Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
وَيَصُدُّونَ
dan mereka menghalang-halangi
عَن
dari
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
وَٱلۡمَسۡجِدِ
dan Masjidil
ٱلۡحَرَامِ
Haram
ٱلَّذِي
yang
جَعَلۡنَٰهُ
telah Kami jadikannya
لِلنَّاسِ
untuk manusia
سَوَآءً
sama/bersama
ٱلۡعَٰكِفُ
bertekun/menetap
فِيهِ
didalamnya
وَٱلۡبَادِۚ
dan datang berkunjung
وَمَن
dan barangsiapa
يُرِدۡ
menghendaki/bermaksud
فِيهِ
didalamnya
بِإِلۡحَادِ
melakukan kejahatan
بِظُلۡمٖ
dengan/secara zalim
نُّذِقۡهُ
Kami rasakan kepadanya
مِنۡ
dari
عَذَابٍ
azab
أَلِيمٖ
yang pedih
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
وَيَصُدُّونَ
dan mereka menghalang-halangi
عَن
dari
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
وَٱلۡمَسۡجِدِ
dan Masjidil
ٱلۡحَرَامِ
Haram
ٱلَّذِي
yang
جَعَلۡنَٰهُ
telah Kami jadikannya
لِلنَّاسِ
untuk manusia
سَوَآءً
sama/bersama
ٱلۡعَٰكِفُ
bertekun/menetap
فِيهِ
didalamnya
وَٱلۡبَادِۚ
dan datang berkunjung
وَمَن
dan barangsiapa
يُرِدۡ
menghendaki/bermaksud
فِيهِ
didalamnya
بِإِلۡحَادِ
melakukan kejahatan
بِظُلۡمٖ
dengan/secara zalim
نُّذِقۡهُ
Kami rasakan kepadanya
مِنۡ
dari
عَذَابٍ
azab
أَلِيمٖ
yang pedih
Terjemahan
Sesungguhnya orang-orang yang kufur dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan (dari) Masjidilharam yang telah Kami jadikan (terbuka) untuk semua manusia, baik yang bermukim di sana maupun yang datang dari luar (akan mendapatkan siksa yang sangat pedih). Siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara zalim di dalamnya pasti akan Kami jadikan dia merasakan sebagian siksa yang pedih.
Tafsir
(Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah) dari ketaatan kepada-Nya (dan) dari (Masjidilharam yang telah Kami jadikan ia) sebagai manasik dan tempat beribadah (untuk semua manusia, baik yang bermukim) yang tinggal (di situ maupun di padang pasir) yakni pendatang (dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan) huruf Ba di sini adalah Zaidah (secara zalim) yang menyebabkan orang yang bersangkutan zalim, seumpamanya ia mengerjakan perbuatan yang terlarang, sekalipun dalam bentuk mencaci pelayan (niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih)" yang menyakitkan. Berdasarkan pengertian ini maka Khabar Inna diambil daripadanya. Maksudnya, sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan dari Masjidilharam, niscaya Kami akan rasakan kepada mereka sebagian siksa yang pedih.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil Haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih. Allah ﷻ berfirman, memprotes perbuatan orang-orang kafir yang menghalang-halangi orang-orang mukmin untuk mendatangi Masjidil Haram guna menunaikan manasik mereka di dalamnya, juga memprotes pengakuan mereka yang mengklaim bahwa mereka adalah para penguasa Masjidil Haram.
Untuk itu Allah ﷻ telah berfirman: dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya. Orang-orang yang berhak menguasainya) hanyalah orang-orang yang bertakwa. (Al-Anfal: 34), hingga akhir ayat. Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa ayat yang sedang kita bahas adalah ayat Madaniyyah, sama halnya seperti yang disebutkan di dalam surat Al-Baqarah oleh firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. (Al-Baqarah: 217) Dan dalam ayat berikut ini disebutkan oleh firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil Haram. (Al-Hajj: 25) Yakni ciri khas orang-orang kafir itu di samping mereka adalah kafir, juga menghalang-halangi manusia dari jalan Allah dan menghalang-halangi mereka untuk sampai ke Masjidil Haram.
Yaitu menghalang-halangi kaum mukmin yang hendak menuju ke Masjidil Haram, padahal mereka adalah orang-orang yang paling berhak terhadap Masjidil Haram. Ungkapan tertib dalam ayat ini sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain oleh firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (Ar-Ra'd: 28) Artinya, ciri khas orang-orang yang beriman itu ialah hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.
Firman Allah ﷻ: yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir. (Al-Hajj: 25) Yakni orang-orang kafir itu menghalang-halangi orang-orang yang beriman untuk dapat sampai ke Masjidil Haram, padahal Allah telah menjadikannya sebagai tempat ibadah bagi semua manusia, tanpa ada beda, baik yang bermukim di situ maupun yang datang jauh dari luar. sama saja, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir. (Al-Hajj: 25) Karena itulah maka manusia mempunyai hak yang sama terhadap kawasan Mekah dan untuk tinggal di dalamnya.
seperti yang telah diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: sama saja, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir. (Al-Hajj: 25) Bahwa penduduk Mekah dan selain mereka dapat tinggal di sekitar Masjidil Haram. Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sama saja, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir. (Al-Hajj: 25) Bahwa penduduk asli Mekah dan selain mereka mempunyai hak yang sama untuk bertempat tinggal di Mekah.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Abu Saleh, Abdur Rahman ibnu Sabit, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam. Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa sama saja haknya bagi penduduk asli Mekah maupun selain mereka dalam bertempat tinggal di Mekah. Masalah inilah yang diperselisihkan oleh Imam Syafii dan Ishaq ibnu Rahawaih di Masjid Khaif, saat itu Imam Ahmad ibnu Hambal hadir pula.
Imam Syafii berpendapat bahwa tanah kawasan Mekah boleh dimiliki, diwariskan, dan disewakan. Imam Syafii mengatakan pendapat ini berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Az-Zuhri, dari Ali ibnul Hasan, dari Amr ibnu Usman, dari Usamah ibnu Zaid yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ; "Wahai Rasulullah, apakah engkau besok akan turun di rumahmu di Mekah?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Apakah Uqail telah meninggalkan sebidang tanah bagi kami (untuk tempat tinggal)?" Kemudian beliau ﷺ bersabda: Orang kafir tidak boleh mewarisi orang muslim, dan tidak pula orang muslim mewarisi orang kafir. Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain.
Juga dengan sebuah asar yang telah menceritakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah membeli sebuah rumah di Mekah dari Safwan ibnu Umayyah dengan harga empat ribu dirham, lalu Khalifah Umar menjadikannya sebagai rumah tahanan. Tawus dan Amr ibnu Dinar mengatakan, Ishaq ibnu Rahawaih berpendapat bahwa tanah Mekah tidak dapat diwariskan dan tidak boleh disewakan. Pendapat inilah yang dianut oleh mazhab segolongan ulama Salaf, dan dinaskan oleh Mujahid serta Ata.
Ishaq ibnu Rahawaih melandasi pendapatnya dengan sebuah riwayat yang dikemukakan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Isa ibnu Yunus, dari Umar ibnu Sa'id ibnu Abu Haiwah, dari Usman ibnu Abu Sulaiman, dari Alqamah ibnu Nadlah yang telah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ wafat, begitu pula Abu Bakar dan Umar; sedangkan kawasan Mekah tiada seorang pun mengklaim memilikinya, melainkan semuanya adalah tanah sawaib (milik Allah). Barang siapa yang miskin, boleh tinggal padanya; dan barang siapa yang kaya, boleh memberikan tempat tinggal.
Abdur Razzaq ibnu Mujahid telah meriwayatkan dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa rumah-rumah di Mekah tidak boleh diperjualbelikan, tidak boleh pula disewakan. Abdur Razzaq telah meriwayatkan pula dari Ibnu Juraij, bahwa Ata melarang menyewakan tanah Mekah. Ibnu Juraij telah menceritakan pula kepadanya bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab melarang pembuatan pintu di rumah-rumah di Mekah agar para jamaah haji dapat tinggal di halaman-halamannya.
Orang yang mula-mula membuat pintu pada rumahnya adalah Suhail ibnu Amr. Maka Umar ibnul Khattab mengirimkan utusan kepadanya guna menyelesaikan perkara tersebut. Maka Suhail ibnu Amr menjawab, "Wahai Amirul Muminin, sesungguhnya saya adalah seorang pedagang, maka saya bermaksud membuat dua buah pintu guna memelihara barang dagangan saya." Maka Khalifah Umar berkata, "Kalau demikian, kamu boleh melakukannya." Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Mansur,dari Mujahid, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah berkata, "Hai ahli Mekah, janganlah kalian buat pintu-pintu di rumah-rumah kalian agar orang yang datang dari jauh dapat tinggal di mana pun ia suka." Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari seseorang yang mendengarnya dari Ata sehubungan dengan makna firman-Nya: sama saja, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir. (Al-Hajj: 25) Bahwa mereka boleh tinggal di mana pun mereka suka di Mekah.
Imam Daruqutni telah meriwayatkan melalui hadis Ibnu Abu Nujaih, dari Abdullah ibnu Amr secara mauquf. Barang siapa yang memakan dari hasil sewa rumah Mekah, berarti dia memakan api." Imam Ahmad berpendapat pertengahan, untuk itu ia mengatakan bahwa tanah Mekah boleh dimiliki, tetapi tidak boleh diwariskan dan tidak boleh disewakan. Pendapatnya ini merupakan kesimpulan gabungan dari dalil-dalil yang ada mengenai masalah ini.
Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya. Firman Allah ﷻ: dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih. (Al-Hajj: 25) Sebagian ulama tafsir mengatakan bahwa perbuatan tersebut ditujukan kepada orang Arab. Huruf ba dalam ayat ini adalah zaidah, sama halnya dengan huruf ba yang ada dalam firman-Nya: yang menghasilkan minyak. (Al-Muminun: 20) Artinya adalah tanbutud duhna (menghasilkan minyak). Begitu pula makna firman-Nya: dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan. (Al-Hajj: 25) Artinya adalah man yurid fihi ilhadan, yakni barang siapa yang bermaksud melakukan kejahatan di dalamnya.
Sama pula dengan apa yaag terdapat di dalam perkataan seorang penyair, yaitu Al-Asya: ... Tombak-tombak kami yang ada di antara panci-panci dan wadah-wadah kosong menjadi sarana yang menjamin rezeki anak-anak kami. Dan ucapan seorang penyair lainnya, yaitu: ..... Di Lembah Yaman di Markh dan Syabhan tumbuhlah rerumputan di bagian tengah dan bagian bawahnya. Akan tetapi, pendapat yang terbaik ialah yang mengatakan bahwa kata kerja yurid dalam ayat ini mengandung makna yuhimmu.
Karena itulah maka diperlukan adanya huruf ba sebagai ta'diyah: dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan. (Al-Hajj: 25) Yakni berniat hendak melakukan suatu perbuatan maksiat yang besar di dalamnya. Firman-Nya: secara zalim. (Al-Hajj: 25) Yaitu melakukannya dengan sengaja dan sadar bahwa perbuatannya itu adalah perbuatan zalim, tidak mengandung arti lain. Demikianlah menurut penafsiran Ibnu Juraij, dari Ibnu Abbas; pendapat ini dapat dijadikan sebagai pegangan.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan zalim di sini adalah perbuatan musyrik. Mujahid mengatakan, maksudnya bila disembah di dalamnya selain Allah. Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa perbuatan zalim ini ialah bila kamu melanggar kesucian tanah haram dengan melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Allah kamu melakukannya, seperti perbuatan menyakiti orang lain atau membunuh.
Dengan kata lain, kamu menganiaya orang yang tidak menganiaya kamu dan membunuh orang yang tidak bermaksud membunuhmu. Apabila seseorang melakukan hal tersebut, pastilah baginya azab yang pedih. Mujahid mengatakan bahwa zalim di sini maksudnya perbuatan yang buruk atau jahat akan ia lakukan di tanah suci. Ini merupakan salah satu dari kekhususan tanah suci, yaitu bahwa seorang yang jauh akan dihukum dengan keburukan oleh Allah bilamana ia berniat akan melakukannya di tanah suci, sekalipun ia masih belum melakukannya.
Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim di dalam kitab tafsirnya, bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari As-Saddi yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar seseorang menceritakan hadis dari Ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya: dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim. (Al-Hajj: 25) Bahwa seandainya ada seorang lelaki berniat akan melakukan suatu kejahatan secara zalim di dalamnya, sedangkan ia masih berada di negeri 'Adn yang jauh, tentulah Allah akan merasakan kepadanya sebagian dari azab-Nya yang pedih.
Syu'bah mengatakan, "As-Saddi-lah orang yang me-rafa'-kannya bagi kami, dan saya tidak me-rafa'-kannya bagi kalian." Syu'bah bermaksud bahwa dia pun ikut terlibat dalam me-rafa-kan hadis ini. Ahmad telah meriwayatkannya dari Yazid ibnu Harun dengan sanad yang sama. Menurut saya, sanad hadis ini berpredikat sahih dengan syarat Imam Bukhari, tetapi predikat mauquf-nya lebih mendekati kebenaran daripada predikat marfu'-nya.
Karena itulah maka Syu'bah meyakinkan akan ke-mauquf-annya hanya sampai pada perkataan sahabat Ibnu Mas'ud r.a. Demikian pula Asbat dan As-Sauri telah meriwayatkannya dari As-Saddi, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud secara mauquf hanya Allah yang mengetahui kebenarannya. As-Sauri telah meriwayatkan dari As-Saddi, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa tiada seorang lelaki pun yang berniat akan melakukan suatu perbuatan jahat (di tanah suci), melainkan dicatatkan baginya niat jahatnya itu. Dan seandainya seorang lelaki yang berada jauh di negeri 'Adn berniat akan membunuh seseorang di tanah suci ini, tentulah Allah akan merasakan terhadapnya sebagian dari azab-Nya yang pedih.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Ad-Dahhak ibnu Muzahim. Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari Mujahid sehubungan dengan makna bi-ilhadin fihi. Ia mengatakan bahwa maknanya adalah ilhadin fihi. Pada mulanya ia menolak, kemudian mengiyakan (yakni huruf ba-nya dapat dikatakan sebagai ba zaidah atau ba ta'diyah, pent.) Telah diriwayatkan dari Mujahid, dari Abdullah ibnu Amr hal yang semisal dengan riwayat di atas.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa mencaci pelayan adalah perbuatan zalim, terlebih lagi yang lebih parah dari itu. Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Abdullah ibnu Ata, dari Maimun ibnu Mahran, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara aniaya. (Al-Hajj: 25) Bahwa termasuk perbuatan zalim ialah seorang amir melakukan perniagaan di tanah suci.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa memperjualbelikan makanan di tanah suci merupakan perbuatan ilhad (jahat). Habib ibnu Abu Sabit telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara aniaya. (Al-Hajj: 25) Makna yang dimaksud ialah melakukan penimbunan di Mekah. Hal yang sama telah dikatakan oleh bukan hanya seorang. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ishaq Al-Jauhari, telah menceritakan kepada kami Abu Asim, dari Ja'far ibnu Yahya, dari pamannya (Imarah ibnu Sauban), telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Bazan, dari Ya'la ibnu Umayyah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Melakukan penimbunan makanan di Mekah merupakan perbuatan jahat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepada kami Ata ibnu Dinar, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara aniaya. (Al-Hajj: 25) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Unais.
Rasulullah ﷺ mengutusnya bersama dua orang lelaki, yang salah seorangnya dari kalangan Muhajirin, sedangkan yang lainnya dari kalangan Ansar. Kemudian di tengah jalan mereka saling membanggakan diri dengan keturunannya masing-masing. Abdullah ibnu Unais naik pitam, akhirnya ia membunuh orang Ansar tersebut. Kemudian ia murtad dari Islam dan lari ke Mekah (menggabungkan diri dengan orang-orang musyrik). Lalu turunlah firman Allah ﷻ: dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim. (Al-Hajj: 25) Yakni barang siapa yang datang ke tanah suci dengan niat berbuat jahat.
Yang dimaksud ialah menyimpang dari ajaran Islam (alias kafir). Semua asar yang telah disebutkan di atas sekalipun pengertiannya menunjukkan bahwa hal-hal tersebut termasuk perbuatan ilhad (jahat) tetapi makna yang dimaksud lebih mencakup dari semuanya, bahkan di dalam pengertiannya terkandung peringatan terhadap perbuatan yang lebih parah daripada hanya sekadar perbuatan ilhad. Karena itulah di saat tentara bergajah bermaksud merobohkan Ka'bah, mereka diazab oleh Allah. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). (Al-Fil: 3-5) Yakni Allah menghancurkan mereka dan menjadikan peristiwa tersebut sebagai pelajaran dan peringatan terhadap setiap orang yang berniat akan melakukan perbuatan jahat terhadap Baitullah.
Karena itulah telah disebutkan di dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Kelak Baitullah ini akan diserang oleh suatu tentara, hingga manakala mereka berada di tengah padang sahara, maka barisan yang terdepan dan barisan terbelakang dari mereka semuanya dibenamkan ke dalam bumi. Hadis ini menceritakan kejadian yang akan terjadi menjelang hari kiamat nanti. Orang-orang tersebut dikenal dengan sebutan Zus Suwaiqatain (pent).# Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Kanasah, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Sa'id, dari ayahnya yang mengatakan, bahwa Abdullah ibnu Umar datang menemui Abdullah Ibnuz Zubair, lalu ia bertanya, "Hai Ibnuz Zubair, jangan sekali-kali kamu berbuat ilhad di tanah suci Allah ini, karena sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, 'Sesungguhnya kelak akan berbuat ilhad seseorang lelaki dari kalangan Quraisy di Masjidil Haram ini; seandainya dosa-dosanya ditimbang dengan dosa-dosa dua makhluk (jin dan manusia), tentulah dosanya lebih berat.' Maka berhati-hatilah, janganlah sampai dia itu adalah kamu." Imam Ahmad telah mengatakan pula di dalam Musnad Abdullah ibnu Amr ibnul As, ".
bahwa telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amr yang mengatakan, bahwa Abdullah ibnu Umar datang kepada Abdullah ibnuz Zubair yang saat itu sedang duduk di Hijir Isma'il. Lalu Ibnu Umar berkata, "Hai Ibnuz Zubair, hati-hatilah terhadap perbuatan ilhad di tanah suci, karena sesungguhnya aku bersumpah bahwa aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, 'Bahwa kelak tanah suci ini akan dihalalkan oleh seorang lelaki dari kalangan Quraisy; seandainya dosa-dosa dia ditimbang dengan dosa-dosa dua makhluk (jin dan manusia), tentulah sebanding'." Kemudian Abdullah ibnu Umar berkata, "Maka perhatikanlah, janganlah sampai dia adalah kamu." Akan tetapi, tiada seorang pun dari pemilik kitab hadis yang mengetengahkannya dari kedua jalur periwayatan ini."
Sungguh, orang-orang kafir Mekah seperti Abu Sufyan bin 'arb dan kawan-kawannya yang menghalangi manusia dari jalan Allah untuk memeluk Islam dan menghalangi Rasulullah dan para sahabat melaksanakan ibadah umrah di Masjidilharam yang telah Kami jadikan terbuka untuk semua manusia yang beriman, baik yang bermukim di sana maupun yang datang dari luar daerah yang jauh; dan siapa saja yang berada di Masjidilharam yang bermaksud melakukan kejahatan seperti membunuh, mengintimidasi, menghalangi manusia masuk Islam, dan berbuat kerusuhan secara zalim di dalamnya, niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksa yang pedih di akhirat berupa api yang terus membakar, air mendidih, dan cambuk yang menghancurluluhkan tubuh. 26. Dan ingatlah, ketika Kami tempatkan Ibrahim yang lahir di Kaldea dan menetap di Palestina berada di tempat Baitullah, lalu bersama put-ranya, Ismail, meninggikan fondasi Kakbah. Kami menyatakan kepada Ibrahim, 'Janganlah engkau mempersekutukan Aku dengan suatu apa pun, karena menyekutukan Allah itu kezaliman yang dahsyat. Dan sucikanlah rumah-Ku, Kakbah, dari berhala, kemusyrikan, dan perilaku tidak terpuji, serta peruntukkanlah Kakbah itu bagi orang-orang yang tawaf, orang-orang yang beribadah, dan orang yang rukuk dan sujud kepada Allah guna mendekatkan diri dan menyucikan jiwa.
Menurut riwayat Ibnu `Abbas ra ayat ini sesungguhnya diturunkan berhubungan dengan Abi Sufyan bin Harb dan kawan-kawannya. Mereka itu menghalang-halangi Rasulullah ﷺ dan para sahabat memasuki Masjidil Haram untuk melakukan ibadah umrah di tahun "perdamaian Hudaibiyah". Karena itu Rasulullah enggan untuk memerangi mereka karena Rasulullah berada dalam keadaan ihram. Kemudian terjadilah kesepakatan yang melahirkan perjanjian Hudaibiyah, yang di dalamnya tercantum bahwa Rasulullah tidak jadi umrah di tahun itu, akan tetapi ditangguhkan sampai tahun depan dan mereka tidak akan menghalangi Nabi dan sahabatnya masuk Masjidil Haram untuk mengerjakan ibadah, pada tahun yang akan datang.
Ayat ini menerangkan bahwa semua orang yang mengingkari keesaan dan kekuasaan Allah, mendustakan rasul dan meningkari agama yang dibawanya, menghalang-halangi manusia masuk agama Islam dan menegakkan kalimat Allah, menghalang-halangi kaum Muslimin masuk Masjidil Haram untuk beribadat, baik orang-orang penduduk Mekah asli maupun pendatang dari negeri lain dan menghalang-halangi orang beribadat di dalamnya, niscaya Allah akan menimpakan kepada mereka azab yang sangat pedih.
Dari ayat di atas dipahami bahwa Masjidil Haram yang terletak di sekitar Ka`bah adalah suatu tempat bagi kaum Muslimin untuk mengerjakan ibadah haji, umrah serta ibadah-ibadah yang lain, seperti tawaf, salat, i`tikaf, zikir, dan sebagainya, baik mereka yang berasal dari Mekah sendiri maupun yang berasal dari luar Mekah. Dengan perkataan lain, bahwa semua kaum Muslimin berhak melakukan ibadah di tempat itu, darimana pun mereka datang. Allah mengancam dengan azab yang keras terhadap orang-orang yang mencegah dan menghalang-halanginya. Karena itu ada di antara para ulama yang mempersoalkan kedudukan tanah yang berada di sekitar Masjidil Haram itu, apakah tanah itu dapat dimiliki oleh perseorangan atau pemerintah, atau tanah itu merupakan hak seluruh kaum Muslimin. Untuk pengaturannya sekarang diserahkan kepada Kerajaan Arab Saudi, karena Masjidil Haram terletak di negara ini, selama negara tersebut melaksanakan perintah-perintah Allah melayani orang-orang yang ingin beribadah di sana.
Menurut Imam Mujahid dan Malik, Masjidil Haram itu adalah milik kaum Muslimin seluruhnya, tidak seorang pun atau sesuatu negara pun yang boleh memilikinya. Pendapat ini juga diikuti oleh Imam Abu Hanifah, alasan mereka ialah perkataan baik "yang bermukim maupun yang berkunjung" berarti Masjidil Haram dijadikan bagi manusia, agar mereka menghormatinya, beribadah di sana baik bagi orang-orang Mekah maupun orang-orang yang berasal dari luar Mekah.
Karena itu tidak dapat dikatakan bahwa penduduk Mekah lebih berhak atas Masjidil Haram itu dari penduduk dari luar Mekah.
Alasan-alasan mereka yang lain ialah:
1. Menurut riwayat, bahwa Umar, Ibnu `Abbas dan banyak sahabat berpendapat, "Para pengunjung Masjidil Haram boleh menempati rumah-rumah yang didapatinya kosong, belum berpenghuni di Mekah, dan orang-orang Mekah sendiri yang mempunyai rumah kosong itu, hendaklah mengizinkannya."
2. Hadis Nabi Muhammad saw:
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata, "Rasulullah berkata, "Mekah itu pemberian, tidak boleh dijual hasilnya dan tidak boleh disewakan rumahnya. (Riwayat ad-Daruquthni)
3. Dan hadis Nabi ﷺ lagi: Dari `Aisyah ra ia berkata, "Ya Rasulullah, bolehkah aku buatkan untukmu rumah di Mina atau rumah yang dapat melindungi engkau dari terik panas matahari? Beliau menjawab, "Tidak, sesungguhnya tanah itu adalah hadiah bagi orang yang lebih dahulu mendapatkannya." (Riwayat Abu Daud)
4. Menurut suatu riwayat, pada permulaan Islam, Masjidil Haram tidak mempunyai pintu-pintu masuk, sehingga sampai pada suatu masa, banyak pencuri berdatangan, lalu seorang laki-laki membuat pintu-pintu, tetapi Umar melarangnya dan berkata, "Apakah kamu menutup pintu-pintu orang-orang berhaji ke Baitullah? Laki-laki itu menjawab, Aku membuat pintu-pintu untuk memelihara barang-barang pengunjung dari pencuri." Karena itu Umar ra membiarkannya.
Imam Syafi`i berpendapat bahwa tanah sekitar Masjidil Haram itu boleh dimiliki dan diperjual-belikan, asal tidak menghalangi kaum Muslimin beribadah di sana.
Dari Umamah bin Zaid, dia berkata, "Wahai Rasulullah bolehkah aku besok berkunjung ke rumahmu di Mekah? Rasulullah menjawab, "Apakah keluarga Aqil meninggalkan rumah? (Riwayat asy-Syaikhan)
Perbedaan pendapat ini berpangkal pada persoalan; Apakah Nabi Muhammad dan para sahabat pada saat penaklukan kota Mekah (fathu Makkah) dengan cara kekerasan atau dengan cara damai? Jika direbut dari tangan orang-orang musyrik dengan kekerasan, tentulah tanah sekitar Masjidil Haram itu merupakan harta rampasan bagi kaum Muslimin yang harus dibagi-bagi sesuai dengan ketentuan agama. Tetapi Rasulullah tidak membagi-baginya, sehingga tetaplah tanah itu merupakan milik bagi kaum Muslimin sampai saat ini. Hal seperti ini pernah pula dilakukan oleh Sayidina `Umar pada suatu daerah yang telah direbutnya dari orang-orang kafir. Pendapat kedua menyatakan bahwa tanah Mekah itu direbut Nabi Muhammad ﷺ dengan cara damai, karena itu ia bukan merupakan barang rampasan, dan tetap menjadi milik empunya waktu itu. Kemudian diwariskan atau dijual oleh pemiliknya yang dahulu, sehingga menjadi milik dari pembeli pada saat ini.
Sekalipun ada perbedaan pendapat yang demikian, namun para ulama sependapat bahwa Masjidil Haram merupakan tempat beribadah bagi seluruh kaum Muslimin yang datang dari seluruh penjuru dunia. Mereka boleh datang kapan saja mereka kehendaki, tanpa seorang pun yang boleh mengganggu dan menghalanginya. Jika berlawanan kepentingan pribadi atau golongan dengan kepentingan agama Islam, maka kepentingan agama Islam yang harus diutamakan dan diprioritaskan. Tentu saja kaum Muslimin yang telah bermukim dan menjadi penduduk Mekah itu berhak dan boleh mencari nafkah dari hasil usaha mereka melayani dan mengurus jama`ah haji yang datang dari segenap penjuru dunia. Sekalipun demikian, usaha mengurus dan melayani jama`ah haji itu, tidak boleh dikomersilkan, tetapi semata-mata dilakukan untuk mencari pahala yang besar.
Masjidil Haram sebagai tempat yang suci dan kiblat umat Islam, memiliki keistimewaan dan kelebihan-kelebihan, di antaranya adalah:
a. Di tempat tersebut orang yang baru berencana saja untuk berbuat maksiat/makar, maka Allah akan mengazabnya. Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Umar, ad-dhahhak dan Ibnu Zaid, menyatakan bahwa bila seseorang sedang berada di Masjidil Haram, kemudian dia berencana untuk membunuh seseorang yang tinggal di Aden, maka Allah akan mengazabnya.
b. Ibadah yang dilakukan di Masjidil Haram mempunyai nilai tambah dibandingkan dengan ibadah di tempat-tempat lain, bahkan satu kali salat di Masjidil Haram nilainya sama dengan seratus ribu kali salat di luar Masjidil Haram. Rusulullah bersabda: Dari Jabir bahwa Rasulullah berkata, "Salat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama seribu kali dibandingkan dengan salat di luar masjidku, kecuali di Masjidil Haram. Dan salat di Masjidil Haram lebih utama seratus ribu kali dibandingkan salat di luar Masjidil Haram. (Riwayat Ahmad dengan sanad sahih).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Darihal Haji (1)
Ayat 25
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan yang menghambat dan jalan Allah." (pangkal ayat 25). Artinya kafir, sebagaimana yang telah banyak di-terangkan, ialah menolak, tidak mau percaya kepada seruan atau risalah yang dibawa oleh Rasul Tuhan. Kekafiran itu dituruti lagi oieh sikap menentang, sampal menghambat-hambat, menghalang-halangi jalan Allah. Jalan Allah ialah jalan yang lungs dan benar, menurut ketentuan Tuhan: “Dan Masjidil Haram." Artinya mereka halangi pula Masjidil Haram tempat manusia beribadat: “Yang telah Kami jadikan sama untuk manusia, yang menetap padanya dan yang berkunjung." Begitulah Masjidil Haram di Makkah itu dijadikan Tuhan, tempat orang beribadat, sama di sisi Allah di rumah suci itu di antara orang yang menetap lama di sana, bertahun-tahun, atau yang berkunjung seberitar, sekedar mengerjakan haji saja, sesudah itu pergi! Semuanya sama dianggap orang yang bemiat baik. Jika menetap lama, menjadilah dia “jiwarullah", tetangga Tuhan. Dan jika dia berkunjung seberitar sekedar mengerjakan haji dengan segala rukun syaratnya, jadilah dia “dhaifullah", tetamu Tuhan.
“Dan barangsiapa yang bermaksud padanya dengan pelanggaran, dengan aniaya."Artinya ada juga mereka yang kafir itu datang ke sana, tetapi peraturan yang dilakukan bukan yang diaturkan oleh Allah dan Rasul, melainkan membuat cara sendiri. Ini pun namanya aniaya! “Akan Kami rasakan kepadanya azhab siksaan yang pedih." (ujung ayat 25).
Ayat ini adalah ancaman pada mulanya kepada kafir Quraisy. Mereka tidak mau percaya kepada seruan yang dibawa oieh Rasul, bahkan mereka halanghalangi. Mereka berkuasa dalam masyarakat Makkah. Sedang Masjidil Haram sebagai pusat beribadat terletak di sana. Mereka pernah halang-halangi Nabi s.a.w. beribadat kepada Allah, bersih daripada niat yang lain. Bahkan mereka pun beribadat di Masjidil Haram itu, tetapi ibadat mereka tidak menurut peraturan yang benar lagi. Ketika selesai mendirikan rumah suci itu, Nabi Ibrahim mendoakan kepada Tuhan, agar anak-cucunya jangan sampai menyembah berhala. Sebab berhala telah banyak menyesatkan manusia (Surat 12, ayat 35-36). Tetapi kemudian peraturan ini telah mereka selewengkan. Mereka telah meletakkan berhala keliling Ka'bah itu tidak kurang dari 360 buah, besar dan kecil.
Mereka Inilah yang mula diancam Tuhan dengan ayat ini. Tetapi tentu saja ayat ini tetap jadi ancaman bagi manusia untuk selanjutnya, jika mereka berlaku sebagai kafir Quraisy itu pula.
Ayat 26
“Dan (ingatlah) tatkala Kami tentukan bagi Ibrahim tempat rumah itu." (pangkal ayat 26). Artinya bahwa Allah menyuruh memperingatkan kembali awal mulanya rumah suci itu akan berdiri yaitu bahwa Allah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim mendirikan rumah tempat beribadat kepada Allah Yang Maha Esa yang pertama kali di dunia ini (Surat 3 all lmran ayat 96 dan 97): “Bahwa Jangan kamu persekutukan dengan Daku barong suatu pun." Untuk menegakkan akidah keesaan Allah itulah rumah itu diriirikan, bukan buat diaelewengkan kepada yang lain, bukan buat membuat pula pujaan yang lain. "Dan bersihkanfah rumahKu untuk orang-orang yang tawaf," yaitu berjalan mengelilingi Ka'bah itu sampal tujuh kali; “Dan orang-orang yang,berdiri," yaitu berdiri sgmbahyang; “Dan orang-orang yang ruku' lagi sujud." (ujung ayat 26). Di Surat 2, al-Baqarah ayat 125 disebut juga “wal'akifina" dan orang-orang yang beri'tikaf lagi ruku' dan sujud.
Di ujung ayat ini telah dijelaskan bahwasanya rumah itu diriirikan ialah semata-mata buat tempat beribadat kepada Allah. Tempat tawaf kelilingnya, tempat orang berdiri sembahyang, ruku' dan sujud. Sebab itu hendaklah dia selalu. dibersihkan. Bersih dari kotoran lahir dan batin. Kekuatan batin ialah jangan sampai dimasukkan ke dalam barang yang akan mengganggu kekhusyu'kan manusia menyembah Tuhan. Kekotoran lahir ialah sarap-sarap dan sampah-sampah yang akan mengotorinya. Itulah sebabnya dijadikan adatia6adat oleh raja-raja yang menguasai Makkah dari dahulu sampai sekarang pada waktu-waktu tertentu membuka pintu Ka'bah dan menyiramnya dengan air dan menyapunya. Kadang-kadang diundang orang-orang besar Islam yang datang naik haji untuk turut menerima kehormatan menyapu Ka'bah di musim haji. Dan membersihkan mesjid itu bukan saja terhadap Ka'bah dan Masjidil Haram, bahkan seluruh mesjid tempat beribadat hendaklah bersih.
Tersebutlah dalam sebuah Hadist yang shahih, bahwa seorang perempuan tua suka benar memilih sampah-sampah kalau terdapat dalam mesjid Nabi di Madinah. Nabi s.a.w. senang sekali kepadanya. Seketika Rasulullah s.a.w. kembali dari satu perjalanan jihari, beliau tidak mendapati lagi perempuan tua itu di mesjid. Orang memberitahu kepada beliau bahwa dia telah meninggal. Rasulullah s.a.w. menanyakan dimana kuburnya. Setelah ditunjukkan orang, beliau pun pergi menyembahyangkannya di pinggir kubunya.
Ayat 27
“Dan serukanlah kepada manusia supaya berhaji." (pangkal ayat 27). Kata ahli tafsir. "Inilah lanjutan pertntah Tuhan kepada Nabi Ibrahim, yakni setelah selesai Nabi Ibrahim mendirikan rumah suci di atas sebidang tanah yang telah ditentukan Tuhan itu dan telah dijelaskan pula kegunaan rumah itu, yaitu buat semata-mata beribadat kepada Tuhan, maka diturunkan lanjutan perintah, yaitu supaya dia menyeru manusia supaya datang berhaji ke tempat itu. tegasnya ke rumah itu. "Agar mereka datang kepada engkau dalam keadaan berjalan kaki." Yaitu orang-orang dekat, yang kuat dan sanggup berjalan kaki."Dan di atas tiap-tiap unta nyanyuk yang datang dari tiap-tiap penjuru jauh." (ujung ayat 27).
Yang dekat-dekat tentu bIsa berjalan kaki. Yang jauh-jauh tentu dengan kendaraan. Alat perhubungan di zaman Nabi Ibrahim untuk yang jauh, ialah dengan unta, sampai unta itu dinamai orang bahtera padang pasir. Sampai sekitar tahun 1925 perhubungan di Jazirah Arab, Bay-at dan Timur, Utara dan Selatannya ialah unta, dalam ayat ini, unta untuk berjalan jauh yang sampai nyanyuk dari payahnya perjalanan disebut dhamir (…). Ini menimbulkan kesimpulan bahwa yang diauruh datang ke sana itu ialah tiap-tiap manusia yang beriman kepada Allah Yang Maha Esa! Kian lama kian meluaslah seruan ini ke serata-rata dunia. Sehingga datang ke sana tidak saja lagi dengan unta yang telah kurus dan nyanyuk dari jauhnya perjalanan, bahkan datang dari selunih petosok dunia dengan kapal udara yang lebih cepat dari suara.
Ayat 27 ini memberikan faham bagi kita bahwa syariat haji itu telah dimulai Tuhan menurunkannya sejak Nabi Ibrahim. Kata-kata … artinya serukanlah, sama dengan azan. Dapat kita katakan bahwa Nabi Ibrahim telah diperintahkan memproklamirkan manasik haji kepada manusia. Dan Nabi Muhammad s.a.w. adalah menjalankan perintah Tuhan agar menghidupkan kembali syanat yang telah dimulai dari zaman Nabi Ibrahim ini ada membersihkannya daripada cara-cara jahiliyah Quraisy, lalu ditambah lagi oleh Nabi s.a.w, beberapa manasik.
Ayat 28
“Agar mereka saksikan berbagai manfaat buat mereka." (pangkal ayat 28). Pada pangkal ayat ini dijelaskan bahwa sesampat di tempat yang mulia itu kita dapat menyaksikan hal-hal yang ada manfaatnya. Manfaat itu banyak, berbagai ragam. Ahli-ahli tafsir menjelaskan setengah dari manfaat itu ialah perdagangan. Tegasnya, kalau ada membawa pemiagaan, pergilah terlebih dulu menjuainya, moga-moga dapat laba yang besar. Atau memiliki barang yang ddapat dibeli buat dijual lagi di tempat lain. Ayat ini sejalan dengan pangkal ayat 198 dari Surat 2 al-Baqarah, yang bunyinya:
“Tidaklah ada salahnya atas kamu bahwa kamu mengusahakan kurnia daripada Tuhan kamu."
Maka samalah penafsiran ahli-ahli talsir bahwa ayat 28 Surat al-Haj dan 198 Surat al-Baqarah ini adalah satu, yaitu tidak terlarang seketika mengerjakan haji itu disambilkan juga bemiaga, berjual-beli.
Cobalah perhatikan kedua ayat itu: baik ayat 198 Surat al-Baqarah atau ayat 28 Surat al-Haj ini. Pada yang pertama di pangkal ayat diterangkan lebih dahulu boleh mencari keuntungan dan kurnia Allah: lanjutnya ialah apabila kamu telah berbondang dan Arafah, ingatlah Allah di dekat Masy'aril Haram. Di ayat ini, di pangkal dikatakan agar mereka menyaksikan beberapa manfaat buat mereka, selanjutnya diterangkan “dan mereka menyebut nama Allah pada hari-hari tertentu.",
Dari kedua ayat ini kita mendapat kesan, bahwa sebelum “hari-hari tertentu" atau sebelum berbondong turun dart Arafah, waktu buat urusan yang lain, buat berniaga, buat mencari keuntungan masih ada. Sebab orang sampai di Makkah bukanlah tepat pada “hari-hari tertentu" itu, melainkan beberapa hari lebih dahulu. Hari-hari yang terlarang itu tidaklah ada salahnya jika digunakan mencari keuntungan yang halal:
Dalam mengerjakan Jum'at pun demikian pula. Bila waktu Jum'at telah datang tinggalkanlah jual-beli dan pergilah sembahyang. Sehabis sembahyang berkeliaranlah di muka bumi mencari kurnia Allah dan ingatlah Allah sebanyakbanyaknya.
Berkata Ibnu Abbas, pada permulaan perintah haji dalam Islam Orang sibuk berjual-beli di Mina dan Arafat dan pasar Dzil Majaz dan di musim haji. Maka timbullah takut mereka meneruskan kebiasaan itu di dalam melakukan ihram. Tiba-tiba turunlah ayat itu (198 Surat al-Baqarah), yang menyatakan tidak ada salahnya bahwa kamu mengusahakan kurnia daripada Tuhan kamu pada musim haji. Hadist ini dirawikan oleh Bukhari Muslim dan an-Nasa'i.
Abu Amamah at-Taimi menceriterakan bahwa dia pernah minta fatwa kepada Abdullah bin Umar bahwa pekerjaannya ialah mempersewakan kendaraan kepada orang-orang naik haji. Ada orang yang mengatakan kepadanya, bahwa hajinya tidak sah! Sebab kerjanya hanya mempersewakan kendaraan.
Lalu Ibnu Umar bertanya: “Bukankah engkau berihram dan membaca Labbaika? Bukankah engkau tawaf sesudah turut berbondang dart Arafah? Bukankah engkau pun turut melontar ketiga jumrah? Abu Amamah menjawab: “Semua itu aku kerjakan!" Maka berkatalah ibnu Umar: “Kalau semua itu sudah engkau kerjakan, engkau sudah haji!" Dan kata Ibnu Umar selanjutnya: “Telah ada pula orang bertanya semacam pertanyaanmu ini kepada Nabi s.a.w. L.a)u beiiau jawab: “Engkau sudah haji!" Hadist ini dirawikan oleh Abu Daud dan Said bin Manshur.
Seorang bertanya kepada Ibnu Abbas: “Saya bekerja pada rombongan orang-orang yang hendak naik haji itu, lalu saya pun mengambil kesempatan mengerjakan manasik haji. Apakah haji saya itu diterima Tuhan? Ibnu Abbas menjawab: “Pasti diterima."
“Bagi mereka itu ada bagian dan sebab apa yang mereka usahakan. Dan Allah cepat sekaliperhitungannya,"
(Riwayatal-Baihagidanad-Daraquthni)
Di camping itu, menurut yang tersebut dalam sejarah, sebelum jatuhnya kerajaan-kerajaan Islam di Andalusia di akhir abad ke-15 Masehi, kafilah haji itu adalah merangkap kafilah pemiagaan. Rombongan-rombongan haji dari Dunia Islam sebelah Barat, membawa barang-barang dari Barat yang diperlukan di Timur, berpangkal dari kota-kota besar Andalusia, Cordova, Granada, Sebilla, Mercia, dan lain-lain, lalu berkumpul di pelabuhan Malaga. Dari sana menyeberang ke pantai Agdir di Afrika Utara. Di sana menggabung lagi talon-talon haji dari Tunisia, Talemsan (Aljazair), Marrakiay (Maroko) untuk meneruskan melalui Mesir, tems ke Jazirah Arab, kadang-kadang sampai beribu orang.
Yang dari Timur pun demikian pula. Pemiagaan dari Ialahan, Syraz, Ghazaah, Samarkand dan lain-lain berkafilah-kafilah pula membawa hasil dari Tuhan. Makkah adalah tempat pertemuan dan pertukaran kepentingan. Permaidani yang indah-indah dan Syiras, sutera dari Kashmir, bahkan rempahrempah dari kepulauan Indanesia, termasuk kapur wangi dari barus pulau Sumatrera, yang telah dikenal sejak 2000 tahun yang lalu sebagai barang mewah, sedang adanya hanya di Sumatera. Demikian juga setanggi dari Makassar, pulau Sulawesi. Siatem chagu (cek) sudah terpakai waktu itu, dengan secarik kertas kecil seorang saudagar di pelabuhan Malaga minta serahkan sekian diriar uangnya kepada langganannya di Basrah dalam perjalanan wakil itu ke Makkah. Bahkan kalimat cheque itu ialah dari bahasa Arab … (shak).
Ibnu Batilalhah yang datang melawat ke negeri kita di tahun 1345-1346 menerangkan bahwa kapal-kapal dagang Sultan al-Malikus Zhahir belayar jauh sampai ke beriua Cina. Tentu sampai juga ke pelabuhan-pelabuhan sebelah Barat: Malabar, Sailan dan lain-lain untuk bukti bahwa pihak kita pun turut aktif berdagang yang ada kaitannya dengan haji itu. Dan Alfonso d'Albuquerque, panglima Portugia yang menaklukkan Melaka tahun 1519, setelah penaklukan itu berkirim surat kepada rajanya di Lisabon, mempersembahkan dengann segala kebesaran hati bahwa dengan_ ditaklukkan Melaka jalan ke Makkah sudah ditutup, supaya hancurlah hubungan di antara negeri-negeri orang Islam itu. Dengan demikian terbukti bahwa hubungan Tanah Arab dengan kepulauan kita ini bukan semata-mata karena pergi haji, melainkan juga hubungan ekonomi. Sir Thomas Amold dalam bukunya “The Preacing of Islam" (Da'wah kepada Islam) mengatakan bahwa sebelum datang Portugia, tampuk perniagaan ke sebelah timur ini berates tahun di tangan orang Arab. Setelah datang baru pindah ke tangan mereka.
Khahariya konon, di zaman Sultan Agung Mataram, hubungan perniagaan Jawa merangkap naik haji ini masih ada. Tetapi di zaman puteranya Amangkurat I kekuasaan lautan sudah jatuh ke tangan Belanda. Sejak itu kalau orang Indanesia naik haji hanya semata-mata naik haji. Tidak ada lagi yang bemiaga besar. Dapat rlaik haji saja sudah syukur. Dan ada yang bemiaga kecilkecilan dIsalahkan oleh kawannya.
Pada musim haji tahun 1387 H (1968 M), Pemerintah Republik Indanesia telah mencoba buat pertama kali mengangkut suatu Pameran Dagang hasilhasil industri Indanesia di Jeddah. Tetapi baru berhenti hingga itu raja.
Kesimpulan kata: adalah faham yang tidak pada tempatnya orang berkata bahwa naik haji tidak boleh dicampur dengan bemiaga. Dan salah satu rangka doa orang naik haji berbunyi demikian:
“Moga-moga hajinya mabrur, sa'tnya disyukuri, dosanya diampuni, dan perniagaannya sekali-kali jangan rugi."
Dan yang bemiaga tentulah yang ahli pemiagaan juga. Maka bagi yang ahli tidak terlarang.
Sekarang kita teruskan tafsir: “Dan mereka menyebut nama Allah pada hari-hari tertentu."
Hari-hari tertentu mengerjakan manasik haji itu ialah:
1. 8 Dzul Hijjah: hari tarwiyah - persiapan akan ke Arafah.
2. 9 Dzul Hijjah: hari wuquf - berhenti di Arafah sejak tergelincir matahari sampai berjawat malam.
3. 10 Dzul Hijjah: hari Nahar di Mina, menyembelih kurhari.
4. 11, 12, 13: hari tasyriq, berhenti di Mina melempar jumrah ketiganya.
5. Tawaf Ifadhah dan sa'i di antara Shafa dan Marwah dan tahallul.
Tahallul artinya: melepaskan diri dari ikatan ihram dengan bercukur atau bergunting rambut beberapa helai. Dengan tahallul selesailah haji dan habislah hari yang tertentu itu. "Atas rezeki yang telah ditimpahkan Allah dari binatang-binatang ternak," artinya amat banyakiah rezeki yang dikurniakan Allah kepada manusia. Di antara rezeki itu janganlah dilupakan binatang-binatang temak,, unta, sapi, kerbau, dan domba. Dagingnya buat dimakan, susunya buat diminum, kulitnya buat alas kaki, bukunya buat pakaian. Dan binatang-binatang itu pula yang digunakan pembayar hari-yu atau kurhari dalam berhaji.
“Maka makanlah daripadanya dan beri makanlah orang susah melarut." (ujung ayat 28). Binatang-binatang temak itu diaembelih, ada yang sebagai pelengkap haji, sebagai orang yang melakukan haji tamattu' dan qiran. Atau bayaran-bayaran jika terianggar beberapa peraturan larangan yang telah ditentukan, ataupun udh-hiyah, yaitu yang disebut juga kurhari. Kita boleh memakan sebagian dagingnya dan yang sebagian lagi berikanlah kepada orang fakir, susah melarat.
Ayat 29
“Kemudian itu mereka bersihkanlah daki mereka." (pangkal ayat 29). Yaitu bila ihram haji telah selesai dengan tahallul, bersihkanlah kotoran yang melekat di badan. Karena mungkin selama berihram banyak daki (kotoran) dan pasir yang lekat di badan karena keringat dan peluh. Dicukur rambut atau digunting, dipepat kurnia dan janggut, dan ditanggalkan pakaian ihram: “Dan mereka penuhilah nazar-nazar mereka," atau mereka bayar nazar-nazar mereka. Baik nazar yang temiat dalam hati, atau kewajiban-kewajiban membayar dam (had-yu): “Dan hendaklah mereka tawaf di rumah kuno itu." (ujung ayat 29).
Yaitu setelah selesai mereka melontar jumratul aqabah di Mina, segeralah mereka ke Makkah mengerjakan tawal sebagai bagian (rukun) dari haji. Inilah yang dinamai juga tawaf Ifadhah. (Tawaf Ifadhah tersebut juga di ayat 198-199 Surat 2, al-Baqarah). Disebut rumah kuno karena sejarah telah lama, yaitu sejak Nabi Ibrahim. Bahkan ada riwayat bahwa sebelum Ibrahim telah ada, tetapi runtuh ketika taufan Nabi Nuh. Tetapi “riwayat" ini tidak ada kesaksiannya dan al-Qur'an Cuma yang terang, Ka'bah adalah lebih tua atau lebih kuno danpada mesjid yang lain di dunia ini.
Selain dari Al-Baitil Atiq diartikan rumah kuno, ada lagi tafsir lain, yaitu rumah bebas. Karena atiq juga berarti bebas dan perbudakan. Dalam sebuah Hadist yang dirawikan oleh Termidzi tersebut:
“Hanyasanya dinamai rumah bebas, karena tidak pernah seorong penakluk dapat menguasainya."
Memang Alexander Macedania, tidak sampai ke sana. Buktinazar raja Babil tidak berani memasukinya, Abrahah raja muda Habsyi yang ingin meruntuhkannya dengan tentara bergajah, akhinya dia sendiri yang runtuh.
Ayat 30
“Demikianlah!" (pangkal ayat 30). Artinya, demikianlah peraturan manasik haji itu telah diatur Tuhan, semuanya itu adalah ibadah yang banyak sangkutpaut dengan syi'ar. Dengan tempat-tempat bersejarah: “Dan barangsiapa yang menghormati yang dilarang-pantangkan oleh Allah itu, maka yang begitu adalah baik di sisi Tuhan." Artinya, bahwasanya selama mengerjakan hail itu ada beberapa peraturan, ada beberapa larangan yang kalau dilanggar akan dirienda atau dikenakan dam. Mesti memakai ihram. Kepala tidak boleh tertutup, muka dan kedua telapak tangan perempuan mesti terbuka, tidak boleh berburu dan sebagainya, Maka barangsiapa yang mematuhl larangan pantangari, maka yang begitu adalah diterima baik dan diaenangi Tuhan. Karena itu adalah alamat kepatuhan: “Dan telah dihalalkan bagi kamu binatang-binatang temak," unta, kambing. domba dan sapi. "Kecuali mana yang dibacakan kepada kamu," yang sudah jelas ditentukan haramnya oleh Tuhan, yaitu: (1) bangkai, (2) daging babi, (3) darah dan (4) yang diaembelih untuk yang selain Allah. Selain dari yang ditentukan haramnya oleh Allah dan Rasul seperti yang disebut di zamari jahiliyah, yang mereka sebut bahirah, sa-ibah, washi-lah dan ham, (lihat Surat 5 al-Maidah, ayat 103) semuanya itu adalah bohong belaka, tidak ada dalam ‘peraturan: “Maka jauhilah yang keji dari berhala-berhala itu." Bertambah dalam iman, menjauhilah dan berhala-berhala. Sebab berhala adalah keji."Dan jauhilah kata-kata dosa." (ujung ayat 30). Orang yang berbudi tinggi, yang telah menetapkan hanya Allah jadi tujuan pasti tidak keluar dari mulutnya kata-kata omong kosong.