Ayat
Terjemahan Per Kata
أَتَأۡمُرُونَ
mengapa kalian menyuruh
ٱلنَّاسَ
manusia
بِٱلۡبِرِّ
dengan (berbuat) kebaikan
وَتَنسَوۡنَ
dan kalian melupakan
أَنفُسَكُمۡ
diri kalian sendiri
وَأَنتُمۡ
dan kalian
تَتۡلُونَ
kalian membaca
ٱلۡكِتَٰبَۚ
Al Kitab
أَفَلَا
maka tidakkah
تَعۡقِلُونَ
kalian menggunakan akal
أَتَأۡمُرُونَ
mengapa kalian menyuruh
ٱلنَّاسَ
manusia
بِٱلۡبِرِّ
dengan (berbuat) kebaikan
وَتَنسَوۡنَ
dan kalian melupakan
أَنفُسَكُمۡ
diri kalian sendiri
وَأَنتُمۡ
dan kalian
تَتۡلُونَ
kalian membaca
ٱلۡكِتَٰبَۚ
Al Kitab
أَفَلَا
maka tidakkah
تَعۡقِلُونَ
kalian menggunakan akal
Terjemahan
Mengapa kamu menyuruh orang lain untuk (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca kitab suci (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti?
Tafsir
(Mengapa kamu menyuruh orang lain berbuat kebaikan), yaitu beriman pada kerasulan Muhammad (sedang kamu melupakan dirimu sendiri) hingga kamu mengabaikannya dan tak mau beriman kepadanya (padahal kamu membaca Kitab), yakni Taurat, di dalamnya tercantum ancaman atau siksaan terhadap orang yang tidak sesuai perkataan dengan perbuatannya! (Tidaklah kamu pikirkan?) akan akibat jelek perbuatanmu agar kamu insaf? Yang menjadi bahan pertanyaan dan kecaman ialah kalimat "sedang kamu melupakan..... dan seterusnya".
Tafsir Surat Al-Baqarah: 44
Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir?
Allah ﷻ berfirman: "Apakah layak bagi kalian, wahai orang-orang ahli kitab, bila kalian memerintahkan manusia berbuat kebajikan yang merupakan inti dari segala kebaikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri dan kalian tidak melakukan apa yang kalian perintahkan kepada orang-orang untuk mengerjakannya, padahal selain itu kalian membaca kitab kalian dan mengetahui di dalamnya akibat apa yang akan menimpa orang-orang yang melalaikan perintah Allah? Tidakkah kalian berakal memikirkan apa yang kalian lakukan terhadap diri kalian sendiri, lalu kalian bangun dari tidur kalian dan melihat setelah kalian buta?" Pengertian tersebut diungkapkan oleh Abdur Razzaq dari Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: “Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri” (Al-Baqarah: 44). Pada mulanya kaum Bani Israil memerintahkan orang lain taat kepada Allah, takwa kepadanya, dan mengerjakan kebajikan; kemudian mereka bersikap berbeda dengan apa yang mereka katakan itu, maka Allah mengecam sikap mereka.
Makna yang sama diketengahkan pula oleh As-Suddi. Ibnu Juraij mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: "Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan," bahwa orang-orang ahli kitab dan orang-orang munafik selalu memerintahkan orang lain untuk melakukan puasa dan shalat, tetapi mereka sendiri tidak melakukan apa yang mereka perintahkan kepada orang-orang untuk melakukannya. Maka Allah mengecam perbuatan mereka itu, karena orang yang memerintahkan kepada suatu kebaikan, seharusnya dia adalah orang yang paling getol dalam mengerjakan kebaikan itu dan berada paling depan daripada yang lain.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya: "Sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri," yakni meninggalkan diri kalian sendiri dalam kebajikan itu.”
Firman Allah ﷻ: “Padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir?” (Al-Baqarah: 44). Yakni kalian melarang manusia berbuat kekufuran atas dasar apa yang ada pada kalian, yaitu kenabian dan perjanjian dari kitab Taurat, sedangkan kalian meninggalkan diri kalian sendiri.
Dengan kata lain, sedangkan kalian sendiri kafir terhadap apa yang terkandung di dalam kitab Taurat yang di dalamnya terdapat perjanjian-Ku yang harus kalian penuhi, yaitu percaya kepada Rasul-Ku. Ternyata kalian merusak perjanjian-Ku yang telah kalian sanggupi dan kalian mengingkari apa yang kalian ketahui dari Kitab-Ku. Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu 'apakah kalian memerintahkan orang lain untuk masuk ke dalam agama Nabi Muhammad ﷺ dan lain-lain yang diperintahkan kepada kalian untuk melakukannya seperti mendirikan shalat sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri?'.
Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Jarir, telah menceritakan kepadaku Ali ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Aslam Al-Harami, telah menceritakan kepada kami Makhlad ibnul Husain, dari Ayyub As-Sikhtiyani, dari Abu Qilabah, sehubungan dengan makna firman-Nya: “Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)?” (Al-Baqarah: 44). Abu Darda mengatakan, seseorang masih belum dapat dikatakan sebagai ahli fiqih yang sempurna sebelum dia membenci orang yang menentang Allah, kemudian ia merujuk kepada dirinya sendiri, maka sikapnya terhadap dirinya sendiri jauh lebih keras (ketimbang terhadap orang lain).
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa orang-orang Yahudi itu apabila datang kepada mereka seseorang yang menanyakan sesuatu yang tidak mengandung kebenaran, tidak pula risywah (suap), mereka memerintahkan dia untuk mengerjakan hal yang benar. Maka Allah berfirman: “Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir?” (Al-Baqarah: 44). Makna yang dimaksud ialah Allah ﷻ mencela mereka atas perbuatan itu dan memperingatkan mereka akan kesalahan yang menyangkut hak diri mereka sendiri; karena mereka memerintahkan kepada kebaikan, sedangkan mereka sendiri tidak mengerjakannya.
Bukanlah pengertian yang dimaksud sebagai celaan terhadap mereka karena mereka memerintahkan kepada kebajikan, sedangkan mereka sendiri tidak melakukannya, melainkan karena mereka meninggalkan kebajikan itu sendiri. Mengingat amar ma'ruf/hukumnya wajib atas setiap orang alim, tetapi yang lebih diwajibkan bagi orang alim adalah melakukannya di samping memerintahkan orang lain untuk mengerjakannya, dan ia tidak boleh ketinggalan. Keadaannya sama dengan apa yang dikatakan oleh Nabi Syu'aib A.S. yang disitir oleh firman-Nya: “Dan aku tidak berkehendak mengerjakan apa yang aku larang kalian darinya, aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih sanggup. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya lah aku kembali” (Hud: 88).
Melakukan amar ma'ruf dan melakukan perbuatan makruf hukumnya wajib, masing-masing dari keduanya tidak gugur karena tidak melakukan yang lain. Demikianlah pendapat yang paling shahih dari kedua golongan ulama, yaitu ulama Salaf dan ulama Khalaf.
Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang berbuat maksiat tidak boleh melarang orang lain untuk melakukannya. Pendapat ini lemah, dan lebih lemah lagi mereka memegang ayat ini sebagai dalil mereka, karena sesungguhnya tidak ada hujjah bagi mereka dalam ayat ini. Tetapi pendapat yang shahih mengatakan bahwa orang yang alim harus memerintahkan amar ma'ruf, sekalipun dia sendiri tidak mengerjakannya; harus melarang perbuatan yang mungkar, sekalipun dia sendiri mengerjakannya.
Malik ibnu Rabi'ah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair berkata, "Seandainya seseorang tidak melakukan amar ma'ruf, tidak pula nahi munkar karena diharuskan baginya bersih dari hal tersebut, niscaya tiada seorang pun yang melakukan amar ma'ruf, tidak pula nahi munkar." Malik berkata, "Dan memang benar, siapakah orangnya yang bersih dari kesalahan?"
Menurut kami, dalam keadaan demikian (orang yang bersangkutan adalah seorang yang alim) dia tercela, sebab meninggalkan amal ketaatan dan mengerjakan maksiat, karena dia adalah seorang yang alim dan pelanggaran yang dilakukannya atas dasar pengetahuan, mengingat tidaklah sama antara orang yang alim dengan orang yang tidak alim. Banyak hadits yang mengancam orang yang melakukan hal tersebut.
Imam Abul Qasim Ath-Thabarani di dalam kitab Mu'jamul Kabir telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Mala Ad-Dimasyqi dan Al-Hasan ibnu Ali Al-Umri; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sulaiman Al-Kalbi, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Tamimah Al-Hujaimi, dari Jundub ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Perumpamaan orang alim yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain, sedangkan dia sendiri tidak mengamalkannya, sama dengan pelita; ia memberikan penerangan kepada orang lain, sedangkan dirinya sendiri terbakar.” Hadits ini berpredikat garib bila ditinjau dari sanadnya.
Hadits kedua diketengahkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya: telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid (yaitu ibnu Jad'an), dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Di malam aku diisra'kan, aku bertemu dengan suatu kaum yang bibir mereka digunting dengan gunting-gunting api, lalu aku bertanya, "Siapakah mereka itu?" Mereka (para malaikat) menjawab, "Mereka adalah tukang ceramah umatmu di dunia, dari kalangan orang-orang yang memerintahkan orang lain untuk mengerjakan ketaatan, sedangkan mereka melupakan dirinya sendiri, padahal mereka membaca Al-Qur'an. Maka tidakkah mereka berpikir?"
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid di dalam kitab Musnad-nya, juga di dalam kitab tafsirnya yang bersumber dari Al-Hasan ibnu Musa, dari Hammad ibnu Salamah dengan lafal yang sama. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Mardawaih di dalam kitab tafsirnya melalui hadits Yunus Ibnu Muhammad Al-Muaddib dan Al-Hajjaj ibnu Minhal, keduanya menerima hadits ini dari Hammad ibnu Salamah dengan lafal yang sama. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Yazid ibnu Harun, dari Hammad ibnu Salamah dengan lafal yang sama.
Kemudian Ibnu Mardawaih meriwayatkan: telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim At-Tusturi di Balakh, telah menceritakan kepada kami Makki ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Qais, dari Ali ibnu Yazid, dari Sumamah, dari Anas yang menceritakan bahwa dia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Di malam aku diisra'kan aku berjumpa dengan orang-orang yang bibir dan lidah mereka digunting dengan gunting-gunting dari api, lalu aku bertanya, "Siapakah mereka itu, wahai Jibril?" Jibril menjawab, "Mereka adalah tukang ceramah umatmu yang memerintahkan kepada orang lain untuk melakukan ketaatan, sedangkan mereka melupakan dirinya sendiri." Hadits ini diketengahkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab shahihnya dan Ibnu Abu Hatim serta Ibnu Mardawaih melalui hadits Hisyam Ad-Dustuwai, dari Al-Mugirah yakni Ibnu Habib menantu Malik ibnu Dinar, dari Malik ibnu Dinar, dari Sumamah, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan: Ketika Rasulullah ﷺ dibawa mikraj, beliau berjumpa dengan suatu kaum yang bibir mereka digunting, lalu beliau bertanya, "Wahai Jibril, siapakah mereka itu?" Jibril menjawab, "Mereka adalah tukang khutbah dari kalangan umatmu, mereka memerintahkan orang lain untuk mengerjakan kebajikan, sedangkan mereka melupakan dirinya sendiri. Maka tidakkah mereka berpikir?"
Hadits lainnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad, disebut bahwa telah menceritakan kepada kami Yala ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Wail yang menceritakan bahwa dikatakan kepada Usamah yang saat itu aku membonceng padanya, "Mengapa engkau tidak berbicara kepada Usman?" Usamah menjawab, "Sesungguhnya kalian mengira bahwa setiap kali aku berbicara kepadanya maka aku akan memberitahukannya kepada kalian. Sesungguhnya aku akan berbicara dengannya mengenai urusan antara aku dan dia tanpa menyinggung suatu perkara yang paling aku sukai bila diriku adalah orang pertama yang memulainya. Demi Allah, aku tidak akan mengatakan kepada seorang pun bahwa engkau adalah sebaik-baiknya orang, sekalipun dia bagiku adalah sebagai amir, sesudah aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda." Mereka bertanya, "Apakah yang telah engkau dengar dari beliau?" Usamah menjawab bahwa dia mendengar Nabi ﷺ bersabda: Kelak di hari kiamat ada seorang lelaki yang didatangkan, lalu dicampakkan ke dalam neraka, maka berhamburanlah isi perutnya, lalu berputar-putar seraya membawa isi perutnya ke dalam neraka sebagaimana keledai berputar dengan penggilingannya. Maka penghuni neraka mengelilinginya dan mengatakan, "Wahai Fulan, apakah gerangan yang telah menimpamu? Bukankah kamu dahulu memerintahkan kepada kami untuk berbuat yang makruf dan melarang kami dari perbuatan mungkar?" Lelaki itu menjawab, "Dahulu aku memerintahkan kalian berbuat yang makruf, tetapi aku sendiri tidak mengerjakannya; dan aku melarang kalian melakukan perbuatan mungkar, tetapi aku sendiri mengerjakannya." Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan hadits yang serupa melalui hadits Sulaiman ibnu Mihran, dari Al-A'masy dengan lafal yang sama.
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Sayyar ibnu Hatim, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Sabit, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah memaafkan orang-orang yang ummi di hari kiamat dengan pemaafan yang tidak Dia lakukan terhadap ulama.” Di dalam suatu atsar dijelaskan bahwa Allah memberikan ampunan bagi orang yang bodoh sebanyak tujuh puluh kali, sedangkan kepada orang yang alim cuma sekali. Tiadalah orang yang tidak alim itu sama dengan orang yang alim.
Allah ﷻ telah berfirman: Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (Az-Zumar: 9). Di dalam bab autobiografi Al-Walid ibnu Uqbah, Ibnu Asakir meriwayatkan sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Nabi ﷺ bersabda: Sesungguhnya ada segolongan orang dari kalangan penduduk surga melihat segolongan orang dari kalangan penduduk neraka, lalu mereka bertanya, "Apakah sebabnya hingga kalian masuk neraka? Padahal demi Allah, tiada yang memasukkan kami ke surga kecuali apa yang kami pelajari dari kalian." Ahli neraka menjawab, "Sesungguhnya dahulu kami hanya berkata, tetapi tidak mengamalkannya." Ibnu Jarir At-Tabari meriwayatkan hadits ini dari Ahmad ibnu Yahya Al-Khabbaz Ar-Ramli, dari Zuhair ibnu Abbad Ar-Rawasi, dari Abu Bakar Az-Zahiri Abdullah ibnu Hakim, dari Ismail ibnu Abu Khalid, dari Asy-Sya'bi dari Al-Walid ibnu Uqbah, kemudian Ibnu Jarir mengetengahkan hadits ini.
Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah kedatangan seorang lelaki, lalu lelaki itu berkata, "Wahai Ibnu Abbas, sesungguhnya aku hendak melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar." Ibnu Abbas bertanya, "Apakah kamu telah melakukannya?" Lelaki itu menjawab, "Aku baru mau melakukannya." Ibnu Abbas berkata, "Jika kamu tidak takut nanti akan dipermalukan oleh tiga ayat dari Kitabullah, maka lakukanlah." Lelaki itu bertanya, "Apakah ayat-ayat tersebut?" Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: “Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri?” (Al-Baqarah: 44). Lalu dia berkata, "Apakah engkau mampu melakukannya?" Lelaki itu menjawab, "Tidak." Ibnu Abbas berkata, "Ayat yang kedua adalah firman-Nya: “Mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian Allah jika kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan” (Ash-Shaff: 2-3). Apakah kamu mampu melakukannya?" Lelaki itu menjawab, "Tidak." Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya, "Dan ayat yang ketiga adalah ucapan seorang hamba saleh yaitu Nabi Syu'aib A.S. yang disitir oleh firman-Nya: “Dan aku tidak berkehendak mengerjakan apa yang aku larang kalian darinya. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan” (Hud: 88). Apakah kamu mampu melakukan apa yang terkandung dalam ayat ini?" Lelaki itu menjawab, "Tidak." Maka Ibnu Abbas berkata, "Mulailah dari dirimu sendiri!" Demikianlah menurut riwayat Ibnu Mardawaih di dalam kitab tafsirnya.
Imam Ath-Thabarani meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abdan ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Khirasy, dari Al-Awwam ibnu Hausyab, dari Al-Musayyab ibnu Rafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa menyeru kepada orang lain untuk berucap atau beramal, sedangkan dia sendiri tidak mengamalkannya, maka ia terus-menerus berada di bawah naungan murka Allah sebelum berhenti atau mengamalkan apa yang telah dia ucapkan atau mengamalkan apa yang telah dia serukan.” Dalam sanad hadits ini terkandung ke-dha’if-an (kelemahan).
Ibrahim An-Nakha'i mengatakan, sesungguhnya dia benar-benar tidak menyukai bercerita karena tiga ayat, yaitu firman-Nya: “Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri?” (Al-Baqarah: 44). “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian Allah jika kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan” (Ash-Shaff: 2-3). Juga firman Allah ﷻ menyitir kata-kata yang diucapkan oleh Nabi Syu'aib, yaitu: “Dan aku tidak berkehendak mengerjakan apa yang aku larang kalian darinya. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada Nya lah aku kembali” (Hud: 88).
Selanjutnya, setelah memerintahkan salat dan zakat, ayat ini mengecam pemuka-pemuka Yahudi yang sering kali memberi tuntunan kepada orang lain agar berbuat baik, tetapi melakukan sebaliknya dan melupakan diri mereka. Mengapa kamu, Bani Israil atau pemukapemuka Yahudi, menyuruh orang lain, baik yang seagama dengan kamu maupun orang-orang musyrik atau siapa saja, untuk mengerjakan kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri dan tidak menyuruh dirimu untuk melakukan kebajikan itu' Kamu melakukan hal itu, padahal kamu membaca Kitab Taurat' Tidakkah kamu mengerti dan berakal sehingga memiliki kendali yang menghalangi kamu terjerumus ke dalam dosa dan kesulitan' Meski pembicaraan pada ayat ini ditujukan kepada orang-orang Yahudi, nasihat yang terkandung di dalamnya juga berlaku bagi kaum muslim, apalagi para pemuka agama, yakni hendaknya mengingatkan diri sendiri lebih dahulu sebelum mengajak orang lain berbuat baikDan mohonlah pertolongan kepada Allah dengan penuh sabar, dengan memelihara keteguhan hati dan menjaga ketabahan, serta menahan diri dari godaan dalam menghadapi hal-hal yang berat, dan juga dengan melaksanakan salat. Dan salat itu sungguh amat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk dan tunduk hatinya kepada Allah. Mereka adalah orang-orang yang yakin bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
Latar belakang ayat ini menurut Ibnu 'Abbas adalah di antara orang-orang Yahudi di Medinah ada yang memberi nasihat kepada keluarga dan kerabat dekatnya yang sudah masuk Islam supaya tetap memeluk agama Islam. Yang diperintahkan orang ini adalah benar yaitu menyuruh orang lain untuk berbuat benar tetapi mereka sendiri tidak mengamalkannya. Maka pada ayat ini Allah mencela tingkah laku dan perbuatan mereka yang tidak baik dan membawa kepada kesesatan. Di antara kesesatan-kesesatan yang telah dilakukan bangsa Yahudi ialah mereka menyatakan beriman kepada kitab suci mereka yaitu Taurat, tetapi ternyata mereka tidak membacanya dengan baik.
Dalam ayat ini disebutkan bahwa mereka "melupakan" diri mereka. Maksudnya ialah "membiarkan" diri mereka rugi, sebab biasanya manusia tidak pernah melupakan dirinya untuk memperoleh keuntungan, dan dia tak rela apabila orang lain mendahuluinya mendapat kebahagiaan. Ungkapan "melupakan" itu menunjukkan betapa mereka melalaikan dan tidak mempedulikan apa yang sepatutnya mereka lakukan, seakan-akan Allah berfirman, "Jika benar-benar kamu yakin kepada Allah bahwa Dia akan memberikan pahala atas perbuatan yang baik, dan mengancam akan mengazab orang-orang yang meninggalkan perbuatan-perbuatan yang baik itu, mengapakah kamu melupakan kepentingan dirimu sendiri?"
Cukup jelas bahwa susunan kalimat ini mengandung celaan yang tak ada taranya, karena barang siapa menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan kebajikan tetapi dia sendiri tidak melakukannya, berarti dia telah menyalahi ucapannya sendiri. Para pendeta yang selalu membacakan kitab suci kepada orang-orang lain, tentu lebih mengetahui isi kitab itu daripada orang-orang yang mereka suruh untuk mengikutinya. Besar sekali perbedaan antara orang yang melakukan suatu perbuatan padahal dia belum mengetahui benar faedah dari perbuatan itu, dengan orang yang meninggalkan perbuatan itu padahal dia mengetahui benar faedah dari perbuatan yang ditinggalkannya itu. Oleh sebab itu, Allah memandang bahwa mereka seolah-olah tidak berakal, sebab orang yang berakal, betapapun lemahnya, tentu akan mengamalkan ilmu pengetahuannya.
Firman Allah ini, walaupun ditujukan kepada Bani Israil, namun menjadi pelajaran pula bagi yang lain. Setiap bangsa, baik perseorangan maupun keseluruhannya, hendaklah memperhatikan keadaan dirinya, dan berusaha untuk menjauhkan diri dari keadaan dan sifat- sifat seperti yang terdapat pada bangsa Yahudi yang dikritik dalam ayat tersebut di atas, agar tidak menemui akibat seperti yang mereka alami.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Tafsir Surat Al-Baqarah: 40-46
DAKWAH KEPADA BANI ISRAIL
Sebagaimana telah kita maklumi pada keterangan-keterangan di atas, selain dari persukuan Arab Bani Aus dan Bani Khazraj, ada pula penduduk Madinah dari pemeluk agama Yahudi. Mereka bukanlah bangsa Arab keturunan Qahthan atau Adnan, melainkan keturunan dari Nabi Ya'kub ‘alaihis salam. Ya'kub putra dari Ishaq dan Ishaq putra dari Ibrahim, semuanya adalah rasul Allah. Beliau beranak laki-laki 12 orang, di antaranya Nabi Yusuf a.s. Maka, berkembangbiaklah anak keturunan Nabi Ya'kub yang 12 orang ini. Gelar kehormatan yang diberikan Tuhan kepada Nabi Ya'kub ialah Israil. 13 di ujung itu ialah bahasa Ibrani yang artinya Allah. Israil konon-nya berarti Amir pejuang bersama Allah.
Bani Israil menerima Taurat dari Musa. Lama-lama timbullah pada mereka kesan bahwasanya agama yang mereka pusakai dari nenek moyang mereka itu yang dirumuskan dalam Taurat Nabi Musa dan nabi-nabi yang lain sesudah Musa, adalah khusus buat mereka belaka. Di antara 12 suku Bani Israil itu, yang terbesar adalah keturunan suku anak yang kedua, yaitu Yahuda. Lama-kelamaan menjadi kebiaSaanlah mereka menyebut diri Yahudi dan agama mereka agama Yahudi, yang dibangsakan kepada Yahuda itu. Padahal yang lebih tepat, supaya semuanya tercakup, ialah kalau disebutkan Bani Israil.
Maka, selain dari dakwah untuk orang Arab, Qahthan dan Adnan, Nabi Muhammad ﷺ diperintahkan Tuhan menyampaikan dakwah kepada Bani Israil. Persukuan mereka yang besar di Madinah ketika itu adalah Bani Nadhir, Bani Qainuqa', Bani Quraizhah, dan lain-lain persukuan yang kecil-kecil. Dengan pindahnya Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah, rapAllah pergaulan dengan mereka. Apatah lagi ketika itu kegiatan perdagargan ada di tangan mereka. Mereka selalu bertemu di pasar. Dan telah dibuat perjanjian akan hidup berdampingan secara damai. Maka diperintahkan kepada Rasulullah supaya menyampaikan dakwah pula kepada mereka.
Ayat 40
“Wahai, Bani Israil! Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku karuniakan kepada kamu dan penuhilah janjimu agar Aku penuhi (pula) janji-Ku, dan semata-mata kepada-Ku sajalah kamu takut."
Dihadapkanlah seruan kepada mereka karena patutlah mereka yang terlebih dahulu menerima kebenaran yang dibawa Muhammad ﷺ, mengingat nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka. Di antara bang-sa-bangsa yang sezaman dengan mereka dahulunya, kepada merekalah dikhususkan Tuhan nikmat wahyu. Sampai mereka dilepaskan dari perbudakan Fir'aun dan diberi tanah istimewa pusaka nenek moyang mereka Ibrahim dan Ishaq, dan berpuluh-puluh banyaknya nabi dan rasul dibangkitkan dalam kalangan mereka. Patutlah mereka mengingat nikmat itu dan dari sebab itu patut pulalah mereka yang dahulu sekali menyatakan percaya pada Muhammad ﷺ.
Di samping itu, mereka disuruh mengingat kembali janji khususnya dengan Allah.
Meskipun kitab Taurat sudah tidak ada aslinya lagi, tetapi janji itu masih bertemu, yaitu bahwa mereka tidak akan mempersekutukan yang lain dengan Allah dan supaya beriman kepada rasul-rasul Allah yang datang menegakkan kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa itu. Dijanjikan pula, kemudian hari akan diutus pula seorang rasul dari antara saudara mereka, yaitu Bani Isma'il. Itulah Nabi Muhammad ﷺ Sekarang, nabi itu telah datang membawa ajaran persis ajaran yang telah mereka janjikan dengan Allah itu pula, yaitu Tauhid mengesakan Tuhan. Patutlah mereka ingat janji itu kembali. Kemudian dijelaskan lagi oleh Tuhan,
Ayat 41
“Dan percayatah kamu kepada apa yang Aku turunkan"
Yaitu, Al-Qur'an yang diturunkan kepada Muhammad ﷺ Yang bersetuju dengan apa yang ada sertamu, yaitu kitab Taurat.
Jika kamu tilik kembali isi Taurat, yang memerintahkan kamu percaya kepada Allah Ta'aala atau Allah Yang Esa, jangan membuat berhala untuk-Nya, dan hendaklah hormat kepada ibu bapakmu, jangan berzina, jangan mencuri, jangan naik saksi dusta, niscaya kamu akan mengakui kebenaran Al-Qur'an yang memang itu pulalah pokok ajaran yang dibawanya."Dan janganlah kamu menjadi orang-orang yang mula-mula mengufurkannya," ka-rena kalau kamu kufuri, kamu tolak, dan kamu tentang Al-Qur'an itu, berarti kamu menentang Kitab yang ada dalam tanganmu sendiri, “Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit." Artinya, karena mengharapkan kemegahan lalu kamu dustakan kebenaran ayat Allah. Berapa pun pangkat yang kamu dapat lantaran mendustakan kebenaran, namun itu masihlah harga yang sedikit jika dibandingkan dengan kerugian ruhani yang kamu dapat.
“Dan semata-mata kepada-Ku sajalah kamu bertakwa."
Ayat 42
Artinya, semata-mata perhubungan dengan Allah-lah yang patut kamu pelihara dan perbesarlah perasaan tanggung jawabmu dengan Tuhan. “Dan janganlah kamu campur adukkan yang benar dengan yang batil dan kamu sembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui."
Di dalam catatan kitab Taurat telah diperingatkan bahwa seorang rasul akan datang dari kalangan saudara sepupu mereka Bani Isma'il. Tanda-tandanya sudah jelas dan sekarang tanda itu sudah bertemu. Akan tetapi, pemuka-pemuka agama mereka melarang pengikut mereka percaya kepada Rasul ﷺ karena kata mereka dalam kitab-kitab nabi-nabi mereka itu tersebut juga bahwa akan ada nabi-nabi palsu. Mereka lalu katakan kepada pengikut-pengikut itu bahwa ini adalah nabi palsu, bukan nabi yang dijanjikan itu. Kalau pengikut mereka datang bertanya, mereka sembunyikan kebenaran dan kitab mereka sendiri mereka tafsirkan lain dari maksudnya semula, padahal mereka telah mengetahui bahwa memang Muhammad ﷺ itulah nabi dari Bani Isma'il yang ditunggu-tunggu itu. Untuk mempertahankan kedudukan, mereka telah sengaja mencampuradukkan yang benar dengan yang salah dan menyembunyikan yang sebenarnya.
Ayat 41 untuk peringatan bagi orang-orang awam mereka dan ayat 42 untuk peringatan bagi pemuka-pemuka agama mereka.
Ayat 43
“Dan dirikanlah shalat dan berikanlah zakat, dan ruku'lah bersama-sama orang-orang yang ruku'."
Setelah diperingatkan kepada mereka kesalahan-kesalahan dan kecurangan mereka yang telah lalu itu, sekarang mereka diajak membersihkan jiwa dan mengadakan ibadah tertentu kepada Allah, dengan mengerjakan shalat dan mengeluarkan zakat. Dengan shalat, hati terhadap Allah menjadi bersih dan khu-syu, sedangkan dengan mengeluarkan zakat, penyakit bakhil menjadi hilang dan timbullah hubungan batin yang baik dengan masyarakat, terutama orang-orang fakir miskin, yang selama ini hanya mereka peras tenagarya, dan mana yang terdesak mereka pinjami uang dengan memungut riba.
Apabila Tuhan Allah telah memerintahkan supaya iman kepada keesaan Allah itu lebih di dalamkan dengan mengerjakan shalat kemudian dengan mengeluarkan zakat, akan tumbuhlah iman itu dengan suburnya. Karena ada juga orang yang telah mengaku beriman kepada Allah, tetapi dia malas shalat. Berbahayatah bagi iman itu, karena kian lama dia akan runtuh kembali. Dan hendaklah dididik diri bermurah hati dengan mengeluarkan zakat karena bakhil adalah musuh yang terbesar dari iman. Apabila berperangai bakhil, nyatalah orang itu tidak beriman!
Kemudian mengapa disuruh lagi ruku' bersama dengan orang yang ruku'? Tidakkah cukup dengan perintah shalat saja? Apakah ini bukan kata berulang?
Bukan! Ada juga orang yang berpaham bahwa asal aku sudah shalat sendiri di rumahku, tidak perlu lagi aku bercampur dengan orang lain. Itulah yang salah! Shalat sendiri pun belum sempurna, tetapi ruku'lah bersama -sama dengan orang yang ruku', bawalah diri ke tengah masyarakat. Pergilah berjamaah!
Maksud yang kedua, arti ruku' ialah khusyu. Jangan hanya shalat asal shalat, shalat mencukupi kebiasaan sehari-hari saja, tidak dijiwai oleh rasa khusyu dan ketundukan.
Kemudian itu, Allah meneruskan lagi firman-Nya kepada Bani Israil dengan mengingatkan kesalahan selama ini,
Ayat 44
“Apakah kamu suruh manusia berbuat kebajikan dan kamu lupakan dirimu (sendiri), padahal kamu membaca Kitab; apakah kamu tidak pikirkan?"
Teguran keras ini adalah kepada pemuka-pemuka dan pendeta-pendeta mereka. Bukan main keras larangan mereka, “Ini haram!" Bukan main keras perintah mereka, “Ini wajib," seakan-akan merekalah yang empunya agama itu, padahal diri mereka sendiri mereka lupakan. Hanya mulut mereka yang keras mempertahankan agama untuk dipakai oleh orang lain. Adapun untuk diri mereka sendiri, tidak usahlah dipersoalkan. Padahal mereka membaca Kitab, hafal nomor ayatnya, ingat pasalnya, bahkan salah titik dan salah baris sedikit saja, mereka tabu. Tetapi apa isi dan inti sari dari Kitab itu, apa maksudnya yang sejati, tidaklah mereka mau mengetahui dan tidak mereka pikirkan.
Inilah penyakit pemuka-pemuka atau yang disebut pendeta atau ahbar mereka pada waktu itu. Dengan keras mengoyak mulut mempertahankan apa yang mereka katakan agama, padahal sudah tinggal hanya mempertahankan kata (textbook), tetapi tidak ada paham rnereka sama sekali akan maksud. Paham menjadi sempit dan fanatik, takut akan perubahan, dan gentar mendengar pendapat baru. Maka datanglah teguran: apakah tidak kamu pikirkan? Atau lebih tegas lagi: apakah kamu tidak mempergunakan akalmu?
Ayat 45
“Dan mohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat"
Dipesankan dalam rangka nasihat kepada pemuka-pemuka Yahudi, sebagai merangkul mereka ke dalam suasana Islam, supaya meminta tolong kepada Tuhan, pertama dengan sabar, tabah, tahan hati dan teguh, sehingga tidak berkucak bila datang gelombang kesulitan. Maka adalah sabar sebagai benteng. Dengan shalat, supaya jiwa itu selalu dekat dan lekat kepada Tuhan.
Ingatlah, betapa pun sabarnya hati, terkadang karena beratnya yang dihadapi, jiwa bisa bergoncang juga. Maka dengan shalat khusyu sekurang-kurangnya lima waktu sehari semalam, hati yang tadinya nyaris lemah, nis-caya akan kuat kembali. Maka sabar dan shalat itulah alat pengukuh pribadi bagi orang Islam.
Akan tetapi, ayat selanjutnya mengatakan, “Dan sesungguhnya hal itu memang berat" Yang dimaksud ialah shalat; bahwa mengerjakan shalat itu amat berat. Orang disuruh sabar, padahal hatinya sedang susah. Lalu dia disuruh shalat; maka dengan kesalnya dia menjawab, “Hati saya sedang susah, saya tidak bisa shalat." Mengapa dia merasa berat shalat? Sebab jiwanya masih gelap, sukarlah menerima nasihat supaya sabar dan shalat. Kalau nasihat yang benar itu ditolaknya, tidaklah dia akan terlepas dari kesukaran yang tengah dihadapinya. Lalu datang penutup ayat,
“Kecuali bagi orang-orang yang khusyu."
Khusyuk artinya tunduk, rendah hati, dan insaf bahwa kita ini adalah hamba Allah. Dan Allah itu cinta kasih kepada kita. Nikmat-Nya lebih banyak daripada cobaan-Nya. Saat kita menerima nikmat itu lebih banyak daripada saat menerima susah. Lantaran yang demikian itu, jika diajak supaya sabar dan shalat, orang yang khusyu itu tidak bertingkah lagi. Sebab dia insaf bahwa memang keselamatan jiwanya amat bergantung kepada belas kasihan Tuhannya. Jika datang percobaan Tuhan, bukanlah dia menjauhi Tuhan, melainkan bertambah mendekati-Nya.
Dan, siapakah orang yang bisa menjadi khusyu?
Ayat 46
“(Yaitu) orang-orang yang sungguh percaya bahwasanya Mereka akan bertemu dengan Tuhan Mereka, dan bahwasanya kepada-Nya Mereka akan kembali."
Untuk menambahkan khusyu, hendaklah kita ingat, sampai menjadi keyakinan bahwasanya kita ini datang ke dunia atas kehendak Tuhan dan akan kembali ke akhirat, dan akan bertemu dengan Tuhan. Di hadapan Tuhan akan kita pertanggungjawabkan semua amal dan usaha kita selama di dunia. Maka, dari sekarang hendaklah kita latih diri mendekati Tuhan. Ibaratnya ialah sebagai apa yang disebut di zaman sekarang dengan kalimat relasi (relation). Datang tiba-tiba saja kita berhadapan dengan Tuhan, padahal makrifat terlebih dahulu tidak ada, dan hubungan kontak jarang sekali, tentu akan membuat bingung karena tidak ada persiapan. Sampailah Imam Ghazali mengatakan bahwa jika kamu berdiri shalat, hendaklah sebelum kamu takbir kamu ingat seakan-akan itulah shalatmu yang terakhir. Mungkin nanti engkau akan mati. Sebab itu, engkau khusyukan hatimu menghadap Tuhan.
Inilah beberapa seruan kepada Bani Israil untuk mengembalikan mereka kepada pangkalan agama yang sejati. Sebab inti agama yang mereka peluk selama ini itulah dia inti Islam dan marilah menjadi Islam. Kamulah yang lebih patut mula-mula menyambutnya.