Ayat
Terjemahan Per Kata
قَالَ
(Allah) berfirman
فَإِنَّهَا
maka sesungguhnya ia (negeri itu)
مُحَرَّمَةٌ
diharamkan/dilarang
عَلَيۡهِمۡۛ
atas mereka
أَرۡبَعِينَ
empat puluh
سَنَةٗۛ
tahun
يَتِيهُونَ
mereka mengembara kebingungan
فِي
di/pada
ٱلۡأَرۡضِۚ
bumi
فَلَا
maka jangan
تَأۡسَ
kamu putus asa
عَلَى
atas/terhadap
ٱلۡقَوۡمِ
kaum
ٱلۡفَٰسِقِينَ
orang-orang yang fasik
قَالَ
(Allah) berfirman
فَإِنَّهَا
maka sesungguhnya ia (negeri itu)
مُحَرَّمَةٌ
diharamkan/dilarang
عَلَيۡهِمۡۛ
atas mereka
أَرۡبَعِينَ
empat puluh
سَنَةٗۛ
tahun
يَتِيهُونَ
mereka mengembara kebingungan
فِي
di/pada
ٱلۡأَرۡضِۚ
bumi
فَلَا
maka jangan
تَأۡسَ
kamu putus asa
عَلَى
atas/terhadap
ٱلۡقَوۡمِ
kaum
ٱلۡفَٰسِقِينَ
orang-orang yang fasik
Terjemahan
(Allah) berfirman, “(Jika demikian,) sesungguhnya (negeri) itu terlarang buat mereka selama empat puluh tahun. (Selama itu) mereka akan mengembara kebingungan di bumi. Maka, janganlah engkau (Musa) bersedih atas (nasib) kaum yang fasik itu.”
Tafsir
(Firman Allah) Taala kepadanya ("Maka kalau begitu negeri itu) yakni tanah suci tadi (diharamkan atas mereka) memasukinya (selama 40 tahun mereka akan bertualang tak tahu jalan) kebingungan (di negeri itu) menurut Ibnu Abbas luasnya sembilan farsakh persegi. (Maka janganlah kamu bersedih) berduka-cita (terhadap kaum yang fasik itu) menurut riwayat mereka memulai perjalanan di waktu malam dengan penuh kesungguhan ke arah yang dituju tetapi di waktu pagi mereka telah berada kembali di tempat semula. Demikian pula halnya perjalanan di waktu siang hingga akhirnya mereka binasa (mati") kecuali orang-orang yang di waktu itu usianya belum lagi mencapai 20 tahun. Ada yang mengatakan bahwa jumlah mereka enam ratus ribu orang dan di padang itulah, yakni yang disebut padang Tih, wafat Harun dan Musa. Hal itu menjadi rahmat bagi mereka berdua sebaliknya menjadi azab dan siksa bagi umat mereka. Setelah dekat kematiannya, Musa memohon kepada Allah agar didekatkan kepada tanah suci itu kira-kira dalam jarak sepelemparan batu, maka permohonan itu dikabulkannya sebagaimana tersebut dalam hadis. Setelah masa empat puluh tahun itu Allah mengangkat Yusya menjadi nabi dan memerintahkannya untuk memerangi orang-orang aniaya tadi. Maka berangkatlah ia dengan sisa-sisa Israel dan memerangi musuh yang ketika itu ialah hari Jumat. Menurut berita, matahari terhenti selama sesaat menunggu selesai mereka berperang. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya sebuah hadis bahwa matahari itu tidak pernah tertahan jalannya untuk kepentingan manusia kecuali bagi Yusya, yaitu di malam-malam perjalanannya menuju Baitulmakdis.
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 20-26
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Wahai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian, dijadikan-Nya kalian orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat lain.
Wahai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagi kalian, dan janganlah kalian lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kalian menjadi orang-orang yang merugi."
Mereka berkata.Wahai Musa, sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya.Jika mereka telah keluar darinya, pasti kami akan memasukinya."
Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang keduanya telah diberi nikmat oleh Allah, "Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota) itu! Bila kalian memasukinya, niscaya kalian akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman."
Mereka berkata, "Wahai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya selagi mereka ada di dalamnya. Karena itu, pergilah kamu bersama Tuhanmu; dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja!"
Berkata Musa, "Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu, pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu."
Allah berfirman, "(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.
Ayat 20
Allah menceritakan tentang hamba dan Rasul-Nya yang juga merupakan orang yang pernah diajak bicara langsung oleh-Nya, yaitu Nabi Musa ibnu Imran a.s. Kisahnya menyangkut peringatan yang ia sampaikan kepada kaumnya akan nikmat-nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada mereka, dan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang ada di tangan mereka, yaitu Allah menghimpunkan bagi mereka kebaikan dunia dan akhirat sekiranya mereka tetap berada pada jalannya yang lurus.
Allah ﷻ berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘Wahai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kalian, ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian’." (Al-Maidah: 20)
Yakni setiap nabi meninggal dunia, maka bangkitlah di antara kalian nabi lainnya, sejak zaman kakek moyang kalian Nabi Ibrahim sampai masa-masa sesudahnya. Demikianlah keadaan mereka, masih tetap ada nabi-nabi dari kalangan mereka yang menyeru kepada agama Allah dan memperingatkan mereka akan pembalasan-Nya, sehingga diakhiri oleh Nabi Isa ibnu Maryam a.s. Kemudian Allah memberikan wahyu kepada penutup seluruh para nabi dan rasul, yaitu Nabi Muhammad ibnu Abdullah yang nasabnya sampai kepada Nabi Ismail a.s. ibnu Nabi Ibrahim a.s. Dia lebih mulia dan lebih terhormat daripada para nabi sebelumnya.
Firman Allah ﷻ: “Dan dijadikan-Nya kalian orang-orang merdeka.” (Al-Maidah: 20)
Istilah muluk menurut apa yang diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, dari Ats-Tsauri, dari Mansur, dari Al-Hakam atau lainnya, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa makna "Dan Dia menjadikan kalian muluk" ialah mempunyai pelayan, istri, dan rumah.
Imam Hakim telah meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Ats-Tsauri pula, dari Al-A'masy, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan "muluk" ialah istri dan pelayan.
“Dan Dia telah memberikan kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain.” (Al-Maidah: 20)
Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud ialah umat-umat lain yang ada semasa mereka.
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa atsar ini shahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Maimun ibnu Mahran telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu seorang lelaki dari kalangan kaum Bani Israil apabila telah mempunyai istri, pelayan, dan rumah tempat tinggal, maka ia dinamakan malik (raja).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Abu Hani; ia pernah mendengar Abu Abdur Rahman Al-Hambali mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Amr ibnul As ketika ditanya oleh seorang lelaki, "Bukankah kita termasuk orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin?" Lalu Abdullah ibnu Amr ibnul As balik bertanya, "Bukankah kamu mempunyai istri yang menjadi teman hidupmu?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Abdullah ibnu Amr bertanya lagi, "Bukankah kamu punya rumah tempat tinggal?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Abdullah ibnu Amr berkata, "Kalau demikian, kamu termasuk orang kaya." Lelaki itu berkata, "Aku mempunyai pelayan." Abdullah ibnu Amr menjawab, "Kalau demikian, kamu termasuk orang kaya." Al-Hasan Al-Bashri telah mengatakan bahwa raja itu tiada lain hanyalah seseorang yang mempunyai kendaraan, pelayan, dan rumah. Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan hal yang serupa, dari Al-Hakam, Mujahid, Mansur, dan Sufyan Ats-Tsauri.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Maimun ibnu Mahran; Ibnu Syaizab telah mengatakan bahwa dahulu seorang lelaki dari kalangan Bani Israil apabila memiliki rumah dan pelayan serta untuk bersua dengannya harus melalui penjaga, maka dia adalah seorang raja.
Qatadah mengatakan, orang-orang Bani Israil adalah orang-orang yang mula-mula menggunakan pelayan.
As-Suddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan Dia menjadikan kalian orang-orang yang merdeka.” (Al-Maidah: 20) Makna yang dimaksud ialah "bila seseorang dari kalian telah memiliki dirinya, memiliki harta benda, dan mempunyai istri. Demikian menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa dia telah meriwayatkan dari Ibnu Luhai'ah, dari Daraj, dari Abul Haisam, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Rasulullah ﷺ yang bersabda: “Dahulu orang-orang Bani Israil apabila seseorang dari mereka mempunyai pelayan, kendaraan, dan istri, maka ia dicatat sebagai seorang raja.”
Dari segi teksnya hadits ini berpredikat gharib (asing).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Az-Zubair ibnu Bakkar, telah menceritakan kepada kami Abu Damrah Anas ibnu Iyad bahwa ia pernah mendengar Zaid ibnu Aslam berkata menafsirkan makna firman-Nya, "Dan Dia menjadikan kalian orang-orang merdeka" (Al-Maidah: 20) Maka tiada yang dikatakannya kecuali hanya mengetengahkan hadits bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang mempunyai rumah dan pelayan, maka dia adalah raja.” Hadits ini mursal lagi gharib.
Menurut Malik, yang dimaksud dengan raja ialah orang yang memiliki rumah, pelayan, dan istri. Di dalam sebuah hadits disebutkan: “Barang siapa yang berpagi hari dari kalian dalam keadaan diberi kesehatan pada tubuhnya dan aman dijalannya, serta ia memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dunia dan seisinya telah diraih olehnya.”
Firman Allah ﷻ: “Dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain.” (Al-Maidah: 20)
Yakni orang-orang yang alim di masa kalian. Karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang paling mulia di zamannya, lebih mulia daripada orang-orang Yunani, orang-orang Mesir, dan bangsa-bangsa lain dari anak Adam seperti yang disebutkan oleh ayat lain:
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil Al-Kitab (Taurat), kekuasaan, dan kenabian; dan Kami berikan kepada mereka rezeki-rezeki yang baik, dan Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa lain (pada masanya).” (Al-Jatsiyah: 16)
Allah ﷻ berfirman menceritakan perihal Musa a.s. ketika umatnya mengatakan seperti yang disitir oleh firman-Nya: “Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” Musa menjawab, "Sesungguhnya kalian ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan). Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan sia-sia apa yang selalu mereka kerjakan.” Musa menjawab, "Patutkah aku mencarikan untuk kalian Tuhan selain dari Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kalian atas segala umat.” (Al-A'raf: 138-140)
Yang kami maksudkan ialah "mereka adalah orang-orang yang paling unggul di masanya", karena sesungguhnya umat ini lebih mulia daripada mereka dan lebih utama di sisi Allah, syariatnya lebih sempurna dan jalannya lebih lurus, nabinya lebih mulia, kerajaannya lebih besar, rezekinya lebih berlimpah, harta dan anaknya lebih banyak, serta kerajaannya lebih luas dan kejayaannya lebih kekal. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.” (Al-Baqarah: 143)
Kami telah mengetengahkan hadits-hadits yang mutawatir menceritakan perihal keutamaan umat (Islam) ini dan kemuliaan serta kehormatannya di sisi Allah, yaitu pada tafsir firman-Nya: “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (Ali Imran: 110)
Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Malik serta Sa'id ibnu Jubair, bahwa mereka telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain.” (Al-Maidah: 20) Makna yang dimaksud dengan lafal al-'alamina adalah umat Muhammad ﷺ. Seakan-akan mereka bertiga bermaksud bahwa khitab dalam firman-Nya: “Dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun.” (Al-Maidah: 20) menyertakan pula umat Muhammad.
Sedangkan menurut Jumhur ulama, khitab ini dari Musa a.s., ditujukan kepada umatnya; dan makna yang dimaksud adalah orang-orang alim yang sezaman dengan mereka, seperti keterangan yang telah kami kemukakan di atas. Menurut pendapat yang lain makna yang dimaksud dari firman-Nya: “Dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain.” (Al-Maidah: 20) Yakni apa-apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada mereka, berupa manna dan salwa dan dinaungi oleh awan serta hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam lainnya yang pernah diberikan kepada mereka oleh Allah ﷻ sebagai suatu kekhususan buat mereka.
Kemudian Allah ﷻ menceritakan perihal anjuran yang dikeluarkan oleh Musa a.s. kepada Bani Israil untuk berjihad dan memasuki Baitul Muqaddas yang dahulunya adalah milik mereka di masa kakek moyang mereka, yaitu Nabi Ya'qub a.s. Nabi Ya'qub dan anak-anaknya serta semua keluarganya pergi meninggalkannya menuju ke negeri Mesir di masa Nabi Yusuf a.s. Mereka tetap tinggal di Mesir, dan baru keluar meninggalkannya bersama Musa a.s. Tetapi mereka menjumpai di dalam kota Baitul Maqdis suatu kaum dari orang-orang 'Amaliqah (raksasa) yang gagah perkasa, yang telah merebut kota itu dan menguasainya.
Maka utusan Allah Nabi Musa a.s. memerintahkan kaum Bani Israil untuk memasuki Baitul Muqaddas dan memerangi musuh mereka serta membangkitkan semangat mereka dengan berita gembira akan mendapat pertolongan dan kemenangan atas musuh mereka. Tetapi mereka membangkang dan durhaka serta tidak mau menuruti perintah nabinya. Akhirnya mereka dihukum oleh Allah dengan hukuman tersesat di padang sahara selama empat puluh tahun; selama itu mereka tidak mengetahui arah mana yang mereka tempuh dan ke mana tujuan mereka. Hal tersebut sebagai hukuman terhadap mereka karena mereka menyia-nyiakan perintah Allah ﷻ dan tidak mau menaatiNya. Untuk itu Allah ﷻ berfirman menceritakan perihal Nabi Musa a.s. yang berkata kepada kaumnya:
Ayat 21
“Wahai kaumku masuklah ke tanah suci (Palestina).” (Al Maidah: 21)
Yakni Mutahharah ialah "yang suci.”
Sufyan Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna tanah suci ini, bahwa yang dimaksud ialah Bukit Tur dan daerah sekitarnya.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Sufyan Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Baqqal, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tanah suci tersebut adalah Ariha. Hal yang sama telah dikatakan oleh bukan hanya seorang dari kalangan mufassirin.
Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan lagi, mengingat Ariha bukan kota yang dimaksudkan untuk diserang, bukan pula terletak di tengah perjalanan mereka menuju ke Baitul Maqdis, karena mereka datang dari negeri Mesir ketika Allah telah membinasakan musuh mereka, yaitu Raja Fir'aun; kecuali jika yang dimaksud dengan Ariha adalah Baitul Maqdis, seperti yang dikatakan oleh As-Suddi menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir darinya. Jadi, yang dimaksud dengan Ariha bukanlah sebuah kota terkenal yang terletak di pinggiran Bukit Tur sebelah tenggara kota Baitul Muqaddas.
Firman Allah ﷻ: “Yang telah ditentukan Allah bagi kalian.” (Al-Maidah: 21) Yakni Allah telah menjanjikannya buat kalian melalui lisan kakek moyang kalian Nabi Yaqub bahwa tanah tersebut merupakan warisan bagi orang yang beriman di antara kalian.
“Dan janganlah kalian lari ke belakang (karena takut musuh).” (Al-Maidah: 21) Dengan kata lain, janganlah kalian membangkang untuk berjihad. Nanti kalian menjadi orang-orang yang merugi.
Ayat 22
“Mereka berkata, ‘Wahai Musa, sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sungguh kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar darinya, baru kami memasukinya’.” (Al-Maidah: 22)
Mereka mengemukakan alasannya, bahwa di negeri yang engkau perintahkan agar kami memasukinya dan memerangi penduduknya terdapat kaum yang gagah perkasa, memiliki tubuh raksasa yang kuat dan besar, dan sesungguhnya kami tidak mampu melawan mereka dan tidak mampu pula menyerang mereka, serta tidak mungkin bagi kami memasukinya selagi mereka masih bercokol di dalamnya. Jika mereka keluar darinya, niscaya kami akan memasukinya; tetapi jika mereka masih tetap berada di dalamnya, maka tidak ada kekuatan bagi kami untuk mengusir mereka.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdul Karim ibnul Haisam, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Sufyan, bahwa Abu Sa'id pernah mengatakan bahwa Ikrimah telah menceritakan bahwa Ibnu Abbas telah mengatakan: Musa diperintahkan untuk memasuki kota orang-orang yang gagah perkasa.
Maka Musa berjalan bersama dengan orang-orang yang mengikutinya hingga turun istirahat di suatu tempat dekat dengan kota yang dimaksud, yaitu Ariha. Lalu Musa a.s. mengirimkan kepada mereka dua belas orang mata-mata yang berasal dari masing-masing kabilah. Mata-mata itu ditugaskan untuk melihat keadaan dan kekuatan musuh, lalu beritanya disampaikan kepada Nabi Musa a.s. dan pasukannya. Kedua belas orang mata-mata itu memasuki kota tersebut, dan ternyata mereka menyaksikan suatu hal yang hebat sekali.
Mereka tertegun kaget melihat keadaan kota dan tubuh para penghuninya yang besar-besar seperti raksasa. Lalu mereka memasuki kebun milik salah seorang penduduk kota itu, tetapi pemilik kebun datang untuk memetik buah dari kebunnya. Kemudian ia memetik buah-buahan, dan ia menjumpai bekas telapak kaki kedua belas orang itu, lalu ia mengikuti dan mengejarnya. Setiap ia berhasil menangkap seorang dari mereka, ia masukkan ke dalam kantong baju jubahnya bersama buah-buahan yang dipetiknya, hingga ia berhasil menangkap kedua belas orang mata-mata itu.
Pemilik kebun itu memasukkan mereka ke dalam suatu kantong, bersama buah-buahan yang telah dipetiknya, lalu ia berangkat menghadap kepada rajanya dan mengeluarkan mereka semua dari kantong itu di hadapan rajanya. Si Raja berkata kepada mereka, "Sesungguhnya kalian telah melihat keadaan dan kekuatan kami. maka sekarang pulanglah dan beritahukanlah kepada pemimpin kalian." Maka mereka kembali kepada Musa a.s. dan menceritakan kepadanya semua apa yang telah mereka saksikan perihal musuh mereka.
Akan tetapi, sanad atsar ini masih perlu dipertimbangkan lagi.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Musa bersama kaumnya turun istirahat di suatu tempat, maka ia mengirimkan dua belas orang dari mereka yang semuanya adalah para pemimpin kabilah yang telah disebutkan oleh Allah ﷻ. Maka Musa a.s. mengirimkan mereka dengan tugas untuk membawa berita perihal kekuatan musuh mereka.
Kedua belas orang itu berjalan. Di tengah jalan mereka bertemu dengan salah seorang dari penduduk kota yang gagah perkasa. Maka orang itu memasukkan mereka ke dalam kantong jubahnya dan membawa mereka sampai ke kotanya. Lalu orang itu berseru kepada kaumnya, kemudian kaumnya berkumpul mengelilinginya. Setelah itu mereka (penduduk kota itu) bertanya, "Siapakah kalian ini?" Kedua belas orang itu menjawab, "Kami adalah kaum Nabi Musa, dialah yang mengirimkan kami untuk mencari berita tentang kalian." Maka mereka memberi kedua belas orang itu sebiji buah anggur yang cukup buat makan satu orang, dan mereka berkata, "Pergilah kalian kepada Musa dan kaumnya, dan katakanlah kepada mereka bahwa ini adalah takdir."
Maka mereka kembali dengan hati yang sangat takut. Ketika mereka datang kepada Musa, mereka langsung menceritakan apa yang telah mereka saksikan. Ketika Musa memerintahkan mereka untuk memasuki kota itu dan memerangi penduduknya, maka mereka (kaum Musa) berkata, "Wahai Musa. pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja."
Demikianlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Kemudian ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayyub, dari Yazid ibnul Hadi, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Abdur Rahman yang telah menceritakan bahwa ia pernah melihat Anas ibnu Malik memungut sebuah tongkat, lalu ia mengukurnya dengan sesuatu yang panjangnya tidak ia ketahui berapa hasta. Kemudian ia mengukurkannya ke tanah sepanjang lima puluh atau lima puluh lima kali panjang tongkat itu. Lalu ia berkata, "Inilah tinggi kaum 'Amaliqah (raksasa)."
Sehubungan dengan masalah ini banyak kalangan mufassirin yang menceritakan berita-berita buatan Bani Israil mengenai besarnya tubuh kaum yang gagah perkasa itu. Disebutkan bahwa di antara mereka ada seseorang yang dikenal dengan nama Auj ibnu Unuq. Konon tingginya adalah tiga ribu tiga ratus tiga puluh tiga dan sepertiga hasta, berdasarkan ukuran hasta. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat memalukan bila disebutkan, disamping hal ini bertentangan dengan apa yang disebutkan di dalam kitab Shahihain, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam a.s. dengan tinggi enam puluh hasta, kemudian keadaan (tubuh) manusia terus-menerus berkurang hingga sekarang.” Kemudian mereka menyebutkan bahwa Auj ibnu Unuq ini adalah seorang kafir, dia lahir dari hubungan zina, dan menolak menaiki perahu Nabi Nuh a.s.
Dikatakan pula bahwa banjir besar tidak sampai sebatas lututnya (karena sangat tingginya); ini merupakan kedustaan dan kebohongan, karena sesungguhnya Allah ﷻ telah menceritakan bahwa Nabi Nuh a.s. mendoakan kebinasaan atas penduduk bumi yang kafir, seperti yang disebutkan melalui firman-Nya: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas muka bumi.” (Nuh: 26) “Maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang besertanya di dalam kapal yang penuh muatan. Kemudian sesudah itu Kami tenggelamkan orang-orang yang tertinggal.” (Asy-Syu'ara: 119-120) “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.” (Hud: 43) Apabila anak Nabi Nuh sendiri yang kafir tenggelam, maka mana mungkin Auj ibnu Unuq yang kafir lagi anak zina itu dapat selamat dan masih hidup? Hal ini jelas bertentangan dengan rasio dan syara' (agama). Jadi keberadaan seorang lelaki yang bernama Auj ibnu Unuq ini masih perlu dipertimbangkan lagi kebenarannya.
Ayat 23
Firman Allah ﷻ: “Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya.” (Al-Maidah: 23)
Ketika kaum Bani Israil menolak untuk taat kepada Allah dan menolak mengikuti rasul-Nya yaitu Nabi Musa a.s., mereka digerakkan oleh dua orang lelaki yang telah mendapat nikmat yang besar dari Allah; keduanya termasuk orang-orang yang taat kepada perintah Allah dan takut terhadap siksa-Nya.
Sebagian mufassirin ada yang membaca ayat ini dengan bacaan seperti berikut: “Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang berpengaruh (di kalangan mereka).” (Al-Maidah: 23) dengan dibaca mabni majhul, yakni sebagian dari orang-orang yang mempunyai pengaruh yang besar dan kedudukan di kalangan mereka (Bani Israil). Kedua orang tersebut menurut suatu pendapat bernama Yusya ibnu Nun dan Kalib ibnu Yufana. Demikian menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Atiyyah, As-Suddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf.
Kedua orang itu berkata, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: “Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kalian memasukinya, niscaya kalian akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah: 23)
Yakni jika kalian bertawakal kepada Allah dan mengikuti perintah-Nya serta mendukung rasul-Nya, niscaya Allah akan menolong kalian terhadap musuh-musuh kalian, Dia akan mendukung kalian serta memenangkan kalian atas musuh-musuh kalian, dan kalian pasti akan memasuki negeri yang telah ditetapkan oleh Allah buat kalian. Akan tetapi, hal tersebut tidak memberi pengaruh sedikit pun pada mereka, sebagaimana disebutkan oleh firman selanjutnya:
Ayat 24
“Mereka berkata, ‘Wahai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya. Karena itu, pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (Al-Maidah: 24) Ini merupakan sikap pembangkangan mereka yang tidak mau berjihad dan menentang rasul mereka serta menolak untuk berperang melawan musuh mereka.
Disebutkan bahwa ketika mereka menolak berjihad dan bertekad untuk berangkat kembali menuju ke negeri Mesir, maka Musa dan Harun sujud (kepada Allah) di hadapan sejumlah pemimpin dari kalangan Bani Israil karena sangat keberatan dengan apa yang mereka niatkan itu. Kemudian Yusya' bin Nun dan Kalib bin Yufana merobek bajunya sendiri (sebagai ungkapan kekesalan) dan mencaci kaumnya yang bersikap demikian itu (menolak berjihad). Menurut suatu kisah, mereka (kaum Bani Israil) merajam Yusya' dan Kalib, dan terjadilah suatu peristiwa yang sangat besar serta krisis yang sangat parah.
Sehubungan dengan hal ini, alangkah baiknya apa yang dikatakan oleh para sahabat radiyallahu 'anhum pada hari Perang Badar kepada Rasulullah ﷺ, yaitu ketika Rasulullah ﷺ meminta pendapat dari mereka untuk berangkat memerangi pasukan kaum musyrik yang datang untuk melindungi kafilah yang dipimpin oleh Abu Sufyan. Ketika kafilah itu terlepas dari penghadangan mereka, dan pasukan kaum musyrik yang terdiri atas sembilan ratus sampai seribu orang personel berikut semua perbekalan dan persenjataannya mendekat kepada pasukan kaum muslim, maka Abu Bakar mengemukakan pendapatnya, dan ternyata pendapatnya itu baik.
Kemudian sebagian dari sahabat yang terdiri atas kalangan kaum Muhajirin mengemukakan pula pendapatnya, sedangkan Rasulullah ﷺ sendiri bersabda: “Berikanlah saran-saran kalian kepadaku, wahai kaum muslim!” Rasulullah ﷺ tidak sekali-kali memaklumatkan demikian kecuali untuk memberitahukan kepada para sahabat dari kalangan Anshar, karena hari itu mereka merupakan mayoritas.
Maka Sa'd ibnu Mu'az (pemimpin mereka) berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan engkau menyindir kami. Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, seandainya engkau hadapkan kami ke laut ini, lalu engkau memasukinya, niscaya kami pun akan memasukinya pula bersamamu, tanpa ada seorang pun yang tertinggal dari kami. Kami sama sekali tidak segan untuk menghadapi musuh kami besok hari, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang teguh dalam perang dan pantang mundur dalam medan laga. Mudah-mudahan Allah menampakkan kepadamu sikap kami yang akan membuat engkau senang hati, maka bawalah kami dengan berkah dari Allah.” Mendengar perkataan Sa’d dan semangatnya yang berkobar untuk menghadapi medan perang, maka hati Rasulullah ﷺ menjadi gembira.
Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ali Ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Abu Hatim Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Anshari, telah menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas, bahwa Rasulullah ﷺ ketika hendak berangkat menuju ke medan Badar bermusyawarah dengan kaum muslim, maka sahabat Umar mengemukakan pendapatnya untuk berangkat.
Kemudian Rasulullah ﷺ meminta pendapat mereka, maka kaum Anshar berkata, “Wahai orang-orang Anshar, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bermaksud minta pendapat dari kalian!" Maka mereka menjawab, "Kalau demikian, kami tidak akan mengatakan kepadanya seperti yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa dalam firman-Nya: ‘Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.’ (Al-Maidah: 24) Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, seandainya engkau pergi ke jantung pertahanan mereka sampai ke Barkil Gimad niscaya kami akan ikut besertamu.”
Imam Ahmad meriwayatkannya dari Ubaidah ibnu Humaid, dari Humaid At-Tawil, dari Anas dengan lafal yang sama. Imam An-An-Nasai meriwayatkannya dari Muhammad ibnul Musanna, dari Khalid ibnul Haris, dari Humaid dengan lafal yang sama. Ibnu Hibban meriwayatkannya dari Abu Ya'la, dari Abdul A'la ibnu Hammad, dari Ma'mar ibnu Sulaiman, dari Humaid dengan lafal yang sama.
Ibnu Mardawaih mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib, dari Al-Hakam ibnu Ayyub, dari Abdullah ibnu Nasikh, dari Atabah ibnu Ubaid As-Sulami yang telah menceritakan bahwa Nabi ﷺ berkata kepada para sahabatnya, "Maukah kalian berperang?" Mereka menjawab, "Ya, dan kami tidak akan berkata seperti yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, yaitu yang disitir oleh firman-Nya: ‘Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.’ (Al-Maidah: 24) Tetapi kami akan mengatakan, 'Pergilah kamu bersama Tuhanmu dan sesungguhnya kami akan ikut berperang bersamamu'."
Yang termasuk salah seorang yang memenuhi seruan itu adalah Al-Miqdad ibnu Amr Al-Kindi, seperti yang disebutkan oleh Imam Ahmad dalam riwayatnya, bahwa telah menceritakan kepada kami Waki, telah menceritakan kepadaku Sufyan, dari Mukhariq ibnu Abdullah Al-Ahmasi, dari Tariq, yaitu Ibnu Syihab, bahwa Al-Miqdad berkata kepada Rasulullah ﷺ dalam peristiwa Perang Badar, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, yaitu: 'Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.' (Al-Maidah: 24) Tetapi pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami pun ikut berperang bersama kamu berdua." Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari segi ini.
Imam Ahmad telah meriwayatkannya melalui jalur lain, bahwa telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir. telah menceritakan kepada kami Israil, dari Mukhariq, dari Tariq ibnu Syihab yang telah menceritakan bahwa Abdullah ibnu Mas'ud pernah menceritakan, "Sesungguhnya aku pernah menyaksikan suatu sikap Al-Miqdad yang membuat diriku menginginkan seperti apa yang dilakukannya, yaitu ketika Rasulullah ﷺ sedang menyeru kaum muslim untuk berperang melawan kaum musyrik, Al-Miqdad datang kepadanya, lalu berkata, 'Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak akan mengatakan seperti yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa: Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja. (Al-Maidah: 24) Tetapi kami akan ikut berperang di sebelah kanan, di sebelah kiri, di sebelah depan, dan di sebelah belakangmu.' Maka aku melihat wajah Rasulullah ﷺ berseri-seri karenanya. Hal itu membuatnya gembira."
Demikian pula Imam Bukhari telah meriwayatkannya di dalam kitab Al-Magazi dan kitab Tafsir melalui berbagai jalur dari Mukhariq. Lafal yang diketengahkannya di dalam kitab Tafsir dari Abdullah adalah seperti berikut: Pada hari Perang Badar, Al-Miqdad berkata, "Wahai Rasulullah, kami (orang-orang Anshar) tidak akan mengatakan kepadamu seperti yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, yaitu: 'Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.' (Al-Maidah: 24) Tetapi berangkatlah engkau,dan kami akan bersama denganmu." Maka seakan-akan Al-Miqdad membuat Rasulullah ﷺ sangat gembira.
Imam Bukhari mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh Waki', dari Sufyan, dari Mukhariq, dari Tariq, bahwa Al-Miqdad berkata kepada Nabi ﷺ hingga akhir hadits.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah yang telah menceritakan bahwa telah diceritakan kepada kami bahwa pada hari Hudaibiyah Rasulullah ﷺ bersabda kepada para sahabatnya, yaitu ketika kaum musyrik menghalang-halangi hewan kurban kaum muslim dan menghalang-halangi antara mereka dan tempat manasiknya: “Sesungguhnya aku akan pergi membawa hewan kurban, maka sembelihlah di Baitullah.” Maka Al-Miqdad ibnul Aswad berkata, "Ingatlah, demi Allah, kami tidak akan seperti segolongan orang dari kaum Bani Israil, ketika mereka berkata kepada nabi mereka (Nabi Musa a.s.). Yaitu: ‘Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.’ (Al-Maidah: 24). Tetapi pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah, sesungguhnya kami akan ikut berperang bersamamu." Ketika para sahabat mendengar hal ini maka mereka mengikuti sikap Al-Miqdad ibnul Aswad.
Jika hal ini memang terjadi pada hari Hudaibiyah, maka dapat diartikan bahwa ucapan tersebut pada hari itu kembali diulangi oleh Al-Miqdad sebagaimana yang pernah ia katakan pada hari Perang Badar.
Ayat 25
Firman Allah ﷻ: “Berkata Musa, ‘Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu, pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu’." (Al-Maidah: 25) Yakni ketika kaum Bani Israil tidak mau berperang, maka Nabi Musa a.s. marah kepada mereka, dan ia berkata dalam doanya:
“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku.” (Al-Maidah: 25)
Dengan kata lain, tiada seorang pun dari mereka yang taat kepadaku, lalu mau mengerjakan perintah Allah dan memenuhi apa yang aku serukan, kecuali hanya aku dan saudaraku Harun. “Sebab itu, pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.” (Al-Maidah: 25) Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah "berilah keputusan antara aku dan mereka.”
Hal yang sama dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas; dikatakan pula oleh Adh-Dhahhak, yakni "berilah keputusan antara kami dan mereka.” Sedangkan menurut yang lainnya adalah "pisahkanlah antara kami dengan mereka.” Perihalnya sama dengan pengertian yang ada di dalam sebuah bait syair berikut: “Ya Tuhanku, pisahkanlah antara dia dengan aku, dengan perpisahan yang amat jauh yang pernah Engkau lakukan terhadap dua orang.”
Ayat 26
Firman Allah ﷻ: “Maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tih) itu.” (Al-Maidah: 26) hingga akhir ayat. Setelah Nabi Musa a.s. menyeru mereka untuk berjihad dan mereka menolak, tidak mau berjihad, maka Allah memutuskan bahwa haram bagi mereka memasuki kota itu selama empat puluh tahun. Akhirnya mereka terjebak di padang Tih dan mereka berjalan berputar-putar selama masa tersebut di dalamnya tanpa mengetahui jalan keluarnya.
Di padang Tih itu terjadi banyak hal yang ajaib dan mukjizat-mukjizat, antara lain: Mereka selalu dinaungi oleh awan, diturunkannya manna dan salwa kepada mereka, dan keluarnya air dari benda mati, yaitu sebuah batu yang mereka bawa di atas seekor hewan kendaraan. Apabila Musa memukul batu itu dengan tongkatnya, maka mengalirlah darinya dua belas mata air yang memancar, masing-masing kabilah memperoleh sebuah mata air.
Terjadi pula mukjizat-mukjizat lainnya yang diberikan oleh Allah ﷻ kepada Musa ibnu Imran. Di padang Tih itulah kitab Taurat diturunkan, disyariatkan untuk mereka berbagai hukum, serta dibuatkan kubah perjanjian yang dikenal dengan sebutan "Kubah Zaman.”
Yazid ibnu Harun telah meriwayatkan dari Asbag ibnu Zaid, dari Al-Qasim ibnu Abu Ayyub, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai firman Allah ﷻ berikut: “(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tih) itu.” (AJ-Maidah: 26) hingga akhir ayat. Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka tersesat di padang itu selama empat puluh tahun, setiap hari mereka berjalan tanpa ada tempat yang tetap bagi mereka.
Kemudian di padang itulah mereka dinaungi oleh awan, dan diturunkan kepada mereka manna dan salwa. Inilah yang disebutkan oleh sebagian dari hadits Futun. Kemudian pada masa itulah Harun a.s. wafat, selang tiga tahun kemudian Musa a.s. pun meninggal dunia. Lalu Allah mengangkat Yusya' ibnu Nun sebagai nabi mereka menggantikan Musa ibnu Imran as. Kebanyakan kaum Bani Israil meninggal dunia di masa itu, sehingga dikatakan bahwa tiada seorang pun dari mereka yang tersisa selain Yusya ibnu Nun dan Kalib.
Berdasarkan pengertian ini sebagian kalangan mufassirin ada yang mengatakan bahwa firman-Nya: “Allah berfirman, ‘(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka’." (Al-Maidah: 26) Pada ayat ini terdapat waqaf tam (bacaan berhenti atau titik), dan firman-Nya: “selama empat puluh tahun.” (Al-Maidah: 26) di-nasab-kan oleh fi'il yang terdapat pada firman-Nya: “(selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tih) itu.” (Al-Maidah: 26)
Setelah masa empat puluh tahun berlalu, maka Yusya' ibnu Nun membawa mereka keluar dari padang itu bersama orang-orang yang masih hidup dari mereka atau dengan Bani Israil seluruhnya dari bukit yang berikutnya.
Lalu Yusya' ibnu Nun a.s. membawa mereka dengan tujuan Baitul Maqdis, kemudian Yusya' mengepung kota itu, dan akhirnya kota itu berhasil ia jatuhkan pada hari Jumat sesudah waktu shalat Asar. Ketika matahari hampir tenggelam dan Yusya' merasa khawatir akan masuknya hari Sabtu (yang disucikan mereka), maka ia berkata, "Sesungguhnya engkau diperintahkan, aku pun diperintahkan pula. Ya Allah, tahanlah matahari ini untukku." Maka Allah menahannya hingga kemenangan mereka raih secara sempurna.
Allah memerintahkan Yusya' ibnu Nun agar memerintahkan kepada Bani Israil supaya memasuki Baitul Maqdis dari pintu gerbangnya seraya bersujud dan mengucapkan doa Hittah (yakni ampunilah dosa-dosa kami). Tetapi ternyata mereka mengganti semua yang diperintahkan kepada mereka; mereka memasukinya dengan mengesot seraya mengatakan, "Habbah fi sya'rah." Hal ini telah kami terangkan di dalam surat Al-Baqarah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Umar Al-Abdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Sa'id, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r,a. sehubungan dengan firman-Nya: “(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tih) itu.” (Al-Maidah: 26) Bahwa mereka tersesat di padang Tih selama empat puluh tahun, dan Musa serta Harun wafat di padang itu beserta semua orang yang usianya melampaui empat puluh tahun.
Setelah berlalu masa empat puluh tahun, maka Yusya' ibnu Nun memimpin mereka. Dialah yang memerintah mereka sesudah Musa a.s., dan dialah yang menaklukkan kota Baitul Maqdis. Dia pulalah orangnya yang dikatakan kepadanya bahwa hari itu adalah hari Jumat ketika mereka hampir saja menaklukkan kota itu dan matahari mendekati ufuk baratnya. Maka Yusya' bin Nun merasa khawatir bila malam Sabtu masuk, sehingga mereka harus menyucikan hari itu (tidak boleh berperang). Lalu ia berseru kepada matahari, "Sesungguhnya aku diperintahkan sebagaimana engkau pun diperintahkan." Maka matahari terhenti sampai Yusya' bin Nun selesai menaklukkan kota itu.
Di dalam kota itu Yusya bin Nun menjumpai harta yang berlimpah yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Kemudian ia memasukkan semua harta ghanimah itu ke dalam api, tetapi api tidak mau melahapnya. Maka ia berkata, "Di antara kalian ada orang yang korupsi." Lalu ia memanggil semua pemimpin kabilah yang berjumlah dua belas orang. Kemudian Yusya' membaiat mereka, ternyata tangan seseorang dari mereka ada yang menempel, tidak mau lepas dari tangannya. Maka Yusya' ibnu Nun berkata, "Penggelapan ini terjadi di antara orang-orangmu, maka keluarkanlah barang itu!" Maka orang yang tangannya menempel itu mengeluarkan sebuah patung kepala sapi dari emas yang kedua matanya terbuat dari batu yaqut dan giginya dari mutiara. Lalu Yusya' ibnu Nun meletakkan patung sapi itu bersama dengan ganimah lainnya yang akan dibakar oleh api, maka saat itu juga api baru mau melahapnya.
Konteks atsar ini mempunyai bukti yang menguatkannya di dalam kitab Shahih.
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa firman-Nya: “(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka.” (Al-Maidah: 26) merupakan 'amil yang berpengaruh pada lafal arba'ina sanah (empat puluh tahun), dan bahwa mereka tinggal tanpa dapat memasuki Baitul Maqdis selama empat puluh tahun dalam keadaan tersesat di padang sahara tanpa mengetahui arah tujuannya.
Ibnu Jarir mengatakan, setelah itu Nabi Musa a.s. keluar dari padang Tih dan membuka kota Baitul Maqdis bersama dengan Bani Israil. Ibnu Jarir mengatakan demikian dengan berdalilkan kesepakatan pendapat ulama tentang berita-berita umat terdahulu yang mengatakan bahwa Auj ibnu Unuq dibunuh oleh Musa a.s. Ibnu Jarir mengatakan, "Seandainya Musa membunuhnya sebelum ia masuk ke padang Tih, niscaya kaum Bani Israil tidak merasa takut terhadap bangsa 'Amaliqah. Dan hal ini jelas menunjukkan bahwa kejadian tersebut sesudah pengembaraan di padang Tih." Ibnu Jarir mengatakan bahwa para ulama ahli berita umat terdahulu telah sepakat bahwa Bal'am ibnu Ba'ura membantu kaum yang gagah perkasa untuk melawan Musa a.s. melalui doanya. Ibnu Jarir mengatakan, hal tersebut masih belum terjadi kecuali setelah pengembaraan di padang Tih, karena mereka sebelum itu tidak merasa takut terhadap Musa a.s. dan kaumnya. Demikianlah alasan yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Jarir.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Atiyyah, telah menceritakan kepada kami Qais, dari Abu Ishaq, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan bahwa panjang tongkat Nabi Musa adalah sepuluh hasta, sedangkan tinggi lompatannya sepuluh hasta, dan tinggi tubuhnya sendiri adalah sepuluh hasta. Lalu Nabi Musa a.s. melompat dan memukulkan tongkatnya kepada Auj ibnu Unuq, tetapi yang kena hanya mata kakinya, dan ternyata pukulan itu mematikan Auj ibnu Unuq. Konon tulang (iganya) dijadikan jembatan Sungai Nil selama satu tahun.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan pula dari Muhammad ibnu Basysyar: Telah menceritakan kepada kami Muammal, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Nauf Al-Bakkali yang telah mengatakan bahwa konon tempat tidur Auj ibnu Unuq panjangnya delapan ratus hasta. Tinggi Nabi Musa adalah sepuluh hasta, panjang tongkatnya sepuluh hasta, dan ia melompat ke atas setinggi sepuluh hasta, lalu ia memukul Auj ibnu Unuq dengan tongkatnya, yang kena pukul hanyalah mata kakinya. Lalu Auj ibnu Unuq jatuh dan mati, maka (tulangnya) dijadikan oleh orang-orang sebagai jembatan tempat mereka berlalu lalang.
Firman Allah ﷻ: “Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.” (Al-Maidah: 26)
Hal ini dimaksudkan untuk menghibur hati Nabi Musa a.s. agar tidak memikirkan mereka. Dengan kata lain, janganlah kamu sesali dan jangan kamu bersedih hati terhadap mereka tentang apa yang telah engkau putuskan atas mereka, karena sesungguhnya mereka berhak untuk mendapat hukuman itu. Di dalam kisah ini terkandung makna yang mengingatkan orang-orang Yahudi akan masa silam mereka yang penuh dengan kekelaman dan terkandung penjelasan mengenai hal-hal yang memalukan mereka dan penentangan mereka terhadap Allah dan rasul-Nya, serta pembangkangan mereka kepada keduanya, yakni mereka tidak menaati perintah keduanya yang menganjurkan mereka untuk berjihad.
Dan ternyata jiwa mereka lemah, tidak mampu bersabar untuk menghadapi musuh dan memeranginya, padahal di antara mereka terdapat utusan Allah yang pernah diajak bicara langsung oleh-Nya dan merupakan makhluk pilihan Allah di masa itu. Dia telah menjanjikan pertolongan dan kemenangan bagi mereka atas musuh-musuhnya. Padahal mereka telah menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri apa yang telah dilakukan oleh-Nya terhadap musuh mereka, yaitu Fir'aun, berupa azab-Nya, pembalasan-Nya, ketika Fir'aun beserta bala tentaranya ditenggelamkan ke dalam laut oleh-Nya, sedangkan mereka menyaksikan peristiwa itu agar hati mereka tenteram, dan peristiwa tersebut tidaklah jauh dari masa mereka.
Akan tetapi, mereka tetap membangkang, tidak mau berperang melawan penduduk Baitul Maqdis; padahal bila dibandingkan dengan penduduk Mesir, tidak ada satu persennya, baik dari segi bilangan penduduknya maupun dari segi perlengkapan senjatanya. Ternyata keburukan-keburukan perbuatan dan sepak terjang mereka tampak jelas di mata orang-orang tertentu dan juga kalangan awam. Sejarah mereka yang memalukan itu tidak dapat ditutupi, sekalipun oleh gelapnya malam dan tidak dapat disembunyikan.
Tetapi ironisnya mereka terombang ambing dalam kebodohannya dan tiada berkesudahan dalam kesesatannya. Mereka adalah orang-orang yang dibenci oleh Allah dan dianggap sebagai musuh-musuh-Nya. Tetapi anehnya sekalipun demikian mereka tega mengatakan bahwa dirinya adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya. Semoga Allah memburukkan wajah mereka yang telah dikutuk oleh Allah menjadi babi dan kera yang hina, dan selalu disertai oleh laknat Allah yang terus-menerus menemani mereka sampai ke neraka yang menyala-nyala. Allah memutuskan keabadian di dalam neraka bagi mereka, dan Allah telah melakukan hal itu.
Segala puji bagi Allah dari segala seginya.
Setelah menerima pengaduan Nabi Musa, Allah berfirman, Jika memang demikian sikap mereka, maka negeri atau daerah Kana'an, yang sekarang dikenal dengan daerah Gurun Sinai sampai tepi Sungai Yordan, itu terlarang buat mereka, dan mereka tidak akan memasukinya selama empat puluh tahun. Selanjutnya, selama kurun waktu yang panjang itu, sebagai hukumannya mereka akan mengembara kebingungan, karena tidak memiliki tempat yang tetap di bumi sekitar Kana'an. Maka janganlah engkau, hai Musa, bersedih hati karena memikirkan nasib orangorang yang fasik itu.
Setelah Allah mengisahkan kedurhakaan Bani Israil, pada ayat ini diceritakan pula tentang kedengkian salah seorang putra Nabi Adam. Kisah ini diawali dengan perintah kepada Nabi Muhammad untuk mengisahkannya. Dan ceritakanlah, wahai Muhammad, yang sebenarnya kepada mereka, yaitu kaum Yahudi, tentang kisah kedua putra Adam, yaitu Qabil dan Habil, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka kurban yang dipersembahkan dengan penuh keikhlasan oleh salah seorang dari mereka berdua, yaitu Habil, diterima, dan dari yang lain, yaitu Qabil, tidak diterima. Dia, Qabil, menjadi tidak senang dengan kenyataan ini dan kemudian berkata, Sungguh, aku pasti akan membunuhmu! Mendengar ancaman ini, dia, Habil, berkata, Sesungguhnya Allah hanya menerima amal perbuatan dari orang yang bertakwa.
Doa Nabi Musa itu dikabulkan oleh Allah dan Allah menyatakan bahwa sesungguhnya tanah suci itu diharamkan bagi mereka selama empat puluh tahun. Karena kedurhakaan itu, mereka tidak dapat memasuki tanah suci dan tidak dapat mendiaminya selama empat puluh tahun. Selama masa itu mereka selalu berada dalam keadaan kebingungan, tidak mengetahui arah dan tujuan. Sesudah itu Allah menganjurkan kepada Nabi Musa agar tidak merasa sedih atas musibah/siksa yang menimpa kaumnya yang fasik itu, karena bagi mereka akan merupakan pelajaran dan pengalaman.
Menurut pendapat kebanyakan ahli tafsir, bahwa Nabi Musa dan Nabi Harun berada di padang gurun bersama-sama kaum Bani lsrail, tetapi padang itu bagi Nabi Musa dan Nabi Harun merupakan tempat istirahat dan menambah ketinggian derajat mereka. Sedangkan bagi kaum Yahudi yang ingkar itu merupakan siksaan yang sangat berat. Setelah selesai peristiwa di padang pasir Paran yang tandus Nabi Musa dan Nabi Harun wafat. Kemurnian fitrah orang-orang Bani Israil itu telah dirusak oleh kesesatan, perbudakan, penindasan dan paksaan raja-raja Mesir, hingga mereka sesat, pengecut, dan penakut. Hal itu telah mendarah daging pada diri mereka. Karenanya pada waktu Musa a.s. membawa mereka ke arah kebenaran, keberanian dan kebahagiaan, mereka tetap bersifat pengecut.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Sekarang kembali kita kepada orang Yahudi, atau Bani Israil di Madinah itu, yang selalu menyombong mengangkat diri dan tidak mau menerima kebenaran Rasulullah ﷺ Maka diperingatkanlah kepada mereka betapa besar nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka di zaman dahulu, sehingga mereka beroleh kejayaan.
Ayat 20
“Dan ingatlah, tatkala berkata Musa kepada kaumnya, ‘Wahai kaumku, ingatlah olehmu nikmat Allah atas kamu, seketika telah dijadikan-Nya pada kamu nabi-nabi."
Maka tidaklah ada bangsa lain yang demikian banyaknya diberi Allah utusan nabi-nabi dan rasul, melebihi Bani Israil, sampai berpuluh orang banyaknya, sebagaimana telah disebutkan juga di dalam Al-Qur'an.
Sejak Ya'qub sendiri sebagai ayah pertama, lalu kepada Yusuf, diteruskan oleh Musa dan Harun, Dawud dan Sulaiman, Ilyasa', Ilyas dan Dzulkifli, Ayub dan Yunus, Zakariya dan Yahya, sampai kepada Isa al-Masih. Demikian juga yang lain; sebagai Dariel dan Armiya, Habakuk dan Yasy'iya, Yusyak dan Hezekiel, dan lain-lain. Semuanya dari Bani Israil; suatu nikmat Allah yang luar biasa dari segi bimbingan ruhani mereka. Sedang bangsa Arab sebelum Isma'il, hanya dikirimi tiga rasul, yaitu Hud, Shalih, dan Syu'aib, kemudian Isma'il dan penutup sekalian rasul, yaitu Muhammad ﷺ. Maka selain dari nikmat kedatangan banyak nabi-nabi itu diberi-Nya pula nikmat lain yang amat mulia. “Dan telah dijadikan-Nya kamu raja-raja."
Di dalam ibarat susunan kata-kata ini diterangkan bahwa seluruh Bani Israil telah dijadikan raja-raja belaka oleh Allah. Apakah maksud raja di sini? Padahal yang dikenal sebagai raja Bani Israil hanyalah Thaluth, setelah itu Dawud dan sesudah itu Sulaiman?
Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Ibnu Abi Hatim daripada Abu Sa'id al-Khudri (hadits marfu' dari Nabi), demikian bunyinya,
“Adalah Bani Israil itu apabila seseorang di antara mereka telah mempunyai seorang khadam, seekor kendaraan, dan seorang istri, telah disebut raja" (HR Ibnu Abi Hatim)
Dan menurut sebuah hadits dari Zaid bin Aslam, diriwayatkan oleh Abu Dawud, siapa Bani Israil yang sudah mempunyai rumah sendiri dan telah memakai khadam (bujang), maka dianggaplah dia raja. Dan beberapa hadits lain yang sama artinya.
Oleh sebab itu, maksud raja di sini, bukanlah seorang Daulat Tuanku, sebagaimana Dawud dan Sulaiman itu, tetapi tiap-tiap putra Bani Israil di waktu itu sudah berkhadam, tandanya dia telah mampu. Ada pun selama ini semuanya itu adalah budak, diperbudak, dan ditindas oleh Fir'aun, ruhani dan jasmani tidak mendapat kemerdekaan, sampai pun atas harta benda sendiri, sampai pun atas nyawa sendiri. Maka dengan terlepasnya mereka dari Mesir, bebaslah mereka dari perbudakan dan berartilah mereka semuanya telah jadi raja atas harta bendanya, atas rumah tangganya dan telah sanggup memelihara khadam, tenteram dengan anak dan istri.
“Dan telah Dia berikan kepada kamu hal yang tidak pennah diberikan kepada seorang pun dari seisi alam."
Hanya merekalah yang diseberangkan melalui Lautan Qulzum dengan terbelahnya laut.
Hanya merekalah yang dengan tongkat Nabi Musa, dapat mengeluarkan air untuk minuman mereka sampai 12 mata air. Hanya merekalah yang sampai disediakan makanan khusus Manna dan Salwa, dan banyak kelebihan yang lain yang tidak diberikan kepada seisi alam yang lain.
Semuanya ini disuruh ingatkan kembali kepada mereka oleh Allah, dengan perantaraan Rasulullah ﷺ, bukan diingat buat dibanggakan, melainkan diingat untuk disyukuri dan menambah khusyu kepada Allah, bahwa tidak patutlah mereka mendurhakai Allah yang telah demikian besar menimpakan nikmat kepada mereka. Dan di samping mengingat yang demikian itu, disuruh pula mereka mengingat kesalahan besar nenek moyang mereka. Lalu diperingatkan lagi bagaimana mereka menyanggah perintah Nabi mereka. Nabi M usa. Dan supaya di samping membangga, mereka ingat pula yang memalukan.
Ayat 21
“Wahai kaumku! Masuklah kamu ke dalam Tanah Suci yang telah ditentukan oleh Allah untuk kamu, dan janganlah kamu berpaling atas punggung kamu."
Mereka tersebutlah dalam Kitab Kejadian Pasal 12:7, seperti janji Allah kepada Ibrahim, “Bahwa tanah ini akan aku anugerahkan kepada anak cucumu!" Yaitu setelah Ibrahim berpindah dari negeri Babil, dijanjikan Tuhan-lah baginya bahwa tanah-tanah Kan'an, yang disebut juga Tanah Palestina, yang di sebelah Barat sungai Yordan. Disebut juga Tanah Suci atau tanah yang dijanjikan (Ardhul Mi'ad) dan Dajlah (Tigris) Di antara pertemuan dua benua, Asia dan Afrika. Di tengah pula di antara negeri-negeri Asyur, Mesir (Egypt) dan negeri-negeri Yunani dan Iran (Persia) Maka tanah itu telah dijanjikan oleh Allah untuk anak cucu Ibrahim. Sebagai diketahui anaknya berdua, Isma'il dan Ishaq. Terlebih dahulu Isma'il telah didudukkannya di Hejaz dan berkembanglah bangsa Arab. Sedang Bani Israil barulah di zaman Musa, yaitu 400 tahun di belakang Ibrahim, dapat diseberangkan dari Mesir, dibawa untuk menduduki tanah yang telah dijanjikan itu, yang disebut penuh dengan susu dan madu. Sekarang telah terseberang, mereka diajak kemari datang ke tanah itu, masuklah ke dalam dan serbulah negeri itu, supaya tanah yang telah dijanjikan 400 tahun yang lalu itu dapat kamu duduki. Karena akan masuk saja seperti lenggang itik pulang petang ke tanah yang masih dikuasai orang lain, tidaklah bisa. Mesti dengan berjuang! Maju terus, jangan mundur, jangan membalik punggung, artinya lari.
“Karena dengan begitu (yaitu kalau kamu tani), kembalilah kamu dalam keadaan orang yang rugi."
Menurut catatan Perjanjian Lama, yang dituliskan panjang lebar pada Kitab Bilangan Pasal 12 dan 13, maka atas Firman Allah, Nabi Musa telah menyuruhkan 12 orang penghulu (dalam bahasa Al-Qur'an ialah naqib), untuk terlebih dahulu pergi mengintai, menjadi penyelidik, untuk, mengetahui keadaan negeri yang akan dimasuki itu. Bagaimana kekuatannya, bangsa apa yang duduk di dalamnya, berapa banyak negerinya, mana negeri yang terbuka, mana pula yang dipertahankan dengan memakai benteng. Pendeknya benar-benar disuruh mengintai. Perintah Musa itu telah mereka lakukan, dan telah mengembara ke-12 orang penyelidik di negeri itu sampai 40 hari lamanya. Sebelum pulang mereka dapat memotong setandan buah anggur yang sangat lebar dan besar-besar buahnya dan membawanya pulang. Rupanya 10 dari yang 12 orang itu lemah semangat mereka melihat kedudukan musuh yang kukuh, sampai setelah bertemu dengan Nabi Musa dan Harun, mereka berkata, “Kami telah sampai ke negeri yang tuan suruhkan kami ke sana, bahwasanya ia itu berkelimpahan air susu dan madu, dan inilah tanda buahnya. Tetapi ada pun bangsa orang yang menduduki negeri itu, yaitu berkuasa dan negeri-negerinya pun berkota lagi besar-besar, maka di sana pun kami telah melihat Bani Enak" (Bilangan, 13: 27-28)
Musa mengerahkan mereka hendaklah menyerbu masuk ke negeri itu, tetapi setelah mereka melihat kekuataan dan besar tubuh musuh, mereka takut.
Ayat 22
“Mereka berkata, “Wahai Musa! Sesungguhnya di sana ada suatu kaum yang bengis."‘
Orangnya kejam-kejam, bengis, mengerikan. Mereka itu pahlawan turun-temurun, sedang kami ini hanya laksana belalang saja bila berhadapan dengan mereka,
“Dan sesungguhnya kami sekali-kali tidaklah akan masuk ke sana, sehingga mereka ketuai daripadanya. Maka jika mereka ketuai daiipadanya, maka kami pun masuk."
Inilah jawaban mereka kepada Musa. Yaitu menunjukkan semangat yang telah takut terlebih dahulu sebelum berhadapan dengan musuh. Sudah kalah jiwa sebelum bertempur, sehingga mereka memandang bahwa Bani Enak atau orang Amalik itu dengan badan mereka besar-besar.
“Ada pun negeri yang telah kami intai itu, yaitu suatu negeri yang makan orang isinya, dan akan bangsa yang telah kami lihat dalamnya, yaitu semuanya orang tinggi besar belaka." (Bilangan, 13:32)
Berita-berita yang mengecutkan hati dan menimbulkan takut inilah yang disiar-siarkan oleh kesepuluh orang yang telah mengintai itu kepada seluruh Bani Israil, sehingga semuanya pun patahlah semangat, bahkan ada yang menangis minta dipulangkan saja kembali ke Mesir. Karena kalau berperang juga, mereka semuanya akan habis disapu musuh dan anak-anak mereka dan istri-istri mereka akan jadi tawanan belaka. Maka daripada mati dibunuh musuh—kata mereka lebih baik mati di Mesir saja (jadi budak), atau mati di padang saja (kelaparan) Oleh sebab itu, mau mereka ialah masuk ke dalam negeri itu aman-aman saja, walaupun di sana berkelimpahan susu dan madu, tetapi tidak usah berperang. Kalau orang-orang yang kuat gagah perkasa di negeri itu sudah keluar dari sana, baru kita masuk. Kalau tidak, janganlah kita menganiaya diri sendiri, karena akan dikalahkan.
Semangat budak dan pengecut ini sungguh-sungguh mengecewakan Nabi Musa.
Menurut lbnu Katsir di dalam tafsirnya, “Tentang hal musuh-musuh yang ditakuti oleh penyelidik-penyelidik yang dikirim Nabi Musa itu, banyaklah penafsir-penafsir membawakan berita-berita yang diterima dari Bani Israil sendiri (Israiliyaat), berhubungan dengan keadaan musuh-musuh itu. Kata mereka; ada dari musuh itu seorang yang bernama Iwaj bin Anaq binti Adam, Iwaj itu adalah seorang laki-laki, anak dari seorang perempuan bernama Anaq, dan perempuan ini anak dari Nabi Adam, sendiri. Kata dongeng Israiliy itu, tinggi orang yang bernama Iwaj ini 3,000 (tiga ribu) hasta, ditambah dengan 333 (tiga ratus tiga puluh tiga) hasta dan ditambah sepertiga hasta. Jadi tiga ribu tiga ratus tiga puluh tiga dan sepertiga hasta. Dengan angka, “3.333 1/3 hasta!"
Kata lbnu Katsir, “Malu kita menyebutkannya!"
Padahal daiam satu hadits Nabi ﷺ disebutkan bahwa tinggi Nabi Adam sendiri, jika diukur dengan hasta kita sekarang hanya 60 hasta, dan kian lama kian menurunlah ketinggian manusia.
Kemudian mereka sebutkan pula dalam tafsir-tafsir itu bahwa si Iwaj itu adalah kafir, dan dia itu anak zina, karena perhubungan ibunya dengan seorang laki-laki di luar nikah. Katanya lagi, ketika bahtera Nabi Nuh akan berlayar, diajak masuk, dia tidak mau.
Dan diceritakan pula bahwa taufan Nabi Nuh itu hanya sampai kepada kedua mata kakinya saja.
Sama sekali ini adalah cerita bohong yang dikarang-karang saja. Demikian lbnu Katsir.
Dan lbnu Katsir menyambung lagi, “Kalau anak Nabi Nuh sendiri yang terang kafirnya turut tenggelam, bagaimana seorang yang bernama Iwaj bin Anaq akan dibiarkan tinggal, padahal dia kafir dan anak zina? Pendeknya, cerita ini tidak masuk akal dan tidak pula diterima oleh pikiran syara'. Bahkan, adakah seorang yang bernama Iwaj bin Anaq masih dalam pertimbangan, benar-benar adakah orang itu atau hanya dongeng saja?"
Sekian lbnu Katsir.
Sebagaimana telah kita salinkan di atas tadi, di dalam kitab Bilangan Pasal 12 dan 13 memang telah tersebut kisah ini, dan memang disebut nama kaum itu semuanya, yaitu Bani Enak (dari Anaq)
Tetapi Kitab Kejadian itu sendiri tidaklah pernah menyebut ada seseorang yang tingginya 3333 tambah sepertiga. Mungkin sekali cerita ini adalah tafsir pula dari kitab Kejadian untuk pelemak-pelemak kata dari Bani Israil, lalu turun dari mulut ke mulut dan dirasa pula “enak"-nya jika disalin oleh beberapa penafsir Al-Qur'an dengan tidak mempertimbangkan segi yang lain, yaitu segi masuk atau tidaknya cerita ini dikarang oleh orang Yahudi untuk membuka sifat pengecut yang terdapat pada nenek moyang mereka itu.
Kepengecutan yang timbul dari semangat budak yang sudah sangat berurat berakar ini sangatlah menimbulkan kecewa dan murka pada Nabi Musa. Tetapi di antara kedua belas orang penyelidik itu masih ada dua orang! Kedua orang ini pun ada juga rasa takutnya, tetapi bukan takut kepada musuh, melainkan lebih takut kepada Allah. Apabila seluruh ketakutan telah terpusat, hanya kepada Allah, maka betapa pun besar musuh di dunia ini, tidaklah ditakuti lagi!
Berkata ayat selanjutnya,
Ayat 23
“Berkata dua orang laki-laki dari (golongan) orang-orang yang takut, yang telah diberi nikmat oleh Allah atas keduanya"
Mereka takut; tetapi mereka bukan takut kepada musuh yang badannya besar-besar itu. Musa telah menjatuhkan perintah berperang. Kalau perintah ini tidak dijalankan, kedua orang ini amat takut kalau-kalau siksa Allah kelak akan datang. Kedua orang ini berani pergi memerangi Bani Enak atau Amalik itu. Mereka tidak merasa diri seperti belalang berhadapan dengan musuh itu, walaupun badan musuh itu besar-besar, sebab Allah ada di pihak kita. Sebab itu maka ditegaskan Allah dalam ayat ini, bahwa kedua orang itu telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu nikmat keteguhan iman, kedua orang itu disebut dalam kitab-kitab tafsir, bernama Yusyak bin Nun dan Kaleb bin Yafuna. Sesuai dengan nama-nama yang disebut di dalam kitab Bilangan Fasal 13 dan 14 itu. Mereka berdua berkeyakinan asal kita berani menyerbu memasuki pintu kotanya, kita pasti menang. Niscaya akan ada yang mati dalam pertempuran, tetapi karena kerasnya penyerbuan kita, mereka akan kalang kabut. Dengan demikian barulah negeri itu dapat dikuasai. Kata mereka berdua,
“Masuklah menghadapi mereka dari pintu itu. Maka apabila kamu telah masuk kepadanya, sesungguhnya kamu akan menang, dan kepada Allah-lah bertawakal kamu, jikalau memang kamu semua orang-orang yang berintan."
Demikianlah tingginya semangat kedua pahlawan Bani Israil itu.
Karena berkeyakinan, kalau kita beriman betul-betul, dan bersemangat waja lagi berani, gagah perkasa, dengan bertawakal kepada Allah, pastilah kemenangan tercapai. Jangan takut melihat banyak bilangan musuh atau besar-besar badannya, akan wajah mereka yang mengerikan dan kelihatan kejam. Baru akan ketahuan nanti kelemahan mereka apabila pertempuran telah dimulai. Mereka pasti kalah, sebab mereka tidak beriman kepada Allah, dan mereka tidak mengenal apa yang bernama tawakal.
Tetapi bagaimanalah akan dibuat? Propagarda buruk dari sepuluh orang pengecut telah mendalam kepada orang banyak daripada semangat dua orang pahlawan yang berani,
Ayat 24
“Mereka berkata, Wahai Musa! Sesungguhnya tidaklah kami hendak masuk ke dalamnya selama-lamanya, selama mereka itu masih di sana."
Benar-benar membayangkan semangat yang sudah sangat patah dan jiwa yang sudah biasa jadi budak. Betapa Nabi Musa mengerahkan mereka, bukan mereka bertambah berani, melainkan bertambah takut. Selama penduduk negeri itu masih di sana, mereka tidak akan masuk ke sana; biar apa yang akan terjadi, biar kembali ke Mesir jadi budak, sehingga berani mereka mengeluarkan kata,
“Maka pengilah engkau dan Tuhan engkau, berperanglah kamu berdua; sesungguhnya kami, di sinilah kami duduk."
Mereka hanya mau menerima yang masak saja. Mereka tidak mau pergi, mereka hendak duduk menunggu. Pergi sajalah Musa dengan Allah berdua ke sana, berperanglah dengan bangsa yang gagah perkasa itu, kami duduk di sini menunggu hasil kemenangan. Kalau engkau hai Musa berdua dengan Allah itu mendapat kemenangan, tentu kami pun masuk ke sana.
Sungguh-sungguh membayangkan semangat budak!
Bukan mainlah murka Musa mendengarkan jawaban yang demikian. Mana pengecut, mana pula keingkaran kepada Allah, dan berani pula bercakap seperti itu terhadap Allah.
Ayat 25
“Dia berkata, Ya Tuhanku! Sesungguhnya tidaklah aku menguasai, kecuali diriku dan saudanaku."
Di waktu itulah Musa mengadukan halnya kepada Tuhannya, bagaimana kerusakan budi, kepengecutan dan bobrok iman kaumnya. Musa yang gagah perkasa di waktu itu telah menyatakan diri kepada Allah, bahwa segala perintah Allah akan beliau junjung tinggi, berdua dengan saudaranya, Harun. Kalau perintah Allah datang, maka dengan berdua saja pun beliau sanggup memasuki negeri itu. Niscaya orang-orang yang berani dan telah beroleh nikmat iman seperti Yusyak bin Nun dan Kaleb bin Yafuna akan menuruti jejak beliau. Beliau menjamin di hadapan Allah, bahwa saudaranya, Harun pun akan bersedia menuruti dia, itulah yang beliau yakini kesediaannya,
“Maka pisahkanlah di antara kami dan di antara kaum yang fasik itu."
Di sini Musa telah menunjukkan kepribadian seorang Rasul; tanggung jawab yang besar. Mana yang bersedia mati untuk Allah, ikutilah aku! Dan yang ragu, yang fasik, boleh tinggal. Bahkan boleh pulang menjadi budak kembali di Mesir.
Tetapi firman Allah lain,
Ayat 26
“Dia benfhman, “Maka sesungguhnya (Tanah Suci) itu diharamkan atas mereka empat puluh tahun, mereka akan berlarat-larat di bumi."
Musa hendak pergi berperang sendiri, dengan meyakini kesetiaan saudaranya Harun dan beberapa orang yang teguh iman seperti Yusyak bin Nun dan Kaleb bin Yafuna, tidak dikabulkan Allah. Sebab walau peperangan itu dikabulkan juga, yang tentu kalau Allah menghendaki akan menang juga. Bagaimana dengan orang-orang yang telah rusak budinya ini, yang telah sangat remuk jiwa mereka
karena tekanan perbudakan 400 tahun turun-temurun di Mesir? Tentu mereka akan masuk juga dengan melenggang-kangkung tak tahu malu ke negeri yang telah dijanjikan itu. Apa yang diharapkan dari mereka di sana? Sekarang datang perintah Allah: Penyerbuan ke negeri itu belum boleh diteruskan. Tetapi kaum yang sudah begini rusak jiwanya harus dibawa dahulu ke padang belantara. Sebab dibawa pulang ke Mesir tidak mungkin. Empat puluh tahun biar mereka menjadi pengembara berlarat-larat di padang belantara sampai angkatan (generasi) yang pengecut itu habis mati, sampai datang generasi yang kedua, anak-anak mereka, yang tidak mengenal lagi suasana perbudakan seperti di Mesir itu,
“Lantaran itu, janganlah engkau berduka cita atas kaum yang fasik itu."
Jangan engkau terlalu bersusah hati memikirkan mereka, jiwa yang sudah demikian rusaknya memang suka r diperbaiki, jiwa budak sudah menjadi sikap jiwa mereka. Biarkan habis mati angkatan itu, datang angkatan baru kelak, itulah yang diharapkan.
Dari kisah ini kita mendapat pengajaran yang dalam sekali perihal keadaan suatu kaum atau bangsa yang sudah lama diperbudak. Selanjutnya kita membaca sejarah yang baru terjadi, yaitu peperangan karena perbudakan di Amerika, di antara Utara dengan Selatan 100 tahun yang lalu, sampai Abraham Lincoln menjadi korban dibunuh orang. Akhirnya pihak Utara menang; budak-budak diberi kemerdekaan. Tetapi beratus-ratus Negro yang sudah dimerdekakan dengan Dekrit Presiden setelah dekrit keluar, pulang kembali ke rumah tuan besarnya orang kulit putih, memohon sudi apalah kiranya supaya diambil kembali menjadi budak, sebab tidak lantas angan mereka hidup merdeka, sebab kalau merdeka, tidak ada jaminan hidup, payah mencari makan. 100 tahun kemudian, yaitu di zaman kita sekarang ini baru timbul gerakan Negro Amerika yang benar-benar meminta persamaan hak dengan kulit putih, karena sudah enam kali pergantian generasi.
Sebab itu pula kita melihat gerakan-gerakan kemerdekaan negeri terjajah, bukanlah dipimpin atau dianjurkan oleh orang-orang tua melainkan dimulai oleh anak-anak muda yang bergelora semangat.
Sedang golongan-golongan tua sudah lama berputus asa, apatah lagi setelah mereka saksikan beberapa pejuang yang terdahulu kerap kali telah gagal. Golongan tua inilah yang mengeluh kalau susah, dan berkata, “Bilakah akan berhenti kemerdekaan ini?1'
Dan lantaran itu pula maka, suatu bangsa yang telah mencapai kemerdekaan, hendaklah menghadapkan perhatian kepada angkatan muda, karena merekalah yang tidak terikat lagi oleh suasana yang lama, dan memandang ke muka terus, ke zaman jaya yang telah mereka bangunkan sebagai cita-cita dan pandangan hidup.
Dalam riwayat Bani Israil selanjutnya, setelah Musa wafat, memang Yusyak bin Nun yang dididik oleh Musa sejak masih muda beliau itu yang meneruskan pimpinan. Sebab jiwanya sejak semula telah bebas dari semangat perbudakan. Maka oleh Musa kepadanyalah diserahkan pimpinan kaumnya ketika beliau akan meninggal, sebab Harun terlebih dahulu wafat daripada Musa. Dialah kelaknya yang membawa Bani Israil angkatan baru, bukan angkatan tua yang telah mati berangsur-angsur di padang belantara dalam berlarat-larat 40 tahun itu. Yusyak bin Nun dibantu oleh Kaleb bin Yafuna yang memimpin angkatan baru itu merebut tanah yang dijanjikan itu.
Sebab itu sebelum wafat, Musa telah membentuk kader-kader.
PENDAPAT IBNU KHALDUN
Pelopor ilmu masyarakat (sosiologi) dan filsafat sejarah Muslim yang besar Ibnu Khaldun telah membincangkan pula hal ini dalam kitab Muqaddimah-nya yang terkenal. Pada Fasal 19 beliau menerangkan betapa hancurnya kekuatan suatu kaum (‘ashcibiyah) kalau mereka telah direndahkan dan jatuh ke bawah perintah orang asing. Di dalam seluruh Muqaddimah-nya beliau merekankan betapa perlunya ‘ashabiyah bagi bangunnya suatu pemerintahan atau kekuasaan atau kerajaan. Kalau ‘ashabiyah telah pecah karena kemelaratan dan kehinaan, suatu kaum tidak akan dapat bangun lagi. Barulah kaum itu akan bangun kalau ada pemimpin kuat yang akan membawa naik mereka. Tetapi itu pun akan menempuh berbagai rintangan yang hebat, tersebab jiwa kaum itu yang teiah lama rusak. Lalu Ibnu Khaldun mengemukakan misal tentang Bani Israil di bawah pimpinan Musa seperti tersebut dalam Al-Qur'an itu. Ketika Nabi Musa mengutus 12 orang penyelidik ke negeri yang harus mereka rebut dari tangan musuh, sedang orang yang 12 itu adalah pemuka belaka dari kaumnya, hanya 2 orang yang berani dan yang 10 habis ketakutan. Padahal Allah telah berjanji akan menyerahkan Tanah Suci itu ke tangan mereka, asal mereka mau berjuang.
Mengapa mereka takut menghadapi musuh Bani Enak itu?
Ibnu Khaldun mengatakan sebabnya ialah karena dari dalam jiwa mereka belum hilang ketakutan yang ditimbulkan oleh tekanan kaum Qibthi, yaitu kaum Fir'aun beratus tahun. Sebab itu apabila akan berjuang menghadapi musuh, mereka teringat lagi akan kedahsyatan penindasan mereka yang dahulu. Apatah lagi mereka bebas dari tindasan Fir'aun bukanlah karena perjuangan mereka sendiri, mereka karena melarikan diri, lalu ditolong Allah dengan mukjizat terbelah laut. Dan mereka berpikir kalau sudah sampai di seberang itu akan aman, tidak ada lagi ribut-ribut. Sebab itu ketika diajak berperang, pemimpin-pemimpin mereka sendiri yang timbul takut. Dan pengikut-pengikut mereka sangat banyak cincong. Oleh karena itulah mereka di hukum Allah, disuruh mengembara atau dikarantinakan di PadangTih itu 40 tahun lamanya.
Yaitu di antara Syam dan Mesir. Empat puluh tahun tidak mengenal dunia keliling, empat puluh tahun tidak melihat kota-kota besar, tidak bercampur dengan manusia lain, terputus dengan dunia luar.
Ibnu Khaldun mengambil kesimpulan dari mafhum ayat mengapa mereka sampai di hukum sedemikian lama. Maksudnya ialah supaya jail atau generasi yang jiwa mereka telah rusak karena tindasan Qibthi dari Fir'aun dahulu itu biar habis lebih dahulu, lalu timbul generasi muda yang tidak mengenal dan merasakan lagi kehinaan tekanan dan tindasan, yang berpuluh keturunan merusak binasakan jiwa nenek moyang mereka. Generasi baru inilah yang diharapkan sanggup menuntut bela dan berjuang untuk mencapai kemenangan.
Dan berkata lbnu Khaldun seterusnya, Di sini Anda dapat mengambil suatu kesan bahwa paling kurang empat puluh tahun lamanya kalau hendak menghabiskan generasi lama lalu menimbulkan generasi baru.
Amat sucilah Allah Yang Mahabijaksana, lagi Maha Mengetahui!
Sesudah menerangkan hal ini Ibnu Khaldun menjelaskan lagi pendapatnya yang terkenal itu:
“Dan dalam hal ini bertambah jelaslah dalil betapa pentingnya ‘ashabiyah. Bahwa ‘asha-hiyah itulah yang menimbulkan semangat pertahanan diri, penangkisan musuh dan pembelaan, dan juga menuntut hak. Dan barangsiapa yang kehilangan ‘ashabiyah, pastilah kelemahannya dan dia tidak dapat berbuat apa-apa lagi."
Sekian lbnu Khaldun.
PERBANDINGAN DI ANTARA NAQIB-NAQIB
Untuk menambah pengetahuan kita tentang perjuangan rasul-rasul Allah dan jiwa para pengikut mereka atau orang-orang yang mereka tumpahi kepercayaan di sini, mari kita lihat tiga macam sejarah.
Ketika menafsirkan ayat 12 telah kita uraikan apa artinya naqib. Yaitu bahwa Nabi Musa telah mengangkat 12 orang penyelidik atau pemimpin, pelopor pembuka jalan. Dan dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini telah kita lihat bagaimana kekecewaan yang timbul karena naqib 10 orang banyaknya takut bertanggung jawab.
12 orang naqib yang diangkat Nabi Musa itu, disebutkan nama-nama mereka di dalam Kitab Bilangan Fasal 13 ayat 4 sampai ayat 15. Yaitu:
• Syammia bin Zakur.
• Safatbin Hori.
• Kaleb bin Yafuna.
• Yijal bin Yusuf.
• Yosea bin Nun.
• Falti bin Rafu.
• Gajal bin Sadi.
• Gadi bin Sosi.
• Amial bin Gamali.
• Setur bin Mikhail.
• Nakhbin bin Wafsi.
• Guil bin Makhi.
Dua belas orang naqib, kenyataan bahwa 10 penakut, hanya 2 orang berani. Yaitu Kaleb bin Yafuna dari suku Yahuda dan Yosea (Yusyak) bin Nun dari suku Yeffrayim. Yosea ini ditukar namanya oleh Nabi Musa menjadi Yusyak bin Nun. Kegagalan naqib yang sepuluh inilah yang menyebabkan empat puluh tahun lamanya Bani Israil dikarantinakan di Padang Tih, supaya angkatan tua habis dan naik angkatan baru. Yusyak bin Nuniah yang dipercaya oleh Musa sampai kemudian hari, sehingga setelah meninggal Harun dan meninggal Musa, dialah yang meneruskan pimpinan bagi Bani Israil.
Kemudian mari kita tilik 12 orang naqib, yang disebut juga hawari yang diangkat oleh Nabi Isa al-Masih.
Di dalam Injil Karangan Matius Fasal 10 ayat 2 sampai ayat 4 dituliskan pula nama-nama mereka:
• Simon yang disebut juga Peterus.
• Andreas saudara dari Simon.
• Ya'qub anak Zabdi.
• Yahya Saudara Ya'qub.
• Philipus.
• Bortolomius.
• Thomas.
• Matius pemungut cukai.
• Ya'qub Anak Alpius,
• Tadius.
• Simon orang Kanaani.
• Yudas Iskarioty.
Apabila kita lihat lukisan pribadi pengikut-pengikut al-Masih ini dalam catatan Injil sendiri, tiadalah ada di antara mereka yang mempunyai jiwa pejuang yang gagah berani. Yang terkemuka di kalangan mereka disebut Simon Peterus. Tetapi ketika Yesus Kristus ditangkap, ternyata kelemahan jiwanya, sehingga sebelum ayam berkokok tiga kali, Simon Peterus memungkiri al-Masih, tidak mau mengakui bahwa dia muridnya atau orang yang dekat dengan dia.
Yang paling menyolok mata ialah khianat Yudas. Dijualnya al-Masih dengan 30 keping perak. Dan kemudian dia menyesal. (Matius 27: 5) Tetapi dalam satu berita lagi, dia mati terjatuh sehingga terburai isi perutnya. (Kisah segala Rasul 1: 8) Dan menurut kepercayaan Islam, dialah Yudas yang menjual gurunya itu yang “menggali lubang dan dia yang menimbuni".
Dialah yang disangka orang al-Masih, lalu dia yang dinaikkan orang ke tiang salib. (Lihat kembali tafsir kita di surah an-Nisaa' ayat 157, dalam juz ini juga)
Matius mengatakan dengan tidak ragu-ragu, ketika mencatat nama-nama hawari yang 12 ini, “Dan Yudas Iskarioty, yaitu yang menyerahkan Yesus." (Matius 10:4)
Bagaimana yang 10 orang lagi? Semua melarikan diri ketika Yesus telah dikepung hendak ditangkap. (Matius 26: 56)
Dan bagaimana pula dengan 12 naqib Nabi Muhammad ﷺ?
Setelah mengadakan pertemuan yang kedua kali di Aqabah (Mina), yang dihadiri oleh 73 orang Arab Madinah, di antaranya turut dua orang perempuan. Maka putuslah mufakat bahwa Nabi Muhammad ﷺ akan Hijrah ke Madinah dan mereka akan menyambut beliau dengan segala kesanggupan memikul seluruh tanggung jawab, walaupun lantaran itu mereka akan terpaksa berperang dengan kaum Quraisy yang selama ini memusuhi Nabi ﷺ. Seluruh mereka bersedia mengorbankan nyawa dan harta benda di dalam membela dan menegakkan ajaran Nabi. Sebab itulah mereka disebut al-Anshar.
Oleh Nabi dipilihlah di kalangan orang yang 73 itu 12 orang banyaknya, yang akan menjadi pahlawan, pelopor, dan pembela dari teman-teman mereka yang telah menyatakan percaya kepada Nabi dalam negeri Madinah, baiksebelum Nabi datangmaupun sesudahnya.
Ibnu Hisyam telah mencatat nama-nama orang yang 12 itu, yang kemudiannya telah turut membina sejarah perkembangan Islam dengan sikap hidup yang berbahagia dan gilang-gemilang:
• Abu Umamah As'ad bin Zurrah.
• Sa'ad bin ar-Rabr.
• Abdullah bin Rawahah.
• Rafi bin Malik bin al-'Ajian.
• Al-Bara bin Ma'rur.
• Abdullah bin Amr bin Haraam.
• Ubbadah bin Shamit.
• Sa'ad bin Ubadah.
• Al-Mundzir bin Amr bin Hunais. (Yang sembilan orang ini dari Bbani Khazraj)
• Usaid bin Hudhair.
• Sa'ad bin Khaitsamah.
• Rifa'ah bin Abdul Mundzir. (Yang bertiga ini dari Bani Aus)
Semuanya berjanji, walaupun dengan darah, walaupun kehancuran yang akan dihadapi, mereka bersedia mati di samping Rasulullah di dalam menegakkan agamanya.
Ketika mulai membuat baiat (perjanjian dengan mengulurkan tangan) yang mula-mula mengulurkan tangannya lalu memegang tangan Rasulullah ﷺ ialah al-Bara bin Ma'rur. Hanya dia saja di antara kedua belas orang pahlawan atau naqib itu yang tidak sempat memenuhi janjinya, bukan karena berkhianat, bukan karena takut mati, melainkan karena dia mati sebelum Rasulullah ﷺ pindah ke Madinah. Riwayat mengatakan bahwa sampai mautnya al-Bara masih tertunggu-tunggu bilakah agaknya Rasulullah akan tiba. Ada pun yang 11 orang lagi, semuanya telah melaksanakan tugasnya dengan baik dan gilang gemilang.
Ketika akan Perang Badar, ketika Rasulullah ﷺ menanyakan kepada orang Anshar, apakah mereka bersedia membantu beliau berperang melawan Quraisy? Padahal dalam perjanjian Aqabah dahulu, yang tersebut mereka akan membantu hanyalah kalau kota Madinah (Yatsrib) diserang musuh. Tidak ada janji bahwa mereka akan turut kalau pergi berperang keluar, maka salah seorang dari naqib yang 12 itu, yaitu Sa'ad bin Ubadah telah bertanya dengan hormatnya,
“Kamikah yang engkau maksud dengan seruanmu itu ya Rasul Allah? Demi Allah, yang nyawaku ada dalam tangan-Nya! Kalau engkau suruh kami merenangi laut, niscaya akan kami renangi. Kalau engkau suruh kami melecut punggung kendaraan kami ke Barka Ghammad, (satu tempat di tepi pantai, 5 hari perjalanan dari Mekah) niscaya kami akan pergi ke sana." — Riwayat dari Muslim.
Sebagaimana dimaklumi dalam sejarah, Sa'ad bin Ubadah adalah salah seorang dari naqib yang 12. Dan Peperangan Badar adalah perang besar pertama sesudah Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah. Sa'ad bin Ubadah telah menunjukkan semangat orang Anshar pada umumnya dan semangat naqib yang 12 pada khususnya. Dia telah menunjukkan kegagahperkasaan di Perang Badar.
Kalau kita tilik sejarah hidup 12 orang naqib itu, kita akan kagum bahwa harapan Rasulullah terhadap mereka tidak seorang pun yang mengecewakannya.
6. Abu Umamah A'sad bin Zurrah
Naqib yang pertama tercatat namanya. Dialah yang memelihara guru yang pertama dikirim Rasul Allah buat mengajar di Madinah, sebelum beliau hijrah, yaitu Mas'ab bin Umair. Dan di rumahnya pulalah orang mula-mula mendirikan sha-lat berjamaah sebelum Rasulullah hijrah. Dia meninggal sebelum Peperangan Badar sedang orang sibuk mendirikan Masjid Rasulullah ﷺ.
7. Sa'ad bin Rabi
Naqib kedua. Terkenal namanya sebab dengan dialah Rasulullah mempersaudarakan Abdurrahman bin Auf setelah hijrah ke Madinah. Begitu tinggi budinya dan bersih hatinya, sehingga pernah dia menawarkan separuh hartanya untuk modal bagi Abdurrahman bin Auf berusaha di Madinah dan dia pun rela menceraikan salah seorang dari istrinya, supaya diambil istri oleh Abdurrahman. Tetapi Abdurrahman menolak kedua tawaran itu dengan baik budi pula, malah berusaha sendiri, sampai Abdurrahman kaya raya pula.
Sa'ad bin Rabi ini mati syahid dalam Perang Uhud.
8. Abdullah bin Rawahah
Naqib yang ketiga. Tidaklah payah memperkenalkan nama ini. Seorang pujangga dan penyair, seorang yang gagah perkasa dalam perang dan turut menaklukkan Mekah. Dia diangkat menjadi Amir yang ketiga, sesudah Ja'far bin Abi Thalib dan Zaid bin Haritsah dalam peperangan dalam Peperangan Mu'tah, dan ketiga pahlawan itu tewas dalam perang tersebut.
9. Rafi bin Malik bin al-Ajian
Naqib keempat. Dia turut dalam Peperangan Badar.
10. Al-Bara bin Ma'rur
Naqib kelima. Ketika terjadi baiat di Aqa-bah itu, dialah yang mula sekali mengulurkan tangannya dan memegang tangan Rasulullah ﷺ menyatakan setia dan menyatakan sedia hidup dan mati bersama Rasulullah di dalam menegakkan ajaran beliau.
Menurut riwayat Ibnu Hisyam, ketika dia mula-mula datang menemui Rasulullah ke Mekah sebelum hijrah, dia telah shalat menghadap Ka'bah. Karena menurut perkiraannya ke Ka'bah itulah yang lebih patut, sebab itulah rumah ibadah yang mula-mula. Seketika bertemu dengan Rasulullah dia telah menyatakan pendapatnya itu dan minta bandingan Rasulullah. Lalu Rasulullah menjawab, “Sekarang kita masih berkiblat ke Baitul Maqdis, tetapi saya percaya bahwa nanti kita akan berkiblat ke Ka'bah juga."
Sayang sekali al-Bara meninggal sebelum Rasulullah ﷺ hijrah. Tetapi anaknya yang bernama Basyar telah melanjutkan kesetiaan ayahnya, dan dia turut dalam beberapa peperangan. Dia mati kena racun, dari kambing yang diberikan oleh perempuan Yahudi di Khaibar, untuk meracun Rasulullah ﷺ Dia jadi korban dan Rasul Allah selamat.
11. Abdullah bin Amir bin Haraam
Naqib keenam. Turut dalam Peperangan Badar, beroleh syahid dalam Peperangan Uhud, dan dia adalah ayah dari sahabat Rasulullah yang terkenal, Jabir bin Abdullah.
12. Ubbadah bin Shamit
Naqib ketujuh. Sangat terkenal sebagai seorang pahlawan. Turut dalam segala peperangan bersama Rasulullah ﷺ dan banyak pula merawikan hadits Nabi ﷺ. Dan setelah Rasulullah ﷺ wafat, dia menjadi orang kedua dalam penaklukkan negeri Mesir, di bawah Amr bin Ash.
Setelah Muqauqis Raja Mesir mengirim utusan menemui Amr bin Ash, dia yang disuruh menyambut dan menghadap utusan itu. Utusan berkata kepada pengawal, dengan siapa dia akan bertemu? Lalu ditunjukkan orang Ubbadah bin Shamit. Utusan itu tercengang, sebab Ubbadah bin Shamit adalah hitam kulitnya. Utusan bertanya, “Apakah orang hitam seperti tuan ini memegang kekuasaan setinggi ini?"
Ubbadah menjawab, “Dalam pimpinan kami terdapat berpuluh-puluh orang yang hitam kulitnya sebagaimana saya ini!"
Dan, Ubbadah bin Shamit pulalah yang mengepalai Armada Islam menaklukkan Cyprus.
13. Sa'ad bin Ubadah
Naqib kedelapan. Tadi telah kita jelaskan salah satu kegagah-perkasaan Sa'ad, dan dalam hadits yang lain dinyatakan lagi sambungan perkataan Sa'ad seketika menyambut seruan Rasulullah ﷺ,
“Kami kaum Anshar akan berdiri di sampingmu ke mana saja kami engkau ajak. Kami tidaklah akan bersikap sebagaimana kaum Musa, yang berkata kepada Musa, ‘Pergilah engkau bersama Tuhan engkau itu, hai Musa! Dan kami akan tetap duduk di sini.'"
Sa'ad bin Ubadah bagi kaum Anshar, sama kedudukannya dengan Abu Bakar bagi kaum Muhajirin. Pernah diberi tugas oleh Rasulullah ﷺ menjadi wakil beliau sebagai pemimpin pemerintahan di Madinah seketika beliau pergi berperang.
14. Al-Mundzir bin Ansr bin Hunais
Naqib kesembilan. Seorang pahlawan yang gagah berani pantang mundur. Dia diangkat oleh Rasulullah menjadi amir peperangan, ketika suatu suku Arab yang besar mengkhianati utusan Rasulullah di Sumur Maa'uunah. Penduduk negeri itu mohon dikirimkan ahli-ahli membaca Al-Qur'an. Tetapi di Sumur Maa'uunah itu mereka dikhianati diserang dengan tiba-tiba. Di sanalah dia tewas.
15. Usaid bin Hudhair
Naqib kesepuluh. Dia turut dalam banyak peperangan yang besar.
16. Sa'ad bin Khaitsamah
Naqib kesebelas. Dia mendapat syahidnya dalam Peperangan Badar. Adalah sangat mengharukan kisah ayahnya datang kepada Rasulullah sebelum Peperangan Uhud, dan minta dibawa ikut berperang. Mulanya Rasulullah menolaknya, sebab dia telah tua. Tetapi dengan menitikkan air mata, Khaitsamah berkata kepada Rasulullah, bahwa semalam dia bermimpi melihat putranya Sa'ad sedang bermain-main di dalam surga. Lalu kelihatan olehnya ayahnya, maka berkatalah dia bahwa hidupnya dalam surga sangat senang. Dia ajak ayahnya supaya menuruti dia agar bersama-sama mengecap nikmat Ilahi. Permohonannya dikabulkan Rasulullah. Khaitsamah turut dalam Peperangan Uhud. Dalam satu pertempuran tercapailah citanya, dia beroleh syahid, dan berbahagialah dia sebab dapat menyusul putranya.
17. Rifa'ah bin Abdul Mundzir
(Menurut satu riwayat, Abdul Haitsam bin at-Taiban, naqib yang ke-I2 ini. Dia turut dalam Peperangan Badar)
Kedua belasnya diangkat oleh Rasulullah untuk memimpin seluruh kaum Anshar, yang pelopor atau seperti istilah sekarang menjadi kader. Dan tidak seorang pun di antara mereka yang mengecewakan harapan Rasulullah ﷺ itu, tidak ada yang mundur ketika menghadapi musuh, bahkan tidak ada yang berkhianat. Berkat bimbingan mereka agama Islam telah tegak dengan jayanya karena perjuangan kaum Anshar di samping kaum Muhajirin.