Ayat
Terjemahan Per Kata
يُرِيدُ
menghendaki
ٱللَّهُ
Allah
أَن
supaya
يُخَفِّفَ
Dia memberi keringanan
عَنكُمۡۚ
dari kalian
وَخُلِقَ
dan dijadikan
ٱلۡإِنسَٰنُ
manusia
ضَعِيفٗا
lemah
يُرِيدُ
menghendaki
ٱللَّهُ
Allah
أَن
supaya
يُخَفِّفَ
Dia memberi keringanan
عَنكُمۡۚ
dari kalian
وَخُلِقَ
dan dijadikan
ٱلۡإِنسَٰنُ
manusia
ضَعِيفٗا
lemah
Terjemahan
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia diciptakan (dalam keadaan) lemah.
Tafsir
(Allah hendak memberi keringanan kepadamu) artinya memudahkan hukum-hukum syariat (karena manusia dijadikan bersifat lemah) tidak tahan menghadapi wanita dan godaan seksual.
Tafsir Surat An-Nisa': 26-28
Allah hendak menerangkan (hukum syariat-Nya) kepada kalian, dan menunjuki kalian ke jalan-jalan orang yang sebelum kalian (para nabi dan salihin) dan (hendak) menerima tobat kalian. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dan Allah hendak menerima tobat kalian, sedangkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).
Allah hendak memberikan keringanan kepada kalian karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.
Ayat 26
Allah ﷻ memberitahukan bahwa Dia akan menjelaskan kepada kalian, wahai orang-orang mukmin, hal-hal yang dihalalkan bagi kalian dan hal-hal yang diharamkan bagi kalian melalui hal-hal yang telah disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya dan yang lainnya.
“Dan memberi kalian petunjuk ke jalan-jalan orang yang sebelum kalian.” (An-Nisa: 26)
Yaitu jalan-jalan mereka yang terpuji agar kalian mengikuti syariat-syariat-Nya yang disukai dan diridai-Nya.
“Dan Allah hendak menerima tobat kalian.” (An-Nisa: 26) dari semua dosa dan semua perbuatan haram.
“Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nisa: 26) Yakni dalam syariat-Nya, dalam takdir-Nya, dalam semua perbuatan dan ucapan-Nya.
Ayat 27
Firman Allah ﷻ: “Sedangkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).” (An-Nisa: 27)
Para pengikut setan dari kalangan Yahudi dan Nasrani serta para tuna susila bertujuan menyimpangkan kalian dari kebenaran menuju kepada kebatilan dengan penyimpangan yang sejauh-jauhnya.
Ayat 28
“Allah hendak memberikan keringanan kepada kalian.” (An-Nisa: 28)
Yaitu dalam syariat-syariat-Nya, perintah-perintah-Nya, larangan-larangan-Nya, serta semua yang ditakdirkan-Nya bagi kalian. Karena itu, Dia memperbolehkan kalian mengawini budak-budak perempuan dengan syarat-syarat tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya sehubungan dengan firman-Nya: “Dan manusia diciptakan (bersifat) lemah.” (An-Nisa: 28) Maka adanya keringanan ini sangatlah sesuai, mengingat kondisi manusia itu lemah, begitu pula tekad dan kemauannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya sehubungan dengan firman-Nya: “Dan manusia diciptakan (bersifat) lemah.” (An-Nisa: 28) Yakni terhadap perkara wanita.
Menurut Waki', akal lelaki lemah bila menghadapi wanita. Musa a.s. kalimullah a.s. berkata kepada Nabi kita Muhammad ﷺ ketika beliau menjalani isra dan bertemu dengannya di saat baru kembali dari Sidratul Muntaha, "Apakah yang telah difardukan atas kalian?" Nabi ﷺ menjawab, "Allah memerintahkan kepadaku mengerjakan shalat lima puluh kali dalam sehari semalam." Nabi Musa a.s. berkata, "Kembalilah kepada Tuhanmu, dan mintalah keringanan kepada-Nya, karena sesungguhnya umatmu pasti tidak akan mampu melakukan hal tersebut. Sesungguhnya aku telah menguji manusia dengan tugas yang lebih ringan dari itu, tetapi ternyata mereka tidak mampu; dan sesungguhnya umatmu memiliki pendengaran, penglihatan, dan kalbu yang lebih lemah (daripada umatku)." Maka Nabi ﷺ kembali, dan diringankan sebanyak sepuluh kali, lalu Nabi ﷺ kembali lagi kepada Musa. Hal tersebut terus-menerus terjadi hingga pada akhirnya tinggal shalat lima waktu.
Allah juga hendak memberikan keringanan atas beban yang dipikulkan-Nya kepadamu. Oleh sebab itu, ketahuilah bahwa karena manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan bersifat lemah, maka tidak ada hukum-Nya yang di luar kemampuan manusia untuk memikulnyaAyat-ayat yang lalu berbicara tentang hukum pernikahan, sementara pernikahan itu tidak bisa dilepaskan dari harta, terutama berkaitan dengan maskawin. Oleh sebab itu, ayat berikut berbicara tentang bagaimana manusia beriman mengelola harta sesuai dengan keridaan Allah. Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah sekali-kali kamu saling memakan atau memperoleh harta di antara sesamamu yang kamu perlukan dalam hidup dengan jalan yang batil, yakni jalan tidak benar yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat, kecuali kamu peroleh harta itu dengan cara yang benar dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu yang tidak melanggar ketentuan syariat. Dan janganlah kamu membunuh dirimu atau membunuh orang lain karena ingin mendapatkan harta. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu dan hamba-hamba-Nya yang beriman.
Allah menghendaki keringanan bagi kaum Muslimin, karena itu membolehkan mereka yang kurang sanggup memberi belanja kepada perempuan merdeka untuk menikahi seorang hamba sahaya. Allah memberitahukan pula bahwa manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah, terutama dalam menghadapi godaan hawa nafsunya. Oleh karenanya hendaklah kaum Muslimin menjaga dirinya agar jangan sampai melakukan pelanggaran, seperti berzina dan lain sebagainya. Ini semua dalam rangka membentengi manusia dari pengaruh setan dan hawa nafsu yang dapat menjerumuskannya. Manusia harus menyadari kelemahan dirinya, karena itu perlu membentengi diri dengan iman yang kuat dan perlu mengetahui tuntunan Allah dan cara-cara mengatasi godaan hawa nafsunya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 26
“Allah hendak menenangkan kepada kamu, dan hendak menunjuki kamu, tentang cara-cara yang ditempuh oleh cnang-orang yang sebelum kamu."
Yaitu diterangkan Allah siapa yang tidak boleh dinikahi, supaya teraturlah nasab keturunan kamu dan eratlah hubungan kekeluargaan. Sebab sejak dari pangkal surah sudah dijelaskan pertalian takwa kepada Allah de-ngan memelihara arham, yaitu pertalian kekeluargaan. Sejak zaman dahalu kala, dengan diberi tuntunan oleh nabi-nabi dan rasul-rasul, sudahlah manusia menjadi manusia, hidup yang teratur, terang ibu dan terang ayah karena perkawinan itu diatur, diadakan yang terlarang. Ada yang asli, seperti ibu dan anak perempuan, bertali dengan saudara ayah dan saudara ibu, dan cucu dan kemenakan; dan ada pula dipertalikan karena air susu dan ada lagi pertalian karena bermertua dan ber-menantu. Yang kurang jelas, tetapi ditolak oleh perasaan halus, sebagai mengawini janda ayah, dijelaskan larangannya. Dihormati perbentengan orang lain, yaitu supaya jangan mengganggu istri orang. Dianjurkan nikah, dijauhkan sangat zina dan pergaulan bebas, memelihara piaraan. Daripada berzina, lebih baik mengawini budak. “Dan dia hendak memberi tobat atas kamu." Yaitu kalau di zaman yang sudah-sudah ada yang telanjur, misalnya, mengawini janda bapak. Mulai peraturan ini telah keluar, hentikanlah pergaulan yang telah dilarang itu hingga kini.
Kesalahan yang lampau diberi tobat oleh Allah. Jika telah telanjur beranak di waktu itu, anak itu diakui juga sebagai anakmu. Jika di zaman dahulu kamu beristri lebih dari berempat, dengan datangnya ayat ini, tinggalkan atau ceraikanlah yang selebihnya. Bahkan kalau tidak kuat memikul yang berempat itu, boleh pula kamu ceraikan, biarpun tinggal satu. “Dan Allah adalah Maha Mengetahui." Betapa banyaknya kekacauan pergaulan di zaman jahiliyyah, tetapi Dia
“Mahabijaksana."
sehingga dikeluarkan peraturan yang akan kamu pakai buat selama-lamanya, yang tidak boleh berubah lagi. Tutup lembaran yang lama, buka lembaran yang baru. Begitulah kebijaksanaan Allah.
Ayat 27
“Dan Allah hendak memberi tobat atas kamu."
Sekali lagi Allah ulangi bahwa Allah selalu bersedia memberi tobat kepada kamu agar kamu pun selalu pula mendekati Allah dan memohon ampunan kepada-Nya. Karena meskipun peraturan sudah diadakan dengan sem-purna dalam hal perkawinan, mungkin ada lagi kelalaianmu dalam hal yang lain. Sebab banyaklah soal di dalam kehidupan ini yang akan kamu hadapi. Meskipun kamu telah nikah dengan sah, kamu tidak berzina, kamu tidak merusak kesucian mahram, kamu tidak menikahi janda ayahmu, kamu tidak memelihara perempuan di luar nikah, namun dalam hal yang lain tentu akan ada juga salahmu, entah tersengaja entah tidak. Segeralah membersihkan jiwa dari perangai-perangai yang tercela.
“Tetapi orang-orang yang memperturutkan syahwat-syahwat mereka ingin hendak membelok dengan belokan yang besar."
Tampak pertalian pangkal dengan ujung ayat. Orang yang beriman diberi peringatan oleh Allah bahwa Allah selalu sedia memberikan tobat. Kita sudah mengetahui arti tobat ialah kembali. Iman yang sejati ialah selalu tobat. Meskipun tidak pernah berbuat dosa besar, namun tiap waktu bertobatlah dan kembalilah kepada Allah. Karena dengan itu hawa nafsu dan syahwat akan dapat dikekang atau dikendalikan. Adapun orang yang tidak bertobat, tidak mengingat hubungannya dengan Allah, hawa nafsu dan syahwat-syahwatnya yang macam-macam tidaklah akan dapat dikendalikannya. Sehingga meskipun peraturan Allah telah ada, mereka akan mencari dalih juga memutar-mutar dan membelok-belokkan peraturan Allah untuk mencapai hawa nafsunya.
Misalnya, halal beristri sampai empat dan haram kalau lebih. Orang yang memperturutkan hawa nafsu, bergantung kepada halal dengan mudah menceraikan istrinya dan kawin lagi, ceraikan dan kawin lagi, dan istri te-tap empat, padahal anak telah berserak-serak. Diatur pula oleh Allah bahwa kalau telah talak tiga kali, Thalaq Baa-in namanya, tidak boleh berkesurutan lagi, sebelum si perempuan kawin lagi dengan laki-laki lain. Orang yang memperturutkan syahwatnya, dibelokkannya peraturan itu menurut kehendak syahwatnya; diupahnya “kambing pinjaman" (Taisul Musta'ar) atau cinta buta buat kawin dengan jandanya. Sehabis disetubuhi satu kali supaya diceraikan dan dia pun nikahlah kembali dengan perempuan itu. Banyak lagi contoh yang lain, peraturan Allah bisa dipokroli secara pokrol bambu karena memperturutkan syahwat sehingga matilah hikmah agama yang begitu tinggi dan mulia. Orang yang beriman bertobatlah kepada Allah walaupun sebelum berbuat pembelokan atau penyelewengan seumpama demikian.
Salah satu dari pembelokan itu adalah apa yang dinamai orang Nikah Mut'ah. Yaitu mengawini seorang perempuan dengan perjanjian hanya akan bercampur gaul selama beberapa hari saja, atau beberapa minggu, atau sebulan dua, dengan telah ada niat terlebih dahulu di kedua belah pihak bahwa ini hanyalah nikah sementara waktu. Yang ajaibnya dalam menghalalkan nikah mut'ah ialah perempuan yang dinikahi tidak dimasukkan dalam daftar istri sehingga kalau istrinya sudah empat, istri yang dinikahi secara mut'ah tidak dimasukkan pada yang kelima. Betul-betul hanya semata-mata untuk melepaskan ketagihan belaka. Adapun madzhab yang menghalalkan mut'ah ini pada umumnya ialah madzhab syi'ah. Kaum syi'ah mengatakan bahwa istri mut'ah tidak mendapat warisan kalau lakinya mati, tidak wajib diberi nafkah selain mahar pertama, tidak ada lafazh talak kalau dia diceraikan dan tidak pula ada iddahnya.
Memang menurut riwayat, dalam permulaan peperangan-peperangan, Rasul ﷺ menghalalkan mut'ah. Menurut penyelidikan ahlus sunnah, Nabi menghalalkannya di permulaan peperangan-peperangan sebagai jalan berangsur (tadri)) untuk menghapuskan perzinaan. Pendeknya, mengambil perempuan merdeka menjadi istri selama singgah di suatu tempat dan kemudian tempat itu ditinggalkan pula, telah terjadi sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Setelah permulaan terjadi perang dalam Islam, Nabi belum menegurnya, melainkan dilegalisasi (diakui sebagai suatu kenyataan) Daripada pergi merampoki istri orang, lebih baik disalurkan dengan nama mut'ah sehingga tidak merusak rumah tangga orang lain dan jelas siapa perempuan yang diperistri sementara itu, yang kelak jika ada anak, sahlah menjadi anak daripada laki-laki yang menyetubuhinya.
Tetapi kemudian cara yang seperti ini ditutup mati dan diharamkan. Lalu disalurkan kepada perempuan tawanan; yaitu sebab laki-laki di negeri itu telah habis mati, perempuannya menjadi tawanan belaka, tidak pula sanggup menebus diri. Menjadilah mereka hak kepunyaan perguasanya yaitu jadi budak. Dengan hapusnya mut'ah demikian, habis pulalah kerakusan dan kehausan perang yang dapat merusakkan diri sendiri.
Tetapi sungguhpun demikian, ada riwayat yang menerangkan bahwa Ibnu Abbas berpendapat bahwa peraturan mut'ah masih tetap berlaku sewaktu-waktu. Menurut riwayat dari salah seorang maula-nya (bekas budaknya, lalu dimerdekakannya dan menjadi muridnya) Mut'ah diboiehkan oleh Ibnu Abbas di waktu saat yang sangat terpaksa, seperti bolehnya makan daging babi, jika makanan lain tidak ada lagi. Ibnu Abbas pun menetapkan bahwa jika lahir anak dari perkawinan mut'ah, anak tersebut tetap anak dari si laki-laki tersebut, artinya tetap dapat bagian waris.
Menurut riwayat lain, Ali bin Abi Thalib pernah meminta pertanggunganjawaban Ibnu Abbas tentang pahamnya itu. Setelah bertukar pikiran, Ibnu Abbas rujuk (kembali) dari pendapatnya itu.
Setelah diselidiki lagi, sebagaimana tersebut dalam Shahih Muslim, Ibnu Abbas memang pernah menyatakan pendapatnya itu dalam pemerintahan Abdullah bin Zubair, dan kemudian dicabutnya kembali. Pendeknya, banyak penyelidikan menunjukkan bahwa Ibnu Abbas tidaklah berpegang teguh pada pendapat itu. Dalam satu riwayat dari Tirmidzi, Baihaqi, dan Thabrani dikatakan bahwa mut'ah pada permulaan Islam memang pernah terjadi. Misalnya seorang laki-laki singgah ke satu negeri, sedang dalam negeri itu tidak ada kenalan karibnya. Dihubunginyalah seorang perantara, lalu kawin dengan seorang perempuan, untuk selama dia tinggal dalam negeri itu. Di sanalah disimpannya barang-barangnya dan istirahatlah dia di sana. Tetapi kebiasaan itu telah dihapuskan dengan datangnya ayat 6 dari surah al-Mu'minuun. Dengan demikian, tetaplah dia haram sesudah ayat itu turun.
Tetapi riwayat ini dibantah orang. Sebab di permulaan Islam tidak ada seorang Muslim pun yang berdagarg ke luar negeri, singgah di sana dan kawin sementara. Di permulaan Islam kaum Muslimin yang baru sedikit jumlahnya tidak ada kesempatan keluar, selain dari Hijrah, baik ke Habsyi maupun ke Madinah.
Ahlus-sunnah sudah sependapat semuanya bahwa nikah mut'ah tidak boleh untuk selamanya. Sebab dalam Al-Qur'an sudah ada peraturan nikah. Talak, rujuk, ‘iddah, dan sebagainya. Khalifah-khalifah sebagaimana Umar dan Ali telah melarang keras. Melainkan kaum Syi'ahlah yang berpegang teguh secara taqlid turun-temurun sehingga nikah mut'ah telah disambungkan orang selalu dengan kaum syi'ah. Musafir-musafir yang pergi ke negeri Syi'ah, di dalam praktik memang dapat secara “bisik-bisik" minta dicarikan perempuan buat dikawini mut'ah. Dengan bisik-bisik pula seorang “penghubung" mencarikannya. Kadang-kadang untuk seminggu, kadang-kadang hanya untuk semalam. Nikahnya pun secara “rahasia" di tempat tersembunyi. Sehingga nyata bahwa orang-orang yang menghalalkan pun mengerjakannya dengan malu-malu. Tandanya perbuatan itu tidak diizinkan oleh hati sanubarinya karena tidak ubahnya dengan mencari perempuan lacur buat ditiduri satu malam, lalu pagi-pagi dibayar sewanya.
Dwight Donaldson menulis dalam bukunya Aqidah Syfah bahwa di negeri-negeri syi'ah orang mencari perempuan-perempuan untuk dikawini secara mut'ah dengan “diam-diam" dan malu-malu. Nyatalah perbuatan ini tidak akan diizinkan oleh Ibnu Abbas, misalnya jika beliau masih hidup. Ini adalah satu pembelokan maksud agama yang sangat menyolok mata. Tetapi nikah mudah yang memalukan ini telah dihapuskan dengan undang-undang oleh Almarhum Raja Ridha Syah Pahlevi. Sehingga kalau kita datang ke salah satu negeri syi'ah sekarang ini, misalnya ke Masyhad, atau Isfahan, dan Syiraaz, kalau ada orang menanyakan perempuan untuk dinikah mudah, akan dipandang hina dan sama saja dengan seorang pelancong (turis) di negeri lain minta dicarikan perempuan lacur buat dipakai semalam.
Dalam hal ini teringatlah penafsir suatu hai yang kejadian di zaman tentara Jepang berkuasa di Indonesia (1943) Ketika itu mulai ada latihan tentara Gyu Gun yang dibentuk Jepang dari pemuda-pemuda bangsa Indonesia, guna membantu peperangan Jepang, juga dipergunakan oleh pemimpin bangsa Indonesia guna melatih pemuda kita belajar perang. Entah siapa yang memberi tahu, ada rupanya kalangan yang menyampaikan kepada tentara jepang bahwa dalam Islam ada peraturan nikah mudah. Dan pemimpin-pemimpin Indonesia yang tidak mengerti tentang agama turut pula menganjurkan agar ulama-ulama Islam Indonesia menyetujui jika nikah mudah diizinkan untuk Gyu Gun. Sudah ada suara-suara ulama yang lemah pendirian yang hendak
membolehkan. Tetapi ayah dan guru penafsir, Syekh Abdulkarim Amrullah, membantah hal itu dengan sekeras-kerasnya, dengan menjelaskan hukumnya menurut Madzhab Ahlus Sunnah, dan beliau kirimkan bantahan itu kepada pihak-pihak yang memerlukan. Karena karangan itu beliau bersikap tegas tidak ada orangyang berani lagi membuka-buka masalah itu, dan “ulama" yang nyaris menggadaikan hukum kepada Jepang dengan rasa sangat malu telah menutup mulutnya kembali.
Berfirman Allah selanjutnya,
Ayat 28
“Allah hendak meringankan (tanggungan) kamu. Karena telak diciptakan manusia dalam keadaan lemah."
Artinya, sesungguhnya dengan segala peraturan yang telah ditentukan oleh Allah, sejak dari beristri dengan batas empat, asal sanggup berlaku adil,sampai kepada boleh berkawin saja dengan budak perempuan karena memelihara diri daripada berzina, sebab berkawin dengan budak itu ringan belanjanya, semuanya itu adalah untuk meringankan kamu, sebab Allah sendiri pun mengakui bahwasanya Allah telah menciptakan kamu dalam keadaan lemah. Seluruh manusia diciptakan dalam keadaan lemah. Karena lemahmu itu, kamu tidak akan sanggup menahan syahwatmu terus-menerus. Itulah sebab diadakan peraturan-peraturan sehingga kelemahanmu mengekang syahwatmu dapat diatur sebaik-baiknya. Dengan ini pula terdapatlah Islam sebagai suatu agama yang tidak berat bagi manusia memikulnya. Tidaklah Islam mengadakan peraturan melarang orang laki-laki beristri dan orang perempuan bersuami. Tidaklah ada kependetaan di dalam Islam!
Kalau peraturan-peraturan itu tidak diadakan Allah, niscaya celakalah manusia lantaran lemahnya mengendalikan syahwatnya. Akan kacau balaulah keturunan manusia lantaran banyaknya perzinaan dan pelacuran.
Hancurlah kehidupan dan tidaklah dapat membina manusia yang baik karena tidak berdiri rumah tangga. Runtuhlah bangsa. Sedangkan kebolehan yang diberikan Allah tentang beristri lebih dari satu, kerap kali telah menimbulkan permusuhan di antara anak-anak dari seorang laki-laki dari ibu yang berlain, betapa lagi kalau seorang laki-laki yang berhubungan dengan perempuan lain secara tidak sah; pasti perbuatannya itu meninggalkan kesan yang buruk sekali dalam jiwa anaknya sendiri sehingga jatuhlah penghargaan si anak kepada ayahnya yang membuat contoh yang tidak baik itu. Atau, mereka tiru dan turuti sehingga pindah-memindah, turun-temurun. Ayah cabul, ibu cabul, anak-anak pun cabul. Sebagaimana pepatah, “Ke mana air akan turun, kalau bukan melalui cucuran atap."
Oleh sebab itu, menjadi peganganlah bagi orang-orang yang beriman satu hadits, sabda Rasulullah ﷺ yang dirawikan oleh Thabrani dari Jabir bin Abdullah dan oleh ad-Dailami daripada Ali bin Abi Thalib,
“Kendalikanlah dirimu, niscaya istri-istrimu akan mengendalikan diri-d
mereka; dan hormatilah ibu bapakkmu, niscaya anak-anakmu akan hormat pula kepadamu." (HR atlvTbabrani dan ad-Dailami)
Hendaklah kita yang beragama Islam memegang teguh peraturan-peraturan ini, terutama di dalam rumah tangga kita. Kalau seorang laki-laki lemah dalam mengekang syahwat, niscaya kesetiaan istrinya akan hilang dan si suami tidak sanggup lagi menguasainya. Kalau istrinya memberi malu, dia terpaksa menutup mulut, sebab dia berbuat jahat pula kepada perempuan lain. Kalau seorang ayah tidak dihormati anaknya sendiri, umumnya yang demikian lantaran si ayah itu tidak pula hormat kepada ayahnya sendiri.