Ayat
Terjemahan Per Kata
لَقَدۡ
sesungguhnya
نَصَرَكُمُ
telah menolong kamu
ٱللَّهُ
Allah
فِي
di
مَوَاطِنَ
medan perang
كَثِيرَةٖ
banyak
وَيَوۡمَ
dan hari
حُنَيۡنٍ
(peperangan) Hunain
إِذۡ
ketika
أَعۡجَبَتۡكُمۡ
menakjubkan kamu
كَثۡرَتُكُمۡ
banyaknya kamu
فَلَمۡ
maka tidak
تُغۡنِ
mencukupi/memberi manfaat
عَنكُمۡ
dari kalian
شَيۡـٔٗا
sesuatu/sedikitpun
وَضَاقَتۡ
dan terasa sempit
عَلَيۡكُمُ
atas kalian
ٱلۡأَرۡضُ
bumi
بِمَا
dengan apa
رَحُبَتۡ
yang luas
ثُمَّ
kemudian
وَلَّيۡتُم
kamu berpaling
مُّدۡبِرِينَ
orang-orang yang lari ke belakang
لَقَدۡ
sesungguhnya
نَصَرَكُمُ
telah menolong kamu
ٱللَّهُ
Allah
فِي
di
مَوَاطِنَ
medan perang
كَثِيرَةٖ
banyak
وَيَوۡمَ
dan hari
حُنَيۡنٍ
(peperangan) Hunain
إِذۡ
ketika
أَعۡجَبَتۡكُمۡ
menakjubkan kamu
كَثۡرَتُكُمۡ
banyaknya kamu
فَلَمۡ
maka tidak
تُغۡنِ
mencukupi/memberi manfaat
عَنكُمۡ
dari kalian
شَيۡـٔٗا
sesuatu/sedikitpun
وَضَاقَتۡ
dan terasa sempit
عَلَيۡكُمُ
atas kalian
ٱلۡأَرۡضُ
bumi
بِمَا
dengan apa
رَحُبَتۡ
yang luas
ثُمَّ
kemudian
وَلَّيۡتُم
kamu berpaling
مُّدۡبِرِينَ
orang-orang yang lari ke belakang
Terjemahan
Sungguh, Allah benar-benar telah menolong kamu (orang-orang mukmin) di medan peperangan yang banyak dan pada hari (perang) Hunain ketika banyaknya jumlahmu menakjubkanmu (sehingga membuatmu lengah). Maka, jumlah kamu yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu kemudian kamu lari berbalik ke belakang (bercerai-berai).
Tafsir
(Sesungguhnya Allah telah menolong kalian di tempat-tempat) peperangan (yang banyak) seperti dalam perang Badar, perang melawan Bani Quraizhah dan perang melawan Bani Nadhir (dan) ingatlah (peperangan Hunain) Hunain adalah nama sebuah lembah yang terletak di antara kota Mekah dan Thaif. Artinya ingatlah sewaktu kalian berperang melawan orang-orang Hawazin, yaitu dalam bulan Syawal, tahun 8 Hijriah (yaitu di waktu) lafal idz menjadi kata ganti dari lafal yaum (kalian menjadi congkak karena banyaknya jumlah kalian) lalu pada saat itu kalian mengatakan bahwa kami tidak akan dapat dikalahkan oleh golongan yang sedikit. Pada saat itu jumlah pasukan kaum Muslimin ada dua belas ribu orang sedangkan pasukan orang kafir hanya berjumlah empat ribu orang (maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikit pun dan bumi yang luas itu telah terasa sempit oleh kalian) huruf maa adalah mashdariyah, artinya sekalipun bumi itu luas tetapi kalian tidak dapat menemukan tempat yang aman sebagai akibat dari pengaruh rasa takut yang menimpa pada saat itu (kemudian kalian lari ke belakang dengan bercerai-berai) karena terpukul akan tetapi Nabi ﷺ tetap bertahan pada posisinya seraya menaiki kendaraan bagal putihnya dan tiada yang menemaninya selain Abbas serta Abu Sofyan yang memegang tali kendali kendaraan beliau.
Tafsir Surat At-Taubah: 25-27
Sesungguhnya Allah telah menolong kalian (wahai kaum mukmin) di banyak medan perang , dan (ingatlah) perang Hunain, yaitu di waktu kalian menjadi sombong karena banyaknya jumlah kalian, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikit pun; dan bumi yang luas itu telah terasa sempit oleh kalian, kemudian kalian lari ke belakang dengan bercerai-berai.
Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala bantuan tentara yang kalian tidak melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang kafir, dan demikianlah pembalasan untuk orang-orang kafir.
Sesudah itu Allah menerima tobat dari orang-orang yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat 25
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa ayat ini merupakan ayat pertama dari surat Baraah yang diturunkan oleh Allah ﷻ. Di dalamnya disebutkan kemurahan dan kebajikan Allah yang dilimpahkan kepada kaum mukmin, Dia telah menolong mereka di berbagai medan pertempuran mereka bersama Rasulullah ﷺ. Pertolongan itu datangnya dari sisi Allah dan merupakan bantuan dari-Nya yang sudah ditakdirkan oleh-Nya. Dan kemenangan itu bukanlah karena banyaknya bilangan mereka, bukan pula karena perlengkapan senjata mereka.
Allah ﷻ mengingatkan bahwa kemenangan itu datang dari sisiNya, tanpa memandang apakah jumlah pasukan itu banyak atau sedikit. Di saat Perang Hunain, kaum muslim merasa kagum dengan jumlah mereka yang banyak. Tetapi sekalipun demikian, jumlah yang banyak itu tidak memberikan manfaat apa pun bagi mereka, karena pada akhirnya mereka lari mundur, kecuali sebagian kecil dari mereka yang tetap bertahan dengan Rasulullah ﷺ. Kemudian Allah menurunkan pertolongan dan bantuan-Nya kepada Rasul-Nya dan kaum mukmin yang bersamanya, kisahnya akan kami jelaskan kemudian. Hal tersebut merupakan pemberitahuan dari Allah kepada mereka, bahwa kemenangan itu hanyalah dari sisi-Nya semata dan berkat pertolongan dan bantuan-Nya, sekalipun jumlah pasukan sedikit; karena sesungguhnya berapa banyak golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan seizin Allah, dan Allah senantiasa bersama orang-orang yang sabar.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Jarir, telah menceritakan kepada kami ayahku, bahwa ia pernah mendengar Yunus bercerita, dari Az-Zuhri, dari Ubaidillah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik sahabat ada empat orang, sebaik-baik sariyyah (pasukan khusus) ada empat ratus, sebaik-baik bala tentara adalah berjumlah empat ribu orang, dan empat ribu tidak akan dapat mengalahkan dua belas ribu karena jumlahnya yang sedikit.”
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam At-Tirmidzi, kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib jiddan (sangat aneh), tidak ada seorang pun yang meng-isnad-kannya selain Jarir ibnu Hazim. Sesungguhnya dia meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Nabi ﷺ hanyalah secara mursal. Ibnu Majah dan Imam Baihaqi serta lain-lainnya telah meriwayatkan pula hal yang serupa dari Aksarh ibnul Jun, dari Rasulullah ﷺ.
Perang Hunain terjadi sesudah kemenangan atas kota Mekah, yaitu pada bulan Syawal tahun delapan Hijriah. Setelah Rasulullah ﷺ selesai dari membuka kota Mekah dan membenahi urusannya serta mayoritas penduduknya telah masuk Islam, lalu Rasulullah ﷺ membebaskan mereka. Maka setelah itu sampailah berita kepada Rasulullah ﷺ bahwa orang-orang Hawazin telah mempersiapkan bala tentara untuk memeranginya di bawah pimpinan amir mereka (yaitu Malik ibnu Auf An-Nadri) dengan dibantu oleh semua orang Saqif, Bani Jusym, Bani Sa'd ibnu Bakr, dan beberapa puak dari Bani Hilal yang jumlahnya tidak banyak, serta sejumlah orang dari kalangan Bani Amr ibnu Amri dan Aun Ibnu Amir. Mereka datang membawa kaum wanita, anak-anaknya, dan semua ternak kambing serta ternak lainnya milik mereka; mereka datang dengan segala sesuatunya tanpa ada yang ketinggalan.
Maka Rasulullah ﷺ berangkat untuk menghadapi mereka dengan pasukannya yang terdiri atas orang-orang yang ikut bersamanya dalam membuka kota Mekah. Jumlah mereka terdiri atas sepuluh ribu orang personel dari kalangan kaum Muhajirin dan kaum Anshar serta kabilah-kabilah Arab lainnya. Dan ikut bergabung dengan pasukan Nabi ﷺ orang-orang yang telah masuk Islam dari kalangan penduduk Mekah yang disebut sebagai kaum Tulaqa (orang-orang yang dibebaskan), mereka berjumlah dua ribu orang. Rasulullah ﷺ membawa mereka menuju daerah musuh. Akhirnya mereka bertemu di Lembah Hunain, yaitu sebuah lembah yang terletak di antara Mekah dan Taif. Pertempuran terjadi di lembah itu pada pagi-pagi benar, yaitu di saat pagi buta (hitam). Mereka menuruni lembah itu sedangkan orang-orang Hawazin telah memasang perangkap buat pasukan kaum muslim.
Ketika kedua pasukan saling berhadapan, maka pasukan kaum muslim merasa terkejut karena mereka dibokong secara mendadak. Musuh melempari mereka dengan anak-anak panahnya, dan mereka menghunus pedangnya masing-masing, lalu secara beramai-ramai menyerang pasukan kaum muslim, sesuai dengan perintah raja mereka. Menghadapi serangan dari dua arah itu pasukan kaum muslim terpukul mundur, lalu mereka lari, seperti yang disebutkan oleh firman Allah ﷻ tadi. Sedangkan Rasulullah ﷺ sendiri tetap bertahan seraya mengendarai hewan bagalnya yang berwarna merah, dan beliau maju terus menuju jantung pertahanan musuh. Paman Rasul ﷺ (yaitu Al-Abbas) memegang kendalinya di sebelah kanan, sedangkan yang memegang kendali di sebelah kirinya adalah Abu Sufyan ibnu Haris ibnu Abdul Muttalib.
Keduanya sedikit mengekang tali begal Nabi ﷺ agar jalannya tidak terlalu cepat. Saat itu Rasulullah ﷺ menyebutkan namanya sendiri seraya menyerukan kepada pasukan kaum muslim untuk kembali ke medan perang. Beliau ﷺ bersabda: “Wahai hamba-hamba Allah, kemarilah kepadaku. Wahai hamba-hamba Allah, kembalilah kepadaku. Aku adalah utusan Allah.” Saat itu Rasulullah ﷺ bersabda pula: “Aku adalah seorang nabi yang tidak pernah dusta, aku adalah anak Abdul Muttalib (yakni seorang pemberani).”
Ikut bertahan bersama Rasulullah ﷺ sejumlah orang dari kalangan sahabat-sahabatnya yang jumlahnya kurang lebih seratus orang, tetapi ada yang mengatakan delapan puluh orang. Di antaranya ialah Abu Bakar, Umar, Al-Abbas, Ali, Al-Fadl ibnu Abbas, Abu Sufyan ibnul Haris, Aiman ibnu Ummu Aiman, Usamah ibnu Zaid, dan sahabat-sahabat lainnya; semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada mereka.
Kemudian Nabi ﷺ memerintahkan pamannya (yaitu Al-Abbas) yang terkenal mempunyai suara yang keras untuk menyerukan kata-kata. 'Wahai orang-orang yang telah berbaiat di bawah pohon.’ dengan sekeras suaranya. Pohon tersebut adalah pohon tempat Baiat Ridwan dilaksanakan. Kaum muslim dari kalangan Muhajirin dan Anshar berbaiat kepada Nabi ﷺ di tempat itu, bahwa mereka tidak akan lari meninggalkan Nabi ﷺ dalam keadaan apa pun. Maka Al-Abbas menyeru mereka dengan kata-kata, "Wahai As-habus Samrah.” Adakalanya pula ia menyerukan, "Wahai orang-orang yang memiliki surat Al-Baqarah!"
Maka kaum muslim menjawabnya dengan ucapan, "Labbaika, ya labbaika.” Pasukan kaum muslim berbalik dan bergabung dengan Rasulullah ﷺ sehingga seorang lelaki yang untanya menolak untuk berbalik lalu turun dari untanya dan memakai baju besinya, lalu melepaskan untanya dan bergabung dengan Rasulullah ﷺ. Setelah sejumlah pasukan dari kalangan kaum muslim bergabung dengan Rasulullah ﷺ, maka beliau memerintahkan untuk mulai membalas serangan dengan sungguh-sungguh. Lalu beliau mengambil segenggam pasir setelah berdoa kepada Tuhannya dan meminta pertolongan kepada-Nya, lalu beliau bersabda, “Ya Allah, tunaikanlah kepadaku apa yang telah Engkau janjikan kepadaku.” Kemudian beliau ﷺ melempar pasukan kaum musyrik dengan pasir itu.
Maka tidak ada seorang pun dari pasukan musuh melainkan kedua mata dan mulutnya terkena pasir itu yang membuatnya sibuk dengan keadaan dirinya sehingga lupa kepada perang yang dihadapinya. Akhirnya mereka terpukul mundur, dan kaum muslim mengejar mereka dari belakang seraya membunuh dan menawan mereka. Sehingga ketika seluruh pasukan kaum muslim telah bergabung, mereka melihat para tawanan telah digelarkan di hadapan Rasulullah ﷺ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Ya’la ibnu ‘Atha’, dari Ubaidillah ibnu Yasar, dari Abu Hammam, dari Abu Abdur Rahman Al-Fihri yang namanya adalah Yazid ibnu Usaid; menurut pendapat lain namanya adalah Yazid ibnu Unais sedangkan menurut pendapat lainnya lagi adalah Kurz. Dia mengatakan, “Ketika aku bersama Rasulullah ﷺ dalam Perang Hunain, pasukan kaum muslim berangkat di hari yang sangat terik dan panas. Lalu kami (pasukan kaum muslim) turun istirahat di bawah naungan pepohonan. Setelah matahari bergeser dari pertengahan langit, aku memakai baju besi dan menaiki kuda kendaraanku. Maka aku berangkat menuju kepada Rasulullah ﷺ yang saat itu berada di dalam kemah kecilnya, lalu aku berucap, 'Assalamu 'alaika wahai Rasulullah, warahmatullahi wabarakatuh, telah tiba masa keberangkatan.' Rasulullah ﷺ menjawab, 'Benar.' Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, 'Wahai Bilal.' Maka bangkitlah Bilal dengan cepat dari bawah sebuah pohon samurah yang naungannya seakan-akan seperti sarang burung. Bilal berkata, 'Labbaika wasa daika, diriku menjadi tebusanmu.' Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Beri pelanalah kudaku!' Maka Bilal mengeluarkan sebuah pelana yang terbuat dari anyaman serat yang tampak sederhana, tidak mewah. Setelah pelana dipasang Nabi ﷺ menaiki kudanya. Kami pun menaiki kendaraan kami pula.
Kami berhadapan dengan musuh pada petang hari dan malam harinya. Pasukan berkuda masing-masing pasukan berhadapan dan bertempur. Ternyata pasukan kaum muslim terpukul mundur, seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ melalui firman-Nya: ‘Kemudian kalian lari ke belakang dengan bercerai-berai.’ (At-Taubah: 25) Maka Rasulullah ﷺ berseru: ‘Wahai hamba-hamba Allah, aku adalah hamba Allah dan utusan-Nya!’ Kemudian Rasulullah ﷺ berseru pula: ‘Wahai golongan orang-orang Muhajirin, aku adalah hamba Allah dan utusan-Nya.’ Lalu Nabi ﷺ turun dari kudanya dan mengambil segenggam pasir.”
Telah menceritakan kepadaku (perawi) orang yang berada lebih dekat kepada Rasulullah ﷺ daripada aku, bahwa beliau ﷺ melempar wajah mereka (musuh) dengan pasir itu seraya bersabda: “Semoga wajah-wajah itu kemasukan pasir.” Maka Allah ﷻ mengalahkan mereka.
Ya'la ibnu ‘Atha’ mengatakan, telah menceritakan kepadaku anak-anak orang-orang Hawazin dari bapak-bapak mereka, bahwa mereka mengatakan, "Tidak ada seorang pun dari kami melainkan kedua mata dan mulutnya dipenuhi pasir, dan kami mendengar suara gemerincing bel antara langit dan bumi seperti suara besi yang dipukulkan kepada lonceng besi."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Hafiz Al-Baihaqi di dalam kitab Daldilun Nubuwwah melalui hadits Abu Daud At-Tayalisi dari Hammad ibnu Salamah dengan sanad yang sama.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku ‘Ashim ibnu Umar ibnu Qatadah, dari Abdur Rahman ibnu Jabir, dari ayahnya (yaitu Jabir ibnu Abdullah) yang mengatakan bahwa Malik ibnu Auf keluar bersama para pengikutnya menuju Lembah Hunain, hingga ia mendahului kedatangan Rasulullah ﷺ di tempat itu. Kemudian mereka mempersiapkan diri dan berjaga-jaga di semua jalan yang sempit dan seluruh kawasan lembah itu. Ketika Rasulullah ﷺ dan pasukannya tiba, mereka datang menyerang bagaikan air bah dari atas lembah di suasana pagi hari yang masih gelap. Manakala pasukan musuh datang menyerang, kuda-kuda yang dinaiki oleh pasukan kaum muslim mogok, sehingga menghambat mereka (yang berjalan kaki).
Maka pasukan kaum muslim terpukul, mundur, tidak ada seorang pun yang berhadapan dengan musuhnya. Sedangkan Rasulullah ﷺ tersisihkan ke sebelah kanan seraya bersabda: “Wahai manusia, kemarilah kalian kepadaku, aku adalah utusan Allah, aku adalah utusan Allah, aku adalah Muhammad ibnu Abdullah.” Tetapi suaranya tenggelam ke dalam suara hiruk pikuk, dan keadaan unta-unta kendaraan saat itu sangat kacau. Ketika melihat situasi yang dialami oleh pasukannya itu, maka beliau bersabda: “Wahai Abbas, serukanlah, ‘Wahai golongan Anshar, wahai orang-orang yang telah berbaiat di bawah pohon samurah!’ Setelah kalimat itu diserukan, maka mereka menjawab, ‘Labbaika, labbaika.’
Maka salah seorang dari mereka membelokkan (membalik kan) unta kendaraannya, tetapi ia tidak mampu melakukannya. Lalu ia memakai baju besinya, mengambil pedang serta busur panahnya dan turun dari untanya, lalu berjalan menuju arah suara seruan itu. Akhirnya bergabung dengan Rasulullah ﷺ sebanyak seratus orang dari kalangan pasukan kaum muslim, dan mereka maju menghadang musuh. Maka terjadilah pertempuran yang seru. Seruan itu pada mulanya ditujukan kepada semua orang Anshar. kemudian secara khusus ditujukan kepada orang-orang Khazraj, karena mereka dikenal sebagai orang-orang yang teguh dan sabar dalam perang .
Rasulullah ﷺ datang dengan mengendarai hewan kendaraannya seraya memandang kepada medan pertempuran, lalu beliau bersabda: “Sekarang pertempuran berlangsung sangat sengit.” Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa belum sempat semua pasukan kaum muslim bergabung dengan Nabi ﷺ melainkan para tawanan telah dihadapkan di hadapan Rasulullah ﷺ. Allah membunuh sebagian dari pasukan musuh yang telah ditakdirkan-Nya harus terbunuh, sedangkan yang lainnya lari meninggalkan medan perang. Dan Allah memberikan harta rampasan dari harta benda dan anak-anak mereka kepada Rasulullah ﷺ.
Di dalam kitab Shahihain melalui hadits Syu'bah, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra ibnu Azib disebutkan bahwa seorang lelaki bertanya kepadanya, "Wahai Abu Imarah, apakah engkau lari meninggalkan Rasulullah ﷺ dalam Perang Hunain?" Al-Barra ibnu Azib menjawab, "Tetapi Rasulullah ﷺ tidak lari." Al-Barra melanjutkan kisahnya, "Sesungguhnya orang-orang Hawazin itu (musuh) adalah suatu kaum yang dikenal ahli dalam memanah. Ketika kami berhadapan dengan mereka dan menyerang mereka, maka mereka terpukul mundur. Maka pasukan kaum muslim menjarah harta rampasan, tetapi pasukan musuh menghadang kami dengan panah-panah mereka sehingga pasukan kaum muslim terpukul mundur.
Dan sesungguhnya aku melihat Rasulullah ﷺ bersama Abu Sufyan Ibnul Haris yang memegang tali kendali begal yang dikendarainya, sedangkan Nabi ﷺ mengucapkan: “Aku adalah nabi, tidak pernah dusta, aku adalah anak Abdul Muttalib.”
Menurut kami, dari kisah ini dapat ditarik kesimpulan keberanian Nabi ﷺ yang tak terperikan. Dalam situasi seperti itu di mana pertempuran sedang sengitnya pasukan beliau telah mundur dan lari meninggalkan dirinya. Tetapi beliau tetap berada di atas begal kendaraannya, padahal kendaraan begal tidak cepat larinya dan tidak layak untuk lari atau untuk menyerang, tidak layak pula untuk melarikan diri.
Sekalipun demikian, beliau memacunya menuju arah jantung musuh seraya mengisyaratkan nama dirinya, agar orang yang tidak mengenalnya menjadi kenal kepadanya, semoga salawat dan salam Allah dilimpahkan kepadanya sampai hari pembalasan. Sikap seperti itu tiada lain hanyalah karena percaya kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya, bahwa Allah pasti akan menolongnya dan akan menyempurnakan risalah yang diembannya, serta pasti meninggikan agama-Nya di atas semua agama lain. Karena itulah Allah ﷻ berfirman:
Ayat 26
“Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya.” (At-Taubah: 26)
Artinya, ketenangan dan keteguhan hati kepada Rasul-Nya.
“Dan kepada orang-orang yang beriman.” (At-Taubah: 26)
Yakni orang-orang mukmin yang bersamanya.
“Dan Allah menurunkan bala bantuan tentara yang kalian tidak melihatnya.” (At-Taubah: 26)
Mereka adalah para malaikat.
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepadaku Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari Auf (yaitu Ibnu Abu Jamilah Al-A'rabi) bahwa ia pernah mendengar Abdur Rahman maula Ibnu Bursun mengatakan, "Telah menceritakan kepadaku seorang lelaki yang bersama kaum musyrik dalam Perang Hunain. Ia mengatakan bahwa ketika kami berhadapan dengan sahabat-sahabat Rasulullah dalam Perang Hunain, para sahabat itu berperang dengan kami dalam waktu yang singkat.
Setelah kami berhasil memukul mundur para sahabat, maka kami mengejar para sahabat itu dari belakang, hingga sampailah kami kepada seseorang yang mengendarai begal putihnya. Ternyata dia adalah Rasulullah ﷺ sendiri. Ketika kami sampai di dekatnya, tiba-tiba kami dihadang oleh banyak kaum lelaki yang semuanya berpakaian putih dengan wajah yang tampan-tampan, lalu kaum lelaki itu berkata kepada kami, 'Semoga wajah-wajah itu terkena pasir, kembalilah kalian!' Maka pada akhirnya kami terpukul mundur, dan orang-orang itu menaiki pundak-pundak kami. Ternyata orang-orang tersebut adalah para malaikat."
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Hafiz, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ahmad ibnu Balawaih, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnul Hasan Al-Jurmi, telah menceritakan kepada kami Affan ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Al-Haris ibnu Hadirah, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Ibnu Mas'ud pernah menceritakan, "Aku bersama Rasulullah ﷺ dalam Perang Hunain, saat pasukan kaum muslim lari meninggalkan beliau. Ketika itu aku dan beliau ditemani oleh delapan puluh orang dari kalangan kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Kami maju menerjang musuh dan tidak membelakangi mereka (tidak lari). Orang-orang yang bersama Rasulullah ﷺ saat itu adalah orang-orang yang diturunkan ketenangan oleh Allah kepada mereka." Ibnu Mas'ud. melanjutkan kisahnya, "Saat itu Rasulullah ﷺ dengan mengendarai bagal pun menerjang musuh. Bagalnya miring sehingga Nabi ﷺ bergeser dari pelananya, maka aku katakan, 'Tegaklah kamu, semoga Allah menegakkanmu.' Nabi ﷺ bersabda, 'Ambilkanlah segenggam pasir untukku!' Maka aku mengambilnya, dan pasir itu beliau ﷺ gunakan untuk memukul wajah mereka, sehingga mata mereka dipenuhi pasir. Lalu Nabi ﷺ bersabda, 'Di manakah kaum Muhajirin dan kaum Anshar?' Aku menjawab, 'Di sana.' Nabi ﷺ bersabda, 'Serulah mereka!' Maka aku menyeru mereka, dan mereka segera datang dengan pedang-pedang yang ada di tangan kanan masing-masing, pedang mereka berkilauan bagaikan bintang-bintang meteor. Maka pasukan kaum musyrik lari membelakangi pasukan kaum muslim."
Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini di dalam kitab Musnad-nya melalui Affan dengan sanad yang sama dan lafal yang serupa.
Al-Walid ibnu Muslim mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Mubarak, dari Abu Bakar Al-Huzali, dari Ikrimah maula ibnu Abbas, dari Syaibah ibnu Usman yang menceritakan bahwa ketika ia melihat Rasulullah ﷺ di medan Perang Hunain dalam keadaan tidak bersenjata, maka ia teringat ayah dan pamannya yang telah dibunuh oleh Ali dan Hamzah. Maka ia berkata (kepada dirinya sendiri), "Sekarang aku mendapat kesempatan untuk melampiaskan dendamku kepadanya." Lalu ia pergi mendatangi Nabi ﷺ dari sebelah kanannya. Tiba-tiba ia berjumpa dengan Al-Abbas ibnu Abdul Muttalib yang sedang berdiri melindunginya dengan memegang tameng perisai putih, kilauan cahayanya seperti perak, menembus debu yang beterbangan. Maka ia berkata (kepada dirinya sendiri), "Al-Abbas adalah paman Nabi ﷺ, pasti beliau membelanya sampai mati." Lalu ia mendatangi Nabi ﷺ dari sebelah kirinya, tiba-tiba ia berjumpa dengan Abu Sufyan ibnul Haris ibnu Abdul Muttalib. Maka ia berkata, "Abu Sufyan adalah anak pamannya, pasti ia mempertahankannya sampai tetes darah penghabisan.” Kemudian ia mendatangi Nabi ﷺ dari arah belakangnya, sehingga jarak antara Nabi ﷺ dan dia cukup untuk memukulkan pedang kepadanya. Tetapi tiba-tiba muncullah kilatan api yang menghalang-halangi antara ia dan Nabi ﷺ seakan-akan seperti kilat yang menyambar sehingga ia mundur karena takut api itu mengenainya.
Kemudian ia meletakkan tangannya di matanya karena silau, lalu mundur. Saat itu Rasulullah ﷺ menoleh ke arahnya, lalu bersabda: “Wahai Syaibah, wahai Syaibah, mendekatlah kepadaku. Ya Allah, lenyapkanlah setan dari dirinya.” Syaibah ibnu Usman melanjutkan kisahnya, lalu ia mengangkat pandangannya ke arah Nabi ﷺ, dan pada saat itu juga ia merasakan bahwa Nabi ﷺ lebih ia cintai daripada pendengaran dan penglihatannya. Dan Nabi ﷺ bersabda memerintahkan kepadanya, "Wahai Syaibah, perangilah orang-orang kafir itu.”
Imam Baihaqi meriwayatkan hadits ini melalui Al-Walid, lalu ia mengetengahkan hal yang serupa. Imam Baihaqi meriwayatkan pula melalui hadits Ayyub ibnu Jabir, dari Sadaqah ibnu Sa'id ibnu Syaibah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia berangkat bersama Nabi ﷺ dalam Perang Hunain. Syaibah mengatakan, "Demi Allah, saya mau keluar bukanlah karena Islam, bukan pula karena mengetahui tentang Islam, tetapi saya sedang menunggu-nunggu kesempatan dengan harapan semoga orang-orang Hawazin menang atas kaum Quraisy." Aku (Syaibah) yang sedang dalam keadaan berdiri bersama Rasulullah ﷺ berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melihat kuda yang berwarna hitam keputih-putihan (abu-abu)," yakni pasukan berkuda yang semua warnanya abu-abu (pasukan malaikat).
Maka Nabi ﷺ bersabda: “Wahai Syaibah, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang dapat melihatnya kecuali orang kafir.” Maka Nabi ﷺ mengusapkan tangannya ke dadaku seraya berdoa, "Ya Allah, berilah hidayah kepada Syaibah." Nabi ﷺ mengusap dadaku kedua kalinya seraya berdoa, "Ya Allah, berilah Syaibah petunjuk." lalu mengusap dadaku lagi ketiga kalinya seraya berdoa, "Ya Allah, berilah Syaibah petunjuk.” Syaibah melanjutkan kisahnya, "Demi Allah, sebelum tangan beliau terangkat dari dadaku dalam usapannya yang ketiga, terasa dalam diriku bahwa tiada seorang pun dari makhluk Allah yang lebih aku cintai daripada Nabi ﷺ."
Kemudian Imam Baihaqi melanjutkan haditsnya yang menceritakan perihal bertemunya dua pasukan, terpukul mundurnya pasukan kaum muslim, lalu seruan Al-Abbas, dan doa Rasulullah ﷺ guna memohon pertolongan Allah hingga Allah ﷻ mengalahkan pasukan kaum musyrik.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Ishaq ibnu Yasar, dari orang yang menceritakan hadits ini kepadanya, dari Jubair ibnu Mut'im yang menceritakan, "Ketika kami bersama Rasulullah ﷺ dalam Perang Hunain, saat orang-orang bertempur dengan sengitnya, tiba-tiba aku melihat sesuatu seperti gumpalan hitam yang jatuh dari langit, lalu terjatuh di antara kami dan musuh. Tiba-tiba gumpalan itu menebarkan semut yang memenuhi lembah, maka tidak lama kemudian pasukan musuh pun terpukul mundur. Kami tidak meragukan lagi bahwa hal itu adalah para malaikat."
Sa'id ibnus Saib ibnu Yasar telah meriwayatkan dari ayahnya, bahwa ayahnya pernah mendengar Yazid ibnu Amir Asai, seseorang yang ikut dalam Perang Hunain bersama kaum musyrik, lalu masuk Islam sesudahnya, "Kami menanyakan kepadanya tentang rasa takut dan gentar yang ditimpakan oleh Allah ﷻ ke dalam hati orang-orang musyrik pada Perang Hunain.
Maka ia mengambil sebuah batu kerikil, lalu melemparkannya ke dalam sebuah piala, dan terdengarlah suara lentingan. Lalu ia berkata, 'Kami dahulu mendengar suara seperti ini terngiang-ngiang di telinga kami (saat Perang Hunain)'."
Dalam hadits terdahulu telah disebutkan syahid (bukti) yang menguatkannya yang diriwayatkan melalui Al-Fihri Yazid ibnu Usaid. Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan dari Muhammad ibnu Rafi', dari Abdur Razzaq, bahwa telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Hammam yang mengatakan bahwa berikut ini adalah hadits yang pernah diceritakan oleh Abu Hurairah kepada kami. Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku diberi pertolongan melalui rasa gentar (yang mencekam hati musuh) dan aku dianugerahi jawami'ul kalim.” Karena itulah Allah ﷻ berfirman:
Ayat 27
“Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kalian tidak melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang kafir, dan demikianlah pembalasan untuk orang-orang kafir.” (At-Taubah: 26)
“Sesudah itu Allah menerima tobat dari orang-orang yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 27)
Allah mengampuni sisa-sisa orang-orang Hawazin karena mereka pada akhirnya masuk Islam dan datang menghadap kepada Nabi ﷺ dalam keadaan menyerahkan dirinya. Mereka menyusul Nabi ﷺ yang saat itu telah berada di dekat Mekah, yaitu di Ja'ranah, sesudah kurang lebih dua puluh hari setelah Perang Hunain. Maka pada saat itu Rasulullah ﷺ menyuruh mereka memilih antara tawanan atau harta benda mereka. Akhirnya mereka memilih tawanan mereka yang jumlah seluruhnya ada enam ribu orang termasuk anak-anak dan wanitanya.
Lalu Rasulullah ﷺ mengembalikan para tawanan itu kepada mereka, dan membagi-bagikan ganimah kepada kaum muslim yang ikut dalam perang itu. Bahkan Nabi ﷺ memberikan hadiah kepada sejumlah orang dari golongan orang-orang Tulaqa (mereka yang dibebaskan) untuk menjinakkan hati mereka agar mau masuk Islam. Rasulullah ﷺ memberi masing-masing dari mereka sebanyak seratus ekor unta. Termasuk di antara yang beroleh hadiah itu adalah Malik Ibnu Auf' An-Nadri. Kemudian Nabi SAW, mengangkatnya menjadi pemimpin kaumnya seperti keadaan semula. Maka Malik memuji Nabi ﷺ melalui kasidah gubahannya yang antara lain adalah sebagai berikut:
“Aku belum pernah melihat dan belum pernah mendengar di kalangan manusia seluruhnya orang seperti Muhammad.
Dia adalah orang yang selalu menepati janjinya dan selalu memberi dengan pemberian yang berlimpah bila memberi;
dan jika dia menghendaki, ia dapat menceritakan kepadamu apa yang akan terjadi di masa mendatang.
Dan apabila pasukan melemparkan tombak-tombaknya dan memukulkan pedang-pedangnya, maka dia bagaikan singa yang berada di tengah-tengah anak-anaknya di tengah medan perang, selalu waspada dan mengincar musuhnya.”
Ayat yang lalu menegaskan tentang larangan menjadikan orangorang kafir sebagai waliy yang biasanya disebabkan oleh kecintaan berlebihan kepada hal-hal duniawi sehingga iman menjadi tidak kukuh, maka ayat ini menunjukkan bukti nyata betapa kekuatan duniawi tidak lantas menjadikan umat mukmin memperoleh kemenangan. Sungguh, Allah telah menolong kamu, wahai kaum mukminin, di banyak medan perang ketika kamu lemah dan musuhmu kuat, dan ingatlah Perang Hunain, ketika itu jumlahmu yang besar telah membanggakan kamu, sebab kamu merasa tidak akan bisa dikalahan, sehingga kamu terlena, namun ternyata jumlah yang banyak itu sama sekali tidak berguna bagimu, sebab kenyataannya kamu dapat dikalahkan; dan akibat serangan musuh yang mendadak dan bertubi-tubi itu menjadikan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian serangan itu juga menjadikan kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang-langgang meninggalkan Rasulullah dan sahabat-sahabat yang masih setia mendampingi beliau. Pada Perang Hunain, mulanya kaum muslim mengalami kekalahan, namun kemudian atas rahmat Allah, Dia menurunkan ketenangan berupa keimanan yang tulus dan kukuh, kepada Rasul-Nya dan kepada orangorang yang beriman, sehingga mereka mampu mengatasi masalah yang sangat berat saat itu, dan Dia menguatkan pasukan kaum mukmin yang tersisa itu dengan menurunkan bala tentara dari para malaikat yang tidak terlihat olehmu; dan sebagai hukuman, Dia menimpakan azab kepada orang-orang kafir melalui penawanan, pembunuhan, perampasan perang, dan lain-lain. Itulah balasan bagi orang-orang kafir yang menutupnutupi kebenaran Ilahi dan bahkan menentangnya.
Ayat ini menerangkan bahwa kaum Mukminin mendapat banyak pertolongan dari Allah dalam peperangan menghadapi kaum musyrik yang menghalang-halangi tersiarnya agama Islam. Pertolongan itu berupa kemenangan yang sempurna, cepat maupun lambat, seperti Perang Badar yang mendapat kemenangan yang besar, dan Perang Hunain yang pada mulanya kalah kemudian menang. Pada Perang Hunain itu jumlah tentara kaum Muslimin sangat banyak, sedang tentara orang kafir dalam jumlah yang lebih kecil dari tentara kaum Muslimin. Dengan jumlah tentara yang banyak itu kaum Muslimin merasa bangga, dan merasa tidak akan dapat dikalahkan, tetapi kenyataan tidak demikian. Kaum Muslimin dipukul mundur oleh orang kafir, seolah-olah tentara yang banyak, harta, serta persiapan perang yang demikian lengkapnya tidak berguna sedikit pun, sehingga bumi yang luas ini terasa sempit dan menyebabkan mereka mundur dan lari dalam keadaan bercerai-berai.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, al-Baihaqi dan lain-lain dari Aktsam bin Aljan bahwa Perang Hunain itu terjadi pada tahun kedelapan Hijri, sesudah pembebasan Mekah, di suatu tempat yang bernama Hunain, suatu lembah terletak antara Mekah dengan Taif. Tentara kaum Muslimin berjumlah 12.000 orang, sedang tentara orang kafir 4.000 orang saja. Pada peperangan ini kaum Muslimin mengalami kekalahan dan terpaksa mundur, tetapi akhirnya turunlah pertolongan Allah dan kaum Muslimin memperoleh kemenangan.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari al-Barra' bin 'Azib r.a. yang menggambarkan suasana Perang Hunain, yaitu: Seorang laki-laki dari Qais bertanya, "Hai Abu 'Imarah, apakah kamu turut meninggalkan Rasulullah pada Perang Hunain?" Abu 'Imarah menjawab, "Rasulullah tidak lari sekalipun orang-orang Hunain dengan para pemanah yang jitu, dapat melancarkan serangannya, tetapi masih dapat kami lumpuhkan. Pada waktu kaum Muslimin sedang memperebutkan harta rampasan, maka musuh menghujani mereka dengan anak panah, sehingga kaum Muslimin menderita kekalahan dan musuh mendapat kemenangan. Pada waktu itu aku lihat Rasulullah ﷺ berkuda tampil kemuka sambil mengatakan dengan gagah berani, "Akulah Nabi, anak Abdul Muthalib, jangan ragu, Ya Allah turunkanlah pertolongan-Mu.".
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 25
“Sesungguhnya, Allah telah menolong kamu di medan perang yang banyak."
Menurut setengah riwayat, ayat ini diturunkan sesudah Rasulullah ﷺ kembali dari Perang Tabuk, dan dibacakan di muka umum saat haji tahun kesembilan di bawah pimpinan Abu Bakar itu. Ini diperingatkan kepada kaum Muslimin, yang berarti: bukankah telah berkali-kali kamu ditolong Allah di dalam peperangan karena cintamu telah kamu tumpahkan kepada Allah? Cobalah hitung kembali berapa kali peperangan kamu dimenangkan Allah. Baik perang besar sebagai Perang Badar, Uhud, Khandaq, Perdamaian Hudaibiyah, pengusiran Yahudi Bani Nadhir, penghukuman Yahudi Bani Quraizhah, Perang Khaibar, Futuh (Penaklukan) Mekah, Perang Mu'tah, Dzatis-Sala-sil, Perang Tabuk, dan lain-lain. Dan juga pada Peperangan Hunain, Allah pun tetap menolong kamu.
Lalu diisyaratkan, Allah kembali untuk dikenangkan bagaimana kejadian pada Pepe-rangan Hunain itu."Dan di hari Peperangan Hunain pun." Demikian kata firman Allah, di Peperangan Hunain itu pun kamu diberi kemenangan juga: “Seketika kamu dijadikan bangga oleh banyak bilangan kamu. Maka tidaklah dia berguna bagi kamu sedikit pun." Artinya, tidaklah berguna banyak bilangan yang menyebabkan kamu bangga itu, bahkan “dan menjadi sempitlah bumi yang begitu luasnya atas kamu," padahal kamu banyak.
“Kemudian itu kamu pun berpaling dalam keadaan …"
Penjelasan ayat: di segala medan perang yang telah pernah kamu tempuh, lantaran cin-tamu telah kamu bulatkan kepada Allah, maka Allah selalu menolongmu. Bahkan di Perang Hunain pun kamu ditolong juga, padahal kamu telah nyaris kalah dalam peperangan itu. Yang menyebabkan kamu nyaris kalah ialah karena kamu telah dipesona oleh banyak bilangan kamu. Kemudian setelah berhadap-hadapan dengan musuh, ternyatalah bahwa banyak bilangan yang kamu banggakan itu tidak menolong sama sekali. Malahan bumi yang begitu luasnya telah menjadi sempit karena kamu telah diburu oleh musuh, maka kamu pun telah kehilangan akal, bumi yang luas jadi sempit, sampai ada yang lari tunggang-langgang, artinya mundur. Sungguh pun begitu keadaan kamu pada waktu itu, namun akhirnya Allah menolong kamu juga. Datangnya pertolongan
itu dijelaskan pada ayat berikutnya.
Ayat 26
“Kemudian itu Allah menurunkan ketenangan ke atas Rasul-Nya dan ke atas orang-orang yang beriman, dan Dia pun menurunkan balatentara yang tidak kamu lihat akan dia, dan Dia pun menyiksa orang-orang yang kafir itu."
Artinya, akhirnya kafir-kafir itu dikalahkan juga oleh Allah. Peperangan Hunain telah terjadi sesudah penaklukan Mekah. Setelah Mekah takluk dan berhala-berhala sudah diruntuhkan, rupanya sisa-sisa musyrikin yang merasa dirinya masih kuat buat melawan, telah berkumpul. Kota ketiga yang besar di Hejaz ketika itu ialah Thaif. Ke sana berkumpul dua kabilah yang besar, yaitu Kabilah Tsaqif dan Kabilah Hawazin. Mereka bersepakat bahwa merekalah pertahanan penyembah berhala yang paling akhir. Walaupun Quraisy telah takluk, mereka tidak hendak takluk. Pemuka mereka ialah Malik bin Auf yang terkenal gagah berani. Dan seorang pemimpin lagi yang sangat andal dalam perang berkuda ialah Duraid bin ash-Shummah. Malik bin Auf memang seorang yang gagah, tetapi kurang siasat. Semangat saja yang berkobar. Dia memerintahkan supaya seluruh kaumnya tampil ke medan perang. Dan supaya dibawa pula serta dalam perang itu istri-istri mereka, anak-anak, dan seluruh harta benda, emas, perak, dan binatang ternak. Maksud Malik bin Auf ialah supaya mereka bersemangat mempertahankan seluruh kekayaan yang ada tersebut dan jangan lari menghadapi tentara Muhammad ﷺ.
Kawannya Duraid membantah perintah itu pada mulanya. Dia mengatakan bahwa cara yang begitu tidak berfaedah, bahkan berbahaya. Karena kalau kalah, semuanya itu akan menjadi harta rampasan yang gemuk bagi musuh. Sedang kalau hendak menang, bukanlah istri yang berguna dan bukan pula unta atau emas perak, melainkan senjata! Tetapi ucapan Duraid itu tidak dipedulikan oleh Malik. Oleh sebab itu, diangkutlah seluruh kekayaan dan seluruh keluarga ke medan perang.
Dengan perantaraan mata-mata yang dikirim Rasul ﷺ ke daerah itu dapatlah berita bahwa gabungan Hawazin dan Tsaqif, di bawah komando Malik bin Auf telah bergerak. Sangat besar pasukan tentaranya, bahkan mereka membawa anak istri dan ternak ke-kayaan mereka beribu-ribu unta, beratus ribu kambing. Sangat dahsyat. Setelah laporan ini disampaikan kepada Rasulullah ﷺ Beliau pun tersenyum dan berkata, “Insyaa Allah be-sok seluruh kekayaan itu akan menjadi ghanimah bagi kaum Muslimin."
Maka berangkatlah bala tentara Islam dari Mekah lebih dari 12.000 orang. Dan telah menggabung pula beberapa ribu orang Mekah yang baru masuk Islam itu, sehingga telah menjadi tentara besar.
Perasaan tentara Islam ketika berangkat adalah sedikit abai. Abu Bakar sendiri pun nyaris lalai melihat banyak bilangan itu, sehingga terloncat dari mulutnya, “Kita tidak akan dapat dikalahkan lagi, lantaran sedikit." Artinya bahwa bilangan kita sekarang telah banyak, lebih dari 12.000 orang. Sedang yang lain pun seakan-akan ada perasaan begitu. Hawazin dan Tsaqif akan dapat kita kalahkan. Sedangkan Quraisy yang lebih kuat telah kita kalahkan. Apalagi orang-orang Mekah yang baru beberapa minggu saja memeluk Islam, dengan besar hati ikut pergi perang sebab merasa tidak akan kalah dan akan mendapat banyak laba harta rampasan karena menurut Muhammad ﷺ. Maka, berangkatlah tentara besar itu meninggalkan Mekah menuju negeri orang Hawazin dan Tsaqif itu. Di tengah perjalanan di sebuah Wadi yang bernama Hunain, rupanya pihak musuh telah menunggu di bawah pimpinan Malik bin Auf. Di sana ada sebuah jalan sempit yang di kiri kanannya ada bukit-bukit. Tentara mesti melalui tempat itu baru dapat langsung ke sebelah. Jalan lain tidak ada. Malik bin Auf dan tentaranya telah menanti di lereng-lereng bukit yang sangat strategis itu. Setelah tentara Islam masuk semuanya ke jalan di lembah sempit itu, maka dengan serentak mereka dilempari dan digolongkan batu-batu besar serta diserang dengan tombak dan anak panah. Timbullah satu kegugupan luar biasa karena serangan yang sangat tiba-tiba itu sehingga kacau balau. Yang sangat terkejut dan gugup ialah orang-orang baru yang menggabungkan diri dari Mekah itu. Karena mereka pun banyak lebih dari seribu orang, kegugupan mereka itu menjalar laksana aliran listrik kepada yang lain-lain sehingga dengan tidak tahu-menahu apa sebabnya, yang lain pun telah turut lari pontang-panting.
Timbul panik dan kegugupan luar biasa sehingga barisan-barisan yang tadinya teratur menjadi kucar-kacir dan berderai-berai. Dalam kesempatan inilah orang-orang Malik bin Auf menyerbukan kuda-kuda mereka dengan keras sehingga pasukan yang telah cerai-berai itu bertambah kocar-kacir, dan lari.
Tiba-tiba, saat itu timbul kembali kegembiraan pemimpin-pemimpin Mekah yang disebut thulaqa' itu. Malahan Abu Sufyan sendiri tidaklah lupa sejarah mencatat apa per-kataannya pada waktu itu. Dengan gembira dia berkata, “Tidak akan terhenti mereka lari, sebelum sampai di tepi laut!"
Kaidah bin Junaid pun berkata, “Mulai hari ini segala sihir Muhammad sudah batal."
Namun, kawannya, Shafwan bin Umaiyah, yang saat itu masih musyrik menjawab, “Diam kau, disumbat Allah mulutmu! Bagiku dipimpin seorang Quraisy (Muhammad), lebih baik daripada dipimpin oleh seorang Hawazin."
Rasulullah ﷺ segera melihat bala tentaranya yang telah kucar-kacir dan lari pontang-panting itu. Akan tetapi, beliau sekali-kali tidak hilang akal. Beliau segera menyisih ke tepi sebelah kanan, dan muka beliau kelihatan sangat marah. Apatah lagi setelah beliau lihat seorang pembawa bendera dari Hawazin naik unta merah membawa bendera hitam sedang mengejar orang-orang yang lari. Beliau tidak gugup sama sekali dan beliau mengerti bahwa kehancuran sekali ini adalah kehancuran segala kemenangan yang telah lalu, sedangkan yang terbirit-birit lari ini berasal dari orang-orang baru Mekah yang disebut thulaqa' itu, yaitu yang dibebaskan dari perhambaan dan tawanan ketika Mekah ditaklukkan.
Kemudian, beliau berkata dengan suara lantang bercampur marah, “Wahai manusia! Jangan lari, mari berkumpul kepadaku. Aku adalah Rasulullah, aku adalah Muhammad anak Abdullah!" Tetapi yang lari masih lari juga. Ketenangan beliau menghadapi keadaan yang kacau-balau itu sangat besar kesannya kepada keberanian para sahabat yang lain, terutama kaum keluarganya yang dekat, yaitu Ali bin Abi Thalib dan Abbas bin Abdul Muthalib dan beberapa orang Muhajirin yang menurut riwayat Ibnu Mas'ud semuanya ada kira-kira delapan puluh orang.
Semua yang berdiri di keliling Rasulullah ﷺ itu menunggu apa yang akan diperintahkan Rasulullah ﷺ kepadanya, dan semua menjadi yakin bahwa mereka tidak akan kalah, sebab melihat wajah Rasulullah ﷺ yang benar-benar menunjukkan sikap Panglima Perang Tertinggi. Lalu beliau perintahkan pamannya, Abbas, bersorak, sebab suaranya lantang dan keras, “Panggil Anshar! Panggil sekalian yang telah berbaiat dengan daku di Hudaibiyah!"
Maka dalam gelombang kegugupan dan pontang-panting itu, kedengaranlah suara lantang Abbas, “Wahai sekalian Anshar! Wahai sekalian yang turut berbaiat di Hudaibiyah! Rasulullah ﷺ memanggil kamu sekalian! Marilah kemari!"
Diulang-ulangnya seruan itu beberapa kali. Apabila terdengar seruan itu oleh sekalian yang merasa dirinya terlingkung dalam seruan itu, yaitu gelar-gelar kehormatan dan peringatan pengorbanan yang telah pernah mereka tempuh, mereka pun bersorak pula menjawab, “Labbaik, labbaik, Ya Rasulullah, di sini kami. Kami segera datang!"
Dan memang datanglah mereka, datang satu, datang dua, akhirnya berduyun datang mengelilingi Rasulullah ﷺ. Dengan demikian, terkumpullah kembali inti tentara Rasulullah ﷺ, yang telah menempuh pahit getir perjuangan bersama beliau. Ada seratus orang yang telah berkumpul. Orang-orang Anshar dan Muhajirin itu telah berkumpul di sekeliling Nabi, dan segeralah mereka mendapat perintah beliau, “Serbu!" Maka menyerbulah Ali bin Abi Thalib bersama seorang sahabat Anshar. Yang menjadi tujuan mereka ialah pembawa bendera hitam kaum musyrikin itu yang tali sudah kelihatan menaiki unta merah. Ali memukul kepala unta dan sahabat Anshar menikamkan tombaknya kepada pembawa bendera itu. Karena kerasnya tancapan tombak, dia pun terjatuh dari unta dan bendera hitam itu dapat direbut.
Dengan jatuhnya pembawa bendera dan bendera dapat dirampas, maka semangat kaum Muslimin pun pulih kembali sedang semangat kaum musyrikin menjadi patah, dan penuhlah medan perang itu digemari oleh tempik-sorak tentara pilihan yang ada di sekeliling Rasulullah ﷺ. Keadaan telah berkisar secepat kilat. Hawazin dan Tsaqif sekarang yang gugup. Dalam kegugupan mereka itu, bertambah bertubilah serangan tentara pilihan Nabi ﷺ tadi, inti-inti Muhajirin dan Anshar. Tentara pilihan Nabi ﷺ itulah sekarang yang mengerjar musuh dan musuhlah yang lari kocar-kacir. Melihat keadaan yang demikian, segala tentara Islam yang telah lari kocar-kacir tadi, timbul pula semangatnya kembali dan mereka pun turutlah mengejar musuh.
Nabi kita ﷺ yang tegak mengatur peperangan lalu mengambil sekepal tanah dengan tangan beliau yang mulia. Lalu, sekepal tanah itu beliau lemparkan ke jurusan musuh yang mulai lari itu, sambil beliau katakan, “Kalahlah kalian! Demi Allah yang menguasai Muhammad!"
Kepala perang pihak musuh, Malik bin Auf melihat benderanya telah jatuh karena tewas pembawanya, tidaklah dapat lagi menguasai perasaan cemasnya, dia pun telah gugup. Dia pun lari dengan beberapa orang pengikutnya, lari terus, pulang ke Thaif. Ditinggalkannya tentara yang telah kocar-kacir itu beserta kekayaan yang tiada terpermanai banyaknya, menjadi ghanimah hidangan empuk bagi kaum Muslimin. Tidak kurang dari 25.000 ekor unta, 60 ekor kambing, 4.000 uqiyah emas-perak, dan 6.000 orang tawanan.
Bertemulah apa yang telah dikatakan Rasulullah ﷺ semalam sebelumnya bahwa semuanya besok akan jadi ghanimah kaum Muslimin.
Lebih dari sepuluh hari Rasulullah ﷺ menunggu kalau-kalau mereka akan kembali meminta tobat dan memohon ampun lalu masuk Islam. Tetapi mereka tidak juga datang. Malik bin Auf tidak berani datang lagi. Lantaran mereka tidak datang itu, beliau bagi-bagilah seluruh harta rampasan itu, bukan kepada tentara inti yang telah berkumpul di sekeliling beliau tatkala yang lain sudah pada lari, bukan kepada Muhajirin dan Anshar yang telah mengiringkan beliau dari Madinah, tetapi kepada orang-orang baru masuk setelah Mekah ditaklukkan itu, yang pontang-panting lari seketika terkejut atas serangan pertama Hawazin dan Tsaqit tadi. Abu Sufyan sendiri mendapat 100 ekor unta, putranya Mu'awiyah 100 ekor unta pula, putranya yang seorang lagi, Yazid, 100 ekor unta pula.
Yang lain dan yang lain lagi, yang 50 ekor unta, yang 25, dan yang 100 ekor kambing. Angkat semua, bawa semua! Maka berduyun-duyunlah mereka, dengan tidak tahu malu meminta bagian, malahan ada seorang badui yang menarik-narik sehelai kain tenunan Najran yang sedang diperselendang oleh Nabi saw, sendiri. Sampai beliau berkata, “Hai manusia! Kembalikan selendangku! Demi Allah yang memegang diriku dalam tangan-Nya, jikalau adalah padaku sebanyak pohon kayu di Tihamah nikmat yang diberikan Allah kepadaku, pastilah dia akan aku bagikan kepadamu semuanya. Kamu telah mengetahui sejak dahulu, aku ini bukanlah seorang yang bakhil, bukan pula seorang pengecut dan bukan seorang pendusta."
Begitu banyaknya harta benda, tidak ada bagian untuk Anshar sehingga sudah timbul bisik-bisik apakah gerangan Rasulullah ﷺ akan tinggal tetap di Mekah dan tidak akan kembali ke Madinah lagi.
Abu Said al-Khudri salah seorang terkemuka dari kalangan Anshar meriwayatkan bahwa setelah bisik desus begini kedengaran, tampillah seorang pemuka Anshar, Sa'ad bin Ubadah maju ke hadapan Rasulullah ﷺ, lalu menyebut apa yang terasa di hatinya, “Rasulullah saw! Inilah kaum Anshar ada merasa sesuatu dalam hatinya terhadap engkau. Mereka ingin penjelasan." “Soal apa?" tanya Rasulullah ﷺ.
“Soal pembagian harta rampasan kepada kaum engkau dan sekalian kabilah Arab, tetapi Anshar tidak diberi bagian sedikit jua pun."
“Engkau sendiri bagaimana pendirianmu dalam soal ini?" tanya Rasulullah ﷺ pun kepada Sa'ad.
Sa'ad yang penuh rasa tanggung jawab itu lalu menjawab, “Saya tidak terlepas dari ikatan kaumku."
Maka bersabdalah Rasulullah ﷺ, “Suruhlah kaummu berkumpul sekarang kemari!"
Perintah Rasul itu dijalankan oleh Sa'ad sehingga tidak ada seorang pun yang ketinggalan. Datang berkumpul ke hadapan Rasul ﷺ Maka berkatalah Sa'ad, “Semuanya telah berkumpul, ya Rasulullah. Tak ada yang ketinggalan lagi."
Maka, tampillah Rasulullah ﷺ ke hadapan mereka, beliau berpidato, beliau mulai de-ngan memuji Allah menurut semestinya. Kemudian beliau berkata, “Hai sekalian Anshar, bukankah aku telah datang kepada kamu dan aku dapati kamu dalam sesat, lalu Allah memberimu petunjuk? Kamu dahulunya melarat, lalu Allah menjadikan kamu kaya raya semua! Kamu dahulunya bermusuh-musuhan di antara yang satu dengan yang lain, lalu hati kamu diikat Allah jadi satu. Bukankah begitu?"
Semuanya serentak menjawab, “Benar, ya Rasulullah ﷺ!"
“Jawablah yang benar, hai sekalian Anshar!"
“Apa lagi yang hendak kami katakan, ya Rasulullah, Semuanya adalah atas kurnia Allah dan Rasul-Nya."
“Kamu bebas buat mengatakan dan perkataanmu itu pun akan dibenarkan orang. Katakanlah terus terang."
“Engkau datang ke negeri kami sebagai orang terusir, lalu kami sambut. Engkau orang terlantar, lalu kami bujuk. Engkau sedang dalam bahaya, lalu kami lindungi engkau. Engkau dalam kekecewaan, kamilah yang membela engkau."
Mereka menjawab, “Semuanya dari kurnia Allah dan Rasul-Nya."
“Mengapa ada syak-wasangkamu kepadaku, wahai sekalian Anshar? Hanya dalam urusan dunia yang remeh-temeh, yang jadi rebutan kaum yang baru masuk Islam, lalu kamu lupa mengingat nikmat besar yang telah dianugerahkan Allah kepada kamu, yaitu nikmat Islam? Apakah kamu tidak suka, wahai seluruh Anshar, jika manusia-manusia itu pulang ke tempat mereka masing-masing menghela kambing-kambing dan unta, sedang kamu sekalian akan kembali ke Madinah ber-sama-sama dengan Rasulullah saw? Demi Allah yang kendali diriku ada dalam tangan-Nya! Kalau manusia menempuh satu lembah dan Anshar menempuh lembah yang lain, namun aku akan tetap menempuh jalan yang ditempuh Anshar. Kalaupun bukan karena hijrah ini, aku tetap bersama Anshar.
Ya Allah, kasihanilah oleh-Mu, kaum Anshar, dan anak-anak orang Anshar dan turun-an-turunan seterusnya dari orang Anshar.... Amin!"
Air mata Rasulullah ﷺ berlinang dengan tidak dirasakan dan semua hadirin pun tidak dapat menahan air mata lagi sehingga basahlah janggut-janggut mereka oleh air mata yang mengalir turun.
“Biarlah kami pulang tidak membawa apa-apa. Rasulullah, ialah kekayaan yang tidak tepermanai oleh kami."
Inilah pula alasan ketika ajal Rasulullah ﷺ sampai dua tahun setelah Perang Hunain, dibicarakan di mana jenazah beliau akan dimakamkan. Ada yang berpikir lebih baik di-bawa ke Mekah, tanah kelahirannya. Kemudian ditetapkan dikuburkan saja di tempat di mana beliau mengembuskan napasnya yang penghabisan, yaitu bumi Madinah.
Dalam hal ini tidak pula ada yang akan menimbulkan keraguan apa-apa terhadap diri beliau. Sebab ketika pulang ke Madinah itu, tidak ada pula agak satu ekor unta atau satu keping emas yang beliau bawa untuk dirinya.
Kekalahan Tsaqif dan Hawazin yang sangat besar ini, terutama dengan tertawannya sebanyak 6.000 orang adalah karena kesalahan dan kecerobohan pemimpin mereka Malik bin Auf jua. Licin tandas kekayaan dan tertawan orang. Akhirnya, mereka mengambil ke-putusan mengirim utusan kepada Rasulullah ﷺ meminta ampun dan tobat dan meminta belas kasihan beliau.
Maka datanglah utusan itu menghadap Rasulullah ﷺ di Jfranah dan mengakui bahwa mulai saat itu mereka akan tobat. Mereka memohon dengan hati sedih, “Ya Rasulullah! Engkau telah tahu, kami telah ditimpa malapetaka sangat besar, hancur harta kekayaan kami, tertawan sebagian besar anggota keluarga kami. Karuniailah kiranya kami belas kasihanmu, wahai Utusan Allah, semoga Allah pun memberikan kurnia-Nya bagi engkau!"
Di antara mereka yang jadi utusan itu terdapat seorang ahli pidato dan penyair, yang pandai menggetarkan hati orang dengan pidato atau bersyair berhiba-hiba, namanya Zubair bin Shard.
Maka berpidatolah dia dengan kata yang sungguh-sungguh dan penuh keharuan, diha-dapkannya kepada junjungan kita Muhammad ﷺ, di antara isi pidatonya:
“Ya Utusan Allah! Di antara 6.000 orang keluarga yang tertawan itu terdapat juga saudara ibu tuan sendiri dan saudara ayah tuan sendiri, demikian juga beberapa perempuan yang pernah mengasuh menggendong tua semasa tuan masih kecil, di dalam tuan sarat menyusu. Lepaskanlah mereka itu, wahai orang yang budiman. Siapakah lagi tempat kami menggantungkan harapan, kalau bukan Tuan."
Kabilah Hawazin memang satu kabilah besar. Bani Sa'ad adalah satu cabang belahan dari Bani Hawazin. Dari kabilah Bani Sa'ad itu pun banyak yang tertawan, di antaranya menurut satu riwayat ialah saudara sepersu-suan dengan Rasulullah ﷺ, yang bernama asy-Syaimaa anak perempuan dari Halimah yang menyusukan Rasulullah ﷺ di waktu kecil itu. Ada juga riwayat lain mengatakan bahwa ibu yang menyusukannya itu, Halimah as-Sa'diyah pun turut tertawan. Ketika itu beliau sudah sangat tua. Sedang Rasulullah ﷺ sendiri waktu itu sudah 60 tahun usianya. Seketika ibu yang menyusukannya itu dibawa orang datang ke hadapan beliau, diciumnya ibunya itu, jelas terharu beliau melibat orang tua itu, sehingga beliau hamparkan rida' beliau sendiri ke tanah, disuruhnya orang tua itu duduk di atasnya. Beliau sandarkan kepalanya ke atas dada perempuan tua itu.
Beliau terkenang bahwa sejak usia beberapa bulan, sampai usia 4 tahun, perempuan itulah yang menyusukan dan mengasuhnya.
Dengan datangnya utusan-utusan Hawazin memohon ampun dan tobat dan menyatakan diri memeluk Islam itu, amat terharulah beliau, Lalu, beliau suruh berkumpul orang-orang yang telah membagi-bagikan 6.000 tawanan itu. Beliau minta supaya mereka sudi membebaskan kembali orang-orang yang telah ditawan itu dengan tidak meminta uang tebusan, sebab harta penebus sudah tidak ada lagi pada Hawazin, Utusan Hawazin pun tidak pula meminta lagi harta benda mereka yang telah menjadi ghanimah perang itu.
Dengan segenap kasih mesra, permohonan mereka dikabulkan. Kemudian kata beliau, “Segala tawanan yang telah jatuh ke dalam kekuasaan kaumku, Bani Hasyim, dengan ini kami nyatakan bahwa semuanya kami merdekakan kembali dan boleh pulang ke kampung halamannya dengan tiada tebusan."
Mendengar bahwa Rasulullah ﷺ telah menyebut Bani Hasyim, dan tidak pula ada se-orang pun dari Bani Hasyim yang menyalahi perintah beliau itu, baik Abbas ataupun Ali bin Abi Thalib, kabilah-kabilah yang lain pun menurutlah kepada teladan yang demikian. Semuanya memerdekakan tawanannya. Hawazin pun pulanglah kembali ke kampung halamannya dan menjadi orang-orang Islam yang baik.
Untuk menyempurnakan tafsir ayat ini, di sini kita salinkan sebuah hadits yang dirawi-kan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya, yaitu hadis Syu'bah dari Abu Ishaq, dari al-Bara',
“Hai Abu Ammarah! (gelar al-Sara'), apakah engkau lari pula dari sisi Rasulullah saw, di Peperangan Hunain?"
Menjawab al-Bara', “Tetapi Rasulullah saw, tidak lari. Hawazin adalah satu kaum yang amat pandai memanah. Tatkala kami telah berhadapan dengan mereka dan kami serbu mereka, nyarislah mereka kalah. Tetapi orang-orang sudah mulai berebut-rebut harta rampasan. Tiba-tiba mereka hujanilah kami dengan anak panah sehingga kocar-kacirlah orang-orang yang berebutan harta rampasan itu, simpang-siur melarikan diri. Tetapi saya lihat sendiri, Rasulullah saw,. Abu Sufyan al-Harits memegang kekang baghal beliau yang putih itu. Dan beliau berkata, ‘Saya adalah Nabi Allah, bukan bohong. Saya adalah anak Abdul Muthalib."‘
Berkata al-Bara' selanjutnya, “Ini adalah betul-betul suatu sikap yang gagah berani dan yang amat sempurna. Padahal beliau pada waktu itu sudah berada di tengah-tengah medan perang dan pertahanan tentaranya sudah mulai hancur, sedang beliau berada di atas baghal, sedang baghal tidaklah kencang kalau lari, dan tidak pula pantas dikerahkan buat lari atau mundur dengan siasat atau untuk lari karena ketakutan. Sudah demikian keadaan (situasi) di waktu itu, namun beliau masih menghadapkan haluan baghalnya ke muka menghadapi musuh, dan beliau pun bersorak dan suara yang lantang mengatakan siapa dia bahwa dia adalah nabi, dan dia adalah anak Abdul Muthalib, supaya tahu barangsiapayang tahu beliau. Sebab itu, shalawat dan salam tetaplah untuk beliau sampai hari Kiamat! Dan sama sekali ini tidak akan kejadian, kalau bukan karena sangat percaya kepada Allah dan tawakal, dan tahu bahwa Allah pasti menolongnya dan menyempurnakan janji kepadanya, sebab Allah telah mengutusnya, agar menanglah agama yang dibawanya, mengatasi segaia agama. Itulah sebabnya maka Allah berfirman dalam ayat ini: “Kemudian itu Allah menurunkan ketenangan ke atas Rasul-Nya." Artinya, ditenteramkan hatinya dan diturun-kan kepadanya ketetapan hati, “dan ke atas orang-orang yang beriman," yaitu orang-orang yang ada beserta beliau di waktu itu."Dan Dia pun menurunkan bala tentara yang tidak kamu lihat akan dia,"yaitu para malaikat.
Tentang tentara yang tidak kelihatan itu adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Abu Ja'far bin Jarir ath-Thabari, mengatakan kepadaku al-Hasan bin Arafah, mengatakan kepadaku al-Mulamar bin Sulaiman, diterimanya dari Auf, dan Auf ini ialah anak saudara Jamilah. Jamilah ini berkata: saya mendengar dari Abdurrahman maulaa dari Ibnu Bartsan bahwa dia ini menerima kabar dari seorang laki-laki kaum musyrikin yang turut hadir dalam Peperangan Hunain itu. Musyrikin itu berkata, “Tatkala kami telah berhadap-hadapan dengan sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ di Peperangan Hunain itu, tidaklah mereka berikan lagi kami kesempatan buat memerah susu kambing kami. Tetapi setelah kami mendesak mereka, mereka pun kocar-kacir lari simpang-siur, lalu kami kejar terus sehingga sampailah kami berhadapan dengan seorang yang tengah mengendarai ba-ghalnya yang berwarna putih. Muka mereka berseri-seri. Mereka berkata kepada kami, ‘Buruklah muka kalian, ayo, kembali!' Kami tidak bisa maju lagi, bahkan kami pun lari dan kalah, sampai orang-orang putih itu terasa menunggang bahu kami."
Pada waktu itulah yang tepat dapat kita pahamkan lanjutan ayat, yaitu “Dan Dia pun menyiksa orang-orang yang kafir itu." Yaitu disiksa dengan kekalahan, kegugupan, dan lari habis pontang-panting, sampai harta benda mereka yang berpuluh ribu ekor unta, kambing dan emas perak itu habis menjadi harta rampasan kaum Muslimin, sehingga tertawan pula 6.000 orang, perempuan dan anak-anak.
“Demikianlah balasan atas orang-orang yang kafir."
Mereka yang tadinya merasa akan menang, ternyata ditimpa kekalahan yang sangat telak. Lain tidak sebabnya karena mereka terlalu sombong dengan kekuatan dan angkuh dengan sebab kepandaian memanah. Mereka sangka akan kocar-kacirlah tentara Islam karena mundur dan paniknya yang pertama. Tidak mereka sangka bahwa mereka akan berha-dapan dengan kegagahperkasaan Rasulullah ﷺ maka ganjaran yang sangat hinalah yang mereka terima.
Ayat 27
“Kemudian Allah pun membelikan tobat-Nya, sesudah demikian ke atas barangsiapa yang Dia kehendaki."
Artinya, kemenangan diberikan Allah juga, setelah Allah menurunkan sakinah ke dalam hati Rasul ﷺ dan orang-orang yang beriman sehingga kekalahan yang berbahaya dapat dielakkan dan suasana perang menjadi terbalik. Musuh yang hampir menang menjadi kalah total. Orang-orang yang lari pontang-panting, kecuali yang 100 orang itu, diberi tobat oleh Allah, moga-moga lain kali jangan kejadian lagi. Demikian pun pihak musuh yang telah takluk dan datang meminta ampun dan tobat kepada Rasul ﷺ di Ji'ranah, mereka pun diberi tobat oleh Allah dan diterima sebagai orang Islam, dan tawanan 6.000 dikembalikan kemerdekaannya.
“Dan Allah adalah Maha Pengampun" kepada orang-orang yang benar-benar datang memohon ampun.
“lagi Penyayang."
Kepada orang yang sesudah meminta ampun dan bertobat itu benar-benar pula selalu melatih dirinya dengan iman dan takwa, sehingga hidup menjadi orang Islam yang sejati.
Dalam ayat ini kita mendapat banyak pengajaran dalam menghadapi perjuangan.
• Janganlah kita lekas terpesona dengan banyaknya jumlah pengikut. Karena banyak bilangan, tidaklah menentukan (kuantitas).
• Bagaimana besarnya bahaya yang dihadapi sehingga para pengikut telah mulai gugup, namun pimpinan tertinggi adalah pedoman utama yang menentukan. Walaupun sudah pada lari kocar-kacir dalam kegugupan, namun Rasulullah saw, tetap dalam sakinahnya, tenang, tenteram, dan gagah perkasa.
• Sikap Rasul ﷺ yang tetap gagah perkasa itu menjalar kepada 100 orang pengikut yang telah menghadapi berbagai peperangan besar selama ini, yaitu Anshar. (Itulah kualitas). 100 orang yang berkualitas dapat menentukan hari depan dari yang baru kuantitas.
• Di sini perlu pula diperhatikan dua orang dari Bani Hasyim, keluarga terdekat Nabi ﷺ, yaitu Abbas bin Abdul Muthalib yang selalu berdiri di sebelah kanan kendaraan Nabi saat genting itu dan Abu Sufyan bin al-Harits bin Abdul Muthalib yang selalu berdiri di sebelah kiri beliau. Mereka berdua tidak pernah jauh dari Nabi ﷺ. Dan seketika Rasulullah ﷺ menyeru agar tawanan Hawazin dibebaskan, dan beliau janjikan bahwa keluarga beliau Bani Hasyim telah lebih dahulu melepaskan para tawanan itu, Abbas dan Abu Sufyan pun patuh mengembalikan dengan tidak banyak cincong. Mereka tidak meminta bagian apa-apa; yang penting bagi mereka adalah bahwa Rasulullah ﷺ selamat Sikapnya yang teguh itu menyebabkan Abbas menebus keterakhirannya masuk Islam, Dengan demikian berhaklah mereka disebut Bangsawan Bani Hasyim.