Ayat
Terjemahan Per Kata
هَلۡ
apakah/tidakkah
يَنظُرُونَ
mereka menanti-nanti
إِلَّآ
kecuali/melainkan
أَن
bahwa
يَأۡتِيَهُمُ
datang kepada mereka
ٱللَّهُ
Allah
فِي
dalam
ظُلَلٖ
naungan
مِّنَ
dari
ٱلۡغَمَامِ
awan
وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ
dan Malaikat
وَقُضِيَ
dan telah diputuskan
ٱلۡأَمۡرُۚ
perkara
وَإِلَى
dan kepada
ٱللَّهِ
Allah
تُرۡجَعُ
dikembalikan
ٱلۡأُمُورُ
perkara
هَلۡ
apakah/tidakkah
يَنظُرُونَ
mereka menanti-nanti
إِلَّآ
kecuali/melainkan
أَن
bahwa
يَأۡتِيَهُمُ
datang kepada mereka
ٱللَّهُ
Allah
فِي
dalam
ظُلَلٖ
naungan
مِّنَ
dari
ٱلۡغَمَامِ
awan
وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ
dan Malaikat
وَقُضِيَ
dan telah diputuskan
ٱلۡأَمۡرُۚ
perkara
وَإِلَى
dan kepada
ٱللَّهِ
Allah
تُرۡجَعُ
dikembalikan
ٱلۡأُمُورُ
perkara
Terjemahan
Tidak ada yang mereka tunggu-tunggu (pada hari Kiamat), kecuali kedatangan Allah dalam naungan awan bersama malaikat (untuk melakukan perhitungan), sedangkan perkara (mereka) telah diputuskan. Kepada Allahlah segala perkara dikembalikan.
Tafsir
(Tiadalah), maksudnya tidaklah (yang mereka tunggu-tunggu) buat memasukinya secara keseluruhan itu (melainkan datangnya Allah kepada mereka) maksudnya siksa Allah seperti pada firman-Nya "atau datang amru rabbika artinya siksa Tuhanmu" (dalam naungan) 'zhulal' jamak dari 'zhillah', artinya naungan (awan dan malaikat dan diputuskanlah perkataan-Nya) hingga tamatlah riwayat mereka. (Dan kepada Allah dikembalikan segala urusan) ada yang menyatakan dalam bentuk pasif, ada pula aktif, yakni di akhirat untuk menerima pembalasan dari-Nya.
Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan datangnya (siksa) Allah dalam naungan awan dan malaikat, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan. Allah subhanahu wa ta’ala mengancam orang-orang kafir melalui Nabi Muhammad ﷺ Untuk itu Dia berfirman: Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan datangnya (siksa) Allah dalam naungan awan dan malaikat. (Al-Baqarah: 210) Yakni pada hari kiamat nanti di saat diputuskan semua perkara seluruh umat manusia dari awal sampai akhirnya, lalu setiap orang yang beramal mendapat balasan yang setimpal dari amal perbuatannya. Jika amalnya baik, maka balasannya baik pula; jika amalnya buruk, maka balasannya buruk pula. Karena itulah dalam ayat berikutnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan. (Al-Baqarah: 210) Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya: Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi diguncangkan berturut-turut, dan datanglah Tuhanmu, sedangkan malaikat berbaris-baris, dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia, tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. (Al-Fajr: 21-23) Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala: Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedatangan (siksa) Tuhanmu, atau kedatangan beberapa ayat Tuhanmu. (Al-An'am: 158), hingga akhir ayat.
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir dalam bab ini menuturkan sebuah hadits mengenai As-sur (sangkakala) yang cukup panjang mulai dari permulaannya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ Hadits ini cukup terkenal dan diketengahkan oleh banyak pemilik kitab musnad dan lain-lainnya. Antara lain di dalamnya disebutkan seperti berikut: Bahwa umat manusia di saat mengalami kesusahan di padang mahsyar, mereka meminta syafaat kepada Tuhannya melalui para nabi seorang demi seorang, mulai dari Nabi Adam sampai nabi-nabi yang sesudahnya.
Tetapi nabi-nabi itu mengelakkan dirinya dari memohon syafaat tersebut, hingga sampailah mereka kepada Nabi Muhammad ﷺ Ketika mereka datang kepadanya, maka beliau ﷺ bersabda: Akulah orangnya, akulah orangnya yang dapat memohonkan syafaat. Lalu Nabi ﷺ berangkat dan bersujud kepada Allah di bawah Arasy, dan beliau meminta syafaat dari sisi Allah agar Dia berkenan datang untuk memutuskan peradilan di antara semua hamba-Nya. Maka Allah memberi izin kepadanya untuk memberi syafaat. Lalu Allah datang dalam naungan awan sesudah langit dunia terbelah dan semua malaikat yang ada padanya turun; kemudian langit kedua, dan langit ketiga hingga langit ketujuh terbelah pula. Para malaikat penyangga Arasy dan malaikat Karubiyyun turun.
Kemudian Allah Yang Mahaperkasa turun dalam naungan awan dan para malaikat yang terdengar gemuruh suara tasbih mereka seraya mengucapkan, "Mahasuci Allah yang mempunyai kerajaan dunia dan kerajaan langit. Mahasuci Allah yang memiliki segala keagungan dan keperkasaan. Mahasuci Allah Yang Mahahidup dan tak pernah mati. Mahasuci Allah yang mematikan semua makhluk, sedangkan Dia tidak mati. Mahasuci lagi Mahakudus Tuhan para malaikat dan ruh.
Mahasuci lagi Mahakudus Tuhan kami Yang Mahatinggi. Mahasuci Tuhan yang memiliki kekuasaan dan keagungan. Mahasuci Allah selama-lamanya." Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih dalam bab ini mengetengahkan banyak hadits yang di dalamnya terkandung hal-hal yang aneh. Antara lain ialah apa yang diriwayatkannya melalui hadits Al-Minhal ibnu Amr, dari Abu Ubaidah ibnu Abdullah ibnu Maisarah, dari Masruq, dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Allah menghimpunkan orang-orang yang pertama dan orang-orang yang terakhir di suatu tempat pada hari yang telah dimaklumi, semua orang mengarahkan pandangannya ke langit menunggu-nunggu keputusan peradilan.
Lalu Allah turun dalam naungan awan dari Arasy sampai ke Al-Kursi. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu ‘Atha’ ibnu Miqdam, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir ibnu Sulaiman, bahwa ia pernah mendengar Abdul Jalil Al-Qaisi menceritakan atsar berikut dari Abdullah ibnu Amr sehubungan dengan makna firman-Nya: Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan datangnya (siksa) Allah dalam naungan awan. (Al-Baqarah: 210) Di saat awan itu turun, sedangkan jarak antara awan dan penciptanya itu tujuh puluh ribu hijab (tirai).
Di antara tirai itu ada cahaya kegelapan dan air, kemudian di dalam kegelapan itu air mengeluarkan suara gelegar yang dapat mengejutkan hati. Ibnu Abu Hatim mengatakan, ayahku telah menceritakan kepada kami, Muhammad ibnul Wazir Ad-Dimasyqi telah menceritakan kepada kami, Al-Walid telah menceritakan kepada kami, bahwa aku bertanya kepada Zahir ibnu Muhammad mengenai firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut: Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada had kiamat) melainkan datangnya (siksa) Allah dalam naungan awan. (Al-Baqarah: 210) Naungan awan ini tersusun dari batu-batu yaqut dan bertahtakan berbagai mutiara dan zabarjad.
Ibnu Abu Nujaih mengatakan dari Mujahid sehubungan dengan makna zulalin minal gamam. Yang dimaksud dengan awan dalam ayat ini bukan sembarang awan. Awan ini belum pernah terlihat oleh seorang pun kecuali oleh Bani Israil ketika mereka tersesat di padang pasir. Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan makna firman-Nya: Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan kedatangan Allah dalam naungan awan dan malaikat. (Al-Baqarah: 210) Yakni para malaikat datang dengan bernaungkan awan, sedangkan Allah subhanahu wa ta’ala datang dengan cara yang Dia kehendaki.
Pengertian ini menurut salah satu qiraah lainnya disebutkan seperti berikut: Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan datangnya Allah dan para malaikat dalam naungan awan. Perihalnya sama dengan makna yang terdapat di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: Dan (ingatlah) hari (ketika) langit pecah belah mengeluarkan kabut putih dan diturunkanlah malaikat bergelombang-gelombang. (Al-Furqan: 25)"
Tidak ada yang mereka, yakni para pemaksiat dan orang yang tidak melaksanakan Islam secara utuh, tunggu-tunggu kecuali datangnya azab Allah bersama malaikat dalam naungan awan kepada mereka, sedangkan perkara mereka, yakni ditimpakannya siksa atas mereka di hari Kiamat, telah diputuskan. Dan kepada Allah-lah segala perkara dikembalikan.
Tanyakanlah kepada Bani Israil, yakni Yahudi Madinah, berapa banyak bukti nyata yang telah Kami berikan kepada mereka. Banyak sekali nikmat yang Allah berikan kepada nenek moyang mereka, seperti terbelahnya lautan, terangkatnya bukit Tur di atas kepala mereka, dan diturunkannya manna dan salwa'. Barang siapa menukar nikmat Allah, yakni meng-ingkari nikmat atau petunjuk Allah dan menukarnya dengan kekufuran, setelah nikmat itu datang kepadanya, maka sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.
Kemudian Allah menegaskan kepada orang yang bersifat demikian, tak ada yang ditunggu kecuali datangnya azab pada hari kiamat sebagaimana telah dijanjikan-Nya.
Allah akan mendatangkan azab dan siksa-Nya berupa naungan awan yang semula mereka sangka akan membawa rahmat, padahal awan itu penuh dengan azab, yang dibawa oleh malaikat. Dalam ayat lain disebutkan:
Dan (ingatlah) pada hari (ketika) langit pecah mengeluarkan kabut putih dan para malaikat diturunkan (secara) bergelombang. (al-Furqan/25:25).
Hal ini pasti akan berlaku, karena telah menjadi ketetapan Allah dan tidak ada jalan lagi untuk menghindarinya, karena memang segala sesuatunya akan dikembalikan kepada Allah.
Kiranya tidak banyak waktu lagi bagi orang yang belum juga sadar dan bagi pelanggar-pelanggar hukum Allah untuk cepat-cepat bertobat, meninggalkan perbuatan jahatnya sebelum meninggalkan dunia yang fana ini dan pindah ke alam baka.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Setelah pada ayat-ayat yang lalu Allah membicarakan perihal orang-orang yang beriman dan dibicarakan pula orang-orang yang musyrik, kafir, dan dibicarakan pula dari hal Ahlul Kitab dan juga orang munafik maka sekarang datanglah ayat dakwah kepada semua golongan itu,
Ayat 208
“Wahai, orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam keseluruhannya."
Menurut penafsiran Imam asy-Syaukani, pada lubuk hati sekalian golongan yang tersebut di atas, baik dia disebut kafir atau musyrik maupun dia Ahlul Kitab ataupun bahkan dia orang munafik, tetapi di dalam lubuk hati mereka tetap ada iman kepada Allah. Orang musyrik dalam hati mereka masih tetap mengakui percaya kepada Allah, Ahlul Kitab, baik Yahudi maupun Nasrani telah diajar oleh agama mereka untuk percaya kepada Allah, cuma pusaka tua menyembah berhala itu berat sekali melepaskan. Orang munafik, lidah mereka mengakui beriman, tetapi hati mereka tidak mau percaya. Akan tetapi, kalau dikaji-kaji lebih mendalam, mereka pun merasakan salah mereka menjadi munafik itu. Maka, menurut ayat ini, Allah menyeru kepada seluruhnya, lebih baik masuk sajalah ke dalam Islam, jangan lagi berpecah-pecah juga dibawa hawa nafsu dan kehendak masing-masing.
Di sini terdapat dua kalimat yang seyogianya kita ketahui benar-benar apa maksudnya. Pertama, kalimat as-Silmi. Kedua, perkataan kaaffatan.
As-Silmi, menurut penafsiran dari Al-Kisa'i, pada asal loghatnya boleh dibaca dengan huruf sin yang di-fathah-kan (baris di atas) jadi as-salmi dan boleh dibaca as-silmi, sebagaimana yang masyhur yang kita baca ini. Arti kedua bacaan itu ialah satu saja, yaitu Islam, yang berarti menyerah diri dengan tulus ikhlas. Dan, berarti juga al-musalamah yang berarti suasana perdamaian di antara dua pihak yang selama ini belum damai. Maka, jika dituruti tafsiran asy-Syaukani tadi, berartilah orang yang beriman atau Ahlul Kitab atau munafik itu, yang selama ini seakan-akan masih menentang Allah dan Allah pun murka kepada mereka, agar mereka rujuk kembali kepada Allah, berdamai terhadap Allah, supaya Tuhan pun memberi ampun mereka.
Lalu, datang kalimat kaaffatan yang berarti semuanya atau seluruhnya. Kalau kita anggap dia sebagai hal daripada orang-orang yang telah dianggap beriman tadi maka yang dimaksud dengan keseluruhan ialah seluruh kafir, musyrik, munafik, dan orang-orang yang telah masuk Islam lebih dahulu itu, supaya mulai saat ini lebih baik mereka seluruhnya bersatu di dalam Islam. Akan tetapi, kalau kaaffatan kita jadikan hal dari as-silmi atau Islam itu sendiri, berartilah dia sebagai seruan kepada sekalian orang yang telah mengaku beriman kepada Allah supaya kalau mereka Islam janganlah masuk separuh-separuh, sebagian-sebagian, bahkan masukilah keseluruhannya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwasanya ibnu Abbas menafsirkan ayat ini ialah mengenai orang-orang Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ berkata, “Ya, Rasulullah! Hari Sabtu adalah hari yang sangat kami muliakan. Bolehkanlah kiranya kami tetap memuliakan hari itu. Dan, kitab Taurat pun Kitab Allah juga. Sebab itu, biarkanlah kami kalau malam-malam tetap sembahyang secara Taurat." Maka, turunlah ayat ini mengatakan kalau masuk Islam hendaklah memasuki keseluruhannya, jangan separuh-separuh.
Kita dapat lebih paham penafsiran yang kedua ini bahwa maksud ayat ialah kaaffatan menjadi hal dari as-silmi itu sendiri, yaitu tafsir yang kedua. Apatah lagi jika kita ingat ayat yang sebelumnya, yang menerangkan bahwa ada manusia yang telah menjual diri kepada Allah karena mengharapkan ridha Allah. Menjual diri kepada Allah niscaya tidak boleh tanggung-tanggung, melainkan keseluruhannya.
Maka, dapatlah kita tafsirkan ayat ini bahwasanya kalau kita telah mengakui beriman dan telah menerima Islam sebagai agama, hendaklah seluruh isi Al-Qur'an dan tuntunan Nabi diakui dan diikuti.
Semuanya diakui kebenarannya dengan mutlak. Meskipun misalnya belum dikerjakan semuanya, sekali-kali jangan dibantah! Sekali-kali janganlah diakui ada satu peraturan lain yang lebih baik dari peraturan Islam. Dalam pada itu, hendaklah kita melatih diri agar sampai pun kita menutup mata yang terakhir, meninggal dunia, hendaknya kita telah menjadi orang Islam yang 100%.
“Janganlah kamu meninggal, melainkan adalah hendaknya kamu Muslim sejati." (Aali ‘Imraan: 102)
Sebagai bangsa, sebelum nenek moyang kita memeluk Islam, kita telah mempunyai peraturan-peraturan pusaka nenek moyang yang terdahulu. Seumpama orang Tapanuli dengan adat patriarchat dan orang Minangkabau telah mempunyai adat matriarchat, yang keduanya mempunyai peraturan-peraturan warisan yang berbeda sama sekali daripada hukum yang ditentukan islam. Orang Minangkabau telah Islam, tetapi kadang-kadang harta pen-caharian seorang laki-laki dirampas juga dari anaknya, karena menurut adat Demikian juga orang Tapanuli, yang mewariskan harta kepada saudara laki-laki sehingga istri pun dia wariskan pula dan tidak mendapat bagian.
Maka, belumlah sempurna, belumlah “masuk Islam keseluruhannya" di Minangkabau dan Mandailing, kalau peraturan warisnya masih belum menurut peraturan Al-Qur'an walaupun di tempat itu telah berdiri masjid-masjid yang megah perkasa. Kita pun dapat memahami hukum-hukum sosiologi bahwasa nya mengubah dari orde yang lama kepada orde yang baru tidaklah dapat secepat kilat. Ini pun tidak mengapa, asal saja dimengerti bahwasanya peraturan Islam lebih baik daripada peraturan adat lama itu.
Demikian juga dalam pendirian negara yang modern dan berdasarkan demokrasi. Hendaklah di negeri-negeri Islam agar umatnya menjalankan peraturan-peraturan Islam, jangan sampai peraturan-peraturan dan hukum yang berasal dari Islam ditinggalkan lalu diganti dengan hukum Barat yang bersumber dan latar belakangnya kalau tidak dari Kristen, tentu hukum Romawi Kuno. Dan, di dalam negara yang penduduknya sebagian besar umat Islam dan ada pula pemeluk agama yang lain, agar terhadap golongan yang besar Muslim itu dibiarkan berlaku hukum syari'at Islam.
Pendeknya, kita wajib berikhtiar agar Islam dalam keseluruhannya berlaku pada masing-masing pribadi kita, lalu kepada masyarakat kita, lalu kepada negara kita. Selama hayat dikandung badan, kita harus berjuang terus agar Islam dalam keseluruhannya dapat berdiri dalam kehidupan kita. Dan, jangan sampai kita mengakui bahwa ada satu peraturan lain yang lebih baik daripada peraturan Islam.
“Dan janganlah kamu turut jejak-jejak setan; sesungguhnya, dia bagi kamu adalah musuh yang nyata."
Niscaya setan, baik yang halus maupun yang kasar, senantiasa berusaha hendak membelokkan perhatian orang yang beriman dari tujuan yang telah ditentukan itu. Niscaya setan-setan tidak merasa senang kalau tercapai tujuan itu. Sebab itu, gangguan setan akan mengemukakan pula rencana-rencana lain, jejak dan pengaruh lain, sehingga bukan sedikit negeri Islam atau orang yang terkemuka beragama Islam tidak merasa yakin, bahkan ada yang menolak kebenaran kehendak Islam. Seumpama negeri Turki di bawah pimpinan Kemal Attaturk, karena merasa sulit menggabungkan beberapa ijtihad ulama Islam untuk hukum pidana dan perdata negerinya, lalu diambilnya saja secara langsung undang-undang Swizerland untuk pengganti undang-undang negerinya.
Di Indonesia ini pemerintah jajahan Belanda, untuk menghilangkan pengaruh hukum Islam, sengaja menonjolkan beberapa hukum adat. Dan, hukum-hukum adat itu dicari-cari pada tiap-tiap daerah sehingga timbullah berbagai rona corak hukum karena perbedaan adat. Belanda lebih suka hukum adat yang berpecah belah daripada penduduk negeri golongan terbesar (mayoritas) beragama Islam itu bersatu hukumnya menurut agamanya, padahal hukum itu memang ada. Akan tetapi, lucunya, di negeri yang hukum Islam telah dijadikan hukum adat, mereka tidak pula mau mengakui hukum itu. Seumpama di dalam negeri Kerajaan Buton (Pulau Buton, Sulawesi) telah dijadikan hukum adat merajam.
Ayat 209
“Maka, apabila kamu tergelincir sesudah datang kepada kamu penjelasan-penjelasan maka ketahuilah olehmu bahwasanya Allah Mahagagah lagi Mahabijaksana."
Di ayat inilah ditunjukkan akibat menuruti jejak setan-setan. Sebab, jalan Allah hanya satu dan kitab pedoman pun hanya satu, yaitu Al-Qur'an, dan pimpinan hanya satu, yaitu Muhammad ﷺ. Setan selalu merayu di pinggir jalan itu, menggamit-gamit supaya tinggalkan itu, turuti dia.
Kemudian, datanglah ancaman dan pengecaman Allah atas yang lalai,
Ayat 210
“Tiadalah yang meteka tunggu kecuali bahwa datang kepada mereka itu (siksa) Allah di dalam gumpalan awan bersama Malaikat. Padahal, perkara telah diputuskan dan kepada Allah akan kembali segala perkana."
Di dalam ayat tidak ada kata siksa. Dan, inilah ancaman-ancaman atas orang yang tergelincir dari jalan benar. Tergelincir adalah , dalam dua hal yang pokok. Pertama ialah tergelincir dari tauhid kepada syirik. Lantaran itu, mereka jadikanlah yang batil menjadi ganti yang hak, ini karena telah mereka persekutukan yang lain dengan Allah. Mereka telah menghabiskan tenaga buat memuja benda dan alam dalam berbagai bentuknya, padahal alam itu adalah makhluk belaka. Kalau di zaman purbakala benar-benar orang mendirikan patung dan berhala buat disembah, dan mereka melupakan Allah karena mementingkan diri. Tergelincir yang kedua ialah karena menurutkan purbasangka belaka. Mereka tidak mau mempelajari hakikat dan agama yang dipeluknya sehingga apa yang dikerjakannya hanyalah turut-turutan, sehingga hakikat agama hilang dalam selimut dan selubung dari bidah dan khurafat. Mereka telah tekun beramal, padahal yang diamalkannya itu tidak ada dalam Islam. Tanda mereka Islam ialah bila lahir ke dunia diberi nama Arab, setelah usia tujuh tahun lalu dikhitan, dan setelah kawin dibawa ke muka penghulu atau tukang catat nikah; dan penghulu itu membacakan ijab-qabul nikah memakai bahasa Arab dan dibakar kemenyan, sampai membaca doa bahasa Arab, dan kelak kalau mati dikuburkan sebagaimana orang Islam lalu masuklah seorang lebai ke dalam lahad menyerukan adzan (bang), setelah itu baru ditimbun, lalu ditalqin dengan suara sedih, lalu disiram kuburan itu dengan air dan mulut yang menyiramkan air itu berkomat-kamit membaca apa-apa. Maka, puaslah sekalian keluarga sebab segala syarat sebagai orang Islam telah dipenuhi walaupun selama hidupnya dia tidak mengenal apa itu Islam, apa shalat, apa puasa, bahkan kadang-kadang tidak mengerti apa yang dinamakan mandi junub!
Maka, datanglah ancaman ayat! Apakah akan lalai juga? Belum juga sadar dari langkah yang sudah tergelincir? Apakah menunggu datangnya adzab bergulung-gulung di dalam awan dan Malaikat membawa adzab datang pada waktu itu?
Apakah hakikat dari awan yang bergumpal itu dan bilakah akan datangnya? Tidaklah penafsiran akan sampai ke sana karena itu urusan gaib.
Apakah awan itu sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ghazali bahwasanya awan itu ialah hijab atau dinding yang men-dinding manusia dari kebenaran. Kelak kalau Kiamat datang, hijab-hijab itu akan hilang sirna satu demi satu kecuali satu hijab saja, yaitu hijab untuk mengenal Allah dengan pengenalan yang sempurna. Itulah bahagia terakhir yang pada waktu itu akan tenggelam ruh ke dalam suatu keadaan yang dengan mulut dan tulisan tidaklah dapat diterangkan lagi.
Untuk menghindarkan dari panjang lebarnya penafsiran maka di dalam terjemahan Al-Qur'an, baik dari A. Hassan (Tafsir Furqan) maupun Tafsiran Panitia Kementerian Agama dan tafsir yang lain-lain, penafsirnya, “Datang kepada mereka itu Allah" mereka tambah saja di tengah, yaitu, “Datang kepada mereka itu siksa Allah." Padahal kalimat aslinya ialah,
“Datang kepada mereka itu Allah"
Terjemah yang dipilih oleh ahli-ahli tafsir kita ialah untuk menghilangkan banyak musykil pertanyaan dari banyak pembaca yang masih dangkal pengertiannya dalam agama. Adakah mungkin Allah sendiri yang datang, padahal Dia tidak dikandung tempat dan lebih luas, lebih besar daripada tempat yang akan didatangi-Nya. Lantaran itu, mereka ambil saja jalan yang ringkas, yaitu menakdirkan atau menjangkakan ada mudhaf yang bersembunyi menurut hukum-hukum ilmu nahwu dan balaghah. Perkataan yang tersembunyi itu ialah adzab! Yang berarti siksa. Maka, pada masa itu kelak akan datanglah adzab Allah, bukan Allah sendiri. Sebagaimana jua tersebut di dalam surah Yuusuf ayat 82,
“Was-al ahlal qaryati." Artinya, tanyakanlah kepada penduduk desa itu. Maka, kalimat yang tersembunyi ialah ahli; jadi asalnya,
“Was-al ahlal qaryati." Berarti, tanya ilah penduduk desa itu. Sebab, tidak mungkin akan menjawab desa itu sendiri sebab desa bukan orang. Dibawa kepada ayat ini, tidak mungkin Allah itu sendiri yang datang, melainkan adzab-Nyalah yang akan datang di dalam awan-gumawan.
Akan tetapi, tentang Allah akan datang itu, bukanlah satu ini saja ayatnya dalam Al-Qur'an. Di dalam surah al-Fajar ayat 22 ditegaskan pula bahwa “Tuhan Allah pun datang dan Malaikat-Malaikatberbaris-baris" Dalam surah an-Naba': 38 pun disebutkan bahwa ruh dan Malaikat akan berdiri bersaf-saf dan tidak ada yang akan dapat berbicara kalau tidak diizinkan oleh Allah Yang Rahman.
Maka, setengah dari ulama salaf tidaklah mau menafsirkan panjang lebar ayat-ayat yang demikian. Telah tertulis bahwa Allah akan datang di hari itu di dalam bayang-bayang atau lindungan dari awam-gumawan. Bagaimana keadaannya dan bagaimana keadaan awan, di mana tegaknya Malaikat yang banyak, yang bershaf mengelu-elukan kedatangan Allah sehingga tiada seorang pun yang berani berbicara kalau tidak dengan izin Allah? Apakah yang sebenarnya? Tidaklah akan mungkin di dalam kehidupan duniawi yang sempit terbatas ini kita memberikan tafsiran yang nyata. Sebab, soal itu adalah soal hari nanti, yang percaya akan hari itu adalah termasuk salah satu tiang dari iman kita.
Apakah awan yang disebutkan itu ialah nur atau cahaya yang mendinding di antara kita dan Dia, bahkan mendinding di antara makhluk yang sangat dekat kepada-Nya, sebagaimana
Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad ﷺ sendiri pun tidak dapat melihat Dia, karena dihambat oleh dinding itu. Dan, apabila Hari Kiamat datang dan Hari Perhitungan sampai, dinding itu akan dibukakan dan kita dapat melihat Dia untuk menerima ridha-Nya atau menunggu keputusan siksa-Nya.
Dalam kehidupan dunia ini pun, di dalam Al-Qur'an sendiri terdapat tentang pengalaman Nabi Ibrahim yang dapat kita baca secara nyata. Di dalam surah al-An'am ayat 77 dan 78 kita diberi tahu bahwa ketika Ibrahim melihat bulan, beliau awalnya telah merasa bahwa inikah agaknya Tuhannya. Maka, bintang adalah salah satu dinding. Terlepas dari bintang bertemu bulan, dikesan pertamanya, dia akan disangka Tuhan, padahal dia pun masih dinding. Terbuka dinding bulan, sampailah pada matahari. Kemudian, ternyata matahari pun masih dinding. Dan, banyak lagi dinding yang lain.
Dinding-dinding yang menghambat kita dari Al-Haq itu memang teramat banyak. Akan tetapi, meskipun banyak, yang penting ialah kesadaran bahwa dindingitu ada. Sehingga kita selalu melatih diri menyeruak dan menembus dinding itu satu demi satu, sehingga terang yang akan kita saksikan (musyahadah) terakhir sekali tidak menyilaukan mata kita dan menyebabkan kita kembali buta. Adalah seibarat orang yang telah berhari-hari lamanya duduk dalam lubang yang kelam, tiba-tiba dibawa melihat matahari maka tidaklah dapat ditantangnya cahaya itu bahwa dia akan terikat dalam suasana kelam. Sebab itu, latihlah diri dan mata sehingga tidak silau jika datang waktunya.
Menurut hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al-Asy'ari, tersebut sabda Nabi demikian,
“Dan tidaklah ada di antara kaum itu dan di antara suasana akan melihat Tuhan mereka, melainkan sehubung kebesaran Tuhan yang meliputi wajah-Nya."
Dan, menurut hadits yang shahih pula, Rasulullah ﷺ pernah menanyakan kepada Jibril, adakah Jibril itu pernah melihat Tuhannya? Jibril menjawab, bahkan di antaranya dengan Allah adalah terdapat tujuh puluh dinding dari nur. Bagaimana dia akan dapat melihat?
Dan, di waktu Mi'raj Nabi kita ﷺ sampai ke suatu yang paling tinggi. Maka, setelah pulangnya, bertanyalah Abu Dzar, adakah dia melihat Allah? Nabi menjawab,
“Bagaimana aku akan dapat melihat-Nya?"
Lalu, Nabi menerangkan pengalamannya, sebagaimana pengalaman Jibril itu pula, bahwa batasnya dengan Allah adalah nur belaka.
Kemuliaan tertinggi melihat wajah Allah akan diberikan kelak kepada kita di alam akhirat bagi siapa yang melatih dirinya dari sekarang untuk mencapai itu, dengan menuntut Shirathal Mustaqim.
“Wajah-wajah pada hari itu akan berseri-seri (karena) kepada Tuhannya mereka akan memandang." (al-Qiyamah: 22-23)
Dan, janganlah sampai hendaknya, Allah pun datang, padahal Dia tidak sudi melihat kita dan tidak mengajak kita bercakap, sebagaimana tersebut dalam surah al-Baqarah ayat 174 atau Aali Imraan ayat 77, karena murka-Nya kepada kita.
Dia datang, tetapi bukan datang menyatakan ridha-Nya, hanyalah menyatakan murka-Nya. Moga-moga jangan demikian hendaknya kita. Amin.