Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَا
dan janganlah
تَقۡتُلُواْ
kamu membunuh
ٱلنَّفۡسَ
jiwa/seseorang
ٱلَّتِي
yang
حَرَّمَ
mengharamkan
ٱللَّهُ
Allah
إِلَّا
kecuali
بِٱلۡحَقِّۗ
dengan benar
وَمَن
dan barangsiapa
قُتِلَ
dibunuh
مَظۡلُومٗا
teraniaya/zalim
فَقَدۡ
maka sesungguhnya
جَعَلۡنَا
Kami telah jadikan/memberikan
لِوَلِيِّهِۦ
kepada ahli warisnya
سُلۡطَٰنٗا
kekuasaan
فَلَا
maka jangan
يُسۡرِف
melampaui batas
فِّي
dalam
ٱلۡقَتۡلِۖ
pembunuhan
إِنَّهُۥ
sesungguhnya dia
كَانَ
adalah
مَنصُورٗا
orang yang mendapat pertolongan
وَلَا
dan janganlah
تَقۡتُلُواْ
kamu membunuh
ٱلنَّفۡسَ
jiwa/seseorang
ٱلَّتِي
yang
حَرَّمَ
mengharamkan
ٱللَّهُ
Allah
إِلَّا
kecuali
بِٱلۡحَقِّۗ
dengan benar
وَمَن
dan barangsiapa
قُتِلَ
dibunuh
مَظۡلُومٗا
teraniaya/zalim
فَقَدۡ
maka sesungguhnya
جَعَلۡنَا
Kami telah jadikan/memberikan
لِوَلِيِّهِۦ
kepada ahli warisnya
سُلۡطَٰنٗا
kekuasaan
فَلَا
maka jangan
يُسۡرِف
melampaui batas
فِّي
dalam
ٱلۡقَتۡلِۖ
pembunuhan
إِنَّهُۥ
sesungguhnya dia
كَانَ
adalah
مَنصُورٗا
orang yang mendapat pertolongan
Terjemahan
Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Siapa yang dibunuh secara teraniaya, sungguh Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya. Akan tetapi, janganlah dia (walinya itu) melampaui batas dalam pembunuhan (kisas). Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan.
Tafsir
(Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya melainkan dengan suatu alasan yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kepada wali si terbunuh) yakni para ahli warisnya (kekuasaan) terhadap si pembunuhnya (tetapi janganlah ahli waris itu berlebihan-lebihan) melampaui batas (dalam membunuh) seumpamanya ahli waris itu membunuh orang yang bukan si pembunuh atau ia membunuh si pembunuh dengan cara yang lain. (Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.).
Dan janganlah kalian membunuh jiwa-jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli warisnya itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. Allah ﷻ melarang membunuh jiwa tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat agama, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihuin melalui salah satu hadisnya yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tiada ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, terkecuali karena tiga perkara, yaitu membunuh jiwa dibalas dengan jiwa, penzina muhsan, dan orang yang murtad dari agamanya lagi memisahkan diri dari jamaah.
Di dalam kitab Sunan disebutkan sebuah hadis yang mengatakan: Sesungguhnya lenyaplah dunia ini menurut Allah lebih mudah dari pada membunuh seorang muslim. Firman Allah ﷻ: Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya. (Al-Isra: 33) Yakni kekuasaan atas si pembunuh, maka ia boleh memilih antara menghukum mati pelakunya atau memaafkannya dengan membayar diat.
Dan jika ia menghendaki, boleh memaafkannya secara cuma-cuma tanpa dibebani diat, seperti yang telah disebutkan di dalam sunnah Nabi ﷺ Imam yang sangat alim lagi luas ilmunya (yaitu Ibnu Abbas) menyimpulkan dari keumuman makna ayat ini keberkahan Mu'awiyah akan kekuasaan, bahwa Mu'awiyah kelak akan menjadi raja karena dia adalah ahli waris Usman. Sedangkan Khalifah Usman terbunuh secara aniaya. Pada mulanya Mu'awiyah menuntut kepada Khalifah Ali r.a. agar menyerahkan si pembunuh kepadanya, karena ia akan menghukum qisas pelakunya, mengingat Usman r.a. adalah seorang Umawi. Sedangkan Khalifah Ali menangguh-nangguhkan perkaranya hingga pada akhirnya Ali dapat menangkap orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Khalifah Usman. Kemudian Ali r.a. mengabulkan permintaan Mu'awiyah, tetapi dengan syarat hendaknya Mu'awiyah melepaskan negeri Syam kepada Ali; Mu'awiyah menolak permintaan itu sebelum Ali menyerahkan para pembunuh Usman kepadanya.
Dan dalam waktu yang sama Mu'awiyah menolak membaiat Ali dengan didukung oleh penduduk Syam. Lama-kelamaan akhirnya Mu'awiyah berhasil menguasai keadaan dan kekuasaan dipegang olehnya. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas yang ia simpulkan dari makna ayat ini. Pendapat ini termasuk salah satu pendapat yang mengherankan, Imam Tabrani meriwayatkan pendapat ini di dalam kitab Mu'jam-nya. Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdul Baqi, telah menceritakan kepada kami Abu Umair ibnun Nahhas.
telah menceritakan kepada kami Damrah ibnu Rabi'ah, dari ibnu Syauzab, dari Mathar Al-Warraq, dari Zahdam Al-Jurmi yang mengatakan, "Ketika kami bergadang di rumah Ibnu Abbas, Ibnu Abbas berkata bahwa sesungguhnya ia akan menceritakan kepada kami suatu hadis tanpa rahasia dan tanpa terang-terangan. Bahwa setelah terjadi pembunuhan atas lelaki ini (yakni Usman), ia berkata kepada Ali r.a., 'Turunlah dari jabatanmu. Sekalipun engkau berada di sebuah liang, pastilah Mu'awiyah akan menuntutmu hingga kamu mengundurkan diri.' Tetapi Ali tidak mau menuruti nasihatnya." Ibnu Abbas berkata, "Demi Allah, sungguh Mu'awiyah akan mengadakan serangan kepadamu, karena Allah ﷻ telah berfirman: 'Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli warisnya itu melampaui batas dalam membunuh.' (Al-Isra: 33), hingga akhir ayat.
Dan sungguh orang-orang Quraisy akan memperlakukan kamu seperti perlakuan mereka kepada orang-orang Persia dan orang-orang Romawi; dan orang-orang Nasrani, Yahudi, dan Majusi akan memberontak kepadamu. Karena itu, barang siapa di antara kamu pada hari itu bersifat tidak memihak, selamatlah ia. Dan barang siapa yang bersifat memihak, tidak akan selamat. Kalian bersikap memihak, maka nasib kalian akan binasa.
Firman Allah ﷻ: Tetapi janganlah ahli warisnya itu melampaui batas dalam membunuh. (Al-Isra: 33) Mereka (ahli tafsir) mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah 'janganlah pihak ahli waris si terbunuh berlebihan dalam melakukan hukuman qisas terhadap si pembunuhnya, misalnya mencincang si pembunuh atau membunuh orang yang bukan si pembunuh. Firman Allah ﷻ: Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (Al-Isra: 33) Sesungguhnya ahli waris si terbunuh adalah orang yang mendapat pertolongan terhadap si pembunuh menurut hukum syara', dan mempunyai kekuasaan serta kekuatan hukum yang dapat mengalahkan si pelaku pembunuhan."
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya, kecuali dengan suatu alasan yang benar, misalnya atas dasar menjatuhkan hukum qisas. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, bukan karena sebab yang bersifat syariat, maka sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya, untuk menuntut kisas atau meminta
ganti rugi kepada pembunuhnya, atau memaafkannya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh, yakni dalam menuntut
membunuh apalagi melakukan pembunuhan dengan main hakim sendiri. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan dari sisi Allah
dengan ketetapan hukum-Nya yang adil. Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, yakni mengelolanya
atau membelanjakannya kecuali dengan cara yang lebih baik, yang bermanfaat bagi anak yatim itu sampai dia dewasa dan mampu mengelola
sendiri hartanya dengan baik, dan penuhilah janji, baik kepada Allah
maupun sesama manusia; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya, oleh karena itu janji harus dipenuhi dan ditunaikan
dengan sempurna.
Dalam ayat ini Allah ﷻ melarang hamba-Nya membunuh jiwa yang diharamkan Allah. Maksud "membunuh jiwa" ialah menghilangkan nyawa manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan "yang diharamkan Allah membunuhnya" ialah membunuh dengan alasan yang tidak sah atau tidak dibenarkan agama.
Adapun sebab mengapa Allah ﷻ melarang para hamba-Nya menghilangkan nyawa manusia dengan alasan yang tidak dibenarkan ialah:
1. Pembunuhan menimbulkan kerusakan. Islam melarang setiap tindakan yang menimbulkan kerusakan. Larangan itu berlaku umum untuk segala macam tindakan yang menimbulkan kerusakan, maka pembunuhan pun termasuk tindakan yang terlarang. Allah ﷻ berfirman:
?janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. (al-A'raf/7: 85)
2. Pembunuhan itu membahayakan orang lain. Ketentuan pokok dalam agama ialah semua tindakan yang menimbulkan mudarat bagi diri sendiri dan orang lain itu terlarang. Allah ﷻ berfirman:
?bahwa barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. (al-Ma'idah/5: 32)
Rasulullah ﷺ bersabda:
Hilangnya dunia bagi Allah lebih rendah nilainya dibanding membunuh seorang muslim. (Riwayat at-Tirmidzi dari 'Abdullah bin 'Umar)
3. Mengganggu keamanan masyarakat yang membawa kepada musnahnya masyarakat itu sendiri. Karena apabila pembunuhan diperbolehkan, tidak mustahil akan terjadi tindakan saling membunuh di antara manusia, yang pada akhirnya manusia itu akan binasa.
Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya. (an-Nisa'/4: 93)
Dalam ayat ini Allah ﷻ memberikan pengecualian siapa yang boleh dibunuh melalui firman-Nya, "melainkan dengan sesuatu alasan yang dibenarkan agama." Di antaranya ialah pria atau wanita yang berzina setelah terikat dalam hukum akad pernikahan dan orang yang dengan sengaja membunuh orang beriman yang dilindungi hukum.
Pengecualian seperti tersebut di atas, disebutkan dalam hadis Nabi:
Tidak halal darah orang yang sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, kecuali karena salah satu dari tiga perkara: Orang dibunuh karena ia membunuh, janda atau duda yang berzina, dan orang yang meninggalkan agamanya memisahkan diri dari kaum Muslimin. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari 'Abdullah)
Kemudian Allah ﷻ menjelaskan tindakan apa yang harus dilakukan oleh ahli waris dari yang terbunuh, dan siapa yang harus melaksanakan tindakan itu apabila secara kebetulan si terbunuh itu tidak mempunyai ahli waris.
Allah ﷻ menetapkan bahwa barang siapa yang dibunuh secara zalim, yakni tanpa alasan yang benar, maka Allah telah memberikan kewenangan atau hak kepada ahli warisnya untuk menentukan pilihan hukuman bagi si pembunuh, yaitu antara hukum qishash atau menerima diyat (tebusan), seperti yang telah ditetapkan dalam firman-Nya:
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. (al-Baqarah/2: 178). (lebih lanjut lihat penafsiran ayat ini pada jilid I).
Dan sabda Nabi Muhammad ﷺ ketika penaklukan kota Mekah:
Barang siapa membunuh, maka keluarga yang terbunuh diberi hak memilih antara dua hal, apabila mereka mau, mereka dapat menuntut hukuman bunuh, dan bila mereka mau, mereka dapat menuntut diyat (tebusan). (Riwayat Abu Dawud dan an-Nasa'i dari Abu Syuraih al-Khuza'i)
Kemudian apabila secara kebetulan yang terbunuh tidak mempunyai ahli waris, maka yang bertindak menggantikan kedudukannya dalam menentukan pilihan hukuman ialah penguasa. Dalam hal ini penguasa boleh melimpahkan kekuasaannya kepada para qadhi (hakim) setempat, apabila dipandang perlu.
Dalam melaksanakan qishash, para penguasa yang diberi wewenang untuk melaksanakannya diperintahkan untuk tidak melampaui batas yang ditentu-kan, seperti yang telah terjadi di zaman Jahiliah. Orang-orang di zaman Jahiliah tidak puas dengan hanya menuntut balas dengan kematian orang yang membunuh, akan tetapi menuntut pula kematian orang lain, apabila yang terbunuh dari kalangan bangsawan. Kalau yang terbunuh itu seorang bangsawan, sedang yang membunuh dari kalangan biasa, maka yang dituntut kematiannya dari kalangan bangsawan juga sebagai pengganti diri si pembunuh.
Pada ayat 178 Surah al-Baqarah terdapat isyarat yang kuat bahwa hukuman yang paling utama bagi keluarga si terbunuh adalah cukup dengan menuntut diyat atau memaafkan, bukan menuntut balas kematian.
Di akhir ayat, Allah ﷻ menjelaskan bahwa ahli waris atau penguasa dalam melaksanakan hukuman kisas tidak boleh melampaui batas karena mereka mendapat pertolongan Allah, berupa pembalasan untuk memilih hukuman kisas atau hukuman diyat. Oleh sebab itu, para hakim hendaknya berpedoman pada ketentuan tersebut dalam memutuskan perkara. Jangan sampai memutuskan perkara yang bertentangan dengan peraturan Allah atau melebihi ketentuan yang berlaku.
Ayat ini tergolong ayat Makkiyah dan termasuk dalam bagian ayat hukum yang pertama diturunkan. Dengan demikian, wajar apabila ayat ini hanya mengatur hukum bagi pembunuhan secara garis besarnya saja. Adapun keterangan secara terperinci diatur dalam ayat-ayat yang lain, yang penafsirannya telah dikemukakan pada jilid I.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
AKHLAK MUSLIM (II)
Dalam ayat 30 telah diterangkan bahwa ada manusia yang diberi rezeki yang luas, ada pula yang kesempitan selalu, tidak mencukupi. Allah mengetahui dan melihat bagaimana manusia menerima nasibnya. Orang yang mampu sudah diberi tuntunan supaya dermawan dan pemurah. Orang yang susah hidupnya diberi nasihat pula sebagai berikut.
Ayat 31
"Dan jangan kamu bunuh anak-anak kamu karena takut kelapanan. Kamilah yang memberi kepada mereka rezeki dan kepada kamu pun. Sesungguhnya membunuh mereka itu adalah satu kesalahan besar."
Jangan membunuh anak-anak karena takut kepapaan dan kemiskinan. Niscaya sudah dapat kita ketahui yang menjadi sebab turun ayat ini ialah kebiasaan buruk orang-orang Arab Jahiliyah, membunuh anak perempuannya, karena anak perempuan tidak mendatangkan keuntungan, tidak dapat menolong ayah-bundanya dalam mencari penghidupan.
Anak perempuan, kalau sudah besar, bersuami dan keluar dari rumah menurutkan suaminya. Tidak seperti anak laki-laki yang bisa membantu ayah dan kalau sudah kawin dapat membawa istrinya menambah tenaga dapur. Dan anak dari anak laki-laki adalah keturunan langsung dari neneknya, sedang anak dari anak perempuan hanya memperkaya keturunan orang lain.
Bahkan sampai kepada zaman kita sekarang pun masih ada orang yang merasa dapat bala kalau dapat anak perempuan dan bangga kalau dapat anak laki-laki.
Sekarang datang ayat melarang membunuh anak, al-wa'du baik anak perempuan atau anak laki-laki. Apa gerangan sebabnya?
Teranglah bahwa wahyu Ilahi adalah rata untuk seluruh bangsa manusia. Bukan orang Arab saja. Karena takutmiskin,memangbanyak orang yang kesal mendapat anak banyak. Orang Arab sama dengan orang Tionghoa, mendasarkan keluarga kepada perbapaan, (patriaarchat), sebab itu mereka lebih suka anak laki-laki. Tetapi, orang Minangkabau di negerinya berkeluarga peribuan. Mereka lebih suka anak perempuan. Di dalam kehidupan kota di zaman industrialisasi ini, banyak anak menjadi beban berat, orang-orang miskin ada yang menjual anak. Orang-orang kaya ada yang mengadakan operasi pada rahim untuk mencegah jangan dapat anak. Maka Al-Qur'an memberikan ajaran budi buat seluruh manusia daiam segala zaman. Jangan membunuh anak karena takut miskin. Kesukaran hidup dapat diatasi, baik secara sendiri-sendiri atau secara bersama. Islam menyediakan satu pintu dalam harta orang kaya, yang wajib dikeluarkannya untuk membantu orang miskin. Itulah zakat. Penguasadapatmengambilhartaitu dari tangan si kaya dan diberikan kepada si miskin. Dalam masyarakat Islam tidak boleh ada orang yang melarat. Ibnu Hazmi, mujtahid Andalusia yang terkenal itu, berkata, “Kalau di dalam sebuah kampung (lorong) kedapatan orang mati kelaparan, seisi kampung itu dikenakan hukuman adat."
Perhatikanlah ayat ini kembali, bersama ayat-ayat yang sebelumnya. Ayat 31 yang me-larang membunuh anak karena takut miskin adalah sesudah ayat-ayat 25 sampai 30 yang menuntun orang-orang yang mampu supaya membantu yang miskin.
Tersebab ayat ini timbullah pendapat-pendapat ulama tentang membatasi kelahiran atau keluarga berencana. Ulama-ulama Islam ada yang berpendapat boleh azl, yaitu meng-gelicikkan mani keluar dari faraj perempuan supaya jangan jadi anak. Tetapi kebanyakan ulama pula mengatakan perbuatan itu makruh. (Boleh! Tetapi dibenci. Atau tercela, meskipun tidak terlarang). Ada juga ulama modern berpendapat bahwa untuk menjaga kesehatan perempuan yang karena banyak melahirkan anak, sehingga badannya sudah lemah, boleh diadakan operasi pada rahimnya hingga tidak beranak lagi. Tetapi, tidak ada ulama Islam yang berijtihad untuk membolehkan membunuh anak. Ijtihad hanya berlaku pada perkara-perkara yang tidak jelas nashnya. Ulama mujtahid pun sependapat bahwa menggugurkan anak yang dalam kandungan, yang telah bernyawa, sama juga dengan membunuh. Menurut hadits, nyawa mulai ditiupkan setelah dikandung 3 x 40 hari = 120 hari; atau dalam kandungan empat bulan. Tetapi, penyelidikan menunjukkan bahwa di waktu berpadunya mani si laki-laki dengan mani si perempuan pada yang dikandung itu sudah mulai ada hidup. Sebab itu, mulai anak dikandung sudah wajib kita memeliharanya sampai lahir.
Di sini dapatlah kita merenungkan betapa nilai hidup menurut agama. Suatu nyawa wajib dipelihara. Ada hidup ada rezeki, (angan bosan mengasuh anak karena cemas tentang makannya. Jaminan hidup untuk dia dan untuk yang mengasuhnya ada selalu dari Allah. Kehidupan masyarakat Islam yang dikehendaki Allah bukanlah hidup yang nafsi-nafsi, yang kaya melupakan yang miskin. Dalam pada itu, Islam memerintahkan amal di samping iman. Tidak boleh ada orang yang tidak beramal. Beramal artinya berusaha. Agama memerintahkan. Dan negara yang teratur pun mencita-citakan itu. (angan ada dalam masyarakat orang yang melarat, yang tidak kebahagian pekerjaan.
Dari ayat ini dinyatakan larangan pembunuhan anakdengan cara lain, tetapi sebabnya sama, yaitu takut kepapaan. Yaitu orang yang tidak memberikan pendidikan agama kepada anaknya walaupun jasmani anak itu disenangkan. Amat banyak di zaman modern kita ini orang yang menyerahkan anaknya bersekolah dengan maksud supaya dia kelak jadi orang pintar. Lalu, dimasukkan anak itu ke sekolah yang didirikan oleh agama lain, yang memang sengaja hendak menarik anak keluar dari agama Islam yang dipeluk orang tuanya dan masuk ke agama yang empunya sekolah itu. Beratus-ratus tiap tahun anak-a nak yang orang tuanya masih Islam, anaknya telah murtad! Padahal, dengan perlainan agama, putuslah pertalian dunia dan akhirat dan tidak waris-mewarisi lagi. Anak yang sudah lain agamanya sudah boleh dihitung mati! Berpokok pangkal dari kelemahan iman orang tuanya. Suatu kemalangan besar!
ZINA
Ayat 32
“Dan janganlah kamu dekati zina. Sesungguhnya dia itu adalah keji dan sejahat-jahat jalan"
Apakah zina itu?
Yaitu segala persetubuhan yang tidak disahkan dengan nikah, atau yang tidak sah ni-kahnya.
Inilah kita buat definisi atau arti zina. Dengan simpulan sekalian persetubuhan yang tidak disahkan lebih dahulu dengan nikah, sebenarnya sudah cukup. Tetapi, ada juga, yang walaupun diadakan nikah terlebih dahulu, nikah mereka adalah tidak sah, yaitu bersetubuh dengan mahram (yang haram dinikahi tersebut lengkap dalam surah an-Nisaa' ayat 33), atau menikahi istri orang, atau menikahi orang dalam iddah.
Di dalam surah an-Nuur diterangkan dengan jelas hukuman zina, yaitu setelah masyarakat Islam dapat mendirikan kekuasaan di Madinah. Di dalam surah al-Furqaan (surah Mekah) diterangkan bahwa salah satu perangai yang tidak terdapat pada Ibadur-Rahman ialah zina. Sekarang, di dalam surah al-Israa' ini lebih dijelaskan lagi, yaitu jangan dekati zina! Artinya, segala sikap dan tingkah laku yang dapat membawa kepada zina janganlah dilakukan. Hendaklah jauhi!
Karena apa? Karena pada laki-laki ada syahwat setubuh dan pada perempuan pun ada. Apabila seorang laki-laki dengan seorang perempuan telah berdekat, susah mengelakkan tumbuhnya gelora syahwat itu. Tepat artinya dari sebuah hadits, “Kalau seorang laki-laki dan seorang perempuan telah khalwat berdua-dua, yang ketiga adalah setan." Ketika kita bertenang-tenang duduk sendiri, akal kita dan pertimbangan budi dapat berbicara. Tetapi, kalau seorang laki-laki telah berdua saja dengan seorang perempuan, akal budi tidak bicara lagi. Yang bicara ialah syahwat itu. Nafsu atau seks! Dan apabila nafsu seks itu sudah terpenuhi, mungkin akal akan bicara dan menyesal. Tetapi sebelum terpenuhi, segala yang lain gelap belaka.
Khalwat, yaitu berdua-dua saja laki-laki dengan perempuan, termasuk mendekati zina. Islam mengharamkan khalwat. Bahkan, khalwat dengan mahram sendiri pun hendaklah dibatasi. Sebab itu pula maka diharamkan meminum sekalian minuman yang memabukkan. Apabila telah mabuk, orang tidak dapat lagi mengendalikan diri. Dan dilarang perempuan-perempuan memakai pakaian yang dapat membangkitkan syahwat. Kasiatin ariatin; berpakaian tetapi bertelanjang, you can see! Dan termasuk juga pendekat zina adalah film-film, gambar-gambar, dan majalah-majalah telanjang, porno, nyanyian-nyanyian yang berisi ajakan buruk. Dansa-dansa dan peluk-pelukan. Termasuk juga larangan bepergian jauh perempuan (musafir) tidak diantar oleh suaminya atau mahramnya.
Orang-orang modern kerap mencemoohkan orang-orang yang mempertahankan hukum agama ini. Katanya, perempuan-perempuan terpelajar tidak usah dikungkung dengan segala haram itu. Padahal, terpelajar atau tidak terpelajar namun asal bernama perempuan, dia tetap mempunyai syahwat seks. Tetap ada saat-saat yang akal budi tidak dapat menguasainya. Dr. Marion Hylard, Kepala Bagian Perempuan dan Rumah Sakit Bersalin di Universitas Toronto, telah menulis secara ilmiah tentang hal itu.
Sebagai seorang dokter, dia telah mempelajari dari pengalaman dan penyelidikan yang beliau lakukan terhadap pasien-pasiennya. Beliau mendapat kesimpulan ilmiah yang kuat tentang pengaruh naluri perempuan sebagai perempuan, yang membangkitkan nafsu berkelamin (seks) padanya. Menurut beliau, tempat yang sepi embusan angin, berdekatan berdua ketika menonton film-film yang membangkitkan birahi, persinggungan kulit sesama kulit, persentuhan ujung jari sekalipun, apatah lagi kalau sudah disertai rabaan dan ciuman, semuanya itu adalah pembangkit syahwat yang terpendam dalam diri seorang perempuan. Di saat itu tibalah waktunya yang mereka tidak dapat menguasai diri lagi. Walaupun sedang memakai telekung shalat, atau memakai pakaian yang tidak selamanya terkurung dalam biara, dia akan menyerah, malahan di saat itu dia ingin sekali dipenuhi dahaganya. Dia ingin dipuaskan. Sebab ada di waktu itu di dalam dirinya sendiri yang meminta!
Walaupun sesudah itu dia akan menangis, akan meratap tersedu-sedu, karena kehilangan yang mahal yang selama ini telah dipertahankannya.
Menurut keterangan dr. Marion Hylard itu, hampir sama saja jawab pasiennya ketika beliau minta diterangkan pe ngalaman mereka."Saya tidak sanggup lagi mengendalikan diri di waktu itu."
Dr. Marion Hylard itu hampir tiga puluh tahun bekerja di bagian penyakit perempuan dan rumah sakit bersalin di Toronto, Kanada. Dia telah sampai kepada suatu kesimpulan bahwa pergaulan bebas itulah yang banyak membawa korban perempuan di saat-saat seperti beliau terangkan di atas.
Maka ngerilah kita memikirkan kehidupan modern ini. Segala sesuatu yang akan mem-perdekat zina terbuka di mana-mana. Film-film cabul, majalah dan buku-buku porno, dan akhir-akhir ini kebebasan bergaul itu sudah lebih menyolok lagi. Dahulu di tanah air kita hanya kerap memperkatakan keruntuhan moral Barat, tetapi di saat-saat terakhir ini soal mengawinkan gadis yang telah lebih dahulu bunting guna menutup malu sudah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat kita. Orang-orang yang masih berani membuka mulutnya menyatakan bahaya itu bagi keturunan di belakang hari dijadikan ejekan dan tertawaan. Padahal, ahli-ahli kemasyarakatan di Eropa dan Amerika tidak lagi dapat menyembunyikan hal itu. Mereka memandang dari segi kemasyarakatan masa kini dan bahaya kehancuran seperti yang diungkapkan oleh dokter perempuan dan Toronto, Kanada, itu.
Karena telah merajalela timbulnya anak-anak di luar nikah, gadis yang bunting tidak bersuami, sampai timbul pula satu mata pencarian yang jahat, yaitu memperniagakan secara gelap anak-anak yang lahir di luar nikah itu. Kalau ada seorang gadis telah hamil di luar nikah, kumpulan gelap penadah anak-anak gelap itu telah menghubunginya, menjamin biaya kelahiran anak itu, mengobatinya selama sakit sehabis melahirkan, asal anak itu diserahkan kepada mereka, yang akan mereka perjualbelikan pula. Perbudakan semacam ini sangat menjangkit pula di zaman sekarang di negeri yang dinamakan telah maju itu dan mungkin tidak pula lama lagi akan menjalar pula ke negeri kita. Dan bagaimanalah kita membayangkan suatu masyarakat di belakang hari yang sebagian besar penduduknya tidak dapat membanggakan siapa bapaknya.
Dan lantaran itu pula dalam beberapa negara modern itu tidak dilarang lagi meng-gugurkan anak dalam kandungan. Dan sejak adanya gerakan keluarga berencana, obat-obat atau pil atau alat pencegah mani menjadi anak sebagian besar disalahgunakan orang, dipakai orang buat pencegah lahirnya anak-anak sebagai hasil dari perzinaan.
Di samping itu timbullah penyakit-penyakit yang amat berbahaya dan merusak keturunan tersebab dari perzinaan, yaitu penyakit sifilis dan gonore. Di zaman akhir ini dikenal orang penyakit yang diberi nama Vietnam Rose yang berjangkit dari serdadu-serdadu di medan perang, yang ketika istirahat dan vakansi bersetubuh dengan perempuan lacur.
Dengan ini semua bertambahlah yakin kita kepada firman Allah, “Dan janganlah men-dekati zina; sesungguhnya zina itu adalah keji dan sejahat-jahatjalan"
Dalam rangkaian menjaga jangan sampai mendekati zina, banyaklah Islam memberikan peraturan sopan santun, yang tampaknya kecil tetapi amat penting. Yang di dalam bahasa modern dapat disebut etiket. Dalam ayat 27 surah an-Nuur, diterangkan aturan kalau hendak masuk ke sebuah rumah sebagai tetamu, dari luar hendaklah mengucapkan salam dan memerhatikan mimik muka dari yang empunya rumah. Dan jika yang empunya keberatan lalu disuruhnya pulang saja, jangan kecil hati, dan pulanglah. Dan oleh Nabi dibuat teladan, yaitu jangan tepat masuk menegur di halaman rumah baru masuk. Di ayat 30 diperintahkan orang laki-laki menundukkan pandang, di ayat 31 orang perempuan diperintahkan menundukkan pandang, Jangan mata liar karena pandang mata itu berbahaya. Dan dilarang perempuan mendedahkan perhiasan. Disuruh memakai pakaian yang sopan. Ditentukan hanya di hadapan siapa yang boleh memperlihatkan perhiasan. Malah di ayat 60, perempuan yang telah tua pun, meskipun dibebaskan menanggalkan pakaian luar di dalam rumah, disuruh juga berlaku sopan. Di tiga waktu, yaitu sebelum shalat Shubuh dan sesudah shalat Isya, dan ketika menanggalkan pakaian di waktu Zhuhur, semua isi rumah, sampai kepada pelayan-pelayan, diwajibkan meminta izin terlebih dahulu kalau akan masuk ke bilik tuannya. Bahkan, anak kandung sendiri, kalau dia telah mulai mengetahui apa yang aurat, harus dididik. Kalau akan masuk kamar ayah atau ibunya, pula waktu yang tiga itu, supaya minta izin! Dan di dalam hadits, Nabi menyuruh pisahkan tidur anak-anak yang sudah mulai besar. Di dalam surah al-Ahzab, ditentukan, dimulai dari istri-istri Nabi ﷺ sendiri supaya perempuan-perempuan beriman kalau bercakap hendaklah yang tegas jitu, jangan lemah gemulai, yang dapat merayu-rayu orang yang dalam hatinya ada penyakit.
Di dalam surah an-Nuur juga, ayat 32, dipikulkan tangggung jawab kepada masyarakat mengawinkan, mencarikan jodoh janda-janda, baik janda perempuan atau janda laki-laki, atau budak perempuan, atau budak laki-laki. Mana yang tidak mampu kawin dengan perempuan merdeka, kawinilah budak. Mana yang tidak dapat jodoh dianjurkan agar sabar dan menjaga kehormatan dan berpuasalah untuk menurunkan gejolak syahwat. Dan di dalam sunnah Nabi, mencarikan jodoh anak, baik laki-laki atau perempuan, adalah kewajiban orang tua. Sehingga Imam Syafi'i, setelah melihat ketika dia habis shalatTahajjud, zakar anak laki-lakinya bangun tengah dia
tidur, siangnya dicarikannya istrinya sekali. Dan kepada orang yang mempunyai anak pe-rempuan yang telah patut kawin, Rasulullah ﷺ bersabda,
“Jika telah datang kepadamu orang yang engkau senangi agama dan perangainya, kawinkanlah dia. Kalau tidak begitu, niscaya fitnahlah yang akan timbul dan kerusakan yang besar." (Hadits Shahih)
Semuanya itu sebagai pelengkap dari perintah ayat ini, yaitu jangan mendekati zina. Malah, kalau ada keinginan dan kesanggupan diperbolehkan, laki-laki kawin sampai empat, asal sanggup adil dan nafkah. Jadi, larangan mendekati zina dilengkapi dengan mempermudah perkawinan. Bukan seperti kerusakan masyarakat modern yang terbaik sama sekali, yaitu mempermudah dan memperlebar pintu kepada zina dan mem-persukar jalan kepada perkawinan.
Bertrand Rusel, filsuf Inggris yang terkenal itu, pernah menyatakan pendapat bahwa tidak mengapa kalau pemuda-pemuda laki-laki dan perempuan bercinta bebas terlebih dahulu sebelum kawin. Kalau tidak senang, boleh berpisah. Karena pendapat ini, ditambah pula dengan ajaran Sigmund Freud tentang pengaruh seks bagi kehidupan manusia, banyak pemuda-pemudi kita di kota-kota besar mulai tertarik, mudah bergaul, berpacar-pacaran dan mudah berpisah. Sari-sari hidup pun habis dalam percobaan. Kerap hamil sebelum nikah. Timbullah anak zina lalu orang tua menutup malu dengan buru-buru menikahkan sehingga, kadang-kadang ketika kedua pengantin duduk bersanding, perut anak dara kelihatan besar.
Tetapi, filsuf Indonesia yang besar, Almarhum Haji Agus Salim, pernah didatangi oleh pemuda-pemuda yang telah mendapat didikan modern, menyatakan mereka hendak bertunangan. Beliau anjurkan mereka nikah saja dahulu, walaupun belum akan pesta, karena kata beliau, jika kalian nikah lebih dahulu, kalian tidak akan dihalangi oleh tekanan-tekanan batin di saat kalian cuma berdua saja. Dan orang tua pun tidak ragu-ragu melepaskan. Dan kalau kemudian tidak senang, kalian boleh cerai. Dan kalau kalian beranak, anak itu tidak akan ragu menghadapi hidup sebab dia tahu siapa ayahnya. Pemuda-pemudi yang tidak menuruti nasihat beliau itu jarang yang selamat. Dan yang mematuhinya, setelah beberapa waktu kemudian, datang kepada beliau mengucapkan terima kasih. Sebab sebelum Prof. Dr. Marion Hylard dari Universitas Toronto, Kanada, mengetahui secara ilmiah bahwa ada saat perempuan tidak dapat menguasai diri. Filsuf Indonesia itu sudah lama mengetahuinya dan hadits Nabi, hadits yang penuh dengan peringatan untuk segala zaman.
Artinya, sebuah hadits yang diterima dari Jabirbin Abdillah, bersabda Nabi, “Barangsiapa yang mengaku beriman kepada Allah dan hari yang akhir, sekali-kali janganlah dia berkhalwat dengan seorang perempuan yang tidak disertai seorang mahram dari pihaknya. Karena (kalau mereka berdua saja), yang ketiga adalah setan." (hadits ini dirawikan oleh Imam Ahmad).
Dan ada dua tiga hadits lagi yang sama artinya dengan ini.
Jelas sekali kalau sudah duduk berdua-dua saja, tidak disaksikan oleh orang lain, dapat saja tersentuh nafsu syahwat yang ada pada tiap-tiap orang. Dan apabila pengaruh setan itu sudah masuk, orang tidak dapat lagi mengendalikan dirinya.
HARGA NYAWA
Ayat 33
“Dan janganlah kamu bunuh diri yang telah diharamkan oleh Allah."
Diri diharamkan oleh Allah, yaitu diberi diri itu hak asasi untuk dipelihara dan dijaga kehormatan hidupnya oleh Allah sendiri. Seumpama Tanah Haram Mekah dan Madinah, tumbuh-tumbuhannya dan binatang buruannya tidak boleh diganggu gugat. Rantingnya tak boleh dipatah, binatang buruannya tak boleh diburu. Demikian pulalah hak hidup yang diberikan Allah bagi nyawa seorang makhluk. Tegas di sini jaminan hidup atau hak asasi yang diberikan Allah atas diri manusia lebih dari tiga belas abad sebelum orang memperkatakan hak-hak asasi manusia."Kecuali dengan hak (kebenaran)" misalnya terjadi peperangan yang tak dapat dielakkan lagi, niscaya terjadi bunuh-membunuh. Atau terjadi seseorang membunuh sesamanya maka berlakulah hukum qisas, yaitu nyawa bayar nyawa. Atau suatu hukum mati yang dijatuhkan oleh hakim menurut undang-undang yang telah termasuk, misalnya karena dia bersalah mengkhianati negara. Dalam hal yang semacam ini, pencabutan nyawa seseorang berada dalam lingkungan kebenaran, atau dibenarkan."Dan barangsiapa yang dibunuh dengan aniaya, sesungguhnya Kami jadikan atas walinya kekuasaan."
Artinya, jika seseorang dibunuh orang dengan aniaya, tindakan sewenang-wenang di luar hukum, maka wali terdekat atau keluarga yang bertanggung jawab dari orang yang terbunuh itu berhak menuntut keadilan kepada penguasa. Bukanlah berarti bahwa keluarga si terbunuh diberi kekuasaan melakukan tindakan sendiri kepada yang membunuh. Kekuasaannya hanya menuntut keadilan kepada penguasa, dan penguasalah yang mengambil tindakan, misalnya menangkap dan kemudian menjatuhkan hukum, entah dia dibunuh pula, nyawa ganti nyawa, atau diwajibkan membayar diat, yaitu harta benda ganti kerugian.
Imam Malik menjelaskan bahwa pemegang kekuasaan itu ialah sultan. Atau kita bahasakan sekarang pemerintah.
Ditegaskan oleh Imam Malik, “Assullhanu Amirullahi." Artinya, kekuasaan sultan itu adalah pemerintah dari Allah.
Lalu sambungan ayat, “Dan janganlah dia melewati batas pada membunuh", Inti ayat inilah perlakuan perikemanusiaan yang diwajibkan menjaganya. Artinya, kalau seseorang dihukum mati karena telah membunuh orang lain, lalu dilakukan kepadanya hukum bunuh pula, lakukanlah hukum itu dengan cepat, ringkas, dan menegakkan wibawa hukum. Kalau nyawanya sudah keluar dari badannya, sudahlah. Janganlah, misalnya, setelah orang itu mati dicincang lagi atau dikerati badannya sebab yang demikian bukan hukum lagi, melainkan balas dendam.
Menurut ath-Thabari, peringatan ini untuk Nabi ﷺ dan seterusnya untuk para penguasa sesudah beliau ﷺ
Di ujung ayat diperingatkan lagi,
“Sesungguhnya adalah dia orang yang ditolong."
Bolehlah ditafsirkan untuk salah satu dari keduanya. Tegasnya, orang yang mati terbunuh dengan aniaya, pemerintah akan me-nuntutkan belanja. Atau kalau walinya mengadu kepada pemerintah, pengaduannya akan diperhatikan, dia akan ditolong. Sebab, urusan kematian seseorang dengan aniaya bukanlah perkara kecil.
Dan orang yang mati teraniaya, sedang wali atau keluarganya tak ada, penguasalah yang menjadi wali dan penuntut haknya.
“Suitfuin (penguasa) adalah wali dari orang yang tidak ada walinya." (HR Abu Dawud.)
Meskipun hadits ini mulanya untuk perempuan yang hendak nikah, tentu lebih penting lagi untuk tentang nyawa.
Dengan jalan begini dapatlah diadakan perundingan di bawah pengetahuan sultan (pemerintah) antara keluarga si terbunuh dan keluarga si pembunuh. Kalau ada perdamaian, maka pembunuhan ganti jiwa itu boleh diganti dengan diat, yaitu ganti kerugian dengan harta menurut persetujuan kedua pihak. Dengan demikian, Islam menanamkan semangat perdamaian dan persaudaraan sebagai ganti dendam suku yang amat mendalam di zaman Jahiliyah itu.
Di dalam ayat diperingatkan “dan janganlah kamu melewati batas pada membunuh", misalnya seorang yang membunuh, lalu dibunuh pula keluarganya yang lain. Hal ini dapat memperdalam dendam lagi seperti permusuhan turun-temurun di antara keluarga Capulet dan keluarga Montague dalam cerita Romeo dan Juliet karangan Shakespeare yang terkenal. Dan kalau si pembunuh telah mati dihukum, jangan pula melewati batas, misalnya mencincang mayatnya dan menunjuk-kan kekejaman lain-lain. Dalam pada itu amat dipujikan kalau keluarga yang terbunuh memberi maaf tidak meminta ganti jiwa dengan jiwa, atau ganti harta diat. Dan amat dipujikan pula jika keluarga si pembunuh itu memerdekakan seorang budak sebagai syukur atas perdamaian.
Seperti dimaklumi, ayat ini turun di Mekah. Inilah permulaan peraturan tentang tuntutan bela atas pembunuhan. Meskipun di zaman Mekah Islam belum berkuasa, kepada orang Mukmin mulai ditanamkan keadilan Islam. Di pangkal ayat ada kata “kecuali", “Kecuali dengan kebenaran". Membunuh menurut kebenaran tidak haram, yaitu membunuh ketika berperang. Membunuh karena mempertahankan diri yang tidak disengaja lebih dahulu. Atau seorang algojo diperintahkan pemerintah menjalankan hukum mati atas seorang yang dapat hukuman mati. Atau membunuh perampok yang masuk ke dalam pekarangan kita hendak merampas harta benda kita. Di zaman Sayyidina Umar menjadi khalifah, datang ke hadapan beliau seorang menyerahkan diri, membawa sebilah pedang berlumur darah dan banyak orang mengejenya di belakang. Di hadapan beliau, dia mengaku bahwa pedangnya berlumur darah istrinya dan darah orang yang sedang di atas perut istrinya itu. Khalifah Umar membenarkannya dan melindunginya dari kejaran orang-orang yang mengejar itu.
HARTA ANAK YATIM DAN KETEGUHAN JANJI
Ayat 34
“Dan jangan kamu dekati harta anak yatim."
Anak yatim ayahnya telah meninggal, sedang dia masih belum dewasa dan belum dapat berdiri sendiri. Pastilah dia hidup dalam pemeliharaan pengasuhnya, entah pengasuh itu pamannya, yaitu saudara ayahnya, saudara dari ibunya sendiri, saudara laki-lakinya yang telah dewasa yang tidak dihitung yatim lagi, atau ayah tirinya yang mengawini ibunya setelah lepas iddah wafat kematian ayahnya (4 bulan 10 hari). Kepada segala pengawas itu diperingatkan dalam ayat ini supaya berhati-hati, janganlah mendekati harta anak yatim itu, “kecuali dengan cara yang sebaik-baiknya." Bagaimanakah cara yang sebaik-baiknya itu? Al-Qur'an tidak menunjukkan sampai ke garis-garis yang kecil. Sebab, yang diseru ini adalah orang-orang yang beriman. Kalau si pemelihara anak yatim itu miskin, misalnya, sedang waktunya dihabiskan untuk mengasuh memelihara anak kecil-kecil itu, tentu dia boleh memakainya atau menjalankan harta itu supaya hidup, supaya jangan membeku. Seperti keadaan uang kertas di zaman sekarang kalau hanya disimpan saja sejak Perang Dunia II ini, belumlah pernah uang kertas yang tetap harganya, apalagi yang naik. Maka sebaiknyalah dijalankan, diperniagakan, di-carakan, yang sama sekali itu dikontrol oleh iman."Sehingga sampai dewasanya." Artinya sudah dapat dia berdiri sendiri, sesudah tahu memperedarkan hartanya itu, sudah tahu arti laba dan rugi, sehingga tidak tersia-sia. Dan tentu saja si pengasuh diwajibkan mempertanggung jawabkan kepada anak yatim yang tidak yatim lagi karena telah dewasa itu. Bagaimana cara, labanya, ruginya, keperluannya dan lain-lain.
Ada juga ketentuan syara' bahwa anak itu, walaupun telah dewasa, tetapi dia bodoh (safi ih), walinya berhak memegang terus harta itu dan memberi belanja atau jaminan hidup bagi anak atau orang dewasa yang bodoh, atau dungu, inguah, pandir, atau idiot itu. Dalam pemerintahan yang teratur kejaksaan mempunyai badan Weeskamer untuk mem-perlindungi harta orang dungu itu.
Maka datanglah penutup ayat,
“Dan penuhilah janji, sesungguhnya perjanjian itu akan ditanya."
Di ujung ayat ini diperingatkan bahwa hidup manusia di dunia ini selalu terikat dengan janji-janji. Karena itu, janganlah mudah-mudah saja membuat janji kalau janji itu tidak akan terpenuhi. Di dalam janji terkandung amanah. Dan Allah pun memberikan didikan buat memenuhi janji itu pada kehidupan kita sehari-hari sehingga dikatakan bahwa amalan yang paling utama ialah shalat pada awal waktunya. Kalau kita telah biasa meneguhi janji dengan Allah, niscaya kita aman mendisiplin diri meneguhi janji dengan sesama manusia. Di ujung ayat ditegaskan bahwa setiap perjanjian itu akan ditanya, artinya akan dipertanggungjawabkan.
Ujung ayat 34 ini dapatlah dipandang sebagai inti dari akhlak Muslim. Allah mem-peringatkan di dalam surah Aali ‘Imran ayat 112, bahwa di mana saja kita berada, sengsaralah yang akan menimpa diri kita kalau dua tali tidak kita pegang teguh. Pertama tali dari Allah, kedua tali dari sesama manusia. Tali dengan sesama manusia itu ialah janji. Dan hidup kita ini diliputi oleh janji.