sebagaimana yang telah diterangkan. Maka Allah menurunkan ayat ini.
Dalam ayat ini diterangkan hasil ujian Allah kepada kaum Muslimin, yaitu dengan tercetusnya perkataan orang-orang munafik seperti Mu'attib bin Qusyair dan orang-orang yang lain yang masih lemah imannya, "Semua yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita, seperti akan mendapat kemenangan, memperoleh kebahagiaan hidup, dan sebagainya, tidak lain hanyalah tipu daya dan janji-janji kosong saja, bahkan janji itu menimbulkan kesengsaraan dan malapetaka bagi kita semuanya. Muhammad mengatakan bahwa kerajaan Persia dan Romawi akan takluk ke bawah kekuasaan kaum Muslimin, tetapi kenyataannya sekarang, kaum Muslimin yang akan menaklukkan itu sedang dikepung rapat oleh tentara yang bersekutu dan akan mengalami kehancuran dan kemusnahan.".
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
PERANG KHANDAQ
Ayat 9
“Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah olehmu nikmat Allah kepada kamu seketika datang kepada kamu tentara-tentara."
Di dalam ayat ini Allah ﷻ memperingatkan kembali nikmat dan karunia Allah dan pertolongan besar yang Dia berikan kepada mereka, sebagai hamba-hamba-Nya yang ber-iman. Yaitu ketika kota Madinah hendak diserbu oleh Ahzab, yaitu beberapa golongan yang telah bersekutu hendak menghancurkan Islam yang baru tumbuh. Maka datang tentara demi tentara, yaitu pada bulan Syawwal tahun kelima dari hijrah Nabi ﷺ menurut hadits yang masyhur.
Menurut riwayat dari Musa bin Uqbah terjadi Perang Khandaq itu tahun keempat Hijriyah.
Asal mula timbulnya maksud hendak menyerbu kota Madinah ini ialah dari kalangan pemuka-pemuka Yahudi Bani Nadhir yang dahulu dari itu telah diusir Nabi dari Madinah karena kedapatan mufakat jahat mereka hendak membunuh Nabi seketika beliau datang ziarah ke kampung mereka di pinggir kota Madinah. Sebagian mereka telah berpindah ke Khaibar. Karena sakit hati mereka, pergilah beberapa orang pemukanya, di antaranya ialah Salam bin Abil Haqiq dan Salam bin Misykam dan Kinanah bin Rata. Mereka pergi menuju Mekah menghubungi musyrikin Quraisy, menghasut mereka supaya suka menyerbu ke kota Madinah dan mereka, orang Yahudi, bersedia memberikan bantuan orang-orang dan sokongan harta benda. Orang Quraisy tertarik oleh ajakan itu dan terus menyiapkan tentara. Lalu utusan Yahudi itu pergi pula kepada Kabilah Arab Ghathafan. Mereka hasut pula Ghathafan itu supaya menyerbu Madinah bersama Quraisy, sebab Quraisy sudah siap. Ghathafan pun menyambut ajakan Yahudi itu.
Quraisy pun keluarlah dengan persiapan yang besar dan mereka keluarkan pula habsyi-habsyi yang ada di Mekah dan mereka perlengkapi dengan senjata. Pemimpinnya ialah Abu Sufyan sendiri.
Ghathafan pun keluar pula dengan perlengkapan besar. Pemimpinnya Uyainah bin Hashn bin Badr. Jumlah gabungan kedua tentara itu sampai sekitar 10.000 orang. Satu penyerbuan yang hebat dahsyat dan dapat menghancurkan, kalau berhasil. Sedang bilangan kaum Muslimin di masa itu belum sebanyak itu.
Maka dengan anjuran dari Salman ai-Farisi, Rasulullah ﷺ memerintahkan menggali parit di sebelah bagian timur kota Madinah, yaitu jurusan yang landai yang mudah dimasuki dalam penyerbuan. Dengan kerja keras parit itu atau lubang besar dan dalam yang tidak dapat dilompati, walaupun dengan kuda, telah dikerjakan siang malam. Rasulullah sendiri pun ikut bekerja. Beliau turut menggali tanah dan mengangkutnya sehingga menimbulkan semangat berlipat ganda pada sahabat-sahabatnya.
Musuh-musuh itu pun datang dan melabuhkan tentara besar itu di sebelah timur, dekat dari Bukit Uhud dan bagian-bagian yang lain lagi berlabuh di dataran lebih tinggi. Sedang kaum Muslimin yang bersiap menghadapi tentara besar itu adalah 3.000 orang dipimpin oleh Rasulullah ﷺ, sendiri (Ada juga riwayat mengatakan hanya 700 orang). Mereka menunggu menghadapi musuh dengan membelakangi Perbukitan Sala' Pertahanan mereka adalah parit galian itu, yang memang sukar buat dilalui, baik tentara jalan kaki atau berkendaraan. Apakah lagi di sebelah atasnya tentara Muslimin siap menunggu siapa saja yang mencoba hendak melalui parit itu. Dan di balik parit pertahanan dan pahlawan-pahlawan Islam yang menunggu segala kemungkinan itu berlindunglah perempuan-perempuan dan anak-anak yang tertanam dalam sekali di jiwa mereka bahwa mereka akan selamat.
Tetapi di sebelah agak ke timur lagi dari kota Madinah, di balik Bukit Uhud ada perkampungan orang Yahudi dari Bani Quraizhah. Sejak Rasulullah ﷺ, hijrah ke Madinah mereka telah mengikat janji tidak akan membantu musuh jika Madinah diserang dari luar, bahkan akan sama-sama mempertahankannya dan pihak Muslimin pun memberikan jaminan akan membela mereka dan tidak akan mengganggu agama mereka. Mereka mempunyai benteng yang kuat pula di tempat itu. Ketika Madinah mulai dikepung, mereka berdiam diri ingat akan janji yang telah diperbuat dengan Rasulullah ﷺ
Tetapi Huyai bin Akhthab, seorang dari pemuka mereka sendiri yang telah pindah ke Khaibar datang menemui mereka dan membujuk mereka agar memungkiri janji, lalu berpihak kepada tentara sekutu yang telah mulai mengepung akan menyerbu. Menurut Huyai, sekaranglah waktu yang sebaik-baiknya buat menghancurkan Muhammad, Bani Quraizhah mempunyai persediaan tentara 800 orang.
Berita akan belotnya Bani Quraizhah itu cepat juga terdengar oleh Rasulullah ﷺ Segera beliau utus kepada mereka sahabatnya yang setia dari kalangan Anshar, yang sejak zaman dahulu baik hubungannya dengan Yahudi Bani Quraizhah itu, yaitu Sa'ad bin Mu'az. Mereka dibujuk supaya jangan belot karena bahayanya amat besar. Selama ini mereka dijamin keamanan oleh Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin, bertetangga secara baik. Maka kalau mereka khianat, nasib mereka akan sama dengan nasib Bani Nadhir yaitu akan diusir habis dari Madinah. Tetapi sambutan mereka sangat kasar. Mereka maki-maki Sa'ad bin Mu'az dengan ucapan sangat kurang ajar, “Makanlah alat kelamin ayahmu!"
Tetapi perang berhadapan tidak akan dapat terjadi. Tidak ada dari tentara yang 10.000 itu yang sanggup menyusuh masuk parit. Menempuh itu artinya hanya mati.
Seorang ahli perang tanding di zaman Jahiliyah yang jarang sekali orang berani meng-hadapinya, bernama Arm bin Abd Wadd dari Bani Arnir tampil ke dekat parit dan bersorak menghendaki lawan, siapa yang berani turun ke bawah untuk berperang tanding beradu ke-kuatan dengan pedang atau dengan tombak dengan kaum Muslimin. Di belakangnya meng-ikuti pula yang lain.
“Siapa berani, ayuh tampil ke muka! “ katanya.
Nabi memerintahkan Ali bin Abi Thalib.
Mulanya kedatangan Ali hendak berkelahi dengan dia itu dipandang enteng saja, karena anak muda. Tetapi setelah dilihatnya kesungguhan Ali menantangnya, lalu dihadapinya. Setelah tikam-hienikam, tohok-menohok beberapa lama, tombak Ali telah dapat menembus dadanya. Kejadian itu benar-benar menaikkan semangat kaum Muslimin.
Hampir sebulan lamanya tentara sekutu itu terkendala di luar kota, akan maju tidak bisa karena adanya khandaq. Akan mundur masih segan karena masih mengharap akan dapat menghancurkan Muhammad ﷺ. Tiba-tiba datanglah embusan angin dari timur yang sangat keras melanda sehingga aman dan apa saja yang tertegak digulungnya roboh. Menghidupkan api pun tidak bisa, sebab selalu diembus oleh angin keras itu. Kadang-kadang dibangkitkannya debu ke atas. Kemah-kemah yang ditegakkan dengan kuat, dibongkar habis oleh angin yang keras itu, sehingga segala persediaan menjadi kucar-kacir; makanan tidak dapat dimasak, air tidak dapat direbus, kemah tidak dapat dipasang. Dan semuanya itu terjadi pada malam hari. Maka dengan hati sangat jengkel, Abu Sufyan sebagai kepala dari tentara Quraisy terus memasang pelana kendaraannya lalu berkata kepada tentara yang dipimpinnya, “Hai Quraisy sekalian! Tidak ada gunanya lagi kita lebih lama di sini, angin begini kerasnya, segala persediaan sudah rusak, api tidak mau menyala, periuk tidak dapat dijerangkan, kemah tidak dapat didirikan. Lebih baik segera kita berangkat meninggalkan tempat ini. Saya sendiri sekarang juga berangkat!"
Mendengar seruan demikian, yang lain pun segera menurutinya. Maka kalahlah mereka sebelum bertempur. Inilah yang disebutkan Allah ﷻ di ujung ayat, “Maka Kami kirimlah kepada mereka angin dan tentara-tentara yang tidak kamu lihat." Artinya bahwa pada masa yang demikian cuaca telah menjadi salah satu pula yang memberikan pertolongan untuk mencapai kemenangan. Lalu di ujung ayat Allah ﷻ berfirman lagi,
“Dan Allah itu adalah melihat apa yang kamu kerjakan."
Di dalam ilmu perang modern pun masih diperhitungkan oleh jenderal-jenderal yang berpengalaman dari hal medan dan cuaca.
Medan dan cuaca saja tidaklah boleh ditunggu. Bahkan ikhtiar sendiri pun harus ada pula. Itulah tafsir dari ujung ayat bahwa Allah pun senantiasa melihat pula bagaimana caranya manusia mengadakan persiapan dan persediaan dalam menghadapi musuhnya. Kita melihat bahwa Nabi ﷺ, telah mengadakan persediaan yang oleh musuh-musuh tidak dikira-kira sejak semula, yaitu mengadakan parit pertahanan atau khandaq. Adanya khandaq itu telah memporak-porandakan rencana penyerangan (strategi) musuh. Mereka yang tadinya menyediakan perbekalan misalnya untuk seminggu dua minggu, rupanya harus memakan waktu lebih banyak dari yang dikira semula, yaitu hampir satu bulan.
Dan lagi pekerjaan penting yang lain, yang dalam perang pun menjadi bagian yang tidak boleh diabaikan. Yaitu siasat mengucar-kacirkan persiapan musuh dengan politkpecah-belah. Sebab sudah nyata bahwa tiga kelompok musuh yang telah bersatu, yang tentaranya tidak kurang dari 10.000 orang, gabungan Quraisy dan Ghathafan, kemudian menggabung pula Yahudi Bani Quraizhah dengan 800 tentara, bukanlah jumlah yang kecil.
Seorang Ghathafan bernama Nu'aim bin Mas'ud dengan sembunyi datang kepada Rasulullah ﷺ menyatakan bahwa dirinya mulai waktu itu telah masuk Islam, namun kaumnya dan pihak musuh belum ada yang tahu. Dia diminta instruksi kepada Rasulullah ﷺ apa yang dapat dia kerjakan.
Lalu Rasulullah menerimanya dengan gembira karena sebagai Rasul Allah ﷻ yang penuh firasat, sudah dapat beliau baca pada wajah Nu'aim, bahwa dia memang telah Islam sungguh-sungguh. Lalu beliau beri dia instruksi. Pertama hendaklah dia rahasiakan bahwa dia telah masuk Islam. Dia di perintahkan menemui pihak musuh satu demi satu dan berusaha memecahkan persekutuan mereka. Nabi bersabda. “Engkau seorang diri, tetapi engkau akan sanggup berbuat banyak untuk menghancurkan kekuatan mereka. Ingatlah bahwa perang adalah mempunyai berbagai tipu daya!"
Nu'aim berjanji akan melaksanakan perintah Rasulullah ﷺ dengan sebaik-baiknya. Maka yang terlebih dahulu ditemuinya ialah Bani Quraizhah. Di zaman dia masih jahiliyah dia mempunyai pergaulan yang baik dengan mereka itu. Sebab itu kedatangannya dipercayai.
Lalu dia berkata, “Hai Bani Quraizhah! Selama ini kalian sudah tahu urungan baikku dengan kalian."
Mereka jawab, “Memang engkau orang baik. Kami tidak ragu kepada engkau. Lalu dia berkata, “Quraisy dan Ghathafan tidak sama keadaannya dengan kalian. Negeri ini negeri kalian. Di sini harta kalian, anak-anak kalian dan istri-istri kalian. Kalian tidak akan dapat memindahkan mereka ke tempat lain. Tetapi Quraisy datang kemari pergi memerangi Muhammad. Lalu kalian berkawan dengan mereka memerangi Muhammad ﷺ pula. Sedang Quraisy dan Ghathafan bukan orang sini. Negeri mereka, harta benda mereka dan anak istri mereka berada di tempat jauh, bukan seperti kalian. Kalau Quraisy dan Ghathafan menang dapatlah mereka mengambil harta benda Muhammad ﷺ Tetapi kalau mereka tidak berhasil, mereka akan segera meninggalkan tempat ini, sedang kalian akan mereka tinggalkan menghadapi sendiri Muhammad ﷺ yang telah kalian musuhi itu. Kalau demikian jadinya tidaklah kalian akan sanggup menghadapi Muhammad ﷺ. Sebab itu dengan jujur saya nasihatkan kepada kalian supaya kalian meminta jaminan dari bangsawan-bangsawan mereka. Minta kirimkan anak-anak muda mereka kepada kalian sebagai jaminan bahwa jika terjadi perang dengan Muhammad ﷺ, mereka tidak akan meninggalkan dan mengecewakan kalian."
Saran Nu'aim itu rupanya termakan oleh mereka dan mereka berkata, “Apa yang engkau sarankan itu tepat sekali."
Setelah itu dia menarik diri dari Bani Quraizhah dan pergi menemui Quraisy. Lalu dia berkata kepada Abu Sufyan dan orang-orang yang dikelilingnya, seraya berkata, “Kalian sudah kenal bagaimana baik hubungan saya selama ini dengan kalian dan bagaimana pula saya menjauhkan diri dari Muhammad ﷺ. Sesungguhnya saya sudah mendengar suatu berita penting yang saya merasa wajib menyampaikan kepada kalian sebagai nasihat jujur. Harap saya kalian rahasiakan pula."
Mereka jawab, “Akan kami simpan rahasia itu."
Dia teruskan, “Kalian harus tahu bahwa orang-orang Yahudi itu rupanya sudah menyesal tentang perbuatannya memungkiri janji dengan Muhammad ﷺ. Mereka telah mengirim utusan kepada Muhammad ﷺ menyatakan mereka menyesal atas perbuatan khianat itu. Mereka menawarkan kepada Muhammad ﷺ, “Tanda kami telah menyesal, sudikah tuan menerima jika kami kirimkan orang-orang dari Qurasiy dan Ghathafan sebagai sandera? Supaya dapat tuan potong leher orang-orang itu? Kemudian kami bergandeng bahu dengan tuan memusnahkan Quraisy dan Ghathafan yang masih tinggal?" Muhammad ﷺ telah menjawab, “Bersedia menerima orang-orang itu jika dikirim."
Lalu Nu'aim berkata seterusnya, “Lantaran itu kalau ada utusan Yahudi mengirim utusan meminta orang-orang sandera, jangan kalian beri, walau seorang pun."
Setelah tampak hilang kepercayaan Quraisy kepada Yahudi itu Nu'aim pun me-lanjutkan siasatnya pula kepada Ghathafan. Setelah bertemu, dia pun berkata, “Wahai se-luruh Ghathafan. Kalian adalah asal-usulku dan keluarga dekatku dan manusia yang paling aku cintai. Saya percaya bahwa kalian tidak akan merasa ragu kepada diri saya."
“Memang, kami percaya kepadamu," jawab mereka.
Lalu dia berkata, “Ini rahasia besar, simpan baik-baik."
Mereka jawab, “Baik!"
Lalu diuraikannya pula perkataan yang dikatakan kepada Quraisy itu bahwa Yahudi telah merasa menyesal mengkhianati Muhammad ﷺ, Tanda penyesalannya dia menjanjikan kepada Muhammad ﷺ, akan mengirim beberapa orang dari Quraisy dan Ghathafan untuk dipotong leher mereka oleh Muhammad. Sebab itu kalau ada Yahudi itu meminta sandera jangan diterima.
Maka pada lima hari bulan Syawwal tahun kelima hijriyah itu, dengan takdir Allah Quraisy di bawah Abu Sufyan dan Ghathfaan di bawah pimpinan kepala-kepalanya mengutus Ikrimah bin Abu Jahal bersama dengan beberapa orang yang lain menemui Bani Quraizhah. Utusan itu menyampaikan bahwa kami tidak akan lama tinggal di sini karena persediaan perbekalan sudah hampir habis. Sebab itu mereka mendesak Bani Quraizhah supaya bersedia memasuki medan perang sehingga beres urusan kita dengan Muhammad ﷺ
Bani Quraizhah menjawab bahwa pada hari Sabtu mereka tidak mungkin keluar pergi berperang. Kalau kami langgar peraturan kami itu, kami keluar hari Sabtu, kami akan dapat celaka. Hal itu tentu sudah tuan-tuan ketahui. Dan kami tidak akan segera saja masuk ke medan perang kalau tuan-tuan Quraisy dan Ghathfaan tidak memberikan jaminan kepada kami bahwa tuan-tuan tidak akan meninggalkan kami. Jaminan itu ialah orang-orang yang akan dapat kami anggap sebagai sandera. Karena kami takut apabila peperangan ini akan membawa kerugian bagi tuan-tuan, maka tuan-tuan akan segera meninggalkan kami menghadapi sendiri Muhammad ﷺ itu. Kalau terjadi demikian kami tidak sanggup.
Siasat Nu'aim sangatberhasil, Persekutuan telah pecah. Rasa percaya-mempercayai di antara yang bersekutu sudah mulai pecah. Baru sekira tiga minggu saja, pengepungan sudah mulai goyah dan khandaq tidak dapat mereka seberangi.
Musim dingin kian lama kian mendatang. Dingin di Madinah terkenal sampai kepada zaman kita ini. Dingin yang dicampuri oleh embusan angin keras dari timur, yang oleh orang Arab disebut angin Shibaa. Dia berembus di telinga mendenging-denging dan kering sehingga kulit akan segera pecah-pecah.
Mana angin sengit berembus, mana pula semangat persatuan telah pecah dan satu terhadap yang lain mulai putus karena siasat Nu'aim, Dalam saat itu pula Rasulullah ﷺ mendorongkan siasat yang kedua, yaitu membujuk Ghathafan dan beberapa kabilah dari Nejd menyuruh mereka pulang saja. Untuk mereka akan diberi hadiah kenang-kenangan sepertiga hasil kurma Madinah. Karena Rasulullah ﷺ tahu benar bahwa Ghathafan ini ikut berperang bukanlah karena suatu cita-cita yang hendak dipertahankan, melainkan karena ingin mendapat harta rampasan kalau mendapat kemenangan menyerbu Madinah. Sudah dicoba hendak menyerbu ke dalam kota satu kali, namun gagal total karena waspadanya kaum Muslimin.
Ayat 10
“Ketika mereka datang kepada kamu dari atas kamu dan dari sebelah bawah kamu."
Inilah yang dibayangkan oleh Huzaifah bin Al-Yaman, “Di dalam itu kami duduk berbaris di tempat pertahanan kami berjaga-jaga. Abu Sufyan di tempat ketinggian di atas kami, Bani Quraizhah di sebelah bawah kami; yang kami takuti mereka akan menyerang mengganggu anak-anak kami. Malam itu sangat gelap dan angin berembus keras sekali. Suara angin menderu-deru seperti petir layaknya, sehingga jika diangkat jari-jari ke muka tidaklah akan kelihatan. Untuk penangkis dingin dan sejuk itu saya menyelimuti badan dengan kain selimut yang diserahkan istri saya, itu pun tidak sampai penutup lutut. Tiba-tiba datanglah Rasulullah ﷺ ke dekatku, sedang saya duduk berkelumun kedinginan. Lalu Rasulullah ﷺ bertanya, “Siapa ini?"
Saya menjawab, “Huzaifah." Lalu saya bersikap dengan baik di hadapan beliau.
Beliau bertanya sekali lagi, “Huzaifah?"
“Benar, ya Rasulullah, “ jawabku.
Lalu beliau menjatuhkan perintah, “Kamu pergi sekarang juga mengintip kaum itu. Selidiki sebaik-baiknya dan bawa kabarnya kepadaku."
“Baik," jawabku. Padahal saya sangat ketakutan akan pergi mencampungkan diri ke sana dan saya pun kedinginan. Lalu Rasulullah ﷺ menadahkan tangannya ke langit me-mohonkan perlindungan Allah ﷻ atas diriku. Tiba-tiba hilang takutku dan timbul berani-ku. Dan beliau memesankan pula supaya saya berhati-hati jangan berbuat sesuatu yang mencurigakan dan kelak setelah mengetahui keadaan supaya segera kembali.
Saya pun keluar dalam kelam gelap gulita itu menuju tempat berkumpul mereka itu. Saya dapat melihat seorang yang tubuhnya tinggi besar mendekatkan kedua telapak tangannya kepada api unggun yang masih hidup, lalu membarutkannya ke mukanya. Dia sedang menyampaikan kehendak hatinya kepada pengikut-pengikutnya, bahwa penyerbuan ini tidak berhasil, perbekalan sudah habis, lebih baik segera saja pulang ke Mekah. Melihat dia asyik bekata-kata demikian saya keluarkan anak panah dari kantongnya dan sudah saya sandarkan kepada busurnya, hendak saya panah dia di bawah nyala api itu. Tetapi saya teringat pesan Rasulullah ﷺ, bahwa saya tidak boleh berbuat sesuatu sebelum saya pulang kepada beliau memberi berita.
Ketika itu saya belum tahu bahwa orang itulah Abu Sufyan.
Karena teringat akan pesan Rasulullah ﷺ, itu maka panahku aku kembalikan ke dalam kantongnya, lalu aku beranikan diriku dan aku masuk ke tengah-tengah askar yang banyak itu. Kebetulan aku masuk ke tengah-tengah Bani Amir. Sebab tidak lama aku ada di tengah-tengah mereka terdengarlah pemimpin mereka berseru, “Hai Bani Amir! Segera kita berangkat! Segera kita berangkat! Kita tidak dapat lagi berhenti lama-lama di sini."
Kata Huzaifah selanjutnya, “Memang aku dengar suara anginyang keras bertiup sehingga membangkitkan pasir-pasir dan batu-batu kerikil menimbuni alat-alat persiapan dan hamparan kemah mereka, bahkan seluruh angin ribut yang keras itu telah memukul mereka."
Setelah melihat keadaan yang demikian, Huzaifah pun kembalilah kepada Nabi ﷺ, Didapatinya beliau sedang shalat. Karena kebiasaan beliau bilamana menghadapi hal-hal yang hebat itu beliau selalu shalat lalu memohonkan karunia dari Allah ﷻ Setelah beliau selesai shalat sunnah itu, maka Huzaifah pun lalu mendekati beliau dan menceritakan segala yang terjadi bahwa angin ribut yang sangatkeras itulah membuat musuh-musuh itu kacau-balau dan mereka mulai meninggalkan tempat itu.
Itulah yang dimaksud dalam pangkal ayat 10, “Ketika mereka datang kepada kamu dari atas kamu dan dari sebelah bawah kamu." Artinya, bahwa musuh telah mengepung dari segala pihak. Yaitu Quraisy yang datang dari sebelah selatan dan hendak mengepung dari sebelah selatan, Ghathafan datang dari jurusan timur dan Yahudi Bani Quraizhah pun telah belot dan khianat akan janjinya. “Dan seketika telah kacau-balau penglihatan" Artinya, bahwa karena musuh itu telah mengancam dari segala pihak seakan-akan goncanglah penglihatan, ke jurusan mana akan dihadapkan perhatian, padahal musuh telah mengepung dari segala pihak. Akan dihadapi yang datang dari sebelah selatan, yaitu orang Quraisy, namun bahaya Ghathafan tidak kurang dari itu. Akan dihadapi Ghathafan dan Quraisy, kalau-kalau Bani Quraizhah bangkit pula menyerbu. Padahal jumlah musuh setelah bergabung tidak kurang dari 10.000 atau 11.000 orang. Sedang kaum Muslimin hanya sekitar 3.000 orang saja, mungkin kurang. Itulah yang dimaksud dengan zhaagatil abshaar, yaitu berkacau-balau penglihatan, entah ke mana akan ditujukan. Sehingga kalau kiranya musuh yang 10.000 itu tergenggam dalam satu komando, mungkinlah hancur pertahanan Madinah waktu itu. Tetapi kelemahan mereka adalah karena komando tidak satu, dan masing-masing tidak benar-benar percaya-mempercayai. “Dan telah me-nyenak hati ke kerongkongan." Inilah kalimat yang tepat untuk menggambarkan rasa panik, kecemasan dan kekacauan pikiran. Yaitu yang terdapat dalam kalangan orang-orang yang bertahan di Madinah itu.
“Dan kamu menyangka tenhadap Allah berbagai prasangkaan."
Pada saat yang demikian itu boleh dikatakan penduduk Madinah mulai panik, mulai kacau pikiran. Timbullah berbagai persangkaan terhadap Allah ﷻ Ayat yang selanjutnya menjelaskan berbagai macam persangkaan itu.
Ayat 11
“Di situlah diuji orang-orang yang beriman dan akan digoncangkan dengan goncangan yang sangat."
Negeri telah dikepung, musuh tiga kali lipat banyaknya. Sedang Bani Quraizhah tetangga sendiri mulai berkhianat. Semuanya itu adalah ujian berat bagi orang-orang yang beriman di masa itu. Dan memang iman itu selalu ditantang oleh ujian. Di ujung ayat 10 di atas dikatakan bahwa timbul berbagai sangkaan terhadap Allah ﷻ Ada sangkaan yang buruk dan ada sangkaan yang baik. Memang pada segala zaman di mana saja saat-saat demikian menyebabkan penglihatan ber-kacau, hati menyesak ke kerongkongan.
Ayat 12
“Dan seketika berkata orang-orang yang munafik dan orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, “Tidaklah yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya itu selain dari penipuan."
Untuk menjelaskan maksud ayat ini lebih baik kita salin sebuah hadits yang disampaikan oleh sahabat Rasulullah ﷺ yang hadir dan turut bekerja keras menggali parit (khandaq) itu di samping Rasulullah ﷺ Yaitu Amr bin Auf.
Berkata Amr bin Auf, ‘Aku dan Salman dan Huzaifah dan Nu'man bin Muqarrin dan seorang sahabat Anshar lagi menggali empat-puluh hasta yang mesti segera kami selesaikan. Kami gali terus, sampai palu-palu kami terbentur kepada sebuah batu putih keras yang menyebabkan palu-palu kami pecah dan kami sudah payah namun batu itu tidak juga dapat ditumbangkan. Lalu Salman pergi menemui Rasulullah ﷺ menceritakan, bahwa pekerjaan kami terbentur kepada sebuah batu keras besar dan putih, yang tidak terganjak dan tidak ngingis ketika hendak dihancurkan, bahkan linggis kami yang pecah dibuatnya. Men-dengar laporan Salman itu, Rasulullah ﷺ pun segera datang ke tempat itu. Lalu beliau ambil linggis besi itu dari tangan Salman, lalu beliau ayunkan dan hantamkan linggis itu ke batu tersebut, lalu memancarlah api dari bekas ayunan itu dan beliau pun mengucapkan “Allahu Akbar! “ Mendengar beliau bertakbir itu, seluruh Muslimin pun mengucapkan takbir puia mengikuti takbir beliau. Setelah itu beliau ayunkan pula linggis itu sekali lagi dan beliau hantamkan kepada batu itu, memancar pula api dan batu itu pun mulai retak. Beliau pun mengucapkan takbir pula sekali lagi dengan suara bersemangat dan kaum Muslimin yang mendengarnya pun gemuruh pula suara takbir mereka. Setelah itu beliau ayunkan sekali lagi dan beliau hantamkan pula kepada batu itu, api memancar pula dan batu itu pun pecah dan Nabi mengucapkan pula sekali lagi, Allahu Akbar! Seluruh Muslimin gemuruh pula suara takbir mengiringkannya.
Batu telah pecah dan tiga kali takbir telah terdengar. Meskipun tampak betapa hebat-nya beliau mengumpulkan tenaga untuk memecahkan batu penghalang itu, namun muka beliau kelihatan berseri-seri menunjukkan semangat beliau yang bertambah tinggi dan iman yang tiada tandingnya. Sahabat-sahabat yang banyak itu pun berseri pula wajah mereka menghadapi Rasulullah ﷺ menunggu apalagi gerangan yang akan beliau perintahkan. Lalu beliau berkata, “Ketika paluku jatuh yang pertama dan batu keras itu mulai pecah dan sinar api memancar darinya, terbayanglah di dalam cahaya lintasan api itu istana-istana di negeri Hirah dan singgasana tempat bersemayam Kisra (Persia), menyeringai kepadaku laksana saing-saing dari anjing. Di saat itu juga Jibril datang membisikkan kepadaku, bahwa semuanya itu kelak akan ditaklukkan oleh umatku.
Seketika palu aku ayunkan yang kedua kali dan batu itu mulai retak, maka dalam cahaya api terbayang pula menyeringai istana-istana merah di negeri Rum, laksana saing-saing anjing. Jibril datang pula kepadaku membisikkan, bahwa umatku akan menguasai negeri itu kelak.
Pada ayunan ketiga dan batu itu aku hantam lagi, memancar pula cetusan api. Di saat itu pula terbayang menyeringai istana-istana di negeri Shan'a, (Arabia Selatan) laksana saing-saing anjing. Jibril pun datang membisikkan kepadaku, bahwa tempat itu kelak akan dikuasai oleh umatku. Oleh sebab itu betapa pun yang kamu hadapi, gembirakanlah hatimu.
Maka bergembiralah seluruh kaum Muslimin itu dan semua mengucapkan, “Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah, segala apa yang Allah janjikan adalah pasti dan benar."
Maka orang-orang yang munafik itu, yaitu yang masuknya ke dalam Islam hanya semata-mata karena mengharapkan keuntungan benda, melihat Islam kuat dan kalau menang perang mereka akan mendapat harta rampasan, dan kalau ternyata kaum Muslimin lemah, mereka pun bimbang, disertai pula oleh orang-orang yang ada penyakit dalam jiwanya, yaitu penyakit ragu-ragu, hati tidak tetap, pengecut, turut-turutan dan tidak ada rasa tanggung jawab, yang mau enaknya saja; maka orang-orang yang seperti itu akan memandang bahwa apa yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul itu hanyalah semata-mata tipuan atau bujukan pengobat-pengobat hati. Mereka tidak percaya akan apa yang dikatakan Nabi. Mereka berpikir, mana bisa akan menang. Cobalah lihat, 10.000 musuh telah mengepung kita, sedang kita tidak cukup seperti mereka. Sedangkan ini, yang di hadapan mata, lagi belum tentu, apatah lagi akan menaklukkan istana Kisra di Persia, sebuah kerajaan besar, ditambah lagi dengan menaklukkan istana Roma, kerajaan besar pula. Itulah dua buah kerajaan yang amat besar di masa itu. Apatah lagi akan ditambah pula dengan menaklukkan Shan'aak, yang di waktu itu masih di bawah naungan Kerajaan Persia, diperintah oleh keturunan raja-raja Persia setelah dapat melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Habsyi.
Mereka memandang bahwa palu Nabi memecah batu besar yang disambut oleh tiga kali takbir itu hanyalah omong kosong, bujukan Muhammad ﷺ, kepada pengikut-pengikutnya yang bodoh mau diatur hidung saja.
Ayat 13
“Dan seketika berkata satu golongan dari mereka."
Yaitu dari orang-orang yang munafik dan yang dalam hatinya ada penyakit itu.
Sebab sikap dan cara yang ditempuh untuk mengelakkan tanggung jawab, karena kelemahan jiwa yang diderita atau disebabkan oleh penyakit dalam hati itu menimbulkan berbagai dalih untuk mengelakkan diri. “Wahai ahli Yastrib! Tidak ada tempat bagi kamu! Pulang sajalah!"
Yatsrib adalah nama asal kota Madinah. Di ambil dari nama seorang nenek moyang bangsa Arab keturunan Saam bin Nuh. Karena dia yang membuka negeri itu dahulu. Setelah Rasulullah ﷺ dan umat Islam di Madinah berhijrah ke sana, dengan serta-merta nama negeri itu ditukar menjadi Madinatun Nabi,
Kota Nabi. Karena sesampai beliau di sana telah tegak kekuasaan beliau dan dialah yang menjadi negeri Islam dan pusat kota Islam yang pertama. Maka setengah kaum munafik tadi mulailah berbisik-bisik kepada teman-temannya yang dianggapnya dapat dibujuk, agar mereka tinggalkan saja tempat bertahan Rasulullah ﷺ, itu. Karena beliau tidaklah akan dapat bertahan bilamana musuh-musuh yang besar itu menyerbu kelak. “Wahai ahli Yatsrib! Tidak ada tempat bagi kamu. Pulang sajalah!" Lebih baik lekas tinggalkan tempat ini agar kalian selamat apabila musuh telah dapat menyerbu kelak.
Dalam seruan mereka “Wahai ahli Yatsrib! “, telah mereka tunjukkan bahwa Masa Madinah sudah mau tamat ditutup, dan akan dikembalikan lagi masa yang lama, yaitu Yatsrib. Tegasnya mereka tidak senang akan masa kejayaan Islam itu dan mereka ingin kembali ke dalam zaman Yatsrib yang lama, yang di waktu itu mereka kelak akan mendapat kedudukan lebih baik, sebab dapat menyesuaikan diri. Bukankah orang semacam ini di segala zaman dapat saja menyesuaikan diri?
“Dan meminta izin sebagian dari mereka kepada Nabi. Mereka berkata, “Sesungguhnya rumah-rumah kami telanjang." Artinya rumah-rumah kami tidak ada yang menjaga, anak-anak dan istri tidak ada yang menunggui mereka, takut kalau-kalau dirampok atau didatangi orang yang tidak disenangi. Hanya kami sajalah yang akan dapat memelihara dan menjaga keamanan rumah tangga kami itu.
Alasan yang mereka kemukakan itu hanyalah dicari-cari belaka. Ujung ayat telah membuka rahasia yang sebenarnya, “Dan bukanlah rumah-rumah itu telanjang." Rumah tangga itu aman dan sentosa. Tidak ada orang dalam kota Madinah yang akan sampai sejahat itu, mengganggu rumah tangga seseorang yang tengah turut mempertahankan kota mereka dari serbuan musuh.
“Tidak ada kehendak mereka selain dari tani."
Mereka ingin lari dari perjuangan karena iman lemah atau tidak ada sama sekali.
Ayat 14
“Dan kalau dimasuki atas mereka itu dari penyuru-penjurunya."
Artinya ialah jika kiranya musuh-musuh yang banyak itu masuk ke dalam kota Madinah, menyerbu dari segala penjuru, yang terpikir dalam hati mereka bukanlah mempertahankan kota mereka dan harta benda mereka dengan gagah berani, melainkan sebaliknya, “Kemudian diminta kepada mereka supaya berbuat fitnah, niscaya akan mereka lakukan." Yaitu misalnya jika musuh-musuh itu berhasil menyerbu ke dalam kota dari segala penjuru, mereka yang munafik itu tidaklah akan mempertahankan kotanya dengan gagah berani, bahkan mereka akan turut mengalu-alukan kedatangan musuhnya. Mereka akan segera mengambil muka, menyesuaikan diri, bahkan jika dituntut berbuat fitnah, akan segera mereka lakukan. Jika ditanyakan misalnya di mana Muhammad ﷺ atau para pengikutnya bersembunyi, mereka akan bersedia menunjukkan tempat persembunyian itu. Jika disuruh tunjukkan di mana tempat simpanan senjata atau perbekalan, mereka akan segera mengantarkan ke tempat itu. Bahkan jika mereka disuruh menyatakan diri kembali jadi kafir, sebentar itu juga mereka akan menyatakan sedia jadi kafir.
“Dan tidaklah mereka akan bertangguh untuk itu, melainkan segera."
Artinya, jika musuh yang menang itu menyuruh mereka murtad kembali, di saat itu juga mereka akan murtad. Mereka tidak akan bertangguh dan tidak akan berpikir-pikir lagi. Karena yang ingin mereka selamatkan bukanlah aqidah untuk inti sejati dari hidup.
Yang ingin mereka pertahankan hanya semata-mata keselamatan diri sendiri, supaya bisa hidup terus. Meskipun hidup dalam kehinaan di bawah pengaruh musuh.
Ayat 15
“Dan sesungguhnya mereka telah berbuat janji dengan Allah dari sebelum itu, agar tidak mereka memalingkan punggung."
Sejak semula mereka telah mengikat janji dengan Allah ﷻ akan mempertahankan aqi-dah dan memperjuangkannya. Berjanji tidak akan lari atau mundur barang setapak pun jika tiba masanya berhadapan dengan musuh, tidak akan lari dari medan pertempuran, namun segala janji itu telah mereka mungkiri sendiri karena takut, karena pengecut dan karena tidak ada pendirian.
“Dan janji Allah adalah akan dipertanggungjawabkan."
Tentang teguh memegang janji ini, sebagai perlengkapan dari keteguhan iman, dan bahwa iman tidaklah ada artinya kalau janji sudah dimungkiri, telah berkali-kali dinyatakan Allah ﷻ pada kesempatan-kesempatan yang lain.
Ayat 16
“Katakanlah! “(Hai Rasul Allah), “Sekali-kali tidaklah akan bermanfaat kepada kamu lari itu, Jika kamu lari dan maut dan terbunuh."
Artinya meskipun ke mana kamu akan lari mengelak dari maut karena takut menghadapinya, tidaklah akan ada manfaatnya. Demikian juga tidaklah kamu akan dapat mengelak dari mati terbunuh, kalau kamu sudah mesti menempuh itu.
“Dan kalau begitu," — yaitu kalau kamu lari juga mengelakkan mati; ‘Tidaklah kamu akan mengecap kesenangan, melainkan sedikit."
Dalam hal ini telah dibayangkan dengan tegas, bahwa Islam itu mesti menang juga, ke mana pun kamu akan lari. Di sini telah terbayang, bahwa Madinah tidak akan dapat diserbu oleh musuh.