Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ
dan wanita yang bersuami
مِنَ
dari
ٱلنِّسَآءِ
manusia
إِلَّا
kecuali
مَا
apa
مَلَكَتۡ
kamu miliki
أَيۡمَٰنُكُمۡۖ
tangan kananmu/budak-budakmu
كِتَٰبَ
ketetapan
ٱللَّهِ
Allah
عَلَيۡكُمۡۚ
atas kalian
وَأُحِلَّ
dan dihalalkan
لَكُم
bagi kalian
مَّا
apa
وَرَآءَ
dibelakang (selain)
ذَٰلِكُمۡ
demikian itu
أَن
bahwa
تَبۡتَغُواْ
kamu mencari
بِأَمۡوَٰلِكُم
dengan hartamu
مُّحۡصِنِينَ
untuk dikawini
غَيۡرَ
tidak/bukan
مُسَٰفِحِينَۚ
untuk berzina
فَمَا
maka apa
ٱسۡتَمۡتَعۡتُم
telah kamu nikmati
بِهِۦ
dengannya (wanita itu)
مِنۡهُنَّ
dari/diantara mereka
فَـَٔاتُوهُنَّ
maka berikan kepada mereka
أُجُورَهُنَّ
mahar/maskawin
فَرِيضَةٗۚ
suatu kewajiban
وَلَا
dan tidak
جُنَاحَ
berdosa
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
فِيمَا
terhadap apa (sesuatu)
تَرَٰضَيۡتُم
kamu saling merelakan
بِهِۦ
dengannya (wanita itu)
مِنۢ
dari
بَعۡدِ
sesudah
ٱلۡفَرِيضَةِۚ
ditentukan
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
عَلِيمًا
Maha Mengetahui
حَكِيمٗا
Maha Bijaksana
وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ
dan wanita yang bersuami
مِنَ
dari
ٱلنِّسَآءِ
manusia
إِلَّا
kecuali
مَا
apa
مَلَكَتۡ
kamu miliki
أَيۡمَٰنُكُمۡۖ
tangan kananmu/budak-budakmu
كِتَٰبَ
ketetapan
ٱللَّهِ
Allah
عَلَيۡكُمۡۚ
atas kalian
وَأُحِلَّ
dan dihalalkan
لَكُم
bagi kalian
مَّا
apa
وَرَآءَ
dibelakang (selain)
ذَٰلِكُمۡ
demikian itu
أَن
bahwa
تَبۡتَغُواْ
kamu mencari
بِأَمۡوَٰلِكُم
dengan hartamu
مُّحۡصِنِينَ
untuk dikawini
غَيۡرَ
tidak/bukan
مُسَٰفِحِينَۚ
untuk berzina
فَمَا
maka apa
ٱسۡتَمۡتَعۡتُم
telah kamu nikmati
بِهِۦ
dengannya (wanita itu)
مِنۡهُنَّ
dari/diantara mereka
فَـَٔاتُوهُنَّ
maka berikan kepada mereka
أُجُورَهُنَّ
mahar/maskawin
فَرِيضَةٗۚ
suatu kewajiban
وَلَا
dan tidak
جُنَاحَ
berdosa
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
فِيمَا
terhadap apa (sesuatu)
تَرَٰضَيۡتُم
kamu saling merelakan
بِهِۦ
dengannya (wanita itu)
مِنۢ
dari
بَعۡدِ
sesudah
ٱلۡفَرِيضَةِۚ
ditentukan
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
عَلِيمًا
Maha Mengetahui
حَكِيمٗا
Maha Bijaksana
Terjemahan
(Diharamkan juga bagi kamu menikahi) perempuan-perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dihalalkan bagi kamu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu, yakni kamu mencari (istri) dengan hartamu (mahar) untuk menikahinya, bukan untuk berzina. Karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah kepada mereka imbalannya (maskawinnya) sebagai suatu kewajiban. Tidak ada dosa bagi kamu mengenai sesuatu yang saling kamu relakan sesudah menentukan kewajiban (itu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Tafsir
(Dan) diharamkan bagimu (wanita-wanita yang bersuami) untuk dikawini sebelum bercerai dengan suami-suami mereka itu, baik mereka merdeka atau budak dan beragama Islam (kecuali wanita-wanita yang kamu miliki) yakni hamba-hamba sahaya yang tertawan, maka mereka boleh kamu campuri walaupun mereka punya suami di negeri perang, yakni setelah istibra' atau membersihkan rahimnya (sebagai ketetapan dari Allah) kitaaba manshub sebagai mashdar dari kata dzaalika; artinya telah ditetapkan sebagai suatu ketetapan dari Allah (atas kamu, dan dihalalkan) ada yang membaca uhilla bentuk pasif ada pula ahalla bentuk aktif (bagi kamu selain yang demikian itu) artinya selain dari wanita-wanita yang telah diharamkan tadi (bahwa kamu mencari) istri (dengan hartamu) baik dengan maskawin atau lainnya (untuk dikawini bukan untuk dizinahi) (maka istri-istri) dengan arti faman (yang telah kamu nikmati) artinya campuri (di antara mereka) dengan jalan menyetubuhi mereka (maka berikanlah kepada mereka upah mereka) maksudnya maskawin mereka yang telah kamu tetapkan itu (sebagai suatu kewajiban. Dan kamu tidaklah berdosa mengenai sesuatu yang telah saling kamu relakan) dengan mereka (setelah ditetapkan itu) baik dengan menurunkan, menambah atau merelakannya. (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui akan ciptaan-Nya (lagi Maha Bijaksana) dalam mengatur kepentingan mereka.
Tafsir Surat An-Nisa': 24
Dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kalian. Dan dihalalkan bagi kalian selain itu, (yaitu) mencari istri-istri dengan harta kalian untuk dikawini, bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kalian nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tidak mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat 24
Firman Allah ﷻ: “Dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki.” (An-Nisa: 24)
Diharamkan atas kalian mengawini wanita yang telah terpelihara kehormatannya, yakni telah bersuami. Kecuali budak-budak yang kalian miliki melalui tawanan perang, dihalalkan bagi kalian menggauli mereka bila terlebih dahulu kalian meng-istibra'-kan (membersihkan rahim) mereka terlebih dahulu, karena sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan hal tersebut.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan As-Sauri, dari Usman Al-Batti, dari Abul Khalil, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan, "Kami pernah memperoleh tawanan perang dari tawanan Perang Autas, sedangkan mereka (wanita-wanita hasil tawanan) mempunyai suami. Maka kami tidak suka menggauli mereka karena mereka punya suami. Lalu kami bertanya kepada Nabi ﷺ, dan turunlah firman-Nya: ‘Dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kalian miliki ' (An-Nisa: 24). Maka kami menghalalkan farji (kemaluan) mereka."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, dari Ahmad ibnu Mani', dari Hasyim. Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Sufyan As-Sauri dan Syu'bah ibnul Hajjaj, ketiga-tiganya menerima hadits ini dari Usman Al-Batti. Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadits Asy'as ibnu Siwar, dari Usman Al-Batti. Imam Muslim meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya melalui hadits Syu'bah, dari Qatadah. Usman Al-Batti dan Qatadah menerima hadits ini dari Abul Khalil Saleh ibnu Abu Maryam, dari Abu Sa'id Al-Khudri. Hal yang sama diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah, dari Abul Khalil, dari Abu Sa'id Al-Khudri dengan lafal yang sama.
Diriwayatkan melalui jalur lain dari Abul Khalil, dari Abu Alqamah Al-Hasyimi, dari Abu Sa'id Al-Khudri. Untuk itu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi, dari Sa'id, dari Qatadah, dari Abul Khalil, dari Abu Alqamah, dari Abu Sa'id Al-Khudri, bahwa sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ memperoleh tawanan wanita dalam Perang Autas, sedangkan tawanan-tawanan wanita itu mempunyai suami yang musyrik. Tersebutlah bahwa sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ ada yang enggan dan merasa berdosa bila menggauli mereka. Maka turunlah ayat berikut sehubungan dengan peristiwa itu, yaitu firman-Nya: “Dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki.” (An-Nisa: 24)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam An-Nasai melalui hadits Sa'id ibnu Abu Arubah. Imam Muslim dan Syu'bah menambahkan bahwa Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya dari hadits Hammam ibnu Yahya. Ketiga-tiganya menerima hadits ini dari Qatadah berikut sanadnya dengan lafal yang serupa. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. “Aku merasa yakin tidak ada seorang pun yang menyebutkan Abu Alqamah dalam sanad hadits ini kecuali yang diutarakan oleh Hammam dari Qatadah," demikianlah menurut Imam At-Tirmidzi.
Ternyata ini diikuti oleh Sa'id dan Syu'bah. Imam Ath-Thabarani meriwayatkan melalui hadits Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan tawanan Perang Khaibar, lalu Ath-Thabarani menuturkan kisah seperti yang diutarakan oleh Abu Sa'id. Segolongan ulama Salaf berpendapat, menjual budak wanita merupakan talak baginya dari suaminya, karena berdasarkan keumuman makna ayat ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, dari Syu'bah, dari Mugirah, dari Ibrahim, bahwa ia pernah ditanya tentang masalah budak perempuan yang dijual, sedangkan budak perempuan itu mempunyai suami. Maka Ibrahim mengatakan, "Dahulu Abdullah pernah mengatakan bahwa menjualnya berarti sama saja dengan menceraikannya dari suaminya. Lalu Abdullah membacakan firman-Nya: 'Dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki ' (An-Nisa: 24)."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Sufyan As-Sauri, dari Mansur dan Mugirah dan Al-A'masy dari Ibrahim, dari ibnu Mas'ud yang telah mengatakan "Menjual budak perempuan (yang telah bersuami) sama dengan menceraikannya." Asar ini munqati' (terputus sanadnya).
Sufyan As-Sauri meriwayatkannya dari Khulaid, dari Abu Qilabah, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa budak perempuan apabila dijual dalam keadaan telah bersuami, maka tuan yang membelinya adalah orang yang lebih berhak terhadap farji (kemaluannya)nya.
Sa'id meriwayatkannya dari Qatadah yang mengatakan bahwa Ubay ibnu Ka'b, Jabir ibnu Abdullah, dan Ibnu Abbas mengatakan, "Menjual budak perempuan (yang telah bersuami) sama dengan menceraikannya."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Khulaid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa perceraian budak perempuan ada lima perkara, yaitu: menjualnya berarti menceraikannya, memerdekakannya berarti menceraikannya, menghibahkannya berarti menceraikannya, meng-istibra'-kannya berarti menceraikannya, dan diceraikan oleh suaminya berarti menceraikannya.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ibnul Musayyab sehubungan dengan firman -Nya: “Dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami.” (An-Nisa: 24) Bahwa ayat ini berkenaan dengan wanita-wanita yang mempunyai suami, Allah mengharamkan mengawini mereka; kecuali budak-budak yang dimiliki olehmu, maka menjualnya berarti sama dengan menceraikannya.
Ma'mar mengatakan bahwa Al-Hasan telah mengatakan hal yang serupa. Hal yang sama diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Al-Hasan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki.” (An-Nisa: 24) Apabila budak wanita mempunyai suami lalu dijual, maka menjualnya sama dengan menceraikannya dari suaminya.
Auf telah meriwayatkan dari Al-Hasan, bahwa menjual budak perempuan sama dengan menceraikannya dari suaminya, dan menjual budak laki-laki sama dengan menceraikannya dari istrinya. Demikianlah pendapat yang dikatakan oleh ulama Salaf. Tetapi berbeda dengan mereka apa yang dikatakan oleh jumhur ulama, baik yang terdahulu maupun yang kemudian; mereka berpendapat bahwa menjual budak perempuan bukan berarti menceraikannya dari suaminya. Dikatakan demikian karena pihak pembeli merupakan pengganti dari pihak penjual. Sedangkan pihak penjual sejak semula telah dikecualikan dari manfaat kepemilikannya ini, lalu ia menjual si budak yang memegang manfaat ini. Mereka yang mengatakan demikian berpegang kepada hadits Barirah yang diketengahkan di dalam kitab Sahihain dan kitab lainnya. Disebutkan bahwa Siti Aisyah Ummul Mukminin membeli Barirah, lalu memerdekakannya, sedangkan nikah Barirah dengan suaminya Mugis tetap utuh, tidak fasakh (batal), kemudian Rasulullah ﷺ menyuruhnya memilih antara fasakh dan tetap. Ternyata Barirah memilih fasakh. Kisah mengenai Barirah ini cukup terkenal.
Dapat disimpulkan dari hadits di atas, seandainya menjual budak perempuan adalah menceraikannya dari suaminya, seperti yang dikatakan mereka, niscaya Nabi ﷺ tidak menyuruhnya memilih. Karena ternyata Nabi ﷺ menyuruhnya memilih antara fasakh dan tetap, hal ini berarti menunjukkan bahwa nikahnya tetap utuh. Sedangkan yang dimaksud dalam ayat tersebut khusus bagi wanita-wanita yang dihasilkan dari tawanan perang saja. Barangkali dapat dikatakan bahwa makna yang dimaksud dari firman-Nya: “Dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami.” (An-Nisa: 24) Yakni wanita-wanita yang terpelihara kehormatannya diharamkan bagi kalian sebelum kalian memiliki pegangannya melalui nikah, saksi-saksi, mahar, dan wali; seorang, dua orang, tiga orang, atau empat orang. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Abul Aliyah, Tawus, dan selain keduanya.
Umar dan Ubaid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami.” (An-Nisa: 24) selain dari empat orang istri, haram bagi kalian (kawin lagi), kecuali budak-budak wanita yang kalian miliki (pergundikan, pent.).
Firman Allah ﷻ: “Sebagai ketetapan (dari) Allah buat kalian.” (An-Nisa: 24) Pengharaman ini adalah hukum Allah yang ditetapkan-Nya atas kalian. Yang dimaksud ialah empat istri. Maka berpeganglah kalian kepada ketetapan-Nya dan janganlah kalian menyimpang dari hukum-hukum-Nya, tetapilah syariat dan hukum-Nya.
Ubaidah, ‘Atha’, dan As-Suddi mengatakan sehubungan dengan firman -Nya: “Sebagai ketetapan Allah atas kalian.” (An-Nisa: 24) Yakni empat orang istri.
Ibrahim mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Sebagai ketetapan Allah atas kalian.” (An-Nisa: 24) Yaitu hal-hal yang diharamkan atas kalian.
Firman Allah ﷻ: “Dan dihalalkan bagi kalian selain itu.” (An-Nisa: 24)
Selain dari wanita-wanita mahram yang telah disebutkan, semuanya halal kalian kawini. Demikianlah menurut ‘Atha’ dan lain-lainnya.
Ubaidah dan As-Suddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan dihalalkan bagi kalian selain itu”. (An-Nisa: 24) Selain dari empat orang istri.
Akan tetapi, pendapat ini jauh dari kebenaran. Pendapat yang benar adalah apa yang dikatakan oleh ‘Atha’ tadi.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan dihalalkan bagi kalian selain itu.” (An-Nisa: 24) Yaitu budak-budak wanita yang kalian miliki. Ayat ini merupakan dalil yang dijadikan hujah (argumen) bagi orang yang mengatakan halal menghimpun dua wanita bersaudara dalam nikah. Juga oleh pendapat orang yang mengatakan bahwa masalah tersebut dihalalkan oleh satu ayat dan diharamkan oleh ayat yang lain.
Firman Allah ﷻ: “(yaitu) mencari istri-istri dengan harta kalian untuk kalian kawini, bukan untuk berzina.” (An-Nisa: 24)
Kalian boleh mencari istri sebanyak empat orang dengan harta kalian, atau budak-budak wanita sebanyak yang kamu sukai melalui jalan yang diakui oleh syariat. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: “Untuk kalian kawini, bukan untuk berzina.” (An-Nisa: 24)
Firman Allah ﷻ: “Maka istri-istri yang telah kalian gauli di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.” (An-Nisa: 24)
Sebagaimana kalian telah memperoleh kesenangan dari mereka, maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai imbalan hal tersebut. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya: “Bagaimana kalian mengambilnya kembali, padahal sebagian kalian telah bergaul (bercampur) dengan yang lain.” (An-Nisa: 21)
Sama dengan makna firman-Nya: “Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa: 4)
Seperti firman Allah ﷻ: “Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka.” (Al-Baqarah: 229)
Keumuman makna ayat ini dijadikan dalil yang membolehkan nikah mut'ah, dan tidak diragukan lagi nikah mut'ah memang disyariatkan pada masa permulaan Islam, kemudian sesudah itu dimansukh (revisi).
Imam Syafii dan segolongan ulama mengatakan bahwa pada permulaannya nikah mut'ah diperbolehkan, kemudian dimansukh, lalu diperbolehkan lagi dan akhirnya dimansukh lagi; pe-nasikh-an (revisi) terhadapnya terjadi dua kali. Sedangkan ulama lainnya berpendapat lebih banyak dari dua kali. Ulama lainnya lagi mengatakan bahwa nikah mut'ah hanya diperbolehkan sekali, kemudian dimansukh dan tidak diperbolehkan lagi sesudahnya. Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan sejumlah sahabat suatu pendapat yang mengatakan boleh bila dalam keadaan darurat. Pendapat ini merupakan riwayat yang diketengahkan oleh Imam Ahmad. Tersebutlah bahwa Ibnu Abbas, Ubay ibnu Ka'b, Sa'id ibnu Jubair, dan As-Suddi membaca ayat ini dengan memakai tafsirnya seperti berikut: “Maka istri-istri yang telah kalian nikmati (campuri) di antara mereka sampai dengan batas waktu tertentu berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.” Mujahid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah nikah mut'ah. Akan tetapi, jumhur ulama berpendapat tidak demikian.
Hal yang menjadi pegangan dalam masalah ini ialah sebuah hadits yang terdapat di dalam kitab Sahihain dari Amirul Muminun Ali ibnu Abu Thalib yang mengatakan: Rasulullah ﷺ melarang nikah mut'ah dan (memakan) daging keledai kampung pada hari Perang Khaibar. Hadis ini mempunyai banyak lafal dan ungkapan, yang semuanya itu merupakan bagian dari kitabul ahkam (kitab-kitab yang membahas masalah hukum). Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Ar-Rabi' ibnu Sabrah ibnu Ma'bad Al-Juhani, dari ayahnya, bahwa ia pernah berperang bersama-sama Rasulullah ﷺ pada hari penaklukan atas kota Mekah. Maka beliau ﷺ bersabda: “Wahai manusia sekalian, sesungguhnya aku dahulu pernah mengizinkan kalian melakukan nikah mut'ah terhadap wanita. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal tersebut sekarang sampai hari kiamat. Karena itu, barang siapa yang padanya terdapat sesuatu dari nikah mut'ah ini, hendaklah ia melepaskannya, dan janganlah kalian mengambil kembali apa yang telah kalian berikan kepada mereka barang sedikit pun.”
Juga terdapat di dalam riwayat lain dari Imam Muslim dalam kisah haji wada'. Hadits ini diungkapkan dengan berbagai lafal, yang pembahasannya terdapat di dalam kitab-kitab fiqih.
Firman Allah ﷻ: “Dan tidak mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.” (An-Nisa: 24)
Orang yang menginterpretasikan ayat ini bermakna nikah mut'ah sampai batas waktu yang ditentukan mengatakan, "Tidak ada dosa bagi kalian apabila waktunya telah habis untuk saling merelakan (bernegosiasi) untuk penambahan masa nikah mut'ah dan penambahan imbalannya."
As-Suddi mengatakan, "Jika pihak lelaki menghendaki, boleh merelakan pihak wanita sesudah mahar yang pertama, yakni upah yang telah diberikannya kepada pihak wanita sebagai imbalan menikmati tubuhnya sebelum habis masa berlaku nikah mut'ah yang disepakati kedua belah pihak. Untuk itu pihak laki-laki berkata kepada pihak perempuan, 'Aku akan nikah mut'ah lagi denganmu dengan imbalan sekian dan sekian.' Jika upah bertambah sebelum pihak wanita membersihkan rahimnya pada hari habisnya masa mut'ah di antara keduanya, maka hal inilah yang disebutkan di dalam firman-Nya: 'Dan tiada mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya sesudah menentukan faridah itu.’ (An-Nisa: 24)."
As-Suddi mengatakan, "Apabila masa mut'ah habis, maka tiada jalan bagi pihak laki-laki terhadap pihak wanita, dan pihak wanita terbebas dari pihak laki-laki. Sesudah itu pihak wanita harus membersihkan rahimnya, dan tidak ada saling mewarisi lagi di antara keduanya. Untuk itu satu pihak tidak dapat mewarisi pihak lainnya. Hubungan keduanya telah terputus." Orang yang berpendapat seperti ini pada pendapat yang pertama tadi menjadikan ayat ini semakna dengan firman-Nya: “Berikanlah mas kawin kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa: 4) Dengan kata lain, apabila engkau telah menentukan sejumlah mas kawin kepada pihak wanita, lalu pihak wanita merelakan sebagian darinya untuk pihak laki-laki atau keseluruhannya, maka tidak ada dosa bagi kamu dan bagi pihak wanita dalam hal tersebut.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Al-Miftamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Al-Hadrami menduga bahwa banyak kaum lelaki yang telah menentukan mahar, kemudian barangkali seseorang dari mereka ada yang mengalami kesulitan. Maka Allah ﷻ berfirman, "Tidak mengapa bagi kamu, wahai manusia, terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya sesudah menentukan mahar. Yakni jika pihak wanita merelakan kepadamu sebagian dari maharnya, maka hal itu diperbolehkan bagimu." Pendapat inilah yang dipilih oleh ibnu Jarir.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan tiadalah mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.” (An-Nisa: 24) Yang dimaksud dengan saling merelakan ialah bila pihak lelaki memberikan mahar secara sempurna kepada pihak wanita, kemudian pihak lelaki menyuruh pihak wanita menentukan pilihan, antara tetap menjadi istri atau berpisah (cerai).
Firman Allah ﷻ: Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nisa: 24) Sangatlah sesuai penyebutan kedua sifat Allah ini sesudah Dia mensyaratkan hal-hal yang diharamkan.
Bila pada ayat yang lalu Allah melarang pernikahan yang menghimpun dua atau lebih perempuan bersaudara, maka ayat ini melarang seorang istri dinikahi oleh dua orang laki-laki. Dan diharamkan juga kamu menikahi perempuan yang sudah bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan bersuami yang secara khusus kamu dapatkan melalui tawanan perang ketika suaminya tidak ikut tertawan, yang kemudian kamu miliki. Pengharaman itu sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain perempuan-perempuan yang demikian itu, yakni selain perempuan yang disebutkan oleh ayat sebelum ini, jika kamu berusaha bersungguh-sungguh membayar mahar dengan hartamu untuk menikahinya bukan dengan maksud untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, istri-istri itu, segera berikanlah maskawinnya dengan sempurna kepada mereka sebagai suatu kewajiban yang harus kamu tunaikan. Tetapi tidak mengapa, artinya kamu tidak berdosa, wahai para suami, jika ternyata di antara kamu sebagai suami istri telah saling merelakannya, sebagian mahar atau keseluruhannya, setelah ditetapkan kewajiban pembayaran mahar itu secara bersama. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. Dan barang siapa di antara kamu, wahai kaum muslim, yang tidak mempunyai biaya yang dapat dipergunakan sebagai perbelanjaan untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka dihalalkan menikahi perempuan yang beriman dari hamba sahaya yang bukan kamu miliki tetapi dimiliki oleh saudaramu sesama muslim. Allah mengetahui keimanan yang ada dalam hati-mu sekalian. Janganlah kamu selalu mempersoalkan masalah keturunan, karena sebagian dari kamu adalah saudara dari sebagian yang lain sama-sama keturunan Adam dan Hawa. Karena itu, bila kamu benar-benar tidak mampu menikahi perempuanperempuan merdeka, maka nikahilah mereka, yakni perempuan-perempuan hamba sahaya itu, dengan izin tuan yang memiliki-nya dan berilah mereka maskawin yang pantas sesuai dengan yang berlaku di kalangan masyarakat dan kondisi hamba sahaya pada waktu itu, yang tidak memberatkan kamu dan tidak pula merugikan si perempuan dan tuannya, karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara kesucian diri mereka, bukan pezina dan bukan pula perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya yang mereka sembunyikan. Apabila mereka telah berumah tangga atau bersuami, tetapi masih saja melakukan perbuatan keji dengan berbuat zina yang terbukti secara hukum, maka berilah hukuman bagi mereka yang besarnya setengah dari apa, yakni hukuman perempuan-perempuan yang merdeka dan bersuami. Kebolehan menikahi hamba sahaya itu adalah izin bagi orang-orang yang takut terjatuh terhadap kesulitan dalam upaya menjaga diri dari perbuatan zina. Tetapi jika kamu bersabar dengan cara menahan diri agar tidak berzina atau menikahi hamba sahaya, itu lebih baik bagimu daripada menikahi mereka. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Kata al-muhshanat di dalam Al-Qur'an mempunyai empat pengertian, yaitu:
1. Perempuan yang bersuami, itulah yang dimaksud dalam ayat ini.
?Apabila mereka telah bersuami? (an-Nisa/4:25).
2. Perempuan yang merdeka, seperti yang tercantum dalam firman Allah:
Dan barang siapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki.?(an-Nisa/4:25).
3. Perempuan yang terpelihara akhlaknya, seperti dalam firman Allah:
Perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina (an-Nisa/4:25).
4. Perempuan-perempuan Muslimah.
Dengan demikian dibolehkan seorang Muslim menikahi seorang perempuan tawanan perang yang sudah menjadi budaknya, walaupun ia masih bersuami, karena hubungan perkawinannya dengan suaminya yang dahulu sudah putus, sebab dia ditawan tanpa suaminya dan suaminya berada di daerah musuh, dengan syarat perempuan itu sudah haid satu kali untuk membuktikan kekosongan rahimnya. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa suaminya tidak ikut tertawan bersama dia. Jika ditawan bersama-sama perempuan itu, maka tidak boleh dinikahi oleh orang lain. Ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi pada zaman sekarang. (lihat tafsir an-Nisa/4: 3)
Dihalalkan bagi kaum Muslimin mencari perempuan dengan harta mereka untuk dinikahi, dengan maksud mendirikan rumah tangga yang bahagia, memelihara keturunan yang baru dan bukan untuk berzina. Maka kepada istri-istri yang telah kamu campuri itu, berikanlah kepada mereka maharnya yang sempurna sebagai suatu kewajiban dengan niat menjaga kehormatan dan sekali-kali tidak berniat untuk membuat perzinaan. Maskawin yang diberikan bukanlah semata-mata imbalan dari laki-laki atau kerelaan perempuan untuk menjadi istrinya, tetapi juga sebagai tanda cinta dan keikhlasan. Oleh karena itu dalam ayat lain (an-Nisa/4:4) disebutkan mahar itu sebagai suatu pemberian. Bila terjadi perbedaan antara jumlah mahar yang dijanjikan dengan yang diberikan, maka tidak mengapa bila pihak istri merelakan sebagian mahar itu. Allah mengetahui niat baik yang terkandung dalam hati masing-masing. Maka berikanlah mahar mereka yang telah disepakati itu dengan sukarela. Mahar wajib dibayar sebelum akad nikah atau sebelum bercampur, bahkan menurut mazhab Hanafi wajib dibayar asal mereka berdua telah berkhalwat (mengasingkan diri dalam sebuah tempat yang tertutup).
Sebagian ulama menjadikan ayat ini sebagai dasar untuk menetapkan hukum nikah mut'ah, yaitu menikahi seorang perempuan dengan batas waktu tertentu seperti sehari, seminggu, sebulan atau lebih yang tujuannya untuk bersenang-senang. Pada permulaan Islam diperbolehkan atau diberi kelonggaran oleh Nabi ﷺ melakukannya. Beliau mula-mula memberi kelonggaran kepada sahabat-sahabatnya yang pergi berperang di jalan Allah untuk nikah dengan batas waktu tertentu, karena dikhawatirkan mereka jatuh ke dalam perzinaan, sebab telah berpisah sekian lama dengan keluarganya. Kelonggaran itu termasuk :
"Mengerjakan yang lebih ringan mudaratnya di antara dua kemudaratan."
Kemudian nikah mut'ah itu diharamkan, berdasarkan hadis-hadis sahih yang menjelaskan haramnya nikah mut'ah itu sampai hari kiamat. Khalifah Umar pun pernah menyinggung soal haramnya mut'ah pada pidatonya di atas mimbar, dan tidak ada seorang sahabat pun yang membantahnya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
TIDAK BOLEH MENGAWINI ORANG BERSUAMI
Sesudah Allah menjelaskan siapa perempuan-perempuan yang disebut mahram, yang tidak boleh dinikahi karena bertali darah atau karena dipertalikan oleh air susu, atau karena mertua dan menantu, sekarang Allah menerangkan lagi perempuan yang tak boleh dikawini, bukan karena mahram melainkan karena telah ada yang punya.
Berfirman Allah,
Ayat 24
“Dan yang telah bersuami daripada perempuan-perempuan."
Atau dalam bahasa yang lebih mudah “perempuan-perempuan yang telah bersuami." Yang telah bersuami kita jadikan arti dari kalimat al-Muhshanat. Arti asalnya ialah yang telah dibentengi. Sebab apabila seorang perempuan telah bersuami, berarti dia telah dibentengi oleh perlindungan suaminya sehingga orang tidak boleh masuk ke dalam lagi. Kelak di dalam ayat ini juga kita akan bertemu kalimat mubshanat. Artinya pun sama, yaitu perempuan-perempuan yang ter-benteng, perempuan baik-baik yang tidak boleh diganggu. Dijelaskanlah di dalam ayat ini bahwasanya perempuan yang telah terpelihara dalam perbentengan lindungan suaminya tidak boleh dinikahi lagi. Sama saja, apakah perempuan itu orang Islam atau lain agama, agama apa saja. Pendeknya, sekalian perempuan yang telah ada suami tidak boleh dinikahi lagi.
“Kecuali mana yang dimiliki oleh tangan kanan kamu." Yang dimiliki tangan kanan ialah perempuan yang telah menjadi hamba sahaya, menjadi budak kepada kamu. Perbudakan ini terjadi sebab peperangan. Peperangan itu hendaklah perang karena agama. Di dalam istilah ahli fiqih ada dicantumkan bahwa jika terjadi perang di antara satu negeri Islam dan satu negeri kafir, negeri Islam itu dinamai
Darul Islam dan negeri yang diperangi itu dinamai Darul Harb (Negeri Perang) Lalu negeri itu diserbu dan diserang. Mereka pun kalah, dan orang laki-lakinya banyak yang mati, penduduknya yang masih tinggal ditawan dan diangkut ke Darul Islam.
Orang tawanan itu, menurut peraturan sejak zaman purbakala, hilang kemerdekaannya dan menjadi budak dari bangsa yang menang. Di antara perempuan-perempuan yang ditawan ada yang mati seluruh keluarganya laki-laki, termasuk suaminya. Ada juga yang suaminya masih hidup, tetapi tidak diketahui lagi ke mana perginya. Jika perempuan tawanan itu jatuh ke tangan orang Islam yang menang, bolehlah perempuan itu diperistri. Tetapi kalau perempuan itu tertawan bersama suaminya, tidak juga boleh tuan yang menguasainya itu memperistri dia, sebab dia masih ter-benteng oleh suaminya, meskipun keduanya sama-sama budak dari satu tuan.
Perempuan yang telah lenyap suaminya itu, baik karena mati dalam perang maupun hilangtidaktentu rimbanya, bolehlah diperistri dengan terlebih dahulu melalui istabrash. Yaitu hendaklah diketahui terlebih dahulu, apakah dia dalam mengandung sebagai hasil percampurannya dengan suaminya yang telah gaib itu. Kalau ternyata dia hamil, hendaklah ditunggu sampai anaknya lahir, baru halal disetubuhi,
Madzhab Hanafi dan Hambali menegaskan bahwa dua suami istri yang tertawan, tidaklah halal tuannya memisahkan si istri dari suaminya karena istrinya itu hendak diperistri oleh tuannya. Perbudakan dalam hal ini tidak sampai masuk ke dalam untuk merusak perbentengan suami istri.
Islam telah mendapati peraturan sejak zaman purbakala bahwa penduduk satu negeri yang telah dikalahkan adalah menjadi tawanan dari yang menang. Sampai abad kedua puluh ini soal tawanan itu masih tetap berlaku. Tawanan artinya ialah jadi budak selama
ditawan. Tidaklah mungkin pada saat Islam mulai tumbuh, Nabi Muhammad sekaligus menghapuskan perbudakan, padahal peperangan masih ada. Alangkah janggalnya kalau Nabi Muhammad membebaskan dan menghabiskan tawanan, sedang kaum Muslimin sendiri kalau kalah jadi tawanan pula.
Di dalam surah Muhammad ayat 4 diakui-lah adanya tawanan. Disuruh menggempur musuh dan memancung leher mereka dan desak terus; mana yang menyerah jadikan tawanan.
“Maka (sesudah itu), baik pun mereka dibebaskan atau disuruh menebus, sehingga perang menghentikan kesengsaraannya." (Muhammad: 4)
Jelas bahwa berperang dengan sendirinya menimbulkan tawanan. Tetapi kalau peperangan selesai, kesengsaraan perang telah habis, asap tidak mengepul lagi, darah tidak mengalir lagi, waktu itu bolehlah mereka dibebaskan saja, dan boleh juga diminta tebusan atau pertukaran tawanan. Namun selama perang berlaku, yang tertawan tetap tawanan. Kadang-kadang karena sangat hebatnya peperangan dan kekalahan pihak musuh, laki-lakinya habis mati, negerinya rusak dan perempuannya telantar. Kalau dibebaskan saja, ke mana mereka akan pergi. Mungkin menjadi perempuan lacur. Disuruh menebus, tidak ada lagi yang akan menebus. Di sini timbul asal perbudakan.
Perhatikanlah! Ayat pada surah Muhammad bukanlah menyuruh adakan perbudakan. Tetapi membolehkan karena begitulah yang ada dalam hal ihwal perang.
Budak tidaklah merdeka lagi. Dia telah menjadi hak milik tuannya, sebagaimana berhak milik atas barang, senjata, kuda, dan lain-lain. Lantaran itu boleh dia jual, boleh dia hadiahkan kepada orang lain, dan boleh dia pakai, sebagaimana memakai istri kalau dia perempuan. Dengan demikian, anaknya dengan perempuan budaknya adalah anak yang sah. Tetapi di zaman Sayyidina Umar, beliau buat satu peraturan baru, yaitu budak perempuan yang telah beranak dengan kamu, dilarang kamu jual. Dia diberi sebutan Ummul Walad (ibu anak-anak)
Sebagaimana dapat dilihat pada sejarah perkawinan Nabi kita Muhammad ﷺ, beliau telah memberikan teladan yang amat mulia terhadap budak tawanan, yaitu Shafiyah binti Huyai. Ayahnya, musuh besar Rasulullah ﷺ dan musuh Islam, meninggal dihukum bunuh ketika peristiwa perhukuman atas khianatnya Yahudi Bani Quraizhah, dan suaminya tewas ketika kalah mempertahankan benteng Khai-bar dari serangan Islam. Beliau menjadi tawanan dan menjadi hak milik dari Rasulullah ﷺ. Akan tetapi, karena Shafiyah seorang bangsawan Bani Israil, keturunan Nabi Harun pula, tidaklah beliau pergunakan hak untuk menyetubuhinya sebagai budak. Tetapi beliau merdekakan dia, lalu beliau pinang dia kepada dirinya, sudi kiranya bersuami dia, dan maharnya adalah kemerdekaan yang diberikan itu: ‘Ithquha,Shadaquha, kata pencatat sejarah. Kemerdekaan itu maharnya. Dengan demikian kedudukannya sama dengan Aisyah dan Hafsah dan istri-istri beliau yang lain.
Hal inilah yang sebaik-baiknya menyelesaikan sgal perempuan yang telantar karena negerinya ditaklukkan.
Namun, syara' menjelaskan bahwa timbulnya budak sebagaimana ini adalah karena peperangan agama. Sebab itu seketika terjadi perang saudara di antara golongan Ali dengan golongan Mu'awiyah, kedua belah pihak meskipun pernah terjadi tawan-menawan tidak' lah melakukan memperbudak pihak lawannya. Tetapi kaum Khawarij yang ekstrem tidak puas dengan peraturan ini. Karena menurut mereka, golongan Mu'awiyah telah kafir. Ini salah satu sebab mereka memisahkan diri dari Ali.
Dalam sa'tu abad kedua puluh, sudah dua kali dunia dikejutkan oleh perang besar. Terjadi tawan-menawan, terjadi penerobosan tentara ke suatu negeri, misalnya tentara Rusia masuk ke Jerman, atau tentara Jerman menerobos Rusia sebelumnya, atau tentara Serikat masuk ke Eropa. Tanyakanlah kepada bangsa-bangsa yang berperang itu betapa hebatnya nasib perempuan-perempuan pada negeri-negeri yang diterobos musuh itu. Soal perempuan di negeri yang kalah tatkala musuh masuk itu, belum ada pemecahannya pada bangsa-bangsa itu sampai sekarang ini. Di Jepang terdapat berpuluh ribu anak serdadu Amerika yang ditinggalkan begitu saja sehingga menjadi beban berat sosial bagi bangsa Jepang. Apatah lagi perang di zaman sekarang adalah perang total, tidak lagi memandang penduduk sipil. Kalau Islam mengadakan peraturan seperti ini di dalam saat perjuangannya—bahwa perempuan tawanan yang tidak dapat dibebaskan, menurut surah Muhammad ayat 4 tadi, atau tidak ada lagi yang akan menebus— boleh menjadi milik dari yang menawan dan anak dengan mereka adalah menjadi anak yang sah dari tuannya, dapatlah dimaklumi betapa penting peraturan ini dalam Islam. Kalau tidak dibegitukan, akan bagaimanalah hebatnya pelacuran sehabis perang.
Banyak di antara khalifah Bani Abbas adalah anak dari budak perempuan. Khalifah al-Ma'mun sendiri adalah anak dari Ummul Walad. Sebab kerajaan-kerajaan Islam itu tidak mengenal anak gahara dan anak budak. Semua anak sama kedudukannya, walaupun ada yang ibunya merdeka atau budak, sama berhak jadi khalifah.
Perang-perang ekspansi, perebutan kuasa kerajaan dengan kerajaan, walaupun di antara negeri Islam dengan negeri kafir, misalnya jika di zaman sekarang perang Kerajaan Saudi Arabia dengan Amerika, tidaklah berlaku menjadikan orang merdeka sebagai budak. Apatah lagi jika Islam sesama Islam, misalnya perang Mesir dengan Yaman.
Demikian juga perbuatan sangat keji yang dilakukan orang di abad ketujuh belas, kedelapan belas, dan kesembilan belas,yaitu dengan senjata lengkap orang-orang kulit putih atau orang Arab meramu ke dalam negeri Afrika, merampok, merampas, menjarah kampung-kampung di Afrika, lalu menawani orang sekeluarga dihalaukan ke kapal lalu dijual ke pasar budak, diperniagakan ke Amerika dan sebagainya. Budak-budak yang timbul dari yang semacam itu, tidak diakui sah untuk dijadikan halal disetubuhi menurut syari'at Islam.
Atau seperti kejadian perempuan-perempuan Cina miskin di Hongkong Singapura menjual anak gadisnya seketika masih kecil, tidaklah boleh disetubuhi menurut peraturan yang disebutkan tadi. Sebab semuanya itu bukan berasal dari tawanan perang karena agama, tetapi kejahatan yang timbul dalam masyarakat, merampas kemerdekaan manusia yang merdeka.
Syukurlah umat Islam Melayu yang membeli gadis-gadis Cina melarat di Singapura, menurut pengetahuan kita, hanya mengangkat jadi anak dengan menyusukannya, lalu mengislamkan, dan setelah besar dikawinkan de-ngan pemuda Islam, mendirikan rumah tangga Islam.
Sesudah itu datanglah penjelasan, “Ketetapan Allah atas kamu." Artinya bahwa yang tersebut itu adalah suatu ketetapan atau perintah dari Allah sendiri yang tidak boleh diubah dan tidak boleh dibuat semau-mau-nya. Sudah dilarang keras menikahi sekalian yang dinamai mahram itu, baik mahram karena pertalian darah, seumpama ibu, anak, dan saudara perempuan, maupun karena istri dari anak dan cucu, anak-anak tepatan, atau mengumpulkan dua orang bersaudara, lalu ditambah lagi larangan menikahi orang bersuami seperti yang disebut terakhir. Semuanya itu sudah ketetapan dari Allah. Barangsiapa melanggarnya, tidaklah sah nikahnya, dan haramlah pergaulannya selamanya, termasuk pergaulan di luar nikah, menjadi zina. “Dan dihalalkan atas kamu selain dari itu." Halallah misalnya kawin dengan anak saudara perempuan ayah atau saudara perempuan ibu, ibu tiri dari istri sendiri, dan sebagainya. Tentu saja tidak termasuk dalam himpunan yang lain dari yang tersebut itu siapa-siapa yang telah ditentukan oleh ayat-ayatyanglain di surah lain misalnya perempuan musyrik jangan dikawini oleh laki-laki Mukmin, jangan mengawini perempuan yang telah terkenal karena pezina. Yang selamanya itu dilarang selama sebab pelarangnya masih ada, dan hilang larangan kalau sebab yang menghambatnya itu sudah hilang. Kalau yang musyrik sudah beriman, yang berzina sudah tobat, dan yang murtad sudah kembali ke Islam.
“Buat kamu mencari istri dengan harta benda kamu." Maksudnya ialah selain dari yang telah dilarang itu, bolehlah kamu cari istri itu. Karena memang mendirikan rumah tangga tidaklah cukup hanya dengan keyakinan cinta saja. Cinta akan luntur kalau harta benda tidak ada, “Sebenar berkawin bukan berzina/'
Dalam ayat ini bertemu sekali lagi kata-kata muhshinin, yang kita artikan ‘sebenar berkawin/ Karena sebagai kita tafsirkan di atas tadi, kata muhshinin atau muhshanat terambil dari pokok kata Husn, artinya ‘benteng/ Inti sari membentuk suatu rumah tangga, mengawini seorang perempuan ialah hendak membentengi diri, membentengi hawa nafsu, dan syahwat faraj atau seks. Dengan sebab perkawinan, seorang laki-laki menjadi muhshin dan seorang perempuan menjadi muhshinat.
Kita artikan pula kalimat Ghaira Musafihin dengan bukan berzina. Karena pokok asal dari arti Musafihin ialah dari Safah yaitu orang yang menumpahkan air. Di sini ialah orang yang menumpahkan air maninya dengan tidak memikirkan halal haram. Oleh sebab itu, jika pun ada harta benda dan sanggup membayar perempuan berapa saja, lebih baiklah digunakan untuk membenteng kehormatan diri dengan kawin, jangan digunakan harta benda itu membeli kehormatan perempuan guna menumpahkan air mani dengan tidak berke-tentuan.
Dalam ayat ini sudah tersimpan suatu peringatan bahwa kemewahan lantaran kebanyakan harta benda kerap kali menyebabkan orang tak dapat lagi mengendalikan hawa nafsu dan syahwatnya. Sehingga apabila dia melihat perempuan cantik, nafsunya hendak mempunyai terus perempuan itu. Tidak ada yang akan menghambat, sebab uang banyak atau dia adalah orang yang berkuasa. Diberilah peringatan bahwa sebaiknya dengan uang banyak itu ditempuh jalan yang suci, bukan jalan kotor. Sebab nafsu kepada perempuan kalau tidak terkendali, bisa saja berubah menjadi suatu penyakit jiwa dan tidak tahu malu.
“Maka barang apa pun kesenangan yang kamu dapat dari perempuan-perempuan itu, berikanlah kepada mereka mas kawin mereka sebagai suatu kewajibanArtinya dengan sebab perkawinan terdapatlah kesenangan atau ketenteraman diri; sebab hidup terpencil seorang diri telah mendapat teman hidup. Niscaya wajiblah penyelenggaraan istri itu dibayar dengan sepatutnya. Mulai kawin dia dinamai mahar, atau shadaq, atau mas kawin. Setelah bergaul serumah tangga, wajiblah membayar nafkah. Itu adalah kewajiban yang telah ditentukan oleh Allah. Tidak boleh nikah dengan tiada pakai mahar dan tidak boleh pergaulan dengan tidak memberikan nafkah. Karena kita sebagai laki-laki telah diberi kesempatan bersenang-senang atau istimta' dengan perempuan itu.
Tetapi setelah kewajiban itu dipenuhi dan disadari, namun patri sejati dari sebuah rumah tangga janganlah dilupakan. Sebab itu datanglah lanjutan ayat, “Tetapi tidaklah mengapa kamu berkeridhaan sesudah ada ke-tentuan."
Alangkah indahnya bunyi ayat ini, utang yang wajib dibayar hendaklah dibayar. Tetapi setelah tentu pasti pembayaran utang itu, selalu terbuka bagi cinta sama cinta, ridha-me-ridhai menjadi patri-mesra dari satu pergaul-an. Sebab harta itu telah hartanya, tentu dia berhak buat menghadiahkannya kembali.
Lihatlah suri teladan yang diberikan Siti Khadijah selama dia bersuami Muhammad ﷺ lima belas tahun sebelum beliau menjadi Rasul. Mas kawin Khadijah dibayar penuh oleh Nabi kita. Tetapi setelah mas kawin itu dibayar dan telah bergabung dengan hartanya yang lain, akhirnya bukan jiwa dan ragarya saja yang diserahkannya kepada suaminya, bahkan hartanya pun sekali. Sehingga perbelanjaan Rasulullah di dalam melakukan dakwah Is-lamiah di zaman perjuangan pertama sebagian besar adalah dari harta Khadijah. Tidak dihitung lagi pembagian kepunyaan sebab sudah jadi punya berdua. Bahkan seluruh kehidupan adalah kepunyaan berdua.
Sehubungan dengan ini, teringatlah penafsir akan cerita yang disampaikan kepada penafsir oleh sahabat penafsir Almarhum Sayyid Abdulhamid al-Khatib, putra dari Almarhum Syekh Ahmad Khatib, ulama Minangkabau yang masyhur di Mekah di permulaan abad kedua puluh itu (Syekh Ahmad Khatib meninggal tahun 1916)
Sayyid Abdulhamid bercerita bahwa seketika ayahnya masih menuntut ilmu di Masjidil Haram, kerap dia singgah di Babus Salam, pada sebuah kedai kitab kepunyaan seorang Kurdi, yang bernama Sayyid Hamid Kurdi. Dia singgah di sana membeli kitab-kitab yang penting. Kadang-kadang kalau dia tidak ada uang buat pembeli, dia meminta permisi saja muthala'ah salah satu kitab penting itu, dan dia duduk beberapa saat membalik-baliknya dan memerhatikan satu masalah yang sedang hendak dia pecahkan. Hamid Kurdi senantiasa memerhatikan buku yang dibaca pemuda ini atau buku yang dibelinya. Tahulah dia bahwa pemuda ini adalah seorang yang benar-benar besar kemudiannya. Lalu dia bertanya kepada pemuda itu dengan siapa dia belajar dan dari mana asal usulnya dan apa madzhab yang dianutnya. Ahmad Khatib telah menceritakan siapa-siapa gurunya, di antaranya ialah Sayyid Zaini Dahlan. Utama Syafi'iyah yang terkenal di masa itu. Dikatakannya bahwa dia berasal dari Bukittinggi (Kotogadang) Minangkabau, dari keturunan orang-orang terkemuka juga dalam adat dan agama di negeri itu. Mendengar jawaban itu, timbullah persahabatan yang mesra di antara si penjual kitab dengan pemuda Ahmad Khatib. Terbukalah toko kitab Hamid Kurdi untuk Ahmad Khatib muthala'ah sesuka hatinya. Mana yang berkenan kepada hatinya boleh diambil saja. Hamid Kurdi tahu bahwa pemuda ini kaya dengan cita-cita, tetapi kurang dalam hal harta, meskipun dia dari keluarga orang baik-baik di negerinya.
Akhirnya rasa suka itu telah lebih mendalam sehingga Hamid Kurdi menawarkan kepada Ahmad Khatib supaya sudi menjadi menantunya. Apatah lagi madzhab orang Kurdi umumnya ialah sama dengan madzhab orang “Jawi" bangsanya Ahmad Khatib. Oleh karena sangat pandainya Hamid Kurdi membujuk pemuda ini, dengan menerangkan melarat yang akan ditemuinya kalau tidak ada istri yang menyelenggarakan, akhirnya Ahmad Khatib tunduk. Tetapi dia menyatakan terus terang bahwa dia tidak ada uang. Kalau diminta ke kampung, belum tentu ayahnya akan memberi, atau terlalu lama baru datang, menunggu orang akan naik haji akan membawanya. Hamid Kurdi mengatakan bahwa asal dia mau kawin dengan anaknya, urusan mas kawin tidak perlu dia susahkan.
Ketika Ahmad Khatib masih ragu akan diterima atau tidak, Hamid Kurdi telah mengumpulkan keluarganya. Lalu memberi tahu kepada mereka bahwa pemuda Ahmad Khatib yang alim meminang putrinya dan telah sedia membayar mas kawin 500 rial majidi.
Setelah dia terangkan kelebihan pemuda ini, terutama sekali persamaan madzhab, seluruh keluarga menjadi setuju. Setelah mereka bubar, diserahkannya uangnya sendiri 500 rial kepada Ahmad Khatib. Dikatakannya uang ini hadiahku kepadamu, buat mas kawin istrimu kelak, yang akan engkau bayar kontan di hadapan qadhi.
Berlangsunglah perkawinan itu. Ahmad Khatib membayar mahar istrinya dari uang yang disodorkan dari jalan belakang oleh bakal mertuanya sendiri. Setelah Ahmad Khatib bertemu dan bergaul dengan istrinya, dan uang itu telah diterima oleh si istri. Si istri pun setelah menyerahkan jiwa ragarya, berkata pula kepada suaminya, karena suaminya itu seorang alim besar, dia ingin sekali menyerahkan mas kawin itu kepada beliau, sebagai hadiah dari seorang murid kepada guru.
Anak tidak mengetahui bahwa ayahnya yang menyodorkan mas kawin itu, dari jalan belakang untuk membela air muka menantu. Karena yang diharapkannya dari menantu itu bukan hartanya, melainkan ilmunya. Si ayah pun tidak tahu bahwa uang itu telah dihadiahkan pula kembali oleh anak perempuannya kepada suaminya, sebagai hadiah murid kepada gurunya. Bertahun-tahun di belakang, setelah harapan dari Hamid Kurdi tercapai, telah bermenantu seorang ulama besar, pengarang kitab-kitab agama yang terkenal. Professor Agama Islam di Masjidil Haram, bermurid beratus-ratus orang yang datang dari seluruh pelosok tanah Indonesia. Yang waktu itu masih bernama Jawi. Barulah kedua rahasia ini terbuka. Semuanya disyukuri kepada Allah. Pada saat itu Ahmad Khatib telah menjadi salah satu bintang ulama Syafi'iyah yang terkenal di seluruh pelosok dunia Islam. Ahmad Khatib pun telah diangkat oleh Syarif Mekah menjadi Imam dan Khatib dari Masjidil Haram.
Beberapa tahun kemudian istrinya yang tercinta dan salihah itu meninggal dunia. Sekali lagi Hamid Kurdi meminta Ahmad Khatib supaya kawin dengan adik almarhumah. Tetapi sekarang mas kawin buat istrinya yang kedua itu tidak lagi disodorkan dari jalan belakang. Sebab Ahmad Khatib telah menjadi salah seorang penduduk Mekah yang terkemuka, dan kaya, dikenal di dalam istana Syarif Mekah sendiri.
Cerita ini mengingatkan kita kepada ayat yang sedang kita tafsirkan. Yaitu membayar mas kawin adalah wajib. Tetapi keridhaan di antara suami dan istri adalah di atas segala mas kawin atau nafkah. Bahkan keridhaan kedua belah pihak adalah alat sejati di dalam menempuh pasang naik atau pasang turun di dalam melayarkan kehidupan.
Ayat 25
“Dan barangsiapa yang tidak sanggup di antara kamu dalam hal pembelanjaan, akan menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (bolehlah) dari yang dimiliki tangan kanan kamu, dari budak-budak perempuan kamu yang beriman “
Pangkal ayat 25 ini memberi peluang bagi seseorang yang ingin berkawin, tetapi tidak sanggup dengan perempuan-perempuan merdeka, sebab belanjanya atau nafkah rumah tangga terlalu besar, tidak terpikul. Ayat ini membukakan jalan baginya untuk kawin saja dengan perempuan yang tidak merdeka, atau “yang dimiliki oleh tangan kanan kamu."
Di dalam ayat ini terdapat kalimat thou-lan yang diartikan secara ringkas dengan kesanggupan memberi belanja atau nafkah. Arti asli dari kalimat itu adalah serumpun dengan thawilan, artinya ‘panjang' atau ‘berpanjang-panjang.' Selalu tepat pilihan bahasa di dalam rangkuman wahyu.
Orang bisa membayar mahar menurut kesanggupannya. Orang bisa membayar mas kawin hanya dengan sebentuk cincin besi ataupun beberapa ayat Al-Qur'an yang dihafalkan. Tetapi sesudah membayar mas kawin ada lagi yang lebih perlu, yaitu perbelanjaan tiap hari, yang selalu mesti dibayar. Perbelanjaan tiap hari itulah yang lama dan panjang. Niscaya perempuan yang dikawini wajib menerima haknya menurut patutnya. Sebab itu kadang-kadang orang sanggup membayar mahar mahal, tetapi kepayahan memberi nafkah tiap hari. Lebih-lebih jika kawin dengan perempuan merdeka. Sampai ada pepatah bahasa kita, “Beli kuda tidak begitu mahal, yang mahal adalah beli rumput tiap hari."
Oleh sebab itu, di dalam ayat ini dibuka-kanlah pintu bagi seorang laki-laki yang setelah mengukur kekuataannya merasa tidak sanggup kawin dengan perempuan merdeka yang beriman juga. Sebab belanja perempuan budak tidak sebesar belanja perempuan merdeka; keperluan rumah tangganya pun tidak sebesar belanja perempuan merdeka. Yang perlu diperhatikan hanyalah satu hal saja, yaitu keadaan iman dari perempuan budak. Soal iman ini disuruh ambil perhatian pertama. Sebab itu, terusan ayat berkata demikian, “Dan Allah lebih mengetahui akan iman kamu" Soal iman adalah soal hati suci manusia. Dalam hal iman tidak ada pembatasan di antara perempuan merdeka dengan perempuan budak. Kedua-duanya sama-sama budak Allah! Susunan duniawi dalam masyarakat manusia, membuat adanya perempuan merdeka dan ada perempuan budak. Namun dalam soal iman adalah urusan langsung di antara seluruh hamba Allah dengan Allahnya.
Allah lebih tahu akan iman kamu, entah iman si budak lebih tinggi di sisi Allah daripada iman si merdeka. Lantaran itu jika kamu terpaksa memilih kawin dengan budak, iman itulah yang akan diperhatikan. Tentu saja lebih baik perempuan merdeka yang beriman daripada budak merdeka yang beriman, untuk kemegahan hidup di dalam dunia. Tetapi kalau diri tidak sanggup, apakan daya. Cukupkan sajalah budak perempuan beriman. Sebab, “Sebagian daripada kamu adalah daripada bagianUjung ayat ini adalah penawar hati bagi barangsiapa yang dipaksa oleh keadaan mengawini budak. Asal dia beriman, sebagian adalah daripada yang sebagian, yaitu sama martabatnya lantaran iman.
“Maka nikahilah mereka dengan izin ahli mereka." Tadi dikatakan bahwa perempuan budak yang beriman ini dinamai, “Yang dimiliki oleh tangan kanan kamu." Meskipun dia budak, tidak jugalah akan berlangsung per-kawinan kalau tuan yang mempunyainya tidak izin. Sedang perempuan merdeka kalau telah dewasanya dan walinya tidak ada, sahlah kalau Sultan (Pemerintah) atau pegawai yang dikuasakan menikahkan perempuan itu. Adapun perempuan budak yang beriman, tidak dapat dilangsungkan nikah, tidak berhak Sultan (Pemerintah) mengawinkannya kalau tuannya belum mengizinkan.
“Dan berikanlah mas kawin mereka dengan sepatutnya." Kelanjutan ayat ini menegaskan lagi bahwa budak perempuan yang beriman itu pun wajib dibayar mas kawinnya dengan sepatutnya pula. Perbelanjaan atau nafkahnya pun dengan sepatutnya pula. Yang patut menurut ukuran sebab dia budak.
“Berkawin bukan berzina, dan bukan pula mengambil piaraan." Artinya perempuan-perempuan sopan, bukan perempuan sundal dan bukan yang mengambil laki-laki jadi gendak.
Tadi telah disebutkan, hendaklah budak perempuan itu yang beriman. Kemudian diterangkan sekali lagi hendaklah perempuan itu yang sopan atau terbenteng kehormatannya, bukan perempuan sundal yang telah biasa melacurkan diri, dan bukan pula perempuan yang telah biasa dijadikan orang gendak atau “piaraan" di luar nikah.
Ayat ini telah membayangkan bahwa kalau terpaksa kawin dengan perempuan budak karena tidak sanggup memberi belanja nafkah perempuan merdeka dan syarat-syarat iman pada budak itu harus diperhatikan juga, karena dia adalah budak. Seorang budak tidaklah berkuasa penuh atas dirinya, sebab itu nilainya sebagai manusia telah kurang sehingga akan mengawininya hendaklah seizin tuannya. Kalau tuannya tidak izin, tidaklah menjadi. Biasanya perempuan budak itu lebih tidak dapat membenteng dirinya, sebab dia selalu di bawah kuasa tuannya.
Di Madinah pada zaman dahulu, Abdullah bin Ubay, kepala dan pemimpin kaum munafik memaksa budak-budak perempuannya menerima dirinya dizinai oleh para pedagarg lalu lintas dengan memungut bayaran, yang sebagian dari bayaran itu dipungut oleh Abdullah bin Ubay. Ada juga budak-budak perempuan itu yang menerima dirinya menjadi gundik piaraan laki-laki. Bergaul dengan tidak bernikah. Padahal sebagai gundik, hanyalah tuan yang mempunyainya saja, orang lain tidak.
Adapun memelihara budak perempuan sebagai gendak (bukan gundik) adalah satu kebiasaan buruk lagi di masa jahiliyyah. Orang jahiliyyah memburukkan pergaulan zina. Yang mereka namai zina ialah mencampuri seorang perempuan lacur sebagai pelepas haus saja. Mereka tidak mencela memelihara perempuan di luar nikah. Yang bernasib malang sebagai demikian biasanya ialah budak-budak, hamba sahaya perempuan. Persis seperti yang dilakukan orang-orang Belanda di kebun-kebun di Sumatera Timur di zaman penjajahan. Mereka pilih kuli-kuli kebun yang cantik, lalu mereka suruh tinggal di rumah mereka. Siang dipakai sebagai babu atau koki, dan malam dipakai untuk teman tidur. Mereka dinamai Nyai. Orang jahiliyyah memandang bahwa pergaulan seperti itu tidak ada celanya. Belanda di Deli memandang pergaulan seperti itu pun tidak ada celanya. Pada suatu masa di Indonesia kita yang merdeka ini, banyak pembesar-pem-besar “menyimpan" nyai-nyai peliharaan itu di rumah-rumah kampung, dan mengatakan itu tidak ada celanya. Padahal segala semacam demikian tetap berzina juga namanya.
Misalnya seperti yang dikatakan tadi. Dia budak dari seorang tuan. Akan kawin dengan dia harus seizin tuannya pula. Dia istri kamu, tetapi dia kepunyaan pula dari tuannya. Hanya hak bersetubuh saja yang kamu punyai, namun yang lain masih wajib seizin tuannya. Di penutup ayat Allah berfirman,
“Dan Allah adalah Maha Pengampun, lagi Penyayang."
Allah Maha Pengampun kepada orang yang tidak dapat menahan syahwatnya lalu kawin dengan perempuan budak. Karena Allah Maha Penyayanglah, perkawinan demikian diberi izin. Jika dahulu, sebelum kawin dengan laki-laki yang merdeka karena budak-budak perempuan tidak berdaya mempertahankan diri, lalu pernah dia berbuat kejahatan yang di luar kekuasaanya, itu pun telah diberi ampun oleh Allah sebab dia telah me-nyatakan iman.
Alhamdulillah, sekarang masyarakat berbudak boleh dikatakan tidak ada lagi. Sungguh pun demikian, di dalam beberapa masyarakat masih terdapat hidup yang bertingkat-tingkat. Di zaman lampau ada masyarakat feodal. Ada bangsa putra putri dan ada masyarakat “orang kecil". Dalam kitab fiqih diakui adanya soal kufu, yaitu persamaan derajat kedudukan dan pandangan masyarakat terhadap dua suami istri. Oleh karena zaman budak telah mulai habis, usaha kita sekarang ialah mencapai persamaan derajat, bukan mempertajam perbedaan kedudukan suami dengan istri.
“Maka apabila mereka telah berkawin, kemudian itu mereka berbuat jahat, maka kenakanlah kepada mereka separuh daripada adzab yang dikenakan kepada perempuan-perempuan merdeka."
Demikianlah siksaan atau hukuman yang dijatuhkan kepada perempuan budak itu kalau mereka berbuat salah. Meskipun peraturan ini disangkutkan dengan urusan perkawinan seorang laki-laki yang tidak mampu dengan seorang perempuan budak, namun peraturan ini berlaku buat semua budak perempuan. Jika mereka bersalah, misalnya berzina atau bersemburit (berzina sesama perempuan) ataupun mencuri atau kesalahan yang lain namun hukum untuk mereka hanya separuh hukum yang dijatuhkan kepada perempuan merdeka. Sebab perempuan budak adalah kehilangan seluruh kemerdekaan, sebab dia di bawah kuasa orang lain. Anggapan masyarakat terhadap dirinya adalah rendah. Tidaklah layak kalau dia dihukum disamakan dengan hukuman terhadap perempuan merdeka.
“Yang demikian itu," yaitusekalian peratuan terhadap budak perempuan dijelaskan untuk memberi peringatan kepada laki-laki merdeka yang hendak mengawini seorang perempuan budak, dibolehkan oleh Allah Ta'aala, “Ialah untuk barangsiapa yang takut akan berzina daripada kamu." Artinya, dari semula Allah telah menerangkan kekurangan budak-budak perempuan daripada perempuan merdeka, walaupun perempuan budak beriman juga. Belanja hidup perempuan budak memang kurang dari belanja hidup perempuan merdeka, sebagaimana hukuman kalau mereka bersalah pun hanya separuh dari hukuman perempuan merdeka. Tetapi daripada telanjur berbuat jahat, berzina, atau bergaul secara laki-bini dengan tidak kawin, lebih baiklah mengawini perempuan budak.
“Dan bahwa bersabar adalah lebih baik buat kamu" Kunci ayat ini menunjukkan bahwasanya kawin dengan perempuan yang merdeka lebih baik juga daripada kawin dengan perempuan budak. Kalau kamu sabar menunggu sampai keadaanmu sanggup kawin dengan perempuan merdeka, lebih baik buat muslihat dirimu sendiri jika kawin dengan perempuan merdeka. Sebab meskipun mudah memberi belanja perempuan budak, syarat-syarat untuk menempuhnya tidak ringan pula.